Anda di halaman 1dari 27

BERKEMBANGNYA RADIKALISME DI PERGURUAN TINGGI

TUGAS AKHIR KULIAH PENDIDIKAN PANCASILA

disusun oleh
Muhammad Aliakov
11.12.5874
Kelompok I

JURUSAN SISTEM INFORMASI


11-S1SI-08
Dosen Pembimbing : Drs. Muhammad Idris P, MM

SEKOLAH TINGGI MANAJEMEN INFORMATIKA DAN KOMPUTER


AMIKOM
YOGYAKARTA
SEMESTER GANJIL T.A. 2011/2012

BERKEMBANGNYA RADIKALISME DI PERGURUAN TINGGI


Muhammad Aliakov
Jurusan Sistem Informatika
STMIK AMIKOM YOGYAKARTA

ABSTRAK
Persatuan dan kesatuan NKRI sejatinya adalah amanah dari nilainilai luhur Pancasila yang telah diwariskan oleh seluruh pendiri-pendiri
bangsa. Kedamaian dan ketentraman di negara ini merupakan garis besar
cita-cita bangsa yang tertulis di Pembukaan UUD 1945. Namun di era
reformasi ini nilai-nilai dan cita-cita luhur Pancasila seperti mulai pudar
dari jati diri bangsa ini karena mulai suburnya sikap radikalisme
dikalangan masyarakat. Kemunculan organisasi yang berlatarbelakang
agama garis keras semakin marak pasca tumbangnya orde baru. Syariatsyariat agama yang sejatinya mengajarkan akan cinta kedamaian, sopan
santun, dan toleransi umat beragama hanya ditafsirkan oleh suatu
kelompok sebagai alat landasan dalam menegakkan ajaran agama
dengan jalan kekerasan dan pemaksaan. Paham radikal kelompok itu
yang dulunya cenderung diarahkan kepada masyarakat bawah mulai
bergeser ke kelompok pelajar baru-baru ini. Bahkan pelajar di perguruan
tinggi. Hal ini tentu sangat mengkhawatirkan karena sesungguhnya para
pelajar lah yang akan menjadi tonggak masa depan negara ini.
Kata kunci : Pancasila, Pembukaan UUD 1945, Radikalisme, Syariat
Agama, Persatuan.

1. LATAR BELAKANG MASALAH


Mental radikalisme yang kerap berhubungan langsung dengan
aksi-aksi terorisme di Indonesia ini seakan tidak pernah putus dan habis.
Setelah peristiwa penggrebekan dan eksekusi mati ditempat kepada buronan
teroris nomor satu, Noordin M. Top, berhasil dilakukan 2 tahun lalu yang
sempat dianggap puncak keberhasilan pemberantasan terorisme di negara ini
ternyata malah menjadi batu loncatan munculnya inovasi baru pergerakan
radikal di Indonesia. Keberhasilan mengeksekusi pimpinan teroris di
Indonesia itu diharapkan dapat menyurutkan angka terorisme yang terjadi,
namun sebaliknya malah makin gencar pergerakan radikalis yang menjurus ke
dalam aksi teroris terjadi.
Setelah sebelumnya aksi-aksi radikal lebih ditunjukan dengan aksi
pengeboman dan juga aksi bom bunuh diri, dua tahun terakhir ini terlihat
mulai bergeser menjadi semacam aksi perekrutan yang malah makin
meresahkan. Aksi semacam ini memang tidak dilakukan oleh kelompok
ataupun mantan anggota teroris yang dipimpin oleh Noordin dulu, NII, suatu
organisasi tersembunyi yang memimpikan Indonesia menjadi negara Islamlah
yang telah diselidiki bertanggungjawab atas perekrutan radikal semacam itu.
Dalam prakteknya, anggota yang telah direkrut ini menghalalkan
segala cara demi memenuhi kebutuhan dana operasional organisasi. Penipuan,
pencurian, dan perampokan halal bagi mereka dilakukan kepada orang yang
tak sepaham untuk memenuhi kewajiban aliran organisasi semacam ini.
Buruknya lagi, paham seperti ini mulai menyebar dan masuk di kalangan
mahasiswa. Sebagian besar dari mereka yang telah terpengaruh pada akhirnya
dengan sadar dan tanpa penyesalan meninggalkan kewajiban kuliah mereka.
Tentu masalah seperti ini sangat memprihatikan dan disesalkan juga harus
sangat diwaspai, karena mahasiswalah yang akan menjadi pemimpin bangsa di
masa depan. Kemudian potensi kemampuan yang dimiliki oleh mahasiswa
itulah yang paling dikhawatirkan dapat dimanfaatkan organisasi radikal ini
untuk melancarkan aksi yang dapat merugikan bahkan mengancam kehidupan
orang banyak.

2. RUMUSAN MASALAH
Beberapa rumusan masalah yang diangkat dalam makalah ini diantaranya:
1. Apa yang melatar belakangi berkembangnya paham-paham radikal di
Indonesia?
2. Bagaimana proses masuknya paham radikal ke dalam lingkungan
perguruan tinggi?
3. Bagaimana solusi untuk menangkal dan juga menghentikan perkembangan
radikalisme di lingkungan kampus?

