LANDASAN TEORETIK
2.1 Konstruktivisme
Roth & Roychoudury (1993: 504-505) dengan tegas menyatakan ada dua
aliran pemikiran konstruktivisme, yakni satu yang dikembangkan berdasarkan
karya Piaget dan yang satu lagi dikembangkan berdasarkan karya Vygotsky.
Kedua aliran pemikiran tersebut sama-sama menekankan pentingnya interaksi
sosial dalam pembelajaran. Piagetian (sesuai dengan karya Piaget) memokuskan
pada proses intra individual dalam pengkonstruksian pengetahuan, dan
Vygotskian (sesuai dengan karya Vygotsky) memokuskan pada proses
pengkonstruksian inter individual. Pandangan konstruktivisme Piaget (disebut
juga konstruktivisme kognitif) memandang pembelajaran dalam
situasi
resiprok
pandangan
alternatif.
Ditinjau
dari
pandangan
setiap
individu.
Proses
penyesuaian
tersebut
ekuivalen
dengan
15
16
kognitif
berubah
melalui
pengadaptasian.
Pengadaptasian
didasarkan
pada
sruktur
kognitif
yang
dimiliki.
Individu
lain,
individu
mencoba
beradaptasi
terhadap
lingkungan
melalui
pengasimilasian.
Pengakomodasian adalah komponen lain dari proses adaptasi. Struktur
kognitif diubah agar cocok dengan informasi yang datang. Hal ini merupakan
17
pemodifikasian eksplanasi yang dimiliki agar cocok dengan realitas. Dalam proses
pengakomodasian pada lingkungan, struktur kognitif dikembangkan makin luas
atau digeneralisasi ketika mereka digabungkan dalam meningkatkan aspek yang
lebih luas tentang dunia. Proses pengadaptasian ini mempunyai batas tertentu.
Piaget menyatakan bahwa asimilasi dan akomodasi adalah dua sisi dari koin
adaptip (dalam Trowbridge & Bybee, 1990: 91), yakni keduanya dapat dipisah
dalam pendiskusian, tetapi keduanya tidak dapat dipisah ketika individu
berinteraksi dengan lingkungan.
Bagaimana individu dapat secara simultan mempertahankan integritas
struktur kognitif dan mengubah sruktur kognitif? Piaget memakai prinsip
pengorganisasian dan pengadaptasian yang dikenal dalam biologi, yakni dipakai
sebagai metapora bagi fungsi kognitif. Pengorganisasian dan pengadaptasian
merupakan fungsi yang bersifat komplementer. Pengorganisasian dapat dipikirkan
sebagai kecenderungan bawaan dasar organisme. Hal ini benar secara biologi dan
dipakai Piaget secara psikologi. Pengorganisasian adalah kecenderungan
(tendensi) tindakan (aksi) pensistemasian dan pengintegrasian, yang bersifat
motorik atau kognitif menjadi struktur koheren yang berorde tinggi.
Seperti halnya asimilasi dan akomodasi, ekuilibrasi juga ada kesamaannya
dengan proses biologi. Dalam pelaksanaan fungsi biologi, organisme mesti
menjaga suatu keadaan mantap dalam dirinya sendiri, seraya pada waktu yang
sama tetap terbuka terhadap kejadian-kejadian di lingkungan yang diperlukan
untuk pertumbuhan dan agar terus bertahan hidup. Istilah ekuilibrasi dalam
perkembangan kognitif diartikan sebagai pengaturan diri (self regulation) yang
18
19
mungkin lalu
menyesuaikan diri pada intensitas warna (cerah atau suram), tingkat warna
tertentu (muda atau gelap) dan sebagainya. Dengan demikian, pengalaman fisik
meliputi baik proses asimilasi maupun akomodasi. Sumber pengalaman baru bagi
individu yang belajar dalam pengalaman fisik ialah objek-objek yang ada di luar
individu tersebut. Prosesnya adalah melalui pengabstrakan ciri-ciri fisik objek
oleh individu. Piaget menyebut pengetahuan berdasarkan pengalaman seperti ini
sebagai pengetahuan eksogen atau proses abstraksi empirik (Gredler, 1992: 225227). Sifat jenis pengalaman dengan pengertian seperti itu hanya mencakup
abstraksi sifat-sifat fisik yang inheren dalam objek tertentu, seperti hijaunya
rumput atau birunya langit.
