Anda di halaman 1dari 91

BAB I

PENDAHULUAN
Diabetes Mellitus (DM) merupakan suatu penyakit menahun yang
ditandai oleh kadar glukosa darah melebihi normal dan gangguan
metabolisme karbohidrat, lemak, dan protein yang disebabkan oleh
kekurangan hormon insulin secara relatif maupun absolut. Pada umumnya
dikenal 2 tipe diabetes, yaitu diabetes tipe 1 (tergantung insulin), dan
diabetes tipe 2 (tidak tergantung insulin).
Diabetes melitus merupakan penyebab kematian ke dua belas di
dunia(2). Penyakit diabetes melitus dapat mengenai semua organ tubuh
seperti otak (stroke), ginjal (gagal ginjal), jantung, mata dan kaki
(amstrong dan Lawrence). Salah satu komplikasi menahun dari diabetes
melitus adalah ulkus diabetikum. Prevalensi penderita ulkus diabetikum di
AS sebesar 15-20% dan angka mortalitas sebesar 17,6% bagi penderita
diiabetes melitus dan merupakan sebab utama perawatan penderita
diabetes melitus dirumah sakit(1). Ulkus diabetikum pada penderita
diabetes melitus merupakan komplikasi yang berkaitan dengan morbiditas
akibat komplikasi mikrovaskuler dan makrovaskuler oleh karena diabetes
melitus.
Komplikasi ulkus diabetikum menjadi alasan tersering rawat inap
pasien diabetes melitus berjumlah 25% dari seluruh rujukan diabetes
melitus di amerika serikat dan inggris(1). Menurut Institut National
Diabetes dan Penyakit Pencernaan dan Ginjal, 16.000.000 penduduk
Amerika diperkirakan diketahui menderita diabetes, dan jutaan lainnya
yang dianggap beresiko terkena penyakit itu. Di antara pasien dengan
diabetes, 15% menjadi ulkus kaki, dan 12-24% dari individu dengan ulkus
kaki memerlukan amputasi(1). Setiap tahun sekitar 5% dari penderita
diabetes dapat menjadi ulkus diabetikum dan 1% memerlukan amputasi.
Bahkan tingkat kekambuhan dalam populasi pasien adalah 66% dan laju
amputasi naik sampai 12%. Setengah dari semua amputasi nontraumatic
adalah akibat komplikasi ulkus diabetikum.

Pengelolaan ulkus diabetikum mencakup pengendalian glukosa


darah, debridemen atau membuang jaringan yang rusak, pemberian
antibiotik dan obat-obat vaskularisasi serta amputasi.
Rumah Sakit Margono Soekarjo sendiri dimungkinkan jumlah
pasien yang mengunjungi poliklinik diabetes melitus sangat banyak dan
memiliki berbagai macam komplikasi khususnya ulkus, oleh karena itu
peneliti tertarik sehingga diharapkan terdapat suatu upaya menurunkan
angka penderita komplikasi ulkus diabetikum serta langkah-langkah untuk
mengatasi komplikasi tersebut.
BAB II
STATUS PASIEN
A. Identifikasi Pasien
Nama Lengkap
Nomor MR
Tempat/tanggal lahir/umur
Status perkawinan
Pekerjaan
Alamat
Jenis Kelamin
Suku Bangsa
Agama
Pendidikan
B. Anamnesis
Diambil dari
Tanggal
Jam
Keluhan Utama

: Ny. Masdiana
: 413749
: 13-07-1968, 46 Tahun
: Kawin
: Ibu rumah tangga
: Seputih Jaya, Kec. Gunung Sugih
: Perempuan
: Lampung, Indonesia
: Islam
: SLTP

: Autoanamnesis
: 28-5-2015
: 06.00 WIB
: Luka pada kaki kanan yang semakin
meluas dan tidak kunjung sembuh sejak 1

Keluhan tambahan

bulan yang lalu


: Lemas, mual, pusing, nyeri pada ulu hati.

Riwayat Penyakit Sekarang :


Pasien dating dengan keluhan luka koreng pada kedua kakinya yang
tidak juga mengering walaupun sudah dirawat satu bulan lamanya.
Luka terletak pada kaki kanan pasien, berupa 3 buah ulkus dengan
diameter 8 cm. Luka masih mengeluarkan nanah berwarna kuning

yang banyak dan berbau tidak sedap serta terasa sedikit nyeri. Bagian
atas luka koreng tampak betis pasien memerah dan membengkak
serta teraba hangat. Pada betis pasien juga mulai terlihat luka terbuka
kecil dengan diameter 2 cm. pasien masih dapat merasakan
sentuhan pada tlapak kakinya, namun suda mulai sulit membedakan
mana sensasi sentuhan benda tajam dan tumpul. Jari-jari kaki kanan
pasien masih dapat digerakkan walaupun mengalami sedikit
kesulitan untuk menggerakkannya. Pasien mengakui sebulan lalu,
awalnya lukanya hanyalah seperti betisnya saja, telapak kaki pasien
membengkak, dan terasa hangat apabila diraba, 1 minggu kemudian,
mulai timbul adanya ulkus, yang biasanya dirawat pasien dengan
cara membasuh telapak kakinya dengan air hangat bersih, dan sabun
antiseptik. Luka tidak kunjung juga sembuh dan makin meluas
hingga sekarang. Pasien sempat dirawat di RS Tjokrodipo dan diberi
obat Hiperglikemia oral dan insulin, dan mendapat perawatan luka
pada kakinya serta antibiotik selama seminggu, namun kondisi
pasien kaki pasien tidak juga membaik, akhirnya pasien dirujuk ke
RSAM untuk dilakukan kultur bakteri dari pus yang keluar dari
lukanya.
Pasien mengaku memang telah lama memiliki penyakit Diabetes
mellitus yang didiagnosis sejak 5 tahun yang lalu. Pasien mengaku
pada awalnya pasien merasakan penurunan berat badan drastis
walaupun pasien merasa dirinya banyak makan dan minum. Pasien
juga mengaku sampai sekarang masih sering terbangun pada malam
hari untuk buang air kecil. Pasien tidak terlalu rutin kontrol penyakit
Diabetesnya selama ini. Obat yang didapatnya dari dokter juga tidak
diminum dengan taat, dan pasien juga masih belum terlalu menjaga
asupan makannya. Pasien mengaku masih sering makan makanan
dan minuman yang mengandung karbohidrat tinggi dan gula. Pasien
mengaku bahwa didalam keluarganya, ibunya juga menderita
diabetes mellitus.
Pasien juga mengaku memiliki riwayat Hipertensi yang didiagnosis
sejak 3 tahun yang lalu. Namun, sebelumnya pasien mengaku sudah

sering merasakan rasa sakit di kepala yang menjalar hingga ke leher


dan tengkuk dan bahunya. Namun pasien tidak pernah memeriksakan
darah tingginya pada dokter, apabila merasakan sakit kepalanya tidak
dapat ditahan lagi, pasien biasanya membeli obat penurun darah
tinggi sendiri di apotik, captopril, dengan dosis 12,5mg yang
dibelinya sendiri atas saran dari kerabatnya.
Selain itu, pasien juga mengeluhkan rasa lemas, mual dan nyeri pada
ulu hatinya serta nafsu makannya yang semakin menurun. Pasien
mengaku dulu pernah sempat mejadi perokok aktif. Namun sudah
lama berhenti sejak mulai berkeluarga.
R/ Hipertensi tidak terkontrol
R/ Diabetes Mellitus tidak terkontrol
Riwayat Penyakit Dahulu
(-)

Cacar

(-)

Malaria

(-)

Batu ginjal/ sal.

(-)
(-)
(-)
(-)
(-)
(-)
(-)

Cacar air
Difteri
Batuk Rejan
Campak
Influenza
Tonsilitis
Kholera

(-)
(-)
(-)
(-)
(-)
(-)
(+)

Disentri
Hepatitis
Tifus abd
Skirofula
Sifilis
Gonore
Hipertensi

(-)
(-)
(-)
(-)
(-)
(-)
(-)

Kemih
Hernia
Prostat
Wasir
Diabetes
Alergi
Tumor
Penyakit

(-)

Demam

(-)

Ulkus Ventrikui

(-)

vaskuler
Operasi

(-)
(-)
(-)

Rematik Akut
Pneumonia
Peluritis
Tuberkolosis

(-)
(-)
(-)

Ulkus Duodeni
(-)
Gastritis
Batu empedu dll

kecelakaan

Riwayat Penyakit Keluarga

Hubungan
Kakek
Nenek
Ayah

Umur
(Tahun)

Jenis
Kelamin
Lk
Pr
Lk

Keadaan Kesehatan

Penyebab

Meninggal
Meninggal
Meninggal

Meninggal
Tidak diketahui
Tidak diketahui
Jantung

Ibu
Saudara
Anak-anak

Pr
3 saudara
3 anak

Adakah kerabat yang menderita


Penyakit
Diabetes Mellitus
Asma
Tuberkulosa
Artritis
Rematisme
Hipertensi
Jantung
Ginjal
Lambung

Ya
+

Tidak

Hubungan
Ibu Kandung

+
+
+
+
+
+

Ayah dan Ibu Kandung


Ayah Kandung
+

Adik perempuan

C. Anamnesis sistem
Kulit
Kepala
Mata
Telinga
Mulut
Tenggorokan
Leher
Dada
Abdomen
Saluaran Kemih
Katanemis
Haid
Saraf dan otot
Ekstremitas

: Kulit kering dan terasa gatal


: Sakit Kepala seperti ditusuk, tengkuk berat.
: Pandangan sedikit mengabur pada kedua mata.
: Tidak ada keluhan
: Tidak ada keluhan
: Tidak ada Keluhan
: Tidak ada Keluhan
: Tidak ada keluhan
: Mual, terasa nyeri seperti terbakar pada ulu hati
: Terkadang terasa gatal pada kemaluan.
: Tidak ada keluhan
: Tidak ada keluhan
: Tidak ada keluhan
: Edema, terlihat bengkak kemerahan pada kaki

kanan.
BERAT BADAN
Berat badan rata-rata
Tinggi badan
Berat Badan sekarang
IMT
BBI

: 55-60 kg
: 160 cm
: 48 kg
: 18.2 (cukup)
: (160-100)-10%
48:54x100%

88% = normal. (status gizi broaca)


RIWAYAT HIDUP
Tempat lahir

: Di rumah, dibantu oleh bidan.

Riwayat imunisasi: BCG, Polio.


Riwayat makanan : 3 kali sehari, 1 porsi sekali makan, bervariasi,
dominasi makanan berlemak dan gorengan, serta makanan tinggi
karbohidrat, jarang dengan sayuran. Sering makan ikan-ikanan yang
diasinkan
Pendidikan

: SLTP

Kesulitan

: Ekonomi

PEMERIKSAAN FISIK
Pemeriksaan Umum
Tinggi Badan
Berat Badan
Tekanan darah
Nadi
Suhu
Pernafasan dan tipe
Keadaan gizi
Kesadaran
Sianosis
Edema Umum

: 160 cm
: 48 kg
: 150/80 mmHg
: 80x/menit, regular, pulsus magnus.
: 37,3o C
: 20x/ menit, thoracoabdominalis
: Cukup
: Compos Mentis
:: Tungkai kanan, edema dan tampak

kemerahan
Habitus
: Piknikus
Cara Berjalan
: Normal
Mobilitas
: Aktif
Umur menurut taksiran pemeriksa : 48 tahun.
ASPEK KEJIWAAN
Tingkah laku
: Wajar
Alam perasaan : Biasa
Proses pikir
: Wajar
STATUS GENERALIS
Kulit
Warna
: coklat

Jaringan parut : tidak ada kelainan


Pertumbuhan rambut : merata
Suhu raba
: Hangat
Keringat
: Umum : normal
Setempat : normal
Lapisan Lemak : normal
Efloresensi
:Pigmentasi
:Pembuluh darah : normal
Lembab/kering : Kering
Turgor
: kembali dengan cepat
Ikterus
:Edema
: (+) pada tungkai kanan
Kelenjar Getah Bening
- Tidak terdapat pembengkakan
Kepala
Tampak Sakit sedang, rambut hitam merata, simetris, pembuluh
darah temporal normal.
Mata
Pandangan mata sedikit terganggu dan rabun.
Telinga
Dalam Batas Normal
Mulut
Dalam batas Normal
Leher
Tekanan JVP

: 5-2 cmH2O

Kelenjar tiroid : Normal


Kelenjar limfe : Normal
Dada
Bentuk

: Normal

Pembuluh darah : Normal


Buah dada

: Simetris, tidak terdapat massa dan pembengkakan.

Paru-Paru
Inspeksi : Simetris, kanan = kiri
Palpasi : fremitus (+) kiri = kanan di depan dan belakang
Perkusi : Sonor di semua permukaan thorax
Auskultasi : Vesikuler, ronki -/- pada basal, wheezing -/Jantung
Inspeksi : Iktus cordis tidak terlihat
Palpasi : Iktus cordis teraba di ics 5 sinistra
Perkusi : Batas jantung atas ICS 2 midclavicula sinistra
Batas jantung kiri ICS 6 axilla midclavicula sinistra
Batas jantung kanan ICS 5 garis sterna dextra
Auskultasi : Depan = Bunyi jantung I/II regular gallop () murmur
(-)
Pembuluh Darah
Arteri temporalis, karotis, brakhialis, radialis, femoralis, poplitea dan
tibialis posterior dalam batas normal.

Abdomen
Ispeksi

: Datar

Palpasi

: Dinding perut normal, terdapat nyeri tekan pada


epigastrium.
Hati : Teraba, kesan hepar normal, nyeri tekan (-),
permukaan datar, tidak bernodul konsistensi
lunak.
Limpa : Normal
Ginjal : Normal

Auskultasi

: BU + Normal

Refleks dinding perut : Genitalia eksterna : Tidak ada indikasi pemeriksaan.


Anggota gerak
Lengan : tonus normal, massa -, sendi gerak aktif kekuatan otot 5
pada kedua lengan
Tungkai dan kaki : Edema di kedua tungkai, tonus normal, gerakan
aktif kekuatan 5/5 di tungkai kiri dan 4/5 di
tungkai kanan.
Refleks
Refleks fisiologis normal, tidak ditemukan adanya reflex patologis.

PEMERIKSAAN PENUNJANG
Darah
Hb

: 9,4 g/dL

Ht

: 35 %

Leukosit

: 29.320 /uL

LED

: 56 mm/jam

Hitung Jenis

: Basophil 0% Eosinophil 0% Batang 0%


Segmen 91% Limfosit 5 % Monosit 4%

Trombosit

: 530.000/ uL

Urine Lengkap belum dilakukan


Tinja Lengkap belum dilakukan
GDS

: 239

GDN

: 198

GD2PP

: 321

Ureum

: 11

Creatinine

: 0.80

SGPT

:6

SGOT

: 10

RINGKASAN
Pasien Tn. M berusia 58 tahun datang dengan keluhan luka pada
kakinya yang tidak kunjung sembuh walaupun sudah dirawat sebulan
lamanya. Luka diawali bengkak kemerahan dan hangat bila diraba.
Pada tungkai yang membengkak, timbul luka koreng dan bernanah
berwarna kuning seminggu kemudian, dan semakin parah hingga
sekarang. Pasien mengaku memiliki riwayat DM yang sudah
didiagnosis selama 5 tahun lamanya. Penurunan berat badan drastis
(+) poliuri (+) polidipsi, polifagi, riwayat keluarga dengan DM,
riwayat makan dominasi makanan tinggi karbohidrat dan gula,
riwayat perokok aktif. Tekanan Darah 150/80 pada pemeriksaan

fisik, sering merasakan pusing menjalar ke tengkuk hingga ke


pundak GDS = 239, GDPP= 321, GDN= 198.
DIAGNOSIS KERJA DAN DASAR DIAGNOSIS
1. Diagnosis kerja
Ulkus Diabetikum + Diabetes Mellitus Tipe II + Hipertensi Stage
I
2. Dasar Diagnosis
Luka di kaki yang sulit sembuh
Riwayat DM tidak terkontrol
Gangguan sensoris pada tungkai
Poliuri
Nocturia
Polifagi
Polidipsi
Berat badan yang turun drastis
GDS = 239
GDN = 198
GDPP = 321
Riwayat keluarga dengan Diabetes Mellitus
Kebiasaan makan makanan dominasi karbohidrat tinggi dan gula.
Riwayat merokok aktif.
Tekanan darah = 150/80
DIAGNOSIS BANDING
- Diabetic Foot Infection
- Chronic Venous insufficiency
Dasar Diagnosis :
Luka di kaki yang sulit sembuh, kaki bengkak kemerahan, ujung
kaki yang menghitam, Riwayat DM tidak terkontrol, Gangguan
sensoris pada tungkai, Poliuri, Nocturia, Polifagi, Polidipsi, Berat
badan yang turun drastis
GDS = 239, GDN = 198, GDPP = 321

PEMERIKSAAN ANJURAN
-

Foto rontgent pedis


Tes urine lengkap, Faal Ginjal
Kultur pus dan Uji sensitivitas antibiotic
Profil Lipid

RENCANA PENGELOLAAN
-

IVFD NaCl 20 gtt/ menit.


Ganti balutan perhari
Captopril 2 x 25 mg
Ceftriaxone 1 g /12 jam
Ranitidine injeksi 1 ampul / 12 jam
Injeksi insulin

PENCEGAHAN
- Hindari diet tinggi karbohidrat dan gula
PROGNOSIS
Quo ad Vitam dubia ad bonam
Quo ad Functionam dubia ad malam
Quo ad Sana tianam dubia ad bonam

BAB III
TINJAUAN PUSTAKA
A.

ULKUS DIABETIKUM
Ulkus adalah luka terbuka pada permukaan kulit atau selaput lendir
disertai kematian jaringan yang luas dan invasif kuman saprofit. Ulkus
diabetikum adalah salah satu komplikasi kronik DM berupa luka terbuka
pada permukaan kulit yang dapat disertai adanya kematian jaringan setempat.
Pada pasien dengan ulkus diabetikum akibat mikroangiopatik disebut
juga gangren panas karena walaupun nekrosis, daerah akral itu tampak merah
dan terasa hangat oleh peradangan, dan biasanya teraba pulsasi arteri di
bagian distal.Biasanya terdapat ulkus diabetik pada telapak kaki.Proses
makroangiopati

menyebabkan

sumbatan

pembuluh

darah

makroangiopati menyebabkan sumbatan pembuluh darah yang akan


memberikan gejala klinis 5 P, yaitu :
1) Pain (nyeri).
2) Paleness (kepucatan)
3) Paresthesia (parestesia dan kesemutan).
4) Pulselessness (denyut nadi hilang).

