Anda di halaman 1dari 15

BAB I

PENDAHULUAN
Anemia aplastik merupakan gangguan hematopoisis yang ditandai oleh
penurunan produksi eritroid, mieloid dan megakariosit dalam sumsum tulang
dengan akibat adanya pansitopenia pada darah tepi, serta tidak dijumpai adanya
keganasan sistem hematopoitik ataupun kanker metastasik yang menekan sumsum
tulang. Aplasia ini dapat terjadi hanya pada satu, dua atau ketiga sistem
hematopoisis. Aplasia yang hanya mengenai sistem eritropoitik disebut anemia
hipoplastik (eritroblastopenia), yang hanya mengenai sistem granulopoitik disebut
agranulositosis sedangkan yang hanya mengenai sistem megakariosit disebut
Purpura Trombositopenik Amegakariositik (PTA). Bila mengenai ketiga sistem
disebut panmieloptisis atau lazimnya disebut anemia aplastik. Menurut The
International Agranulocytosis and Aplastic Anemia Study (IASS) disebut anemia
aplastik bila : kadar haemoglobin 10 g/dl atau hematokrit 30%, hitung
trombosit 50.000/mm3 ; hitung leukosit 3.500/ mm 3 atau granulosit 1.5 x
109/l. 1
Anemia aplastik relatif jarang ditemukan namun berpotensi mengancam
jiwa. Penyakit ini ditandai oleh pansitopenia dan aplasia sumsum tulang.
Pansitopenia adalah keadaan defisiensi pada semua elemen sel darah (eritrosit,
leukosit dan trombosit). Terjadinya pansitopenia dikarenakan oleh menurunnya
produksi sumsum tulang atau dikarenakan meningkatnya destruksi perifer.2
Anemia aplastik adalah kegagalan sumsum tulang baik secara fisiologis
maupun anatomis. Penyakit ini ditandai oleh penurunan atau tidak ada faktor
pembentuk sel darah dalam sumsum tulang, pansitopenia darah perifer, tanpa
disertai hepatosplenomegali atau limfadenopati. Penanganan anemia aplastik
masih merupakan masalah yang penting karena patofisiologi penyakit ini masih
belum pasti. Tata laksana anemia aplastik terdiri dari tata laksana suportif terhadap
keadaan yang disebabkan oleh pansitopenia seperti anemia, infeksi dan
perdarahan, serta tata laksana serta pengobatan yang bertujuan untuk mengganti

sel induk yang gagal dalam memproduksi sel-sel darah dan menekan proses
imunologis yang terjadi. Tata laksana kuratif terdiri dan transplantasi sumsum
tulang dan penggunaan obat-obat imunosupresan. Namun demikian tata laksana
anemia aplastik baik yang bersifat suportif maupun kuratif, dapat menimbulkan
masalah-masalah yang mempengaruhi prognosis pasien. Prognosis pasien anemia
aplastik umumnya buruk, sekitar dua pertiga pasien meninggal setelah 6 bulan
diagnosis ditegakkan sebagai anemia aplastik. 3

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Definisi
Anemia aplastik didefinisikan sebagai kegagalan sumsum tulang
untuk memproduksi komponen sel-sel darah. Anemia aplastik adalah anemia
yang disertai oleh pansitopenia pada daerah tepi yang disebabkan kelainan
primer pada sumsum tulang dalam bentuk aplasia atau hipoplasia tanpa
adanya infiltrasi, supresi atau pendesakan sumsum tulang. Pansitopenia
sendiri adalah suatu keadaan yang ditandai oleh adanya anemia, leukopenia,
dan trombositopenia dengan segala manifestasinya. 4
B. Epidemiologi
Anemia aplastik merupakan penyakit yang berat dan kasusnya jarang
dijumpai. The International Aplastic Anemia and Agranulocytosis Study
menemukan insiden terjadinya anemia aplastik di Eropa sekitar 2 dari
1.000.000 pertahun. Insiden di Asia 2 sampai 3 kali lebih tinggi di
bandingkan di Eropa. Di Cina insiden diperkirakan 7 kasus per 1.000.000
orang dan di Thailand diperkirakan 4 kasus per 1.000.000 orang. Frekuensi
tertinggi terjadi pada usia 15 dan 25 tahun, puncak tertinggi kedua pada usia
65 dan 69 tahun. 4
Anemia aplastik merupakan penyakit yang jarang ditemukan didunia.
Perbandingan insiden antara laki-laki dan perempuan kira-kira 1:1, meskipun
dari beberapa data menunjukkan laki-laki sedikit lebig sering terkena anemia
aplastik. Perbedaan insidens yang mungkin terjadi di beberapa tempat
mungkin karena perbedaan resiko okupasional, variasi geografis dan
pengaruh lingkungan. Anemia aplastik terjadi pada semua umur, dengan
awitan klinis pertama terjadi pada usia 1,5 tahun sampai 22 tahun, dengan
rerata 6-8 tahun. Di Departemen Ilmu Kesehatan Anak FKUI-RSCM dalam