3. Pendekatan
3.1. Historis
Lahirnya paham radikal yang sampai sekarang ini terus
berkembang baik secara terang-terangan maupun rahasia, berkaitan erat
dengan peristiwa diproklamirkannya Negara Islam Indonesia pada 7
Agustus 1949. Negara Islam Indonesia yang saat itu memiliki organisasi
Darul Islam dan tentaranya yang dikenal dengan nama Tentara Islam
Indonesia, memanfaatkan momentum untuk memproklamasikan NII disaat
daerah Jawa Barat ditinggalkan oleh TNI karena dikuasai Belanda sesuai
perjanjian Renville. Selama masa itu juga dikumandangkan jihad
suci melawan penjajah Belanda. Kartusuwiryo, seorang yang disebut
sebagai imam atau pemimpin tertinggi memimpin gerakan ini dari tahun
1942 hingga tahun 1962. Disamping itu, NII memiliki empat wilayah
yakni Jawa Barat dan sekitarnya, Aceh, Sulawesi Selatan, dan Kalimantan
Selatan.
Gerakan NII kocar-kacir setelah pemberontakan di Jawa Tengah
dan Jawa Barat. Gerakan ini dilumpuhkan lewat penumpasan operasi
militer yang disebut operasi Bharatayuda. Pada tanggal 4 juni 1962,
Kartosuwiryo berhasil ditangkap oleh pasukan Siliwangi di Gunung
Geber, Majalaya, Jawa Barat. Akhirnya Kartosuwiryo dijatuhi hukuman
mati pada 16 Agustus 1962.
Eksekusi mati atas Kartosuwiryo membuat NII vakum selama 10
tahun. NII kembali bergerak di bawah pimpinan Tengku Daud Beureueh
pada tahun 1974. Tengku Daud Beureueh pada tanggal 20 September 1953
memproklamasikan daerah Aceh sebagai bagian dari Negara Islam
Indonesia di bawah pimpinan Kartosuwiryo. Daud memimpin NII hingga
tahun 1979. Setelah Daud, kepemimpinan NII beralih ke kader-kader
Kartosuwiryo. Pada tahun 1978, Adah Jaelani meneruskan kepemimpinan
NII hingga tahun 1987. Adah ditangkap dan dipenjara pada tahun 1987
dan baru bebas pada tahun 1993.

Imam NII lalu diambil alih oleh Ajengan Masduki. Kiai Jawa Barat
ini mengomando NII dari 1987 hingga 1990. Namun Ajengan Masduki
kemudian pindah ke Malaysia. Di negeri jiran ini, Masduki bergabung
dengan Abdullah Sungkar dan Abu Bakar Baasyir mengembangkan
jaringan Jamaah Islamiyah.
Karena Ajengan Masduki pindah ke Malaysia, kepemimpinan NII
di Jawa dilanjutkan oleh Haji Karim hingga tahun 1992. Kemudian Haji
Karim meninggal dunia, imam NII lalu diambil alih Abu Toto atau yang
sering diisukan Panji Gumilang, pimpinan Pondok Pesantren Al Zaitun.
Panji selama 1992-1994 menjadi imam sementara NII. Pada 1994, setelah
Adah Jaelani bebas dari penjara, NII kembali dipimpin Adah. Namun
tahun 1996, NII kembali diserahkan pada Panji Gumilang karena Adah
sudah tua.
Lalu di tahun terakhir ini, kerap terjadi kasus pencucian otak dan
menghilangnya beberapa penduduk. Kasus ini ditengarai dilakukan oleh
NII KW9. Menurut Mustofa B Nahrawardaya, Koordinator Indonesian
Crime Analyst Forum (ICAF), NII yang masih beroperasi sekarang bukan
lagi NII yang murni. NII KW 9 merupakan NII palsu yang disusupi
intelijen. Alhasil, NII bentukan intelijen ini sungguh jauh benar
karakternya dengan NII yang semula dirintis Kartosoewirjo maupun Daud
Beureuh.
Sementara itu, NII juga memiliki banyak kelompok sempalan.
Kelompok sempalan ini misalnya yang dikembangkan oleh Ajengan
Masduki dan Baasyir serta Abdullah Sungkar. Pada tahun 1990, Masduki
dan Baasyir berkonflik. Akhirnya Baasyir dan Abdullah Sungkar
mengembangkan JI. Sementara kelompok yang setia pada Ajengan
Masduki membentuk jaringan Angkatan Mujahidin Nusantara (AMIN).
Kelompok AMIN ini, menurut pengamat militer Wawan Purwanto, juga
melakukan pencucian otak dalam merekrut anggotanya.

3.2. Sosiologis
Menyebar luasnya gerakan radikal yang dibelakangi oleh
pergerakan beratas namakan ajaran agama seperti itu tentu sangat
meresahkan kalangan masyarakat secara luas. Tidak lagi condong kepada
aksi pengrusakan ataupun kriminalitas semata seperti pengeboman dan
ancaman terror bom yang dilakukan pergerakan sejenis sebelumnya,
namun lebih kepada mengarah ke ajaran, paham, aqidah, bahkan
pengerukan dana terhadap jamaahnya dan sering kali harta masyarakat
luas.
Dalam aksinya juga, pergerakan ini dapat mengakibatkan orangorang disekitar kita yang menjadi incaran berubah sikap menjadi karakter
yang tidak bias kita pahami. Mereka akan menjadi orang yang sepertinya
tidak pernah kita kenal sebelumnya bahkan mungkin akan menghilang
keberadaannya dari masyarakat. Hal ini akibat doktirinisasi yang
kemudian dilakukan perekrutan secara intensif dan efektif oleh para
anggota gerakan radikal. NII lah yang sekarang ini ditengarai marak
melakukan aksi tersebut.
Ajaran agama yang disalahtafsirkan seenaknya sesuai kepentingan
gerakan NII KW9 ini dijadikan alat untuk mendoktrin para korbannya.
Penyimpangan seperti ini tentu sangat disesalkan karena sungguh jauh
benar dari kemuliaan syariat-syariat Islam yang sesungguhnya. Misalnya
saja paham jika ingin menjadi umat Islam yang benar, maka umat Islam di
Indonesia harus segera melaksanakan hijrah dari Negara Indonesia ke
Negara Islam Indonesia (NII). Setiap muslim yang berada di luar gerakan
tersebut dituduh kafir dan dinyatakan halal darahnya. Untuk membangun
sarana fisik dan biaya operasional gerakan, setiap anggota diwajibkan
menggalang dana dengan menghalalkan segala cara, di antaranya menipu.
Qanun asasi (aturan dasar) gerakan tersebut dianggap lebih tinggi
derajatnya dibadingkan kitab suci Alquran, bahkan tidak berdosa bila
menginjak Mushaf Alquran. Tauhid RMU, yang merupakan singkatan dari
rububiyah (hukum), mulkiyah (tempat), uluhiyah (umat), merupakan

konsep negara bagi NII, orang-orang di luar NII dianggap kafir, zalim, dan
fasik.
Paham yang radikal seperti itu tentu sangat mengkhawatirkan.
Disamping

