Anda di halaman 1dari 23

1

BAB II
KAJIAN PUSTAKA DAN HIPOTESIS TINDAKAN
2.1 Kajian Pustaka
2.1.1 Hakikat Keterampilan Berbicara
Santosa (2010: 3.18-3.21) menemukakan bahwa berbicara merupakan
keterampilan berbahasa yang produktif. Keterampilan ini sebagai implementasi
dari hasil simakan. Peristiwa ini berkembang pesat pada kehidupan anak-anak.
Pada masa kanak-kanak, kemampuan berbicara berkembang begitu cepat. Hal itu
tampak dari penambahan kosa kata yang disimak anak dari lingkungan yang
semakin hari semakin bertambah pula. Oleh karena itu, pada masa kanak-kanak
inilah kemampuan berbicara mulai diajarkan. Dalam kegiatan formal (sekolah),
pada kelas awal SD bisa dimulai dengan memberi kesempatan kepada siswa untuk
berbicara di depan kelas untuk memperkenalkan diri, tanya jawab dengan teman,
bercerita tentang pengalaman, menceritakan gambar dan lain-lain. Dari kegiatan
itu akan memperkaya kosakata, memperbaiki kalimat, dan melatih keberanian
siswa dalam berkomunikasi.
Tarigan (2008: 16), mengemukakan berbicara adalah kemampuan
mengucapkan bunyi-bunyi artikulasi atau kata-kata untuk mengekspresikan,
menyatakan serta menyampaikan pikiran, gagasan, dan perasaan. Sedangkan
sebagai bentuk atau wujudnya berbicara disebut sebagai suatu alat untuk
mengkomunikasikan gagasan-gagasan serta dikembangkan sesuai dengan
kebutuhan-kebutuhan sang pendengar atau penyimak.
Menurut Tarigan (1995: 149) berbicara adalah keterampilan menyampaikan
pesan melalui bahasa lisan. Kaitan antara pesan dan bahasa lisan sebagai media
1

penyampaian sangat berat. Pesan yang diterima oleh pendengar tidaklah dalam
wujud asli, tetapi dalam bentuk lain yakni bunyi bahasa. Pendengar kemudian
mencoba mengalihkan pesan dalam bentuk bunyi bahasa itu menjadi bentuk
semula.
Brown dan Yule dalam Nunan (1989: 26) berpendapat bahwa berbicara
adalah menggunakan bahasa lisan yang terdiri dari ucapan yang pendek, tidak
utuh atau terpisah-pisah dalam lingkup pengucapan. Pengucapan tersebut sangat
erat berhubungan dengan hubungan timbal balik yang dilakukan antara pembicara
satu dengan pendengar.
Dari ke-empat pengertian yang telah dikemukakan para ahli di atas dapat
disimpulkan bahwa keterampilan berbicara adalah menyampaikan pesan melalui
bahasa lisan berupa bunyi-bunyi artikulasi atau kata-kata untuk mengekspresikan,
menyatakan serta menyampaikan pikiran, gagasan, dan perasaan.
2.1.2 Hakikat Pembelajaran Bahasa Indonesia SD
Bahasa Indonesia sebagai bahasa negara atau bahasa Nasional, maksudnya
bahasa Indonesia adalah bahasa yang diresmikan menjadi bahasa bagi seluruh
bangsa Indonesia. Adapun bahasa Indonesia sebagai budaya, maksudnya bahasa
Indonesia merupakan bagian dari budaya Indonesia dan merupakan ciri khas atau
pembeda dari bangsa-bangsa lain di dunia (Alek dan Achmad, 2010: 19).
Bahasa menjadi media daya pikir, daya ungkap, dan sarana komunikasi
dalam kehidupan umat manusia. Kekuatan bahasa mampu mengatasi perbedaan
ruang dan waktu serta jarak melalui teknologi komunikasi (Nurjamal dan Sumirat,
2010: 210).

Pembelajaran bahasa diharapkan membantu peserta didik mengenal dirinya,


budayanya, dan budaya orang lain, mengemukakan gagasan dan perasaan,
berpartisipasi dalam masyarakat yang menggunakan bahasa tersebut, dan
menemukan serta menggunakan kemampuan analitis dan imaginatif yang ada
dalam dirinya. Pembelajaran bahasa Indonesia diarahkan untuk meningkatkan
kemampuan peserta didik untuk berkomunikasi dalam bahasa Indonesia dengan
baik dan benar, baik secara lisan maupun tulis, serta menumbuhkan apresiasi
terhadap hasil karya kesastraan manusia Indonesia (Depdiknas,2006: 317).
Jadi bahasa Indonesia sebagai bahasa Nasional berfungsi sebagai bahasa
pemersatu karena bangsa Indonesia memiliki beragam suku dan bahasa. Dengan
pembelajaran bahasa Indonesia diharapkan agar siswa sebagai masyarakat
Indonesia turut berpartisipasi menpelajari bahasa Nasional bangsa Indonesia yaitu
bahasa Indonesia sebagai bahasa pemersatu suku dan budaya Indonesia.
2.1.3