kurun satu tahun (Mei 2002-Mei2003) terdapat 9 kasus anemia aplastik, 4


anak perempuan dan 5 anak laki-laki. 3
C. Etiologi
Penyebab anemia aplastik sendiri sebagian besar (50-70%0 tidak
diketahui atau bersifat idiopatik disebabkan karena proses penyakit yang
berlangsung perlahan-lahan. Anemia aplastik biasanya disebabkan oleh dua
faktor penyebab yaitu faktor primer dan sekunder. Untuk faktor primer
disebabkan kelainan kongenital (fanconi, nonFanconi dan dyskeratosis
congenital) dan idiopatik. Faktor sekunder yang berasal dari luar tubuh, bisa
diakibatkan oleh paparan radiasi bahan kimia dan obat, ataupun oleh karena
penyebab lain seperti infeksi virus (hepatitis, HIV, dengue), radiasi, dan
akibat kehamilan. 4
D. Patofisiologi
Penyebab anemia aplastik sulit ditemukan, terutama karena banyak
kemungkinan yang harus disingkirkan. Jika tidak ditemukan penyebab yang
pasti maka digolongkan kedalam penyebab idiopatik. Pendapat lain
menyatakan bahwa penyebab terbanyak dari kegagalan sumsum tulang adalah
iatrogenik karena kemoterapi sitostatik atau terapi radiasi. Kerusakan yang
terjadi pada anemia aplastik terdapat pada sel induk dan ketidakmampuan
jaringan sumsum tulang untuk memberi kesempatan sel induk untuk tumbuh
dan berkembang dengan baik. Hal ini berkaitan erat dengan mekanisme yang
terjadi

seperti

toksisitas

langsung

atau

defisiensi

sel-sel

stormal.

Penyimpangan proses imunologis yang terjadi pada anemia aplastik


berhubungan dengan infeksi virus atau obat-obatan yang digunakan, atau zatzat kimia. 3

Gambar 1. Hematopoesis, pembentukan sel darah.


Hematopoesis

normal

yang

terjadi

didalam

sumsum

tulang,

merupakan interaksi antara progenitor hematopoetik stem scell dengan


lingkungan mikro (microinvironment) pada sumsum tulang. Lingkungan
mikro tersebut mengatur hematopoesis melalui reaksi stimulasi oleh faktor
pertumbuhan hematopoetik. Sel-sel hematologik imatur dapat terlihat dengan
pemeriksaan flouresent activate flow citometry yang dapat mendeteksi sel
antigen CD34+ dan adhesi protein kurang dari 1% pada sumsum tulang
normal. Anemia aplastik dapat terjadi secara heterogen melalui beberapa
mekanisme yaitu kerusakan pada lingkungan mikro, gangguan produksi atau
fungsi dan faktor-faktor pertumbuhan hematopoetik, dan kerusakan sumsum
tulang melalui mekanisme imunologis. 3
Limfosit T sitototoksik aktif, memegang peran yang besar dalam
kerusakan jaringan sumsum tulang melalui pelepasan limfokin seperti
interferon- (IFN-) dan tumor necrosis factor (TNF-). Peningkatan
produksi interleukin-2 mengawali terjadinya ekspansi poliklonal sel T.
Aktivasi reseptor fas melalui fas-ligand menyebabkan terjadinya apoptosis sel
target. Efek IFN- melalui interferon regulatory factor 1 (IRF-1), adalah
menghambat transkripsi gen dan masuk ke dalam siklus sel. IFN- juga
menginduksi pembentukan nitricoxide synthase (NOS), dan produksi gas
toksik nitric oxide (NO) yang mungkin menyebabkan efek toksiknya
menyebar. 3

