Anda di halaman 1dari 47

BAB II

LANDASAN TEORETIK

2.1 Konstruktivisme
Roth & Roychoudury (1993: 504-505) dengan tegas menyatakan ada dua
aliran pemikiran konstruktivisme, yakni satu yang dikembangkan berdasarkan
karya Piaget dan yang satu lagi dikembangkan berdasarkan karya Vygotsky.
Kedua aliran pemikiran tersebut sama-sama menekankan pentingnya interaksi
sosial dalam pembelajaran. Piagetian (sesuai dengan karya Piaget) memokuskan
pada proses intra individual dalam pengkonstruksian pengetahuan, dan
Vygotskian (sesuai dengan karya Vygotsky) memokuskan pada proses
pengkonstruksian inter individual. Pandangan konstruktivisme Piaget (disebut
juga konstruktivisme kognitif) memandang pembelajaran dalam

situasi

kolaboratif difasilitasi oleh konflik kontinu di antara bentuk-bentuk berpikir


antagonistik. Resolusi konflik tersebut dicapai ketika individu yang berkolaborasi
mencoba membangun ekuilibrasi kognitif dalam pemahaman mereka melalui
pertimbangan

resiprok

pandangan

alternatif.

Ditinjau

dari

pandangan

konstruktivis Vygotsky (konstruktivisme sosial), pengetahuan dikonstruksi secara


kolaboratif antara individu, yang selanjutnya keadaan tersebut dapat disesuaikan
oleh

setiap

individu.

Proses

penyesuaian

tersebut

ekuivalen

dengan

pengkonstruksian pengetahuan secara intra individu. Dengan demikian, ketika


konstruktivisme kognitif memokuskan pada individu sebagai 'locus (tempat)'
pengkonstruksian pengetahuan, ternyata konstruktivisme sosial memokuskan pada
situasi sosial [mencakup budaya, artefak (artifacts), alat (tools), serta bahasa] dan
14

15

individu sebagai tempat pengkonstruksian pengetahuan (Roth & Roychoudury,


1993: 504).

2.1.1 Konstruktivisme Kognitif Piaget


Dalam menjelaskan mekanisme perkembangan kognitif, Piaget mengajukan
fungsi intelek anak dari tiga perspektif. Ketiganya ialah: (1) proses yang terjadi
ketika berinteraksi dengan lingkungan (yakni: asimilasi, akomodasi dan
ekuilibrasi), (2) cara bagaimana pengetahuan disusun (pengalaman fisik dan
logiko-matematik), dan (3) perbedaan kualitatif dalam berpikir pada berbagai
tahap perkembangan (skema tindakan dari berpikir praoperasional, operasi
konkret dan formal) (Gredler, 1992: 223). Pada Tabel 2.1 dicantumkan pengertian
ide dasar teori Piaget (Trowbridge & Bybee, 1990:83).
Tabel 2.1
Konsep struktur kognitif, fungsi dan tahap
* Inteligensi (kecerdasan) adalah kemampuan mengorganisasi dan mengadaptasi lingkungan.
* Fungsi-fungsi kognitif pengorganisasian dan pengadaptasian berkontribusi terhadap
perkembangan struktur kognitif.
* Fungsi-fungsi kognitif tidak bervariasi terhadap perkembangan
* Struktur-struktur kognitif bervariasi terhadap perkembangan
* Suatu himpunan (kumpulan, set) struktur-struktur pada suatu ekuilibrium relatif disebut tahap.
* Setiap tahap mngintegrasikan struktur kognitif dari tahap sebelumnya ke orde struktur baru
yang lebih tinggi.

Piaget mencatat fakta bahwa ketika anak berpikir, mereka mesti


mengadaptasi pengalaman yang langsung dialami dan mode pemikiran dalam
hubungannya dengan pengalaman tersebut. Hasilnya adalah suatu mode pemikiran
baru yang lebih inklusif. Ketika anak berinteraksi dengan lingkungan, mereka
menemui situasi dan objek alamiah yang belum mereka kenal. Situasi ini
menimbulkan kekaburan atau pertanyaan bagi individu. Piaget menyebutkan hal

16

yang membingungkan individu tersebut sebagai keadaan ketidakseimbangan


kognitif (cognitive disequilibrium). Untuk mengatasi situasi yang tidak menentu
itu, individu mesti mengubah cara berpikirnya, atau memakai istilah Piaget,
individu mesti mengadaptasi secara mental (Trowbridge & Bybee, 1990: 72).
Adaptasi terdiri dari asimilasi dan akomodasi. Asimilasi adalah pengambilan
pengalaman dari lingkungan dan menggabungkannya dengan cara berpikir yang
dimiliki sehingga pengalaman baru dapat digabungkan ke dalam struktur kognitif.
Akomodasi adalah penyesuaian (adjustment) struktur kognitif terhadap situasi
baru. Proses pengasimilasian dan pengakomodasian biasanya terjadi bersama.
Struktur

kognitif

berubah

melalui

pengadaptasian.

Pengadaptasian

merupakan kecenderungan dasar organisme untuk menyesuaikan dengan


lingkungan. Ide sentral pada keadaan ini adalah bahwa pengalaman mempunyai
efek pada struktur kognitif. Pengembangan diperoleh melalui pengadaptasian
secara kontinu terhadap lingkungan. Pengasimilasian terhadap aksi motorik atau
kognitif

didasarkan

pada

sruktur

kognitif

yang

dimiliki.

Individu

menginterpretasikan situasi lingkungan dalam term (istilah) struktur kognitif yang


ada. Inilah yang diartikan sebagai pemodifikasian realitas dalam pemecahan
melalui pemakaian eksplanasi yang tersedia, sebagai usaha menginterpretasikan
realitas dengan cara melakukan penginderaan terhadap realitas tersebut. Dengan
kata

lain,

individu

mencoba

beradaptasi

terhadap

lingkungan

melalui

pengasimilasian.
Pengakomodasian adalah komponen lain dari proses adaptasi. Struktur
kognitif diubah agar cocok dengan informasi yang datang. Hal ini merupakan

17

pemodifikasian eksplanasi yang dimiliki agar cocok dengan realitas. Dalam proses
pengakomodasian pada lingkungan, struktur kognitif dikembangkan makin luas
atau digeneralisasi ketika mereka digabungkan dalam meningkatkan aspek yang
lebih luas tentang dunia. Proses pengadaptasian ini mempunyai batas tertentu.
Piaget menyatakan bahwa asimilasi dan akomodasi adalah dua sisi dari koin
adaptip (dalam Trowbridge & Bybee, 1990: 91), yakni keduanya dapat dipisah
dalam pendiskusian, tetapi keduanya tidak dapat dipisah ketika individu
berinteraksi dengan lingkungan.
Bagaimana individu dapat secara simultan mempertahankan integritas
struktur kognitif dan mengubah sruktur kognitif? Piaget memakai prinsip
pengorganisasian dan pengadaptasian yang dikenal dalam biologi, yakni dipakai
sebagai metapora bagi fungsi kognitif. Pengorganisasian dan pengadaptasian
merupakan fungsi yang bersifat komplementer. Pengorganisasian dapat dipikirkan
sebagai kecenderungan bawaan dasar organisme. Hal ini benar secara biologi dan
dipakai Piaget secara psikologi. Pengorganisasian adalah kecenderungan
(tendensi) tindakan (aksi) pensistemasian dan pengintegrasian, yang bersifat
motorik atau kognitif menjadi struktur koheren yang berorde tinggi.
Seperti halnya asimilasi dan akomodasi, ekuilibrasi juga ada kesamaannya
dengan proses biologi. Dalam pelaksanaan fungsi biologi, organisme mesti
menjaga suatu keadaan mantap dalam dirinya sendiri, seraya pada waktu yang
sama tetap terbuka terhadap kejadian-kejadian di lingkungan yang diperlukan
untuk pertumbuhan dan agar terus bertahan hidup. Istilah ekuilibrasi dalam
perkembangan kognitif diartikan sebagai pengaturan diri (self regulation) yang

18

berkesinambungan yang memungkinkan individu tumbuh, berkembang, dan


berubah, sementara tetap menjaga kemantapan. Namun, ekuilibrasi bukan
keseimbangan kekuatan (yang merupakan keadaan tidak bergerak (statis)),
melainkan merupakan proses yang dinamis yang secara terus menerus mengatur
tingkah laku (Berk, 1989: 224). Ekuilibrasi meregulasi proses berpikir individu
pada tiga aras fungsi kognitif yang berbeda. Ketiganya adalah hubungan antara (1)
asimilasi dan akomodasi dalam kehidupan individu sehari-hari, (2) sub-sub sistem
pengetahuan yang timbul pada diri individu, dan (3) bagian-bagian dari
pengetahuan individu dan sistem pengetahuan sosial.
Peranan ekuilibrasi dalam meregulasi asimilasi dan akomodasi adalah
mencegah jangan sampai yang satu terjadi atas kerugian yang lain, serta
mengusahakan keseimbangan antara sub-sub sistem yang berkembang dengan
kecepatan yang berlainan, yang dapat menghilangkan konflik di antara sub-sub
sistem tersebut. Gangguan sering bisa dipecahkan dengan jalan pemodifikasian
struktur internal individu, atau akomodasi. Jika terjadi akomodasi dalam proses
berpikir anak, maka tercapailah satu keadaan keseimbangan yang baru atau
ekuilibrium. Pada aras fungsi yang ketiga, ekuilibrasi meregulasi hubungan antara
bagian-bagian dari pengetahuan individu dan pengetahuan totalnya. Piaget
menyatakan bahwa totalitas pengetahuan itu selalu didifferensiasikan atas bagianbagian dan dipadukan kembali menjadi keseluruhan. Ekuilibrasilah yang
mengatur proses tersebut. Dengan demikian, ekuilibrasi merupakan faktor yang
menjaga kemantapan selama proses interaksi yang terus terjadi dan perubahan
yang juga terus menerus terjadi. Tanpa ekuilibrasi, perkembangan kognitif bisa

19

kehilangan kesinambungan dan keterpautan, dan menjadi terpotong-potong serta


morat-marit (Gredler, 1992: 225-227).
Berdasarkan pada uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa proses dasar yang
terjadi pada penyusunan pengetahuan adalah asimilasi dan akomodasi yang diatur
oleh ekuilibrasi. Selain itu, Piaget menjelaskan bahwa penyusunan pengetahuan
berdasarkan jenis pengalaman pengetahuan yang terjadi pada diri individu yang
belajar. Jenis-jenis tersebut adalah pengalaman fisik dan pengalaman logiko
matematik. Setiap pertemuan langsung antara individu dengan lingkungan,
dimana individu mengabstraksikan ciri-ciri fisik subjek disebut pengalaman fisik.
Dalam pengalaman fisik, suatu sifat tertentu seperti warna atau bentuk
diasimilasikan kedalam struktur mental individu yang belajar. Pada waktu yang
sama terjadi pula akomodasi. Struktur mental individu

mungkin lalu

menyesuaikan diri pada intensitas warna (cerah atau suram), tingkat warna
tertentu (muda atau gelap) dan sebagainya. Dengan demikian, pengalaman fisik
meliputi baik proses asimilasi maupun akomodasi. Sumber pengalaman baru bagi
individu yang belajar dalam pengalaman fisik ialah objek-objek yang ada di luar
individu tersebut. Prosesnya adalah melalui pengabstrakan ciri-ciri fisik objek
oleh individu. Piaget menyebut pengetahuan berdasarkan pengalaman seperti ini
sebagai pengetahuan eksogen atau proses abstraksi empirik (Gredler, 1992: 225227). Sifat jenis pengalaman dengan pengertian seperti itu hanya mencakup
abstraksi sifat-sifat fisik yang inheren dalam objek tertentu, seperti hijaunya
rumput atau birunya langit.