Hakikat Keterampilan Berbalas Pantun

2.1.3.1 Pantun
Pantun adalah puisi asli Indonesia. Hampir di semua daerah di Indonesia
terdapat tradisi berpantun. Pantun tepat untuk suasana tertentu, seperti halnya juga
karya seni lainnya hanya tepat untuk suasana tertentu pula. Dalam upacara
perkawinan banyak digunakan pantun untuk sambutan dan penggunaan pantun
disini menimbulkan suasana akrab. Gadis dan jejaka yang berkenalan, bercintaan,
atau menyatakan kasihnya juga dapat menggunakan pantun karena ungkapan
secara langsung dianggap kurang tepat.

Ungkapan langsung dalam pantun diberi antara oleh sampiran sehingga


penerima ungkapan itu tidak merasa terkejut. Tanggapan orang yang diajak bicara
pun jika bersifat kasar juga tidak begitu menyakitkan hati karena tanggapan itu
diperantarai oleh sampiran.
Pantun juga menunjukkan ikatan yang kuat dalam hal struktur kebahasaan
atau tipografik atau struktur fisiknya. Struktur tematik atau struktur makna
dikemukakan menurut aturan jenis pantun. Ikatan yang memberikan nilai
keindahan dalam struktur kebahasaan itu, berupa :(1) jumlah suku kata setiap
baris; (2) jumlah baris setiap bait; (3) jumlah bait setiap puisi dan (4) aturan dalam
hal rima dan ritma. (Walujo. J, 2003: 8).
Menurut Surana (2001: 31), pantun ialah bentuk puisi lama yang terdiri atas
4 larik sebait berima silang (a b a b). Larik I dan II disebut sampiran, yaitu bagian
objektif. Biasanya berupa lukisan alam atau apa saja yang dapat diambil sebagai
kiasan. Larik III dan IV dinamakan isi, bagian subjektif. Sama halnya dengan
karmina, setiap larik terdiri atas 4 perkataan. Jumlah suku kata setiap larikantara
8-12.
Kamus Istilah Sastra (2006: 173) menjelaskan bahwa Pantun adalah Puisi
Indonesia (Melayu), tiap bait (kuplet) biasa terdiri atas empat baris yang bersajak
(a-b-a-b) tiap larik biasanya berjumlah empat kata; baris pertama dan baris kedua
biasanya tumpuan (sampiran) saja dan baris ketiga dan keempat merupakan isi;
setiap baris terdiri dari 8-12 suku kata; merupakan peribahasa sindiran; jawab
(pada tuduhan dan sebagainya)

Secara sosial, pantun memiliki fungsi pergaulan yang kuat, bahkan hingga
sekarang. Di kalangan pemuda sekarang, kemampuan berpantun biasanya
dihargai. Pantun menunjukkan kecepatan seseorang dalam berfikir dan bermainmain dengan kata. Seringkali bercampur dengan bahasa-bahasa lain. Namun
demikian, secara umum peran sosial pantun adalah sebagai alat penguat
penyampaian pesan.
2.1.3.2 Jenis Pantun
Dalam kehidupan masyarakat melayu sehari-hari, pantun merupakan jenis
sastra lisan yang paling popular. Penggunaannya hampir merata disetiap kalangan:
tua, muda, laki-laki, perempuan, kaya, miskin, pejabat, rakyat biasa dan
seterusnya. Dalam praktiknya, pantun ini diklasifikasikan kedalam beberapa jenis
yaitu: pantun anak-anak, pantun orang muda, dan pantun orang tua. Pantun anakanak terbagi dua, yaitu pantun bersukacita dan pantun berdukacita; pantun orang
muda terbagi tiga, yaitu: pantun dagang atau nasib, pantun jenaka dan pantun
muda; sementara pantun orang tua (disebut juga pantun tunjuk ajar) juga terbagi
tiga, yaitu: pantun nasihat, pantun adat dan pantun agama. Soetarno (2008: 20).
Suroto (1989: 44-45) membagi pantun menjadi dua bagian menurut isinya:
pantun anak-anak, biasanya berisi permainan, pantun muda mudi, biasanya berisi
percintaan, pantun orang tua, biasanya berisi nasihat atau petuah. Itulah sebabnya,
pantun ini disebut juga pantun nasihat, pantun jenaka, biasanya berisi sindiran
sebagai bahan kelakar dan pantun teka-teki. Menurut bentuknya atau susunannya:

pantun berkait, yaitu pantun yang selalu berkaitan antara bait satu dengan bait
kedua, bait kedua dengan bait ketiga dan seterusnya. Adapun susunan kaitannya