Patofisiologi dari enmia aplastik bisa disebabkan oleh dua hal yaitu
kerusakan pada sel induk pluripoten yaitu sel yang mampu berproliferasi dan
berdeferensiasi menjadi sel-sel darah yang terletak di sumsum tulang dan
karena kerusakan pada microenvirontment. Gangguan pada sel induk
pluripoten ini menjadi penyebab utama terjadinya anemia aplastik. Sel induk
pluripoten yang mengalami gangguan gagal membentuk atau berkembang
menjadi sel-sel darah yang baru. Umumnya hal ini dikarenakan kurangnya
jumlah sel induk pluripoten ataupun karena fungsinya yang menurun.
Penanganan yang tepat untuk individu anemia aplastik yang disebabkan oleh
gangguan pada sel induk adalah terapi sumsum tulang.
Kerusakan

microenvirontment,

ditemukan

gangguan

pada

mikrovaskuler, faktor humoral (misalkan eritropoetin) maupun bahan


penghambat pertumbuhan sel. Hal ini mengakibatkan gagalnya jaringan
sumsum tulang untuk berkembang. Gangguan pada microenvirontment
berupa kerusakan lingkungan sekitar sel induk pluripoten sehingga
menyebabkan kehilangan kemampuan sel tersebut untuk berdiferensiasi
menjadi sel-sel darah. Selalin itu pada beberapa penderita anemia aplastik
ditemukan sel inhibitor atau penghambat pertumbuhan sel. Hal ini dapat
dibuktikan dengan adanya limfosit T yang menghambat pertumbuhan sel-sel
sumsum tulang. 4
E. Manifestasi Klinis
Gejala-gejala yang timbul dari penderita anemia aplastik akan sesuai
dengan jenis sel-sel darah yang mengalami penurunan. 4
1. Jika eritrosit yang menurun, maka akan menimbulkan gejala anemia dari
ringan sampai berat, antara lain lemah, letih, lesu, pucat, pusing, sesak
nafas, penurunan nafsu makan dan palpitasi.
2. Jika leukosit yang menurun, maka terjadi peningkatan resiko infeksi,
penampakan klinis yang paling sering nampak adalah demam dan nyeri.

3. Jika trombosit yang menurun, maka akan mudah mengalami perdarahan


seperti perdarahan gusi, epiktaksis, petekie, dan lain-lain.
F. Diagnosis
Diagnosis

anemia

aplastik

ditegakkan

berdasarkan

keadaan

pansitopneia yang ditandai oleh anemia, leukopenia dan trombositopenia pada


darah tepi. Keadaan inilah yang menimbulkan keluhan pucat, perdarahan dan
demam yang disebabkan oleh infeksi. Pada pemeriksaan fisik, tidak
ditemukan hepatosplenomegali atau limfadenopati. Di samping keadaan
pansitopenia, pada hitung jenis juga menunjukkan gambaran limfositosis
relatif. Diagnosis pasti anemia aplastik ditentukan berdasarkan pemeriksaan
aspirasi sumsum tulang yang menunjukkan gambaran sel yang kurang,
terdapat banyak jaringan ikat dan jaringan lemak, dengan aplasi sistem
eritropoetik, granulopoetik dan trombopoetik. 3
1. Anamnesis
Dari anamnesis bisa kita dapatkan keluhan pasien mengenai
gejala-gejala seputar anemia seperti lemah, letih, lesu, pucat, pusing,
penglihatan terganggu, nafsu makan menurun, sesak nafas serta
jantung yang berdebar. Selain gejala anemia bisa kita temukan
keluhan seputar infksi seperti demam, nyeri badan ataupun adanya
riwayat terjadinya perdarahan. Kita juga bisa menanyakan apakah
anggota keluarga lain mengeluhkan gejala seperti ini atau apakah
gejala ini sudah terlihat sejak masih kecil atau tidak? Dimana nantinya
akan dapat mengetahui penyebab dari anemia aplastik sendiri, apakah
karena bawaan (kongenital) atau karena didapat. 4
2. Pemeriksaan Fisik
Kita akan menegaskan kembali apa yang sudah dikeluhkan oleh
pasien dengan melakukan pemeriksaan fisik dimana nantinya akan
kita dapatkan tanda-tanda dari gejala anemia misalnya konjungtiva,
mukosa serta ekstremitas yang pucat. Adanya perdarahan pada gusi,