ajarannya

yang

memperbolehkan

kepada

jamaahnya

menghalakan segala cara dalam mencari dana yang bias berujung


kriminalitas, juga dapat memecah belah persatuan dan kesatuan NKRI.
Ajaran yang mengatakan halal darah setiap muslim yang berada di luar
NII, berarti dengan kata lain paham ini ingin mengatakan boleh
membunuh umat muslim yang berbeda paham. Tentu hal ini sangat
membahayakan dan patut diatasi secepatnya. Karena bukan hal yang tidak
mungkin jika kelompok ini benar-benar melakukan tindakan yang
membahayakan banyak jiwa. Namun jika kita mau mengkritisi lebih
dalam, mengapa pada ajaran tersebut hanya mengatakan halal darah
muslim di luar NII? Mengapa umat agama lain tidak dihalakan darahnya?
Apakah ada konspirasi dibalik organisasi NII itu yang ingin memecah
belah antar sesama muslim?
3.3. Yuridis
Kesatuan dan persatuan bangsa Indonesia ini sesungguhnya
merupakan kewajiban bagi seluruh lapisan masyarakat tanpa kecuali.
Dalam bangsa yang plural ini, tentu akan selalu dihadapkan kepada
berbagai keberagaman di antara warganya. Baik itu keberagaman agama,
budaya, suku, adat istiadat, norma, juga pemikiran-pemikiran yang
berkembang di segenap warga negara. Untuk itulah diperlukan beberapa
landasan yuridis yang mampu mengikat perbedaan-perbedaan tersebut
menjadi satu kesatuan dalam NKRI.
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945 dalam alenia empat menyuratkan bahwa tujuan nasional
adalah segenap daya upaya untuk melindungi segenap bangsa dan seluruh
tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan

kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia berdasarkan


kemerdekaan perdamaian abadi dan keadilan sosial.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 39 Tahun 1999
tentang Hak Asasi Manusia, yang menegaskan bahwa setiap warga negara
wajib menghormati hak asasi manusia orang lain, moral, etika dan tata
tertib kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Hak Asasi
Manusia adalah hak-hak dasar yang melekat pada diri manusia secara
kodrati, universal dan abadi sebagai anugerah Tuhan yang Maha Esa
meliputi; hak untuk hidup, hak berkeluarga, hak mengembangkan diri, hak
keadilan, hak kemerdekaan, hak kesejahteraan, oleh karena itu tidak boleh
diabaikan atau dirampas oleh siapapun.
Setiap orang berhak untuk hidup serta berhak mempertahankan
hidup dan kehidupannya. Negara tidak memiliki kewenangan untuk
merubah atau menafikan hak tersebut. Negara justru harus menjamin hakhak setiap individu warga negara untuk menjalankan hajat hidupnya.
Setiap hak asasi manusia seseorang menimbulkan kewajiban dasar dan
tanggung jawab untuk menghormati hak asasi orang lain secara timbal
balik. Oleh sebab kewajiban dasar itu, individu warga negara mengemban
konsekwensi identitas kolektifnya, sebagai bagian dari ke-Indonesiaan,
sehingga setiap warga negara Indonesia wajib ikut serta dalam upaya
pembelaan negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan
yang berlaku.

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2002 tentang


Pertahanan Negara menyatakan, bahwa setiap warga negara berhak dan
wajib ikut serta dalam upaya bela negara yang diwujudkan dalam
penyelenggaraan pertahanan negara. Keikutsertaan setiap warga negara
dalam upaya bela negara, diselenggarakan melalui:
a. Pendidikan kewarganegaraan;
b. Pelatihan dasar kemiliteran secara wajib;
c. Pengabdian sebagai prajurit Tentara Nasional Indonesia secara
sukarela atau secara wajib; dan
d. Pengabdian sesuai dengan profesi.

4. PEMBAHASAN
4.1. Mengenai Latar Belakang Tindakan Radikalisme
Radikalisme yang seringkali dibungkus dengan aliran agama,
ternyata masih mewarnai tindakan terorisme di Indonesia. Kasus bom
bunuh diri (bom di Mariot Dubes Australia, Bom Bali I&II dan yang
lainnya), konflik yang berbau sentimen agama di Poso, Maluku, dan yang
lainnya, semakin memperjelas bahwa adanya korelasi antara radikalisme
di masyarakat dengan doktrin agama. Namun, apakah memang radikalisme
yang menyebabkan timbulnya terorisme di Indonesia itu memang terjadi
karena doktrin ideologi tertentu? Atau mungkin ada latar belakang lain?
Faktor Kemiskinan
Dalam kacamata intelektual kampus, radikalisme yang berbasis
kelompok agama terkait erat dengan kemiskinan. Selama kemiskinan
masih melekat dalam irama kehidupan rakyat, radikalisme akan beranak
pinak. Pandangan tersebut, memang sangat realistis dengan kenyataan
yang terjadi. Hal itu bisa dilihat dari berkembangnya radikalisme di
seluruh pelosok dunia, ternyata lebih marak terjadi di negara-negara
berkembang dan negara-negara miskin. Bentuk radikalisme tersebut sering
terjadi dalam bentuk pemberontakan sebagian masyarakat yang kecewa
terhadap

pemerintahannya

yang dinilai

telah

gagal

menciptakan

kesejahteraan rakyatnya, perang saudara antar-etnis, golongan, ideologi


demi sebuah kekuasaan dan untuk menguasai kekuasaan, dan yang
lainnya. Semua itu tidak terlepas dari usaha masyarakat untuk melakukan
perubahan nasibnya agar menjadi lebih baik (sejahtera) dari keadaan
kemiskinan yang menimpanya.
Di negara-negara maju sangat jarang terjadi radikalisme dengan
latar masalah ekonomi (kemiskinan). Meskipun di negara maju tidak
sepenuhnya bersih dari tindakan radikalisme, namun motif radikalisme di
negara maju mempunyai latar belakang yang berbeda dengan negaranegara berkembang dan negara-negara miskin. Dalam ajaran Islam juga