adalah baris kedua bait pertama menjadi baris pertama pada bait kedua, baris
keempat bait pertama dijadikan baris ketiga pada bait kedua dan seterusnya.
Pantun kilat, sering disebut juga karmina, ialah pantun yang terdiri atas dua baris,
baris pertama merupakan sampiran sedang baris kedua merupakan isi. Sebenarnya
asal mula pantun ini juga terdiri atas empat baris, tetapi karena barisnya pendekpendek maka seolah-olah kedua baris pertama diucapkan sebagai sebuah kalimat,
demikian pula kedua baris yang terakhir.
Sedangkan menurut surana (2001: 32) pantun dibagi berdasarkan tingkatan
umur pemakainya, sebagai berikut: pantun anak-anak, pantun orang muda, dan
pantun orang tua. menurut isinya, disamping pembagian pantun terdapat pula
pantun jenaka dan pantun teka-teki.
Berdasarkan pendapat para ahli dapat disimpulkan bahwa menurut jenisnya
pantun terbagi menjadi tiga yaitu pantun anak,pantun orang muda, pantun orang
tua. Jenis-jenis pantun tersebut terbagi berdasarkan tingkatan umur pemakainya.
2.1.3.3 Unsur Pantun
Unsur-unsur yang membangun sebuah pantun adalah sampiran dan isi.
Sampiran merupakan dua baris pantun yang memiliki saran bunyi untuk menuju
isi. Hubungan antara sampiran dengan ini hanyalah hubungan dalam hal saran dan
bunyi itu. Dua baris pantun yang menjadi sampiran saling berhubungan.
Menurut Surana (2001: 31), unsur pantun terdiri atas 4 larik sebait berima
silang (a b a b). Larik I dan II disebut sampiran, yaitu bagian objektif. Biasanya
berupa lukisan alam atau apa saja yang dapat diambil sebagai kiasan. Larik III dan

IV dinamakan isi, bagian subjektif. Sama halnya dengan karmina, setiap larik
terdiri atas 4 perkataan. Jumlah suku kata setiap larikantara 8-12.
Menurut Effendy (1983: 28), syarat-syarat dalam pantun adalah (1). Tiap
bait terdiri dari empat baris, (2). Tiap baris terdiri dari empat atau lima kata atau
terdiri dari delapan atau sepuluh suku kata, (3). Sajaknya bersilih dua-dua: a-b-ab. dapat juga bersajak a-a-a-a, (4). Sajaknya dapat berupa sajak paruh atau sajak
penuh, (5). Dua baris pertama tanpa isi disebut sampiran, dua baris terakhir
merupakan isi dari pantun itu.
Hubungan antara sampiran dengan isi dalam sebuah pantun banyak
diselidiki oleh para ahli. Penulis melihat bahwa antara sampiran dengan isi tidak
terdapat hubungan makna atau isi, hanya terdapat saran bunyi. Sebait pantun
terikat oleh beberapa syarat yaitu, bilangan baris tiap bait adalah empat bersajak
ab ab, banyak suku kata tiap baris 8-12 suku kata, pantun umumnya mempunyai
sajak akhir tetapi juga bersajak awal atau bersajak tengah, dan dua baris pertama
berupa sampiran dua baris terakhir berupa isi.
Berdasarkan pendapat para ahli mengenai unsur pantun dapat disimpulkan
bahwa unsur-unsur pantun adalah bersajak a-b-a-b, terdiri dari empat baris, baris
pertama merupakan sampiran dan baris kedua merupakan isi dan suku kata itap
baris adalah 8-12 suku kata.
2.1.3.4 Ciri-ciri Pantun
Soetarno (2008: 19) mengatakan bahwa ciri-ciri pantun sebagai berikut: (1)
tiap-tiap bait pantun terdiri empat larik, (2) tiap-tiap larik terdiri dari 8-12 suku
kata, (3) sajak akhirnya merupakan sajak silang yang dapat dirumuskan ab-ab, (4)

larik ke-1 dan ke-2 disebut sampiran dan tak mempunyai hubungan logis dengan
larik ke-3 dan ke-4 yang menjadi isi pantun dan disebut maksud.
Sedangkan menurut Suroto (1989: 43), ciri-ciri pantun sebagai berikut: (1)
Pantun tersusun atas empat baris dalam tiap baitnya, (2) Baris pertama dan baris
kedua berupa sampiran, (3) Baris ketiga dan keempat merupakan isi/ maksud yang
hendak disampaikan, (4)Jumlah suku kata dalam tiap baitnya rata-rata berkisar
delapan sampai dua belas.
Menurut Abdul Rani (2006: 23) mengatakan bahwa ciri-ciri pantun sebagai
berikut: (1) Terdiri atas empat baris; (2) Tiap baris terdiri atas 9 sampai 10 suku
kata; (3) Dua baris pertama disebut sampiran dan dua baris berikutnya berisi
maksud si pemantun. Bagian ini disebut isi pantun; (4) Pantun mementingkan
rima akhir dan rumus rima itu disebut dengan abjad /ab-ab/. Maksudnya, bunyi
akhir baris pertama sama dengan bunyi akhir baris ketiga dan baris kedua sama
dengan baris keempat.
Sama dengan unsur-unsur pantun, pada ciri-ciri pantun terdiri dari empat
baris tiap baris terdiri dari 8-12 kata. Dua baris pertama disebut sampiran dan dua
baris terakhir disebut isi. Sampiran dan isi tidak memilika kaitan karena sampiran
hanya kata kias.dan pantun sangat mementingkan rima akhir dan rumus rima
tersebut adalah a-b-a-b.
2.1.3.5 Hakikat Berbalas Pantun
Fang (1993: 195) mengartikan pantun sebagai senandung yang
dinyanyikan. Ia mendefinisikan demikian berdasarkan catatan pelayaran Abdullah