retina, hidung, kulit, melena dan hematemesis (mutah darah) serta


tanda-tanda peradangan. 4
3. Pemeriksaan Penunjang
-

Pemeriksaan Darah Lengkap


Pada pemeriksaan darah lengkap kita dapat mengetahui
jumlah masing-masing sel darah baik eritrosit, leukosit maupun
trombosit. Apakah mengalami penurunan atau pansitopenia.
Pasien dengan anemia aplastik mempunyai bermacam-macam
derajat pansitopenia. Tetapi biasanya pada stadium awal penyakit,
pansitopenia tidak selalu ditemukan. Anemia dihubungkan
dengan indeks retikulosit yang rendah, biasanya kurang dari 1%
dan kemungkinan nol walaupun eritropoetinnya tinggi. Jumlah
retikulosit absolut kurang dari 40.000/L (40x109/L). Jumlah
monosit dan neutrofil rendah. Jumlah neutrofil absolut kurang
dari 500/L (0,5x109/L) serta jumlah trombosit yang kurang dari
30.000/L (30x109/L) mengindikasikan derajat anemia yang berat
dan jumlah neutrofil dibawah 200/L (0,2x109/L) menunjukkan
derajat penyakit yang sangat berat. Jenis anemia aplastik adalah
anemia normokrom normositer. Adanya eritrosit muda atau
leukosit muda dalam dara tepi menandakan bukan anemia
aplastik. Presentase retikulosit umumnya normal atau rendah. Ini
dapat dibedakan dengan anemia hemolitik dimana dijumpai sel
eritrosit muda yang ukurannya lebih besar dari yang tua dan
presentase retikulosit yang meningkat. 4

Gambar 2. Hapusan darah tepi pada anemia aplastik


-

Pemeriksaan sumsum tulang


Pada pemeriksaan sumsum tulang dilakukan pemeriksaan
biopsi dan aspirasi. Bagian yang akan dilakukan biopsi dan
aspirasi dari sumsum tulang adalah tulang pelvis, sekitar 2 inchi
disebelah tulang belakang. Pasien akan diberikan lokal anastesi
untuk menghilangkan nyerinya. Kemudian akan dilakukan
sayatan kecil pada kulit, sekitar 1/8 inchi untuk memudahkan
masuknya jarum. Untuk aspirasi digunakan jarum yang ukuran
besar untuk mengambil sedikit cairan sumsum tulang. Untuk
biopsi, akan diambil potongan kecil berbentuk bulat dengan
diameter kurang lebih 1/16 inchi dan panjangnya 1/3 inchi dengan
menggunakan jaru,. Kedua sampel ini diambil di tempat yang
sama, dibelakang dari tulang pelvis dan pada prosedur yang
sama.4
Pemeriksaan sumsum tulang akan menunjukkan secara
tepat jenis dan jumlah sel dari sumsum tulang yang sudah
ditandai, evel dari sel-sel muda pada sumsum tulang (sel darah
putih yang imatur) dan kerusakan kromosom (DNA) pada sel-sel
dari sumsum tulang yang biasa disebut kelainan sitogenik. Pada
anaplastik didapat, tidak ditemukan adanya kelainan kromosom.
Pada sumsum tulang yang normal 40-60% dari ruang sumsum

secara khas diisi dengan sel-sel hematopoetik (tergantung umur


pasien). Pada pasien anemia aplastik secara khas akan terlihat
hanya ada beberapa sel hematopoetik dan lebih banyak diisi oleh
sel-sel stroma dan lemak. Pada leukemia atau keganasan lainnya
juga menyebabkan penurunan jumlah sel-sel hematopoetik namun
dapat dibedakan dengan anemia aplastik. Pada leukemia atau
keganasan lainnya terdapat sel-sel leukemia atau sel-sel kanker. 4

Gambar 3. Gambaran sumsum tulang normal (kiri) dan sumsum


tulang pada pasien anemia aplastik (kanan).
G. Tata Laksana
1. Terapi Suportif
Tata laksana suportif ditujukan pada gejala-gejala akibat
keadaan pansitopenia yang ditimbulkan. Untuk mengatasi keadaan
anemia dapat diberikan transfusi leukocyte-poor red cell yang bertujuan
mengurangi sensitisasi terhadap HLA (human leukocyte antigen),
menurunkan kemungkinan transmisi infeksi hepatis, virus sitomegali dan
toksoplasmosis, pada beberapa kasus mencegah graft-versus host disease
(GVHD). Transfusi ini dapat berlangsung berulang-ulang sehingga perlu
diperhatikan efek samping dan bahaya trasnfusi seperti reaksi transfusi,
hemolitik dan non hemolitik, transmisi penyakit infeksi, dan penimbunan
zat besi. 3
Perdarahan yang sering terjadi menyebabkan kematian. Untuk
mencegah perdarahan terutama pada organ vital dapat dilakukan dengan

