PENDAHULUAN
Diabetes Mellitus (DM) merupakan suatu penyakit menahun yang
ditandai oleh kadar glukosa darah melebihi normal dan gangguan
metabolisme karbohidrat, lemak, dan protein yang disebabkan oleh
kekurangan hormon insulin secara relatif maupun absolut. Pada umumnya
dikenal 2 tipe diabetes, yaitu diabetes tipe 1 (tergantung insulin), dan
diabetes tipe 2 (tidak tergantung insulin).
Diabetes melitus merupakan penyebab kematian ke dua belas di
dunia(2). Penyakit diabetes melitus dapat mengenai semua organ tubuh
seperti otak (stroke), ginjal (gagal ginjal), jantung, mata dan kaki
(amstrong dan Lawrence). Salah satu komplikasi menahun dari diabetes
melitus adalah ulkus diabetikum. Prevalensi penderita ulkus diabetikum di
AS sebesar 15-20% dan angka mortalitas sebesar 17,6% bagi penderita
diiabetes melitus dan merupakan sebab utama perawatan penderita
diabetes melitus dirumah sakit(1). Ulkus diabetikum pada penderita
diabetes melitus merupakan komplikasi yang berkaitan dengan morbiditas
akibat komplikasi mikrovaskuler dan makrovaskuler oleh karena diabetes
melitus.
Komplikasi ulkus diabetikum menjadi alasan tersering rawat inap
pasien diabetes melitus berjumlah 25% dari seluruh rujukan diabetes
melitus di amerika serikat dan inggris(1). Menurut Institut National
Diabetes dan Penyakit Pencernaan dan Ginjal, 16.000.000 penduduk
Amerika diperkirakan diketahui menderita diabetes, dan jutaan lainnya
yang dianggap beresiko terkena penyakit itu. Di antara pasien dengan
diabetes, 15% menjadi ulkus kaki, dan 12-24% dari individu dengan ulkus
kaki memerlukan amputasi(1). Setiap tahun sekitar 5% dari penderita
diabetes dapat menjadi ulkus diabetikum dan 1% memerlukan amputasi.
Bahkan tingkat kekambuhan dalam populasi pasien adalah 66% dan laju
amputasi naik sampai 12%. Setengah dari semua amputasi nontraumatic
adalah akibat komplikasi ulkus diabetikum.
: Ny. Masdiana
: 413749
: 13-07-1968, 46 Tahun
: Kawin
: Ibu rumah tangga
: Seputih Jaya, Kec. Gunung Sugih
: Perempuan
: Lampung, Indonesia
: Islam
: SLTP
: Autoanamnesis
: 28-5-2015
: 06.00 WIB
: Luka pada kaki kanan yang semakin
meluas dan tidak kunjung sembuh sejak 1
Keluhan tambahan
yang banyak dan berbau tidak sedap serta terasa sedikit nyeri. Bagian
atas luka koreng tampak betis pasien memerah dan membengkak
serta teraba hangat. Pada betis pasien juga mulai terlihat luka terbuka
kecil dengan diameter 2 cm. pasien masih dapat merasakan
sentuhan pada tlapak kakinya, namun suda mulai sulit membedakan
mana sensasi sentuhan benda tajam dan tumpul. Jari-jari kaki kanan
pasien masih dapat digerakkan walaupun mengalami sedikit
kesulitan untuk menggerakkannya. Pasien mengakui sebulan lalu,
awalnya lukanya hanyalah seperti betisnya saja, telapak kaki pasien
membengkak, dan terasa hangat apabila diraba, 1 minggu kemudian,
mulai timbul adanya ulkus, yang biasanya dirawat pasien dengan
cara membasuh telapak kakinya dengan air hangat bersih, dan sabun
antiseptik. Luka tidak kunjung juga sembuh dan makin meluas
hingga sekarang. Pasien sempat dirawat di RS Tjokrodipo dan diberi
obat Hiperglikemia oral dan insulin, dan mendapat perawatan luka
pada kakinya serta antibiotik selama seminggu, namun kondisi
pasien kaki pasien tidak juga membaik, akhirnya pasien dirujuk ke
RSAM untuk dilakukan kultur bakteri dari pus yang keluar dari
lukanya.
Pasien mengaku memang telah lama memiliki penyakit Diabetes
mellitus yang didiagnosis sejak 5 tahun yang lalu. Pasien mengaku
pada awalnya pasien merasakan penurunan berat badan drastis
walaupun pasien merasa dirinya banyak makan dan minum. Pasien
juga mengaku sampai sekarang masih sering terbangun pada malam
hari untuk buang air kecil. Pasien tidak terlalu rutin kontrol penyakit
Diabetesnya selama ini. Obat yang didapatnya dari dokter juga tidak
diminum dengan taat, dan pasien juga masih belum terlalu menjaga
asupan makannya. Pasien mengaku masih sering makan makanan
dan minuman yang mengandung karbohidrat tinggi dan gula. Pasien
mengaku bahwa didalam keluarganya, ibunya juga menderita
diabetes mellitus.
Pasien juga mengaku memiliki riwayat Hipertensi yang didiagnosis
sejak 3 tahun yang lalu. Namun, sebelumnya pasien mengaku sudah
Cacar
(-)
Malaria
(-)
(-)
(-)
(-)
(-)
(-)
(-)
(-)
Cacar air
Difteri
Batuk Rejan
Campak
Influenza
Tonsilitis
Kholera
(-)
(-)
(-)
(-)
(-)
(-)
(+)
Disentri
Hepatitis
Tifus abd
Skirofula
Sifilis
Gonore
Hipertensi
(-)
(-)
(-)
(-)
(-)
(-)
(-)
Kemih
Hernia
Prostat
Wasir
Diabetes
Alergi
Tumor
Penyakit
(-)
Demam
(-)
Ulkus Ventrikui
(-)
vaskuler
Operasi
(-)
(-)
(-)
Rematik Akut
Pneumonia
Peluritis
Tuberkolosis
(-)
(-)
(-)
Ulkus Duodeni
(-)
Gastritis
Batu empedu dll
kecelakaan
Hubungan
Kakek
Nenek
Ayah
Umur
(Tahun)
Jenis
Kelamin
Lk
Pr
Lk
Keadaan Kesehatan
Penyebab
Meninggal
Meninggal
Meninggal
Meninggal
Tidak diketahui
Tidak diketahui
Jantung
Ibu
Saudara
Anak-anak
Pr
3 saudara
3 anak
Ya
+
Tidak
Hubungan
Ibu Kandung
+
+
+
+
+
+
Adik perempuan
C. Anamnesis sistem
Kulit
Kepala
Mata
Telinga
Mulut
Tenggorokan
Leher
Dada
Abdomen
Saluaran Kemih
Katanemis
Haid
Saraf dan otot
Ekstremitas
kanan.
BERAT BADAN
Berat badan rata-rata
Tinggi badan
Berat Badan sekarang
IMT
BBI
: 55-60 kg
: 160 cm
: 48 kg
: 18.2 (cukup)
: (160-100)-10%
48:54x100%
: SLTP
Kesulitan
: Ekonomi
PEMERIKSAAN FISIK
Pemeriksaan Umum
Tinggi Badan
Berat Badan
Tekanan darah
Nadi
Suhu
Pernafasan dan tipe
Keadaan gizi
Kesadaran
Sianosis
Edema Umum
: 160 cm
: 48 kg
: 150/80 mmHg
: 80x/menit, regular, pulsus magnus.
: 37,3o C
: 20x/ menit, thoracoabdominalis
: Cukup
: Compos Mentis
:: Tungkai kanan, edema dan tampak
kemerahan
Habitus
: Piknikus
Cara Berjalan
: Normal
Mobilitas
: Aktif
Umur menurut taksiran pemeriksa : 48 tahun.