Munsyi ke Kelantan tentang cara-cara pantun dinyanyikan, misalnya Lagu Dua,


Lagu Ketara, Ketapang atau Dendang Sayang, dan lain-lain.
Senada dengan pengertian di atas, Asfar (2006: 7) mendefinisikan pantun
pada mulanya adalah senandung atau puisi rakyat yang dinyanyikan. Demikian
juga menurut Hadi (2008) dalam beberapa bahasa Nusantara seperti Sasak di
Lombok dan Madura di Jawa Timur, kata-kata pantun diberi arti nyanyian. Orang
yang menyanyi di Madura dikatakan apantun (berpantun), dan yang dinyanyikan
ialah sajak yang dalam bahasa Melayu disebut pantun.
Menurut Wahyudi (2008), pantun pada hakikatnya merepresentasikan yang
saling berbalas atau bersahut, atau juga mengarah kepada suatu penerusan ujaran
yang manasuka tetapi berjalinan Dengan pengertian lain, pantun yang mewadahi
suatu komunikasi bersahutan atau berbalasan akan mengekspresikan suatu pola
yang mengulang beberapa larik, biasanya dua larik, dari pantun yang sudah
diujarkan terlebih dahulu.
Dari beberapa pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa pantun pada
hakikatnya adalah suatu bentuk komunikasi lisan yang berbentuk puisi rakyat dan
merujuk pada sesuatu yang teratur, yang lurus, baik secara kongkrit atau abstrak
serta dapat dinyanyikan.
2.1.3.6 Ruang Lingkup Berbalas Pantun di Kelas IV SD
Pembelajaran berbalas pantun di ajarkan di kelas IV padan semester I dan
semester II, sesuai dengan Standar Isi dalam kurikulum di Sekolah Dasar,
kompetensi yang harus dikuasai oleh siswa materi berbalas pantun kelas IV

10

Sekolah dasar yaitu: Membuat pantun dengan pilihan kata yang tepat dan saling
berbalas pantun dengan lafal dan intonasi yang tepat.
Penelitian ini fokus pada materi berbalas pantun disemester 2. Untuk
memperjelas materi berbalas pantun di kelas IV semester 2 Sekolah Dasar, berikut
dikemukakan rincian materi yang akan diteliti pada penelitian ini berdasarkan
Standar Isi BSNP kelas IV Sekolah Dasar.
Standar Kompetensi
1. Mengungkapkan

Kompetensi Dasar
pikiran,6.1 Berbalas pantun dengan lafal dan

perasaan, dan informasi denganintonasi yang tepat.


berbalas pantun dan bertelepon
Tabel 2.2 SK dan KD Kelas IV semester 2

(Sumber: Standar Isi BSNP)

2.1.4 Hakikat Pembelajaran Kooperatif


2.1.4.1 Pengertian Pembelajaran Kooperatif
Pembelajaran kooperatif menjadi salah satu pembaharuan dalam pergerakan
reformasi pendidikan. Pembelajaran kooperatif meliputi banyak jenis bentuk
pengajaran dan pembelajaran yang merupakan perbaikan tipe pembelajaran
tradisional. Pembelajaran kooperatif dilaksanakan dalam kumpulan kecil supaya
peserta didik dapat bekerja sama untuk mempelajari kandungan pelajaran dengan
berbagai kemahiran sosial.
Berkaitan dengan pengertian pembelajaran kooperatif, Slavin (2005: 8)
menyatakan bahwa pembelajaran kooperatif adalah pembelajaran yang dilakukan
secara berkelompok, siswa dalam satu kelas dijadikan kelompok -kelompok kecil
yang terdiri dari 4 sampai 5 orang untuk memahami konsep yang difasilitasi oleh

11

guru. Selain itu, Anitah W dkk. (2007: 3.7) juga menyatakan bahwa model
pembelajaran kooperatif adalah pembelajaran yang menggunakan kelompok kecil
sehingga siswa bekerja

bersama untuk memaksimalkan kegiatan belajarnya

sendiri dan juga anggota yang lain.