mempertahankan jumlah trombosit di atas 20.000/uL. Hal inidapat


dilakukan dengan transfusi suspensi trombosit. Perlu diingatkan bahwa
pemberian suspensi trombosit dapat menyebabkan keadaan isoimunisasi
apabila dilakukan lebih dari 10 kali, dan keadaan ini dapat mempengaruhi
keberhasilan terapi. Isuimunisasi dapat dicegah dengaan pemberian
trombosit dengan HLA yang kompatible dengan pasien. Bila perdarahan
menetap dapat ditambahkan antifibrinolisis. 3
2. Medikamentosa
Tata laksana anemia aplastik dengan obat-obatan diberikan pada
pasien anemia aplastik derajat ringan, pasien yang tidak mendapatkan
donor yang sesuai untuk transplantasi, dan pasien yang mempunyai
kontra-indikasi untuk dilakukannya transplantasi sumsum tulang. Tujuan
pemberian

obat-obatan

untuk

mengurangi

morbiditas,

mencegah

komplikasi dan eradikasi keganasan.


Imunosupresan- Metilprednisolon
Beberapa penelitian menunjukkan bahwa metilprednisolon dosis
rendah 2-4 mg/kgBB/hari, dapat digunakan untukn mengurangi
perdarahan dan gejala serum sicnkness. Metilprednisolon dosis tinggi
memberikan respon pengobatan yang baik sampai 40%. Dosis
meetilprednisolon adalah 5 mg/kgBB secara IV selama 8 hari kemudian
dilakukan tapering dengan dosis 1 mg/kgBB/hari selama 9-14 hari, lalu
tappering selama 15-29 hari. Pemakaian kortikosteroid dibatasi pada
keadaan antilimfosit globulin tidak terseida atau terlalu mahal. Efek
samping antara lain ulkus peptikum, edem, hiperglikemia, dan
osteonekrosis. 3
Antilimfosit Globulin (ALG)
Antilimfosit globulin adalah sitolitik sel T yang bersama dengan
siklosponin berperan dalam menghambat fungsi sel T, khususnya dalam
memprodukasi limfokin-limfokin supresi. Pemberian ALG secara cepat
akan mengurangi limfosit dalam sirkulasi sehingga berkurang 10%, dan
ketika limfosit total kembali normal berarti limfosit T aktif jumlahnya

10

berkurang. Sediaan ALG invitro merangsang proliferasi sel T dan


mempromosikan sekresi beberapa faktor pertumbuhan. Antilimfosit
globulin dapat diberika dengan dosis 40 mg/kgBB/hari selama 12 jam
dilanjutkan dengan infus yang dikombinasikan dengan metilprednisolon 1
mg/kgBB/hari IV selama 4 hari. Dapat juga diberikan dosis 20 mg?
kgBB/hari selama 4-6 jam dengan infus intravena selama 8 hari berturutturut yang dikombinasikan dengan prednison 40 mg/m2/hari selama 5
hari dimulai pada hari terakhir pemberian ALG.
3. Transplantasi Sumsum tulang
Transplatasi sumsum tulang pada kasus anemia aplastik berat
pertama kali dilakukan pada tahun 1970. Sayangnya hanya 25-30%
pasien yang mendapatkan donor yang diharapkan. Pengobatan anemia
aplastik dengan transplantasi sumsum utlang meningkatkan angka
kesintasan sekitar 60-70%. Pasien berusia muda tanda transfusi berulang
mempunyai respon yang lebih baik lagi sekitar 85-95% karena limfosit
pasien tersebut belum tersensitisasi oleh paparan antigen sebelumnya.
penelitian lain yang dilakukan terhadap 212 pasien anemia aplastik
didapatkan

bahwa

transplantasi

sumsum

tulang

menyebabkan

hematopoesis menjadi normal dengan penyebab morbiditas dan


mortalitas yang utama akibat graft versus host disease (GVHD) kronik.
Penelitian yang dilakukan terhadap 6.691 pasien yang dilakukan
transplantasi sumsum tulang alogenik ternyata kemungkinan dapat
sembuh lebih besar, meskipun beberapa tahun setelah transplantasi
mortalitasnya lebih tinggi dibandingkan populasi normal. Komplikasi
transplantasi sumsum tulang yang paling sering adalah GVHD, graft
failure dan infeksi.
H. Prognosis
Prognosis penyakit ini sukar diramalkan namun pada umumnya buruk,
karena seperti telah dikemukakan baik etiologi maupun patofisiologinya
sampai sekarang belum jelas. Sekitar dua pertiga pasien meninggal sekitar 6

