Anda di halaman 1dari 20

LAPORAN PENDAHULUAN

ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN DENGAN EFUSI PLEURA

Oleh:
Yohandani Frinda Pamungkas, S.Kep
092311101058

PROGRAM PENDIDIKAN PROFESI NERS


PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN
UNIVERSITAS JEMBER
2015

LAPORAN PENDAHULUAN
KONSEP DAN ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN DENGAN
EFUSI PLEURA
Oleh: Yohandani Frinda Pamungkas, S.Kep. (NIM.092311101058)

I. KONSEP PENYAKIT
a. Kasus
Efusi Pleura
b. Pengertian
Efusi pleura adalah suatu keadaan dimana terdapat penumpukan cairan
dalam pleura berupa transudat atau eksudat yang diakibatkan terjadinya
ketidakseimbangan antara produksi dan absorpsi di kapiler dan pleura
viseralis (Muttaqin, 2008). Efusi pleura merupakan suatu kumpulan cairan
pada ruang antara lapisan parietal dan viseral dari pleura, biasanya berisi
cairan serosa, namun juga dapat mengandung bahan lainnya misalnya
darah akibat trauma (hemothoraks), cairan purulent akibat perluasan
pneumonia

atau

abses

paru

(empiema),

cairan

dan

udara

(hidropneumothoraks) (Patel, 2005).

Gambar 1. Efusi pleura, cairan terkumpul dalam ruang pleura dan


mengubah tempat jaringan paru, juga perhatikan pergeseran cairan ke
dalam mediastinum dan torsio bronkus

c. Klasifikasi
Berdasarkan lokasi cairan yang terbentuk, efusi pleura dibagi menjadi dua
macam, yaitu (Muttaqin, 2008):
1. Efusi unilateral, tidak mempunyai kaitan yang spesifik dengan penyakit
penyebabnya.
2. Efusi bilateral, bila ditemukan pada penyakit gagal jantung kongestif,
sindrom nefrotik, asites, infark paru, tumor, dan tuberkulosis.
d. Etiologi
Kelainan pada pleura hampir selalu merupakan kelainan sekunder.
Kelainan primer pada pleura hanya ada dua macam, yaitu infeksi kuman
primer intrapleura dan tumor primer pleura. Timbulnya efusi pleura dapat
disebabkan oleh kondisi-kondisi (Somantri, 2007):
1. Gangguan pada reabsorpsi cairan pleura (misalnya karena adanya
tumor)
2. Peningkatan produksi cairan pleura (misalnya akibat infeksi pada
pleura)
Secara patologis, efusi pleura disebabkan oleh keadaan-keadaan
(Somantri, 2007):
1. Meningkatnya tekanan hidrostatik (misalnya akibat gagal jantung)
2. Menurunnya

tekanan

osmotik

koloid

plasma

(misalnya

hipoproteinemia)
3. Meningkatnya permeabilitas kapiler (misalnya infeksi bakteri)
4. Berkurangnya absorpsi limfatik
Penyebab efusi pelura dilihat dari jenis cairan yang dihasilkannya adalah
(Somantri, 2007):
1. Transudat
Gagal jantung, sirosis hepatis dan asites, hipoproteinemia pada sindrom
nefrotik, obstruksi vena cava superior, pasca bedah abdomen, dialysis
peritoneal, dan atelectasis akut.

2. Eksudat
a) Infeksi (pneumonia, TBC, virus, jamur, parasit, dan abses)
b) Neoplasma (kanker paru, metastasis, limfoma, dan leukemia)
c) Emboli/infark paru-paru
d) Penyakit kolagen (SLE dan rheumatoid artritis)
e) Penyakit gastrointestinal (pankreatitis, rupture esophagus, dan abses
hepar)
f) Trauma (hemothoraks dan khilothoraks)
e. Patofisiologi
Cairan pleura normalnya hanya cukup untuk berfungsi sebagai
pelumas viseral dan parietal, sekitar 10-20 ml dalam rongga pleura. Jumlah
cairan dalam rongga pleura tetap, karena adanya tekanan hidrostatis pleura
parietalis sebesar 9 cmH2O. Akumulasi cairan pleura dapat terjadi apabila
tekanan