10

dijelaskan bahwa timbulnya kekufuran (termasuk radikalime masyarakat)


itu bisa terjadi karena kemiskinan. Karena pada dasarnya kemiskinan bisa
menyebabkan manusia untuk berbuat kufur.
Keadaan rakyat Indonesia sampai dengan saat ini masih dililit
dengan problem kemiskinan. Bank Dunia memperhitungkan 108,78 juta
orang atau 49 persen dari total penduduk Indonesia dalam kondisi miskin
dan rentan menjadi miskin. Kalangan ini hanya hidup dengan kurang dari
2 dolar AS atau sekitar RP 19.000 per hari (Kompas, 8 Desember 2006).
Kondisi Indonesia seperti ini memang sangat rentan timbulnya
radikalisme. Menurut kalangan intelektual kampus untuk menghentikan
radikalisme di masyarakat perlu ada usaha dari seluruh elemen bangsa
untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakatnya.
Peran ulama dan pemerintah sangat penting dalam melakukan misi
suci ini. Ulama (dai dan para guru/dosen) bisa terus mengarahkan
masyarakat dan para siswa/mahasiswanya, untuk menciptakan masyarakat
dan generasi mudanya, untuk mengasah bakat di suatu bidang
(profesional) dan berbuat jujur dalam bidangnya. Begitu juga pemerintah
sebagai pelayan masyarakat, harus bisa menciptakan iklim perekonomian
yang stabil. Dengan semua usaha itu, masyarakat Indonesia bisa terhindar
dari problem kemiskinan yang berkepanjangan. Radikalisme pun akan bisa
diminimalisasi.
Faktor Kebodohan
Keterpurukan ekonomi yang dialami oleh sebagian lapisan
masyarakat

mengakibatkan

ketidakmampuan

dalam

mengeyam

pendidikan. Hal ini akan berakibat keterpurukan intelegensi dan


pengetahuan bagi warga yang kurang mampu. Mereka tidak akan cukup
dibekali oleh ilmu pengetahuan yang sedang berkembang. Juga akan lebih
rentan terhadap pengaruh-pengaruh yang datang dari pihak lain. Termasuk
juga akan mudah diprovokasi oleh paham-paham radikal.

11

Hal ini dianggap oleh sebagian besar orang terjadi karena


kegagalan

pemerintah

dalam

merealisasikan

program-program

pendidikannya. Program wajib belajar 9 tahun misalnya, mungkin bagi


sebagian masyarakat masih terjangkau untuk dipenuhi. Namun bagi rakyat
miskin, program tersebut cukup sulit untuk dipenuhi. Karena bagi mereka
mempertahankan kelangsungan hidup lebih penting, sehingga kebutuhan
akan pendidikan mereka sampingkan. Meski pemerintah juga telah
memberikan fasilitas dana BOS bagi setiap siswa di Indonesia, namun
dana yang diberikan itu belum cukup untuk membayarkan biaya-biaya
tambahan yang sering dibebankan oleh sekolah. Seperti biaya tunjangan
pembangunan, sarana prasarana, les tambahan, buku pelajaran, dll.
Parahnya lagi, marak terjadi kasus-kasus penyelewengan dana BOS oleh
oknum-oknum tertentu yang berakibat tidak tersalurkannya hak para
siswa.
Maka dari itu, sudah jadi hal maklum jika banyak generasi muda
saat ini tidak banyak mengenyam pendidikan dan sudah tentu menjadi
tugas pemerintah untuk membuat kebijakan yang lebih tepat untuk
membela rakyat-rakyat kecil. Sehingga akan tercapai kesejahteraan sosial
yang lebih merata.
Selain itu, tingkat pemahaman agama yang rendah juga dapat
mengakibatkan lebih rentan terpengaruh ajaran-ajaran yang menyesatkan.
Misalnya saja mengenai ajaran jihad. Jihad sendiri berasal dari kata arab
artinya bersungguh-sungguh melakukan sesuatu dalam rangka beribadah
mencari ridho Allah. Namun ada beberapa kelompok yang terus saja
memaksakan paham bahwa jihad dalam Islam yang hukumnya wajib
haruslah dipenuhi dengan berperang. Padahal sesungguhnya jihad di jaman
ini tidak harus selalu dengan cara berperang, namun bisa berupa usaha
mencari nafkah secara halal demi keluarga. Generasi muda mencari ilmu
demi masa depannya. Seorang pedagang yang jujur tidak mengurangi
timbangan. Jadi jihad itu banyak macamnya bukan dengan terror dan aksi
bom bunuh diri karena itu makin mengotori wajah Islam dimata dunia.

12

Faktor Politik
Stabilitas politik yang diimbangi dengan pertumbuhan ekonomi
yang berkeadilan bagi rakyat adalah cita-cita semua negara. Kehadiran
para pemimpin yang adil, berpihak pada rakyat, tidak semata hobi
bertengkar dan menjamin kebebasan dan hak-hak rakyat, tentu akan
melahirkan kebanggaan dari ada anak negeri untuk selalu membela dan
memperjuangkan

negaranya.

Mereka

akan

sayang

dan

menjaga

kehormatan negaranya baik dari dalam maupun dar luar.


Namun sebaliknya jika politik yang dijalankan adalah politik kotor,
politik yang hanya berpihak pada pemilik modal, kekuatan-kekuatan asing,
bahkan politik pembodohan rakyat, maka kondisi ini lambat laun akan
melahirkan tindakan skeptis masyarakat. Akan mudah muncul kelompokkelompok atas nama yang berbeda baik politik, agama ataupun sosial yang
mudah saling menghancurkan satu sama lainnya.
Bukankah kita pernah membaca sejarah lahirnya garakan khawarij
pada masa kepemimpinan Ali bin Abi Thalib RA. yang merupakan mascot
gerakan terorisme masa lalu yang juga disebabkan oleh munculnya stigma
ketidakstabilan dan ketidakadilan politik pada waktu itu. Sehingga
munculah kelompok-kelompok yang saling mengklaim paling benar,
bahkan saling mengkafirkan satu sama lainnya. Tentu kita tidak ingin
sejarah itu terulang kembali saat ini.
Faktor Pendidikan
Sekalipun pendidikan bukanlah faktor langsung yang dapat
menyebabkan munculnya gerakan terorisme, akan tetapi dampak yang
dihasilkan dari suatu pendidikan yang keliru juga sangat berbahaya.
Pendidikan agama khususnya yang harus lebih diperhatikan. Ajaran agama
yang

mengajarkan

toleransi,

kesantunan,

keramahan,

membenci

pengrusakan, dan menganjurkan persatuan tidak sering didengungkan.