ASPEK KEJIWAAN
Tingkah laku
: Wajar
Alam perasaan : Biasa
Proses pikir
: Wajar
STATUS GENERALIS
Kulit
Warna
: coklat
: 5-2 cmH2O
: Normal
Paru-Paru
Inspeksi : Simetris, kanan = kiri
Palpasi : fremitus (+) kiri = kanan di depan dan belakang
Perkusi : Sonor di semua permukaan thorax
Auskultasi : Vesikuler, ronki -/- pada basal, wheezing -/Jantung
Inspeksi : Iktus cordis tidak terlihat
Palpasi : Iktus cordis teraba di ics 5 sinistra
Perkusi : Batas jantung atas ICS 2 midclavicula sinistra
Batas jantung kiri ICS 6 axilla midclavicula sinistra
Batas jantung kanan ICS 5 garis sterna dextra
Auskultasi : Depan = Bunyi jantung I/II regular gallop () murmur
(-)
Pembuluh Darah
Arteri temporalis, karotis, brakhialis, radialis, femoralis, poplitea dan
tibialis posterior dalam batas normal.
Abdomen
Ispeksi
: Datar
Palpasi
Auskultasi
: BU + Normal
PEMERIKSAAN PENUNJANG
Darah
Hb
: 9,4 g/dL
Ht
: 35 %
Leukosit
: 29.320 /uL
LED
: 56 mm/jam
Hitung Jenis
Trombosit
: 530.000/ uL
: 239
GDN
: 198
GD2PP
: 321
Ureum
: 11
Creatinine
: 0.80
SGPT
:6
SGOT
: 10
RINGKASAN
Pasien Tn. M berusia 58 tahun datang dengan keluhan luka pada
kakinya yang tidak kunjung sembuh walaupun sudah dirawat sebulan
lamanya. Luka diawali bengkak kemerahan dan hangat bila diraba.
Pada tungkai yang membengkak, timbul luka koreng dan bernanah
berwarna kuning seminggu kemudian, dan semakin parah hingga
sekarang. Pasien mengaku memiliki riwayat DM yang sudah
didiagnosis selama 5 tahun lamanya. Penurunan berat badan drastis
(+) poliuri (+) polidipsi, polifagi, riwayat keluarga dengan DM,
riwayat makan dominasi makanan tinggi karbohidrat dan gula,
riwayat perokok aktif. Tekanan Darah 150/80 pada pemeriksaan
PEMERIKSAAN ANJURAN
-
RENCANA PENGELOLAAN
-
PENCEGAHAN
- Hindari diet tinggi karbohidrat dan gula
PROGNOSIS
Quo ad Vitam dubia ad bonam
Quo ad Functionam dubia ad malam
Quo ad Sana tianam dubia ad bonam
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA
A.
ULKUS DIABETIKUM
Ulkus adalah luka terbuka pada permukaan kulit atau selaput lendir
disertai kematian jaringan yang luas dan invasif kuman saprofit. Ulkus
diabetikum adalah salah satu komplikasi kronik DM berupa luka terbuka
pada permukaan kulit yang dapat disertai adanya kematian jaringan setempat.
Pada pasien dengan ulkus diabetikum akibat mikroangiopatik disebut
juga gangren panas karena walaupun nekrosis, daerah akral itu tampak merah
dan terasa hangat oleh peradangan, dan biasanya teraba pulsasi arteri di
bagian distal.Biasanya terdapat ulkus diabetik pada telapak kaki.Proses
makroangiopati
menyebabkan
sumbatan
pembuluh
darah
Proses
5) Paralysis (lumpuh).
Menurut berat ringannya lesi, kelainan ulkus diabetikum dibagi menjadi
enam derajat menurut Wagner, yaitu:
1. Derajat 0 : tidak ada lesi terbuka, kulit masih utuh dengan kemungkinan
disertai dengan kelainan bentuk kaki "claw,callus"
2. Derajat I : ulkus superficial terbatas pada kulit
3. Derajat II : ulkus dalam, menembus tendon atau tulang
4. Derajat III : abses dalam dengan atau tanpa osteomilitas
5. Derajat IV : ulkus pada jari kaki atau bagian distal kaki atau tanpa selulitas
6. Derajat V : gangren seluruh kaki atau sebagian tungkai
B. PATOFISIOLOGI ULKUS DIABETIKUM
Gangguan vaskuler pada pasien DM merupakan salah satu penyebab
ulkus diabetikum. Pada gangguan vaskuler terjadi iskemik.Keadaan tersebut
di samping menjadi penyebabterjadinya ulkus juga mempersulit proses
penyembuhan ulkus kaki dan mempermudah timbulnya infeksi.Iskemik
merupakan suatu keadaan yang disebabkan oleh karena kekurangan darah
dalam jaringan sehingga kekurangan oksigen. Gangguan tersebut terjadi
melalui dua proses yaitu:
1.
Makroangiopati
Makroangiopati
yang
terjadi
berupa
penyempitan
dan
dan
lebih
berat
dengan
keterlibatan
pembuuh
darah
Mikroangiopati.
Mikroangiopati berupa penyempitan dan penyumbatan pembuluh
darah perifer, sering terjadi pada tungkai bawah terutama kaki, akibat
perfusi jaringan bagian distal dari tungkai berkurang kemudian timbul
ulkus kaki diabetika.Proses mikroangiopati darah menjadikan sirkulasi
sensoris
yang
terjadi
akibat
rusaknya
serabut
mielin
yang
data
dilakukan
yang
merupakan
diperlukan
dalam
tahap
awal
dari
mengevaluai
dan
monofilamen
10
gauge.
Uji
monofilamen
merupakan
pengobatan utama
pada penatalaksanaan
diabetes
pada
ulkus
diabetikum
dilakukan
secara
laser,
dan
sebagainya,
dalam
rangka
untuk
Perawatan Luka
Perawatan luka modern menekankan metode moist wound
healing atau menjaga agar luka dalam keadaan lembab(5,6).
Lingkungan luka yg seimbang kelembabannya memfasilitasi
pertumbuhan sel dan proliferasi kolagen didalam matrik non
selular yg sehat.Luka akan menjadi cepat sembuh apabila eksudat
dapat dikontrol, menjaga agar luka dalam keadaan lembab, luka
tidak lengket dengan bahan kompres, terhindar dari infeksi dan
permeabel terhadap gas.Tindakan dressing merupakan salah satu
komponen penting dalam mempercepat penyembuhan lesi. Prinsip
dressing adalah bagaimana menciptakan suasana dalam keadaan
lembab sehingga dapat meminimalisasi trauma dan risiko operasi.
Ada beberapa faktor yang harus dipertimbangkan dalam memilih
dressing yang akan digunakan, yaitu tipe ulkus, ada atau tidaknya
eksudat, ada tidaknya infeksi, kondisi kulit sekitar dan biaya. Ada
beberapa jenis dressing yang sering dipakai dalam perawatan luka,
seperti: hydrocolloid, hydrogel, calcium alginate, foam, kompres
anti mikroba.
c)
Pengendalian Infeksi
Pemberian antibitoka didasarkan pada hasil kultur kuman. Pada
infeksi berat pemberian antibitoika diberikan selama 2 minggu atau
lebih.Pada beberapa penelitian menyebutkan bahwa bakteri yang
anaerob)
antibiotika
harus
bersifat
broadspektrum,
setelah
operasi
pengangkatan
keganasan
kulit,
berupa
amputasi.