osmotik

koloid

menurun

(misalnya

pada

penderita

hipoalbuminemia), bertambahnya permeabilitas kapiler akibat ada proses


peradangan atau neoplasma, bertambahnya tekanan hidrostatis akibat
kegagalan jantung, dan tekanan negatif intrapleura apabila terjadi
atelektasis paru. Efusi pleura seringkali dibagi dalam kategori transudat
dan eksudat(Tambayong, 2000; Muttaqin, 2008).
Efusi pleura berarti terjadi penumpukan sejumlah besar cairan
bebas dalam kavum pleura. Kemungkinan proses akumulasi cairan di
rongga pleura terjadi akibat beberapa proses yang meliputi (Muttaqin,
2008):
1. Adanya hambatan drainase limfatik dari rongga pleura.
2. Gagal jantung yang menyebabkan tekanan kapiler paru dan tekanan
perifer menjadi sangat tinggi sehingga menimbulkan transudasi cairan
yang berlebihan ke dalam rongga pleura.
3. Menurunnya tekanan osmotik koloid plasma juga memungkinkan
terjadinya transudasi cairan yang berlebihan.

4. Adanya proses infeksi atau setiap penyebab peradangan apapun pada


permukaan pleura dari rongga pleura dapat menyebabkan pecahnya
membran kapiler dan memungkinkan pengaliran protein plasma dan
cairan ke dalam rongga pleura secara cepat.
Infeksi

akibat

bakteri

Mycobacterium

tuberculosis

yang

menyebabkan TBC dapat menimbulkan peradangan saluran getah bening


menuju hilus dan juga diikuti dengan pembesaran kelenjar getah bening
hilus. Peradangan pada saluran getah bening akan mempengaruhi
permeabilitas membran. Permeabilitas membran akan meningkat dan
akhirnya menimbulkan akumulasi cairan ke dalam rongga pleura
(Muttaqin, 2008).
f. Tanda dan Gejala
Tanda dan gejala yang umumnya muncul pada pasien dengan efusi pleura
meliputi sesak nafas, rasa berat pada dada, nyeri pleuritis akibat iritasi
pleura yang bersifat tajam dan terlokalisasi terutama pada saat batuk dan
bernafas, batuk produktif, berat badan menurun (Muttaqin, 2008).
g. Penatalaksanaan
Pengobatan terhadap pasien dengan efusi pleura adalah dengan mengatasi
penyakit yang mendasarinya, mencegah penumpukan kembali cairan, serta
mengurangi ketidaknyamanan dan dispneu (Somantri, 2007). Pengelolaan
efusi pleura ditujukan untuk pengobatan penyakit dasar dan pengosongan
cairan (thorakosintesis). Indikasi untuk melakukan thorakosintesis yaitu
(Muttaqin, 2008):
1. Menghilangkan sesak nafas yang disebabkan oleh akumulasi cairan
dalam rongga pleura.
2. Bila terapi spesifik pada penyakit primer tidak efektif atau gagal.
3. Bila terjadi reakumulasi cairan.
Pengambilan pertama cairan pleura, tidak boleh lebih dari 1000 cc, karena
pengambilan cairan pleura dalam waktu singkat dan dalam jumlah yang

banyak dapat menimbulkan edema paru yang ditandai dengan batuk dan
sesak. Kerugian thorakosintesis yaitu (Muttaqin, 2008):
1. Dapat menyebabkan kehilangan protein yang berada dalam cairan
pleura.
2. Dapat menimbulkan infeksi di rongga pleura.
3. Dapat terjadi penumothoraks.

