Anda di halaman 1dari 7

PENATALAKSANAAN TUBERCULOSIS PADA PENDERITA DIABETES MELITUS

Tuberkulosis (TB) merupakan salah satu penyakit tertua yang menginfeksi manusia. Penyakit
ini menjadi masalah kesehatan di seluruh dunia dan menyebabkan angka kematianyang
tinggi. Penyakit ini disebabkan oleh Mycobacterium tuberculosis yang berbentuk batang,
tidak membentukspora, bersifat aerob dan tahan asam. TB umumnya terjadi pada paru, tetapi
dapat pula menyerang organ lain pada sepertiga kasus. Walaupun telah mendapat pengobatan
TB yang efektif, penyakit ini tetap menginfeksi hampir sepertiga populasi dunia, dan setiap
tahunnya menimbulkan penyakit pada sekitar 8,8 juta orang, serta membunuh 1,6 juta
pasiennya. Indonesia masih menempati posisi ke 5 di dunia untuk jumlah kasus TB. 1-3 Di
Indonesia penyakit ini adalah pembunuh nomor satu di antara penyakit menular dan
merupakan penyebab kematian nomor tiga setelah penyakit jantung dan penyakit pernapasan
akut pada seluruh kalangan usia.

Diabetes mellitus (DM) merupakan salah satu faktor risiko paling penting dalam terjadinya
perburukan TB. Sejak permulaan abad ke 20, para klinisi telah mengamati adanya hubungan
antara DM dengan TB, meskipun masih sulit untuk ditentukan apakah DM yang mendahului
TB atau TB yang menimbulkan manifestasi klinis DM.

Prevalensi TB meningkat seiring dengan peningkatan prevalensi DM. Frekuensi DM pada


pasien TB dilaporkan sekitar 10-15% dan prevalensi penyakit infeksi ini 2-5 kali lebih tinggi
pada pasien diabetes dibandingkan dengan kontrol yang non-diabetes. Dalam studi terbaru di
Taiwan disebutkan bahwa diabetes merupakan komorbid dasar tersering pada pasien TB yang
telah dikonfirmasi dengan kultur, terjadi pada sekitar 21,5% pasien. Menurut penelitian yang

dilakukan oleh Alisjahbana et al di Indonesia pada tahun 2001-2005, DM lebih banyak


ditemukan pada pasien baru TB paru dibandingkan dengan non TB.

Pada sebagian besar pasien diabetes, kehadiran penyakit TB sering tidak diketahui atau
terdiagnosis terlalu lambat. Deteksi dini TB pada penyandang diabetes akan meningkatkan
penyembuhan TB dan pengendalian kedua enyakit. Karena itu semua penderita TB harus
dilakukan skrening untuk kemungkinan juga menderita DM, dan sebaiknya skrening terhadap
TB perlu dipertimbangkan pada penyandang diabetes, terutama pada daerah dengan
prevalensi TB tinggi.

Pada masa belum diterapkannya terapi insulin, sebagian besar pasien DM akan meninggal
karena TB paru bila mereka berhasil bertahan dari koma diabetes. Setelah diperkenalkan
terapi insulin pada tahun 1922, TB masih tetap menjadi ancaman yang serius dan mematikan
pada pasien DM. Namun, dengan pengobatan anti-TB yang efektif, prognosisnya akan jauh
lebih baik.

Penatalaksanaan diabetes melitus (DM) menjadi sulit bila disertai penyakit infeksi, termasuk
tuberkulosis (TB). Seseorang dengan imun yang lemah, akibat penyakit kronis seperti
diabetes melitus, akan beresiko tinggi untuk terjadi perubahan dari TB laten menjadi TB
aktif. Penelitian membuktikan bahwa seorang penyandang diabetes akan mempunyai resiko
2-3 kali lebih tinggi terserang TB dibanding seseorang tanpa diabetes. Sekitar 10% kasus TB
seluruh dunia juga menderita diabetes.