20
Periode
Sensorimotoris
(lahir sampai usia
1.5-2 tahun)
Berpikir tentang rencana kehidupan (masa depan) dan mulai berperan orang
dewasa. Kecakapan menangani secara logis dalam situsi multifaktor mulai
(operasi formal). Individu dapat bernalar dari situasi hipotetis ke konkret.
Piaget pada awal penelitiannya tentang bagaimana anak berpikir, telah dapat
mengidentifikasi empat periode atau tahap perkembangan kognitif. Tahap
perkembangan tersebut adalah sensorimotoris, praoperasional, operasional
21
konkret dan operasional formal (Gredler, 1992: 229). Keempat tahap tersebut
diikhtisarkan pada Tabel 2.2 (Gredler, 1992: 230).
Bentuk paling maju dari berpikir logis, yang dapat diidentifikasi Piaget,
adalah operasi formal. Proses-proses berpikir logis dikarakterisasi sebagai
kemampuan memformulasi himpunan-himpunan hipotesis. Kemudian hipotesis
yang kompatibel dengan situasi yang dipelajari dites (Inhelder & Piaget, 1958:
250). Pada tingkat operasional formal, penalaran individual adalah dari suatu
kerangka kerja (hipotesis) menuju pengujian teori.
Dalam perkembangan kognitif, yang paling penting dicatat adalah pencapaian
tingkat berpikir yang lebih tinggi tidak mudah dicapai. Anak mesti memikirkan
kembali pandangannya tentang dunia. Langkah penting dalam proses ini adalah
pengalaman konflik kognitif (cognitive conflict), yakni, anak menjadi tanggap
terhadap fakta bahwa dia memegang dua pandangan yang kontradiktif tentang
situasi dan keduanya tidak dapat sama-sama benar. Langkah ini yang disebut
sebagai
langkah
terjadinya
konflik
kognitif
atau
ketidakseimbangan
22
diperkirakan relevan
23
sendiri untuk tujuan membimbing dan mengarahkan diri. Pendapat Vygotsky yang
paling kontras dengan pendapat Piaget adalah bahwa bahasa, bahkan pada usia
anak paling muda, sebenarnya secara inheren bersifat sosial, dan bahwa
pembicaraan yang disebut Piaget bersifat egosentris sebenarnya berasal dari awal
komunikasi sosial. Ketika anak-anak memakai bahasa untuk berkomunikasi
dengan orang lain, kuantitas dan kekompleksan komunikasi terhadap diri juga
berkembang,
dan
menjadi
lebih
efektif
ketika
mereka
merencanakan,
24
25
menyebabkan mereka menjadi lebih tanggap (awas, sadar) terhadap titik pandang
yang berbeda (Piaget dalam Berk, 1989: 258).
Memang ada bukti bagus yang mendukung bahwa argumen dan ketidak
setujuan dengan kawan sebaya (sesama) memfasihkan perkembangan berpikir
anak, seperti juga bukti bagus yang mendukung bahwa pertolongan dan
bimbingan orang dewasa atau kawan sebaya yang lebih terampil juga
memfasilitasi perkembangan berpikir anak dalam
yang begitu sulit dilakukan anak sendirian (Kerwin dan Day dalam Berk, 1989:
258). Dengan demikian, Piaget dan Vygotsky sebenarnya menekankan aspek
(segi, facet) berbeda dari pengalaman sosial anak, yang dalam hal ini keduanya
berkontribusi terhadap perkembangan anak (Berk, 1989: 258).