20

Sumber pengalaman logiko-matematik adalah proses berpikir individu yang


belajar itu sendiri. Dalam pengalaman logiko-matematik, kegiatannya berupa
refleksi tindakan waktu sekarang dan mereorganisasikannya pada tingkat yang
logis. Aktivitas ini sering disebut abstraksi reflektif, karena meliputi proses
berpikir yang berefleksi pada diri sendiri (Gredler, 1992, 227-228). Sumber
pengetahuan logiko matematik bersifat internal bagi individu yang belajar
(merupakan aktivitas individu sendiri).
Tabel 2.2
Ikhtisar empat tahap perkembangan
Tahap

Penjelasan umum (overview)

Periode
Sensorimotoris
(lahir sampai usia
1.5-2 tahun)

Prasimbolik dan praverbal. Inteligensi (kecerdasan) mencakup pengembangan


skema-skema tindakan. Contoh, meraih-menggenggam-menarik dilakukan
untuk mengambil objek yang jauh. Pada tahun kedua: anak membedakan
dirinya dari lingkungan. Anak mengembangkan identitas tubuhnya dan
lainnya dalam waktu dan ruang serta konsep tentang sifat permanen objek.
Periode
Berpikir sebagian (setengah: partially) logis mulai. Pengertian tentang sifat
Praoperasional
permanen objek membimbing anak menuju identitas-identitas kualitatif. Anak
(umur 2-3 tahun
mengerti, bahwa air yang dituangkan ke dalam wadah yang lain adalah air
sampai umur 7-8 yang sama; atau a=a. Proses berpikir didasarkan pada isyarat (petunjuk)
tahun)
perseptual dan anak tidak sadar akan pernyataan-pernyataan yang saling
bertentangan. Contoh: sabun mengapung karena kecil dan sepotong besi
tenggelam karena tipis. Perkembangan bahasa mulai dan meningkat cepat;
ujaran anak yang spontan didominasi ujaran monolog.
Periode
Prilaku impulsif digantikan setidaknya oleh berpikir refleksi permulaan; anak
Operasional
dapat melihat pandangan anak/orang lain. Permainan kelompok mencakup
Konkret (umur 7-8 persetujuan terhadap aturan-aturan dan kerjasama berdasarkan aturan. Cara
tahun sampai umur berpikir logis yang dikaitkan dengan objek-objek konkret berkembang
12-14 tahun)
(operasi konkret). Berpikir tidak terikat dengan isyarat perseptual; Contoh:
lebih panjang tidak sama artinya dengan lebih jauh.
Periode
Operasional
Formal (umur di
atas 14 tahun)

Berpikir tentang rencana kehidupan (masa depan) dan mulai berperan orang
dewasa. Kecakapan menangani secara logis dalam situsi multifaktor mulai
(operasi formal). Individu dapat bernalar dari situasi hipotetis ke konkret.

Piaget pada awal penelitiannya tentang bagaimana anak berpikir, telah dapat
mengidentifikasi empat periode atau tahap perkembangan kognitif. Tahap
perkembangan tersebut adalah sensorimotoris, praoperasional, operasional

21

konkret dan operasional formal (Gredler, 1992: 229). Keempat tahap tersebut
diikhtisarkan pada Tabel 2.2 (Gredler, 1992: 230).
Bentuk paling maju dari berpikir logis, yang dapat diidentifikasi Piaget,
adalah operasi formal. Proses-proses berpikir logis dikarakterisasi sebagai
kemampuan memformulasi himpunan-himpunan hipotesis. Kemudian hipotesis
yang kompatibel dengan situasi yang dipelajari dites (Inhelder & Piaget, 1958:
250). Pada tingkat operasional formal, penalaran individual adalah dari suatu
kerangka kerja (hipotesis) menuju pengujian teori.
Dalam perkembangan kognitif, yang paling penting dicatat adalah pencapaian
tingkat berpikir yang lebih tinggi tidak mudah dicapai. Anak mesti memikirkan
kembali pandangannya tentang dunia. Langkah penting dalam proses ini adalah
pengalaman konflik kognitif (cognitive conflict), yakni, anak menjadi tanggap
terhadap fakta bahwa dia memegang dua pandangan yang kontradiktif tentang
situasi dan keduanya tidak dapat sama-sama benar. Langkah ini yang disebut
sebagai

langkah

terjadinya

konflik

kognitif

atau

ketidakseimbangan

(disequilibrium). Bila anak menyadari bahwa cara berpikirnya bertentangan


dengan kejadian di lingkungan, maka cara berpikir sebelumnya direorganisasi.
Reorganisasi tersebut, yang menghasilkan tingkat berpikir yang lebih tinggi
adalah akomodasi seperti dijelaskan pada bagian awal uraian ini.

2.1.2 Konstruktivisme Sosial Vygotsky


Di dalam bagian ini diuraikan corak konstruktivisme yang didasarkan pada
teori Vygotsky. Uraian dibatasi dengan

cara mengarahkan pada teori yang

22

diperkirakan relevan

dengan model pembelajaran yang akan dikembangkan.

Karya Vygotsky bukan hanya yang diuraikan dalam bagian ini.


Teori Piaget deemphasized (tidak menekankan) pentingnya bahasa sebagai
sumber utama perkembangan kognitif. Teori tersebut ditentang oleh seorang
psikolog Rusia, Lev Semanovich Vygotsky (1896-1934), yang ternyata
penelitiannya belum diketahui di Amerika Serikat sampai karyanya diterjemahkan
ke dalam bahasa Inggeris pada 1960. Sejak itu, karya Vygotsky dikenal luas
dalam bidang perkembangan anak (Berk, 1989: 255).
Sejak karya Piaget tentang bahasa dan pemikiran tersebar luas di Eropah dan
Amerika Serikat, psikolog anak dan pendidik mulai menentang idenya. Ide para
psikolog anak dan pendidik yang menentang pendapat Piaget tersebut didasarkan
pada hasil observasi mereka terhadap anak (Berk, 1989: 256). Ide penentang yang
paling kuat berasal dari Vygotsky yang tidak setuju dengan ide Piaget yang
menyatakan bahasa anak sebagian besar bersifat egosentris dan nonsosial, dan
pembicaraan egosentris tidak berperanan dalam perkembangan kognitif anak.
Vygotsky (dalam Berk, 1989: 257) menunjukkan bahwa yang dinyatakan
Piaget sebagai bersifat monolog sebenarnya terjadi paling sering dalam situasi
tertentu, yang merupakan fakta yang diyakininya memberi petunjuk penting bagi
kesignifikanannya. Ketika anak terlibat dalam suatu tugas yang mereka jumpai
sebagai rintangan dan kesulitan, ternyata kejadian berbicara seperti itu menjadi
dobel. Di dalam situasi seperti itu, kelihatannya yang dilakukan anak adalah
mencoba menyelesaikan masalah dengan cara berbicara terhadap diri mereka
sendiri. Pembicaraan seperti itu diyakini Vygotsky sebagai komunikasi pada diri

23

sendiri untuk tujuan membimbing dan mengarahkan diri. Pendapat Vygotsky yang
paling kontras dengan pendapat Piaget adalah bahwa bahasa, bahkan pada usia
anak paling muda, sebenarnya secara inheren bersifat sosial, dan bahwa
pembicaraan yang disebut Piaget bersifat egosentris sebenarnya berasal dari awal
komunikasi sosial. Ketika anak-anak memakai bahasa untuk berkomunikasi
dengan orang lain, kuantitas dan kekompleksan komunikasi terhadap diri juga
berkembang,

dan

menjadi

lebih

efektif

ketika

mereka

merencanakan,

mengorganisasikan dan mengeksekusikan tindakan mereka dalam aktifitas mereka


sehari-hari. Menurut Vygotsky, perilaku anak berbicara terhadap diri tidak akan
hilang dengan bertambahnya usia seperti yang dikatakan Piaget, melainkan
perlahan-lahan menuju ke dalam diri, kontinu menjadi dialog verbal yang masingmasing kita bahwa ke dalam diri, dan kita pakai membimbing prilaku dalam
situasi sehari-hari.
Menurut Berg (1989: 257), kebanyakan temuan penelitian mendukung
Vygotsky, sehingga kebanyakan peneliti sekarang ini menyebut egosentris sebagai
pembicaraan pribadi (private speech). Temuan studi akhir menolak konklusi
Piaget yang menyatakan bahwa anak- anak yang terlibat dalam pembicaraan
pribadi berkelajuan tinggi, tidak mahir dalam komunikasi sosial (Berg, 1989:
257). Temuan tersebut mengungkapkan bahwa anak prasekolah yang berbicara
banyak pada diri mereka sendiri, mempunyai partisipasi sosial tinggi dan lebih
berkompetensi sosial daripada anak yang sedikit berbicara pribadi. Selain itu,
bukti akhir (dalam Berk, 1989) menyarankan bahwa anak yang cerdas, maju
secara kognitif, memakai lebih banyak bicara pribadi pada umur muda, yang

24

merupakan hasil yang konflik dengan asumsi

Piaget yang menganggap itu

sebagai indikasi ketidakmatangan kognitif anak yang masih muda.


Vygotsky (dalam Berk, 1989: 257) percaya bahwa semua fungsi mental yang
lebih tinggi berasal dari hubungan sosial dan muncul pertama kali pada suatu
daerah (bidang) hubungan interpersonal antara individu, sebelum mereka berada
pada suatu daerah (bidang) intra psikis (intra psychic), dalam individu. Dia
menekankan peranan sentral komunikasi sosial dalam perkembangan berpikir
anak, dengan memahami pembelajaran anak mengambil tempat dalam Zone of
Proximal Development: ZPD [Zona Perkembangan (ter)Dekat: ZPD]. Tugastugas yang berada dalam Zona Perkembangan (ter)Dekat anak adalah sesuatu
yang begitu sulit dilakukan sendiri, tetapi mereka dapat menjadi terampil dengan
bimbingan dan bantuan verbal orang dewasa atau anak lain yang lebih terampil.
Dengan demikian, anak dapat mengambil bahasa instruksi verbal tersebut,
membuatnya sebagai bagian berbicara pribadi mereka, dan memakainya untuk
mengorganisasi usaha bebas mereka dengan cara yang sama.
Selanjutnya, perlu diingatkan di sini bahwa Piaget tentu saja tidak
mengabaikan pentingnya interaksi sosial dalam perkembangan kognitif, tetapi
penekanan peranan interaksi sosial tersebut berbeda dengan yang dinyatakan
Vygotsky. Piaget tidak memikirkan bimbingan verbal orang dewasa sebagai
instrumen perubahan kognitif, melainkan menekankan pentingnya interaksi
dengan kawan sebaya (peer). Kawan sebaya (sesama) diyakini Piaget, lebih
disukai dari pada orang dewasa dalam menentang keyakinan egosentris anak dan

25

menyebabkan mereka menjadi lebih tanggap (awas, sadar) terhadap titik pandang
yang berbeda (Piaget dalam Berk, 1989: 258).
Memang ada bukti bagus yang mendukung bahwa argumen dan ketidak
setujuan dengan kawan sebaya (sesama) memfasihkan perkembangan berpikir
anak, seperti juga bukti bagus yang mendukung bahwa pertolongan dan
bimbingan orang dewasa atau kawan sebaya yang lebih terampil juga
memfasilitasi perkembangan berpikir anak dalam

menyelesaikan tugas tugas

yang begitu sulit dilakukan anak sendirian (Kerwin dan Day dalam Berk, 1989:
258). Dengan demikian, Piaget dan Vygotsky sebenarnya menekankan aspek
(segi, facet) berbeda dari pengalaman sosial anak, yang dalam hal ini keduanya
berkontribusi terhadap perkembangan anak (Berk, 1989: 258).
Vygotsky memandang pembelajaran dan perkembangan tidak sebagai proses
tunggal, bukan pula sebagai proses gayut, melainkan sebagai satuan pembelajaran
dan

perkembangan

(learning-and-development)

yang

berinteraksi

secara

kompleks. Menurut Vygotsky, formasi konsep adalah suatu aktivitas sosialbudaya-historis yang berisi kunci kebulatan (keseluruhan) sejarah perkembangan
mental anak (Newman & Holzman, 1993: 63-64). Pemerolehan kata baru bagi
anak bukan merupakan kulminasi, melainkan merupakan awal pengembangan
konsepsi. Pemaknaan kata adalah suatu proses aktif, yakni proses dasar dan
menentukan dalam perkembangan berpikir dan berbicara anak (Newman &
Holzman, 1993: 64-65). Bowen menganggap pandangan Vygotsky tentang
peranan bahasa dalam belajar konsep dapat dihubungkan dengan persepsi Kuhn
tentang peranan paradigma dalam kemajuan sains, sedangkan pandangan Piaget

26

pada psikologi perkembangan meminimasi pentingnya peranan bahasa dan


pengajaran (Bowen dalam Novak, 1979: 45). Novak dan Ausubel mendasarkan
pandangan tentang perkembangan kognitif pada perkembangan bahasa yang
ternyata lebih dekat dengan pemikiran Vygotsky daripada Piaget (Novak, 1979:
120). Novak menyatakan bahwa sebagai kenderaan pengantar utama untuk
mencapai orde fungsi kognitif yang lebih tinggi, Piaget meminimasi peranan
bahasa, sebagai gantinya dia memokuskan pada kematangan (berhubungan
dengan umur) dan pengalaman (Novak, 1979: 120).