Proses

5) Paralysis (lumpuh).
Menurut berat ringannya lesi, kelainan ulkus diabetikum dibagi menjadi
enam derajat menurut Wagner, yaitu:
1. Derajat 0 : tidak ada lesi terbuka, kulit masih utuh dengan kemungkinan
disertai dengan kelainan bentuk kaki "claw,callus"
2. Derajat I : ulkus superficial terbatas pada kulit
3. Derajat II : ulkus dalam, menembus tendon atau tulang
4. Derajat III : abses dalam dengan atau tanpa osteomilitas
5. Derajat IV : ulkus pada jari kaki atau bagian distal kaki atau tanpa selulitas
6. Derajat V : gangren seluruh kaki atau sebagian tungkai
B. PATOFISIOLOGI ULKUS DIABETIKUM
Gangguan vaskuler pada pasien DM merupakan salah satu penyebab
ulkus diabetikum. Pada gangguan vaskuler terjadi iskemik.Keadaan tersebut
di samping menjadi penyebabterjadinya ulkus juga mempersulit proses
penyembuhan ulkus kaki dan mempermudah timbulnya infeksi.Iskemik
merupakan suatu keadaan yang disebabkan oleh karena kekurangan darah
dalam jaringan sehingga kekurangan oksigen. Gangguan tersebut terjadi
melalui dua proses yaitu:
1.

Makroangiopati
Makroangiopati

yang

terjadi

berupa

penyempitan

dan

penyumbatan pembuluh darah ukuran sedang maupun besar menyebabkan


iskemi dan ulkus. Dengan adanya DM proses sterosklerosis berlangsung
cepat

dan

lebih

berat

dengan

keterlibatan

pembuuh

darah

multiple.Aterosklerosis biasanya proximal namun sering berhubungan


dengan oklusi arteri distal pada lutut, terutama arteri tibialis posterior dan
anterior, peronealis, metatarsalis, serta arteri digitalis.
2.

Mikroangiopati.
Mikroangiopati berupa penyempitan dan penyumbatan pembuluh
darah perifer, sering terjadi pada tungkai bawah terutama kaki, akibat
perfusi jaringan bagian distal dari tungkai berkurang kemudian timbul
ulkus kaki diabetika.Proses mikroangiopati darah menjadikan sirkulasi

jaringan menurun yang ditandai oleh hilang atau berkurangnya denyut


nadi pada arteri dorsalis pedis, tibialis dan poplitea, kaki menjadi dingin,
atrofi dan kuku menebal. Kelainan selanjutnya terjadi nekrosis jaringan
sehingga timbul ulkus yang biasanya dimulai dari ujung kaki atau tungkai.
Selain proses diatas pada penderita DM terjadi peningkatan HbA1c
eritrosit yang menyebabkan deformabilitas eritrosit dan pelepasan oksigen
di jaringan oleh eritrosit terganggu, sehingga terjadi penyumbatan yang
mengganggu sirkulasi jaringan dan kekurangan oksigen mengakibatkan
kematian jaringan yang selanjutnya timbul ulkus. Peningkatan kadar
fibrinogen dan bertambahnya aktivitas trombosit mengakibatkan tingginya
agregasi sel darah merah sehingga sirkulasi darah menjadi lambat dan
memudahkan terbentuknya trombosit pada dinding pembuluh darah yang
akan mengganggu sirkulasi darah.
Patofisiologi pada tingkat biomolekuler menyebabkan neuropati
perifer, penyakit vaskuler perifer dan penurunan sistem imunitas yang
berakibat terganggunya proses penyembuhan luka. Neuropati perifer pada
penyakit DM dapat menimbulkan kerusakan pada serabut motorik,
sensoris dan autonom. Kerusakan serabut motoris dapat menimbulkan
kelemahan otot, atrofi otot, deformitas (hammer toes, claw toes, pes cavus,
pes planus, halgus valgus, kontraktur tendon Achilles) dan bersama
dengan adanya neuropati memudahkan terbentuknya kalus. Kerusakan
serabut

sensoris

yang

terjadi

akibat

rusaknya

serabut

mielin

mengakibatkan penurunan sensasi nyeri sehingga memudahkan terjadinya


ulkus kaki. Selain itu pada hiperglikemia terjadi defek metabolism pada sel
schwan sehingga konduksi implus terganggu. Kaki yang tidak berasa akan
berbahaya karena bila menginjak benda tajam tidak akan dirasa padahal
telah timbul luka, ditambah dengan mudahnya terjadi infeksi. Kerusakan
serabut autonom yang terjadi akibat denervasi simpatik menimbulkan kulit
kering (anhidrosis) dan terbentuknya fisura kulit dan edema kaki.
Proses terbentuknya ulkus

Gambar IV. Proses terbentuknya ulkus (11)


Ulkus diabetikum terdiri dari kavitas sentral biasanya lebih besar
dibanding pintu masuknya, dikelilingi kalus keras dan tebal. Pembentukan
ulkus berhubungan dengan hiperglikemia yang berefek terhadap saraf
perifer, kolagen, keratin dan suplai vaskuler. Dengan adanya tekanan
mekanik terbentuk keratin keras pada daerah kaki yang mengalami beban
terbesar. Neuropati sensoris perifer memungkinkan terjadinya trauma
berulang mengakibatkan terjadinya kerusakan jaringan dibawah area
kalus. Selanjutnya terbentuk kavitas yang membesar dan akhirnya ruptur
sampai permukaan kulit menimbulkan ulkus. Adanya iskemia dan
penyembuhan luka abnormal manghalangi resolusi. Mikroorganisme yang
masuk mengadakan kolonisasi didaerah ini. Kadar gula dalam darah yang
meningkat menjadikan tempat perkembangan bakteri ditambah dengan
gangguan pada fungsi imun sehingga bakteria sulit dibersihkan dan infeksi
menyebar ke jaringan sekitarnya.
C. DIAGNOSIS
A. ANAMNESIS / GEJALA KLINIK
Anamnesa
pengumpulan

yang

data

dilakukan

yang

merupakan

diperlukan

dalam

tahap

awal

dari

mengevaluai

dan

mengidentifikasi sebuah penyakit.Pada anamnesa yang sangat penting

adalah mengetahui apakah pasien mempunyai riwayat DM sejak


lama. Gejala-gejala neuropatik diabetik yang sering ditemukan
adalah sering kesemutan, rasa panas di telapak kaki, keram, badan
sakit semua terutama malam hari. Gejala neuropati menyebabakan
hilang atau berkurangnya rasa nyeri dikaki, sehingga apabila
penderita mendapat trauma akan sedikit atau tidak merasakan nyeri
sehingga mendapatkan luka pada kaki.
Selain itu perlu di ketahui apakah terdapat gangguan
pembuluh darah dengan menanyakan nyeri tungkai sesudah berjalan
pada jarak tertentu akibat aliran darah ketungkai yang berkurang
(klaudikasio intermiten), ujung jari terasa dingin, nyeri diwaktu
malam, denyut arteri hilang, kaki menjadi pucat bila dinaikkan serta
jika luka yang sukar sembuh.
B. PEMERIKSAAN FISIK
1) Inspeksi
pada inspeksi akan tampak kulit kaki yang kering dan pecah-pecah
akibat berkurangnya produksi keringat. Hal ini disebabkan karena
denervasi struktur kulit. Tampak pula hilangnya rambut kaki atau jari
kaki, penebalan kuku, kalus pada daerah yang mengalami penekanan
seperti pada tumit, plantar aspek kaput metatarsal. Adanya deformitas
berupa claw toe sering pada ibu jari. Pada daerah yang mengalami
penekanan tersebut merupakan lokasi ulkus diabetikum karena trauma
yang berulang-ulang tanpa atau sedikit dirasakan pasien. Bentuk ulkus
perlu digambarkan seperti; tepi, bau, dasar, ada atau tidak pus, eksudat,
edema, kalus, kedalaman ulkus.

Gambar V. Pemeriksaan pada inspeksi dan palpasi.


2) Palpasi
Kulit yang kering serta pecah-pecah mudah dibedakan dengan kulit
yang sehat. Oklusi arteri akan menyebabkan perabaan dingin serta
hilangnya pulsasi pada arteri yang terlibat. Kalus disekeliling ulkus
akan terasa sebagai daerah yang tebal dan keras. Deskripsi ulkus harus
jelas karena sangat mempengaruhi prognosis serta tindakan yang akan
dilakukan. Apabila pus tidak tampak maka penekanan pada daerah
sekitar ulkus sangat penting untuk mengetahui ada tidaknya pus.
Eksplorasi dilakukan untuk melihat luasnya kavitas serta jaringan
bawah kulit, otot, tendo serta tulang yang terlibat(15).
3) Pemeriksaan Sensorik
Pada penderita DM biasanya telah terjadi kerusakan neuropati sebelum
tebentuknya ulkus. Sehingga apabila pada inspeksi belum tampak
adanya ulkus namun sudah ada neuropati sensorik maka proses
pembentukan ulkus dapat dicegah. Caranya adalah dengan pemakaian
nilon

monofilamen

10

gauge.

Uji

monofilamen

merupakan

pemeriksaan yang sangat sederhana dan cukup sensitif untuk


mendiagnosis pasien yang memiliki risiko terkena ulkus karena telah
mengalami gangguan neuropati sensoris perifer.Hasil tes dikatakan
tidak normal apabila pasien tidak dapat merasakan sentuhan nilon
monofilamen. Bagian yang dilakukan pemeriksaan monofilamen

adalah di sisi plantar (area metatarsal, tumit dan dan di antara


metatarsal dan tumit) dan sisi dorsal.
4) Pemeriksaan Vaskuler
Disamping gejala serta tanda adanya kelainan vaskuler, perlu diperiksa
dengan test vaskuler noninvasive yang meliputi pungukuran oksigen
transkutaneus, ankle-brachial index (ABI), dan absolute toe systolic
pressure. ABI didapat dengan cara membagi tekanan sistolik betis
denga tekanan sistolik lengan. Apabila didapat angka yang abnormal
perlu dicurigai adanya iskemia. Arteriografi perlu dilakukan untuk
memastikan terjadinya oklusi arteri.

Gambar VI. Pemeriksaan sensorik


5) Pemeriksaan Radiologis
Pemeriksaan radiologi akan dapat mengetahui apakah didapat gas
subkutan, benda asing serta adanya osteomielitis(8).
6) Pemeriksaan Laboratorium
Pemeriksaan darah rutin menunjukkan angka lekosit yang meningkat
bila sudah terjadi infeksi. Gula darah puasa dan 2 jam PP harus
diperiksa untuk mengetahui kadar gula dalam lemak. Albumin diperiksa
untuk mengetahui status nutrisi pasien.

D. PENATALAKSANAAN DAN TERAPI


Penatalaksanaan pada pasien dengan ulkus DM adalah mengendalikan kadar
gula darah dan penanganan ulkus DM secara komprehensif(12).
1) PENGENDALIAN DIABETES

a) Terapi non farmakologis:


Langkah awal penanganan pasien dengan kaki diabetik adalah
dengan melakukan manajemen medis terhadap penyakit diabetes
secara sistemik.Diabetes melitus jika tidak dikelola dengan baik akan
dapat menyebabkan terjadinya berbagai komplikasi kronik diabetes,
salah satunya adalah terjadinya gangren diabetik(3). Jika kadar glukosa
darah dapat selalu dikendalikan dengan baik, diharapkan semua
komplikasi yang akan terjadi dapat dicegah, paling sedikit dihambat.
Dalam mengelola diabetes melitus langkah yang harus dilakukan
adalah pengelolaan non farmakologis, Perubahan gaya hidup, dengan
melakukan pengaturan pola makan yang dikenal sebagai terapi gizi
medis dan meningkatkan aktivitas jasmani berupaolah raga ringan(15).
Perencanaan makanan pada penderita diabetes melitus juga
merupakan

pengobatan utama

pada penatalaksanaan

diabetes

melitus.Perencanaan makanan yang memenuhi standar untuk diabetes


umumnya berdasarkan dua hal, yaitu; a).Tinggi karbohidrat, rendah
lemak, tinggi serat, atau b).Tinggi karbohidrat, tinggi asam lemak
tidak jenuh berikatan tunggal. Edukasi kepada keluarga juga sangat
berpengaruh akan keadaan pasien. Peran keluarga sendiri adalah
mengkontrol asupan makanan, obat-obat gula yang dikonsumsi setiap
hari serta mencegah semaksimal mungkin agar penderita tidak
b)

mengalami luka yang dapat memicu timbulnya infeksi(4).


Terapi farmakologis
Terapi farmakologis ini pada prinsipnya diberikan jika
penerapan terapi non farmakologis yang telah dilakukan tidak dapat
mengendalikan kadar glukosa darah sebagaimana yang diharapkan.
Terapi farmakologis yang diberikan adalah pemberian obat anti
diabetes oral dan injeksi insulin. Terdapat enam golongan obat anti
diabetes oral yaitu(15):
1)
Golongan sulfonilurea
2)
Glinid
3)
Tiazolidindion
4)
Penghambat Glukosidase
5)
Biguanid
6)
Obat-obat kombinasi dari golongan-golangan diatas

2). PENANGANAN ULKUS DIABETIKUM


Penanganan

pada

ulkus

diabetikum

dilakukan

secara

komprehensif. Penanganan luka merupakan salah satu terapi yang


sangat penting dan dapat berpengaruh besar akan kesembuhan luka
dan pencegahan infeksi lebih lanjut. Penanganan luka pada ulkus
diabetikum dapat melalui beberapa cara yaitu: menghilangkan atau
mengurangi tekanan beban (offloading), menjaga luka agar selalu
lembab (moist), penanganan infeksi, debridemen, revaskularisasi dan
skin graft.
a) Debridemen
Tindakan debridemen merupakan salah satu terapi penting
pada kasus ulkus diabetika. Debridemen dapat didefinisikan
sebagai upaya pembersihkan benda asing dan jaringan nekrotik
pada luka. Luka tidak akan sembuh apabila masih didapatkan
jaringan nekrotik, debris, calus, fistula atau rongga yang
memungkinkan kuman berkembang. Setelah dilakukan debridemen
luka harus diirigasi dengan larutan garam fisiologis atau pembersih
lain dan dilakukan dressing (kompres). Tujuan dilakukan
debridemen bedah adalah

Mengevakuasi bakteri kontaminasi

Mengangkat jaringan nekrotik sehingga dapat mempercepat


penyembuhan

Menghilangkan jaringan kalus

Mengurangi risiko infeksi lokal

Mengurangi beban tekanan (off loading)


Ada beberapa pilihan dalam tindakan debridemen, yaitu

debridemen mekanik, enzimatik, autolitik, biologik.Debridemen


mekanik dilakukan menggunakan irigasi luka cairan fisiolofis,
ultrasonic

laser,

dan

sebagainya,

dalam

rangka

untuk

membersihkan jaringan nekrotik.Debridemen secara enzimatik


dilakukan dengan pemberian enzim eksogen secara topikal pada
permukaan lesi. Enzim tersebut akan menghancurkan residu residu

protein(6). Debridemen autolitik terjadi secara alami apabila


seseorang terkena luka. Proses ini melibatkan makrofag dan enzim
proteolitik endogen yang secara alami akan melisiskan jaringan
nekrotik. Secara sintetis preparat hidrogel dan hydrocolloid dapat
menciptakan kondisi lingkungan yang optimal bagi fagosit tubuh
dan bertindak sebagai agent yang melisiskan jaringan nekrotik
serta memacu proses granulasi. Menghilangkan atau mengurangi
tekanan beban (offloading).
b)

Perawatan Luka
Perawatan luka modern menekankan metode moist wound
healing atau menjaga agar luka dalam keadaan lembab(5,6).
Lingkungan luka yg seimbang kelembabannya memfasilitasi
pertumbuhan sel dan proliferasi kolagen didalam matrik non
selular yg sehat.Luka akan menjadi cepat sembuh apabila eksudat
dapat dikontrol, menjaga agar luka dalam keadaan lembab, luka
tidak lengket dengan bahan kompres, terhindar dari infeksi dan
permeabel terhadap gas.Tindakan dressing merupakan salah satu
komponen penting dalam mempercepat penyembuhan lesi. Prinsip
dressing adalah bagaimana menciptakan suasana dalam keadaan
lembab sehingga dapat meminimalisasi trauma dan risiko operasi.
Ada beberapa faktor yang harus dipertimbangkan dalam memilih
dressing yang akan digunakan, yaitu tipe ulkus, ada atau tidaknya
eksudat, ada tidaknya infeksi, kondisi kulit sekitar dan biaya. Ada
beberapa jenis dressing yang sering dipakai dalam perawatan luka,
seperti: hydrocolloid, hydrogel, calcium alginate, foam, kompres
anti mikroba.

c)

Pengendalian Infeksi
Pemberian antibitoka didasarkan pada hasil kultur kuman. Pada
infeksi berat pemberian antibitoika diberikan selama 2 minggu atau
lebih.Pada beberapa penelitian menyebutkan bahwa bakteri yang

dominan pada infeksi ulkus diabetik diantaranya adalah s.aureus


kemudian diikuti dengan streotococcus, staphylococcus koagulase
negative, Enterococcus, corynebacterium dan pseudomonas. Pada
ulkus diabetika ringan atau sedang antibiotika yang diberikan di
fokuskan pada patogen gram positif.Pada ulkus terinfeksi yang
berat kuman lebih bersifat polimikrobial (mencakup bakteri gram
positif berbentuk coccus, gram negatif berbentuk batang, dan
bakteri

anaerob)

antibiotika

harus

bersifat

broadspektrum,

diberikan secara injeksi


d) Skin Graft

Gambar VII. Skin graft(18)


Suatu tindakan penutupan luka dimana kulit dipindahkan dari
lokasi donor dan ditransfer ke lokasi resipien. Terdapat dua macam
skin graft yaitu full thicknessdan

split thickness. Skin graft

merupakan salah satu cara rekonstruksi dari defek kulit, yang


diakibatkan oleh berbagai hal. Tujuan skin graft digunakan pada
rekonstruksi

setelah

operasi

pengangkatan

keganasan

kulit,

mempercepat penyembuhan luka, mencegah kontraktur, mengurangi


lamanya perawatan, memperbaiki defek yang terjadi akibat eksisi
tumor kulit, menutup daerah kulit yang terkelupas dan menutup luka
dimana kulit sekitarnya tidak cukup menutupinya (12). Selain itu skin
graft juga digunakan untuk menutup ulkus kulit yang kronik dan sulit

sembuh. Terdapat 3 fase dari skin graft yaitu: imbibition,


inosculation, dan revascularization. Pada fase imbibition terjadi
proses absorpsi nutrient ke dalam graft yang nantinya akan menjadi
sumber nutrisi pada graft selam 24-48 jam pertama. Fase kedua yaitu
inosculation yang merupakan proses dimana pembuluh darah donor
dan resipien saling berhubungan. Selama kedua fase ini, graft saling
menempel ke jaringan resipien dengan adanya deposisi fibrosa pada
permukaannya. Pada fase ketiga yaitu revascularization terjadi
diferensiasi dari pembuluh darah pada arteriola dan venula.
e) Tindakan Amputasi
Tindakan amputasi dilakukan bila dijumpai adanya gas
gangren, jaringan terinfeksi, untuk menghentikan perluasan infeksi,
mengangkat bagian kaki yang mengalami ulkus berulang.Komplikasi
berat dari infeksi kaki pada pasien DM adalah fasciitis nekrotika dan
gas gangren.Pada keadaan demikian diperlukan tindakan bedah
emergensi

berupa

amputasi.