Jadi, Pembelajaran kooperatif merupakan model pembelajaran yang
mengutamakan kerjasama diantara siswa untuk mencapai tujuan pembelajaran.
Model pembelajaran kooperatif memiliki ciri-ciri: (1) untuk menuntaskan materi
belajarnya, siswa belajar dalam kelompok secara kooperatif; (2) kelompok
dibentuk dari siswa-siswa yang memiliki kemampuan tinggi, sedang dan rendah;
(3) jika dalam kelas terdapat siswa-siswa yang terdiri dari beberapa ras, suku,
budaya jenis kelamin yang berbeda, maka diupayakan agar dalam tiap kelompok
terdiri dari ras, suku, budaya, jenis kelamin yang berbeda pula; dan (4)
penghargaan lebih diutamakan pada kerja kelompok dari pada perorangan.
Slavin (2005: 10) menyatakan konsep utama dari belajar kooperatif adalah
sebagai berikut.
1. Penghargaan kelompok, yang akan diberikan jika kelompok mencapai
kriteria yang ditentukan
2. Tanggung jawab individual, bermakna bahwa suksesnya kelompok
tergantung pada belajar individual semua anggota kelompok. Tanggung
jawab ini terfokus dalam usaha untuk membantu yang lain dan memastikan
setiap anggota kelompok telah siap menghadapi evaluasi tanpa bantuan yang
lain
3. Kesempatan yang sama untuk sukses, bermakna bahwa siswa telah
membantu kelompok dengan cara meningkatkan belajar mereka sendiri. Hal
ini memastikan bahwa siswa berkemampuan tinggi, sedang, dan rendah
sama sama tertantang untuk melakukan yang terbaik dan bahwa kontribusi
semua anggota kelompok sangat bernilai.
Beberapa tipe pembelajaran kooperatif, yaitu: Jigsaw II, Student Teams
Achievement Devition (STAD), Numbered Head Together (NHT), Think Pair

12

Share (TPS), Team Assisted Individualization (TAI), Teams Games Tournament


(TGT), Group Investigation (GI) dan metode struktural .
2.1.4.2 Karakteristik Cooperative Learning
Slavin (2005: 26-28) menyatakan bahwa paradigma Cooperative Learning
mendasarkan diri pada kerjasama merupakan kebutuhan yang sangat penting
dalam kehidupan manusia. Tanpa kerjasama tidak akan ada kegiatan yang
harmonis. Model ini sangat cocok diterapkan di Indonesia, mengingat nilai-nilai
kebudayaan Indonesia yang selama ini kita banggakan yaitu gotong royong. Nilainilai gotong royong ini sangat relevan dengan cooperative learning model yang
mengutamakan kerja sama. Anita (2004: 31-35) mengemukakan bahwa kerja
kelompok memiliki karakteristik: saling terjadi ketergantungan positif, tanggung
jawab perorangan, tatap muka, terjadi komunikasi antar anggota, terdapat evaluasi
dalam proses kelompok.
1.

Saling ketergantungan positif


Pengajar harus pandai menciptakan kelompok kerja yang efektif dan harus
dapat menyusun tugas sedemikian rupa sehingga setiap siswa dalam
kelompok dapat menyelesaikan tugasnya masing-masing. Setiap kelompok
bekerja demi tercapainya satu tujuan yang sama dan memiliki sumbangan
yang bermakna bagi kelompoknya.

2.

Tanggung jawab perorangan


Walaupun kegiatan dalam cooperative learning berlaku secara kelompok,
tetapi tanggung jawab tetap pada individu-individu anggotanya. Tujuan
kelompok akan tercapai apabila tugas individu dapat terselesaikan, begitu

13

juga sebaliknya. Sehingga individu dapat termotivasi untuk bertanggung


jawab secara perorangan, demi keberhasilan dirinya dan juga kelompoknya.
3. Tatap muka
Setiap kelompok harus diberikan kesempatan untuk bertemu muka dan
berdiskusi. Kegiatan interaksi ini akan memberikan para pebelajar untuk
membentuk sinergi yang menguntungkan semua anggota. Inti dari sinergi ini
adalah diharapkan setiap individu saling menghargai perbedaan pendapat,
memanfaatkan kelebihan, dan saling mengisi kekurangan masing-masing.
4. Terjadi komunikasi antar anggota
Di dalam komunikasi ini, tiap-tiap anggota harus memberikan masukan,
saran, dan kritik yang membangun kepada teman sebaya.
5. Terdapat evaluasi dalam proses kelompok
Ini dilakukan untuk mengetahui seberapa efektif cooperative learning model
diterapkan dalam pembelajaran tertentu.
2.1.5

Numbered Head Together

2.1.5.1 Pengertian Numbered Head Together


Suprijono (2010: 89) menyatakan model atau metode pembelajaran
cooperative Learning ada beberapa tipe salah satunya yaitu tipe Numbered Heads
Together merupakan jenis pembelajaran kooperatif yang dirancang untuk
mempengaruhi pola interaksi siswa.
Numbered Head Together merupakan varian dari diskusi kelompok.
Numbered Head Together atau penomoran berpikir bersama adalah jenis