Gambar 2. Thorakosintesis
h. Pemeriksaan Khusus dan Penunjang
1. Anamnesis
Anamnesis meliputi identitas pasien, keluhan utama, riwayat penyakit
saat ini, riwayat penyakit dahulu, dan riwayat penyakit keluarga.
2. Pemeriksaan fisik (Muttaqin, 2008)
a) B1 (Breathing)
1) Inspeksi
Peningkatan usaha dan frekuensi pernafasan yang disertai
penggunaan otot bantu pernafasan. Gerakan pernafasan ekspansi
dada yang asimetris (pergerakan dada tertinggal pada sisi yang
sakit), iga melebar, rongga dada asimetris (cembung pada sisi
yang sakit). pengkajian batuk yang produktif dengan sputum
yang purulen.
2) Palpasi

Pendorongan mediastinum ke arah hemithoraks kontralateral


yang diketahui dari posisi trachea dan ictus cordis. Taktil
fremitus menurun terutama untuk efusi pleura yang jumlah
cairannya > 300 cc. Di samping itu, pada palpasi juga ditemukan
pergerakan dinding dada yang tertinggal pada dada yang sakit.
3) Perkusi
Suara perkusi redup hingga pekak tergantung dari jumlah cairan
dalam rongga pleura.
4) Auskultasi
Suara nafas menurun sampai menghilang pada sisi yang sakit.
pada posisi duduk, cairan semakin ke atas semakin tipis.
b) B2 (Blood)
Pada pemeriksaan inspeksi, perlu diperhatikan letak ictus cordis
normal yang berada pada iCS 5 pada linea medio clavikulaus kiri
selebar 1 cm. Pemeriksaan ini bertujuan untuk mengetahui ada
tidaknya pergeseran jantung. Palpasi dilakukan untuk menghitung
frekuensi jantung dan harus diperhatikan kedalaman dan irama
jantung. Tindakan perkusi dilakukan untuk menentukan batas
jantung daerah mana yang terdengar pekak. Hal ini bertujuan untuk
menentukan apakah terjadi pergeseran jantung karena pendorongan
cairan efusi pleura. Auskultasi dilakukan untuk menentukan bunyi
jantung, apakah terdapat bunyi jantung tambahan akibat payah
jantung, dan bunyi murmur yang menunjukkan adanya peningkatan
arus turbulensi darah.
c) B3 (Brain)
Pada saat dilakukannya inspeksi, tingkat kesadaran perlu dikaji,
setelah

sebelumnya

diperlukan

pemeriksaan

GCS

untuk

menentukan apakah pasien dalam keadaan compos mentis,


somnolen, atau koma.
d) B4 (Bladder)

Pengukuran volume output urine dilakukan dalam hubungannya


dengan intake cairan. Oleh karena itu, perlu dimonitor adanya
oliguria yang merupakan tanda awal syok.
e) B5 (Bowel)
Pada saat inspeksi, hal yang perlu diperhatikan adalah apakah
abdomen membuncit atau datar, tepi perut menonjol atau tidak,
umbilicus menonjol atau tidak, selain itu juga perlu diinspeksi ada
tidaknya benjolan atau massa. Pada pasien biasanya didapatkan
keluhan mual dan muntah, penurunan nafsu makan, dan penurunan
berat badan.
f) B6 (Bone)
Hal yang perlu diperhatikan adalah edema peritibial, palpasi pada
kedua ekstremitas untuk mengetahui tingkat perfusi perifer, serta
dengan pemeriksaan CRT. Selanjutnya dilakukan pemeriksaan
kekuatan otot untuk kemudian dibandingkan antara kanan dan kiri.
3. Pemeriksaan laboratorium
Pemeriksaan laboratorium yang spesifik adalah dengan memeriksa
cairan pleura agar dapat menunjang intervensi lanjutan. Analisis cairan
pleura dapat dinilai untuk mendeteksi kemungkinan penyebab dari
efusi pleura. Pemeriksaan cairan pleura hasil thorakosintesis secara
makroskopis biasanya dapat berupa cairan hemoragi, eksudat, dan
transudat (Muttaqin, 2008).
4. Pemeriksaan radiologis
Pemeriksaan penunjang radiologis yang dapat dilakukan pada kasus
efusi pleura dan empiema meliputi foto thoraks, USG, dan CT scan.
Cairan pleura pada posisi tegak mengalami gravitasi pada bagian
paling bawah thoraks yang memberikan gambaran sinar-X dada
sebagai berikut (Patel, 2005):
a) Lesi opak homogen, umumnya dengan densitas yang sama dengan
bayangan jantung.
b) Hilangnya garis diafragma.