Amputasi
bertujuan
untuk
dislipidemia,
hipertensi,
obesitas,
trombosit serta adanya peningkatan trogen dan faktor Willbrand.Obatobat yang mempunyai efek reologik bencyclame, pentoxyfilin dapat
memperbaiki eritrosit disamping mengurangi agregasi eritrosit pada
trombosit.
h) Non weight bearing
Tindakan ini diperlukan karena umumnya kaki penderita tidak peka
lagi terhadap rasa nyeri, sehingga apabila dipakai berjalan maka akan
menyebabkan luka bertambah besar dan dalam, cara terbaik untuk
mencapainya dengan mempergunakan gips.
i) Nutrisi
Faktor nutrisi merupakan salah satu faktor yang berperan dalam
penyembuhan luka. Adanya anemia dan hipoalbuminemia akan sangat
berpengaruh terhadap proses penyembuhan. Perlu dilakukan monitor
kadar Hb dan albumin darah minimal satu minggu sekali. Besi, vitamin
B12, asam folat membantu sel darah membawa oksigen ke jaringan.
Besi juga merupakan suatu kofaktor dalam sintesis kolagen sedangkan
vitamin C dan zinc penting untuk perbaikan jaringan. Zinc juga
berperan dalam respon imun.
4). Penyulit Ulkus Diabetikum
Infeksi merupakan ancaman utama amputasi pada penderita ulkus
diabetikum.Infeksi superficial di kulit apabila tidak segera ditangani
dapat menembus jaringan di bawah kulit, seperti tendon, sendi, dan
tulang atau bahkan menjadi infeksi sistemik. Pada ulkus kaki terinfeksi
dan kaki diabetic terinfeksi (tanpa ulkus) harus dilakukan kultur dan
sensitifitas kuman. Hampir 2/3 pasien dengan ulkus kaki diabteik
memberikan komplikasi osteomielitis. Osteomielitis yang tidak
terdeteksi akan mempersulit penyembuhan ulkus. Gulah darah pasien
ulkus juga bisa menjadi hambatan dalam proses penyembuhan luka
maka dari itu perlu juga dikonsultasikan ke bagian ahli gizi, dan
apabila diperlukan di konsultasikan kepada ahli fisioterapi agar proses
penyembuhan bisa lebih maksimal.
B.
b. Klasifikasi
Menurut American Diabetes Association (ADA) 2005, Diabetes melitus
merupakan suatu kelompok penyakit metabolik dengan karakteristik
hiperglikemia yang terjadi karena kelainan sekresi insulin, kerja insulin atau
kedua-duanya. Sedangkan menurut WHO 1980 dikatakan bahwa diabetes
melitus sebagai suatu kumpulan problema anatomik dan kimiawi yang
merupakan akibat dari sejumlah faktor di mana didapat defisiensi insulin
absolut atau relatif dan gangguan fungsi insulin.2
Klasifikasi Diabetes Melitus menurut American Diabetes Association
(ADA), 2005, yaitu3 :
1. Diabetes Melitus Tipe 1
DM ini disebabkan oleh kekurangan insulin dalam darah yang terjadi akibat
kerusakan dari sel beta pankreas. Gejala yang menonjol adalah sering
kencing (terutama malam hari), sering lapar dan sering haus, sebagian besar
penderita DM tipe ini berat badannya normal atau kurus. Biasanya terjadi
pada usia muda dan memerlukan insulin seumur hidup.
2. Diabetes Melitus Tipe 2
DM ini disebabkan insulin yang ada tidak dapat bekerja dengan baik, kadar
insulin dapat normal, rendah atau bahkan meningkat tetapi fungsi insulin
untuk metabolisme glukosa tidak ada atau kurang. Akibatnya glukosa dalam
darah tetap tinggi sehingga terjadi hiperglikemia, dan 75% dari penderita DM
type II ini dengan obesitas atau kegemukan dan biasanya diketahui DM
setelah usia 30 tahun.
3. Diabetes Melitus Tipe lain
a. Defek genetik pada fungsi sel beta
b. Defek genetik pada kerja insulin
c. Penyakit eksokrin pankreas
d. Endokrinopati
e. Diinduksi obat atau zat kimia
f. Infeksi KLASIFIKASI DIABETES MELITUS PERKENI
1998
g. Imunologi
DM TIPE 1:
4.
DM TIPE LAIN :
DM TIPE 2 :
DM Gestasional
Defisiensi
Defisiensi
insulin absolut
relatif :
akibat destuksi
1, defek sekresi
sel beta,
insulin lebih
karena:
dominan daripada
Pankreatektomy
resistensi insulin.
2. resistensi insulin
hipertiroidisme
lebih dominan
daripada defek
sekresi insulin.
1.autoimunA
2. idiopatik
insulin
DM
GESTASIONAL
c. Patofisiologi
DM dibagi menjadi dua katagori utama berdasar pada sekresi insulin
endogenyaitu (1) insulin dependent diabetes mellitus (IDDM) dan (2) non
insulin dependentdiabetes mellitus (NIDDM).
Kerusakan sel pankreas diperantarai oleh proses autoimun terjadi pada
IDDMatau DM tipe 1. Petanda destruksi imun yang dapat diperiksa adalah
autoantibodyislet cell, autoantibody insulin, autoantobody glutamic acid
decarboxylase(GAD65). Satu atau lebih antibodi tersebut terdeteksi pada 8085% penderitahiperglikemia saat awal deteksi. Pada IDDM kadar glukosa
darah sangat tingginamun tidak dapat digunakan secara optimal untuk
pembentukan energi, oleh karenaitu energi diperoleh dari peningkatan
katabolisme lipid dan protein.Patofisiologi pada NIDDM disebabkan karena
dua hal yaitu (1) penurunanrespons jaringan perifer terhadap insulin,
peristiwa
tersebut
dinamakan
resistensiinsulin,
dan
(2)
penurunan
patologi
dikembangkan.Penelitian
diabetes
yang
dan
dikembangkan
komplikasinya
menggunakan
terus
hewan
percobaan diabetik.4
d. Diagnosis
Diagnosis DM ditegakkan atas dasar pemeriksaan kadarglukosa darah.
Diagnosis tidak dapat ditegakkan atas dasaradanya glukosuria. Guna
penentuan diagnosis DM, pemeriksaanglukosa darah yang dianjurkan adalah
pemeriksaanglukosa secara enzimatik dengan bahan darah plasma vena.
II.
Pengelolaa
Penatalaksanaan
Resistensi insulin merupakan dasar dari diabetes tipe 2, dan kegagalansel
mulai
terjadi
sebelum
berkembangnya
diabetes
yaitu
dengan
intoleransi
glukosa.
Dengan
demikian
jelas
bahwa
Target glikemik
Penelitian UKPDS (United Kingdom Prospective Diabetes Study)
danStudi Kumamoto pada pasien DM tipe 2 menunjukkan target glikemik
terapi DMtipe 2 yang menghasilkan perbaikan prognosis jangka panjang.
Hasil penelitianklinik dan epidemiologik menunjukkan bahwa dengan
menurunkan kadarglukosa maka kejadian komplikasi mikrovaskuler dan
neuropati akan menurun.Target kadar glukosa darah yang terbaik berdasarkan
pemeriksaan harian danA1C sebagai index glikemia khronik belum diteliti
secara sistematik. Tetapi hasilpenelitian DCCT (pada pasien diabetes tipe 1)
dan UKPDS (pada pasiendiabetes tipe 2) mengarahkan gol pencapaian kadar
Target
glikemik
yang
DiabetesAssociation)
paling
yang
baru
adalah
dari
ADA
(American
dan projeksi
Jangka
panjang:
mencegah
dan
menghambat
progresivitaspenyulit
brachialindex
(ABI),untuk
mencari
kemungkinan
penyakit
g. Evaluasi berkala
Pilar penatalaksanaan DM
1. Edukasi
2. Terapi gizi medis
3. Latihan jasmani
4. Intervensi farmakologis
h. Edukasi
Diabetes tipe 2 umumnya terjadi pada saat pola gaya hidup dan perilaku
telah terbentuk dengan mapan. Pemberdayaan penyandang diabetes
memerlukan partisipasi aktif pasien, keluarga dan masyarakat. Tim kesehatan
mendampingi pasien dalam menuju perubahan perilaku sehat. Untuk
mencapai
keberhasilan perubahan perilaku, dibutuhkan edukasi yang komprehensif
dan upaya peningkatan motivasi. Pengetahuan tentang pemantauan glukosa
darah mandiri, tanda dan gejala hipoglikemia serta cara mengatasinya harus
diberikan kepada pasien. Pemantauan kadar glukosa darah dapat dilakukan
secara mandiri, setelah mendapat pelatihan khusus.\
Lemak
Asupan lemak dianjurkan sekitar 20-25% kebutuhan kalori. Tidak
diperkenankan melebihi 30% total asupan energi.