Vygotsky memandang pembelajaran dan perkembangan tidak sebagai proses
tunggal, bukan pula sebagai proses gayut, melainkan sebagai satuan pembelajaran
dan
perkembangan
(learning-and-development)
yang
berinteraksi
secara
kompleks. Menurut Vygotsky, formasi konsep adalah suatu aktivitas sosialbudaya-historis yang berisi kunci kebulatan (keseluruhan) sejarah perkembangan
mental anak (Newman & Holzman, 1993: 63-64). Pemerolehan kata baru bagi
anak bukan merupakan kulminasi, melainkan merupakan awal pengembangan
konsepsi. Pemaknaan kata adalah suatu proses aktif, yakni proses dasar dan
menentukan dalam perkembangan berpikir dan berbicara anak (Newman &
Holzman, 1993: 64-65). Bowen menganggap pandangan Vygotsky tentang
peranan bahasa dalam belajar konsep dapat dihubungkan dengan persepsi Kuhn
tentang peranan paradigma dalam kemajuan sains, sedangkan pandangan Piaget
26
terhadap
persoalan-persoalan
yang
berhubungan
dengan
27
menarik
pada
workshop
tersebut
adalah
pengembangan
cara
28
Collea et al. [1975: (5-5)] menyatakan bahwa Soal Formal Fisika adalah
soal fisika yang hanya dapat dijawab dengan pola penalaran formal, melalui
penganalisisan menyeluruh dan melakukan improvisasi. Lebih lanjut, Collea et al.
[1975: {(5-5)-(5-6)}] menyatakan bahwa suatu soal fisika adalah soal formal jika
terhadap pemecahan soal tersebut dapat dinyatakan >ya= untuk menjawab salah
satu atau beberapa atau semua pertanyaan-pertanyaan berikut:
F1. Perlukah saya mengkombinasikan rumus-rumus atau menurunkan suatu
rumus?
F2. Perlukah saya memperkenalkan variabel-variabel tambahan terhadap variabelvariabel yang diberikan atau ditanyakan dalam soal?
F3. Perlukah saya memutuskan (menentukan) pendekatan atau teori mana yang
paling tepat (sesuai) terhadap kondisi-kondisi dalam soal?
F4. Perlukah saya memilih data yang relevan dari luar atau yang berkaitan dengan
solusi, yang memungkinkan soal tidak memiliki solusi atau mempunyai solusi
lebih dari satu?
F5. Perlukah saya merencanakan secara keseluruhan sebelum mulai dengan suatu
persamaan?
Pada workshop tersebut di atas dianjurkan memakai strategi siklus belajar
(learning cycle) untuk memperkaya regulasi (pengaturan) diri (self regulation)
setelah kepada peserta didik diperkenalkan ide baru (Collea et al., 1975: 8-1).
Pemakaian strategi siklus belajar untuk memperkaya regulasi diri tersebut
dimaksudkan
untuk
mengembangkan
kemampuan
peserta
didik
dalam
memecahkan soal-soal formal. Dengan kata lain, pengajaran dengan strategi siklus
29
model
pembelajaran
konstruktivis
kognitif-sosial,
yakni
pembelajaran (pengajaran) yang didasarkan pada teori Piaget (regulasi diri) dapat
memfasilitasi belajar peserta didik. Dengan kata lain, dapat diduga bahwa dengan
suatu model pembelajaran tertentu, yang didasarkan pada pengeksplorasian
terjadinya konflik kognitif, seperti pada strategi siklus belajar atau strategi lain
yang dapat memfasilitasi konflik kognitif, maka belajar memecahkan soal-soal
formal fisika peserta didik dapat difasilitasi. Namun, penelitian tentang pengaruh
pengajaran yang didasarkan pada pandangan konstruktivis kognitif sosial terhadap
kemampuan memecahkan soal-soal formal fisika masih perlu dilakukan, karena
belum ada diliput oleh penelitian-penelitian semacam penelitian Trumper &
Gorsky tersebut.
30
31
atau konsepsi keliru dan memberikan argumen, dan mentesnya. Dengan demikian
akan terjadi disekuilibrium (konstruktivisme Piaget) dan pengembangan konsepsi
serta pola penalaran yang lebih sesuai (adequate). Hasil penelitian Lawson
tersebut di atas setidaknya menyarankan perlu dikembangkan kemampuan
menyelesaikan soal-soal formal fisika melalui pembelajaran dengan model
pembelajaran konstruktivis. Kemampuan menyelesaikan soal formal fisika
tersebut pada hakikatnya adalah penerapan pola berpikir hipotetiko-deduktif
dalam mengerjakan tugas (task).