c) Tidak terlihatnya gambaran paru atau bronkus.


d) Batas atas cekung dengan level tertinggi pada aksila.
Seiring bertambah banyaknya cairan, terjadi pengurangan volume paru
dan terjadi retraksi ke arah hilus. Pada awalnya cairan berkumpul di
bagian posterior, kemudian menuju ruang kostofrenikus di bagian
lateral. Ketika cairan terdeteksi pada film dada PA standar, yang
ditandai oleh penumpulan sudut kostofrenikus, efusi pleura telah
mencapai volume 200-300 ml. Jika efusi bertambah luas, akan terjadi
pergeseran mediastinum ke arah yang berlawanan. Gambaran
radiologis efusi pleura berbeda-beda tergantung pada lokasi efusi.
a) Efusi subpulmonal
Disebabkan oleh pengumpulan cairan di antara diafragma dan
bagian inferior paru. Batas atas bayangan cairan berjalan parallel
dengan diafragma dan pada film dada PA akan menyerupai
gambaran diafragma tinggi.
b) Efusi yang terlokulasi
Cairan dapat terlokulasi pada fisura atau di dekat dinding dada, dan
keadaan

ini

kadang-kadang

terlihat

pada

gagal

jantung.

Ultrasonografi merupakan pemeriksaan yang sangat sensitif dalam


mendeteksi cairan pleura. CT scan juga memperlihatkan efusi
pleura dan berbagai kelainan yang terjadi.

Gambar 3. Gambaran radiologis efusi pleura


5. Biopsi pleura

Biopsi ini berguna untuk mengambil spesimen jaringan pleura melalui


biopsi jalur perkutaneus. Biopsi ini dilakukan untuk mengetahui
adanya sel-sel ganas atau kuman-kuman penyakit (Muttaqin, 2008).
6. Pengukuran fungsi paru (spirometri)
Penurunan kapasitas vital, peningkatan rasio udara residual ke
kapasitas total paru, dan penyakit pleural pada tuberculosis kronis
tahap lanjut (Muttaqin, 2008).
II. a. POHON MASALAH (PATHWAY)
TB paru, pneumonia
Gagal jantung kiri, gagal ginjal,Karsinoma
gagal fungsi
mediastinum,
hati
karsinoma paru
Akumulasi secret dalam alveoli
Peningkatan permeabilitas kapiler paru
Peningkatan tekanan hidrostatik di pembuluh darah
Atelektasis, hipoalbuminemia, inflamasi

Gangguan pertukaran gas


Ketidakseimbangan jumlah produksi cairan dengan absorpsi yang bisa dilakukan pleura viseralis
motikkoloid menurun, tekanan negatif intrapleura, peningkatan permeabilitas kapiler

Akumulasi cairan/nanah/pus dalam rongga pleura


Ketidakefektifan bersihan jalan nafas

Gangguan ventilasi, difusi, distribusi,


Iritasi
dan pleura/gesekan
transportasi oksigen
cairan dalam rongga pleura dengan pleura visera