Lemak jenuh < 7 % kebutuhan kalori
Lemak tidak jenuh ganda < 10 %, selebihnya dari lemak tidak jenuh
tunggal.
Bahan makanan yang perlu dibatasi adalah yang banyak mengandung
lemak jenuh dan lemak trans antara lain: daging berlemak dan susu penuh
(whole milk).
Anjuran konsumsi kolesterol <200 mg/hari.
Protein
Dibutuhkan sebesar 10 20% total asupan energi.
Sumber protein yang baik adalah seafood (ikan, udang,cumi,dll), daging
tanpa lemak, ayam tanpa kulit, produk susu rendah lemak, kacangkacangan, tahu, dan tempe.
Pada pasien dengan nefropati perlu penurunan asupan protein menjadi 0,8
g/KgBB perhari atau 10% dari kebutuhan energi dan 65% hendaknya
bernilai biologik tinggi.
Natrium
Anjuran asupan natrium untuk penyandang diabetes sama dengan anjuran
untuk masyarakat umum yaitu tidak lebih dari 3000 mg atau sama dengan
6-7 gram (1 sendok teh) garam dapur.
Mereka yang hipertensi, pembatasan natrium sampai 2400 mg.
Sumber natrium antara lain adalah garam dapur, vetsin, soda, dan bahan
pengawet seperti natrium benzoat dan natrium nitrit.
Serat
Seperti halnya masyarakat umum penyandang diabetes dianjurkan
mengonsumsi cukup serat dari kacang-kacangan, buah, dan sayuran serta
sumber karbohidrat yang tinggi serat, karena mengandung vitamin,
mineral, serat, dan bahan lain yang baik untuk kesehatan.
Anjuran konsumsi serat adalah 25 g/hari.
Pemanis alternatif
Pemanis dikelompokkan menjadi pemanis berkalori dan pemanis tak
berkalori. Termasuk pemanis berkalori adalah gula alkohol dan fruktosa.
Gula alkohol antara lain isomalt, lactitol, maltitol, mannitol, sorbitol dan
xylitol.
Dalam penggunaannya,
pemanis
2. Kebutuhan kalori
Ada beberapa cara untuk menentukan jumlah kalori yang dibutuhkan penyandang
diabetes. Di antaranya adalah dengan memperhitungkan kebutuhan kalori basal
yang besarnya 25-30 kalori/kgBB ideal, ditambah atau dikurangi bergantung pada
beberapa faktor seperti: jenis kelamin, umur, aktivitas, berat badan, dll.
Perhitungan berat badan Ideal (BBI) dengan rumus Brocca yang dimodifikasi
adalah sbb:
Berat badan ideal = 90% x (TB dalam cm - 100) x 1 kg.
Bagi pria dengan tinggi badan di bawah 160 cm dan wanita di bawah 150 cm,
rumus dimodifikasi menjadi :
Berat badan ideal (BBI) = (TB dalam cm - 100) x 1 kg.
BB Normal : BB ideal 10 %
Kurus : < BBI - 10 %
Gemuk : > BBI + 10 %
Perhitungan berat badan ideal menurut Indeks Massa Tubuh (IMT).Indeks massa
tubuh dapat dihitung dengan rumus:
IMT = BB(kg)/ TB(m2)
Klasifikasi IMT*
BB Kurang < 18,5
BB Normal 18,5-22,9
BB Lebih 23,0
*WHO WPR/IASO/IOTF dalam The Asia-Pacific Perspective:RedefiningObesity
and its Treatment.
Dengan risiko 23,0-24,9
Obes I 25,0-29,9
Obes II > 30
Faktor-faktor yang menentukan kebutuhan kalori antara lain :
Jenis Kelamin
Kebutuhan kalori pada wanita lebih kecil daripada pria. Kebutuhan kalori
wanita sebesar 25 kal/kg BB dan untuk pria sebesar 30 kal/ kg BB.
Umur
Untuk pasien usia di atas 40 tahun, kebutuhan kalori dikurangi 5% untuk
dekade antara 40 dan 59 tahun, dikurangi 10% untuk dekade antara 60 dan 69
tahun dan dikurangi 20%, di atas usia 70 tahun.
Aktivitas Fisik atau Pekerjaan
Kebutuhan kalori dapat ditambah sesuai dengan intensitas aktivitas fisik.
Penambahan sejumlah 10% dari kebutuhan basal diberikan pada kedaaan
istirahat, 20% pada pasien dengan aktivitas ringan, 30% dengan aktivitas sedang,
dan 50% dengan aktivitas sangat berat.
Berat Badan
Bila kegemukan dikurangi sekitar 20-30% tergantung kepada tingkat
kegemukan
Latihan jasmani
Kegiatan jasmani sehari-hari dan latihan jasmani secara teratur (3-4 kali seminggu
selama kurang lebih 30 menit), merupakan salah satu pilar dalam pengelolaan DM
tipe 2. Kegiatan sehari-hari seperti berjalan kaki ke pasar, menggunakan tangga,
berkebun harus tetap dilakukan (lihat tabel 4). Latihan jasmani selain untuk
menjaga kebugaran juga dapat menurunkan berat badan dan memperbaiki
sensitivitas insulin, sehingga akan memperbaiki kendali glukosa darah. Latihan
jasmani yang dianjurkan berupa latihan jasmani yang bersifat aerobik seperti jalan
kaki, bersepeda santai, jogging, dan berenang. Latihan jasmani sebaiknya
disesuaikan dengan umur dan status kesegaran jasmani. Untuk mereka yang relatif
sehat, intensitas latihan jasmani bisa ditingkatkan, sementara yang sudah
mendapat komplikasi DM dapat dikurangi. Hindarkan kebiasaan hidup yang
kurang gerak atau bermalas-malasan.
j. Terapi farmakologis
Terapi farmakologis diberikan bersama dengan pengaturan makan dan
latihan jasmani (gaya hidup sehat). Terapi farmakologis terdiri dari obat oral
dan bentuk suntikan.
ini
mempunyai
efek
menurunkan
resistensi
insulin
dengan
ini
mempunyai
efek
utama
mengurangi
produksi
glukosa
hati
dipakai
pada
penyandang
diabetes
gemuk.
Metformin
Obat ini bekerja dengan mengurangi absorpsi glukosa di usus halus, sehingga
mempunyai efek menurunkan kadar glukosa darah sesudah makan. Acarbosetidak
menimbulkan efek samping hipoglikemia. Efek samping yang paling sering
ditemukan ialah kembung dan flatulens.
DPP-IV inhibitor
Glucagon-like peptide-1 (GLP-1) merupakan suatu hormon peptida yang
dihasilkan oleh sel L di mukosa usus. Peptida ini disekresi oleh sel mukosa usus
bila ada makanan yang masuk ke dalam saluran pencernaan. GLP-1 merupakan
perangsang kuat penglepasan insulin dan sekaligus sebagai penghambat sekresi
glukagon. Namun demikian, secara cepat GLP-1 diubah oleh enzim dipeptidyl
peptidase-4 (DPP-4), menjadi metabolit GLP-1-(9,36)-amide yang tidak aktif.