11

bulan setelah diagnosis ditegakkan, kurang dari 10-20 % sembuh tanpa


transplantasi sumsum tulang dan sepertiga pasien meninggal akibat
perdarahan dan infeksi yang tidak teratasi. Penyebab kematian pada
umumnya adalah sepsis akibat infeksi Pseudomonas dan stafilokokus. Oleh
karena itu, menentukan prognosis pasien anemia aplastik penting karena akan
menentukan terapi yang sesuai. 3
Beberapa hal yang dapat dijadikan pedoman dalam menentukan
prognosis pasien anemia aplastik adalah usia pasien, gambaran sumsum
tulang hiposeluler atau aseluler, gambaran darah tepi, dan ada tidaknya
infeksi sekunder. Prognosis pasien anemia aplastik disebut buruk jika
ditemukan pada usia muda, gambaran sumsum tulang aseluler dengan
pengurangan proporsi komponen mieloid dari sumsum tulang lebih dari 30%
limfosit, gambaran darah tepi dengan jumlah retikulosit < 1 %, leukosit <
500/uL, dan trombosit < 20.000/uL, disertai infeksi sekunder. Diantara halhal diatas yang paling baik dijadikan pegangan dalam menentukan prognosis
adalah gambaran sumsum tulang. 3

12

BAB III
KESIMPULAN
Anemia aplastik merupakan gangguan hematopoisis yang ditandai oleh
penurunan produksi eritroid, mieloid dan megakariosit dalam sumsum tulang
dengan akibat adanya pansitopenia pada darah tepi, serta tidak dijumpai adanya
keganasan sistem hematopoitik ataupun kanker metastasik yang menekan sumsum
tulang. Aplasia ini dapat terjadi hanya pada satu, dua atau ketiga sistem
hematopoisis.
Anemia aplastik relatif jarang ditemukan namun berpotensi mengancam
jiwa. Penyakit ini ditandai oleh pansitopenia dan aplasia sumsum tulang.
Pansitopenia adalah keadaan defisiensi pada semua elemen sel darah (eritrosit,
leukosit dan trombosit). Terjadinya pansitopenia dikarenakan oleh menurunnya
produksi sumsum tulang atau dikarenakan meningkatnya destruksi perifer
Diagnosis anemia aplastik ditegakkan berdasarkan keadaan pansitopneia
yang ditandai oleh anemia, leukopenia dan trombositopenia pada darah tepi.
Keadaan inilah yang menimbulkan keluhan pucat, perdarahan dan demam yang
disebabkan

oleh

infeksi.

Pada

pemeriksaan

fisik,

tidak

ditemukan

hepatosplenomegali atau limfadenopati.


Prognosis penyakit ini sukar diramalkan namun pada umumnya buruk,
karena seperti telah dikemukakan baik etiologi maupun patofisiologinya sampai
sekarang belum jelas. Penyebab kematian pada umumnya adalah sepsis akibat
infeksi Pseudomonas dan stafilokokus. Oleh karena itu, menentukan prognosis
pasien anemia aplastik penting karena akan menentukan terapi yang sesuai.

13

DAFTAR PUSTAKA

1. Permono B, et all. Buku Ajar Hematologi-Onkologi Anak. Badan penerbit


IDAI. Jakarta. 2005
2. Hoffbrand AV, Pettit JE, Moss PAH. Anemia Aplastik dan Kegagalan
Sumsum Tulang. Kapita Selekta Hematologi. Edisi IV. Hal: 83-87. EGC.
Jakarta, 2006.
3. Isyanto, Abdulsalam M. Masalah pada Tata Laksana Anemia Aplastik
Didapat. Sari Pediatri, Vol.7, No.1, 26-33. Juni, 2005.
4. Fauzi MR. Diagnosis dan Indikasi Transfusi Darah pada Anemia Aplastik.
Bagian Patologi Klinik Fakultas Kedokteran Universitas Udayana/ Rumah
Sakit Umum Pusat Sanglah Denpasar, 2011.

14

Anda mungkin juga menyukai