Anda di halaman 1dari 14

"Asal Mula Desa Kajar"

Pada zaman dulu,cerita Mbah saya kalau Desa kajar itu asal mulanya.Dulu kota Wonosari itu
dijajah oleh Jepang dan kemudian dijajah oleh Belanda.Terus Jepang dan Belanda menjajahnya
sampai kedesa"dan pelosok".Dan Jepang Belanda tidak bisa kembali lagi atau pulang lagi
kedaerah asalnya, saat mereka dulunya sedang menjajah saat berada didaerah kajar.Sekarang saja
orang Jepang ada satu yang tinggal atau menetap di desa kajar sampai saat ini.Karena ga bisa
pulang sudah betah tinggal di desa kajarb.Makannya orang"dulu menyebutnya desa kajar, sampai
saat ini nama itu masih melekat dan masih dilestarikan oleh orang"sampai saat ini.

Makannya orang yang dari jauh setelah datang kedesa kajar tidak bisa pulang lagi dan bertempat
tinggal di desa kajar sampai saat ini.Makannya sampai sekarang banyak orang yang ingin tinggal
di desa kajar.Karena orang"nya juga terkenal baik"dan sopan"tidak menyombongkannya yang
dipunya.Desa kajar juga terkenal orang"nya banyak yang pekerja keras,karena desa kajar ini
banyak yang bekerja sebagian besar mendirikan pande besi sendiri untuk dijadikan penghidupan
keluarganya.Sampai saat ini banyak orang yang meminatinya,makannya banyak orang"yang
datang dari daerah jauh"untuk tinggal di desa kajar dan menetap di desa ini.Dan juga banyak
yang pengen menderikan usaha"yang besar di desa ini.Makannya orang yang jauh"maupun orang
yang dekat banyak orang yang mendapat istri atau suami di desa kajar.

ASAL USUL DESA RENDENG

Wekdal Sunan Kudus mlampah-mlampah ing arah ngetan saking Menara Kudus, Sunan
lewat ing persawahan ningali kiwa tengen dalan.
Kathah sawah ingkang dipun tanduri kacang brol nganti subur. Lan Sunan Kudus sempet
ngomong-ngomong kalayan para tani dan taken Niki taneman napa lan kembange taneman
jenenge napa? Petani mangsuli, Niki taneman kacang brol dan kembange kacang jenenge
ngrendeng.
Sunan Kudus ngomong, yen ngono daerah iki kula jenengi Dea Rendeng dan Sunan
Kudus pamit kalih para petani.

Asal Usul Desa Purwosari


Dek biyen kira-kira tahun 1942 Desa Purwosari jenegne desa Pengkol lan kepala desane
jenenge Saryo. Oleh sebab itu disebut desa Pengkol amarga wilayahe ning peta bentuke ora
lurus, gambara koyo wayang sing artine wilayahe mengkal-mengkol mula kasebut desa Pengkol.
Desa Pengkol iku rakyate akeh banget lan profesi masyarakate akeh. Sing paling
menonjol yaiku sing ora apik.
Sakwise era tahun 1965, wektu kepemimpinane Kepala Desa Maswan, desa Pengkol
diresikake supaya dadi desa sing apik lan terhormat, mulane kanggo merangkul ulama dan
sesepuh desa, para PSK dan mucikari sing ono kono dipindahake ing desa Gribig dan desa
Pengkol diganti jenegne dadi desa PURWOSARI.

ASAL USUL KOTA KUDUS

Kota Kudus yang sekarang merupakan pusat pemerintahan Kabupaten Daerah Tingkat
II Kudus di Provinsi Jawa Tengah, pada zaman dahulu hanyalah sebuah desa kecil di bawah
kekuasaan Kerajaan Majapahit. Kedudukannya tidak dianggap penting, kecuali sebagai salah
sate tempat persinggahan lalu lintas ekonomi dari pelabuhan Jepara ke pedalaman Majapahit dan
sebaliknya.
Pada suatu saat, bermukimlah ke desa kecil itu seorang pedagang Cina bernama Sun
Ging. Selain berdagang, Sun Ging yang ahli ukir itu mengembangkan keterampilannya mengukir
sehingga banyaklah orang belajar mengukir di rumahnya. Lama-lama keahlian Sun Ging tersiar
sampai ke istana Majapahit sehingga dipanggillah Sun Ging untuk mengukir hiasan-hiasan
keraton. Setelah pekerjaan besar itu terselesaikan dengan balk dan memuaskan, ditanyalah Sun
Ging oleh sang Raja.
Hadiah apakah yang engkau inginkan dari Majapahit?
Sekiranya diizinkan, berilah hamba sebidang tanah di tempat hamba bermukim selama
ini, biarlah hamba kelak mencangkulinya.
Mengapa tidak memohon hadiah emas permata atau putri Majapahit yang cantik
jelita? tanya sang Raja kemudian.
Pada pendapat hamba, sebidang tanah itu sudah sangat berharga bagi hamba sendiri.
Tanah itu kelak dapat dicangkuli sampai menghasilkan emas permata. Dengan demikian, hamba
tak perlu kembali ke negeri asal yang jauh.
Jika tak hendak kembali ke tanah asalmu, apakah engkau sanggup berbakti kepada
Majapahit? kata sang Raja seolah ingin menguji kesetiaan Sun Ging.
Sekiranya diizinkan, hamba ingin mengabdi sepenuh hati, jawab ahli ukir itu dengan
harapan akan segera menerima hadiahnya. -