Sekresi GLP-1 menurun pada DM tipe 2, sehingga upaya yang ditujukan untuk
meningkatkan GLP-1 bentuk aktif merupakan hal rasional dalam pengobatan DM
tipe 2. Peningkatan konsentrasi GLP-1 dapat dicapai dengan pemberian obat yang
menghambat kinerja enzim DPP-4 (penghambat DPP-4), atau memberikan
hormon asli atau analognya (analog incretin=GLP-1 agonis).
Berbagai obat yang masuk golongan DPP-4 inhibitor, mampu menghambat kerja
DPP-4 sehingga GLP-1 tetap dalam konsentrasi yang tinggi dalam bentuk aktif
dan mampu merangsang penglepasan insulin serta menghambat penglepasan
glukagon.
Cara Pemberian OHO, terdiri dari:
OHO dimulai dengan dosis kecil dan ditingkatkan secara bertahap sesuai
respons kadar glukosa darah, dapat diberikan sampai dosis optimal
Sulfonilurea: 15 30 menit sebelum makan
2. Suntikan
1. Insulin
2. Agonis GLP-1/incretin mimetic
1. Insulin
Insulin diperlukan pada keadaan:
Penurunan berat badan yang cepat
Hiperglikemia berat yang disertai ketosis
Ketoasidosis diabetik
Hiperglikemia hiperosmolar non ketotik
Hiperglikemia dengan asidosis laktat
Gagal dengan kombinasi OHO dosis optimal
Stres berat (infeksi sistemik, operasi besar, IMA, stroke)
Kehamilan dengan DM/diabetes melitus gestasionalyang tidak terkendali
dengan perencanaan makan
Gangguan fungsi ginjal atau hati yang berat
Kontraindikasi dan atau alergi terhadap OHO Jenis dan lama kerja insulin
insulin. Insulin yang dipergunakan untuk mencapai sasaran glukosa darah basal
adalah insulin basal (insulin kerja sedang atau panjang).
Penyesuaian dosis insulin basal untuk pasien rawat jalan dapat dilakukan
dengan menambah 2-4 unit setiap 3-4 hari bila sasaran terapi belum tercapai.
Apabila sasaran glukosa darah basal (puasa) telah tercapai, sedangkan A1C
belum mencapai target, maka dilakukan pengendalian glukosa darah prandial
(meal-related). Insulin yang dipergunakan untuk mencapai sasaran glukosa darah
prandial adalah insulin kerja cepat (rapid acting) atau insulin kerja pendek (short
acting). Kombinasi insulin basal dengan insulin prandial dapat diberikan subkutan
dalam bentuk 1 kali insulin basal + 1 kali insulin prandial (basal plus), atau 1 kali
basal + 2 kali prandial (basal 2 plus), atau 1 kali basal + 3 kali prandial (basal
bolus).
Insulin basal juga dapat dikombinasikan dengan OHO untuk menurunkan
glukosa darah prandial seperti golongan obat peningkat sekresi insulin kerja
pendek (golongan glinid), atau penghambat penyerapan karbohidrat dari lumen
usus (acarbose).
Terapi insulin tunggal atau kombinasi disesuaikan dengan kebutuhan pasien
dan respons individu, yang dinilai dari hasil pemeriksaan kadar glukosa darah
harian.
Cara Penyuntikan Insulin
Insulin umumnya diberikan dengan suntikan di bawah kulit (subkutan), dengan
arah alat suntik tegak lurus terhadap cubitan permukaan kulit.
Pada keadaan khusus diberikan intramuskular atau intravena secara bolus atau
drip.
Terdapat sediaan insulin campuran (mixed insulin) antara insulin kerja pendek
dan kerja menengah, dengan perbandingan dosis yang tertentu. Apabila tidak
terdapat sediaan insulin campuran tersebut atau diperlukan perbandingan dosis
yang lain, dapat dilakukan pencampuran sendiri antara kedua jenis insulin
tersebut. Teknik pencampuran dapat dilihat dalam buku panduan tentang insulin.
Lokasi penyuntikan, cara penyuntikan maupun cara insulin harus dilakukan
dengan benar, demikian pula mengenai rotasi tempat suntik.
Apabila diperlukan, sejauh sterilitas penyimpanan terjamin, semprit insulin dan
jarumnya dapat dipakai lebih dari satu kali oleh penyandang diabetes yang sama.
Harus diperhatikan kesesuaian konsentrasi insulin dalam kemasan (jumlah
unit/mL) dengan semprit yang dipakai (jumlah unit/mL dari semprit). Dianjurkan
memakai konsentrasi yang tetap. Saat ini yang tersedia hanya U100 (artinya 100
unit/mL).
2. Agonis GLP-1
Pengobatan dengan dasar peningkatan GLP-1 merupakan pendekatan baru untuk
pengobatan DM. Agonis GLP-1 dapat bekerja sebagai perangsang penglepasan
insulin yang tidak menimbulkan hipoglikemia ataupun peningkatan berat badan
yang biasanya terjadi pada pengobatan dengan insulin ataupun sulfonilurea.
Agonis GLP-1 bahkan mungkin menurunkan berat badan. Efek agonis GLP-1
yang lain adalah menghambat penglepasan glukagon yang diketahui berperan
pada proses glukoneogenesis. Pada percobaan binatang, obat ini terbukti
memperbaiki cadangan sel beta pankreas. Efek samping yang timbul pada
pemberian obat ini antara lain rasa sebah dan muntah.
3. Terapi Kombinasi
Pemberian OHO maupun insulin selalu dimulai dengan dosis rendah, untuk
kemudian dinaikkan secara bertahap sesuai dengan respons kadar glukosa darah.
Bersamaan dengan pengaturan diet dan kegiatan jasmani, bila diperlukan dapat
dilakukan pemberian OHO tunggal atau kombinasi OHO sejak dini. Terapi
dengan OHO kombinasi (secara terpisah ataupun fixed-combination dalam bentuk
tablet tunggal), harus dipilih dua macam obat dari kelompok yang mempunyai
mekanisme kerja berbeda. Bila sasaran kadar glukosa darah belum tercapai, dapat
pula diberikan kombinasi tiga OHO dari kelompok yang berbeda atau kombinasi
OHO dengan insulin. Pada pasien yang disertai dengan alasan klinis di mana
insulin tidak memungkinkan untuk dipakai, terapi dengan kombinasi tiga OHO
dapat menjadi pilihan. (lihat bagan 2 tentang algoritma pengelolaan DM tipe 2).
Untuk kombinasi OHO dan insulin, yang banyak dipergunakan adalah kombinasi
OHO dan insulin basal (insulin kerja menengah atau insulin kerja panjang) yang
diberikan pada malam hari menjelang tidur. Dengan pendekatan terapi tersebut
pada umumnya dapat diperoleh kendali glukosa darah yang baik dengan dosis
insulin yang cukup kecil. Dosis awal insulin kerja menengah adalah 6-10 unit
yang diberikan sekitar jam 22.00, kemudian dilakukan evaluasi dosis tersebut
dengan menilai kadar glukosa darah puasa keesokan harinya. Bila dengan cara
seperti di atas kadar glukosa darah sepanjang hari masih tidak terkendali, maka
OHO dihentikan dan diberikan terapi kombinasi insulin.
darah. Batas ekskresi glukosa renal rata-rata sekitar 180 mg/dL, dapat bervariasi
pada beberapa pasien, bahkan pada pasien yang sama dalam jangka waktu lama.
Hasil pemeriksaan sangat bergantung pada fungsi ginjal dan tidak dapat
dipergunakan untuk menilai keberhasilan terapi.