Amputasi

bertujuan

untuk

menghilangkan kondisi patologis yang mengganggu fungsi, penyebab


kecacatan atau menghilangkan penyebab yang didapat.
\
Penanganan ulkus diabetik dapat dilakukan dalam beberapa tingkatan
sesuai dengan pembagian menurut wanger, yaitu:
a) Tingkat 0 :
Penanganan meliputi edukasi kepada pasien tentang alas kaki khusus
dan pelengkap alas kaki yang dianjurkan.Sepatu atau sandal yang dibuat
secara khusus dapat mengurangi tekanan yang terjadi. Bila pada kaki
terdapat tulang yang menonjol atau adanya deformitas, biasanya tidak
dapat hanya diatasi dengan pengguna-an alas kaki buatan umumnya
memerlukan tindakan pemotongan tulang yang menonjol (exostectomy)
atau dengan pembenahan deformitas.
b) Tingkat I

Memerlukan debridemen jaringan nekrotik atau jaringan yang


infeksius, perawatan lokal luka dan pengurangan beban.
c) Tingkat II :
Memerlukan debridemen, antibiotik yang sesuai dengan hasil kultur,
perawatan lokal luka dan teknik pengurangan beban yang lebih berarti.
d) Tingkat III :
Memerlukan debridemen jaringan yang sudah menjadi gangren,
amputasi sebagian, imobilisasi yang lebih ketat, dan pemberian
antibiotik parenteral yang sesuai dengan kultur.
e) Tingkat IV :
Pada tahap ini biasanya memerlukan tindakan amputasi sebagian atau
amputasi seluruh kaki.
3). EVALUASI ULKUS DIABETIKUM
Prinsip dasar yang baik pengeolaan terhadap ulkus diabetikum adalah:
a) Evaluasi keadaan klinis luka, dalamnya luka, gambaran radiologi
(benda asing, osteomielitis, adanya gas subkutis), lokasi, biopsy
vaskularisasi (non invasive).
Pengobatan ulkus sangat dipengaruhi oleh derajat dan dalamnya ulkus.
Hati-hati apabila menjumpai ulkus yang nampaknya kecil dan dangkal
karena kadang-kadang hal tersebut hanya merupakan puncak dari
gunung es dan pada pemeriksaan yang seksama penetrasi itu mungkin
mencapai jaringan yang lebih dalam.
b) Pengelolaan terhadap neuropati diabetic
Pada dasarnya pengelolaan neuropati diabetic dilakukan dengan
mengontrol gula darah dan pemberian obat-obatan kausal dan
simptomatik. Pengontrolan gula darah secara terus menerus dan
pengobatan DM yang intensif akan menghambat progresitifitas
neuropati sebesar 60%.
c) Kontrol metabolik
Terjadinya aterosklerosis adalah akibat defek metabolik dan defek
fisik.Faktor resiko terjadinya aterosklerosis antara lain hiperglikemia,
hiperinsulinemia,

dislipidemia,

hipertensi,

obesitas,

hiperkoagulabilitas, genetik, dan merokok. Semua faktor resiko yang

dapat diobati seharusnya segera dikontrol dengan sebaik-baiknya


untuk menghambat proses terjadinya aterosklerosis lebih lanjut.
d) Debridemen dan pembalutan
Pada dasarnya terapi ulkus diabetikum sama dengan terapi lain, yaitu
mempersiapkan bed luka yang baik untuk menunjang tumbuhnya
jaringan granulasi, sehingga proses penyembuhan luka dapat terjadi.
Kita mengenalnya dengan preparasi bed luka. Harus diketahui bahwa
tidak ada obat-obatan topikal yang dapat menggantikan debridement
yang baik dengan teknik yang benar dan proses penyembuhan luka
selalu dimulai dari jaringan yang bersih. Tujuan dasar dari debridement
adalah mengurangi kontaminasi pada luka untuk mengontrol dan
mencegah infeksi. Pemeriksaan kultur diperlukan terutama pada ulkus
yang dalam dan diambil dari jaringan yang dalam. Diperlukan
debridement yang optimal sampai nampak jaringan sehat dengan cara
membuang jaringan nekrotik. Debridemen yang tidak optimal akan
menghambat penyembuhan ulkus.
Pembalutan berguna untuk menjaga dan melindungi kelembaban
jaringan, perangsang penyembuhan luka, melindungi dari suhu luar,
serta mudah dibuka tanpa rasa nyeri dan merusak luka.Suasana lembab
membuat suasana optimal untuk akselerasi penyembuhan dan memacu
pertumbuhan jaringan.
e) Biakan kultur
Untuk menentukan bakteri penyebab infeksi diperlukan kultur.
Pengambilan bahan kultur dengan cara swab tidak dianjurkan. Hasil
kultur akan lebih dipercaya apabila pengambilan bahan dengan cara
curettage dari hasil ulkus setelah debridement.
f) Antibiotika
Pada ulkus diabetika ringan/sedang antibiotika yang diberikan
difokuskan pada pathogen gram positif.Pada ulkus terinfeksi berat
lebih bersifat polimikrobial.Antibiotika harus bersifat broadspectrum
dan diberikan secara injeksi.
g) Perbaikan sirkulasi
Penderita DM mempunyai kecenderungan untuk lebih mudah
mengalami koagulasi dibandingkan yang bukan DM akibat adanya
gangguan viskositas pada plasma, deformibilitas eritrosit, agregasi

trombosit serta adanya peningkatan trogen dan faktor Willbrand.Obatobat yang mempunyai efek reologik bencyclame, pentoxyfilin dapat
memperbaiki eritrosit disamping mengurangi agregasi eritrosit pada
trombosit.
h) Non weight bearing
Tindakan ini diperlukan karena umumnya kaki penderita tidak peka
lagi terhadap rasa nyeri, sehingga apabila dipakai berjalan maka akan
menyebabkan luka bertambah besar dan dalam, cara terbaik untuk
mencapainya dengan mempergunakan gips.
i) Nutrisi
Faktor nutrisi merupakan salah satu faktor yang berperan dalam
penyembuhan luka. Adanya anemia dan hipoalbuminemia akan sangat
berpengaruh terhadap proses penyembuhan. Perlu dilakukan monitor
kadar Hb dan albumin darah minimal satu minggu sekali. Besi, vitamin
B12, asam folat membantu sel darah membawa oksigen ke jaringan.
Besi juga merupakan suatu kofaktor dalam sintesis kolagen sedangkan
vitamin C dan zinc penting untuk perbaikan jaringan. Zinc juga
berperan dalam respon imun.
4). Penyulit Ulkus Diabetikum
Infeksi merupakan ancaman utama amputasi pada penderita ulkus
diabetikum.Infeksi superficial di kulit apabila tidak segera ditangani
dapat menembus jaringan di bawah kulit, seperti tendon, sendi, dan
tulang atau bahkan menjadi infeksi sistemik. Pada ulkus kaki terinfeksi
dan kaki diabetic terinfeksi (tanpa ulkus) harus dilakukan kultur dan
sensitifitas kuman. Hampir 2/3 pasien dengan ulkus kaki diabteik
memberikan komplikasi osteomielitis. Osteomielitis yang tidak
terdeteksi akan mempersulit penyembuhan ulkus. Gulah darah pasien
ulkus juga bisa menjadi hambatan dalam proses penyembuhan luka
maka dari itu perlu juga dikonsultasikan ke bagian ahli gizi, dan
apabila diperlukan di konsultasikan kepada ahli fisioterapi agar proses
penyembuhan bisa lebih maksimal.
B.

DIABETES MELITUS TIPE 2


a. Epidemiologi

Diabetes Mllitus tipe 2 (DM tipe 2) merupakan penyakit metabolik


yangprevalensinya meningkat dari tahun ketahun. Indonesia dengan
jumlahpenduduk yang melebihi 200.000.000 jiwa, sejak awal abad ini
telah menjadinegara dengan jumlah penderita DM nomor 4 terbanyak
didunia. DM tipe 2merupakan penyakit progresif dengan komplikasi akut
maupun khronik.Dengan pengelolaan yang baik, angka morbiditas dan
mortalitas dapatditurunkan. Dalam pengelolaan DM tipe 2, diperlukan
juga usaha mengkoreksifaktor-faktor risiko penyakit kardiovaskuler yang
sering menyertai DM tipe 2,seperti hipertensi, dislipidemia, resistensi
insulin dan lain-lain. Walaupundemikian pengendalian kadar glukosa
darah tetap menjadi fokus utama.1

b. Klasifikasi
Menurut American Diabetes Association (ADA) 2005, Diabetes melitus
merupakan suatu kelompok penyakit metabolik dengan karakteristik
hiperglikemia yang terjadi karena kelainan sekresi insulin, kerja insulin atau
kedua-duanya. Sedangkan menurut WHO 1980 dikatakan bahwa diabetes
melitus sebagai suatu kumpulan problema anatomik dan kimiawi yang
merupakan akibat dari sejumlah faktor di mana didapat defisiensi insulin
absolut atau relatif dan gangguan fungsi insulin.2
Klasifikasi Diabetes Melitus menurut American Diabetes Association
(ADA), 2005, yaitu3 :
1. Diabetes Melitus Tipe 1

DM ini disebabkan oleh kekurangan insulin dalam darah yang terjadi akibat
kerusakan dari sel beta pankreas. Gejala yang menonjol adalah sering
kencing (terutama malam hari), sering lapar dan sering haus, sebagian besar
penderita DM tipe ini berat badannya normal atau kurus. Biasanya terjadi
pada usia muda dan memerlukan insulin seumur hidup.
2. Diabetes Melitus Tipe 2
DM ini disebabkan insulin yang ada tidak dapat bekerja dengan baik, kadar
insulin dapat normal, rendah atau bahkan meningkat tetapi fungsi insulin
untuk metabolisme glukosa tidak ada atau kurang. Akibatnya glukosa dalam
darah tetap tinggi sehingga terjadi hiperglikemia, dan 75% dari penderita DM
type II ini dengan obesitas atau kegemukan dan biasanya diketahui DM
setelah usia 30 tahun.
3. Diabetes Melitus Tipe lain
a. Defek genetik pada fungsi sel beta
b. Defek genetik pada kerja insulin
c. Penyakit eksokrin pankreas
d. Endokrinopati
e. Diinduksi obat atau zat kimia
f. Infeksi KLASIFIKASI DIABETES MELITUS PERKENI
1998
g. Imunologi
DM TIPE 1:
4.

DM TIPE LAIN :

DM TIPE 2 :
DM Gestasional

1. Defek genetik fungsi sel beta :

Defisiensi

Defisiensi

insulin absolut

relatif :

Maturity onset diabetes of the young

akibat destuksi

1, defek sekresi

Mutasi mitokondria DNA 3243 dan lain-lain

sel beta,

insulin lebih

2. Penyakit eksokrin pankreas :Pankreatitis

karena:

dominan daripada

Pankreatektomy

resistensi insulin.

3.Endokrinopati : akromegali, cushing,

2. resistensi insulin

hipertiroidisme

lebih dominan

4.akibat obat : glukokortikoid, hipertiroidisme

daripada defek

5.Akibat virus: CMV, Rubella

sekresi insulin.

6.Imunologi: antibodi anti insulin

1.autoimunA
2. idiopatik

insulin

7. Sindrom genetik lain: sdr. Down, Klinefelter

DM
GESTASIONAL

c. Patofisiologi
DM dibagi menjadi dua katagori utama berdasar pada sekresi insulin
endogenyaitu (1) insulin dependent diabetes mellitus (IDDM) dan (2) non
insulin dependentdiabetes mellitus (NIDDM).
Kerusakan sel pankreas diperantarai oleh proses autoimun terjadi pada
IDDMatau DM tipe 1. Petanda destruksi imun yang dapat diperiksa adalah
autoantibodyislet cell, autoantibody insulin, autoantobody glutamic acid
decarboxylase(GAD65). Satu atau lebih antibodi tersebut terdeteksi pada 8085% penderitahiperglikemia saat awal deteksi. Pada IDDM kadar glukosa
darah sangat tingginamun tidak dapat digunakan secara optimal untuk
pembentukan energi, oleh karenaitu energi diperoleh dari peningkatan
katabolisme lipid dan protein.Patofisiologi pada NIDDM disebabkan karena
dua hal yaitu (1) penurunanrespons jaringan perifer terhadap insulin,
peristiwa

tersebut

dinamakan

resistensiinsulin,

dan

(2)

penurunan

kemampuan sel pankreas mensekresi insulin sebagai respons terhadap


beban glukosa. Konsentrasi insulin yang tinggimengakibatkan reseptor
insulin berupaya melakukan pengaturan sendiri (selfregulation) dengan
menurunkan jumlah reseptor atau down regulation. Hal inimembawa dampak
pada penurunan respons reseptornya dan lebih lanjutmengakibatkan
terjadinya resistensi insulin. Di lain pihak, kondisi hiperinsulinemiajuga dapat
mengakibatkan desensitisasi reseptor insulin pada tahap postreceptor,yaitu
penurunan aktivasi kinase reseptor, translokasi glucose transporter dan

aktivasiglycogen synthase. Kejadian ini mengakibatkan terjadinya resistensi


insulin. Padaresistensi insulin, terjadi peningkatan produksi glukosa dan
penurunan penggunaanglukosa sehingga mengakibatkan peningkatan kadar
gula darah (hiperglikemik). Pada tahap ini sel pankreas mengalami adaptasi
diri sehingga responnya untuk mensekresi insulin menjadi kurang sensitif,
dan pada akhirnya membawa akibat padadefisiensi insulin.Penelitian
mengenai

patologi

dikembangkan.Penelitian

diabetes
yang

dan

dikembangkan

komplikasinya
menggunakan

terus
hewan

percobaan diabetik.4

d. Diagnosis
Diagnosis DM ditegakkan atas dasar pemeriksaan kadarglukosa darah.
Diagnosis tidak dapat ditegakkan atas dasaradanya glukosuria. Guna
penentuan diagnosis DM, pemeriksaanglukosa darah yang dianjurkan adalah
pemeriksaanglukosa secara enzimatik dengan bahan darah plasma vena.

Penggunaan bahan darah utuh (wholeblood), vena, ataupunangka kriteria


diagnostik yang berbeda sesuai pembakuan olehWHO. Sedangkan untuk
tujuan pemantauan hasil pengobatandapat dilakukan dengan menggunakan
pemeriksaan glukosadarah kapiler dengan glukometer.2

Berbagai keluhan dapat ditemukan pada penyandang diabetes.Kecurigaan


adanya DM perlu dipikirkan apabila terdapat keluhanklasik DM seperti di
bawah ini:

- Keluhan klasik DM berupa: poliuria, polidipsia, polifagia, danpenurunan


berat badan yang tidak dapat dijelaskan sebabnya
- Keluhan lain dapat berupa: lemah badan, kesemutan, gatal,mata kabur, dan
disfungsi ereksi pada pria, serta pruritus vulvaepada wanita

Diagnosis DM dapat ditegakkan melalui tiga cara:


1. Jika keluhan klasik ditemukan, maka pemeriksaan glukosaplasma sewaktu
>200 mg/dL sudah cukup untuk menegakkandiagnosis DM2. Pemeriksaan
glukosa plasma puasa 126 mg/dL denganadanya keluhan klasik.
3. Tes toleransi glukosa oral (TTGO). Meskipun TTGO denganbeban 75 g
glukosa lebih sensitif dan spesifik dibanding denganpemeriksaan glukosa
plasma puasa, namun pemeriksaan inimemiliki keterbatasan tersendiri.
TTGO sulit untuk dilakukanberulang-ulang dan dalam praktek sangat
jarang dilakukankarena membutuhkan persiapan khusus.

Apabila hasil pemeriksaantidak memenuhi kriteria normal atau DM,


bergantungpada hasil yang diperoleh, maka dapat digolongkan ke
dalamkelompok toleransi glukosa terganggu (TGT) atau glukosadarah puasa
terganggu (GDPT).
1. TGT: Diagnosis TGT ditegakkan bila setelah pemeriksaanTTGO
didapatkan glukosa plasma 2 jam setelah bebanantara 140 199 mg/dL
(7,8-11,0 mmol/L).
2. GDPT: Diagnosis GDPT ditegakkan bila setelah pemeriksaanglukosa
plasma puasa didapatkan antara 100 125 mg/dL(5,6 6,9 mmol/L) dan
pemeriksaan TTGO gula darah 2 jam< 140 mg/dL.
3. Tes toleransi glukosa oral (TTGO). Meskipun TTGO denganbeban 75 g
glukosa lebih sensitif dan spesifik dibanding denganpemeriksaan glukosa
plasma puasa, namun pemeriksaan inimemiliki keterbatasan tersendiri.
TTGO sulit untuk dilakukanberulang-ulang dan dalam praktek sangat
jarang dilakukankarena membutuhkan persiapan khusus. Apabila hasil
pemeriksaantidak memenuhi kriteria normal atau DM, bergantungpada

hasil yang diperoleh, maka dapat digolongkan ke dalamkelompok


toleransi glukosa terganggu (TGT) atau glukosadarah puasa terganggu
(GDPT).