Retorika pendidikan yang disuguhkan kepada ummat lebih sering bernada
mengejek daripada mengajak, lebih sering memukul daripada merangkul,

13

lebih sering menghardik daripada mendidik. Maka lahirnya generasi umat


yang merasa dirinya dan kelompoknyalah yang paling benar sementara
yang lain salah maka harus diperangi, adalah akibat dari sistem pendidikan
kita yang salah. Sekolah-sekolah agama dipaksa untuk memasukkan
kurikulum-kurikulum umum, sementara sekolah umum alergi memasukan
kurikulum agama.
Dan tidak sedikit orang-orang yang terlibat dalam aksi terorisme
justru dari kalangan yang berlatar pendidikan umum, seperti dokter,
insinyur, ahli teknik, ahli sains, namun hanya mempelajari agama sedikit
dari luar sekolah, yang kebenaran pemahamananya belum tentu dapat
dipertanggungjawabkan. Atau dididik oleh kelompok Islam yang keras dan
memiliki pemahaman agama yang serabutan.
Demikianlah penjabaran enam faktor penyulut terorisme, semoga
dapat bermanfaat. Tugas kita ke depan tentu sangat berat, maka diperlukan
kerjasama yang sinergis antara semua elemen bangsa, baik ulama,
pemerintah, dan masyarakat untuk mengikis tindakan terorisme sampai ke
akar-akarnya. Paling tidak langkah itu dapat dimulai dengan cara
meluruskan paham-paham keagamaan yang menyimpang oleh ulama,
menciptakan keadilan dan stabilitas ekonomi dan politik oleh pemerintah.
Serta menciptakan suasana kondusif bagi tumbuhnya tatanan masyarakat
yang damai, toleran, aman, merdeka, religius, bertaqwa dan memiliki
semangat kecintaan tanah air yang kuat.
Dengan langkah ini kita memohon kepada Allah Swt, semoga
bangsa dan negara kita terlindung dari bahaya terorisme, sesuai dengan
janji dan spirit al-Quran: Yang artinya: Seandainya penduduk suatu kaum
itu beriman dan bertakwa, maka niscaya akan kami bukakan pintu berkah
kepada mereka dari arah langit dan bumi, akan tetapi mereka mendustkan
(agama), maka akan kami binasakan mereka akibat dari perbuatanya itu
sendiri (Q.S. al-Araf: 69).

14

Faktor Psikologis
Faktor ini sangat terkait dengan pengalaman hidup individual
seseorang. Pengalamannya dengan kepahitan hidupnya, lingkungannya,
kegagalan dalam karir dan kerjanya, dapat saja mendorong sesorang untuk
melakukan perbuatan-perbuatan yang menyimpang dan anarkis. Perasaan
yang menggunung akibat kegagalan hidup yang dideranya, mengakibatkan
perasaan diri terisolasi dari masyarakat. Jika hal ini terus berlangsung
tanpa adanya pembinaan dan bimbingan yang tepat. Orang tersebut akan
melakukan perbuatan yang mengejutkan sebagai reaksi untuk sekedar
menampakkan eksistensi dirinya.
Dr. Abdurrahman al-Mathrudi pernah menulis, bahwa sebagian
besar orang yang bergabung kepada kelompok garis keras adalah mereka
yang secara pribadi mengalami kegagalan dalam hidup dan pendidikannya.
Mereka inilah yang harus kita bina, dan kita perhatikan. Maka hendaknnya
kita tidak selalu meremehkan mereka yang secara ekonomi dan nasib
kurang beruntung. Sebab mereka ini sangat rentan dimanfaatkan dan
dibrain washing oleh kelompok yang memiliki target terorisme tertentu.
Doktrin Radikalisme
Ralp Dahrendororf, pelopor sosiologi konflik, menjelaskan
radikalisme dengan mengacu pada pemikiran Karl Marx. Di setiap
pergantian zaman, radikalisme selalu dimotori oleh kelompok yang
kondisi ekonominya relatif lebih baik. Kelompok ini merasa dipinggirkan
dalam proses perubahan yang sedang berlangsung. Muncul kekecewaan
bercampur kebencian kepada rezim yang berkuasa, yang dianggap
memblokir peluang mobilitas sosial mereka.
Dalam hal ini, kesenjangan antara harapan dan kenyataan
merupakan bahan bakar radikalisme. Dahrendorf berpendapat kelompok
miskin cenderung apatis (The Politics of Frustration, Oktober 2005).
Hasil penelitian Dr. Marc Sageman, psikiater forensic AS, sangat
membantu menjelaskan hal tersebut. Sageman mengambil sempel biografi

15

400 anggota Al-Qaeda maupun jaringannya. Hasilnya dituangkan dalam


buku Understanding Terror Networks (2004). Menariknya, Sageman
adalah mantan anggota CIA yang bertugas di Pakistan tahun 1980-an.
Biografi yang dikumpulkan Sageman sebagian besar warga Arab,
komunitas imigran Eropa Barat, dan warga Indonesia dan Malaysia.
Mereka ternyata bukan berasal dari negara termiskin. Lebih mengejutkan
lagi, tidak ada satupun dari 400 sampel yang berasal dari Afganistan, salah
satu negara termiskin di dunia.
Dalam kaitannya dengan latar belakang sosial-ekonomi, tiga
perempat berasal dari keluarga kelas atas dan menengah. Mereka lahir dan
dibesarkan dalam keluarga yang rukun, penuh perhatian terhadap anak,
taat beragama, dan menaruh perhatian terhadap masalah kemasyarakatan.
Sekitar 60 persen sampel pernah menjadi mahasiswa. Padahal, di negara
asal imigran tersebut tidak semua orang berkesempatan untuk masuk
perguruan tinggi. Umumnya mereka bergabung dengan organisasi teroris
pada usia rata-rata 26 tahun. Tiga seperempat sudah menikah dan sangat
bertanggung jawab kepada keluarga.
Dari keseluruhan sampel tidak ditemukan pencucian otak oleh
keluarga maupun pendidikan. Sekitar 50 persen mereka sejak kecil sudah
menekuni agama. Hanya 13 persen dari sampel, yang hampir semua dari
Asia Tenggara, mengikuti pendidikan di pondok pesantren.
Hal yang menarik lainnya, 70 persen di antara mereka bergabung
dalam jihad global ketika di perantauan. Sekitar 10 persen lagi adalah
imigran baru arab magrib di Eropa. Dengan demikian, lebih kurang 80
persen terasing di negeri rantau, terputus dari ikatan sosial budaya asli, dan
jauh dari sanak keluarga.
Data-data di atas menunjukkan bahwa radikalisme lahir tidak
hanya karena kesenjangan ekonomi (kemiskinan) tetapi juga karena
ideologi tertentu, khususnya yang bersumber dari oktrin agama. Jika
sebagian pelaku terorisme di Indonesia kebetulan berasal dari keluarga