14

pembelajaran kooperatif yang dirancang untuk memengaruhi pola interaksi siswa


dan sebagai alternatif terhadap struktur kelas tradisional. Numbered Head
Together pertama kali dikembangkan oleh Spenser Kagen (1993) untuk
melibatkan lebih banyak siswa dalam menelaah materi yang tercakup dalam suatu
pelajaran dan mengecek pemahaman mereka terhadap isi pelajaran tersebut.
Numbered head together atau kepala bernomor diperkenalkan oleh Spencer
Kagan. Pembelajaran dengan menggunakan metode Numbered head together
diawali dengan pembagian kelompok, setalah guru membagi menjadi kelompokkelompok kecil dan numbering pada tiap-tiap kelompok guru membagikan soal.
Setelah itu pada tiap-tiap kelompok menyatukan kepalanya untuk berdiskusi
menemukan jawaban dari soal yang di berikan guru. Langkah berikutnya adalah
guru memanggil peserta didik yang memiliki nomor yang sama dari masingmasing kelompok. Mereka diberi kesempatan untuk mengemukakan jawaban atas
pertanyaan yang diberikan guru. Hal itu dilakukan terus menerus sehingga
masing-masing kelompok mendapat giliran memaparkan jawaban atas soal yang
diberikan guru. Berdasarkan dari jawaban tersebut guru dapat mengembangkan
diskusi dengan siswa, sehingga siswa berperan aktif dalam kegiatan diskusi.
Menurut slavin (1995), metode yang dikembangkan oleh Russ Frank ini cocok
untuk memastikan akuntabilitas individu dalam diskusi kelompok.
Trianto (2011: 8283) menyatakan sintaks pembelajaran kooperatif tipe
Numbered Heads Together terdiri dari empat langkah.
1) Penomoran
Dalam fase ini, guru membagi siswa ke dalam kelompok 3-5 orang dan
kepada setiap anggota kelompok diberi nomor 1 sampai 5.

15

2) Mengajukan Pertanyaan
Guru mengajukan sebuah pertanyaan kepada siswa. Pertanyaan dapat
bervariasi. Pertanyaan dapat amat spesifik dan dalam bentuk kalimat tanya
atau berbentuk arahan. Berbentuk tanya misalnya, Apakah di desa kalian
ada penggilingan padi?
3) Berpikir Bersama
Siswa menyatukan pendapatnya terhadap jawaban pertanyaan itu dan
meyakinkan tiap anggota dalam kelompok mengetahui jawabannya.
4) Menjawab
Guru memanggil suatu nomor tertentu, kemudian siswa yang nomornya
sesuai mengacungkan tangannya dan mencoba menjawab pertanyaan
untuk seluruh kelas.
Pendapat para ahli, dapat disimpulkan langkah-langkah pembelajaran
kooperatif tipe Numbered Heads Together, yaitu:
1) Siswa dibagi menjadi beberapa kelompok, setiap siswa dalam kelompok
mendapat nomor yang berbeda.
2) masing-masing kelompok diberi tugas oleh guru,
3) kelompok mendiskusikan (menyatukan kepala Head Together) jawaban
yang benar dan setiap anggota kelompok dapat mengerjakan/mengetahui
jawabannya,
4) guru memanggil salah satu nomor, setiap kelompok yang mempunyai
nomor sama dengan nomor yang dipanggil oleh guru melaporkan hasil
kerjasama kelompok, dan
5) kelompok lain memberi tanggapan kepada kelompok yang maju.
2.1.5.2 Kelebihan dan Kekurangan Model NHT
Menurut Hamdani (2010: 90) Kelebihan metode NHT adalah: (a) setiap
siswa menjadi siap semua, (b) siswa dapat melakukan diskusi dengan sungguhsungguh, dan (c) siswa yang pandai dapat mengajari siswa yang kurang pandai.

16

Sedangkan kelemahannya antara lain: (a) kemungkinan nomor yang dipanggil


akan dipanggil lagi oleh guru, dan (b) tidak semua anggota kelompok dipanggil
oleh guru.
Secara keseluruhan kelebihan model Numbered Head Together

yaitu

semua siswa siap menerima tugas yang diberikan oleh guru dan dalam diskusi
kelompok

siswa

melakukanya

dengan

bersungguh-sungguh,

sedangkan

kelemahan model Numbered Head Together yaitu kemungkinan nomor yang


sama di panggil lagi dan tidak semua anggota terpanggil oleh guru.
2.1.5.3 Langkah-langkah Numbered Head Together (NHT)
Menurut Suprijono (2009: 92) adapun langkah-langkah pembelajaran
koopertif tipe NHT antara lain sebagai berikut.
(1) Siswa dibagi dalam kelompok, setiap siswa dalam setiap kelompok
mendapat nomor
(2) Guru memberikan tugas dan masing-masing kelompok mengerjakannya
(3) Kelomopok mendiskusikan jawaban yang benar dan memastikan tiap
anggota kelompok dapat mengerjakannya/mengetahui jawabannya
(4) Guru memanggil salah satu nomor siswa dengan nomor yang dipanggil
melaporkan hasil kerjasama mereka
(5) Tanggapan dari teman yang lain.
(6) Setelah satu soal terselesaikan guru menunjuk nomor yang lain dan
melakukan kegiata di atas
(7) Kesimpulan