2.2 Implikasi Konstruktivisme dalam Pengajaran IPA


Dalam bagian ini diuraikan implikasi konstruktivisme terutama dalam
pengajaran IPA. Uraian diusahakan didasarkan pada hasil penelitian yang
dipublikasikan dalam berbagai media cetak. Uraian tidak hanya mengutip yang
ada di media sumber, tetapi sedapat mungkin dianalisis, disintesis dan dievaluasi,
agar uraian itu bermanfaat sebagai bahan dalam mengembangkan model
pembelajaran Konstruktivis Kognitif-Sosial dalam penelitian ini. Sintesis, analisis
dan evaluasi yang dilakukan peneliti terhadap implikasi konstruktivisme dalam
pengajaran IPA didasarkan pada asumsi bahwa teori pembelajaran atau
pengajaran konstruktivis dapat diturunkan langsung dari teori belajar atau teori
pengetahuan konstruktivis dan teori pembelajaran atau pengajaran konstruktivis
masih berkembang terus.
Uraian dalam bagian ini dimaksudkan untuk mengungkap peranan pandangan
konstruktivis

terhadap

persoalan-persoalan

yang

berhubungan

dengan

27

pengkonsepsian konsep-konsep IPA. Akan terlihat nantinya bahwa persoalan


miskonsepsi atau konsepsi keliru IPA dan pandangan belajar pengubahan
konsepsi (conceptual change) pada dasarnya bersumber dari implikasi
konstruktivisme dalam pengajaran IPA. Dapat pula dilihat bahwa peranan guru
menurut konstruktivisme sangat berbeda dengan peranan guru menurut
positivisme.
Pada

1975 American Association of Physics Teachers mengadakan

workshop tentang pengajaran fisika dan pengembangan penalaran (Collea et al.,


1975). Workshop tersebut difokuskan pada bagaimana menerapkan tahap-tahap
perkembangan yang telah diidentifikasi Piaget dalam pengajaran fisika. Yang
paling

menarik

pada

workshop

tersebut

adalah

pengembangan

cara

mengklassifikasikan soal (problem) fisika sebagai soal konkret dan formal.


Collea et al. [1975: (5-5)] menyatakan bahwa Soal Konkret Fisika adalah
soal fisika yang hanya dapat dijawab dengan pola penalaran konkret melalui
pemakaian langsung definisi atau persamaan. Lebih lanjut, Collea et al.[1975: (55)] menyatakan bahwa suatu soal fisika adalah soal konkret jika terhadap
pemecahan soal tersebut dapat dinyatakan >ya= untuk menjawab salah satu atau
beberapa atau semua pertanyaan-pertanyaan berikut:
C1. Dapatkah saya memakai rumus untuk menentukan solusi soal itu?
C2. Dapatkah saya mengamati variabel dalam soal secara langsung?
C3. Apakah perhitungan sederhana, tidak memerlukan proporsi, interpretasi grafik
dari variabel abstrak, atau memilih dari antara model atau teori?
C4. Apakah data yang diberikan dalam soal perlu dan cukup?

28

Collea et al. [1975: (5-5)] menyatakan bahwa Soal Formal Fisika adalah
soal fisika yang hanya dapat dijawab dengan pola penalaran formal, melalui
penganalisisan menyeluruh dan melakukan improvisasi. Lebih lanjut, Collea et al.
[1975: {(5-5)-(5-6)}] menyatakan bahwa suatu soal fisika adalah soal formal jika
terhadap pemecahan soal tersebut dapat dinyatakan >ya= untuk menjawab salah
satu atau beberapa atau semua pertanyaan-pertanyaan berikut:
F1. Perlukah saya mengkombinasikan rumus-rumus atau menurunkan suatu
rumus?
F2. Perlukah saya memperkenalkan variabel-variabel tambahan terhadap variabelvariabel yang diberikan atau ditanyakan dalam soal?
F3. Perlukah saya memutuskan (menentukan) pendekatan atau teori mana yang
paling tepat (sesuai) terhadap kondisi-kondisi dalam soal?
F4. Perlukah saya memilih data yang relevan dari luar atau yang berkaitan dengan
solusi, yang memungkinkan soal tidak memiliki solusi atau mempunyai solusi
lebih dari satu?
F5. Perlukah saya merencanakan secara keseluruhan sebelum mulai dengan suatu
persamaan?
Pada workshop tersebut di atas dianjurkan memakai strategi siklus belajar
(learning cycle) untuk memperkaya regulasi (pengaturan) diri (self regulation)
setelah kepada peserta didik diperkenalkan ide baru (Collea et al., 1975: 8-1).
Pemakaian strategi siklus belajar untuk memperkaya regulasi diri tersebut
dimaksudkan

untuk

mengembangkan

kemampuan

peserta

didik

dalam

memecahkan soal-soal formal. Dengan kata lain, pengajaran dengan strategi siklus

29

belajar diharapkan dapat meningkatakan hasil belajar dalam bentuk kemampuan


memecahkan soal-soal formal.
Trumper & Gorsky (1993: 637-648) menemukan ketidaksignifikanan relasi
antara prakonsepsi peserta didik sekolah menengah atas tentang energi dengan
operasi pada tingkat kognitif (cognitive levels of operations). Mereka temukan
pula bahwa peserta didik yang mempunyai skor tingkat kognitif lebih tinggi
mempunyai hasil belajar signifikan lebih baik dibandingkan hasil belajar peserta
didik yang mempunyai skor tingkat kognitif lebih rendah. Selain itu, mereka
temukan pula bahwa kesuksesan peserta didik dalam mempelajari konsep energi
merupakan fungsi pengetahuan awal. Dengan kata lain, prakonsepsi peserta didik
sebelum pembelajaran akan difasilitasi pada waktu proses belajar di kelas.
Penelitian Trumper & Gorsky tersebut setidaknya dapat memberi petunjuk pada
perancangan

model

pembelajaran

konstruktivis

kognitif-sosial,

yakni

pembelajaran (pengajaran) yang didasarkan pada teori Piaget (regulasi diri) dapat
memfasilitasi belajar peserta didik. Dengan kata lain, dapat diduga bahwa dengan
suatu model pembelajaran tertentu, yang didasarkan pada pengeksplorasian
terjadinya konflik kognitif, seperti pada strategi siklus belajar atau strategi lain
yang dapat memfasilitasi konflik kognitif, maka belajar memecahkan soal-soal
formal fisika peserta didik dapat difasilitasi. Namun, penelitian tentang pengaruh
pengajaran yang didasarkan pada pandangan konstruktivis kognitif sosial terhadap
kemampuan memecahkan soal-soal formal fisika masih perlu dilakukan, karena
belum ada diliput oleh penelitian-penelitian semacam penelitian Trumper &
Gorsky tersebut.

30

Berdasarkan temuan penelitiannya, Lawson (1989;16-17) menyimpulkan


bahwa apapun pola penalaran atau satuan set (perangkat) penyatuan pola
penalaran yang diukur suatu tugas (task), tidak semata-mata berguna hanya dalam
IPA dan matematika melainkan muncul pada kegunaan-kegunaan yang bersifat
umum (general importance). Berdasarkan kesimpulan tersebut, Lawson
menyarankan agar para pendidik tidak hanya mengidentifikasi set penyatuan pola
penalaran dalam penyelesaian suatu tugas, melainkan mengembangkan dan
mengimplementasikan suatu pembelajaran yang dapat menjamin jumlah persen
peserta didik lebih besar mencapai set pola penalaran tersebut. Saran Lawson
tersebut mendukung pentingnya penelitian tentang dapat tidaknya model
pembelajaran konstruktivis kognitif-sosial meningkatkan kemampuan peserta
didik dalam memecahkan soal-soal formal fisika. Lebih lanjut, Lawson
menyimpulkan bahwa peserta didik yang telah menginternalisasi pola penalaran
hipotetiko-deduktif mempunyai miskonsepsi atau konsepsi keliru yang lebih
sedikit dibandingkan dengan peserta didik yang mempunyai penalaran empirisinduktif. Hal ini disebabkan pola penalaran hipotetiko-deduktif perlu untuk
memunculkan miskonsepsi atau konsepsi keliru awal (prakonsepsi yang bersifat
miskonsepsi atau konsepsi keliru sebelum pembelajaran). Lawson menganjurkan
pemakaian strategi siklus belajar yang didasarkan pada faham konstruktivis dalam
mengembangkan model pembelajaran untuk penguasaan konsep (concept
acquisition) dan pengembangan penalaran (reasoning develovment). Menurut
Lawson (1989:26), pemakaian siklus belajar dapat menyediakan kesempatan bagi
peserta didik untuk mengungkap konsepsi awal (prior conceptions)/miskonsepsi

31

atau konsepsi keliru dan memberikan argumen, dan mentesnya. Dengan demikian
akan terjadi disekuilibrium (konstruktivisme Piaget) dan pengembangan konsepsi
serta pola penalaran yang lebih sesuai (adequate). Hasil penelitian Lawson
tersebut di atas setidaknya menyarankan perlu dikembangkan kemampuan
menyelesaikan soal-soal formal fisika melalui pembelajaran dengan model
pembelajaran konstruktivis. Kemampuan menyelesaikan soal formal fisika
tersebut pada hakikatnya adalah penerapan pola berpikir hipotetiko-deduktif
dalam mengerjakan tugas (task).
Menurut Tytler (1996:11), siklus belajar bahkan seolah-olah sudah menjadi
suatu kepercayaan (religion) di AS dalam menerapkan pandangan konstruktivis
kognitif dalam pembelajaran IPA. Tentu saja masih banyak strategi belajar yang
lain yang dapat diterapkan dalam pembelajaran IPA, yang didasarkan pada
pandangan konstruktivis kognitif. Pada dasarnya strategi-strategi tersebut terdiri
dari tiga tahap, yakni tahap 1: pengeksposan prakonsepsi/miskonsepsi atau
konsepsi keliru (alternative frameworks); tahap 2: penimbulan konflik konsepsi;
dan tahap 3: pendorongan terjadinya akomodasi kognitif (Tytler:1996:12).
Selain strategi-strategi belajar yang didasarkan pada pandangan konstruktivis
kognitif di atas, Glasson & Lalik (1993:187-207) mengajukan suatu variasi
terhadap siklus belajar dengan memberikan perhatian pada pandangan
konstruktivis sosial (pentingnya bahasa dalam mengembangkan konsepsi) dalam
memodifikasi siklus belajar tersebut. Temuan penelitian Glasson & Lalik antara
lain: semua guru yang diikutkan dalam penelitian menyatakan siklus belajar dapat
dipakai sebagai kerangka kerja untuk mengintegrasikan bahasa dan tindakan