16

miskin dan terdorong oleh suatu ideologi, maka terdoronglah keinginan


untuk meluluhlantakkan ketertiban dan keamanan masyarakat.
4.2. Berkaitan dengan Proses Masuknya Paham Radikal ke dalam
Lingkungan Perguruan Tinggi
Perguruan tinggi merupakan wadah bagi mahasiswa yang memiliki
banyak keanekaragam potensi yang dimiliki setiap perorangannya. Baik
itu bakat, keahlian, pengetahuan, kepemimpinan, dan intelektual.
Disamping itu sebenarnya mahasiswa masih mencari kearah mana
orientasi masa depan yang akan ditempuh. Sehingga mereka masih
memerlukan beberapa pengaruh yang dapat menunjang dan memfasilitasi
prinsip dan jati diri yang sedang dicari.
Oleh sebab itulah, ada beberapa kelompok radikal yang
memanfaatkan kondisi mahasiswa yang masih labil untuk dipengaruhi
dengan konsep radikalisme yang mereka bawakan. Padahal sejatinya
konsep radikalisme tidak sepenuhnya mengarah pada kekerasan,
pemaksaan, ataupun menjurus hal-hal yang negatif.
Radikalisme itu adalah suatu perubahan yang cepat, tak semua
negatif, radikalisme yang destruktif adalah yang tak boleh ditiru, justru
semangat mahasiswa yang radikal terkadang dibutuhkan untuk perubahan
ke arah yang lebih baik, (Jusuf Kalla, Okezone.com 19/05/11).
Generasi muda yang masih penuh gairah dalam menuntut ilmu
tentulah sangat membanggakan. Apalagi jika dapat meraih suatu prestasi
atau aktif dalam berbagai organisasi yang nasionalis yang barang kali bisa
memfasilitasi rasa nasionalisme pada bangsa ini. Itulah mungkin yang
diharapkan oleh Jusuf Kalla secara tersirat.
Namun kejadian belakangan ini sangat jauh dari apa yang
diharapkan. Kasus terjadinya bom buku di Utan Kayu tanggal 15 Maret
2011 yang sasarannya adalah Ulil Absar Abdala, anggota Jaringan Islam
Liberal, sampai temuan terakhir tanggal 26 April 2011, ditemukannya bom
di pintu air cililitan. Kegiatan teror dan radikal ini meresahkan berbagai

17

kalangan masyarakat. Yang mengejutkan banyak pihak, ternyata sebagian


besar pelaku bom buku dan perencana bom Serpong merupakan lulusan
perguruan tinggi, bahkan diantaranya lulusan perguruan tinggi Islam.
Pelaku jelas-jelas menunjukkan pemahaman keagamaan Islam dengan cara
sempit, bercorak eksklusif, dan keras. (Lutfi Zanwar Kurniawan,
hmimpofeuii.blogspot.com, 2011)
Ada lagi kejadian yang menyebutkan sebelas mahasiswa
menghilang di Malang, Jawa Timur. Kemudian muncul kabar adanya
peristiwa penyekapan mahasiswa di Universitas Diponegoro Semarang.
Kampus dan mahasiswa seakan menjadi lahan dan sasaran utama
kelompok NII untuk merekrut anggotanya. (Radar Lampung, 05/05/ 2011)
Kampus yang selama ini dikenal sebagai tempat persemaian
manusia berpandangan kritis, terbuka, dan intelek, ternyata tidak bisa imun
terhadap

pengaruh

ideologi

radikalisme.

Radikalisme

menyeruak

menginfiltrasi kalangan mahasiswa di berbagai kampus. Dari masa ke


masa di lingkungan kampus hampir selalu ada kelompok radikal baik
ekstrem kanan maupun ekstrem kiri.
Kasus seperti diatas dapat ditemukan dalam skala berbeda di
banyak perguruan tinggi. Beragam penelitian dan pengakuan mereka yang
keluar dari sel-sel radikal dan ekstrim mengisyaratkan, mahasiswa
perguruan tinggi umum lebih rentan terhadap rekruitment daripada
mahasiswa mahasiwa perguruan tinggi agama Islam. Gejala ini jelas
berkaitan dengan kenyataan bahwa cara pandang mahasiswa perguruan
tinggi umum khususnya bidang sains dan teknologi, cenderung hitam
putih. Sedangkan mahasiswa perguruan tinggi agama Islam yang
mendapat keragaman perspektif tentang islam cenderung lebih terbuka dan
bernuansa ( Azyumardi Azra, Kompas, 27/4/11 )

18

Modus perekrutan yang biasa dilakukan oleh jaringan tersebut


secara umum seperti berikut:
1. Mengajak dengan alasan menemui teman yang baru kembali dari
Timur Tengah atau teman yang mendapat pencerahan lewat
seminar tentang bangkitnya Islam.
2. Mengajak dengan alasan mencarikan kerja.
3. Mengajak ke rumah teman atau semacamnya.
4. Setiap jamaah memiliki target 10 orang untuk dihadirkan setiap
bulan, umumnya teman kuliah, SMU, SMP dan SD.
5. Bagi perekrut tanpa target, umumnya hunting di kampuskampus, mal dan toko buku.
6. Semua modus berakhir di Malja (kantor/markas) dan proses
doktrinasi akan dilakukan di dalam kamar tertutup.
7. Pemberi materi seorang laki-laki, umumnya seorang Masul
(pimpinan).
Selain itu dalam usaha perekrutannya, jaringan NII memiliki
beberapa karakteristik yang bisa dikenali:
1. Untuk merekrut menggunakan dua orang jamaah, satu orang
pemancing dan lainnya pengajak.
2. Pemancing bertugas mengawasi dan mengawal serta memotivasi
calon jamaah.
3. Pemancing berpura-pura sebagai calon jamaah.
4. Pemancing dan pengajak mengawal calon jamaah hingga tahap
hijrah, termasuk menginap dirumah calon jamaah dan pencarian
dana untuk shadaqah hijrah.
5. Umumnya perekrut melakukan screening lewat dialog tentang
gerakan sesat untuk mengukur pengetahuan calon jamaah tentang
NII.
6. Yang dihindari oleh perekrut adalah anak polisi dan anak TNI.