II.

Pengelolaa

Diabetes Melitus Tipe 2


e.

Penatalaksanaan
Resistensi insulin merupakan dasar dari diabetes tipe 2, dan kegagalansel

mulai

terjadi

sebelum

berkembangnya

diabetes

yaitu

dengan

terjadinyaketidakseimbangan antara resistensi insulin dan sekresi insulin. De


Fronzomenyatakan bahwa fungsi sel menurun sebesar kira-kira 20% pada
saatterjadi

intoleransi

glukosa.

Dengan

demikian

jelas

bahwa

pendekatanpengobatan diabetes tipe 2 harus memperbaiki resistensi insulin


danmemperbaiki fungsi sel .
Hal yang mendasar dalam pengelolaan Diabetes mellitus tipe 2
adalahperubahan pola hidup yaitu pola makan yang baik dan olah raga
teratur.Dengan atau tanpa terapi farmakologik, pola makan yang seimbang dan
olahraga teratur (bila tidak ada kontraindikasi) tetap harus dijalankan.1

Target glikemik
Penelitian UKPDS (United Kingdom Prospective Diabetes Study)
danStudi Kumamoto pada pasien DM tipe 2 menunjukkan target glikemik
terapi DMtipe 2 yang menghasilkan perbaikan prognosis jangka panjang.
Hasil penelitianklinik dan epidemiologik menunjukkan bahwa dengan
menurunkan kadarglukosa maka kejadian komplikasi mikrovaskuler dan
neuropati akan menurun.Target kadar glukosa darah yang terbaik berdasarkan
pemeriksaan harian danA1C sebagai index glikemia khronik belum diteliti
secara sistematik. Tetapi hasilpenelitian DCCT (pada pasien diabetes tipe 1)
dan UKPDS (pada pasiendiabetes tipe 2) mengarahkan gol pencapaian kadar

glikemik pada rentangnondiabetik. Akan tetapi pada kedua studi tersebut


bahkan pada grup pasienyang mendapat pengobatan intensif,kadar A1C tidak
dapat dipertahankan pada rentang nondiabetik. Studi tersebut mencapai kadar
rata-rata A1C>7%yang merupakan 4SD diatas rata-rata non diabetik1

Target

glikemik

yang

DiabetesAssociation)

paling

yang

baru

adalah

dari

ADA

dibuat berdasarkan kepraktisan

(American

dan projeksi

penurunankejadian komplikasi , yaitu A1C <7%.


Konsensus ini menyatakan bahwa kadar A1C 7% harus dianggap sebagaialarm
untuk memulai atau mengubah terapi dengan gol A1C < 7%. Para ahlijuga
menyadari bahwa gol ini mungkin tidak tepat atau tidak praktis untukpasien
tertentu, dan penilaian klinik dengan mempertimbangkan potensikeuntungan dan
kerugian dari regimen yang lebih intensif perlu diaplikasikanpada setiap pasien.
Faktor-faktor seperti harapan hidup, risiko hipoglikemia danadanya CVD perlu
menjadi pertimbangan pada setiap pasien sebelummemberikan regimen terapi
yang lebih intensif.
Tujuan penatalaksanaan pasien dengan DM tipe 2 adalah sebagai berikut
Jangka pendek: menghilangkan keluhan dan tanda DM,mempertahankan rasa
nyaman, dan mencapai target pengendalianglukosa darah.

Jangka

panjang:

mencegah

dan

menghambat

progresivitaspenyulit

mikroangiopati, makroangiopati, dan neuropati.


Tujuan akhir pengelolaan adalah turunnya morbiditas danmortalitas DM.

Untuk mencapai tujuan tersebut perlu dilakukan pengendalianglukosa darah,


tekanan darah, berat badan, dan profil lipid,melalui pengelolaan pasien secara
holistik dengan mengajarkanperawatan mandiri dan perubahan perilaku.

f. Evaluasi medis pada pertemuan pertama


Evaluasi medis meliputi:
Riwayat Penyakit
Gejala yang timbul,
Hasil pemeriksaan laboratorium terdahulu meliputi: glukosadarah,
A1C, dan hasil pemeriksaan khusus yangterkait DM
Pola makan, status nutrisi, dan riwayat perubahan beratbadan
Riwayat tumbuh kembang pada pasien anak/dewasa muda
Pengobatan yang pernah diperoleh sebelumnya secaralengkap,
termasuk terapi gizi medis dan penyuluhan yangtelah diperoleh tentang
perawatan DM secara mandiri,serta kepercayaan yang diikuti dalam
bidang terapi kesehatan
Pengobatan yang sedang dijalani, termasuk obat yang digunakan,
perencanaan makan dan program latihan jasmani
Riwayat komplikasi akut (ketoasidosis diabetik, hiperosmolar
hiperglikemia, dan hipoglikemia)
Riwayat infeksi sebelumnya, terutama infeksi kulit, gigi, dan traktus
urogenitalis serta kaki
Gejala dan riwayat pengobatan komplikasi kronik (komplikasipada
ginjal, mata, saluran pencernaan, dll.)

Pengobatan lain yang mungkin berpengaruh terhadap glukosa darah


Faktor risiko: merokok, hipertensi, riwayat penyakit jantungkoroner,
obesitas, dan riwayat penyakit keluarga (termasukpenyakit DM dan
endokrin lain)
Riwayat penyakit dan pengobatan di luar DM
Pola hidup, budaya, psikososial, pendidikan, dan statusekonomi
Kehidupan seksual, penggunaan kontrasepsi, dan kehamilan.
Pemeriksaan Fisik
Pengukuran tinggi badan, berat badan,dan lingkar pinggang
Pengukuran tekanan darah, termasuk pengukuran tekanandarah dalam
posisi berdiri untuk mencari kemungkinanadanya hipotensi ortostatik, serta
ankle

brachialindex

(ABI),untuk

mencari

kemungkinan

penyakit

pembuluhdarah arteri tepi


Pemeriksaan funduskopi
Pemeriksaan rongga mulut dan kelenjar tiroid
Pemeriksaan jantung
Evaluasi nadi, baik secara palpasi maupun dengan stetoskop
Pemeriksaan ekstremitas atas dan bawah, termasuk jari
Pemeriksaan kulit (acantosis nigrican dan bekas tempatpenyuntikan
insulin) dan pemeriksaan neurologis
Tanda-tanda penyakit lain yang dapat menimbulkan DMtipe-lain
Evaluasi Laboratoris/penunjang lain
Glukosa darah puasa dan 2 jam post prandial
A1C

Profil lipid pada keadaan puasa (kolesterol total, HDL,LDL, dan


trigliserida)
Kreatinin serum
Albuminuria
Keton, sedimen, dan protein dalam urin
Elektrokardiogram
Foto sinar-x dada

g. Evaluasi berkala

Dilakukan pemeriksaan kadar glukosa darah puasa dan 2jam sesudah


makan, atau pada waktu-waktu tertentu lainnyasesuai dengan kebutuhan
Pemeriksaan A1C dilakukan setiap (3-6) bulan
Secara berkala dilakukan pemeriksaan:
Jasmani lengkap
Mikroalbuminuria
Kreatinin
Albumin / globulin dan ALT
Kolesterol total, kolesterol LDL, kolesterol HDL, dan trigliserida
EKG
Foto sinar-X dada
Funduskopi

Pilar penatalaksanaan DM

1. Edukasi
2. Terapi gizi medis
3. Latihan jasmani
4. Intervensi farmakologis

Pengelolaan DM dimulai dengan pengaturan makan dan latihan jasmani selama


beberapa waktu (2-4 minggu). Apabila kadar glukosa darah belum mencapai
sasaran, dilakukan intervensi farmakologis dengan obat hipoglikemik oral (OHO)
dan atau suntikan insulin. Pada keadaan tertentu, OHO dapat segera diberikan
secara tunggal atau langsung kombinasi, sesuai indikasi. Dalam keadaan
dekompensasi metabolik berat, misalnya ketoasidosis, stres berat, berat badan
yang menurun dengan cepat, dan adanya ketonuria, insulin dapat segera diberikan.

h. Edukasi
Diabetes tipe 2 umumnya terjadi pada saat pola gaya hidup dan perilaku
telah terbentuk dengan mapan. Pemberdayaan penyandang diabetes
memerlukan partisipasi aktif pasien, keluarga dan masyarakat. Tim kesehatan
mendampingi pasien dalam menuju perubahan perilaku sehat. Untuk
mencapai
keberhasilan perubahan perilaku, dibutuhkan edukasi yang komprehensif
dan upaya peningkatan motivasi. Pengetahuan tentang pemantauan glukosa
darah mandiri, tanda dan gejala hipoglikemia serta cara mengatasinya harus
diberikan kepada pasien. Pemantauan kadar glukosa darah dapat dilakukan
secara mandiri, setelah mendapat pelatihan khusus.\

i. Terapi Nutrisi Medis


Terapi Nutrisi Medis (TNM) merupakan bagian dari penatalaksanaan
diabetes secara total. Kunci keberhasilan TNM adalah keterlibatan secara
menyeluruh dari anggota tim (dokter, ahli gizi, petugas kesehatan yang lain
serta pasien dan keluarganya).
Setiap penyandang diabetes sebaiknya mendapat TNM sesuai dengan
kebutuhannya guna mencapai sasaran terapi.
Prinsip pengaturan makan pada penyandang diabetes hampir sama dengan
anjuran makan untuk masyarakat umum yaitu makanan yang seimbang dan
sesuai dengan kebutuhan kalori dan zat gizi masing-masing individu. Pada
penyandang diabetes perlu ditekankan pentingnya keteraturan makan dalam
hal jadwal makan, jenis, dan jumlah makanan, terutama pada mereka yang
menggunakan obat penurun glukosa darah atau insulin.
1. Komposisi makanan yang dianjurkan terdiri dari:
Karbohidrat
Karbohidrat yang dianjurkan sebesar 45-65% total asupan energi.
Pembatasan karbohidrat total <130 g/hari tidak dianjurkan
Makanan harus mengandung karbohidrat terutama yang berserat tinggi.
Gula dalam bumbu diperbolehkan sehingga penyandang diabetes dapat
makan sama dengan makanan keluarga yang lain
Sukrosa tidak boleh lebih dari 5% total asupan energi.
Pemanis alternatif dapat digunakan sebagai pengganti gula, asal tidak
melebihi batas aman konsumsi harian (Accepted- Daily Intake)

Makan tiga kali sehari untuk mendistribusikan asupan karbohidrat dalam


sehari. Kalau diperlukan dapat diberikan makanan selingan buah atau
makanan lain sebagai bagian dari kebutuhan kalori sehari.

Lemak
Asupan lemak dianjurkan sekitar 20-25% kebutuhan kalori. Tidak
diperkenankan melebihi 30% total asupan energi.
Lemak jenuh < 7 % kebutuhan kalori
Lemak tidak jenuh ganda < 10 %, selebihnya dari lemak tidak jenuh
tunggal.
Bahan makanan yang perlu dibatasi adalah yang banyak mengandung
lemak jenuh dan lemak trans antara lain: daging berlemak dan susu penuh
(whole milk).
Anjuran konsumsi kolesterol <200 mg/hari.

Protein
Dibutuhkan sebesar 10 20% total asupan energi.
Sumber protein yang baik adalah seafood (ikan, udang,cumi,dll), daging
tanpa lemak, ayam tanpa kulit, produk susu rendah lemak, kacangkacangan, tahu, dan tempe.
Pada pasien dengan nefropati perlu penurunan asupan protein menjadi 0,8
g/KgBB perhari atau 10% dari kebutuhan energi dan 65% hendaknya
bernilai biologik tinggi.

Natrium
Anjuran asupan natrium untuk penyandang diabetes sama dengan anjuran
untuk masyarakat umum yaitu tidak lebih dari 3000 mg atau sama dengan
6-7 gram (1 sendok teh) garam dapur.
Mereka yang hipertensi, pembatasan natrium sampai 2400 mg.
Sumber natrium antara lain adalah garam dapur, vetsin, soda, dan bahan
pengawet seperti natrium benzoat dan natrium nitrit.
Serat
Seperti halnya masyarakat umum penyandang diabetes dianjurkan
mengonsumsi cukup serat dari kacang-kacangan, buah, dan sayuran serta
sumber karbohidrat yang tinggi serat, karena mengandung vitamin,
mineral, serat, dan bahan lain yang baik untuk kesehatan.
Anjuran konsumsi serat adalah 25 g/hari.

Pemanis alternatif
Pemanis dikelompokkan menjadi pemanis berkalori dan pemanis tak
berkalori. Termasuk pemanis berkalori adalah gula alkohol dan fruktosa.
Gula alkohol antara lain isomalt, lactitol, maltitol, mannitol, sorbitol dan
xylitol.
Dalam penggunaannya,

pemanis

berkalori perlu diperhitungkan

kandungan kalorinya sebagai bagian dari kebutuhan kalori sehari.


Fruktosa tidak dianjurkan digunakan pada penyandang diabetes karena
efek samping pada lemak darah.

Pemanis tak berkaloriyang masih dapat digunakan antara lain aspartam,


sakarin, acesulfame potassium, sukralose, dan neotame.
Pemanis aman digunakan sepanjang tidak melebihi batas aman (Accepted
Daily Intake / ADI)

2. Kebutuhan kalori
Ada beberapa cara untuk menentukan jumlah kalori yang dibutuhkan penyandang
diabetes. Di antaranya adalah dengan memperhitungkan kebutuhan kalori basal
yang besarnya 25-30 kalori/kgBB ideal, ditambah atau dikurangi bergantung pada
beberapa faktor seperti: jenis kelamin, umur, aktivitas, berat badan, dll.
Perhitungan berat badan Ideal (BBI) dengan rumus Brocca yang dimodifikasi
adalah sbb:
Berat badan ideal = 90% x (TB dalam cm - 100) x 1 kg.
Bagi pria dengan tinggi badan di bawah 160 cm dan wanita di bawah 150 cm,
rumus dimodifikasi menjadi :
Berat badan ideal (BBI) = (TB dalam cm - 100) x 1 kg.
BB Normal : BB ideal 10 %
Kurus : < BBI - 10 %
Gemuk : > BBI + 10 %
Perhitungan berat badan ideal menurut Indeks Massa Tubuh (IMT).Indeks massa
tubuh dapat dihitung dengan rumus:
IMT = BB(kg)/ TB(m2)
Klasifikasi IMT*
BB Kurang < 18,5

BB Normal 18,5-22,9
BB Lebih 23,0
*WHO WPR/IASO/IOTF dalam The Asia-Pacific Perspective:RedefiningObesity
and its Treatment.
Dengan risiko 23,0-24,9
Obes I 25,0-29,9
Obes II > 30
Faktor-faktor yang menentukan kebutuhan kalori antara lain :
Jenis Kelamin
Kebutuhan kalori pada wanita lebih kecil daripada pria. Kebutuhan kalori
wanita sebesar 25 kal/kg BB dan untuk pria sebesar 30 kal/ kg BB.
Umur
Untuk pasien usia di atas 40 tahun, kebutuhan kalori dikurangi 5% untuk
dekade antara 40 dan 59 tahun, dikurangi 10% untuk dekade antara 60 dan 69
tahun dan dikurangi 20%, di atas usia 70 tahun.
Aktivitas Fisik atau Pekerjaan
Kebutuhan kalori dapat ditambah sesuai dengan intensitas aktivitas fisik.
Penambahan sejumlah 10% dari kebutuhan basal diberikan pada kedaaan
istirahat, 20% pada pasien dengan aktivitas ringan, 30% dengan aktivitas sedang,
dan 50% dengan aktivitas sangat berat.
Berat Badan
Bila kegemukan dikurangi sekitar 20-30% tergantung kepada tingkat
kegemukan

Bila kurus ditambah sekitar 20-30% sesuai dengan kebutuhan untuk


meningkatkan BB.
Untuk tujuan penurunan berat badan jumlah kalori yang diberikan paling
sedikit 1000-1200 kkal perhari untuk wanita dan 1200-1600 kkal perhari untuk
pria. Makanan sejumlah kalori terhitung dengan komposisi tersebut di atas dibagi
dalam 3 porsi besar untuk makan pagi (20%), siang (30%), dan sore (25%), serta
2-3 porsi makanan ringan (10-15%) di antaranya. Untuk meningkatkan kepatuhan
pasien, sejauh mungkin perubahan dilakukan sesuai dengan kebiasaan. Untuk
penyandang diabetes yang mengidap penyakit lain, pola pengaturan makan
disesuaikan dengan penyakit penyertanya.

Latihan jasmani
Kegiatan jasmani sehari-hari dan latihan jasmani secara teratur (3-4 kali seminggu
selama kurang lebih 30 menit), merupakan salah satu pilar dalam pengelolaan DM
tipe 2. Kegiatan sehari-hari seperti berjalan kaki ke pasar, menggunakan tangga,
berkebun harus tetap dilakukan (lihat tabel 4). Latihan jasmani selain untuk
menjaga kebugaran juga dapat menurunkan berat badan dan memperbaiki
sensitivitas insulin, sehingga akan memperbaiki kendali glukosa darah. Latihan
jasmani yang dianjurkan berupa latihan jasmani yang bersifat aerobik seperti jalan
kaki, bersepeda santai, jogging, dan berenang. Latihan jasmani sebaiknya
disesuaikan dengan umur dan status kesegaran jasmani. Untuk mereka yang relatif
sehat, intensitas latihan jasmani bisa ditingkatkan, sementara yang sudah
mendapat komplikasi DM dapat dikurangi. Hindarkan kebiasaan hidup yang
kurang gerak atau bermalas-malasan.

j. Terapi farmakologis
Terapi farmakologis diberikan bersama dengan pengaturan makan dan
latihan jasmani (gaya hidup sehat). Terapi farmakologis terdiri dari obat oral
dan bentuk suntikan.