Penyandang diabetes yang juga menderita TB mempunyai resiko kematian lebih tinggi baik
pada saat pengobatan maupun kasus kambuh setelah selesai pengobatan. Karena itu sangat
penting menjaga agar seorang penyandang diabetes tidak sakit TB.

Beberapa hal berikut ini perlu diperhatikan pada pasien Tb paru dengan DM:
1. Panduan OAT (obat anti TB) pada prinsipnya sama dengan TB tanpa DM, dengan
syarat kadar gula darah terkontrol.
2. Apabila kadar gula darah tidak terkontrol, maka lama pengobatan dapat diteruskan
sampai 9 bulan.
3. Hati-hati memberikan terapi etambutol sehubungan efek sampingnya pada mata,
karena penyandang DM juga sering terjadi komplikasi pada mata.
4. Penggunaan rifampisin perlu diperhatikan karena akan mengurangi efektifitas Oad
(sulfonilurea) sehingga dosisnya harus dinaikkan.
5. Pengawasan setelah pengobatan selesai perlu dilakukan untuk mendeteksi dini
terjadinya kekambuhan.

Prinsip pengobatan TB paru pada pasien DM serupa dengan yang bukan pasien DM, dengan
syarat kadar gula darah terkontrol. Prinsip pengobatan dengan obat anti tuberkulosis (OAT)
dibagi menjadi dua fase, yaitu fase intensif yang berlangsung selama 2-3 bulan dan
dilanjutkan dengan fase lanjutan selama 4-6 bulan. Terdapat beberapa hal yang perlu
diperhatikan dalam memberikan pengobatan TB paru pada pasien DM, salah satunya adalah
kontrol kadar gula darah dan efek samping OAT. Obat lini pertama yang biasa digunakan
adalah isoniazid, rifampisin, pirazinamid, etambuto,dan streptomicin.

Efek samping berat yang dapat terjadi berupa hepatitis akibat obat yang timbul pada kurang
lebih 0,5% pasien. Bila terjadi hepatitis akibat obat atau ikterik, OAT yang bersifat
hepatotoksik (isoniazid, rifampisin, dan pirazinamid) dihentikan dan pengobatan TB
dilanjutkan sesuai pedoman pengobatan TB pada keadaan khusus. Obat lini pertama
selanjutnya adalah rifampisin dengan dosis hariannya 8-12 mg/kg BB/hari dan dosis
maksimal 600 mg. Efek samping ringan yang didapat berupa sindrom flu (misalnya demam,
menggigil, nyeri tulang), sindrom perut (sakit perut, mual, tidak nafsu makan, muntah, diare),
dan sindrom kulit (gatal-gatal).

Efek samping berat rifampisin dapat berupa hepatitis imbas obat, sesak nafas, dan bila terjadi
salah satu gejala sepeti purpura, anemia hemolitik, syok, gagal ginjal, maka pengobatan
dengan rifampisin harus segera dihentikan dan tidak diberikan lagi walaupun gejala telah
menghilang. Rifampisin dapat menyebabkan warna merah pada urin, keringat, air mata, air
liur. Hal itu terjadi karena metabolit obat dan hal ini tidak berbahaya. Keadaan yang perlu
diperhatikan ialah pemberian rifampisin pada pasien DM yang menggunakan obat oral
antidiabetes, khususnya sulfonilurea karena dapat mengurangi efektivitas obat tersebut
dengan cara meningkatkan metabolisme sulfonilurea. Sehingga pada pasien DM, pemberian
sulfonilurea harus dengan dosis yang ditingkatkan. Sementara itu, pirazinamid sebagai
antituberkulosis dapat diberikan dengan dosis harian: 20-30 mg/kg BB/hari. Efek samping
utama obat ini ialah hepatitis imbas obat. Dapat pula terjadi nyeri akibat serangan arthritis
gout yang disebabkan oleh penimbunan asam urat. Bila hal ini terjadi maka perlu dimonitor
karena bila kadar asam urat terlalu tinggi mungkin obat perlu diganti. Dapat juga terjadi
demam, mual, kemerahan dan reaksi kulit yang lain.