19

Jika seorang mahasiswa telah terpengaruh oleh paham seperti itu


dan telah berhasil direkrut oleh jaringan NII, dia akan terjebak dengan
banyak kewajiban dan kepentingan. Misalnya saja seperti kewajiban
menyetor dana setiap hari. Hal ini tentu akan memaksa mereka melakukan
tindakan kriminal pada lingkungannya. Mencuri dari orang di luar
kelompok, menipu orang tua dengan alasan menghilangkan laptop, HP,
merusakkan barang teman, membantu operasi orang tua teman, dll. Pada
akhirnya, yang mereka hadapi hanyalah tindakan yang merugikan orang
banyak dan diri sendiri. Perkuliahan pun rela mereka tinggalkan hanya
untuk menjalani aliran yang tak berpedoman secara benar kepada syariatsyariat Islam sesungguhnya.
4.3. Solusi untuk Menangkal dan juga Menghentikan Perkembangan
Radikalisme di Lingkungan Kampus
Perguruan Tinggi adalah suatu komunitas ilmiah. Suatu komunitas
yang memiliki karakteristik akademik. Disinilah tempat dimana produk
intelektual dilahirkan, dikembangkan dan diimplementasikan. Dengan kata
lain perguruan tinggi merupakan laboratorium bagi masyarakat, yang
memberikan kontribusi bagi terciptanya proses pemberdayaan berfikir
sesuai dengan khasanah ilmu dan kapasitas yang dimiliki untuk
dikembangkan dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
Esensi peran dan fungsi perguruan tinggi tersebut tertuang kedalam
pola orientasi yang menjadi bagian dari kegiatan akademik atau yang biasa
dikenal dengan Tri Dharma Perguruan Tinggi (Pendidikan, Penelitian dan
Pengabdian). Berbicara tentang pendidikan, maka perguruan tinggi bukan
hanya menciptakan suatu mekanisme kegiatan belajar-mengajar secara
formal saja. Tetapi ia juga harus mampu menumbuh-kembangkan nilai di
dalam pendidikan. Nilai yang dimaksud itu adalah bahwa di dalam
pendidikan terdapat budaya dan etika yang harus dipegang. Karena
pendidikan hanya diperuntukkan bagi kemaslahatan umat manusia. Dalam
konteks itulah maka pendidikan (khususnya di perguruan tinggi) harus

20

setidaknya mengambil ikhtiar dari hakekat ilmu, yaitu dikaji secara ilmiah
dan dianalisa secara kontekstual agar bermanfaat bagi individu,
masyarakat bangsa dan negara.
Berkaitan dengan pengaruh radikalisme yang belakangan ini
menyeruak, maka perguruan tinggi mempunyai tanggungjawab besar
dalam menangkal dampak negatif dari jaringan radikal. Sebagai garda
depan dalam memantau perkembangan mahasiswa dari berbagai aspek,
lembaga pendidikan ini diharapkan mempunyai orientasi yang jelas dan
tepat dalam menanamkan nilai nasionalisme yang benar kepada
mahasiswanya. Namun bukan hanya pihak lembaga pendidikan saja yang
harus turut andil dalam menyikapi tuntutan tersebut. Pemerintah sebagai
penyelenggara negara juga memiliki tanggungjawab penuh, khususnya
departemen pendidikan pada masalah ini. Sistem pendidikan yang kurang
maksimal dan kurang mampu memfasilitasi nilai-nilai luhur yang
terkandung dalam pancasila dan ajaran agama secara tepat menjadi celah
bagi jaringan radikal untuk menyebarkan pemahamannya.
Semenjak runtuhnya orde baru, penataran P4 yang saat itu memang
terasa dipaksaan pada akhirnya dihentikan dan ditiadakan. Namun bukan
dampak positif yang berkembang di masyarakat. Akan tetapi sikap dan
moral bangsa yang terkesan lebih bebas dan tanpa memiliki pedoman
sedikitpun dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Persatuan dan kesatuan bangsa pun terasa mulai menipis dengan
makin maraknya aksi perkelahian, tawuran antar kelompok, bahkan
pemberontakan yang mengarah pada keinginan keluar dari NKRI ini.
Makin parahnya lagi, sikap radikal yang tak bermoral tersebut telah
merambah ke ruang lingkup pendidikan di Indonesia. Tawuran antar
pelajar SMA ataupun mahasiswa sudah menjadi hal yang biasa bahkan
menjadi konsumsi bagi beberapa oknum. Hal ini tentu sangat
memprihatinkan karena generasi muda yang kelak menjadi pemimpin
bangsa hanya memiliki moral yang brutal dalam diri mereka.