Setelah menerima piagam hadiah itu, dengan gembira dan bangga Sun Ging memohon
izin kembali ke desanya dengan niat mendirikan sebuah perguruan ukir. Ternyata niat itu pun
terkabul, terbukti dengan semakin banyaknya orang yang belajar mengukir di perguruan itu.
Kemudian, desa itu terkenal dengan nama Sunggingan, karena berasal dari nama pemiliknya Sun
Ging, sedangkan akhiran -an berarti tempat tinggal. Jadi, Sunggingan berarti tempat tinggal
keluarga Sun Ging.
Akan tetapi, cerita lain menyebutkan bahwa nama Sunggingan itu berarti tempat orangorang menyungging yang berarti melukis atau mengukir. Dalam bahasa Jawa, juru sungging
berarti ahli lukis atau tukang ukir. Dalam cerita ini disebutkan bahwa pemilik Sunggingan ialah
The Ling Sing, yaitu seorang pedagang Cina yang dalam cerita terdahulu bernama Sun Ging.
Keramaian ekonomi desa Sunggingan ternyata terns berkembang walaupun pusat
pemerintahan Kerajaan Majapahit di Jawa Timur sudah tak terdengar kabarnya. Hal itu memikat
perhatian Raden Patah yang sudah
berhasil mendirikan Kerajaan Islam Demak Bintoro di Demak yang tak jauh dari desa
itu.
Desa Sunggingan itu kelak dapat menjadi sebuah kota besar yang penting di dekat
Jepara yang sudah berkembang sebagai pelabuhan. Oleh karena itu, perlu segera diislamkan agar
dapat mendukung perkembangan Demak Bintoro, pikir Raden Patah.
Tak lama kemudian, diperintahkanlah kepada Syekh Jafar Sodiq, seorang ulama besar
dari Persia, untuk mengislamkan Sunggingan.
Mendengar perintah itu berkemaslah Syekh Jafar Sodiq hijrah dari Demak Bintoro ke
desa Sunggingan dengan beberapa orang santri terdekatnya. Sesampai di sana terlihatlah sebuah
bangunan pintu gerbang Kerajaan Majapahit yang sudah tidak dipelihara orang. Hal itu justru
memberikan ilham bagi Syekh Jafar Sodiq untuk memugarnya kembali agar memikat simpati
masyarakat setempat yang masih memeluk agama Hindu sebagai warisan kebesaran Majapahit.
Pada mulanya di gerbang atau gapura itulah Syekh Jafar Sodiq mengundang masyarakat
untuk mendengarkan ajaran-ajaran barn yang disebut Islam. Caranya ialah dengan menambatkan
seekor sapi jantan yang gemuk di dekat gerbang itu. Masyarakat pun tertarik menyaksikan sapi
yang merupakan hewan terhormat dalam agama Hindu. Setiap kali orang berkerumun di tempat
itu, berkhotbahlah Syekh Jafar Sodiq untuk mengajak masyarakat memeluk Islam. Berkat
kesabaran, keramahan, dan kewibawaan pribadinya maka dalam waktu singkat sebagian besar
penduduk Sunggingan telah memeluk agama Islam, termasuk The Ling Sing sendiri yang
kemudian bergelar Kiai Telingsing. Bahkan, Syekh Jafar Sodiq pun akhirnya bermukim di sana
dan kelak terkenal dengan sebutan Sunan Kudus.