Kelainan Komorbid
Dalam perjalanan penyakit DM, dapat terjadi penyulit akut dan menahun
II.4.1. Dislipidemia pada Diabetes
Dislipidemia pada penyandang diabetes lebih meningkatkan risiko timbulnya
penyakit kardiovaskular.
Perlu pemeriksaan profil lipid pada saat diagnosis diabetes ditegakkan. Pada
pasien dewasa pemeriksaan profil lipid sedikitnya dilakukan setahun sekali dan
bila dianggap perlu dapat dilakukan lebih sering. Sedangkan pada pasien yang
pemeriksaan profil lipid menunjukkan hasil yang baik (LDL<100mg/dL; HDL>50
mg/dL (laki-laki >40 mg/ dL, wanita >50 mg/dL); trigliserid <150 mg/dL),
pemeriksaan profil lipid dapat dilakukan 2 tahun sekali
Gambaran dislipidemia yang sering didapatkan pada penyandang diabetes
adalah peningkatan kadar trigliserida, dan penurunan kadar kolesterol HDL,
sedangkan kadar kolesterol LDL normal atau sedikit meningkat.
Perubahan perilaku yang tertuju pada pengurangan asupan kolesterol dan
penggunaan lemak jenuh serta peningkatan aktivitas fisik terbukti dapat
memperbaiki profil lemak dalam darah
Dipertimbangkan untuk memberikan terapi farmakologis sedini mungkin bagi
penyandang diabetes yang disertai dislipidemia
Target terapi:
Pada penyandang DM, target utamanya adalah penurunan LDL
Pada penyandang diabetes tanpa disertai penyakit kardiovaskular: LDL <100
mg/dL (2,6 mmol/L)
Pasien dengan usia >40 tahun, dianjurkan diberi terapi statin untuk
menurunkan LDL sebesar 30-40% dari kadar awal
Pasien dengan usia <40 tahun dengan risiko penyakit kardiovaskular yang
gagal dengan perubahan gaya hidup, dapat diberikan terapi farmakologis.
gejala asidosis dan plasma keton(+) kuat. Osmolaritas plasma meningkat (300-320
mOs/ mL) dan terjadi peningkatan anion gap
3. Hipoglikemia
Hipoglikemia dan cara mengatasinya
Hipoglikemia ditandai dengan menurunnya kadar glukosa darah < 60 mg/dL
Bila terdapat penurunan kesadaran pada penyandang diabetes harus selalu
dipikirkan kemungkinan terjadinya hipoglikemia. Hipoglikemia paling sering
disebabkan oleh penggunaan sulfonilurea dan insulin. Hipoglikemia akibat
sulfonilurea dapat berlangsung lama, sehingga harus diawasi sampai seluruh obat
diekskresi dan waktu kerja obat telah habis. Terkadang diperlukan waktu yang
cukup lama untuk pengawasannya (24-72 jam atau lebih, terutama pada pasien
dengan gagal ginjal kronik atau yang mendapatkanterapi dengan OHO kerja
panjang). Hipoglikemia pada usia lanjut merupakan suatu hal yang harus
dihindari, mengingat dampaknya yang fatal atau terjadinya kemunduran mental
bermakna pada pasien. Perbaikan kesadaran pada DM usia lanjut sering lebih
lambat dan memerlukan pengawasan yang lebih lama.
Gejala hipoglikemia terdiri dari gejala adrenergik (berdebardebar, banyak
keringat, gemetar, dan rasa lapar) dan gejala neuro-glikopenik (pusing, gelisah,
kesadaran menurun sampai koma).
Hipoglikemia harus segera mendapatkan pengelolaan yang memadai. Bagi
pasien dengan kesadaran yang masih baik, diberikan makanan yang mengandung
karbohidrat atau minuman yang mengandung gula berkalori atau glukosa 15-20
gram melalui intra vena. Perlu dilakukan pemeriksaan ulang glukosa darah 15
menit setelah pemberian glukosa. Glukagon diberikan pada pasien dengan
hipoglikemia berat.
Untuk penyandang diabetes yang tidak sadar, sementara dapat diberikan
glukosa 40% intravena terlebih dahulu sebagai tindakan darurat, sebelum dapat
dipastikan penyebab menurunnya kesadaran.
Penyulit menahun
1. Makroangiopati
Pembuluh darah jantung
Pembuluh darah tepi: penyakit arteri perifer sering terjadi pada penyandang
diabetes. Biasanya terjadi dengan gejala tipikal claudicatio intermittent, meskipun
sering tanpa gejala. Terkadang ulkus iskemik kaki merupakan kelainan yang
pertama muncul.
Pembuluh darah otak
2. Mikroangiopati:
Retinopati diabetik
Kendali glukosa dan tekanan darah yang baik akan mengurangi risiko dan
memberatnya retinopati. Terapi aspirin tidak mencegah timbulnya retinopati
Nefropati diabetik
Kendali glukosa dan tekanan darah yang baik akan mengurangi risiko nefropati
Pembatasan asupan protein dalam diet (0,8 g/kgBB) juga akan mengurangi
risiko terjadinya nefropati
3. Neuropati
Komplikasi yang tersering dan paling penting adalah neuropati perifer, berupa
hilangnya sensasi distal. Berisiko
tinggi untuk terjadinya ulkus kaki dan amputasi.
Gejala yang sering dirasakan kaki terasa terbakar dan bergetar sendiri, dan
lebih terasa sakit di malam hari.
Setelah diagnosis DM ditegakkan, pada setiap pasien perlu dilakukan skrining
untuk mendeteksi adanya polineuropati distal dengan pemeriksaan neurologi
sederhana, dengan monofilamen 10 gram sedikitnya setiap tahun.
Apabila ditemukan adanya polineuropati distal, perawatan kaki yang memadai
akan menurunkan risiko amputasi.
Untuk mengurangi rasa sakit dapat diberikan duloxetine, antidepresan trisiklik,
atau gabapentin.
Semua penyandang diabetes yang disertai neuropati perifer harus diberikan
edukasi
perawatan
kaki
untuk
mengurangi
risiko
ulkus
kaki.
Untuk
penatalaksanaan
penyulit
ini
seringkali
diperlukan
kerja
sama
dengan
Pencegahan Primer
III.1.1. Sasaran pencegahan primer:
Pencegahan primer adalah upaya yang ditujukan pada kelompok yang memiliki
faktor risiko, yakni mereka yang belum terkena, tetapi berpotensi untuk mendapat
DM dan kelompok intoleransi glukosa.
III.1.1.1. Faktor risiko diabetes
Faktor risiko diabetes sama dengan faktor risiko untuk intoleransi glukosa yaitu :
Faktor risiko yang tidak bisa dimodifikasi :
Ras dan etnik
Riwayat keluarga dengan diabetes (anak penyandang diabetes)
Umur.Risiko untuk menderita intoleransi glukosa meningkat seiring dengan
meningkatnya usia. Usia > 45 tahun harus dilakukan pemeriksaan DM.
Riwayat melahirkan bayi dengan BB lahir bayi>4000 gram atau riwayat
pernah menderita DM gestasional (DMG).
Riwayat lahir dengan berat badan rendah, kurang dari 2,5 kg. Bayi yang lahir
dengan BB rendah mempunyai risiko yang lebih tinggi dibanding dengan bayi
lahir dengan BB normal.
Faktor risiko yang bisa dimodifikasi :
Berat badan lebih (IMT > 23 kg/m2).
Kurangnya aktivitas fisik.
Hipertensi (> 140/90 mmHg).
Dislipidemia (HDL < 35 mg/dL dan atau trigliserida > 250 mg/dL)
Diet tak sehat (unhealthy diet). Diet dengan tinggi gula dan rendah serat akan
meningkatkan risiko menderita prediabetes/ intoleransi glukosa dan DM tipe 2.