Menurut Tytler (1996:11), siklus belajar bahkan seolah-olah sudah menjadi
suatu kepercayaan (religion) di AS dalam menerapkan pandangan konstruktivis
kognitif dalam pembelajaran IPA. Tentu saja masih banyak strategi belajar yang
lain yang dapat diterapkan dalam pembelajaran IPA, yang didasarkan pada
pandangan konstruktivis kognitif. Pada dasarnya strategi-strategi tersebut terdiri
dari tiga tahap, yakni tahap 1: pengeksposan prakonsepsi/miskonsepsi atau
konsepsi keliru (alternative frameworks); tahap 2: penimbulan konflik konsepsi;
dan tahap 3: pendorongan terjadinya akomodasi kognitif (Tytler:1996:12).
Selain strategi-strategi belajar yang didasarkan pada pandangan konstruktivis
kognitif di atas, Glasson & Lalik (1993:187-207) mengajukan suatu variasi
terhadap siklus belajar dengan memberikan perhatian pada pandangan
konstruktivis sosial (pentingnya bahasa dalam mengembangkan konsepsi) dalam
memodifikasi siklus belajar tersebut. Temuan penelitian Glasson & Lalik antara
lain: semua guru yang diikutkan dalam penelitian menyatakan siklus belajar dapat
dipakai sebagai kerangka kerja untuk mengintegrasikan bahasa dan tindakan
32
dalam pengajaran IPA; dan hasil penelitian konsisten dengan pendapat Vygotsky
(konstruktivisme sosial), yakni peserta didik bersandar pada komunikasi
interpersonal ketika mencoba memecahkan (menyelesaikan) problem. Menurut
peneliti, temuan penelitian Glasson & Lalik tersebut kelihatannya dapat dipakai
sebagai kerangka kerja untuk mengintegrasikan dua landasan teori pengetahuan
(konstruktivisme Piaget dan konstruktivisme Vygotsky).
Pada pertengahan 1970, para peneliti pendidikan IPA meningkatkan perhatian
pada apa yang telah diketahui peserta didik (anak) sebelum pembelajaran,
terutama tentang apakah peserta didik memahami ide-ide saintifik yang telah
mereka pelajari (Bell, 1993:11). Berdasarkan temuan-temuan para peneliti
pendidikan IPA tersebut muncullah istilah-istilah: sains anak (childrens science);
miskonsepsi (misconceptions), konsepsi alternatif (alternative conceptions),
kerangka kerja alternatif (alternative frameworks), prakonsepsi (preconceptions),
ide intuitif (intuitive ideas) dan keyakinan yang tidak ditutorialkan (untutored
beliefs), yang sekarang ini dapat diartikan sebagai ide yang dipegang peserta didik
ketika mereka memasuki pembelajaran IPA (Bell, 1993:21). Dalam disertasi ini
dipakai istilah prakonsepsi untuk pengertian tersebut. Perlu ditekankan di sini
bahwa ide yang dipegang peserta didik tersebut dapat saja sudah sesuai atau
belum sesuai dengan ide yang dipegang IPAwan sekarang ini. Ide-ide prakonsepsi
seperti itu diistilahkan sebagai konsepsi keliru dalam disertasi ini. Agar
pemakaian istilah konsepsi keliru dapat dibedakan dengan istilah prakonsepsi
dalam disertasi ini, perlu dijelaskan lebih dulu pengertian konsep yang dipakai
dalam disertasi ini.
33
34
pemerolehan ide baru, melainkan tentang pengubahan ide mereka yang ada.
Belajar dipandang sebagai pengubahan konsepsi, yakni pengkonstruksian dan
penerimaan ide baru atau penstrukturan ide yang ada. Pandangan tentang belajar
seperti itu dikenal sebagai pandangan konstruktivis tentang belajar (constructivist
view of learning), yang menekankan bahwa peserta didik adalah mengkonstruksi,
bukan mengabsorbsi ide baru, dan pembelajaran secara aktif akan menghasilkan
makna dari pengalaman (Bell, 1993:23). Pandangan para pendidik sains tentang
belajar
tersebut
merupakan
hasil
perkembangan
penerapan
pandangan
35
mungkin kembali memakai ide awalnya dalam setting sekolah beberapa bulan
kemudian.