Etambutol diberikan pada pasien TB dengan dosis harian 15-20 mg/kg BB/hari.
Antituberkulosis ini dapat menyebabkan gangguan penglihatan berupa berkurangnya
ketajaman, serta buta warna hijau dan merah. Gangguan penglihatan akan kembali normal
beberapa minggu setelah obat dihentikan. Penggunaan etambutol pada pasien DM harus hatihati karena efek sampingnya terhadap mata, padahal pasien DM sering mengalami
komplikasi penyakit berupa kelainan pada mata.

Streptomisin sebagai antituberkulosis diberikan pada dosis harian 15-18 mg/kg BB/hari dan
dengan dosis maksimal: 1000 mg. Efek samping utama adalah kerusakan nervus VIII yang
berkaitan dengan keseimbangan dan pendengaran.Gejalanya adalah telinga mendenging,
vertigo, dan kehilangan keseimbangan. Keadaan ini dapat dipulihkan bila obat segera
dihentikan atau dosisnya dikurangi 25 mg dari dosis total yang diberikan. Jika pengobatan
streptomisin diteruskan maka kerusakan alat keseimbangan makin parah dan akan menetap
(kehilangan keseimbangan dan tuli). Efek samping ringan lainnya yang dapat terjadi demam,
sakit kepala, muntah, eritema pada kulit, dan kesemutan sekitar mulut.

Berbagai bukti yang ada saat ini menunjukkan bahwa efikasi rifampisin tergantung pada
paparan terhadap obat dan konsentrasi maksimum obat yang dapat dicapai. Kadar plasma
rifampisin pada pasien TB dengan DM hanya 50% dari kadar rifampisin pasien TB tanpa
DM. Begitu pula pasien TB dengan DM, konsentrasi plasma maksimal rifampisin di atas
target (8 mg/L) hanya ditemukan pada 6% pasien, sedangkan pada yang bukan DM
ditemukan pada 47% pasien. Hal ini mungkin dapat menjelaskan respon pengobatan yang
lebih rendah pada pasien TB dengan DM. Namun, studi tambahan lain yang menjelaskan
respon pengetahun lebih rendah pada TB dengan DM ini tetap diperlukan. Untuk mengontrol
kadar gula darah dilakukan pengobatan sesuai standar pengobatan DM yang dimulai dengan

terapi gizi medis dan latihan jasmani selama beberapa waktu. Bila kadar glukosa darah belum
mencapai sasaran, dilakukan intervensi farmakologis dengan obat oral anti diabetes dan atau
dengan suntikan insulin. Namun dalam pemberian obat oral anti diabetes pada kasus ini harus
diperhatikan adanya interaksi dengan obat anti tuberkulosis.

DAFTAR PUSTAKA

Cahyadi A.,Venty. 2011. Tuberkulosis Paru pada Pasien Diabetes Mellitus. J Indon Med
Assoc,61(4):173-178.
Dooley KE, Tang T, Golub JE, Dorman SE, Cronin W. 2009. Impact of diabetes mellitus on
treatment outcomes of patients with active tuberculosis. Am J Trop Med Hyg, 80(4):634-9.
Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. 2006. Tuberkulosis: Pedoman Diagnosis dan
Penatalaksanaan di Indonesia. Jakarta: Perhimpunan Dokter Paru Indonesia.
Raviglione MC, OBrien RJ. Tuberculosis. Dalam: Fauci AS, Braunwald E, Kasper DL,
Hauser SL, Longo DL, Jameson JL, et al. penyunting. Harrisons Principles of Internal
Medicine. Edisi ke-17. USA: The McGraw-Hill Companies, Inc.; 2008.h.1006-20.
Wang CS, Yang CJ, Chen HC, Chuang SH, Chong IW, Hwang JJ,et al. 2009. Impact of type 2
diabetes on manifestations and treatment outcome of pulmonary tuberculosis. Epidemiol
Infect,137:203-10.

Anda mungkin juga menyukai