32

dalam pengajaran IPA; dan hasil penelitian konsisten dengan pendapat Vygotsky
(konstruktivisme sosial), yakni peserta didik bersandar pada komunikasi
interpersonal ketika mencoba memecahkan (menyelesaikan) problem. Menurut
peneliti, temuan penelitian Glasson & Lalik tersebut kelihatannya dapat dipakai
sebagai kerangka kerja untuk mengintegrasikan dua landasan teori pengetahuan
(konstruktivisme Piaget dan konstruktivisme Vygotsky).
Pada pertengahan 1970, para peneliti pendidikan IPA meningkatkan perhatian
pada apa yang telah diketahui peserta didik (anak) sebelum pembelajaran,
terutama tentang apakah peserta didik memahami ide-ide saintifik yang telah
mereka pelajari (Bell, 1993:11). Berdasarkan temuan-temuan para peneliti
pendidikan IPA tersebut muncullah istilah-istilah: sains anak (childrens science);
miskonsepsi (misconceptions), konsepsi alternatif (alternative conceptions),
kerangka kerja alternatif (alternative frameworks), prakonsepsi (preconceptions),
ide intuitif (intuitive ideas) dan keyakinan yang tidak ditutorialkan (untutored
beliefs), yang sekarang ini dapat diartikan sebagai ide yang dipegang peserta didik
ketika mereka memasuki pembelajaran IPA (Bell, 1993:21). Dalam disertasi ini
dipakai istilah prakonsepsi untuk pengertian tersebut. Perlu ditekankan di sini
bahwa ide yang dipegang peserta didik tersebut dapat saja sudah sesuai atau
belum sesuai dengan ide yang dipegang IPAwan sekarang ini. Ide-ide prakonsepsi
seperti itu diistilahkan sebagai konsepsi keliru dalam disertasi ini. Agar
pemakaian istilah konsepsi keliru dapat dibedakan dengan istilah prakonsepsi
dalam disertasi ini, perlu dijelaskan lebih dulu pengertian konsep yang dipakai
dalam disertasi ini.

33

Van den Berg (editor) (1991:8) menyimpulkan pengertian konsep sebagai


abstraksi dari ciri-ciri sesuatu yang dipakai untuk mempermudah komunikasi
antara manusia dan yang memungkinkan manusia berpikir. Kesimpulan tersebut
didasarkan pada pengertian konsep yang diajukan Ausubel et al. (dalam van den
Berg (editor), 1991:8), yakni sebagai objek-objek, kejadian-kejadian, situasisituasi, atau sifat-sifat yang memiliki atribut-atribut kritis (khas) dan dinyatakan
dalam suatu kultur dengan tanda atu simbol yang diterima. Pengertian tersebut
diambil sebagai pegangan terhadap pengertian konsep dalam disertasi ini. Lebih
lanjut, konsepsi dalam disertasi ini diartikan sebagi interpretasi seseorang
terhadap suatu konsep. Seterusnya, konsepsi keliru fisika diartikan sebagai
konsepsi fisika seseorang yang tidak sama dengan konsepsi fisika para fisikawan
(penginterperetasian konsep fisika menurut fisikawan) (van den Berg (editor),
1991:10). Konsepsi fisikawan pada umumnya akan lebih canggih, lebih komplit,
lebih rumit, yakni melibatkan lebih banyak hubungan antar konsep daripada
konsepsi peserta didik. Dengan demikian, jika konsepsi peserta didik sama dengan
konsepsi fisikawan yang disederhanakan, maka konsepsi peserta didik tersebut
tidak dapat disebut konsepsi keliru.
Penemuan prakonsepsi yang sering mengandung miskonsepsi atau konsepsi
keliru, ditanggapi para pendidik IPA melalui pandangan mereka tentang belajar.
Peserta didik sekarang ini dipandang telah membawa ide mereka tentang
fenomena, makna kata dan eksplanasi terhadap mengapa benda berperilaku
dengan cara tertentu, ke ruang kelas IPA (dalam pembelajaran IPA). Dengan
demikian, belajar bukanlah mengisi kepala siswa yang kosong atau tentang

34

pemerolehan ide baru, melainkan tentang pengubahan ide mereka yang ada.
Belajar dipandang sebagai pengubahan konsepsi, yakni pengkonstruksian dan
penerimaan ide baru atau penstrukturan ide yang ada. Pandangan tentang belajar
seperti itu dikenal sebagai pandangan konstruktivis tentang belajar (constructivist
view of learning), yang menekankan bahwa peserta didik adalah mengkonstruksi,
bukan mengabsorbsi ide baru, dan pembelajaran secara aktif akan menghasilkan
makna dari pengalaman (Bell, 1993:23). Pandangan para pendidik sains tentang
belajar

tersebut

merupakan

hasil

perkembangan

penerapan

pandangan

konstruktivis (kognitif maupun sosial) tentang mengetahui dalam pembelajaran


atau pengajaran IPA. Beda penekanan sekarang ini dibanding dengan awal
pengimplementasian konstruktivisme Piaget dan Vygosky adalah dalam
pengikutsertaan prakonsepsi peserta didik dalam perancanaan pembelajaran atau
pengajaran IPA. Penekanan tersebut, yang bermuara pada pandangan bahwa
belajar adalah pengubahan konsepsi, dapat diketahui dari banyaknya strategi
pembelajaran yang diajukan para pendidik IPA untuk memfasilitasi terjadinya
pengubahan prakonsepsi yang umumnya miskonsepsi atau konsepsi keliru, dalam
pembelajaran atau pengajaran IPA.
Ada tujuh isu yang dapat diidentifikasi dari hasil penelitian tentang pemakaian
pengajaran dan aktivitas belajar yang mempromosikan pengubahan konsepsi
(Bell;1993;33-34). Pertama, ternyata sukar bagi peserta didik untuk mengubah ide
mereka yang ada. Kedua, konflik kognitif dan kejadian-kejadian yang tidak sesuai
mungkin tidak menghasilkan pengubahan konsepsi. Ketiga, banyak peserta didik
yang telah memodifikasi ide mereka dalam pengajaran dalam ruang kelas,

35

mungkin kembali memakai ide awalnya dalam setting sekolah beberapa bulan
kemudian.

Keempat,

konsep-konsep

guru/pendidik

dapat

mempengaruhi

pengubahan konsepsi yang terjadi, jika ada. Kelima, urutan aktivitas pengajaran
masih diperdebatkan. Keenam, studi tentang pengajaran untuk pengubahan
konsepsi menerangi ketidakcocokan (mismatches) dalam pendidikan IPA antara
apa yang kita ketahui tentang bagaimana peserta didik belajar, pada satu sisi, dan
ruang kelas kita, sekolah dan praktek sistem dalam pendidikan IPA, pada sisi lain.
Ketujuh atau terakhir, faktor lain yang telah diperjelas (diterangi) pada situasi
pempromosian pengubahan konsepsi adalah jenis IPA yang diajarkan di ruang
kelas.
Peneliti memakai ketujuh isu di atas sebagai pedoman merancang
pembelajaran yang dapat diharapkan mempromosikan pengubahan konsepsi
dalam penelitian ini.
Berdasarkan pada pandangan konstruktivis tentang mengajar dan belajar,
diketahui bahwa peranan guru/pendidik adalah sebagai: fasilitator pengubahan
konsepsi, person sumber, rekan peneliti naif (naive fellow investigator), penentang
ide, motivator peneliti, perespon, pengungkap pemikiran peserta didik, manajer
belajar, pembelajar, pembimbing, eksperimenter, dan peneliti (Bell,1993:35-38).
Sebagai fasilitator, guru/pendidik mencoba membawa peserta didik dan sumber
yang relevan bersama-sama dalam pembelajaran. Sebagai person sumber,
guru/pendidik mensuplai informasi pada peserta didik, dari pada hanya selalu
mengajukan pertanyaan kembali kepada peserta didik. Sebagai rekan peneliti naif,
guru/pendidik digambarkan bertindak sebagai seorang yang mengeksperesikan

36

ketidaktahuan (nyata atau pura-pura) terhadap suatu eksplanasi atau situasi untuk
membawa peserta didik menemukan jawaban bagi mereka sendiri. Sebagai
penentang ide, guru dengan sengaja dan peka (sensitif) menentang ide peserta
didik, yang misalnya tidak konsisten dengan bukti, tidak berguna atau tidak jelas.
Sebagai peneliti, guru/pendidik meneliti apa yang diperlukan peserta didik.
Dengan demikian, ketika guru/pendidik mengajar, mereka mendengarkan peserta
didik,

mendengar ide mereka, berdiskusi dengan mereka dan bertanya pada

mereka. Guru/pendidik juga membaca tulisan peserta didik untuk memperoleh


apa yang mereka pikirkan, bukan hanya sekedar melihat apakah mereka telah
kembali mereproduksi ide saintifik yang berterima. Aktivitas yang dianjurkan
guru/pendidik untuk dilakukan peserta didik adalah seperti diskusi kelompok
kecil dan survei. Sebagai perespon, guru/pendidik merespon ide dan pertanyaan
dalam apa yang dilakukan, dikatakan dan ditulis peserta didik. Guru/pendidik
mencari suatu cara

interaksi responsif dan resiprokal dengan peserta didik.

Guru/pendidik memberikan informasi kepada peserta didik agar mereka tetap


berpikir. Sebagai penaksir (assessor) pikiran

peserta didik,

guru/pendidik

menaksir pikiran peserta didik untuk mengetahui perubahan dan perkembangan.