Keempat,
konsep-konsep
guru/pendidik
dapat
mempengaruhi
pengubahan konsepsi yang terjadi, jika ada. Kelima, urutan aktivitas pengajaran
masih diperdebatkan. Keenam, studi tentang pengajaran untuk pengubahan
konsepsi menerangi ketidakcocokan (mismatches) dalam pendidikan IPA antara
apa yang kita ketahui tentang bagaimana peserta didik belajar, pada satu sisi, dan
ruang kelas kita, sekolah dan praktek sistem dalam pendidikan IPA, pada sisi lain.
Ketujuh atau terakhir, faktor lain yang telah diperjelas (diterangi) pada situasi
pempromosian pengubahan konsepsi adalah jenis IPA yang diajarkan di ruang
kelas.
Peneliti memakai ketujuh isu di atas sebagai pedoman merancang
pembelajaran yang dapat diharapkan mempromosikan pengubahan konsepsi
dalam penelitian ini.
Berdasarkan pada pandangan konstruktivis tentang mengajar dan belajar,
diketahui bahwa peranan guru/pendidik adalah sebagai: fasilitator pengubahan
konsepsi, person sumber, rekan peneliti naif (naive fellow investigator), penentang
ide, motivator peneliti, perespon, pengungkap pemikiran peserta didik, manajer
belajar, pembelajar, pembimbing, eksperimenter, dan peneliti (Bell,1993:35-38).
Sebagai fasilitator, guru/pendidik mencoba membawa peserta didik dan sumber
yang relevan bersama-sama dalam pembelajaran. Sebagai person sumber,
guru/pendidik mensuplai informasi pada peserta didik, dari pada hanya selalu
mengajukan pertanyaan kembali kepada peserta didik. Sebagai rekan peneliti naif,
guru/pendidik digambarkan bertindak sebagai seorang yang mengeksperesikan
36
ketidaktahuan (nyata atau pura-pura) terhadap suatu eksplanasi atau situasi untuk
membawa peserta didik menemukan jawaban bagi mereka sendiri. Sebagai
penentang ide, guru dengan sengaja dan peka (sensitif) menentang ide peserta
didik, yang misalnya tidak konsisten dengan bukti, tidak berguna atau tidak jelas.
Sebagai peneliti, guru/pendidik meneliti apa yang diperlukan peserta didik.
Dengan demikian, ketika guru/pendidik mengajar, mereka mendengarkan peserta
didik,
peserta didik,
guru/pendidik
37
kondisi belajar yang lebih baik (kesukaan dan motivasi, koperasi sosial,
kepemilikan belajar dan meningkatkan kepercayaan diri peserta didik). Dengan
demikian, sebagai hasilnya, diharapkan guru/pendidik memerlukan sedikit waktu
untuk memanajemenni perilaku mengerjakan tugas dan lebih banyak waktu
berinteraksi dengan peserta didik, yakni, menemukan ide, pertanyaan, dan
pemahaman yang dikonstruksi mereka. Sebagai pembelajar, guru/pendidik belajar
tentang IPA saintis dan IPA anak, tentang cara orang berperilaku dan berfungsi,
dan tentang ide-ide, pengalaman-pengalaman, keinginan-keinginan dan perhatian
peserta didik.
Kondisi-kondisi yang diperlukan agar terjadi pengubahan konsep (akomodasi)
menurut Strike & Posner (1985:216) adalah sebagai berikut: 1) Mesti ada
ketidakpuasan (dissatisfaction) terhadap konsepsi yang ada. Ilmuwan dan peserta
didik tidak membuat perubahan konsepsi sampai mereka yakin bahwa perubahan
yang kurang radikal tidak akan bekerja; 2) Suatu konsepsi baru mesti mudah
dimengerti (intelligible). Individu mesti dapat menumbuhkan bagaimana
pengalaman distrukturisasi oleh suatu konsep baru yang cukup untuk
mengeksplorasi kemungkinan-kemungkinan yang inheren di dalamnya; 3) Suatu
konsepsi baru mesti kelihatan menyenangkan (plausible). Suatu konsepsi baru
yang diadaptasi paling sedikit muncul dalam kapasitas untuk menyelesaikan
problem yang dihasilkan oleh pendahulunya, dan dicocokkan dengan pengetahuan
lainnya, pengalaman, dan membantu; 4) Suatu konsepsi baru hendaklah
menyarankan kemungkinan adanya program penelitian (pemeriksaan) yang
menghasilkan (fruitful). Konsepsi baru mesti berpotensi untuk dikembangkan,
38
lingkungan,
yang
sering
diistilahkan sebagai
39
West & Pines (1985:3-4) memakai metafora tanaman merambat (vines) untuk
menjelaskan integrasi kedua sumber belajar yang telah disebutkan di atas, yang
merupakan pandangan mereka tentang belajar sebagai pengubahan konsepsi.