Faktor lain yang terkait dengan risiko diabetes :
Penderita Polycystic Ovary Syndrome (PCOS) atau keadaan klinis lain yang
terkait dengan resistensi insulin
Penderita sindrom metabolik memiliki riwayat toleransi glukosa terganggu
(TGT) atau glukosa darah puasa terganggu (GDPT) sebelumnya. Memiliki
riwayat penyakit kardiovaskular, seperti stroke, PJK, atau PAD (Peripheral
Arterial Diseases).
III.1.1.2. Intoleransi Glukosa
Intoleransi glukosa merupakan suatu keadaan yang mendahului timbulnya
diabetes. Angka kejadian intoleransi glukosa dilaporkan terus mengalami
peningkatan.
Istilah ini diperkenalkan pertama kali pada tahun 2002 oleh Department of
Health and Human Services (DHHS) dan The American Diabetes Association
(ADA). Sebelumnya istilah untuk menggambarkan keadaan intoleransi glukosa
adalah TGT dan GDPT. Setiap tahun 4-9% orang dengan intoleransi glukosa akan
menjadi diabetes.
Intoleransi glukosa mempunyai risiko timbulnya gangguan kardiovaskular
sebesar satu setengah kali lebih tinggi dibandingkan orang normal.
Diagnosis intoleransi glukosa ditegakkan dengan pemeriksaan TTGO setelah
puasa 8 jam. Diagnosis intoleransi glukosa ditegakkan apabila hasil tes glukosa
darah menunjukkan salah satu dari tersebut di bawah ini :
penyebab
sekunder
dapat
diidentifikasi,
maka
dengan
Obat
1. Kortikosteroid, ACTH
2. hiperaldosteronisme primer
3. penyakit renovaskular
4. sindroma Cushing
5. pheochromocytoma
6. koarktasi aorta
(terutama
venlafaxine)
Tabel 1. Penyebab hipertensi yang dapat diidentifikasi.5
C. Klasifikasi Hipertensi
TDS (mmHg)
< 120
120 139
TDD (mmHg)
Dan
Atau
< 80
80 89
Hipertensi stadium 1
140 159
Atau
90 99
Hipertensi stadium 2
160
Atau
100
TDS = Tekanan Darah Sistolik, TDD = Tekanan Darah Diastolik
Tabel 3. Klasifikasi Tekanan Darah World Health Organization (WHO)
dan International Society Of Hypertension Working Group (ISHWG)
Kategori
Optimal
Normal
Normal tinggi /
pra hipertensi
Hipertensi derajat I
Hipertensi derajat II
Hipertensi derajat III
Sistolik (mmHg)
< 120
< 130
130 139
Dan
Dan
Atau
Diastolik (mmHg)
< 80
< 85
85 89
140 159
160 179
180
Atau
Atau
Atau
90 99
100 109
110
terjadinya
hipertensi
Tengah didapatkan angka prevalensi 6,0% untuk pria dan 11,6% untuk
wanita. Prevalensi di Sumatera Barat 18,6% pria dan 17,4% perempuan,
sedangkan daerah perkotaan di Jakarta (Petukangan) didapatkan 14,6%
pria dan 13,7% wanita.
c. Riwayat Keluarga
Menurut Nurkhalida, orang-orang dengan sejarah keluarga yang
mempunyai hipertensi lebih sering menderita hipertensi. Riwayat
keluarga dekat yang menderita hipertensi (faktor keturunan) juga
mempertinggi risiko terkena hipertensi terutama pada hipertensi primer.
Keluarga yang memiliki hipertensi dan penyakit jantung meningkatkan
risiko hipertensi 2-5 kali lipat. Jika kedua orang tua kita mempunyai
hipertensi, kemungkunan kita mendapatkan penyakit tersebut 60%.
d. Genetik
Peran faktor genetik terhadap timbulnya hipertensi terbukti
dengan ditemukannya kejadian bahwa hipertensi lebih banyak pada
kembar monozigot (satu sel telur) daripada heterozigot (berbeda sel
telur). Seorang penderita yang mempunyai sifat genetik hipertensi primer
(esensial) apabila dibiarkan secara alamiah tanpa intervensi terapi,
bersama lingkungannya akan menyebabkan hipertensinya berkembang
dan dalam waktu sekitar 30-50 tahun akan timbul tanda dan gejala.12
2. Faktor yang dapat diubah/dikontrol
a. Kebiasaan Merokok
Rokok juga dihubungkan dengan hipertensi. Hubungan antara
rokok
dengan
peningkatan
risiko
kardiovaskuler
telah
banyak
aktifitas
fisik
meningkatkan
risiko
menderita
risiko
hipertensi
tetapi
secara
Exces
sodium
intake
Reduce
nephrone
number
Renal
sodium
retentio
Fluid
volume
Decreased
Filtration
surface
stress
Sympathetic
nervous
overactivity
Genetic
alteration
Renin angiotensin
excess
Endotelium
derived
factors
obesity
Cell
membrane
alteration
Hyper
insulinemia
Venous
constiction
Preload
Contractability
Structural
hypertrophy
Functional
constriction
X
And/or
PERIPHERAL RESISTANCE
Increased PR
Autoregulation
G. Diagnosis Hipertensi
Menurut Slamet Suyono, evaluasi pasien hipertensi mempunyai tiga
tujuan:
1. Mengidentifikasi penyebab hipertensi.
2. Menilai adanya kerusakan organ target dan penyakit kardiovaskuler,
beratnya penyakit, serta respon terhadap pengobatan.
I. Penatalaksanaan Hipertensi
1. Penatalaksanaan Non Farmakologis
Pendekatan nonfarmakologis merupakan penanganan awal sebelum
penambahan obat-obatan hipertensi, disamping perlu diperhatikan oleh
seorang yang sedang dalam terapi obat. Sedangkan pasien hipertensi yang
terkontrol, pendekatan nonfarmakologis ini dapat membantu pengurangan
dosis obat pada sebagian penderita. Oleh karena itu, modifikasi gaya hidup
merupakan hal yang penting diperhatikan, karena berperan dalam
keberhasilan penanganan hipertensi.
Pendekatan nonfarmakologis dibedakan menjadi beberapa hal:
1. Menurunkan faktor risiko yang menyebabkan aterosklerosis.
Menurut Corwin berhenti merokok penting untuk mengurangi
efek jangka panjang hipertensi karena asap rokok diketahui menurunkan
aliran darah ke berbagai organ dan dapat meningkatkan beban kerja
jantung. Selain itu pengurangan makanan berlemak dapat menurunkan
risiko aterosklerosis.8
Penderita hipertensi dianjurkan untuk berhenti merokok dan
mengurangi asupan alkohol. Berdasarkan hasil penelitian eksperimental,
sampai pengurangan sekitar 10 kg berat badan berhubungan langsung
dengan penurunan tekanan darah rata-rata 2-3 mmHg per kg berat badan.
2. Olahraga dan aktifitas fisik
Selain untuk menjaga berat badan tetap normal, olahraga dan
aktifitas fisik teratur bermanfaat untuk mengatur tekanan darah, dan
menjaga kebugaran tubuh. Olahraga seperti jogging, berenang baik
dilakukan untuk penderita hipertensi. Dianjurkan untuk olahraga teratur,
minimal 3 kali seminggu, dengan demikian dapat menurunkan tekanan
darah walaupun berat badan belum tentu turun.11
Olahraga yang teratur dibuktikan dapat menurunkan tekanan
perifer sehingga dapat menurunkan tekanan darah. Olahraga dapat
menimbulkan perasaan santai dan mengurangi berat badan sehingga
dapat menurunkan tekanan darah. Yang perlu diingat adalah bahwa
olahraga saja tidak dapat digunakan sebagai pengobatan hipertensi.13
Menurut Dede Kusmana, beberapa patokan berikut ini perlu
dipenuhi sebelum memutuskan berolahraga, antara lain:
risiko
terjadinya
c.
d.
e.
f.
g.
h.
stres.
i. Sediakan waktu untuk keluar dari kegiatan rutin.
j. Binalah hubungan sosial yang baik.
k. Ubalah pola pikir. Perhatikan pola pikir agar dapat menekan perasaan
kritis atau negatif terhadap diri sendiri.
l. Sediakan waktu untuk hal-hal yang memerlukan perhatian khusus.
m. Carilah humor.
n. Berserah diri pada Yang Maha Kuasa.