PO2 menurun, PCO2 meningkat, sesak nafas, batuk produktif


Nyeri pleuritis
Penurunan ekspansi paru

Nyeri akut

Ketidakefektifan pola nafas


Ketakutan dan ancaman akan status kesehatan

Ansietas

b. MASALAH KEPERAWATAN DAN DATA YANG PERLU DIKAJI


1. Masalah Keperawatan
a) Ketidakefektifan bersihan jalan nafas
b) Ketidakefektifan pola nafas
c) Gangguan pertukaran gas
d) Nyeri akut
e) Ansietas
2. Data yang perlu dikaji
3. Pengkajian keperawatan
a) Anamnesis
1) Identitas pasien, meliputi nama pasien, umur, jenis kelamin,
agama, pendidikan, pekerjaan, status perkawinan, alamat, No.
RM, dan tanggal MRS.
2) Keluhan utama, biasanya pasien mengeluh sesak nafas, nyeri
pleuritis dan batuk produktif yang mungkin semakin bertambah
dari hari ke hari.
3) Riwayat penyakit sekarang, efusi pleura terjadi karena adanya
gangguan reabsorpsi cairan pleura dan peningkatan produksi
cairan pleura. Pasien mungkin mengeluhkan penurunan berat
badan, penurunan nafsu makan, dada terasa berat.
4) Riwayat penyakit dahulu, biasanya pasien dengan efusi pleura
memiliki riwayat penyakit gagal jantung kongestif, pneumonia
atau infeksi lainnya, hipertensi, dan penyakit yang berhubungan
dengan jantung dan paru-paru.
5) Riwayat penyakit keluarga.

b) Data fokus (berdasarkan pemeriksaan fisik)


1) Aktivitas dan istirahat
Gejala : kelemahan, kelelahan
Tanda : letargi, penurunan massa otot/tonus
2) Sirkulasi
Gejala : riwayat gagal jantung kongestif, jantung berdebardebar, nyeri dada
Tanda : peningkatan JVP, tekanan darah dan denyut nadi
meningkat (takikardia)
3) Eliminasi
Gejala : keluhan perubahan pola berkemih
Tanda : distensi abdomen (VU penuh), penurunan bising usus,
perubahan warna feses dan urin
4) Nutrisi
Gejala : anoreksia, tidak toleran terhadap makanan, mual,
muntah
Tanda : penurunan berat badan/peningkatan cairan, kulit kering,
turgor buruk, edema
5) Neurosensori
Gejala : disorientasi
Tanda : mungkin terdapat perubahan mental, bicara lambat/tidak
jelas, penurunan kesadaran
6) Nyeri/kenyamanan
Gejala : nyeri pleuritis, nyeri abdomen
Tanda : perilaku berhati-hati/distraksi, fokus pada diri sendiri
7) Respirasi/pernafasan
Gejala : dispnea, batuk produktif
Tanda : takipnea, pernafasan dangkal, bunyi nafas tambahan,
ekspansi paru terbatas, hipoksia
8) Keamanan
Gejala : keluhan demam

Tanda : demam, edema


9) Seksualitas
Gejala : perubahan pola seksualitas
Tanda :c) Pemeriksaan penunjang
1) Pemeriksaan radiologi (foto rontgen sinar X).
2) Pemeriksaan laboratorium.
3) Pencitraan (MRI, CT scan, USG)
4) Pemeriksaan EKG.
III.DIAGNOSA KEPERAWATAN
a. Ketidakefektifan bersihan jalan nafas berhubungan dengan akumulasi
secret/cairan dalam alveoli.
b. Ketidakefektifan pola nafas berhubungan denganpenurunan ekspansi
paru.
c. Gangguan pertukaran gas berhubungan dengan kerusakan membran
kapiler alveoli.
d. Nyeri akut berhubungan dengan iritasi pleura/pergesekan cairan dalam
rongga pleura.
e. Ansietas berhubungan denganketakutan dan ancaman akan status
kesehatan.

IV. INTERVENSI KEPERAWATAN


f.
No
l.
1.

g.

Diagnosa
keperawatan
m. Ketidakef
ektifan
bersihan
jalan
nafas
berhubun
gan
dengan
akumulas
i
secret/cai
ran
dalam
alveoli.

h.

Tujuan

n.
Setelah
dilakukan tindakan
keperawatan selama
1x24 jam, bersihan
jalan nafas menjadi
efektif
o.
p.
NOC :
Respiratory status :
ventilation
Respiratory status :
Airway patency
q.

i.

Kriteria hasil

a. Mendemonstrasikan batuk
efektif dan suara nafas yang
bersih, tidak ada sianosis dan
dispneu (mampu
mengeluarkan sputum,
mampu bernafas dengan
mudah)
b. Menunjukkan jalan nafas
yang paten (tidak merasa
tercekik, irama nafas dan
frekuensi nafas dalam rentang
normal, tidak ada suara nafas
abnormal)
c. Mampu mengidentifikasi dan
mencegah faktor yang dapat
menghambat jalan nafas

j.

a.

b.

c.

d.

e.

f.