Dibayangkan ada dua tanaman merambat, yang merepresentasikan kedua sumber
pengetahuan yang berbeda tersebut. Yang satu berasal dari pengetahuan intuitif
pembelajar tentang dunia (mereka sebut sebagai tanaman merambat yang tumbuh
ke atas, untuk menekankan bagian dari pertumbuhan pembelajar), yang lainnya
berasal dari pembelajaran formal (mereka sebut sebagai tanaman merambat yang
tumbuh ke bawah, untuk menekankan pembebanan atau pengenaan atau
penetapan pembelajaran formal terhadap pembelajar dari atas). Dengan demikian,
belajar konsep melibatkan penjalinan (intertwining) kedua tanaman merambat
tersebut. Penjalinan kedua tanaman tersebut mungkin dalam suatu situasi konflik
(a conflict situation), dimana realitas pembelajaran konflik dengan prinsip-prinsip
yang dihadirkan (dipresentasikan), suatu situasi kongruen (a congruent situation),
jika kedua tanaman merambat terjalin (terbentuk) (established), namun tidak ada
konflik; suatu situasi simbolik (a symbolic situation), dimana tanaman yang
merambat ke atas dengan susah payah (hampir tidak: hardly) berinteraksi dengan
pengetahuan sekolah; atau dalam suatu situasi yang tak terstruktur (an
unstructured situation) dimana hanya sedikit atau tidak ada pembelajaran formal
(formal schooling) dan semua penngetahuan pembelajar didasarkan pada belajar
intuitif.
Bell (1993:25) menyimpulkan {berdasarkan pengertian yang diajukan West
& Pines (985:7)} bahwa belajar sebagai pengubahan konsepsi adalah reaksi
40
konflik utama, misalnya, dengan cara mengganti konsepsi peserta didik dengan
konsep sains. Dengan kata lain, pandangan konstruktivis tentang belajar sebagai
pengubahan konsepsi diartikan sebagai pengkonstruksian dan penerimaan ide baru
atau restrukturisasi ide yang ada (Bell, 1993:23).
Dari segi hasil belajar (hasil belajar peserta didik berkaitan erat dengan model
pembelajaran yang dipilih pengajar), penelitian Hinduan et al (1992: 35) tentang
profil hasil belajar mahasiswa TPB FPMIPA IKIP Bandung dalam memahami
konsep-konsep Fisika Dasar mengungkapkan bahwa kegiatan belajar-mengajar
Fisika Dasar pada Tahap Pertama Bersama (TPB) baru menunjukkan hasil belajar
yang cukup berarti pada spesifikasi tes unit yang bersifat hapalan. Pada penelitian
tersebut (pada halaman 35), juga terungkap bahwa unit kegiatan belajar mengajar
TPB belum mampu menghasilkan dan menerapkan konsep belajar tuntas dan post
test KBM mampu meningkatkan pemahaman mahasiswa tentang konsep-konsep
Fisika Dasar pada semua test unit, namun secara rata-rata masih jauh dari yang
diharapkan. Selain itu, penelitian Sinuraya (1996: 28) tentang hasil belajar Fisika
Dasar mengungkapkan bahwa ada perbedaan hasil belajar bagi mahasiswa bila
diajar dengan menggunakan strategi pengajaran berupa rangkaian empat tahap
kegiatan orientasi, latihan, umpan balik dan tindak lanjut) dan yang diajar dengan
metode konvensional (model pembelajaran dalam bentuk pembelajaran yang
meliputi kegiatan: penyampaian pengajaran secara ceramah, pemberian contohcontoh soal, dan diakhiri dengan pemberian soal untuk dikerjakan di rumah).