Sebagai manajer belajar guru/pendidik memanajemen agar terjadi belajar, bukan
memanajemeni untuk terjadinya perilaku baik. Manajemen belajar mencakup
perencanaan untuk mengumpulkan pemikiran peserta didik, berpikir untuk
pengelompokan peserta didik, memfasilitasi diskusi, dan membantu peserta didik
individual. Guru/pendidik memanajemen ruang kelas untuk mempromosikan
belajar yang lebih baik, yakni, meningkatkan hasil belajar yang lebih baik dan

37

kondisi belajar yang lebih baik (kesukaan dan motivasi, koperasi sosial,
kepemilikan belajar dan meningkatkan kepercayaan diri peserta didik). Dengan
demikian, sebagai hasilnya, diharapkan guru/pendidik memerlukan sedikit waktu
untuk memanajemenni perilaku mengerjakan tugas dan lebih banyak waktu
berinteraksi dengan peserta didik, yakni, menemukan ide, pertanyaan, dan
pemahaman yang dikonstruksi mereka. Sebagai pembelajar, guru/pendidik belajar
tentang IPA saintis dan IPA anak, tentang cara orang berperilaku dan berfungsi,
dan tentang ide-ide, pengalaman-pengalaman, keinginan-keinginan dan perhatian
peserta didik.
Kondisi-kondisi yang diperlukan agar terjadi pengubahan konsep (akomodasi)
menurut Strike & Posner (1985:216) adalah sebagai berikut: 1) Mesti ada
ketidakpuasan (dissatisfaction) terhadap konsepsi yang ada. Ilmuwan dan peserta
didik tidak membuat perubahan konsepsi sampai mereka yakin bahwa perubahan
yang kurang radikal tidak akan bekerja; 2) Suatu konsepsi baru mesti mudah
dimengerti (intelligible). Individu mesti dapat menumbuhkan bagaimana
pengalaman distrukturisasi oleh suatu konsep baru yang cukup untuk
mengeksplorasi kemungkinan-kemungkinan yang inheren di dalamnya; 3) Suatu
konsepsi baru mesti kelihatan menyenangkan (plausible). Suatu konsepsi baru
yang diadaptasi paling sedikit muncul dalam kapasitas untuk menyelesaikan
problem yang dihasilkan oleh pendahulunya, dan dicocokkan dengan pengetahuan
lainnya, pengalaman, dan membantu; 4) Suatu konsepsi baru hendaklah
menyarankan kemungkinan adanya program penelitian (pemeriksaan) yang
menghasilkan (fruitful). Konsepsi baru mesti berpotensi untuk dikembangkan,

38

membuka lapangan baru untuk inkuiri (pendekatan) dan mempunyai daya


teknologis dan/atau eksplanatoris.
Kondisi-kondisi yang diajukan Strike & Posner tersebut dapat dipakai
sebagai petunjuk untuk merancang suatu model pembelajaran konstruktivis
kognitif-sosial. Karakteristik kunci model pembelajaran pengubahan konsepsi
adalah pentingnya pemeriksaan konsepsi personal peserta didik. Mengikuti
Vygosky (1978), West & Pines (1985:2) menyatakan ada dua sumber
pengetahuan bagi pembelajar. Pertama, pengetahuan pembelajar yang diperoleh
dari interaksinya dengan

lingkungan,

yang

sering

diistilahkan sebagai

pengetahuan sempit (gut), polos atau sederhana atau kekanak-kanakan (naive),


berdasarkan intuisi (intuitive), atau sains anak (children science)(Bell,1993:24).
Pengetahuan seperti itu dipengaruhi bahasa, budaya, lingkungan fisik dan oleh
orang tua, teman sebaya dan orang lain, dan karakteristik utamanya adalah bahwa
pengetahuan tersebut menyusun & membangun realitas seseorang, yakni sesuatu
yang diyakini seseorang. Kedua, sumber pengetahuan pembelajaran berupa
pembelajaran formal, atau pengetahuan sekolah, yang merupakan interpretasi
orang lain tentang dunia, yakni realitas orang-orang lain tersebut. Karakteristik
sumber pengetahuan seperti itu adalah otoritasnya. Dengan demikian, belajar
dapat dipandang sebagai proses dimana pembelajar membuat kedua masukan
(kedua sumber tersebut) menjadi suatu pengertian (pemahaman) bagi mereka
sendiri (their own sense). Dengan kata lain, belajar selalu melibatkan interaksi
antara pemahaman pembelajar sekarang tentang dunia dan masukan pengetahuan
(West & Pines, 1985:3)

39

West & Pines (1985:3-4) memakai metafora tanaman merambat (vines) untuk
menjelaskan integrasi kedua sumber belajar yang telah disebutkan di atas, yang
merupakan pandangan mereka tentang belajar sebagai pengubahan konsepsi.
Dibayangkan ada dua tanaman merambat, yang merepresentasikan kedua sumber
pengetahuan yang berbeda tersebut. Yang satu berasal dari pengetahuan intuitif
pembelajar tentang dunia (mereka sebut sebagai tanaman merambat yang tumbuh
ke atas, untuk menekankan bagian dari pertumbuhan pembelajar), yang lainnya
berasal dari pembelajaran formal (mereka sebut sebagai tanaman merambat yang
tumbuh ke bawah, untuk menekankan pembebanan atau pengenaan atau
penetapan pembelajaran formal terhadap pembelajar dari atas). Dengan demikian,
belajar konsep melibatkan penjalinan (intertwining) kedua tanaman merambat
tersebut. Penjalinan kedua tanaman tersebut mungkin dalam suatu situasi konflik
(a conflict situation), dimana realitas pembelajaran konflik dengan prinsip-prinsip
yang dihadirkan (dipresentasikan), suatu situasi kongruen (a congruent situation),
jika kedua tanaman merambat terjalin (terbentuk) (established), namun tidak ada
konflik; suatu situasi simbolik (a symbolic situation), dimana tanaman yang
merambat ke atas dengan susah payah (hampir tidak: hardly) berinteraksi dengan
pengetahuan sekolah; atau dalam suatu situasi yang tak terstruktur (an
unstructured situation) dimana hanya sedikit atau tidak ada pembelajaran formal
(formal schooling) dan semua penngetahuan pembelajar didasarkan pada belajar
intuitif.
Bell (1993:25) menyimpulkan {berdasarkan pengertian yang diajukan West
& Pines (985:7)} bahwa belajar sebagai pengubahan konsepsi adalah reaksi

40

konflik utama, misalnya, dengan cara mengganti konsepsi peserta didik dengan
konsep sains. Dengan kata lain, pandangan konstruktivis tentang belajar sebagai
pengubahan konsepsi diartikan sebagai pengkonstruksian dan penerimaan ide baru
atau restrukturisasi ide yang ada (Bell, 1993:23).
Dari segi hasil belajar (hasil belajar peserta didik berkaitan erat dengan model
pembelajaran yang dipilih pengajar), penelitian Hinduan et al (1992: 35) tentang
profil hasil belajar mahasiswa TPB FPMIPA IKIP Bandung dalam memahami
konsep-konsep Fisika Dasar mengungkapkan bahwa kegiatan belajar-mengajar
Fisika Dasar pada Tahap Pertama Bersama (TPB) baru menunjukkan hasil belajar
yang cukup berarti pada spesifikasi tes unit yang bersifat hapalan. Pada penelitian
tersebut (pada halaman 35), juga terungkap bahwa unit kegiatan belajar mengajar
TPB belum mampu menghasilkan dan menerapkan konsep belajar tuntas dan post
test KBM mampu meningkatkan pemahaman mahasiswa tentang konsep-konsep
Fisika Dasar pada semua test unit, namun secara rata-rata masih jauh dari yang
diharapkan. Selain itu, penelitian Sinuraya (1996: 28) tentang hasil belajar Fisika
Dasar mengungkapkan bahwa ada perbedaan hasil belajar bagi mahasiswa bila
diajar dengan menggunakan strategi pengajaran berupa rangkaian empat tahap
kegiatan orientasi, latihan, umpan balik dan tindak lanjut) dan yang diajar dengan
metode konvensional (model pembelajaran dalam bentuk pembelajaran yang
meliputi kegiatan: penyampaian pengajaran secara ceramah, pemberian contohcontoh soal, dan diakhiri dengan pemberian soal untuk dikerjakan di rumah).
Berdasarkan hasil penelitian Sinuraya tersebut ternyata model pembelajaran
dengan strategi pengajaran berupa rangkaian empat tahap kegiatan orientasi,
latihan, umpan balik dan tindak lanjut lebih baik dari pada model pembelajaran
yang didominasi metode ceramah dalam meningkatkan hasil belajar Fisika Dasar
mahasiswa. Namun, karena tes yang dipakai untuk mengukur hasil belajar pada

41

penelitian tersebut cenderung bersifat soal-soal bersifat matematis (yakni soal-soal


menghitung dengan hanya menerapkan rumus-rumus fisika, yang ditandai dengan
kata tanya: hitunglah, tentukanlah, berapakah, dsb.), maka belum terukur
pengaruh model pembelajaran berupa rangkaian empat tahap kegiatan orientasi,
latihan, umpan balik dan tindak lanjut terhadap hasil belajar pemahaman konsep.
Kedua penelitian (penelitian Hinduan et al. (1992) dan penelitian Sinuraya
(1996)) tersebut di atas setidaknya menyiratkan perlu segera ditemukan bentuk
kegiatan belajar mengajar TPB Fisika Dasar yang tidak sekedar meningkatakan
hasil belajar yang cukup berarti pada spesifikasi tes unit yang bersifat hapalan dan
bersifat matematis, melainkan harus dapat mengembangkan kesamaan landasan
berpikir serta memperluas wawasan keilmuan para calon guru MIPA [memahami
konsep-konsep Fisika Dasar secara tepat (tidak miskonsepsi atau konsepsi keliru)
dan mampu mengkaitkan konsepsi-konsepsi saintifik tersebut secara tepat
terhadap konsep-konsep bidang studi masing-masing atau terhadap konsepkonsep fisika lanjutan], yakni harus mencapai maksud penyertaan mata kuliah
Fisika Dasar sebagai mata kuliah Program Bersama PMIPA LPTK-FKIP
Universitas (Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1990: 122). Kelihatannya,
secara teoretik (masih perlu penelitian lebih lanjut) model pembelajaran yang
didasarkan pada landasan teoretik dan filosofis konstruktivisme dapat memenuhi
harapan tersebut.
Pemilihan model pembelajaran yang efektif dalam meningkatkan hasil
belajar berkaitan erat dengan prakonsepsi mahasiswa (mungkin prakonsepsi
mengandung miskonsepsi atau konsepsi keliru atau memang konsepsi saintifik
tetapi masih sederhana dan perlu diperdalam) yang terbawa dalam pembelajaran.
Adanya konsepsi mahasiswa yang tidak saintifik (mungkin miskonsepsi atau
konsepsi keliru) yang terbawa mahasiswa sebagai bekal kemampuan fisika
mahasiswa baru sebelum pembelajaran mata kuliah TPB Fisika Dasar telah

42

diungkapkan oleh penelitian Hinduan (1996). Penelitian Hinduan (1996: 13)


tentang sumbangan bekal kemampuan dasar fisika bagi keberhasilan mahasiswa
baru dalam mata kuliah Fisika Dasar, studi kasus di jurusan pendidikan fisika
mengungkap bahwa umumnya mahasiswa baru yang diterima di jurusan
pendidikan fisika FPMIPA IKIP Bandung, baik melalui Ujian Masuk Perguruan
Tinggi Negeri (UMPTN) maupun Panduan Minat dan Kemampuan (PMDK) tidak
mempunyai bekal kemampuan fisika yang baik dan pemahaman masih lemah.
Penelitian Hinduan tersebut menyiratkan perlu ditemukan model pembelajaran
yang mengikutkan pengelaborasian prakonsepsi mahasiswa (tidak mempunyai
bekal kemampuan fisika yang baik dan pemahaman masih lemah) dalam kegiatan
pembelajaran sedemikian, sehingga nantinya terjadi pengubahan konsepsi dari
konsepsi yang tidak saintifik menjadi konsepsi saintifik setelah pembelajaran
berakhir. Ada model pembelajaran yang mengelaborasi prakonsepsi tersebut dan
ada model pembelajaran yang tidak mempunyai langkah spesifik dalam
strateginya dalam mengelaborasi prakonsepsi tersebut. Model pembelajaran
dengan strategi pengajaran berupa rangkaian empat tahap kegiatan orientasi,
latihan, umpan balik dan tindak lanjut yang dianjurkan pada perkuliahan Fisika
Dasar tidak mempunyai langkah spesifik dalam menangani prakonsepsi yang
tidak saintifik tersebut (lihat penjelasan di atas). Kelihatannya, secara teoretis
model pembelajaran konstruktivis yang dapat memenuhi harapan itu (lihat
penjelasan tentang ciri model pembelajaran konstruktivis yang mengelaborasi
prakonsepsi di atas). Kesamaan landasan berpikir tentang konsep-konsep fisika
akan dicapai jika terjadi pengubahan konsepsi (conceptual change) mahasiswa
setelah mengalami belajar. Para konstruktivis memandang belajar sebagai
pengubahan konsepsi, yakni pengkonstruksian dan penerimaan ide baru atau
penstrukturan kembali ide yang ada (Bell, 1993:23). Dengan demikian, perluasan
wawasan keilmuan fisika para calon guru MIPA akan tercapai jika mahasiswa