Intervensi keperawatan
r. NIC :
s. AirwaySuction
t.
Kaji karakteristik pernafasan
pasien (suara nafas, frekuensi
pernafasan, suara nafas
tambahan)
u.
v.
w.
x.
Auskultasi suara nafas sebelum
dan sesudah suction
y.
z.
Berikan informasi pada pasien
dan keluarga mengenai
prosedur tindakan dan kondisi
penyakit pasien
Lakukan fisioterapi dada jika
perlu
aa.
Lakukan suction secara
maksimal sesuai dengan SOP
ab.
Kolaborasi dalam pemberian

k.

a.

b.

c.

d.

e.

f.

Rasional

ac.
ad.
ae.
Adanya secret/cairan pada
jalan nafas menyebabkan
suara nafas ronkhi dan sesak
nafas pada pasien, dan
menjadi pedoman dalam
menentukan intervensi yang
tepat bagi pasien
Mengevaluasi keberhasilan
tindakan suction dalam
mengurangi secret/cairan
Informed consent,
memfasilitasi pengetahuan
pasien dan keluarga
af.
Fisioterapi dada dapat
membantu memobilisasi dan
mengeluarkan sekret
Tindakan suction bertujuan
untuk menghisap secret agar
jalan nafas menjadi bersih
Pemberian obat mukolitik
bertujuan untuk

obat mukolitik
ag.
2.

ah. Ketidakef
ektifan
pola
nafas
berhubun
gan
dengan
penuruna
n
ekspansi
paru.

ai.
Setelah
dilakukan tindakan
keperawatan
selama1 x24 jam,
pola nafas pasien
menjadi efektif.
aj.
ak.
NOC :
Respiratory status :
ventilation
Respiratory status :
airway patency
al.

a. Mendemonstrasikan batuk
am.NIC:
an. Airway Management
efektif dan suara nafas yang
ao.
bersih, tidak ada sianosis dan
a.
Kaji
kepatenan jalan nafas
dispneu (mampu
pasien
mengeluarkan sputum,
ap.
mampu bernafas dan mudah)
aq.
b. Menunjukkan jalan nafas
ar.
yang paten (tidak merasa
b. Auskultasi suara nafas, catat
tercekik, irama nafas dan
adanya suara tambahan
frekuensi nafas dalam rentang
as.
normal, tidak ada suara nafas
at.
c. Posisikan pasien untuk
abnormal)
c. Tanda-tanda vital dalam
memaksimalkan ventilasi
au.
rentang normal
av.
d. Monitor respirasi dan status O2

a.

b.

c.

d.

aw.
ax.
ay.

e. Kolaborasi dalam pemberian


obat bronkodilator

bc.
3.

bd. Ganggua
n
pertukara

be. Setelah
dilakukan
tindakan

a. Mendemonstrasikan
peningkatan ventilasi dan
oksigenasi yang adekuat

bh. NIC :
bi. Oxygen Therapy
bj.

e.

menghancurkan sekret agar


mudah dikeluarkan.
az.
ba.
bb.
Mengidentifikasi apakah
terdapat obstruksi akibat
pada jalan nafas pasien,
menjadi pedoman dalam
menentukan intervensi
Adanya penumpukan cairan
dan secret dapat
menimbulkan suara ronkhi.
Posisi pasien yang tepat akan
membantu udara yang keluar
masuk paru-paru berjalan
optimal
Penurunan ekspansi paru
dapat menyebabkan
penurunan intake O2 saat
inspirasi sehingga tubuh
mengalami kekurangan O2
Obatbronkodilator
membantu melebarkan jalan
nafas pasien
bw.
bx.
by.

n gas
berhubun
gan
dengan
kerusaka
n
membran
kapiler
alveoli.