17

Menurut (Trianto, 2009: 1) NHT adalah jenis pembelajaran kooperatif


yang dirancang untuk mempengaruhi pola interaksi dan sebagai alternatif terhadap
struktur kelas tradisional.
Dalam mengajukan pertanyaan kepada seluruh kelas, guru menggunakan
struktur empat fase sebagai sintaks NHT:
1. Fase 1: Penomoran
Dalam fase ini guru membagi siswa ke dalam kelompok yang tiap kelompok
beranggotakan 6-7 orang dan kepada tiap anggota kelompok diberi nomor.
2. Fase 2: Mengajukan pertanyaan
Guru mengajukan sebuah pertanyaan kepada siswa. Pertanyaan dapat
bervariasi. Pertanyaan dapata amat spesifik dan dalam bentuk kalimat tanya.
3. Fase 3: Berfikir bersama
Siswa menyatukan pendapatnya terhadap jawaban pertanyaan itu dan
myakinkan tiap anggota dalam timnya mengetahui jawaban tim.
4. Fase 4: Menjawab
Guru memanggil satu nomor tertentu, kemudian siswa yang nomornya
sesuai mengacungkan tangannya dan mencoba menjawab pertanyaan untuk
seluurh kelas.
Selain itu, Hamdani (2010: 89) juga memaparkan langkah-langkah model
pembelajaran NHT (Numbered Heads Together) di antaranya:
1. Siswa dibagi dalam kelompok dan setiap siswa dalam setiap kelompok
mendapat nomor.
2. Guru memberikan tugas dan tiap-tiap kelompok disuruh untuk
mengerjakannya.

18

3. Kelompok mendiskusikan jawaban yang benar dan memastikan bahwa


setiap anggota kelompok dapat mengerjakannya.
4. Guru memanggil salah satu nomor siswa yang nomornya dipanggil
melaporkan hasil kerjasama mereka.
5. Siswa lain diminta untuk memberi tanggapan, kemudian guru menunjuk
nomor lain.
6. Kesimpulan.
Dalam penelitian ini, jenis model pembelajaran kooperatif di atas, akan
diterapkan pada pembelajaran bahasa Indonesia aspek berbicara siswa SD 2
Bakalan Krapyak. Dengan demikian, kegiatan pembelajaran akan didasari oleh
pembelajaran kooperatif tipe NHT yang meliputi: (1) prosedur sistematika
perilaku siswa dalam pembelajaran berdasarkan asums pembelajaran kooperatif;
(2) penetapan hasil belajar; (3) penetapan lingkungan pembelajaran dan faktor
pendukung (silabus/RPP, media pembelajaran, dan lain-lain); (4) ukuran
keberhasilan dalam bentuk unjuk kerja siswa.
2.2 Penelitian yang Relevan
Terdapat

beberapa

penelitian

yang

dalam

pemecahan

masalahnya

menggunakan model pembelajaran Numbered Head Together untuk meningkatkan


kualitas pembelajaran.
Anggraini (2010) dalam penelitiannya yang berjudul Penggunaan Model
Numbered Head Together (NHT) untuk Meningkatkan Hasil Belajar Matematika
Siswa Kelas IV SDN 21 Kota Bengkulu. Hasil yang dicapai dalam penelitian ini
adalah tes siklus III mendapat nilai rata-rata 72,29 dengan ketuntasan klasikal
siklus I 65,72% dan untuk siklus II diperoleh nilai rata-rata 67,43 dengan

19

ketuntasan belajar klasikal 80,0% dan siklus III 88,57%.berdasarkan hasil


penelitian tersebut dapat diambil kesimpulan bahwa melalui model pembelajaran
NHT dapat meningkatkan hasil belajar siswa serta dapat meningkatkan aktifitas
guru dan siswa dalam proses pembelajaran Matematika khususnya di SD Negeri
21 Kota Bengkulu.
Dian Kurniasih Wahyuni (2009) dalam penelitian yang berjudul
Pelaksanaan Pembelajaran Kooperatif Model Numbered Head Together (NHT)
untuk Meningkatkan Hasil Belajar IPS Siswa Kelas V SDN Luwuk Kecamatan
Kejayan Kabupaten Pasuruan menunjukan hasil bahwa peneraan pembelajaran
kooperatif model NHT dapat meningkatkan hasil prestasi hasil belajar IPS pada
siswa kelas V SDN Luwuk. Model pembelajaran ini bisa diterapkan pada kelas
yang berbeda, tingkatan yang berbeda maupun mata pelajaran yang berbeda.
Kesamaan penelitian tersebut dengan peneliti adalah sama-sama menggunakan
model pembelajaran kooperatif model NHT.
Nur