43

telah mengalami belajar (terjadi pengubahan konsepsi) dalam perkuliahan


Program Bersama Fisika Dasar. Dengan kata lain, hasil belajar hendaklah
mencerminkan terjadinya pengubahan konsepsi (conceptual change) mahasiswa
dari konsepsi yang tidak saintifik (bekal kemampuan fisika mahasiswa baru)
menjadi konsepsi yang saintifik (setelah mengikuti perkuliahan Program Bersama
Fisika Dasar).
Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan implikasi pandangan
konstruktivis dalam pengajaran IPA sebagai berikut: Konstruktivis memandang
peristiwa belajar sebagai pengubahan konsepsi (learning as conceptual change);
Dalam pengajaran IPA pengetahuan dikonstruksi oleh peserta didik bahkan juga
oleh pengajar secara personal dan sosial; Dalam pengajaran IPA, konteks
merupakan hal yang penting bukan hanya untuk alasan motivasi tetapi juga untuk
alasan kognitif; Guru dalam pengajaran IPA adalah sebagai: fasilitator; Guru
dalam pengajaran IPA adalah pengubah konsepsi peserta didik; Guru dalam
pengajaran IPA adalah penentang ide; Guru dalam pengajaran IPA berperan
sebagai motivator; Guru dalam pengajaran IPA berperan sebagai pembimbing;
Guru dalam pengajaran IPA adalah seorang eksperimenter; Guru dalam
pengajaran IPA berperan sebagai peneliti; Guru dalam pengajaran IPA berperan
sebagai perespons; Guru dalam pengajaran IPA berperan sebagai rekan peneliti
naif (naive fellow investigator) bagi peserta didik; Guru dalam pengajaran IPA
berfungsi sebagai person sumber; Dalam pengajaran IPA guru berperan juga
sebagai orang yang belajar, yakni sama dengan peserta didik sama-sama belajar;
Dalam pengajaran IPA, mengajar adalah proses pengungkapan pikiran peserta

44

didik; Dalam pengajaran IPA, mengajar adalah memanajemeni pembelajaran


peserta didik.

2.3 Perancangan Model Pembelajaran Konstruktivis Kognitif-Sosial


Penyusunan

model

pembelajaran

didasarkan

pada

bentuk

model

pembelajaran menurut Joyce et al. (1992). Alasan yang dapat dikemukakan


terhadap pertanyaan mengapa bentuk tersebut yang dibuat sebagai acuan,
adalah karena unsur-unsur utama pembentukan Model Pembelajaran yang
dibuat Joyce et al. terjalin secara harmonis. Unsur-unsur utama tersebut adalah:
landasan teoretis, strategi dan langkah pengimplementasian (pemakaian model di
ruang kelas atau setting pengajaran lainnya). Dengan kata lain, kelihatan benang
merah penghubung dari landasan teori sampai dengan penerapan di ruang kelas.
Dalam penelitian ini, model pembelajaran yang disusun adalah model
pembelajaran konstruktivis kognitif-sosial dan diterapkan dalam pengajaran
fisika. Dengan demikian,

landasan teoretik model pembelajaran

tersebut

terutama:
(1) teori Piaget tentang regulasi (pengaturan) diri;
(2) pengkategorian soal-soal formal fisika;
(3) belajar kolaboratif yang di dukung Vygotsky untuk menimbulkan interaksi
sosial (inter personal) dalam ruang kelas, yang diharapkan dapat menimbulkan
pertolongan dan bimbingan orang dewasa (dalam hal ini pengajar) atau kawan
sebaya (dalam hal ini rekan satu kelas) yang lebih terampil dalam memfasilitasi

45

perkembangan berpikir dalam

menyelesaikan tugas tugas yang begitu sulit

dilakukan peserta didik sendirian;


(4) pandangan konstruktivis tentang belajar sebagai pengubahan konsepsi
[terutama peranan guru/pengajar sebagai: (a) fasilitator pengubahan konsepsi, (b)
person sumber, (c) rekan peneliti naif (naive fellow investigator), (d) penentang
ide, (e) motivator peneliti, (f) perespon, (g) pengungkap pemikiran peserta didik,
(h) manajer belajar, (i) pembelajar, (j) pembimbing, (k) eksperimenter, dan (l)
peneliti, serta kondisi-kondisi yang diperlukan agar terjadi pengubahan konsep
(akomodasi) menurut Strike & Posner: (a) ketidakpuasan (dissatisfaction)
terhadap konsepsi yang ada, (b) konsepsi baru mesti mudah dimengerti
(intelligible), (c) konsepsi baru mesti kelihatan menyenangkan (plausible), dan (d)
konsepsi baru menghasilkan (fruitful)].
Pandangan yang menganggap bahwa pengetahuan adalah pengkonstruksian
secara personal dan sosial mempunyai berbagai implikasi yang bervariasi dalam
ruang kelas pendidikan IPA. Implikasi pandangan tersebut terhadap pengajaran
menghasilkan berbagai bentuk strategi mengajar, yang seterusnya menghasilkan
berbagai model pembelajaran konstruktivis yang dianggap dapat menghasilkan
pengubahan konsepsi. Dalam penelitian ini strategi mengajar yang digunakan
adalah strategi konstruktivis berdasarkan analisis Yager (1991:55). Dengan kata
lain, strategi konstruktivis Yager diadaptasi sebagai strategi mengajar model
pembelajaran Konstruktivis Kognitif-Sosial yang disusun dalm penelitian ini.
Strategi konstruktivis Yager tersebut sangat luwes, yakni dapat menampung
landasan teoretis model pembelajaran yang telah dikemukakan di atas. Keluwesan

46

terutama dalam pengintegrasian pandangan konstruktivis Piaget (kognitif) dan


konstruktivis Vygosky (sosial) dalam strategi tersebut. Dengan demikian, strategi
konstruktivis Yager dipakai sebagai kerangka kerja (framework) penyusunan
model, dan landasan teoretis seperti dikemukan di atas sebagai kerangka teoretis
penyusunan model. Strategi tersebut terorganisasi ke dalam empat kategori, yakni
invitasi (invitation), eksplorasi (exploration), pengajuan eksplanasi dan solusi
(proposing explanations and solutions), dan pengambilan tindakan (taking
actions) (Yager, 1992:15-16). Berikut ini diperlihatkan senarai strategi yang
biasanya di pakai oleh pengajar konstruktivis dalam setiap kategori tersebut.
Invitasi: Mengamati lingkungan seseorang untuk mengundang rasa ingin tahu;
Mengajukan pertanyaan; Mempertimbangkan respons yang mungkin terhadap
pertanyaan- pertanyaan; Mencatat gejala yang tidak diharapkan; Mengidentifikasi
situasi dimana terjadi persepsi pembelajar bervariasi.
Eksplorasi: Terlibat didalam permainan yang difokuskan; Mem'brainstorm'
jawaban alternatif; Mencari informasi;

Bereksperimen dengan material;

Mengamati gejala spesifik; Mendesain model; Mengoleksi dan mengorganisasi


data; Menerapkan strategi 'problem solving'; Memilih sumber yang sesuai;
Mendiskusikan solusi dengan lainnya; Mengevaluasi pilihan; Terlibat dalam
debat; Mengidentifikasi resiko dan konsekuensi; Mendefenisikan parameter;
Menganalisis data.
Pengajuan Eksplanasi dan Solusi: Mengkomunikasikan informasi dan ide;
Mengkonstruksi dan menjelaskan satu model; Mengkonstruksi suatu eksplanasi
baru; Melihat kembali dan mengkritik solusi; Mempergunakan evaluasi teman

47

sebaya; Meng"assemble" solusi jawaban ganda; Menentukan cara penutupan;


Mengintegrasikan suatu solusi dengan pengetahuan dan pengalaman yang ada;
Pengambilan Tindakan: Membuat keputusan; Menerapkan pengetahuan dan
keterampilan; Mentransfer pengetahuan dan keterampilan; Membersamakan
informasi dan ide; Mengajukan pertanyaan baru; Mengembangkan produk dan
mempromosikan ide; Memakai model dan ide untuk menggalang diskusi dan
menerima yang lain; Mendekati si pembuat keputusan dalam masyarakat untuk
membujuk mereka melakukan sesuatu secara spesifik.
Dalam perancangan model pembelajaran, biasanya terkandung maksud
disamping membantu pemerolehan informasi, ide,

keterampilan, nilai, cara

berpikir, dan cara mengekspresikan diri, juga maksud mengajari pembelajar


bagaimana belajar. Kenyataannya, hasil jangka panjang terpenting dari pengajaran
adalah meningkatnya kapabilitas belajar, yakni belajar menjadi lebih mudah dan
efektif di masa depan; keduanya karena pengetahuan dan keterampilan yang telah
mereka peroleh, serta karena mereka mengalami proses pembelajaran. Dengan
demikian, guru yang berhasil (sukses) bukanlah seorang yang bersifat karismatik,
persuasif dan pakar penyajian, melainkan seorang yang dapat menghadirkan tugas
sosial dan kognitif yang berdaya guna bagi pembelajar dan mengajar pembelajar
bagaimana memproduktipkannya (Joyce et al., 1992:1).
Joyce et al. menganggap bahwa cara mengukur efek berbagai model
pembelajaran tidak hanya dengan cara mengukur bagaimana baiknya tujuan
spesifik yang telah diarahkan untuk dicapai melalui model, tetapi juga dengan

48

cara mengetahui kemampuan belajar yang dicapai dengan memakai model yang
dimaksudkan.
Berdasarkan strategi dan prosedur yang telah dikemukakan Yager di atas,
serta dengan memperhatikan ciri utama belajar berdasarkan: konstruktivisme
kognitif Piaget, konstruktivisme sosial Vygotsky, serta pandangan konstruktivis
tentang belajar sebagai pengubahan konsepsi (terutama peranan guru/pengajar
dalam pembelajaran berdasarkan pandangan konstruktivis tentang belajar sebagi
pengubahan konsepsi), pada bagian berikut ini akan dikemukakan model
pembelajaran konstruktivis kognitif sosial. Model dijelaskan dan disusun
berdasarkan arahan yang diterapkan Joyce et al. dalam mengemukakan model,
yakni dengan memakai term sintaks, sistem sosial, prinsip-prinsip reaksi dan
sistem pendukung seperti telah dikemukakan sebelumnya.
Model Pembelajaran Konstruktivis Kognitif-Sosial
SINTAKS
Model terdiri dari empat fase. Fase pertama adalah fase invitasi, yakni fase
mengundang keingintahuan pembelajar, dengan cara menciptakan situasi yang
menimbulkan tanda

tanya dan

mengundang

pengungkapan prakonsepsi

pembelajar. Pada fase ini dirancang pengungkapan konsepsi pembelajar dengan


cara mengajukan pertanyaan tertulis atau lisan tentang kejadian-kejadian atau
fenomena yang nantinya dapat dieksperimenkan oleh pembelajar secara
berkelompok atau didemonstrasikan oleh pengajar. Pada fase pertama, tidak
tertutup kemungkinan bahwa undangan keingintahuan justru datang dari
pertanyaan spontan pembelajar. Pengetahuan pengajar tentang konsepsi para