Sebagai tokoh syiar Islam yang berasal dari negeri asing, wajarlah Syekh Jafar Sodiq
membawa-bawa. keagungan atau kebesaran negerinya sendiri. Hal itu diperlihatkannya dalam
membangun sebuah mesjid di dekat gerbang atau gapura desa itu. Pada bagian kiblat mesjid itu
dihiasi lempengan-lempengan batu hitam yang berasal dari negeri Persia yang dipersamakan
dengan batu Hajar Aswad di Kakbah. Hiasan itu disebutnya Al Kuds yang berarti suci atau
keramat. Tak lama kemudian, mesjid itu pun dikenal masyarakat sekitarnya dengan sebutan
mesjid Kudus, yaitu sebuah mesjid yang dihiasi lempengan-lempengan batu AlKuds atau batubatu yang suci.
Apa yang diramalkan Raden Patah ternyata menjadi kenyataan. Setelah Syekh Jafar
Sodiq bermukim di desa Sunggingan dan berhasil membangun sebuah pesantren, berkembanglah
desa atau wilayah itu. Semakin banyaklah orang dari berbagai daerah lain yang berniat belajar
mengaji dan mencari kehidupan barn dengan bertani, berdagang, mengukir, dan sebagainya.
Desa Sunggingan yang dirintis oleh The Ling Sing berkembang menjadi pesantren dan kota yang
oleh penduduk setempat disebut Kudus, dan Syekh Jafar Sodiq pun kemudian dikenal dengan
sebutan Sunan Kudus.
Gerbang atau gapura Majapahit yang telah dipugar oleh Syekh Jafar Sodiq ternyata
menjadi salah satu ciri khas kota Kudus. Bangunan itu terkenal dengan sebutan Menara Kudus,
aslinya berada di dekat mesjid Sunggingan, sedangkan tiruannya didirikan di depan sebuah pusat
perbelanjaan kota Kudus. Ternpat lain yang bersangkutan dengan asal usul kota itu ialah makam
Kiai Telingsing yang nama aslinya The Ling Sing. Makam itu terdapat di desa Sunggingan,
sekarang hanya sebuah desa di dalam wilayah kota Kudus yang semakin semarak
perkembangannya.

Menelusuri Asal-usul Sejumlah Tempat di Kudus (1)


Nama Loram dari Pohon Lo
SEBUAH gapura selamat datang dari susunan batu bata berwarna merah muda, yang ditata
menyerupai bangunan rumah adat Kota Kretek, dengan cat yang mulai pudar di sana-sini,
tampak berdiri kukuh di tepi jalan masuk menuju Desa Loram Kulon, Kecamatan Jati, Kudus.
Pada salah satu bagian bangunan setinggi dua meter tersebut, tertera ucapan ''Anda Masuk Desa
Loram Kulon'' yang ditulis dengan huruf besar dan berwarna gelap -sangat kontras dengan latar
belakangnya yang merah muda.
Tanpa membaca pun, mereka yang melewati kawasan sejumlah home industry mulai dari tas
sampai tekstil -apalagi yang berdomisili di dalamnya- itu akan mengetahui bahwa wilayah
tersebut termasuk kawasan Loram.
Tetapi, mungkin tidak banyak yang tahu, tepatnya mengerti secara pasti, mengapa desa itu
dinamakan Loram.
Berdasarkan beberapa literatur yang mulai menguning, karena usianya yang makin renta, yang
tersudut di beberapa perpustakaan di Kudus, nama itu ternyata menyimpan cerita unik. Belum
lagi bahan kajian kesejarahan yang didapat oleh pihak Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Kudus,
melalui Kasi Kebahasaan, Kesenian, dan Nilai Tradisional (KKNT).
''Beberapa desa yang kami teliti, ternyata mengandung cerita yang mungkin saja tidak banyak
diketahui orang, apalagi generasi yang terlahir belakangan ini,'' kata Giyono, yang mengepalai
KKNT.
Ketika dirunut dari sejumlah sumber, misalnya dari sesepuh desa, kata dia, nama Loram
diperkirakan mempunyai hubungan dengan pohon bernama lo, yang dulu sering digunakan untuk
bertapa oleh penguasa kerajaan Majapahit terakhir, Prabu Brawijaya, saat ia mengembara dan
bersemedi di suatu tempat.
Di tempat itulah, ratusan tahun kemudian, orang melihat pohon lo yang tumbuh besar, seperti
raksasa, serta masih berdiri kukuh.
Mereka, warga desa tersebut, melihat sesuatu yang ngeram-erami (mengherankan). Karena itu,
kemudian mereka menyebutnya lo dan ram, sehingga lama-lama daerah itu dikenal dengan nama
Loram.