1. Obat hipoglikemik oral


Berdasarkan cara kerjanya, OHO dibagi menjadi 5 golongan:
Pemicu Sekresi Insulin
1. Sulfonilurea
Obat golongan ini mempunyai efek utama meningkatkan sekresi insulin oleh sel
beta pankreas, dan merupakan pilihan utama untuk pasien dengan berat badan
normal dan kurang. Intensitas Namun masih boleh diberikan kepada pasien
dengan berat badan lebih. Untuk menghindari hipoglikemia berkepanjangan pada
berbagai keadaaan seperti orang tua, gangguan faal ginjal dan hati, kurang nutrisi
serta penyakit kardiovaskular, tidak dianjurkan penggunaan sulfonilurea kerja
panjang.
2. Glinid
Glinid merupakan obat yang cara kerjanya sama dengan sulfonilurea, dengan
penekanan pada peningkatan sekresi insulin fase pertama. Golongan ini terdiri
dari 2 macam obat yaitu Repaglinid (derivat asam benzoat) dan Nateglinid
(derivat fenilalanin). Obat ini diabsorpsi dengan cepat setelah pemberian secara
oral dan diekskresi secara cepat melalui hati. Obat ini dapat mengatasi
hiperglikemia post prandial.

Peningkat sensitivitas terhadap insulin


Tiazolidindion
Tiazolidindion (pioglitazon) berikatan pada Peroxisome Proliferator Activated
Receptor Gamma (PPAR-g), suatu reseptor inti di sel otot dan sel lemak.
Golongan

ini

mempunyai

efek

menurunkan

resistensi

insulin

dengan

meningkatkan jumlah protein pengangkut glukosa, sehingga meningkatkan


ambilan glukosa di perifer. Tiazolidindion dikontraindikasikan pada pasien
dengan gagal jantung kelas I-IV karena dapat memperberat edema/retensi cairan
dan juga pada gangguan faal hati. Pada pasien yang menggunakan tiazolidindion
perlu dilakukan pemantauan faal hati secara berkala.
Penghambat glukoneogenesis
Metformin
Obat

ini

mempunyai

efek

utama

mengurangi

produksi

glukosa

hati

(glukoneogenesis), di samping juga memperbaiki ambilan glukosa perifer.


Terutama

dipakai

pada

penyandang

diabetes

gemuk.

Metformin

dikontraindikasikan pada pasien dengan gangguan fungsi ginjal (serum kreatinin


>1,5 mg/dL) dan hati, serta pasien-pasien dengan kecenderungan hipoksemia
(misalnya penyakit serebro-vaskular, sepsis, renjatan, gagal jantung). Metformin
dapat memberikan efek samping mual. Untuk mengurangi keluhan tersebut dapat
diberikan pada saat atau sesudah makan. Selain itu harus diperhatikan bahwa
pemberian metformin secara titrasi pada awal penggunaan akan memudahkan
dokter untuk memantau efek samping obat tersebut.
Penghambat Glukosidase Alfa (Acarbose)

Obat ini bekerja dengan mengurangi absorpsi glukosa di usus halus, sehingga
mempunyai efek menurunkan kadar glukosa darah sesudah makan. Acarbosetidak
menimbulkan efek samping hipoglikemia. Efek samping yang paling sering
ditemukan ialah kembung dan flatulens.
DPP-IV inhibitor
Glucagon-like peptide-1 (GLP-1) merupakan suatu hormon peptida yang
dihasilkan oleh sel L di mukosa usus. Peptida ini disekresi oleh sel mukosa usus
bila ada makanan yang masuk ke dalam saluran pencernaan. GLP-1 merupakan
perangsang kuat penglepasan insulin dan sekaligus sebagai penghambat sekresi
glukagon. Namun demikian, secara cepat GLP-1 diubah oleh enzim dipeptidyl
peptidase-4 (DPP-4), menjadi metabolit GLP-1-(9,36)-amide yang tidak aktif.
Sekresi GLP-1 menurun pada DM tipe 2, sehingga upaya yang ditujukan untuk
meningkatkan GLP-1 bentuk aktif merupakan hal rasional dalam pengobatan DM
tipe 2. Peningkatan konsentrasi GLP-1 dapat dicapai dengan pemberian obat yang
menghambat kinerja enzim DPP-4 (penghambat DPP-4), atau memberikan
hormon asli atau analognya (analog incretin=GLP-1 agonis).
Berbagai obat yang masuk golongan DPP-4 inhibitor, mampu menghambat kerja
DPP-4 sehingga GLP-1 tetap dalam konsentrasi yang tinggi dalam bentuk aktif
dan mampu merangsang penglepasan insulin serta menghambat penglepasan
glukagon.
Cara Pemberian OHO, terdiri dari:
OHO dimulai dengan dosis kecil dan ditingkatkan secara bertahap sesuai
respons kadar glukosa darah, dapat diberikan sampai dosis optimal
Sulfonilurea: 15 30 menit sebelum makan

Repaglinid, Nateglinid: sesaat sebelum makan


Metformin : sebelum /pada saat / sesudah makan
Penghambat glukosidase (Acarbose): bersama makan suapan pertama
Tiazolidindion: tidak bergantung pada jadwal makan.
DPP-IV inhibitor dapat diberikan bersama makan dan atau sebelum makan.

2. Suntikan
1. Insulin
2. Agonis GLP-1/incretin mimetic

1. Insulin
Insulin diperlukan pada keadaan:
Penurunan berat badan yang cepat
Hiperglikemia berat yang disertai ketosis
Ketoasidosis diabetik
Hiperglikemia hiperosmolar non ketotik
Hiperglikemia dengan asidosis laktat
Gagal dengan kombinasi OHO dosis optimal
Stres berat (infeksi sistemik, operasi besar, IMA, stroke)
Kehamilan dengan DM/diabetes melitus gestasionalyang tidak terkendali
dengan perencanaan makan
Gangguan fungsi ginjal atau hati yang berat
Kontraindikasi dan atau alergi terhadap OHO Jenis dan lama kerja insulin

Berdasar lama kerja, insulin terbagi menjadi empat jenis, yakni:


Insulin kerja cepat (rapid acting insulin)
Insulin kerja pendek (short acting insulin)
Insulin kerja menengah (intermediate actinginsulin)
Insulin kerja panjang (long acting insulin)
Insulin campuran tetap, kerja pendek dan menengah (premixed insulin). Jenis
dan lama kerja insulin dapat dilihat pada lampiran 3.

Efek samping terapi insulin


Efek samping utama terapi insulin adalah terjadinya hipoglikemia.
Efek samping yang lain berupa reaksi imunologi terhadap insulin yang dapat
menimbulkan alergi insulin atau resistensi insulin.
Dasar pemikiran terapi insulin:
Sekresi insulin fisiologis terdiri dari sekresi basal dan sekresi prandial. Terapi
insulin diupayakan mampu meniru pola sekresi insulin yang fisiologis.
Defisiensi insulin mungkin berupa defisiensi insulin basal, insulin prandial
atau keduanya. Defisiensi insulin basal menyebabkan timbulnya hiperglikemia
pada keadaan puasa, sedangkan defisiensi insulin prandial akan menimbulkan
hiperglikemia setelah makan.
Terapi insulin untuk substitusi ditujukan untuk melakukan koreksi terhadap
defisiensi yang terjadi.
Sasaran pertama terapi hiperglikemia adalah mengendalikan glukosa darah
basal (puasa, sebelum makan). Hal ini dapat dicapai dengan terapi oral maupun

insulin. Insulin yang dipergunakan untuk mencapai sasaran glukosa darah basal
adalah insulin basal (insulin kerja sedang atau panjang).
Penyesuaian dosis insulin basal untuk pasien rawat jalan dapat dilakukan
dengan menambah 2-4 unit setiap 3-4 hari bila sasaran terapi belum tercapai.
Apabila sasaran glukosa darah basal (puasa) telah tercapai, sedangkan A1C
belum mencapai target, maka dilakukan pengendalian glukosa darah prandial
(meal-related). Insulin yang dipergunakan untuk mencapai sasaran glukosa darah
prandial adalah insulin kerja cepat (rapid acting) atau insulin kerja pendek (short
acting). Kombinasi insulin basal dengan insulin prandial dapat diberikan subkutan
dalam bentuk 1 kali insulin basal + 1 kali insulin prandial (basal plus), atau 1 kali
basal + 2 kali prandial (basal 2 plus), atau 1 kali basal + 3 kali prandial (basal
bolus).
Insulin basal juga dapat dikombinasikan dengan OHO untuk menurunkan
glukosa darah prandial seperti golongan obat peningkat sekresi insulin kerja
pendek (golongan glinid), atau penghambat penyerapan karbohidrat dari lumen
usus (acarbose).
Terapi insulin tunggal atau kombinasi disesuaikan dengan kebutuhan pasien
dan respons individu, yang dinilai dari hasil pemeriksaan kadar glukosa darah
harian.
Cara Penyuntikan Insulin
Insulin umumnya diberikan dengan suntikan di bawah kulit (subkutan), dengan
arah alat suntik tegak lurus terhadap cubitan permukaan kulit.
Pada keadaan khusus diberikan intramuskular atau intravena secara bolus atau
drip.

Terdapat sediaan insulin campuran (mixed insulin) antara insulin kerja pendek
dan kerja menengah, dengan perbandingan dosis yang tertentu. Apabila tidak
terdapat sediaan insulin campuran tersebut atau diperlukan perbandingan dosis
yang lain, dapat dilakukan pencampuran sendiri antara kedua jenis insulin
tersebut. Teknik pencampuran dapat dilihat dalam buku panduan tentang insulin.
Lokasi penyuntikan, cara penyuntikan maupun cara insulin harus dilakukan
dengan benar, demikian pula mengenai rotasi tempat suntik.
Apabila diperlukan, sejauh sterilitas penyimpanan terjamin, semprit insulin dan
jarumnya dapat dipakai lebih dari satu kali oleh penyandang diabetes yang sama.
Harus diperhatikan kesesuaian konsentrasi insulin dalam kemasan (jumlah
unit/mL) dengan semprit yang dipakai (jumlah unit/mL dari semprit). Dianjurkan
memakai konsentrasi yang tetap. Saat ini yang tersedia hanya U100 (artinya 100
unit/mL).
2. Agonis GLP-1
Pengobatan dengan dasar peningkatan GLP-1 merupakan pendekatan baru untuk
pengobatan DM. Agonis GLP-1 dapat bekerja sebagai perangsang penglepasan
insulin yang tidak menimbulkan hipoglikemia ataupun peningkatan berat badan
yang biasanya terjadi pada pengobatan dengan insulin ataupun sulfonilurea.
Agonis GLP-1 bahkan mungkin menurunkan berat badan. Efek agonis GLP-1
yang lain adalah menghambat penglepasan glukagon yang diketahui berperan
pada proses glukoneogenesis. Pada percobaan binatang, obat ini terbukti
memperbaiki cadangan sel beta pankreas. Efek samping yang timbul pada
pemberian obat ini antara lain rasa sebah dan muntah.
3. Terapi Kombinasi

Pemberian OHO maupun insulin selalu dimulai dengan dosis rendah, untuk
kemudian dinaikkan secara bertahap sesuai dengan respons kadar glukosa darah.
Bersamaan dengan pengaturan diet dan kegiatan jasmani, bila diperlukan dapat
dilakukan pemberian OHO tunggal atau kombinasi OHO sejak dini. Terapi
dengan OHO kombinasi (secara terpisah ataupun fixed-combination dalam bentuk
tablet tunggal), harus dipilih dua macam obat dari kelompok yang mempunyai
mekanisme kerja berbeda. Bila sasaran kadar glukosa darah belum tercapai, dapat
pula diberikan kombinasi tiga OHO dari kelompok yang berbeda atau kombinasi
OHO dengan insulin. Pada pasien yang disertai dengan alasan klinis di mana
insulin tidak memungkinkan untuk dipakai, terapi dengan kombinasi tiga OHO
dapat menjadi pilihan. (lihat bagan 2 tentang algoritma pengelolaan DM tipe 2).
Untuk kombinasi OHO dan insulin, yang banyak dipergunakan adalah kombinasi
OHO dan insulin basal (insulin kerja menengah atau insulin kerja panjang) yang
diberikan pada malam hari menjelang tidur. Dengan pendekatan terapi tersebut
pada umumnya dapat diperoleh kendali glukosa darah yang baik dengan dosis
insulin yang cukup kecil. Dosis awal insulin kerja menengah adalah 6-10 unit
yang diberikan sekitar jam 22.00, kemudian dilakukan evaluasi dosis tersebut
dengan menilai kadar glukosa darah puasa keesokan harinya. Bila dengan cara
seperti di atas kadar glukosa darah sepanjang hari masih tidak terkendali, maka
OHO dihentikan dan diberikan terapi kombinasi insulin.

Penilaian hasil terapi


Dalam praktek sehari-hari, hasil pengobatan DM tipe 2 harus dipantau secara
terencana dengan melakukan anamnesis, pemeriksaan jasmani, dan pemeriksaan
penunjang. Pemeriksaan yang dapat dilakukan adalah:

Pemeriksaan kadar glukosa darah


Tujuan pemeriksaan glukosa darah:
Untuk mengetahui apakah sasaran terapi telah tercapai
Untuk melakukan penyesuaian dosis obat, bila belum tercapai sasaran terapi.
Guna mencapai tujuan tersebut perlu dilakukan pemeriksaan kadar glukosa darah
puasa, glukosa 2 jam post prandial, atau glukosa darah pada waktu yang lain
secara berkala sesuai dengan kebutuhan.
Pemeriksaan A1C
Tes hemoglobin terglikosilasi, yang disebut juga sebagai glikohemoglobin, atau
hemoglobin glikosilasi (disingkat sebagai A1C), merupakan cara yang digunakan
untuk menilai efek perubahan terapi 8-12 minggu sebelumnya. Tes ini tidak dapat
digunakan untuk menilai hasil pengobatan jangka pendek. Pemeriksaan A1C
dianjurkan dilakukan setiap 3 bulan, minimal 2 kali dalam setahun.
Pemantauan Glukosa Darah Mandiri (PGDM)
Untuk memantau kadar glukosa darah dapat dipakai darah kapiler. Saat ini banyak
dipasarkan alat pengukur kadar glukosa darah cara reagen kering yang umumnya
sederhana dan mudah dipakai. Hasil pemeriksaan kadar glukosa darah memakai
alat-alat tersebut dapat dipercaya sejauh kaliberasi dilakukan dengan baik dan cara
pemeriksaan dilakukan sesuai dengan cara standar yang dianjurkan. Secara
berkala, hasil pemantauan dengan cara reagen kering perlu dibandingkan dengan
cara konvensional.PGDM dianjurkan bagi pasien dengan pengobatan insulin atau
pemicu sekresi insulin. Waktu pemeriksaan PGDM bervariasi, tergantung pada
tujuan pemeriksaan yang pada umumnya terkait dengan terapi yang diberikan.
Waktu yang dianjurkan adalah pada saat sebelum makan, 2 jam setelah

makan (menilai ekskursi maksimal glukosa), menjelang waktu tidur (untuk


menilai risiko hipoglikemia), dan di antara siklus tidur (untuk menilai adanya
hipoglikemia nokturnal yang kadang tanpa gejala),atau ketika mengalami gejala
seperti hypoglycemic spells. Prosedur PGDM dapat dilihat pada tabel 6.
PDGM terutama dianjurkan pada:
Penyandang DM yang direncanakan mendapat terapi insulin
Penyandang DM dengan terapi insulin berikut
Pasien dengan A1C yang tidak mencapai target setelah terapi
Wanita yang merencanakan hamil
Wanita hamil dengan hiperglikemia
Kejadian hipoglikemia berulang

Pemeriksaan Glukosa Urin


Pengukuran glukosa urin memberikan penilaian yang tidak langsung. Hanya
digunakan pada pasien yang tidak dapat atau tidak mau memeriksa kadar glukosa

darah. Batas ekskresi glukosa renal rata-rata sekitar 180 mg/dL, dapat bervariasi
pada beberapa pasien, bahkan pada pasien yang sama dalam jangka waktu lama.
Hasil pemeriksaan sangat bergantung pada fungsi ginjal dan tidak dapat
dipergunakan untuk menilai keberhasilan terapi.

Pemantauan Benda Keton


Pemantauan benda keton dalam darah maupun dalam urin cukup penting terutama
pada penyandang DM tipe 2 yang terkendali buruk (kadar glukosa darah >300
mg/dL). Pemeriksaan benda keton juga diperlukan pada penyandang diabetes
yang sedang hamil. Tes benda keton urin mengukur kadar asetoasetat, sementara
benda keton yang penting adalah asam beta hidroksibutirat. Saat ini telah dapat
dilakukan pe-meriksaan kadar asam beta hidroksibutirat dalam darah secara
langsung dengan menggunakan strip khusus. Kadar asam beta hidroksibutirat
darah <0,6 mmol/L dianggap normal, di atas 1,0 mmol/L disebut ketosis dan
melebihi 3,0 mmol/L indikasi adanya KAD. Pengukuran kadar glukosa darah dan
benda keton
secara mandiri, dapat mencegah terjadinya penyulit akut diabetes, khususnya
KAD.
Kriteria pengendalian DM
Untuk dapat mencegah terjadinya komplikasi kronik, diperlukan pengendalian
DM yang baik yang merupakan sasaran terapi. Diabetes terkendali baik, apabila
kadar glukosa darah mencapai kadar yang diharapkan serta kadar lipid dan A1C
juga mencapai kadar yang diharapkan. Demikian pula status gizi dan tekanan
darah. Kriteria keberhasilan pengendalian DM

dapat dilihat pada Tabel 6.


Untuk pasien berumur lebih dari 60 tahun dengan komplikasi, sasaran kendali
kadar glukosa darah dapat lebih tinggi dari biasa (puasa 100-125 mg/dL, dan
sesudah makan 145-180 mg/dL). Demikian pula kadar lipid, tekanan darah, dan
lain-lain, mengacu pada batasan kriteria pengendalian sedang. Hal ini dilakukan
mengingat sifat-sifat khusus pasien usia lanjut dan juga untuk mencegah
kemungkinan timbulnya efek samping hipoglikemia dan interaksi obat.

Kelainan Komorbid
Dalam perjalanan penyakit DM, dapat terjadi penyulit akut dan menahun
II.4.1. Dislipidemia pada Diabetes
Dislipidemia pada penyandang diabetes lebih meningkatkan risiko timbulnya
penyakit kardiovaskular.