49

pembelajar

terhadap

kejadian-kejadian

atau

fenomena

yang

ditanyakan

pengajar/pembelajar melalui pertanyaan lisan ataupun tulisan pada fase pertama,


akan memberikan petunjuk bagi pengajar dalam menentukan aktivitas-aktivitas
yang penting dilakukan pada fase kedua. Pada fase kedua dilakukan kegiatan
pengumpulan data, yang diperlukan untuk pengujian konsepsi yang telah diajukan
para pembelajar tentang kejadian-kejadian dan/atau fenomena-fenomena yang
ditanyakan pada fase pertama. Kegiatan yang dilakukan pembelajar secara
kelompok adalah eksperimen. Namun, jika peralatan pendukung kegiatan
eksperimen yang tersedia di laboratorium tidak memadai, maka pengajar dapat
memilih kegiatan demonstrasi. Dalam eksperimen tersebut para pembelajar dapat
mencek (memeriksa) penjelasan (konsepsi) yang telah diajukannya pada fase
pertama. Pada tahap ini kemungkinan terjadi konflik kognitif dan regulasi diri
(berdasarkan pandangan konstruktivis kognitif). Fase kedua diistilahkan sebagai
fase Eksplorasi. Pada fase kedua juga sudah mulai terjadi belajar kolaboratif
(sesuai pandangan konstruktivis sosial), yakni ketika dalam kelompok kecil
(eksperimen) mereka sudah mulai menegosiasikan konsepsi masing-masing, baik
konsepsi yang telah dikemukakan sebelum eksperimen maupun konsepsi baru
setelah dicek secara eksperimen ternyata konsepsi awalnya tidak akurat.
Fase ketiga merupakan fase Pengajuan eksplanasi dan solusi serta
pelaksanaan diskusi. Pada fase ketiga, proses belajar didominasi oleh belajar
kolaboratif. Pembelajar pada fase ini diminta untuk mengemukakan konsepsinya
tentang kejadian-kejadian atau fenomena yang ditanyakan pada fase pertama pada
kelompok kelas. Diskusi kelas dijadikan sebagai ajang pengungkapan konsepsi

50

masing-masing. Suasana belajar kolaboratif diutamakan dan dijaga tetap konsisten


selama diskusi. Cara yang mungkin dapat dipakai adalah dengan menyatakan
kepada pembelajar bahwa diskusi tidak ditujukan untuk mencari jawaban yang
paling tepat, melainkan adalah untuk menjalin komunikasi inter personal, yakni
dengan memperhatikan atau memaknai jawaban setiap pembelajar yang terlibat
dalam diskusi di kelas. Setiap orang berhak dan mesti mengajukan
(mengemukakan) konsepsinya. Jika jawaban yang dikemukakan dalam menjawab
pertanyan pada fase pertama berbeda dengan hasil pengujian melalui eksperimen
atau demostrasi pada fase kedua, maka si pembelajar yang bersangkutan harus
mampu mengajukan eksplansi dan solusi terhadap perbedaan tersebut dalam
diskusi kelas tersebut. Diharapkan pada fase ketiga telah terjadi pengkonstruksian
ide baru.
Fase keempat adalah fase Pengambilan Tindakan. Proses pengkonstruksian
suatu pandangan baru atau konsepsi baru pada fase ketiga akan mempersiapkan
pembelajar untuk mengambil tindakan terhadap apa yang telah mereka pelajari.
Paling tidak pembelajar harus mampu membuat keputusan tentang tetap memakai
konsepsi lama atau harus mengubah konsepsinya secara radikal, dan resikonya
harus menerapkan konsepsi baru tersebut pada setiap kejadian-kejadian dan
fenomena lain yang berkaitan dengan yang ditanyakan pada fase pertama.
Tindakan yang dilakukan pembelajar (mengubah konsepsi atau tidak) dapat
dipantau berdasarkan jawabannya pada kejadian dan/atau fenomena lain yang
berkaitan, pada pembelajaran berikutnya. Bagi pengajar, fase keempat merupakan

51

fase penentuan apakah pengajar perlu memberikan petunjuk lebih lanjut terhadap
persoalan-persoalan yang ditemui di kelas atau tidak.
Fase pertama, kedua, ketiga, dan keempat diwujudkan dengan memakai
strategi yang diajukan Yager seperti telah dijelaskan sebelumnya. Cara diskusi
dengan pembelajar ialah dengan cara pengajar terlibat akrab dengan pembelajar
terhadap pengidentifikasian konsepsi pembelajar yang belum sesuai dengan
konsepsi ilmuwan. Diskusi sangat menentukan pada fase kedua & ketiga. Selain
itu, peranan teman sebaya yang sudah mempunyai konsepsi ilmuwan yang
disederhanakan sebagai pemicu pengubahan konsepsi dari pembelajar yang lain,
juga diperlukan. Seberapa jauh pengajar terlibat dalam diskusi, bergantung kepada
berbagai konsepsi pembelajar yang muncul dalam diskusi.
SISTEM SOSIAL
Sistem sosial yang terjadi hendaknya bersifat kooperatif (bekerja sama), jadi
bukan bersifat kompetitif. Pengajar harus mendorong pembelajar terlibat dalam
diskusi. Lingkungan intelektual terbuka bagi semua ide yang relevan. Pengajar
dan pembelajar mempunyai hak berpartisipasi sama tentang ide yang dibicarakan.
Dialog antar pembelajar di dorong. Walaupun ada pengelompokan dalam
pelaksanaan eksperimen (karena keterbatasan alat dan waktu misalnya), suasana
tetap didorong untuk kooperatif, bukan kompetitif.
PRINSIP REAKSI
Reaksi pengajar dalam setiap fase adalah dalam membantu pembelajar
mengungkapkan konsepsinya. Selain itu, peranan pengajar adalah membantu
pembelajar menanyakan hal yang relevan bagi pengungkapan konsepsi mereka.

52

Pembelajar

dipandu

mengajukan pertanyaan

yang

berhubungan dengan

pengkonstruksian pengetahuan mereka. Pengajar harus dapat memimpin diskusi


sehingga

diskusi

berlangsung

seperti

dalam

suasana

ilmuwan

mengkomunikasikan konsepsi mereka tentang sesuatu yang dibicarakan.


Pengajar dapat mengerem sifat kompetitif pembelajar dengan mengemukakan
bahwa konsepsi setiap orang dihargai bukan dari konsepsi sendiri-sendiri,
melainkan berdasarkan kemampuan setiap pembelajar memahami perbedaan
konsepsi masing-masing. Dengan demikian setiap pembelajar diarahkan untuk
tetap memantau konsepsi setiap pembelajar lainnya. Konsepsi akhir yang dapat
dianggap diterima sebagai penyederhanaan konsepsi ilmuwan tentang konsep
tersebut dikemukakan pada diskusi akhir tanpa diperinci konsepsi pembelajar
mana yang paling tepat, tetapi diwajibkan pada setiap pembelajar membandingkan
konsepsi tersebut dengan konsepsi masing-masing dalam laporan tertulis. Jika
waktu tidak mencukupi, konsep tersebut dapat dibagikan pada pembelajar dalam
bentuk tertulis.
SISTEM PENDUKUNG
Pendukung optimal adalah himpunan material yang dapat mengundang
keingintahuan, misalnya isi kurikulum yang dapat

dijabarkan dalam bentuk

masalah atau permasalahan yang berhubungan dengan kehidupan pembelajar yang


masih relevan dengan isi kurikulum. Pengajar hendaknya adalah person yang
memahami proses dan strategi konstruktivis sosial (memahami teori Vygotsky).
Selain itu, material sumber yang dapat di pakai memecahkan permasalahan adalah
materi yang dapat disediakan dalam lingkungan sekolah atau lingkungan lokal.

53

Penyusunan

model

pembelajaran

didasarkan

pada

bentuk

model

pembelajaran menurut Joyce et al. Alasan yang dapat dikemukakan terhadap


pertanyaan mengapa bentuk tersebut yang dibuat sebagai acuan, adalah karena
unsur-unsur utama pembentukan model pembelajaran yang disusun Joyce et al.,
terjalin secara harmonis. Unsur-unsur utama tersebut adalah: landasan teoretis,
strategi dan langkah pengimplementasian (pemakaian model di ruang kelas atau
setting pengajaran lainnya). Dengan kata lain, jika dipakai bentuk model yang
dikembangkan Joyce et al., maka akan kelihatan benang merah penghubung mulai
dari landasan teori sampai dengan penerapan di ruang kelas.
APLIKASI MODEL
Fase 1 sampai fase 4.
Model ini diaplikasikan terhadap rangkaian listrik sederhana. Sebenarnya
aplikasi ini hanya idealisasi untuk menyajikan skenario ideal dari setting memakai
model tersebut. Dengan kata lain, pengaplikasian model merupakan salah satu
model lagi dari berbagai strategi yang diajukan Yager.
Rangkaian listrik sederhana merupakan salah satu pokok bahasan perkuliahan
fisika dasar II di FPMIPA LPTK. Karena mahasiswa sudah pernah menerima
materi ini di SMA, maka tujuan pengajaran terutama untuk memantapkan konsep
yang telah diterima tersebut. Waktu yang diperlukan adalah 3 x 50 menit.
Pengetahuan yang diharapkan dimiliki

mahasiswa setelah mengikuti proses

pembelajaran adalah: 1. Dua kondisi yang memungkinkan terjadinya transfer


energi dalam untaian listrik, yaitu voltase tidak nol dan rangkaian tertutup; 2. Jika
resistansi total rangkaian seri di tambah maka arus akan makin berkurang, tidak

54

persoalan dimana posisi resistor dalam rangkaian 3. Penerapan hukum Kirchoff.


Evalusi model dilakukan ketika proses belajar mengajar berlangsung.
Fase Pertama: Invitasi
Perkuliahan dilakukan di ruang laboratarium elektromagnet. Dosen
mengajukan pertanyaan yang berhubungan dengan pemahaman konsep dengan
bentuk pertanyaan di bawah ini secara tertulis, dan dijawab oleh masing-masing
mahasiswa secara tertulis selama 15 menit.

A. Perhatikan Gambar A
R1 dan R2 adalah resistor yang besar hambatannya dapat diperkecil atau diperbesar.
a) Jika R1 diperkecil, bagaimanakah kecerahan lampu?
1.
Bertambah 2. Berkurang 3. Tidak berubah; Jelaskan mengapa jawaban anda seperti itu.
b) Jika R2 diperbesar, bagaimanakah kecerahan lampu?
1.
Bertambah 2. Berkurang 3. Tidak berubah; Jelaskan mengapa jawaban anda seperti itu.
c)
Jika R2 diperkecil, bagaimanakah kecerahan lampu?
1.
Bertambah 2. Berkurang 3. Tidak berubah; Jelaskan mengapa jawaban anda seperti itu.
d) Jika R1 diperbesar, bagaimanakah kecerahan lampu?
1.
Bertambah 2. Berkurang 3. Tidak berubah; Jelaskan mengapa jawaban anda seperti itu.
B. Perhatikan Gambar B
Anda harus menentukan berapa kuat arus listrik yang mengalir melalui resistor R, oleh karena itu
gunakan semua pengetahuan anda tentang untaian arus searah untuk memperoleh jawabannya.
Anda harus menjelaskan setiap konsep yang anda pakai dalam menentukan jawabannya.
C. Perhatikan Gambar C
Tentukan hubungan antara kuat arus I1 dan I2. Anda harus menjelaskan setiap konsep yang anda
pakai dalam menentukan jawabannya.