keperawata
n selama 1
x 24 jam,
pertukaran
gas tidak
mengalami
gangguan.
bf.
bg. NOC:
-Respiratory status :
gas exchange
-Respiratory status :
ventilation
-Vital sign status

b. Memelihara kebersihan paru- a. Catat frekuensi dan kedalaman


paru dan bebas dari tandapernafasan, retraksi, pernafasan
tanda distress pernafasan
cuping hidung, ada tidaknya
c. Mendemonstrasikan batuk
bunyi nafas tambahan
efektif dan suara nafas yang
b. Observasi perfusi daerah akral
bersih, tidak ada sianosis dan
dan sianosis, lakukan tindakan
dispneu (mampu
untuk memperbaiki jalan nafas
bk.
mengeluarkan sputum, mampu
bl.
bernafas dengan mudah)
bm.
d. Tanda-tanda vital dalam
bn.
rentang normal
bo.
c. Tinggikan kepala/tempat tidur
sesuai kebutuhan
bp.
bq.
br.
bs.
d. Kaji tingkat kesadaran
bt.
bu.
bv.
e. Kolaborasi dalam pemeriksaan
GDA dan pemberian terapi
oksigen dengan metode yang
tepat
f. Monitor aliran oksigen dan
respon pasien terhadap
oksigenasi

a. Takipnea dan dispnea


menyertai obstruksi paru
bz.
ca.
cb.
b. Area yang tak terventilasi
dapat diidentifikasi dengan
tidak adanya bunyi nafas,
perbaikan jalan nafas
bertujuan untuk
mengidentifikasi adanya
hipoksemia sistemik dan
mengoptimalkan ventilasiperfusi
c. Meningkatkan ekspansi dada
maksimal sehingga membuat
pasien lebih mudah bernafas
dan meningkatkan
kenyamanan pasien
d. Hipoksemia sistemik dapat
ditunjukkan pertama kali
oleh kegelisahan dan
penurunan kesadaran
e. Memaksimalkan sediaan
oksigen untuk pertukaran gas
cc.
f. Memastikan bahwa aliran
oksigen adekuat dan pasien

cd.
4.

ce.
Nyeri akut
berhubungan
dengan iritasi
pleura/pergesekan
cairan dalam
rongga pleura.

cf. Setelah
dilakukan
tindakan
keperawata
n selama 1
x 24 jam,
nyeri yang
dirasakan
pasien
berkurang.
cg.
ch. NOC :
-Pain level
-Pain control
-Comfort level

a. Mampu mengontrol nyeri


(tahu penyebab nyeri, mampu
menggunakan teknik
nonfarmakologi untuk
mengurangi nyeri)
b. Melaporkan bahwa nyeri
berkurang dengan
menggunakan manajemen
nyeri
c. Mampu mengenali nyeri
(skala, intensitas, frekuensi
dan tanda nyeri)
d. Menyatakan rasa nyaman
setelah nyeri berkurang

a.

b.

c.

d.

e.

ci. NIC :
cj. Pain Management
ck.
Kaji karakteristik pasien secara
PQRST
cl.
cm.
cn.
co.
Lakukan manajemen nyeri
sesuai skala nyeri misalnya
pengaturan posisi fisiologis
cp.
Ajarkan teknik relaksasi seperti
nafas dalam pada saat rasa nyeri
datang
cq.
cr.
cs.
Ajarkan metode distraksi
ct.
cu.
cv.
cw.
cx.
Beri manajemen sentuhan
berupa pemijatan ringat pada

a.

b.

c.

d.

e.

merasa nyaman dengan


adanya terapi oksigenasi
db.
dc.
dd.
Membantu dalam
menentukan status nyeri
pasien dan menjadi data
dasar untuk intervensi dan
monitoring keberhasilan
intervensi
Meningkatkan rasa nyaman
dengan mengurangi sensasi
tekan pada area yang sakit
Hipoksemia lokal dapat
menyebabkan rasa nyeri dan
peningkatan suplai oksigen
pada area nyeri dapat
membantu menurunkan rasa
nyeri
Pengalihan rasa nyeri dengan
cara distraksi dapat
meningkatkan respon
pengeluaran endorphin untuk
memutus reseptor rasa nyeri
Meningkatkan respon aliran
darah pada area nyeri dan
merupakan salah satu

f.

g.
de.
5.