Berdasarkan hasil penelitian Sinuraya tersebut ternyata model pembelajaran
dengan strategi pengajaran berupa rangkaian empat tahap kegiatan orientasi,
latihan, umpan balik dan tindak lanjut lebih baik dari pada model pembelajaran
yang didominasi metode ceramah dalam meningkatkan hasil belajar Fisika Dasar
mahasiswa. Namun, karena tes yang dipakai untuk mengukur hasil belajar pada
41
42
43
44
model
pembelajaran
didasarkan
pada
bentuk
model
tersebut
terutama:
(1) teori Piaget tentang regulasi (pengaturan) diri;
(2) pengkategorian soal-soal formal fisika;
(3) belajar kolaboratif yang di dukung Vygotsky untuk menimbulkan interaksi
sosial (inter personal) dalam ruang kelas, yang diharapkan dapat menimbulkan
pertolongan dan bimbingan orang dewasa (dalam hal ini pengajar) atau kawan
sebaya (dalam hal ini rekan satu kelas) yang lebih terampil dalam memfasilitasi
45
46
47
48
cara mengetahui kemampuan belajar yang dicapai dengan memakai model yang
dimaksudkan.
Berdasarkan strategi dan prosedur yang telah dikemukakan Yager di atas,
serta dengan memperhatikan ciri utama belajar berdasarkan: konstruktivisme
kognitif Piaget, konstruktivisme sosial Vygotsky, serta pandangan konstruktivis
tentang belajar sebagai pengubahan konsepsi (terutama peranan guru/pengajar
dalam pembelajaran berdasarkan pandangan konstruktivis tentang belajar sebagi
pengubahan konsepsi), pada bagian berikut ini akan dikemukakan model
pembelajaran konstruktivis kognitif sosial. Model dijelaskan dan disusun
berdasarkan arahan yang diterapkan Joyce et al. dalam mengemukakan model,
yakni dengan memakai term sintaks, sistem sosial, prinsip-prinsip reaksi dan
sistem pendukung seperti telah dikemukakan sebelumnya.
Model Pembelajaran Konstruktivis Kognitif-Sosial
SINTAKS
Model terdiri dari empat fase. Fase pertama adalah fase invitasi, yakni fase
mengundang keingintahuan pembelajar, dengan cara menciptakan situasi yang
menimbulkan tanda
tanya dan
mengundang
pengungkapan prakonsepsi
49
pembelajar
terhadap
kejadian-kejadian
atau
fenomena
yang
ditanyakan
50
51
fase penentuan apakah pengajar perlu memberikan petunjuk lebih lanjut terhadap
persoalan-persoalan yang ditemui di kelas atau tidak.
Fase pertama, kedua, ketiga, dan keempat diwujudkan dengan memakai
strategi yang diajukan Yager seperti telah dijelaskan sebelumnya. Cara diskusi
dengan pembelajar ialah dengan cara pengajar terlibat akrab dengan pembelajar
terhadap pengidentifikasian konsepsi pembelajar yang belum sesuai dengan
konsepsi ilmuwan. Diskusi sangat menentukan pada fase kedua & ketiga. Selain
itu, peranan teman sebaya yang sudah mempunyai konsepsi ilmuwan yang
disederhanakan sebagai pemicu pengubahan konsepsi dari pembelajar yang lain,
juga diperlukan. Seberapa jauh pengajar terlibat dalam diskusi, bergantung kepada
berbagai konsepsi pembelajar yang muncul dalam diskusi.
SISTEM SOSIAL
Sistem sosial yang terjadi hendaknya bersifat kooperatif (bekerja sama), jadi
bukan bersifat kompetitif. Pengajar harus mendorong pembelajar terlibat dalam
diskusi. Lingkungan intelektual terbuka bagi semua ide yang relevan. Pengajar
dan pembelajar mempunyai hak berpartisipasi sama tentang ide yang dibicarakan.
Dialog antar pembelajar di dorong. Walaupun ada pengelompokan dalam
pelaksanaan eksperimen (karena keterbatasan alat dan waktu misalnya), suasana
tetap didorong untuk kooperatif, bukan kompetitif.
PRINSIP REAKSI
Reaksi pengajar dalam setiap fase adalah dalam membantu pembelajar
mengungkapkan konsepsinya. Selain itu, peranan pengajar adalah membantu
pembelajar menanyakan hal yang relevan bagi pengungkapan konsepsi mereka.