55

Fase Kedua : Eksplorasi


Pada fase ini mahasiswa ditugaskan mentes jawaban mereka secara
eksperimen, dan juga memverifikasi penalaran yang telah mereka kemukakan
dalam jawaban tertulis mereka selama 35 menit.
Fase Ketiga: Pengajuan Eksplanasi dan Solusi serta Pelaksanaan Diskusi
Dosen mengemukakan kepada mahasiswa bahwa jawaban mereka akan
didiskusikan dalam dua tahap, yaitu tahap kelompok kecil dan kelompok kelas
pada akhir perkuliahan. Oleh karena itu dosen mengelompokkan mahasiswa ke
dalam beberapa kelompok yang terdiri dari 3-4 orang setiap kelompok, dengan
tujuan agar mahasiswa merumuskan jawaban masing-masing setelah melakukan
eksperimen pada fase 2.
Jawaban yang dirumuskan masing-masing mahasiswa akan merupakan
rumusan akhir setelah bertukar pikiran dengan rekan-rekan satu kelompok. Dosen
mengingatkan bahwa jawaban masing-masing dapat didiskusikan dalam
kelompok, bahkan boleh sama asal setiap mahasiswa dapat memberikan argumen
yang tepat menurut versi masing-masing. Diskusi kelompok kecil dilakukan
sekitar 30 menit.
Fase ketiga ini merupakan fase yang sangat menentukan. Pada fase ini
masing-masing mahasiswa mengajukan argumen terhadap jawaban yang telah di
kemukakan masing-masing sebelum dan sesudah melakukan eksperimen (fase ke
dua). Dosen (disinilah peranan dosen sangat krusial) memantau jawaban setiap
mahasiswa. Dosen memantau agar jawaban ringkas dan padat.

56

Fase Keempat: Pengambilan Tindakan


Berdasarkan pengajuan argumen terhadap setiap jawaban, dosen harus
mengambil keputusan apakah diperlukan lagi pengajuan hint (petunjuk, kiat,
taktik atau teknik) untuk membuka jalan bagi matangnya konsepsi embrio
mahasiswa. Dalam fase keempat ini, dosen dapat juga menunjuk mahasiswa yang
sudah dapat membuat argumen yang sesuai dengan konsep fisika yang
disederhanakan untuk mengemukakan lebih rinci tentang argumen-argumen yang
mereka pakai untuk menjelaskan jawaban mereka. Pada fase keempat ini, dosen
dan mahasiswa yang telah mencapai taraf matang tentang konsep dimaksud
berperan sebagai pemandu kematangan konsepsi mahasiswa yang lain.
Catatan:
1. Dari fase pertama sampai dengan fase keempat suasana belajar koperatif
harus dibina. Kelompok dibentuk (jika perlu pada setiap perkuliahan rekan satu
kelompok diganti-ganti) hanya untuk memudahkan komunikasi yang bersuasana
kooperatif. Cara membina suasana seperti ini sangat bergantung kepada
kemampuan dosen dan pengalaman mahasiswa (diperoleh melalui penerapan
model tersebut sesering mungkin, yakni berdasarkan keterlibatan mereka berkalikali dalam aplikasi model seperti ini).
2. Dalam proses pembimbingan (pada fase ketiga dan terutama pada fase
keempat),

dosen

perlu

melatih

kemampuannya

dalam

bertanya,

yang

dimaksudkan untuk pemanduan dan juga mencari hint (petunjuk, kiat, taktik
atau teknik) yang relevan dengan diversifikasi konsepsi mahasiswa pada saat
PBM berlangsung. Sebagai contoh kasus, jika misalnya jawaban-jawaban

57

mahasiswa cenderung berpola model konsumer-produsen {lihat Shipstone (1985,


33-51)} hendaknya dosen mengarahkan dengan mengajukan hint berpola model
transfer energi. Dengan demikian, jika konsepsi mahasiswa terumus dalam
penjelasan berupa argumen sebagai cahaya lampu makin redup karena arus telah
dipakai lebih banyak oleh resistor di depan lampu, yaitu yang lebih dekat ke
kutub baterai dalam menjawab pertanyaan A bagian d, dosen dapat mengajukan
hint berupa coba rumuskan lagi jawaban anda dengan menghubungkannya
terhadap konsep transfer energi listrik. Hint seperti itu akan mengarahkan
perhatian mahasiswa yang bersangkutan maupun mahasiswa lainnya yang ikut
berpartisipasi dalam diskusi ke sifat transfer energi dalam rangkaian listrik, seperti
yang telah mereka pelajari sebelumnya (di SMA, maupun pada PBM sebelumnya
(topik energi listrik).
Jawaban yang diajukan mahasiswa dalam forum diskusi kemungkinan besar
beraneka ragam. Namun, tetap saja masih dapat dikelompokkan {lihat Shipstone
(1985:33-51)}. Diharapkan dosen dapat memperluas pengetahuannya tentang
berbagai konsepsi mahasiswa/peserta didik tentang topik tertentu dari berbagai
sumber, terutama dari sumber yang berupa hasil penelitian.
3. Dalam pelaksanaan model pembelajaran Konstruktivis Kognitif-Sosial ini,
pada awalnya pelaksana model kemungkinan besar mengalami kecanggungan
karena belum berpengalaman. Namun, peneliti memperkirakan, setelah pelaksana
model memakai model ini beberapa kali (yaitu diimplementasikan untuk beberapa
topik bahasan), maka pelaksana model tidak canggung lagi, dan manfaat model
pembelajaran Konstruktivis Kognitif-Sosial ini akan diperoleh.

58

Dalam bagian ini telah terurai penyusunan model pembelajaran konstruktivis


berdasarkan kerangka kerja strategi Yager dan diarahkan melalui deskripsi model
menurut Joyce et al. Strategi Yager ternyata dapat dipakai untuk memunculkan
suasana

pembelajaran

konstruktivis

kognitif-sosial.

Penerapan

model

pembelajaran seperti ini cukup luwes karena strategi Yager tersebut memberikan
keleluasan bagi dosen untuk menyesuaikan dengan kondisi kelas. Kesulitan yang
mungkin dihadapi oleh dosen dalam mengaplikasikan model ini adalah dalam
membina suasana belajar kooperatif. Kemungkinan besar suasana belajar seperti
itu dapat diperoleh berdasarkan pengalaman.

2.4 Model Pembelajaran


Pengajaran Fisika Dasar

Non

Konstruktivis

Konvensioanal

dalam

Model pembelajaran yang dianjurkan untuk perkuliahan Program Bersama


MIPA LPTK dan FKIP Universitas adalah model pembelajaran yang didasarkan
pada proses belajar berupa rangkaian kegiatan orientasi, latihan, tindak lanjut dan
umpan balik. Hubungan antara fungsi pengajaran dan bentuk pengajaran atau
kegiatan menurut model pembelajaran tersebut dapat dilihat pada Tabel 2.3 .

59

Tabel 2.3
Hubungan antara Fungsi Pengajaran dan Bentuk Pengajaran Model
Pembelajaran Non Konstruktivis Konvensional
FUNGSI

KHUSUS
(Berkaitan
langsung
dengan
proses
belajar)

UMUM

1. Memberikan ORIENTASI tentang materi dan penjelasan


teoretik
*menjelaskan tentang isi dan struktur
*menjelaskan hubungan antar bagian yang satu dengan
bagian lainnya
*menjelaskan hubungan bagian yang bersangkutan dengan
mata kuliah lain/keadaan nyata
*menjelaskan manfaat materi/pokok bahasan/mata kuliah
yang bersangkutan
*memberikan contoh-contoh dan bukan contoh
2. Memberikan kesempatan kepada mahasiswa untuk
LATIHAN dan menerapkan materi yang diperoleh dalam
orientasi
*pembahasan teori lebih lanjut (diskusi, tanya jawab)
*tugas-tugas (mencari, merumuskan dan lain-lain
*soal-soal (analisis, pemecahan)
*praktikum (meneliti, mengkaji, dan lain-lain
[Latihan dapat dimulai dengan yang sederhana sampai
dengan latihan yang lengkap/kompleks yang sesuai.
Pemantapan latihan dapat dilanjutkan dengan memberikan
tugas-tugas yang lebih tinggi tingkat berpikirnya untuk
memperoleh mutu hasil belajar yang lebih baik (dikerjakan di
luar kelas)]
3. Memberikan UMPAN BALIK kepada mahasiswa
*informasi tentang hal yang dikerjakan dalam latihan
*sampai dimana hal yang dikerjakan mahasiswa sesuai
dengan
-sasaran belajar
*hal-hal apa yang masih belum sesuai dengan sasaran belajar
*informasi tentang sejauh mana proses belajar sudah berjalan
*informasi tentang kesalahan dan/atau pemahaman
mahasiswa
4. Mengupayakan TINDAK LANJUT sebagai langkah
korektif dalam proses belajar
*tindak lanjut didasarkan atas latihan umpan balik
*tindak lanjut tidak perlu dilaksanakan bila sebagian besar
mahasiswa telah mencapai sasaran belajar
*tindak lanjut dapat berupa tambahan penjelasan (orientasi)
dan/atau tambahan lainnya
5. Menghubungkan materi yang akan diberikan dengan
PENGETAHUAN AWAL mahasiswa
*memberitahukan dengan jelas hal-hal yang dianggap sudah
diketahui
*beranggapan bahwa sebagian pengetahuan sudah terlupakan
dan perlu diulang
*menunjukkan bagian-bagian mana dari mata kuliah lain
perlu dipelajari
*memberi kesempatan kepada mahasiswa memperlihatkan
pengetahuan awalnya dengan jalan mengujinya secara
singkat (Dengan cara ini maha-siswa dirangsang
untukmempelajari kembali pengetahuan awal yang
diperlukan)

BENTUK
PENGAJARAN/
KEGIATAN
Kuliah: Responsi;
Belajar Mandiri
(Diktat); Kulsponsi

Kulsponsi; Latihan
Terbimbing; Kelompok
Kerja; Praktikum;
Belajar Mandiri
(Menyelesaikan soal)

Praktikum;Kelompok
Kerja; Kuis; Pameran
Penyelesaian Soal;
Jawaban dalam Buku
(BPKM)

(Sama dengan kegiatan


pengajaran pada nomor
2)

Ujian Masuk dan


Pembagian dalam
Kelompok Tingkatan
yang Sama; Instruksi
Bermodul;Matrikulasi;
Tes awal; Hasil Belajar
pada Mata Kuliah
Prasyarat

60

6. Memberi informasi kepada mahasiswa tentang syarat yang


harus dicapai mahasiswa. Jadi, mahasiswa harus mengetahui
dengan jelas SASARAN BELAJAR, sehingga mereka
mereka merasa jelas apa yang dikehendaki dari mereka
*diharapkan pokok bahasan langsung berhubungan dengan
dunia kehidupan mahasiswa itu sendiri.
7. Membangkitkan MINAT DAN MOTIVASI
*pengakuan yang cepat dan penghargaan (umpamanya
dengan nilai yang tinggi)
*persyaratan negatif dapat memperbesar motivasi (misal,
siapa yang tidak memenuhi persyaratan tertentu tidak boleh
mengikuti ujian)

Diskusi Sasaran Belajar


dalam Diktat; Contohcontoh Soal Ujian

Film; Pembahasan
Contoh; Ekskursi/Studi
Wisata; KKN;

Berdasarkan pada Tabel 2.3, terutama untuk Fungsi Khusus (yang langsung
berkaitan dengan proses belajar) kelihatan bahwa tidak ada langkah (cara) khusus
untuk

menangani

prakonsepsi

mahasiswa

yang

umumnya

mengandung

miskonsepsi atau konsepsi keliru. Strategi mengajar yang dipakai didasarkan pada
proses belajar sebagai rangkaian empat tahap kegiatan: orientasi, latihan, umpan
balik, dan tindak lanjut. Dapat disimpulkan bahwa model pembelajaran tersebut
tidak memperhatikan bagaimana terjadinya belajar yang dipandang sebagai
pengubahan

konsepsi.

Pandangan

konstruktivis

tentang

belajar

sebagai

pengubahan konsepsi kelihatannya lebih cocok diterapkan dalam pengajaran


(melalui pemakaian model pembelajaran Konstruktivis Kognitif-Sosial) pada
perkuliahan Fisika Dasar PMIPA LPTK dan FKIP Universitas untuk mencapai
tujuan/maksud penyertaan mata kuliah tersebut sebagai mata kuliah Program
Bersama (lihat Latar Belakang Masalah pada Bab I).

Anda mungkin juga menyukai