df.
Ansietas
berhubungan
dengan ketakutan
dan ancaman akan
status kesehatan.

dg.
Setelah
dilakukan tindakan
keperawatan selama
1x24 jam, ansietas
berkurang
dh.
di.
NOC :
- Anxiety self-control
- Anxiety level

a. Mampu mengidentifikasi dan


mengungkapkan gejala cemas
b. Mengidentifikasi,
mengungkapkan dan
menunjukkan teknik untuk
mengontrol cemas
c. Tanda-tanda vital dalam
rentang normal
d. Postur tubuh ekspresi wajah,
bahasa tubuh dan tingkat
aktivitas menunjukkan
berkurangnya kecemasan

a.

b.

c.

d.

area sekitar nyeri


cy.
cz.
Beri kompres hangat pada area
nyeri
da.
Kolaborasi dengan pemberian
analgesik secara periodik
dj. NIC:
dk. Anxiety Reduction
dl.
Identifikasi tingkat kecemasan
pasien
dm.
dn.
do.
dp.
dq.
dr.
Jelaskan semua prosedur dan
apa yang dirasakan selama
prosedur
ds.
dt.
du.
Pahami perspektif pasien
terhadap kecemasan
dv.
Dorong keluarga untuk

metode pengalihan perhatian


f. Meningkatkan respon aliran
darah pada area nyeri
g. Mempertahankan kadar obat
dan menghindari puncak
periode nyeri

a.

b.

c.

d.

e.

eb.
ec.
ed.
Mengidentifikasi seberapa
jauh penyakit menyebabkan
kecemasan pada pasien dan
merupakan pedoman dalam
menentukan intervensi yang
tepat bagi pasien
Memfasilitasi pengetahuan
pasien terhadap tindakan
yang akan dilakukan dan
memberi ketenangan pada
pasien
Membantu menentukan
teknik untuk mengurangi
kecemasan pada pasien
Mencegah pasien mengalami
ansietas yang berlebihan
ee.
Mencegah pasien mengalami

senantiasa menemani pasien


dan memberikan ketenangan
pada pasien
e. Bantu pasien untuk mengenal
f.
situasi yang dapat menyebabkan
cemas
dw.
dx.
g.
f. Berikan informasi mengenai
kondisi penyakit pasien
dy.
dz.
ea.
h.
g. Dorong pasien untuk
mengungkapkan perasaan,
ketakutan, dan persepsi
terhadap rasa sakit yang
dialaminya
h. Kolaborasikan pemberian obat
untuk menenangkan pasien

cemas yang berulang akibat


ketidakmampuan dalam
mengenal situasi
Memfasilitasi pengetahuan
pasien mengenai kondisi
penyakitnya dan memberi
ketenangan pada pasien
Mengurangi beban pasien
terhadap ansietas yang
dirasakan
ef.
eg.
Mengurangi ansietas yang
dirasakan pasien

eh.

DAFTAR PUSTAKA
ei.

ej. Joane. 2004. Nursing Intervention Classification. Mosby : USA.


ek. Joane. 2004. Nursing Outcomes Classification. Mosby : USA.
el. Muttaqin, A. 2008. Buku Ajar Asuhan Keperawatan Klien dengan Gangguan
Sistem Pernafasan. Jakarta: Salemba Medika.
em. Nurarif, A.H,& Kusuma, H.K. 2013. Aplikasi Asuhan Keperawatan
Berdasarkan Diagnosa Medis & NANDA NIC-NOC. Yogyakarta : Media
Action Publishing.
en. Patel, P. R. 2005. Lecture Notes: Radiologi. Jakarta: Erlangga.
eo. Smeltzer, SC., Bare B.G. 2002. Keperawatan Medikal Bedah Brunner dan
Suddarth. Jakarta : EGC.
ep. Somantri, I. 2007. Keperawatan Medikal Bedah: Asuhan Keperawatan pada
Pasien dengan Gangguan Sistem Pernafasan. Jakarta: Salemba Medika.
eq. Tambayong, J. 2000. Patofisiologi untuk keperawatan. Jakarta: EGC.
er.

Anda mungkin juga menyukai