52
Pembelajar
dipandu
mengajukan pertanyaan
yang
berhubungan dengan
diskusi
berlangsung
seperti
dalam
suasana
ilmuwan
53
Penyusunan
model
pembelajaran
didasarkan
pada
bentuk
model
54
A. Perhatikan Gambar A
R1 dan R2 adalah resistor yang besar hambatannya dapat diperkecil atau diperbesar.
a) Jika R1 diperkecil, bagaimanakah kecerahan lampu?
1.
Bertambah 2. Berkurang 3. Tidak berubah; Jelaskan mengapa jawaban anda seperti itu.
b) Jika R2 diperbesar, bagaimanakah kecerahan lampu?
1.
Bertambah 2. Berkurang 3. Tidak berubah; Jelaskan mengapa jawaban anda seperti itu.
c)
Jika R2 diperkecil, bagaimanakah kecerahan lampu?
1.
Bertambah 2. Berkurang 3. Tidak berubah; Jelaskan mengapa jawaban anda seperti itu.
d) Jika R1 diperbesar, bagaimanakah kecerahan lampu?
1.
Bertambah 2. Berkurang 3. Tidak berubah; Jelaskan mengapa jawaban anda seperti itu.
B. Perhatikan Gambar B
Anda harus menentukan berapa kuat arus listrik yang mengalir melalui resistor R, oleh karena itu
gunakan semua pengetahuan anda tentang untaian arus searah untuk memperoleh jawabannya.
Anda harus menjelaskan setiap konsep yang anda pakai dalam menentukan jawabannya.
C. Perhatikan Gambar C
Tentukan hubungan antara kuat arus I1 dan I2. Anda harus menjelaskan setiap konsep yang anda
pakai dalam menentukan jawabannya.
55
56
dosen
perlu
melatih
kemampuannya
dalam
bertanya,
yang
dimaksudkan untuk pemanduan dan juga mencari hint (petunjuk, kiat, taktik
atau teknik) yang relevan dengan diversifikasi konsepsi mahasiswa pada saat
PBM berlangsung. Sebagai contoh kasus, jika misalnya jawaban-jawaban
57
58
pembelajaran
konstruktivis
kognitif-sosial.
Penerapan
model
pembelajaran seperti ini cukup luwes karena strategi Yager tersebut memberikan
keleluasan bagi dosen untuk menyesuaikan dengan kondisi kelas. Kesulitan yang
mungkin dihadapi oleh dosen dalam mengaplikasikan model ini adalah dalam
membina suasana belajar kooperatif. Kemungkinan besar suasana belajar seperti
itu dapat diperoleh berdasarkan pengalaman.
Non
Konstruktivis
Konvensioanal
dalam
59
Tabel 2.3
Hubungan antara Fungsi Pengajaran dan Bentuk Pengajaran Model
Pembelajaran Non Konstruktivis Konvensional
FUNGSI
KHUSUS
(Berkaitan
langsung
dengan
proses
belajar)
UMUM
BENTUK
PENGAJARAN/
KEGIATAN
Kuliah: Responsi;
Belajar Mandiri
(Diktat); Kulsponsi
Kulsponsi; Latihan
Terbimbing; Kelompok
Kerja; Praktikum;
Belajar Mandiri
(Menyelesaikan soal)
Praktikum;Kelompok
Kerja; Kuis; Pameran
Penyelesaian Soal;
Jawaban dalam Buku
(BPKM)
60
Film; Pembahasan
Contoh; Ekskursi/Studi
Wisata; KKN;
Berdasarkan pada Tabel 2.3, terutama untuk Fungsi Khusus (yang langsung
berkaitan dengan proses belajar) kelihatan bahwa tidak ada langkah (cara) khusus
untuk
menangani
prakonsepsi
mahasiswa
yang
umumnya
mengandung
miskonsepsi atau konsepsi keliru. Strategi mengajar yang dipakai didasarkan pada
proses belajar sebagai rangkaian empat tahap kegiatan: orientasi, latihan, umpan
balik, dan tindak lanjut. Dapat disimpulkan bahwa model pembelajaran tersebut
tidak memperhatikan bagaimana terjadinya belajar yang dipandang sebagai
pengubahan
konsepsi.
Pandangan
konstruktivis
tentang
belajar
sebagai