Perlu pemeriksaan profil lipid pada saat diagnosis diabetes ditegakkan. Pada
pasien dewasa pemeriksaan profil lipid sedikitnya dilakukan setahun sekali dan
bila dianggap perlu dapat dilakukan lebih sering. Sedangkan pada pasien yang
pemeriksaan profil lipid menunjukkan hasil yang baik (LDL<100mg/dL; HDL>50
mg/dL (laki-laki >40 mg/ dL, wanita >50 mg/dL); trigliserid <150 mg/dL),
pemeriksaan profil lipid dapat dilakukan 2 tahun sekali
Gambaran dislipidemia yang sering didapatkan pada penyandang diabetes
adalah peningkatan kadar trigliserida, dan penurunan kadar kolesterol HDL,
sedangkan kadar kolesterol LDL normal atau sedikit meningkat.
Perubahan perilaku yang tertuju pada pengurangan asupan kolesterol dan
penggunaan lemak jenuh serta peningkatan aktivitas fisik terbukti dapat
memperbaiki profil lemak dalam darah
Dipertimbangkan untuk memberikan terapi farmakologis sedini mungkin bagi
penyandang diabetes yang disertai dislipidemia
Target terapi:
Pada penyandang DM, target utamanya adalah penurunan LDL
Pada penyandang diabetes tanpa disertai penyakit kardiovaskular: LDL <100
mg/dL (2,6 mmol/L)
Pasien dengan usia >40 tahun, dianjurkan diberi terapi statin untuk
menurunkan LDL sebesar 30-40% dari kadar awal
Pasien dengan usia <40 tahun dengan risiko penyakit kardiovaskular yang
gagal dengan perubahan gaya hidup, dapat diberikan terapi farmakologis.

Pada penyandang DM dengan penyakit Acute Coronary Syndrome (ACS) atau


telah diketahui penyakit pembuluh darah lainnya atau mempunyai banyak faktor
risiko maka :
LDL <70 mg/dL (1,8 mmol/L)
Semua pasien diberikan terapi statin untuk menurunkan LDL sebesar 30-40%.
Trigliserida < 150 mg/dL (1,7 mmol/L)
HDL > 40 mg/dL (1,15 mmol/L) untuk pria dan >50 mg/dL untuk wanita
Setelah target LDL terpenuhi, jika trigliserida 150 mg/dL (1,7 mmol/L) atau
HDL 40 mg/dL (1,15 mmol/L) dapat diberikan niasin atau fibrat
Apabila trigliserida 400 mg/dL (4,51 mmol/L) perlu segera diturunkan
dengan terapi farmakologis untuk mencegah timbulnya pankreatitis.
Terapi kombinasi statin dengan obat pengendali lemak yang lain mungkin
diperlukan untuk mencapai target terapi, dengan memperhatikan peningkatan
risiko timbulnya efek samping.
Niasin merupakan salah satu obat alternatif yang dapat digunakan untuk
meningkatkan HDL, namun pada dosis besar dapat meningkatkan kadar glukosa
darah
Pada wanita hamil penggunaan statin merupakan kontra indikasi
Selanjutnya dapat dilihat pada buku Konsensus Pengelolaan Dislipidemia pada
DM

Hipertensi pada Diabetes


Indikasi pengobatan :
Bila TD sistolik >130 mmHg dan/atau TD diastolik >80 mmHg.

Sasaran (target penurunan) tekanan darah: Tekanan darah <130/80 mmHg


Bila disertai proteinuria 1gram /24 jam : < 125/75 mmHg
Pengelolaan:
Non-farmakologis:
Modifikasi gaya hidup antara lain: menurunkan berat badan, meningkatkan
aktivitas fisik, menghentikan merokok dan alkohol, serta mengurangi konsumsi
garam
Farmakologis:
Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam memilih obat antihipertensi
(OAH):
Pengaruh OAH terhadap profil lipid
Pengaruh OAH terhadap metabolisme glukosa
Pengaruh OAH terhadap resistensi insulin
Pengaruh OAH terhadap hipoglikemia terselubung Obat anti hipertensi
yang dapat dipergunakan:
Penghambat ACE
Penyekat reseptor angiotensin II
Penyekat reseptor beta selektif, dosis rendah
Diuretik dosis rendah
Penghambat reseptor alfa
Antagonis kalsium
Pada pasien dengan tekanan darah sistolik antara 130- 139 mmHg atau tekanan
diastolik antara 80-89 mmHg diharuskan melakukan perubahan gaya hidup

sampai 3 bulan. Bila gagal mencapai target dapat ditambahkan terapi


farmakologis
Pasien dengan tekanan darah sistolik >140 mmHg atau tekanan diastolik >90
mmHg, dapat diberikan terapi farmakologis secara langsung
Diberikan terapi kombinasi apabila target terapi tidak dapat dicapai dengan
monoterapi.
Catatan
- Penghambat ACE, penyekat reseptor angiotensin II (ARB = angiotensin II
receptor blocker) dan antagonis kalsium golongan non-dihidropiridin dapat
memperbaiki mikroalbuminuria.
- Penghambat ACE dapat memperbaiki kinerja kardiovaskular.
- Diuretik (HCT) dosis rendah jangka panjang, tidak terbukti memperburuk
toleransi glukosa.
- Pengobatan hipertensi harus diteruskan walaupun sasaran sudah tercapai.
- Bila tekanan darah terkendali, setelah satu tahun dapat dicoba menurunkan dosis
secara bertahap.
- Pada orang tua, tekanan darah diturunkan secara bertahap

Penyulit Diabetes Melitus


II.5.1. Penyulit akut
1. Ketoasidosis diabetik (KAD)
Merupakan komplikasi akut diabetes yang ditandai dengan peningkatan kadar
glukosa darah yang tinggi (300-600 mg/dL), disertai dengan adanya tanda dan

gejala asidosis dan plasma keton(+) kuat. Osmolaritas plasma meningkat (300-320
mOs/ mL) dan terjadi peningkatan anion gap

2. Status Hiperglikemi Hiperosmolar (SHH)


Pada keadaan ini terjadi peningkatan glukosa darah sangat tinggi (600-1200
mg/dL), tanpa tanda dan gejala asidosis, osmolaritas plasma sangat meningkat
(330-380 mOs/mL), plasma keton (+/-), anion gap normal atau sedikit meningkat.
Catatan:
kedua keadaan (KAD dan SHH) tersebut mempunyai angka morbiditas dan
mortalitas yang tinggi. Memerlukan perawatan di rumah sakit guna mendapatkan
penatalaksanaan yang memadai.

3. Hipoglikemia
Hipoglikemia dan cara mengatasinya
Hipoglikemia ditandai dengan menurunnya kadar glukosa darah < 60 mg/dL
Bila terdapat penurunan kesadaran pada penyandang diabetes harus selalu
dipikirkan kemungkinan terjadinya hipoglikemia. Hipoglikemia paling sering
disebabkan oleh penggunaan sulfonilurea dan insulin. Hipoglikemia akibat
sulfonilurea dapat berlangsung lama, sehingga harus diawasi sampai seluruh obat
diekskresi dan waktu kerja obat telah habis. Terkadang diperlukan waktu yang
cukup lama untuk pengawasannya (24-72 jam atau lebih, terutama pada pasien
dengan gagal ginjal kronik atau yang mendapatkanterapi dengan OHO kerja
panjang). Hipoglikemia pada usia lanjut merupakan suatu hal yang harus
dihindari, mengingat dampaknya yang fatal atau terjadinya kemunduran mental

bermakna pada pasien. Perbaikan kesadaran pada DM usia lanjut sering lebih
lambat dan memerlukan pengawasan yang lebih lama.
Gejala hipoglikemia terdiri dari gejala adrenergik (berdebardebar, banyak
keringat, gemetar, dan rasa lapar) dan gejala neuro-glikopenik (pusing, gelisah,
kesadaran menurun sampai koma).
Hipoglikemia harus segera mendapatkan pengelolaan yang memadai. Bagi
pasien dengan kesadaran yang masih baik, diberikan makanan yang mengandung
karbohidrat atau minuman yang mengandung gula berkalori atau glukosa 15-20
gram melalui intra vena. Perlu dilakukan pemeriksaan ulang glukosa darah 15
menit setelah pemberian glukosa. Glukagon diberikan pada pasien dengan
hipoglikemia berat.
Untuk penyandang diabetes yang tidak sadar, sementara dapat diberikan
glukosa 40% intravena terlebih dahulu sebagai tindakan darurat, sebelum dapat
dipastikan penyebab menurunnya kesadaran.

Penyulit menahun
1. Makroangiopati
Pembuluh darah jantung
Pembuluh darah tepi: penyakit arteri perifer sering terjadi pada penyandang
diabetes. Biasanya terjadi dengan gejala tipikal claudicatio intermittent, meskipun
sering tanpa gejala. Terkadang ulkus iskemik kaki merupakan kelainan yang
pertama muncul.
Pembuluh darah otak

2. Mikroangiopati:
Retinopati diabetik
Kendali glukosa dan tekanan darah yang baik akan mengurangi risiko dan
memberatnya retinopati. Terapi aspirin tidak mencegah timbulnya retinopati
Nefropati diabetik
Kendali glukosa dan tekanan darah yang baik akan mengurangi risiko nefropati
Pembatasan asupan protein dalam diet (0,8 g/kgBB) juga akan mengurangi
risiko terjadinya nefropati
3. Neuropati
Komplikasi yang tersering dan paling penting adalah neuropati perifer, berupa
hilangnya sensasi distal. Berisiko
tinggi untuk terjadinya ulkus kaki dan amputasi.
Gejala yang sering dirasakan kaki terasa terbakar dan bergetar sendiri, dan
lebih terasa sakit di malam hari.
Setelah diagnosis DM ditegakkan, pada setiap pasien perlu dilakukan skrining
untuk mendeteksi adanya polineuropati distal dengan pemeriksaan neurologi
sederhana, dengan monofilamen 10 gram sedikitnya setiap tahun.
Apabila ditemukan adanya polineuropati distal, perawatan kaki yang memadai
akan menurunkan risiko amputasi.
Untuk mengurangi rasa sakit dapat diberikan duloxetine, antidepresan trisiklik,
atau gabapentin.
Semua penyandang diabetes yang disertai neuropati perifer harus diberikan
edukasi

perawatan

kaki

untuk

mengurangi

risiko

ulkus

kaki.

Untuk

penatalaksanaan

penyulit

ini

seringkali

diperlukan

kerja

sama

dengan

bidang/disiplin ilmu lain.

Pencegahan Primer
III.1.1. Sasaran pencegahan primer:
Pencegahan primer adalah upaya yang ditujukan pada kelompok yang memiliki
faktor risiko, yakni mereka yang belum terkena, tetapi berpotensi untuk mendapat
DM dan kelompok intoleransi glukosa.
III.1.1.1. Faktor risiko diabetes
Faktor risiko diabetes sama dengan faktor risiko untuk intoleransi glukosa yaitu :
Faktor risiko yang tidak bisa dimodifikasi :
Ras dan etnik
Riwayat keluarga dengan diabetes (anak penyandang diabetes)
Umur.Risiko untuk menderita intoleransi glukosa meningkat seiring dengan
meningkatnya usia. Usia > 45 tahun harus dilakukan pemeriksaan DM.
Riwayat melahirkan bayi dengan BB lahir bayi>4000 gram atau riwayat
pernah menderita DM gestasional (DMG).
Riwayat lahir dengan berat badan rendah, kurang dari 2,5 kg. Bayi yang lahir
dengan BB rendah mempunyai risiko yang lebih tinggi dibanding dengan bayi
lahir dengan BB normal.
Faktor risiko yang bisa dimodifikasi :
Berat badan lebih (IMT > 23 kg/m2).
Kurangnya aktivitas fisik.
Hipertensi (> 140/90 mmHg).

Dislipidemia (HDL < 35 mg/dL dan atau trigliserida > 250 mg/dL)
Diet tak sehat (unhealthy diet). Diet dengan tinggi gula dan rendah serat akan
meningkatkan risiko menderita prediabetes/ intoleransi glukosa dan DM tipe 2.
Faktor lain yang terkait dengan risiko diabetes :
Penderita Polycystic Ovary Syndrome (PCOS) atau keadaan klinis lain yang
terkait dengan resistensi insulin
Penderita sindrom metabolik memiliki riwayat toleransi glukosa terganggu
(TGT) atau glukosa darah puasa terganggu (GDPT) sebelumnya. Memiliki
riwayat penyakit kardiovaskular, seperti stroke, PJK, atau PAD (Peripheral
Arterial Diseases).
III.1.1.2. Intoleransi Glukosa
Intoleransi glukosa merupakan suatu keadaan yang mendahului timbulnya
diabetes. Angka kejadian intoleransi glukosa dilaporkan terus mengalami
peningkatan.
Istilah ini diperkenalkan pertama kali pada tahun 2002 oleh Department of
Health and Human Services (DHHS) dan The American Diabetes Association
(ADA). Sebelumnya istilah untuk menggambarkan keadaan intoleransi glukosa
adalah TGT dan GDPT. Setiap tahun 4-9% orang dengan intoleransi glukosa akan
menjadi diabetes.
Intoleransi glukosa mempunyai risiko timbulnya gangguan kardiovaskular
sebesar satu setengah kali lebih tinggi dibandingkan orang normal.
Diagnosis intoleransi glukosa ditegakkan dengan pemeriksaan TTGO setelah
puasa 8 jam. Diagnosis intoleransi glukosa ditegakkan apabila hasil tes glukosa
darah menunjukkan salah satu dari tersebut di bawah ini :

Glukosa darah puasa antara 100125 mg/dL


Glukosa darah 2 jam setelah muatan glukosa (TTGO) antara 140-199 mg/dL.
Pada pasien dengan intoleransi glukosa anamnesis dan pemeriksaan fisik yang
dilakukan ditujukan untuk mencari faktor risiko yang dapat dimodifikasi.
C.
HIPERTENSI
A. Definisi
Hipertensi merupakan silent killer (pembunuh diam-diam) yang
secara luas dikenal sebagai penyakit kardiovaskular yang sangat umum.
Dengan meningkatnya tekanan darah dan gaya hidup yang tidak seimbang
dapat meningkatkan faktor risiko munculnya berbagai penyakit seperti arteri
koroner, gagal jantung, stroke, dan gagal ginjal. Salah satu studi menyatakan
pasien yang menghentikan terapi anti hipertensi maka lima kali lebih besar
kemungkinannya terkena stroke.1
Hipertensi dianggap sebagai faktor risiko utama stroke, dimana stroke
merupakan penyakit yang sulit disembuhkan dan mempunyai dampak yang
sangat luas terhadap kelangsungan hidup penderita dan keluarganya. Hipertensi
sistolik dan distolik terbukti berpengaruh pada stroke. Dikemukakan bahwa
penderita dengan tekanan diastolik di atas 95 mmHg mempunyai risiko dua
kali lebih besar untuk terjadinya infark otak dibanding dengan tekanan
diastolik kurang dari 80 mmHg, sedangkan kenaikan sistolik lebih dari 180
mmHg mempunyai risiko tiga kali terserang stroke iskemik dibandingkan
dengan dengan tekanan darah kurang 140 mmHg. Akan tetapi pada penderita
usia lebih 65 tahun risiko stroke hanya 1,5 kali daripada normotensi.3,4
Sasaran pengobatan hipertensi untuk menurunkan morbiditas dan
mortalitas kardiovaskuler dan ginjal. Dengan menurunkan tekanan darah
kurang dari 140/90 mmHg, diharapkan komplikasi akibat hipertensi berkurang.
Klasifikasi prehipertensi bukan suatu penyakit, tetapi hanya dimaksudkan akan
risiko terjadinya hipertensi. Terapi non farmakologi antara lain mengurangi
asupan garam, olah raga, menghentikan rokok dan mengurangi berat badan,
dapat dimulai sebelum atau bersama-sama obat farmakologi.4
B. Etiologi

Hipertensi merupakan suatu penyakit dengan kondisi medis yang


beragam. Pada kebanyakan pasien etiologi patofisiologi-nya tidak diketahui
(essensial atau hipertensi primer). Hipertensi primer ini tidak dapat
disembuhkan tetapi dapat di kontrol. Kelompok lain dari populasi dengan
persentase rendah mempunyai penyebab yang khusus, dikenal sebagai
hipertensi sekunder. Banyak penyebab hipertensi sekunder; endogen maupun
eksogen. Bila penyebab hipertensi sekunder dapat diidentifikasi, hipertensi
pada pasien-pasien ini dapat disembuhkan secara potensial.5
1. Hipertensi primer (essensial)
Lebih dari 90% pasien dengan hipertensi merupakan hipertensi
essensial (hipertensi primer). Literatur lain mengatakan, hipertensi
essensial merupakan 95% dari seluruh kasus hipertensi. Beberapa
mekanisme yang mungkin berkontribusi untuk terjadinya hipertensi ini
telah diidentifikasi, namun belum satupun teori yang tegas menyatakan
patogenesis hipertensi primer tersebut. Hipertensi sering turun temurun
dalam suatu keluarga, hal ini setidaknya menunjukkan bahwa faktor
genetik memegang peranan penting pada patogenesis hipertensi primer.
Menurut data, bila ditemukan gambaran bentuk disregulasi tekanan darah
yang monogenik dan poligenik mempunyai kecenderungan timbulnya
hipertensi essensial. Banyak karakteristik genetik dari gen-gen ini yang
mempengaruhi keseimbangan natrium, tetapi juga di dokumentasikan
adanya mutasi-mutasi genetik yang merubah ekskresi kallikrein urine,
pelepasan nitric oxide, ekskresi aldosteron, steroid adrenal, dan
angiotensinogen.6
2. Hipertensi sekunder
Kurang dari 10% penderita hipertensi merupakan sekunder dari
penyakit komorbid atau obat-obat tertentu yang dapat meningkatkan
tekanan darah (lihat tabel 1). Pada kebanyakan kasus, disfungsi renal
akibat penyakit ginjal kronis atau penyakit renovaskular adalah penyebab
sekunder yang paling sering. Obat-obat tertentu, baik secara langsung
ataupun tidak, dapat menyebabkan hipertensi atau memperberat hipertensi
dengan menaikkan tekanan darah. Obat-obat ini dapat dilihat pada tabel 1.
Apabila

penyebab

sekunder

dapat

diidentifikasi,

maka

dengan

menghentikan obat yang bersangkutan atau mengobati / mengoreksi


kondisi komorbid yang menyertainya sudah merupakan tahap pertama
dalam penanganan hipertensi sekunder.
Penyakit Obat
1. penyakit ginjal kronis