21

Untuk itulah diperlukannya revitaslisasi mata kuliah yang bersifat


ideologis pancasila, pendidikan kewarganegaraan, dan agama (dengan
tidak menerapkan sistem yang memaksa seperti penataran P4). Dengan
memahami pancasila mahasiswa diarahkan untuk menumbuhkan semangat
kebangsaan keindonesiaan, dan kewarganegaraan yang bertanggung
jawab. Kemudian melalui pendidikan agama, akan diarahkan dalam
penguatan perspektif keagamaan-kebangsaan dan diorientasikan untuk
penguatan sikap intelektual tentang keragaman agama serta toleransi intra
agama dan antar agama serta anatara umat beragama dengan negara.
Sehingga mereka akan memiliki prinsip dan pandangan yang jelas dalam
kehidupan berbangsa ini. Juga mereka akan mampu untuk lebih memilih
dan memilah paham-paham radikal yang berkembang di masyarakat
karena telah mempunyai pemahaman yang cukup berkaitan dengan
korelasi agama dengan kenegaraan.
Selain dari aspek kurikulum yang patut diajarkan di lingkungan
kampus, perlu juga upaya pendorong agar organisasi yang terbentuk di
perguruan tinggi lebih efektif diikuti oleh mahasiswa. Karena, dari lingkup
organisasi inilah mahasiswa akan benar-benar terlatih untuk hidup dalam
suatu masyarakat yang majemuk. Dalam suatu masyarakat yang
mempunyai beragam cara berinteraksi, memiliki berbagai macam ide
kreatifitas, dan pandangan-pandangan mengenai permasalahan negara.
Yang tentunya semua aspek tersebut dibimbing kearah yang positif dan
bermanfaat.

Sehingga

mereka

akan

terlatih

jiwa

kepemimpinan,

kemufakatan, dan nasionalisme kebangsaan.

22

5. KESIMPULAN DAN SARAN


5.1. Kesimpulan
Radikalisme di ruang lingkup masyarakat memang tak akan bisa
secara total dikontrol dan diatur sedemikian rupa seperti yang kita
kehendaki. Bak aspirasi rakyat yang patut didengar oleh wakil-wakil
rakyat di pemerintahan, sikap radikalisme juga merupakan ungkapan para
pelakunya karena suatu sebab kondisi, kejadian, ataupun kebijakan yang
berlangsung di negeri ini. Setiap jengkal masalah yang menjadi isu negeri
ini bisa jadi penyulut sikap-sikap radikal untuk bangkit. Apalagi jika isu
tersebut berkaitan dengan masalah politik dan sosial.
Sama halnya dengan kalangan mahasiswa. Dalam perjalanannya
menuju kedewasaan tidak dapat dipungkiri bahwa mereka masih mencari
jati diri dan prinsip hidup. Mereka yang dapat dikatakan masih labil acap
kali mudah tersulut emosi dan mudah dipengaruhi pikiran-pikiran
lingkungannya. Untuk itulah perlu diberikan wadah yang tepat bagi masa
peralihan generasi muda ini untuk membentuk pribadi yang kelak
memiliki rasa kebangsaan dan nasionalisme yang tinggi demi terhindar
dari pengaruh-pengaruh sesat yang berkembang di masyarakat.
Dengan diselenggarakannya pembelajaran Pancasila, pendidikan
kewarganegaraan, dan agama, juga efektifitas kegiatan organisasi yang
diberikan maka sudah tentu mahasiswa akan memiliki karakter yang mulia
sesuai nilai-nilai luhur Pancasila.
5.2. Saran
Disamping membuat sistem pendidikan yang mampu mendorong
tercapainya mahasiswa yang memiliki jiwa kebangsaan dan nasionalisme
tinggi, pemerintah juga harus lebih memperhatikan masalah-masalah yang
masih dihadapi rakyat banyak pada umumnya. Masalah ekonomi dan
pendidikan merupakan aspek mendasar yang paling utama harus dibenahi.

23

Tanpa adanya stabilitas perekonomian yang pada kenyataannya


makin menunjukan kesenjangan antara si kaya dan si miskin, dapat
berakibat munculnya usaha radikal yang bertujuan merubah nasib dan
keadaan suatu kelompok yang terpuruk aspek perekonomiannya. Tanpa
pendidikan layak dan tinggi yang bisa diakses seluruh lapisan rakyat, maka
akan

berakibat

mudah

terpengaruhnya

masyarakat

yang

tak

berpengetahuan lebih untuk mengikuti suatu aliran radikal yang


kedepannya merugikan banyak pihak.

24

6. REFERENSI
Hendriyansyah,

2011,

Kampus,

Mahasiswa,

dan

Radikalisme,

http://radarlampung.co.id/read/opini/32682-kampus-mahasiswa-danradikalisme
Trinanda, Andi, 2011, Eksistensi NII dan Matinya Pendidikan Pancasila ?,
http://sosbud.kompasiana.com/2011/05/04/eksistensi-nii-dan-matinyapendidikan-pancasila/
Zanwar Kurniawan, Lutfi, 2011, Mencegah Radikalisme dari Kampus,
http://hmimpofeuii.blogspot.com/2011/05/mencegah-radikalisme-darikampus.html
Mughni, Muladi, 2011, Faktor-faktor Penyulut Radikalisme Agama,
http://www.pesantrenvirtual.com/index.php?option=com_content&vie
w=article&id=1265:faktor-faktor-penyulut-radikalismeagama&catid=22:pengajian
Aruji, Iskandar, 2011, Sejarah Ringkas Berdirinya Negara Islam Indonesia,
http://www.iskaruji.com/2011/04/nii-sejarah-ringkas-berdirinyanegara.html
Hadhi, Mahatma, dkk, 2011, Negara Islam Indonesia: Fakta Sejarah Dan
Perkembangannya,
https://sites.google.com/site/ppmenetherlands/news/sejarahnii
http://news.okezone.com/read/2011/05/19/337/458910/jk-radikalisme-takselamanya-jelek-buat-mahasiswa
Suryana,

Dede,

2011,

Pancasila

Mampu

Redam

Radikalisme,

http://news.okezone.com/read/2011/10/01/337/509539/pancasilamampu-redam-radikalisme
Effendi,

Yusuf,

2010,

RADIKALISME

ISLAM

DI INDONESIA,

http://yusufeff84.wordpress.com/2010/04/21/radikalisme-islam-diindonesia/

25

Faisal, Muhammad, 2011, Kebodohan dan Kemiskinan Penyebab Utama


Radikalisme

dan

Terorisme,

http://bogorplus.com/kotabogor/66-

kotabogor/2443-kebodohan-dan-kemiskinan-penyebab-utamaradikalisme-dan-terorisme.html
Asroni, Ahmad, _________, Radikalisme Islam di Indonesia, Makalah, Pasca
Sarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.

26

Anda mungkin juga menyukai