2. Penatalaksanaan Farmakologis
Jenis-jenis obat antihipertensi untuk terapi farmakologis hipertensi
yang dianjurkan oleh JNC 7:
a. Diuretic, terutama jenis Thiazide (Thiaz) Aldosteron Antagonist (Ald
b.
c.
d.
e.
Ant)
Beta Blocker (BB)
Calcium channel blocker atau Calcium antagonist (CCB)
Angiotensin Converting Enzyme Inhibitor (ACEI)
Angiotensin II Receptor Blocker atau AT1 Receptor angiotensint/ blocker
(ARB).
Tabel 4.
Kelas obat
Indikasi
Kontraindikasi
Mutlak
Tidak mutlak
jantung gout
kehamilan
Diuretika Gagal
(Thiazide)
kongestif,
lanjut,
usia
isolated
systolic
hypertension,
Diuretika (loop)
ras afrika
Insufisiensi
ginjal,
gagal
jantung
Diuretika
(anti
kongestif
Gagal
ginjal,
aldosteron)
Gagal
jantung hiperkalemia
penyekat
kongestif, pasca
infark
Asma,
Penyakit
miokardium
penyakit paru pembuluh darah
Angina pectoris,
obstruktif
perifer,
pasca
infark
menahun, A-V intoleransi
myocardium
block
glukosa, atlit atau
gagal
jantung
pasien yang aktif
kongestif,
secara fisik
kehamilan,
Calcium
takiaritmia
Usia
lanjut,
Takiaritmia, gagal
Antagonist
isolated systolic
jantung kongestif
(dihydropiridine
hypertension,
angina pectoris,
penyakit
pembuluh darah
perifer,
aterosklerosis
Calcium
Antagonist
(verapamil,
diltiazem)
karotis,
kehamilan
Angina pectoris,
A-V
block,
gagal
jantung
kongestif
aterosklerosis
karotis,
takikardia
Penghmbat ACE
supraventrikuler
Gagal jantung Kehamilan,
kongestif,
hiperkalimea,
disfungsi
stenosis arteri
ventrikel
pasca
infark
myocardium,
non-diabetik
nefropati,
Angiotensi
reseptor
II nefropati
DM
tipe
1,
Kehamilan,
hiperkalemia,
antagonist (AT1- proteinuria
Nefropati DM stenosis arteri
blocker)
tipe
2, renalis bilateral
mikroalbumiuria
diabetic,
proteinuria,
hipertrofi
ventrikel
batuk
-Blocker
kiri,
karena
ACEI
Hyperplasia
prostat
Hipotensi
Gagal
(BPH), ortostatis
jantung
kongestif
hiperlipidemia
Indikasi dan Kontraindikasi Kelas-kelas utama Obat Antihipertensi.2
Adapun Tatalaksana hipertensi menurut menurut JNC7 dapat dilihat
pada tebel 5 dibawah ini :
Tabel 5. Tatalaksana hipertensi menurut menurut JNC7
Klasifikasi
Tekanan
Darah
Normal
TDS
(mmHg)
TDD
(mmHg)
Perbaikan
Pola Hidup
< 120
Dan <80
Dianjurkan
Prehipertensi
120-139
atau
80-89
ya
Atau
90-99
ya
Hipertensi
140-159
derajat 1
Tanpa indikasi
yang memaksa
Dengan
indikasi yang
memaksa
Tidak indikasi
Obat-obatan
obat
untuk indikasi
jenis
yang memaksa
Obat-obatan
Thiazide untuk
untuk indikasi
sebagian besar
yang memaksa
Obat
Diuretic
kasus,
dapat
dipertimbangka
n ACEI, ARB,
BB, CCB, atau
kombinasi
antihipertensi
lain (diuretika,
ACEI,
ARB,
BB,
CCB)
sesuai
kebutuhan
Hipertensi
derajat 2
160
Atau
100
ya
Kombinasi
obat
untuk
sebagian besar
kasus
umumnya
diuretika jenis
Thiazide
dan
ACEI
atau
ARB atau BB
atau CCB
obat
antihipertensi
memliki
efektivitas
dan
considerations),
yaitu
kelompok
indikasi
yang
memaksa
Gagal jantung
Pasca infark miokardium
Resiko penyakit pembuluh darah koroner tinggi
Diabetes
Penyakit ginjal kronis
Pencegahan strok berulang.2
Keadaan khusus lainnya meliputi :
a.
b.
c.
d.
e.
f.
g.
h.
i.
Populasi minoritas
Obesitas dan sindrom metabolic
Hipertrofi ventrikel kanan
Penyakit arteri perifer
Hipertensi pada usia lanjut
Hipotensi postural
Demensia
Hipertensi pada perempuan
Hipertensi pada anak dan dewasa muda
j. Hipertensi urgensi dan emergensi.2
Untuk sebagian besar pasien hipertensi, terapi dimulai secara
bertahap, dan target tekanan darah dicapai secara progresif dalam beberapa
minggu. Dianjurkan untuk menggunakan obat antihipertensi dengan masa
kerja panjang atau yang memberikan efikasi 24 jam dengan pemberian
sekali sehari. Pilihan apakah memulai terapi dengan satu jenis obat
antihipertensi atau dengan kombinasi tergantung pada tekanan darah awal
dan ada tidaknya komplikasi. Jika terapi dimulai dengan satu jenis obat dan
dalam dosis rendah, dan kemudian darah belum mencapai target, maka
langkah selanjutnya adalah meningkatnya dosis obat tertentu, atau
berpindah ke antihipertensi lain dengan rendah. Efek samping umumnya
bisa dihindari dengan menggunakan dosis rendah, baik tunggal maupun
kombinasi.
Sebagian
besar
pasien
memerlukan
kombinasi
obat
ARB
Bloker
CCB
ACEI
Gambar 2. Kemungkinan kombinasi obat antihipertensi.2
DAFTAR PUSTAKA
1. Arifin, L Augusta. 2010. Panduan terapi diabetes melitus tipe 2 terkini.
Fakultas kedokteran UNPAD
2. Soegondo S. Konsensus Pengelolaan dan Pencegahan Diabetes Melitus
tipe 2 di Indonesia 2011. Jakarta : PERKENI, 2011
3. Waspadji S. Komplikasi kronik diabetes : mekanisme terjadinya, diagnosis
dan strategi pengelolaannya. Dalam : buku ajar ilmu penyakit dalam.
Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I dkk, editor. Jilid III. Edisi IV. Jakarta :
balai penerbit FKUI, 2006; 1906.
4. Wahyuni. 2011. Dikutip dari eprints.undip.ac.id/29184/4/Bab_3.pdf
tanggal 31 Mei 2015
5. Perhimpunan Hipertensi Indonesia. 2007. Konsensus Hipertensi vol. 6
no.7
6. Frykberg RG, Zgonis T, Armstrong DG, et al. 2006. Diabetic Foot
Disorders: a Clinical Practice Guideline. American College of Foot and
Ankle Surgeons. Journal Foot Ankle Surgical. Vol 39:1-66.