Obat
1. Kortikosteroid, ACTH

2. hiperaldosteronisme primer

2. Estrogen (biasanya pil KB dg

3. penyakit renovaskular

kadar estrogen tinggi)

4. sindroma Cushing

3. NSAID, cox-2 inhibitor

5. pheochromocytoma

4. Fenilpropanolamine dan analog

6. koarktasi aorta

5. Cyclosporin dan tacrolimus

7. penyakit tiroid atau paratiroid 6. Eritropoetin


7. Sibutramin
8. Antidepresan

(terutama

venlafaxine)
Tabel 1. Penyebab hipertensi yang dapat diidentifikasi.5
C. Klasifikasi Hipertensi

Ada beberapa klasifikasi dari hipertensi, diantaranya menurut The


Seventh Report of The Joint National Committee on Prevention, Detection,
Eveluation, and Tretment of High Blood Pressure (JNC7) klasifikasi tekanan
darah pada orang dewasa terbagi menjadi kelompok normal, prahipertensi,
hipertensi derajat 1 dan derajat 2 (dilihat tabel 2), menurut World Health
Organization (WHO) dan International Society Of Hypertension Working
Group (ISHWG) (dilihat tabel 3).2

Tabel 2. Klasifikasi Tekanan Darah Menurut JNC 7


Klasifikasi Tekanan
Darah
Normal
Prehipertensi

TDS (mmHg)
< 120
120 139

TDD (mmHg)
Dan
Atau

< 80
80 89

Hipertensi stadium 1
140 159
Atau
90 99
Hipertensi stadium 2
160
Atau
100
TDS = Tekanan Darah Sistolik, TDD = Tekanan Darah Diastolik
Tabel 3. Klasifikasi Tekanan Darah World Health Organization (WHO)
dan International Society Of Hypertension Working Group (ISHWG)
Kategori
Optimal
Normal
Normal tinggi /
pra hipertensi
Hipertensi derajat I
Hipertensi derajat II
Hipertensi derajat III

Sistolik (mmHg)
< 120
< 130
130 139

Dan
Dan
Atau

Diastolik (mmHg)
< 80
< 85
85 89

140 159
160 179
180

Atau
Atau
Atau

90 99
100 109
110

D. Faktor Risiko Hipertensi


1. Faktor yang tidak dapat diubah/dikontrol
a. Umur
Hipertensi erat kaitannya dengan umur, semakin tua seseorang
semakin besar risiko terserang hipertensi. Umur lebih dari 40 tahun
mempunyai risiko terkena hipertensi. Dengan bertambahnya umur, risiko
terkena hipertensi lebih besar sehingga prevalensi hipertensi dikalangan
usia lanjut cukup tinggi yaitu sekitar 40 % dengan kematian sekitar 50 %
diatas umur 60 tahun. Arteri kehilangan elastisitasnya atau kelenturannya
dan tekanan darah seiring bertambahnya usia, kebanyakan orang
hipertensinya meningkat ketika 50an dan 60an.8
Dengan bertambahnya umur, risiko

terjadinya

hipertensi

meningkat. Meskipun hipertensi bisa terjadi pada segala usia, namun


paling sering dijumpai pada orang berusia 35 tahun atau lebih.
Sebenarnya wajar bila tekanan darah sedikit meningkat dengan
bertambahnya umur. Hal ini disebabkan oleh perubahan alami pada
jantung, pembuluh darah dan hormon. Tetapi bila perubahan tersebut
disertai faktor-faktor lain maka bisa memicu terjadinya hipertensi.
b. Jenis Kelamin
Bila ditinjau perbandingan antara wanita dan pria, ternyata
terdapat angka yang cukup bervariasi. Dari laporan Sugiri di Jawa

Tengah didapatkan angka prevalensi 6,0% untuk pria dan 11,6% untuk
wanita. Prevalensi di Sumatera Barat 18,6% pria dan 17,4% perempuan,
sedangkan daerah perkotaan di Jakarta (Petukangan) didapatkan 14,6%
pria dan 13,7% wanita.
c. Riwayat Keluarga
Menurut Nurkhalida, orang-orang dengan sejarah keluarga yang
mempunyai hipertensi lebih sering menderita hipertensi. Riwayat
keluarga dekat yang menderita hipertensi (faktor keturunan) juga
mempertinggi risiko terkena hipertensi terutama pada hipertensi primer.
Keluarga yang memiliki hipertensi dan penyakit jantung meningkatkan
risiko hipertensi 2-5 kali lipat. Jika kedua orang tua kita mempunyai
hipertensi, kemungkunan kita mendapatkan penyakit tersebut 60%.
d. Genetik
Peran faktor genetik terhadap timbulnya hipertensi terbukti
dengan ditemukannya kejadian bahwa hipertensi lebih banyak pada
kembar monozigot (satu sel telur) daripada heterozigot (berbeda sel
telur). Seorang penderita yang mempunyai sifat genetik hipertensi primer
(esensial) apabila dibiarkan secara alamiah tanpa intervensi terapi,
bersama lingkungannya akan menyebabkan hipertensinya berkembang
dan dalam waktu sekitar 30-50 tahun akan timbul tanda dan gejala.12
2. Faktor yang dapat diubah/dikontrol
a. Kebiasaan Merokok
Rokok juga dihubungkan dengan hipertensi. Hubungan antara
rokok

dengan

peningkatan

risiko

kardiovaskuler

telah

banyak

dibuktikan.Selain dari lamanya, risiko merokok terbesar tergantung pada


jumlah rokok yang dihisap perhari. Seseoramg lebih dari satu pak rokok
sehari menjadi 2 kali lebih rentan hipertensi dari pada mereka yang tidak
merokok.
Zat-zat kimia beracun, seperti nikotin dan karbon monoksida
yang diisap melalui rokok, yang masuk kedalam aliran darah dapat
merusak lapisan endotel pembuluh darah arteri dan mengakibatkan
proses aterosklerosis dan hipertensi.
b. Konsumsi Asin/Garam

Garam merupakan faktor yang sangat penting dalam patogenesis


hipertensi. Hipertensi hampir tidak pernah ditemukan pada suku bangsa
dengan asupan garam yang minimal. Asupan garam kurang dari 3 gram
tiap hari menyebabkan prevalensi hipertensi yang rendah, sedangkan jika
asupan garam antara 5-15 gram perhari prevalensi hipertensi meningkat
menjadi 15-20 %. Pengaruh asupan terhadap timbulnya hipertensi terjadi
melalui peningkatan volume plasma, curah jantung dan tekanan darah.13
Garam menyebabkan penumpukan cairan dalam tubuh, karena
menarik cairan diluar sel agar tidak keluar, sehingga akan meningkatkan
volume dan tekanan darah. Pada manusia yang mengkonsumsi garam 3
gram atau kurang ditemukan tekanan darah rata-rata rendah, sedangkan
asupan garam sekitar 7-8 gram tekanan darahnya rata-rata lebih tinggi.
Konsumsi garam yang dianjurkan tidak lebih dari 6 gram/hari setara
dengan 110 mmol natrium atau 2400 mg/hari.3,11
Menurut Alison Hull, penelitian menunjukkan adanya kaitan
antara asupan natrium dengan hipertensi pada beberapa individu. Asupan
natrium akan meningkat menyebabkan tubuh meretensi cairan yang
meningkatkan volume darah.
c. Konsumsi Lemak Jenuh
Kebiasaan konsumsi lemak jenuh erat kaitannya dengan
peningkatan berat badan yang berisiko terjadinya hipertensi.Konsumsi
lemak jenuh juga meningkatkan risiko aterosklerosis yang berkaitan
dengan kenaikan tekanan darah. Penurunan konsumsi lemak jenuh,
terutama lemak dalam makanan yang bersumber dari hewan dan
peningkatan konsumsi lemak tidak jenuh secukupnya yang berasal dari
minyak sayuran, biji-bijian dan makanan lain yang bersumber dari
tanaman dapat menurunkan tekanan darah.
d. Penggunaan Jelantah
Jelantah adalah minyak goreng yang sudah lebih dari satu kali
dipakai untuk menggoreng, dan minyak goreng ini merupakan minyak
yang telah rusak. Bahan dasar minyak goreng bisa bermacam-macam
seperti kelapa, sawit, kedelai, jagung dan lain-lain. Meskipun beragam,
secara kimia isi kendungannya sebetulnya tidak jauh berbeda, yakni
terdiri dari beraneka asam lemak jenuh (ALJ) dan asam lemak tidak

jenuh (ALTJ). Dalam jumlah kecil terdapat lesitin, cephalin, fosfatida,


sterol, asam lemak bebas, lilin, pigmen larut lemak, karbohidrat dan
protein. Hal yang menyebabkan berbeda adalah komposisinya, minyak
sawit mengandung sekitar 45,5% ALJ yang didominasi oleh lemak
palmitat dan 54,1% ALTJ yang didominasi asam lemak oleat sering juga
disebut omega-9. minyak kelapa mengadung 80% ALJ dan 20% ALTJ,
sementara minyak zaitun dan minyak biji bunga matahari hampir 90%
komposisinya adalah ALTJ.
e. Kebiasaan Konsumsi Minum Minuman Beralkohol
Alkohol juga dihubungkan dengan hipertensi. Peminum alkohol
berat cenderung hipertensi meskipun mekanisme timbulnya hipertensi
belum diketahui secara pasti. Orangorang yang minum alkohol terlalu
sering atau yang terlalu banyak memiliki tekanan yang lebih tinggi dari
pada individu yang tidak minum atau minum sedikit.
Menurut Ali Khomsan konsumsi alkohol harus diwaspadai karena
survei menunjukkan bahwa 10 % kasus hipertensi berkaitan dengan
konsumsi alkohol.Mekanisme peningkatan tekanan darah akibat alkohol
masih belum jelas. Namun diduga, peningkatan kadar kortisol dan
peningkatan volume sel darah merah serta kekentalan darah merah
berperan dalam menaikkan tekanan darah.
f. Obesitas
Obesitas erat kaitannya dengan kegemaran mengkonsumsi
makanan yang mengandung tinggi lemak. Obesitas meningkatkan risiko
terjadinya hipertensi karena beberapa sebab. Makin besar massa tubuh,
makin banyak darah yang dibutuhkan untuk memasok oksigen dan
makanan ke jaringan tubuh. Ini berarti volume darah yang beredar
melalui pembuluh darah menjadi meningkat sehingga memberi tekanan
lebih besar pada dinding arteri. Kelebihan berat badan juga
meningkatkan frekuensi denyut jantung dan kadar insulin dalam darah.
Peningkatan insulin menyebabkan tubuh menahan natrium dan air.
Berat badan dan indeks Massa Tubuh (IMT) berkorelasi langsung
dengan tekanan darah, terutama tekanan darah sistolik. Risiko relatif
untuk menderita hipertensi pada orang obes 5 kali lebih tinggi
dibandingkan dengan seorang yang berat badannya normal. Pada

penderita hipertensi ditemukan sekitar 20-30 % memiliki berat badan


lebih.
g. Olahraga
Kurangnya

aktifitas

fisik

meningkatkan

risiko

menderita

hipertensi karena meningkatkan risiko kelebihan berat badan. Orang yang


tidak aktif juga cenderung mempunyai frekuensi denyut jantung yang
lebih tinggi sehingga otot jantungnya harus bekerja lebih keras pada
setiap kontraksi. Makin keras dan sering otot jantung harus memompa,
makin besar tekanan yang dibebankan pada arteri.
h. Stres
Stres dapat meningkatkan tekanan darah untuk sementara waktu
dan bila stres sudah hilang tekanan darah bisa normal kembali. Peristiwa
mendadak menyebabkan stres dapat meningkatkan tekanan darah, namun
akibat stress berkelanjutan yang dapat menimbulkan hipertensi belum
dapat dipastikan.
i. Penggunaan Estrogen
Estrogen meningkatkan

risiko

hipertensi

tetapi

secara

epidemiologi belum ada data apakah peningkatan tekanan darah tersebut


disebabkan karena estrogen dari dalam tubuh atau dari penggunaan
kontrasepsi hormonal estrogen.MN Bustan menyatakan bahwa dengan
lamanya pemakaian kontrasepsi estrogen ( 12 tahun berturut-turut),
akan meningkatkan tekanan darah perempuan.
E. Patogenesis Hipertensi
Tekanan yang dibutuhkan untuk mengalirkan darah melalui sistem
sirkulasi dilakukan oleh aksi memompa dari jantung (cardiac output/CO) dan
dukungan dari arteri (peripheral resistance/PR). Fungsi kerja masing-masing
penentu tekanan darah ini dipengaruhi oleh interaksi dari berbagai faktor yang
kompleks. Hipertensi sesungguhnya merupakan abnormalitas dari faktor-faktor
tersebut, yang ditandai dengan peningkatan curah jantung dan / atau ketahanan
periferal.

Exces
sodium
intake

Reduce
nephrone
number

Renal
sodium
retentio

Fluid
volume

Decreased
Filtration
surface

stress

Sympathetic
nervous
overactivity

Genetic
alteration

Renin angiotensin
excess

Endotelium
derived
factors

obesity

Cell
membrane
alteration

Hyper
insulinemia

Venous
constiction

Preload

Contractability

BLOOD PRESURE = CARDIAC OUTPUT


Hypertension = Increased CO

Structural
hypertrophy

Functional
constriction

X
And/or

PERIPHERAL RESISTANCE
Increased PR

Autoregulation

Gambar 1. Beberapa faktor yang mempengaruhi tekanan darah.11


F. Gejala Klinis Hipertensi
Menurut Elizabeth J. Corwin, sebagian besar tanpa disertai gejala yang
mencolok dan manifestasi klinis timbul setelah mengetahui hipertensi
bertahun-tahun berupa:
1. Nyeri kepala saat terjaga, kadang-kadang disertai mual dan muntah, akibat
2.
3.
4.
5.

tekanan darah intrakranium.


Penglihatan kabur akibat kerusakan retina karena hipertensi.
Ayunan langkah tidak mantap karena kerusakan susunan syaraf.
Nokturia karena peningkatan aliran darah ginjal dan filtrasi glomerolus.
Edema dependen akibat peningkatan tekanan kapiler.

G. Diagnosis Hipertensi
Menurut Slamet Suyono, evaluasi pasien hipertensi mempunyai tiga
tujuan:
1. Mengidentifikasi penyebab hipertensi.
2. Menilai adanya kerusakan organ target dan penyakit kardiovaskuler,
beratnya penyakit, serta respon terhadap pengobatan.

3. Mengidentifikasi adanya faktor risiko kardiovaskuler yang lain atau

penyakit penyerta, yang ikut menentukan prognosis dan ikut menentukan


panduan pengobatan.7
Data yang diperlukan untuk evaluasi tersebut diperoleh dengan cara
anamnesis, pemeriksaan fisik, pemeriksaan laboratorium, dan pemeriksaan
penunjang. Peninggian tekanan darah kadang sering merupakan satu-satunya
tanda klinis hipertensi sehingga diperlukan pengukuran tekanan darah yang
akurat. Berbagai faktor yang mempengaruhi hasil pengukuran seperti faktor
pasien, faktor alat dan tempat pengukuran.7
Anamnesis yang dilakukan meliputi tingkat hipertensi dan lama
menderitanya, riwayat dan gejala-gejala penyakit yang berkaitan seperti
penyakit jantung koroner, penyakit serebrovaskuler dan lainnya. Apakah
terdapat riwayat penyakit dalam keluarga, gejala yang berkaitan dengan
penyakit hipertensi, perubahan aktifitas atau kebiasaan (seperti merokok,
konsumsi makanan, riwayat dan faktor psikososial lingkungan keluarga,
pekerjaan, dan lain-lain). Dalam pemeriksaan fisik dilakukan pengukuran
tekanan darah dua kali atau lebih dengan jarak dua menit, kemudian diperiksa
ulang dengan kontrolatera.18
H. Pengukuran Tekanan Darah
Menurut Roger Watson, tekanan darah diukur berdasarkan berat kolum
air raksa yang harus ditanggungnya. Tingginya dinyatakan dalam millimeter.
Tekanan darah arteri yang normal adalah 110-120 (sistolik) dan 65-80 mm
(diastolik). Alat untuk mengukur tekanan darah disebut spigmomanometer. Ada
beberapa jenis spigmomanometer, tetapi yang paling umum terdiri dari sebuah
manset karet, yang dibalut dengan bahan yang difiksasi disekitarnya secara
merata tanpa menimbulkan konstriksi. Sebuah tangan kecil dihubungkan
dengan manset karet ini. Dengan alat ini, udara dapat dipompakan kedalamnya,
mengembangkan manset karet tersebut dan menekan akstremita dan pembuluh
darah yang ada didalamnya. Bantalan ini juga dihubungkan juga dengan
sebuah manometer yang mengandung air raksa sehingga tekanan udara
didalamnya dapat dibaca sesuai skala yang ada.
Untuk mengukur tekanan darah, manset karet difiksasi melingkari
lengan dan denyut pada pergelangan tangan diraba dengan satu tangan,

sementara tangan yang lain digunakan untuk mengembangkan manset sampai


suatu tekanan, dimana denyut arteri radialis tidak lagi teraba. Sebuah stetoskop
diletakkan diatas denyut arteri brakialis pada fosa kubiti dan tekanan pada
manset karet diturunkan perlahan dengan melonggarkan katupnya. Ketika
tekanan diturunkan, mula-mula tidak terdengar suara, namun ketika mencapai
tekanan darah sistolik terdengar suara ketukan (tapping sound) pada stetoskop
(Korotkoff fase I). Pada saat itu tinggi air raksa didalam namometer harus
dicatat. Ketika tekanan didalam manset diturunkan, suara semakin keras
sampai saat tekanan darah diastolik tercapai, karakter bunyi tersebut berubah
dan meredup (Korotkoff fase IV). Penurunan tekanan manset lebih lanjut akan
menyebabkan bunyi menghilang sama sekali (Korotkoff fase V). Tekanan
diastolik dicatat pada saat menghilangnya karakter bunyi tersebut.
Menurut Lany Gunawan, dalam pengukuran tekanan darah ada
beberapa hal yang perlu diperhatikan, yaitu:
1. Pengukuran tekanan darah boleh dilaksanakan pada posisi duduk ataupun
berbaring. Namun yang penting, lengan tangan harus dapat diletakkan
dengan santai.
2. Pengukuran tekanan darah dalam posisi duduk, akan memberikan angka
yang agak lebih tinggi dibandingkan dengan posisi berbaring meskipun
selisihnya relatif kecil.
3. Tekanan darah juga dipengaruhi kondisi saat pengukuran. Pada orang yang
bangun tidur, akan didapatkan tekanan darah paling rendah. Tekanan darah
yang diukur setelah berjalan kaki atau aktifitas fisik lain akan memberi
angka yang lebih tinggi. Di samping itu, juga tidak boleh merokok atau
minum kopi karena merokok atau minum kopi akan menyebabkan tekanan
darah sedikit naik.
4. Pada pemeriksaan kesehatan, sebaiknya tekanan darah diukur 2 atau 3 kali
berturut-turut, dan pada detakan yang terdengar tegas pertama kali mulai
dihitung. Jika hasilnya berbeda maka nilai yang dipakai adalah nilai yang
terendah.
5. Ukuran manset harus sesuai dengan lingkar lengan, bagian yang
mengembang harus melingkari 80 % lengan dan mencakup dua pertiga dari
panjang lengan atas.