Azizah

(2013)

penelitian

yang

berjudul

Penerapan

Model

Pembelajaran Kooperatif Tipe Numbered Head Together (NHT) untuk


Meningkatkan Hasil Belajar IPS Siswa di Sekolah Dasar. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa menerapan model kooperatif tipe Numbered Head Together
pada pelajaran IPS dapat meningkatkan hasil belajar siswa pada siswa kelas III di
SDN Bandar Lor II Kota Kediri. Hal ini dilihat dari peningkatan hasil belajar
siswa yang dapat dilihat pada siklus I dengan presentase 71,79% dan siklus II
89,34%.

20

Deby Yuti (2013) dalam penelitian yang berjudul Peningkatan kemampuan


Berbicara Siswa dengan Menggunakan Model Pembelajaran Kooperatif Tipe
NHT Kelas IV. Hasil penelitian menunjukan bahwa terdapat peningkatan
kemampuan berbicara siswa sebesar 53,76% dengan kategori sedang.
Kemampuan berbicara siswa pada aspek kebahasaan dengan rata-rata presentase
peningkatan keseluruhan sebesar 50% dengan kategori sedang. Dari hasil
penelitian ini terdapat peningkatan keterampilan berbicara. Penelitian Deby Yuti
(2013) menerapkan model Numbered Head Together dan dapat meningkatkan
hasil belajar siswa.
Hasil penelitian tentang penerapan NHT, dapat disimpulkan bahwa
penerapan model pembelajaran Numbered Head Together cocok untuk diterapkan
pada mata pelajaran Bahasa Indonesia SD dalam rangka peningkatan hasil belajar
siswa.
2.3

Kerangka Berpikir
Proses pembelajran yang terjadi di kelas IV SD Negeri 2 Bakalan Krapyak

masih konvensional dan hasil belajar juga belum optimal. Pembelajaran


konvensional yang terkesan motonon, tidak variatif menimbulkan rasa bosan pada
siswa dalam mengikuti proses pembelajaran. Hal ini menyebabkan hasil belajar
siswa kurang optimal.
Tindakan yang dilakukan peneliti untuk meningkatkan hasil belajar adalah
dengan menerapkan model pembelajaran kooperatif tipe Numbered Head
Together (NHT). Seperti namanya Numbered, pembelajaran ini diawali dengan
penomoran pada setiap siswa tiap kelompok. Selanjutnya Head, pada tahap ini

21

guru memberi masing-masing nomor masalah-masalah berupa lembar kerja.


Kemudian setiap siswa mengerjakan lembar kerja bersama dengan siswa lain
dalam kelompoknya mendiskusikan dan mengerjakan lembar kerja siswa tersebut
bersama-sama.
Penggunaan model pembelajaran

Numbered Head Together dapat

meningkatkan keterampilan berbicara materi berbalas pantun kelas IV di SD 2


Bakalan Krapyak.

22

Kerangka berpikir ini dapat digambarkan pada gambar 2.1 berikut.

KONDISI AWAL

TINDAKAN

Guru masih
menerapkan
pembelajaran
konvensional

Menerapkan model
NHT

KONDISI
AKHIR

Diharapkan :
Keterampilan
berbicara materi
berbalas pantun
meningkat
Keterampilan
guru dalam
pembelajaran
keterampilan
berbicara materi
berbalas pantun
meningkat
Aktivitas belajar
siswa dalam
belajar meningkat

Siswa kurang aktif


dalam pembelajaran
dan hasil belajar siswa
rendah

SIKLUS I
Guru menerapkan model
NHT pada materi berbalas
pantun tentang pengertian,
unsur dan jenis pantun anak

SIKLUS II
guru menerapkan model
NHT pada materi berbalas
pantun jenis pantun orang
dewasa dan pantun orang
tua.

Gambar 2.6 Kerangka Berpikir Penelitian Tindakan Kelas

2.4 Hipotesis Tindakan

23

Merujuk uraian teori dan kerangka berpikir di atas, maka hipotesis


penelitian ini dapat dirumuskan sebagai berikut.
1. Penerapan model kooperatif Numbered Head Together dapat meningkatkan
keterampilan guru dalam pembelajaran di SD 2 Bakalan Krapyak. Pada mata
pelajaran Bahasa Indonesia materi berbalas pantun kelas IV.
2. Penerapan model Numbered Head Together dapat meningkatkan aktivitas
siswa pada pembelajaran keterampilan berbicara materi berbalas pantun kelas
IV SD 2 Bakalan Krapyak.
3. Penerapan model pembelajaran kooperatif tipe Numbered Head Together
dapat meningkatkan hasil belajar keterampilan berbicara materi berbalas
pantun kelas IV SD 2 Bakalan Krapyak

Anda mungkin juga menyukai