I. Penatalaksanaan Hipertensi
1. Penatalaksanaan Non Farmakologis
Pendekatan nonfarmakologis merupakan penanganan awal sebelum
penambahan obat-obatan hipertensi, disamping perlu diperhatikan oleh
seorang yang sedang dalam terapi obat. Sedangkan pasien hipertensi yang
terkontrol, pendekatan nonfarmakologis ini dapat membantu pengurangan
dosis obat pada sebagian penderita. Oleh karena itu, modifikasi gaya hidup
merupakan hal yang penting diperhatikan, karena berperan dalam
keberhasilan penanganan hipertensi.
Pendekatan nonfarmakologis dibedakan menjadi beberapa hal:
1. Menurunkan faktor risiko yang menyebabkan aterosklerosis.
Menurut Corwin berhenti merokok penting untuk mengurangi
efek jangka panjang hipertensi karena asap rokok diketahui menurunkan
aliran darah ke berbagai organ dan dapat meningkatkan beban kerja
jantung. Selain itu pengurangan makanan berlemak dapat menurunkan
risiko aterosklerosis.8
Penderita hipertensi dianjurkan untuk berhenti merokok dan
mengurangi asupan alkohol. Berdasarkan hasil penelitian eksperimental,
sampai pengurangan sekitar 10 kg berat badan berhubungan langsung
dengan penurunan tekanan darah rata-rata 2-3 mmHg per kg berat badan.
2. Olahraga dan aktifitas fisik
Selain untuk menjaga berat badan tetap normal, olahraga dan
aktifitas fisik teratur bermanfaat untuk mengatur tekanan darah, dan
menjaga kebugaran tubuh. Olahraga seperti jogging, berenang baik
dilakukan untuk penderita hipertensi. Dianjurkan untuk olahraga teratur,
minimal 3 kali seminggu, dengan demikian dapat menurunkan tekanan
darah walaupun berat badan belum tentu turun.11
Olahraga yang teratur dibuktikan dapat menurunkan tekanan
perifer sehingga dapat menurunkan tekanan darah. Olahraga dapat
menimbulkan perasaan santai dan mengurangi berat badan sehingga
dapat menurunkan tekanan darah. Yang perlu diingat adalah bahwa
olahraga saja tidak dapat digunakan sebagai pengobatan hipertensi.13
Menurut Dede Kusmana, beberapa patokan berikut ini perlu
dipenuhi sebelum memutuskan berolahraga, antara lain:

a. Penderita hipertensi sebaiknya dikontrol atau dikendalikan tanpa atau


dengan obat terlebih dahulu tekanan darahnya, sehingga tekanan darah
sistolik tidak melebihi 160 mmHg dan tekanan darah diastolik tidak
melebihi 100 mmHg.
b. Alangkah tepat jika sebelum berolahraga terlebih dahulu mendapat
informasi mengenai penyebab hipertensi yang sedang diderita.
c. Sebelum melakukan latihan sebaiknya telah dilakukan uji latih jantung
dengan beban (treadmill/ergometer) agar dapat dinilai reaksi tekanan
darah serta perubahan aktifitas listrik jantung (EKG), sekaligus
menilai tingkat kapasitas fisik.
d. Pada saat uji latih sebaiknya obat yang sedang diminum tetap
diteruskan sehingga dapat diketahui efektifitas obat terhadap kenaikan
beban.
e. Latihan yang diberikan ditujukan untuk meningkatkan daya tahan
tubuh dan tidak menambah peningkatan darah.
f. Olahraga yang bersifat kompetisi tidak diperbolehkan.
g. Olahraga peningkatan kekuatan tidak diperbolehkan.
h. Secara teratur memeriksakan tekanan darah sebelum dan sesudah
latihan.
i. Salah satu dari olahraga hipertensi adalah timbulnya penurunan
tekanan darah sehingga olahraga dapat menjadi salah satu obat
hipertensi.
j. Umumnya penderita hipertensi mempunyai kecenderungan ada
kaitannya dengan beban emosi (stres). Oleh karena itu disamping
olahraga yang bersifat fisik dilakukan pula olahraga pengendalian
emosi, artinya berusaha mengatasi ketegangan emosional yang ada.
k. Jika hasil latihan menunjukkan penurunan tekanan darah, maka
dosis/takaran obat yang sedang digunakan sebaiknya dilakukan
penyesuaian (pengurangan).
3. Perubahan pola makan
a. Mengurangi asupan garam
Pada hipertensi derajat I, pengurangan asupan garam dan
upaya penurunan berat badan dapat digunakan sebagai langkah awal
pengobatan hipertensi. Nasihat pengurangan asupan garam harus
memperhatikan kebiasaan makan pasien, dengan memperhitungkan
jenis makanan tertentu yang banyak mengandung garam. Pembatasan
asupan garam sampai 60 mmol per hari, berarti tidak menambahkan

garam pada waktu makan, memasak tanpa garam, menghindari


makanan yang sudah diasinkan, dan menggunakan mentega yang
bebas garam. Cara tersebut diatas akan sulit dilaksanakan karena akan
mengurangi asupan garam secara ketat dan akan mengurangi
kebiasaan makan pasien secara drastis.
b. Diet rendah lemak jenuh
Lemak dalam diet meningkatkan

risiko

terjadinya

aterosklerosis yang berkaitan dengan kenaikan tekanan darah.


Penurunan konsumsi lemak jenuh, terutama lemak dalam makanan
yang bersumber dari hewan dan peningkatan konsumsi lemak tidak
jenuh secukupnya yang berasal dari minyak sayuran, biji-bijian dan
makanan lain yang bersumber dari tanaman dapat menurunkan
tekanan darah.
c. Memperbanyak konsumsi sayuran, buah-buahan dan susu rendah
lemak.
Beberapa penelitian menunjukkan bahwa beberapa mineral
bermanfaat mengatasi hipertensi. Kalium dibuktikan erat kaitannya
dengan penurunan tekanan darah arteri dan mengurangi risiko
terjadinya stroke. Selain itu, mengkonsumsi kalsium dan magnesium
bermanfaat dalam penurunan tekanan darah. Banyak konsumsi sayursayuran dan buah-buahan mengandung banyak mineral, seperti
seledri, kol, jamur (banyak mengandung kalium), kacang-kacangan
(banyak mengandung magnesium). Sedangkan susu dan produk susu
mengandung banyak kalsium.
4. Menghilangkan stress
Stres menjadi masalah bila tuntutan dari lingkungan hampir atau
bahkan sudah melebihi kemampuan kita untuk mengatasinya. Cara untuk
menghilangkan stres yaitu perubahan pola hidup dengan membuat
perubahan dalam kehidupan rutin sehari-hari dapat meringankan beban
stres. Perubahan-perubahan itu ialah:
a. Rencanakan semua dengan baik. Buatlah jadwal tertulis untuk
kegiatan setiap hari sehingga tidak akan terjadi bentrokan acara atau
kita terpaksa harus terburu-buru untuk tepat waktu memenuhi suatu
janji atau aktifitas.
b. Sederhanakan jadwal. Cobalah bekerja dengan lebih santai.

c.
d.
e.
f.
g.
h.

Bebaskan diri dari stres yang berhubungan dengan pekerjaan.


Siapkan cadangan untuk keuangan
Berolahraga.
Makanlah yang benar.
Tidur yang cukup.
Ubahlah gaya. Amati sikap tubuh dan perilaku saat sedang dilanda

stres.
i. Sediakan waktu untuk keluar dari kegiatan rutin.
j. Binalah hubungan sosial yang baik.
k. Ubalah pola pikir. Perhatikan pola pikir agar dapat menekan perasaan
kritis atau negatif terhadap diri sendiri.
l. Sediakan waktu untuk hal-hal yang memerlukan perhatian khusus.
m. Carilah humor.
n. Berserah diri pada Yang Maha Kuasa.
2. Penatalaksanaan Farmakologis
Jenis-jenis obat antihipertensi untuk terapi farmakologis hipertensi
yang dianjurkan oleh JNC 7:
a. Diuretic, terutama jenis Thiazide (Thiaz) Aldosteron Antagonist (Ald
b.
c.
d.
e.

Ant)
Beta Blocker (BB)
Calcium channel blocker atau Calcium antagonist (CCB)
Angiotensin Converting Enzyme Inhibitor (ACEI)
Angiotensin II Receptor Blocker atau AT1 Receptor angiotensint/ blocker
(ARB).

Tabel 4.

Indikasi dan Kontraindikasi Kelas-kelas utama Obat


Antihipertensi Menurut ESH.

Kelas obat

Indikasi

Kontraindikasi
Mutlak
Tidak mutlak
jantung gout
kehamilan

Diuretika Gagal
(Thiazide)

kongestif,
lanjut,

usia

isolated

systolic
hypertension,
Diuretika (loop)

ras afrika
Insufisiensi
ginjal,

gagal

jantung
Diuretika

(anti

kongestif

Gagal

ginjal,

aldosteron)

Gagal

jantung hiperkalemia

penyekat

kongestif, pasca
infark

Asma,

Penyakit

miokardium
penyakit paru pembuluh darah
Angina pectoris,
obstruktif
perifer,
pasca
infark
menahun, A-V intoleransi
myocardium
block
glukosa, atlit atau
gagal
jantung
pasien yang aktif
kongestif,
secara fisik
kehamilan,
Calcium

takiaritmia
Usia
lanjut,

Takiaritmia, gagal

Antagonist

isolated systolic

jantung kongestif

(dihydropiridine

hypertension,

angina pectoris,
penyakit
pembuluh darah
perifer,
aterosklerosis

Calcium
Antagonist
(verapamil,
diltiazem)

karotis,
kehamilan
Angina pectoris,

A-V

block,

gagal

jantung

kongestif

aterosklerosis
karotis,
takikardia

Penghmbat ACE

supraventrikuler
Gagal jantung Kehamilan,
kongestif,

hiperkalimea,

disfungsi

stenosis arteri

ventrikel

kiri, renalis bilateral

pasca

infark

myocardium,
non-diabetik
nefropati,

Angiotensi
reseptor

II nefropati

DM

tipe

1,

Kehamilan,

hiperkalemia,
antagonist (AT1- proteinuria
Nefropati DM stenosis arteri
blocker)
tipe
2, renalis bilateral
mikroalbumiuria
diabetic,
proteinuria,
hipertrofi
ventrikel
batuk
-Blocker

kiri,
karena

ACEI
Hyperplasia
prostat

Hipotensi

Gagal

(BPH), ortostatis

jantung

kongestif

hiperlipidemia
Indikasi dan Kontraindikasi Kelas-kelas utama Obat Antihipertensi.2
Adapun Tatalaksana hipertensi menurut menurut JNC7 dapat dilihat
pada tebel 5 dibawah ini :
Tabel 5. Tatalaksana hipertensi menurut menurut JNC7
Klasifikasi
Tekanan
Darah
Normal

TDS
(mmHg)

TDD
(mmHg)

Perbaikan
Pola Hidup

< 120

Dan <80

Dianjurkan

Prehipertensi

120-139

atau
80-89

ya

Atau
90-99

ya

Hipertensi

140-159

derajat 1

Tanpa indikasi
yang memaksa

Dengan
indikasi yang
memaksa

Tidak indikasi

Obat-obatan

obat

untuk indikasi
jenis

yang memaksa
Obat-obatan

Thiazide untuk

untuk indikasi

sebagian besar

yang memaksa
Obat

Diuretic

kasus,

dapat

dipertimbangka
n ACEI, ARB,
BB, CCB, atau
kombinasi

antihipertensi
lain (diuretika,
ACEI,

ARB,

BB,

CCB)

sesuai
kebutuhan
Hipertensi
derajat 2

160

Atau
100

ya

Kombinasi
obat

untuk

sebagian besar
kasus
umumnya
diuretika jenis
Thiazide

dan

ACEI

atau

ARB atau BB
atau CCB

Tatalaksana hipertensi menurut menurut JNC7.2


Masing-masing

obat

antihipertensi

memliki

efektivitas

dan

keamanan dalam pengobatan hipertensi, tetapi pemilihan obat antihipertensi


juga dipengaruhi beberapa faktor, yaitu :
a.
b.
c.
d.
e.
f.

Faktor sosio ekonomi


Profil factor resiko kardiovaskular
Ada tidaknya kerusakan organ target
Ada tidaknya penyakit penyerta
Variasi individu dari respon pasien terhadap obat antihipertensi
Kemungkinan adanya interaksi dengan obat yang digunakan pasien untuk
penyakit lain

g. Bukti ilmiah kemampuan obat antihipertensi yang akan digunakan dalam

menurunkan resiko kardiovasskular.2


Berdasarkan uji klinis, hampir seluruh pedoman penanganan
hipertensi menyatakan bahwa keuntungan pengobatan antihipertensi adalah
penurunan tekanan darah itu sendiri, terlepas dari jenis atau kelas obat
antihipertensi yang digunakan. Tetapi terdapat pula bukti-bukti yang
menyatakan bahwa kelas obat antihipertensi tertentu memiliki kelebihan
untuk kelompok pasien tertentu.Untuk keperluan pengobatan, ada
pengelompokan pasien berdasar yang memerlukan pertimbangan khusus
(special

considerations),

yaitu

kelompok

indikasi

yang

memaksa

(compelling indication) dan keadaan khusus lainnya (special situations).2


Indikasi yang memaksa meliputi:
a.
b.
c.
d.
e.
f.

Gagal jantung
Pasca infark miokardium
Resiko penyakit pembuluh darah koroner tinggi
Diabetes
Penyakit ginjal kronis
Pencegahan strok berulang.2
Keadaan khusus lainnya meliputi :

a.
b.
c.
d.
e.
f.
g.
h.
i.

Populasi minoritas
Obesitas dan sindrom metabolic
Hipertrofi ventrikel kanan
Penyakit arteri perifer
Hipertensi pada usia lanjut
Hipotensi postural
Demensia
Hipertensi pada perempuan
Hipertensi pada anak dan dewasa muda
j. Hipertensi urgensi dan emergensi.2
Untuk sebagian besar pasien hipertensi, terapi dimulai secara
bertahap, dan target tekanan darah dicapai secara progresif dalam beberapa
minggu. Dianjurkan untuk menggunakan obat antihipertensi dengan masa
kerja panjang atau yang memberikan efikasi 24 jam dengan pemberian
sekali sehari. Pilihan apakah memulai terapi dengan satu jenis obat
antihipertensi atau dengan kombinasi tergantung pada tekanan darah awal
dan ada tidaknya komplikasi. Jika terapi dimulai dengan satu jenis obat dan
dalam dosis rendah, dan kemudian darah belum mencapai target, maka
langkah selanjutnya adalah meningkatnya dosis obat tertentu, atau
berpindah ke antihipertensi lain dengan rendah. Efek samping umumnya
bisa dihindari dengan menggunakan dosis rendah, baik tunggal maupun
kombinasi.

Sebagian

besar

pasien

memerlukan

kombinasi

obat

antihipertensi untuk mencapai target tekanan darah, tetapi kombinasi dapat


meningkatkan biaya pengobatan dan menurunkan kepatuhan pasien karena
jumlah obat yang harus diminum bertambah.2
Kombinasi yang telah terbukti efektif dan dapat ditoleransi pasien
adalah :
a.
b.
c.
d.
e.
f.

dan ACEI atau ARB


CCB dan BB
CCB dan ACEI atau ARB
CCB dan diuretika
AB dan BB
Kadang diperlukan tiga atau empat kombinasi obat.2
Diuretika
Bloker

ARB

Bloker

CCB

ACEI
Gambar 2. Kemungkinan kombinasi obat antihipertensi.2

DAFTAR PUSTAKA
1. Arifin, L Augusta. 2010. Panduan terapi diabetes melitus tipe 2 terkini.
Fakultas kedokteran UNPAD
2. Soegondo S. Konsensus Pengelolaan dan Pencegahan Diabetes Melitus
tipe 2 di Indonesia 2011. Jakarta : PERKENI, 2011
3. Waspadji S. Komplikasi kronik diabetes : mekanisme terjadinya, diagnosis
dan strategi pengelolaannya. Dalam : buku ajar ilmu penyakit dalam.
Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I dkk, editor. Jilid III. Edisi IV. Jakarta :
balai penerbit FKUI, 2006; 1906.
4. Wahyuni. 2011. Dikutip dari eprints.undip.ac.id/29184/4/Bab_3.pdf
tanggal 31 Mei 2015
5. Perhimpunan Hipertensi Indonesia. 2007. Konsensus Hipertensi vol. 6
no.7
6. Frykberg RG, Zgonis T, Armstrong DG, et al. 2006. Diabetic Foot
Disorders: a Clinical Practice Guideline. American College of Foot and
Ankle Surgeons. Journal Foot Ankle Surgical. Vol 39:1-66.

Anda mungkin juga menyukai