Gondoarum
Selain Loram, sebuah desa bernama Gondoarum yang terletak di Kecamatan Jekulo, juga
menyimpan cerita tersendiri. Syahdan, dari cerita yang turun temurun disebarkan oleh para tetua,
pada zaman penjajahan Belanda terdapatlah seorang martir bernama Mbah Sewa Negara.
Kakek yang dikenal keras hati tersebut, mempunyai seorang cucu bernama Kasim. Suatu ketika,
cucu yang berselisih paham dengan kakeknya tersebut meninggalkan pepundhen-nya itu untuk
berkelana, sampai akhirnya bertemu dengan seorang putri cantik jelita.
Ketika dijumpai, putri tersebut terlihat menyelipkan bunga di atas telinganya, hingga membuat
bau harum di sekitarnya. Dalam beberapa rentang waktu kemudian, daerah tersebut dikenal
dengan nama Desa Gondoarum.
''Meskipun legenda tersebut didapat dari keterangan beberapa sesepuh masyarakat di desa
tersebut, namun sampai saat ini kejelasan hal itu masih terus kami teliti,'' katanya.
Legenda-legenda kesejarahan tersebut, ujar Giyonodijadikan satu dalam bentuk kumpulan data
kesejarahan dan nilai kultural Kabupaten Kudus. Data tersebut, nantinya akan dijadikan acuan
bagi Pemkab umumnya dan Disparbud khususnya, untuk menyusun sejarah Kota Kudus secara
lebih komprehensif.
''Tentunya, dengan juga melibatkan ahli kesejarahan untuk mengaji sejauh mana kebenaran
cerita-cerita tersebut,'' tambah Giyono yang mengaku baru menggali beberapa legenda sejumlah
desa di Kudus, untuk menelusuri asal-usul kesejarahannya. (Anton Wahyu Hartono,
Bersambung-15a)

BULUSAN
Pada suatu hari Sunan muria berniat mnghadiri sebuah pertemuan Wali Sanga di daerah Pati
untuk membicarakan syiar islam. Perjalanannya diikuti oleh sejumlah santri terpilih yang
senantiasa setia berguruk kepada Sunan Muria. Pada waktu itu perjalanan mereka belum selancar
sekarang karena masih menempuh hutan belukar, sawah dan rawa. Perjalanan itu berlangsung
siang dan malam agar segera sampai ke tempat tujuan.
Di suatu persawahan yang terlindung pepohonan yang lebat, Sunan Muria terhenti langkahnya
karena mendengar suara krubyuk-krubyuk yaitu suara air yang disebabkan oleh gerakan
tertentu. Sesungguhnya suara itu berasal dari langkah-langkah orang disawah yang berair.
suara apakah yang krubyuk-krubyuk dimalam sepi begini? tanya Sunan Muria kepada santrisantrinya
Mendengar pertanyaan Sang Sunan bergegaslah para santrinya mencari tahu. Kemudian,
diketahui bahwa suara itu berasal dari langkah-langkah orang yang sedang mencabuti bibit padi
untuk ditanam di sawah keesokan harinya.
Kanjeng Sunan, sesungguhnya suara itu dari orang yang sedang mencabuti bibit pada. Besok
pagi mereka akan menanamnya di sawah
oh, kukira tadi suara bulus. Kata Sunan Muria dengan lembutnya.
Konon, kata-kata Sunan menjadi kenyataan. Orang-orang yang sedang mencabuti bibit padi itu
berubah menjadi bulus atau kura-kura. Tentu saja mereka pun terkejut dan bersedih hati
menyadari nasibnya yang malang itu. Akan tetap ikepada siapa mereka harus mengadukan
nasibnya? Mereka hanya bisa menduga bahwa kejadian itu akibat kutukan dewata atau orang
sakti yang keramat.
Barangkali kita berdosa karena bekerja malam hari, ujar seekor bulus dengan nada sedih.
Tapi, siapa orang yang melarang orang bekerja malam hari? ujar yang lain.
Itu mustahil, sebab Dewi Sri selalu mendapat sesaji di saat kita panen. Dewi Sri pastilah
bersedih manyaksikan nasib kita seperti ini.
Sudahlah, kita berserah diri kepada sang Pencipta. Barangkali memang sudah takdir, kata
seekor bulus yang merasa bertanggung jawab atas musibah itu. Dialah yang pada mulanya
mengajak sanak kerabatnya untuk bekerja di malam hari.
Segera saja peristiwa itu menjadi buah bibir penduduk setempat yang resah karena kehilangan
sebagian warganya. Lantas, diantara mereka ada yang berusaha mencari keterangan kesanakesini hingga tahulah bahwa kejadian itu akibat kata-kata sunan muria. Kabar itu akhirnya
terdengar oleh kaum kura-kura yang berusaha payah mencari persembunyian
Beberapa hari kemudian, mereka yang telah menjadi bulus itu mendengar kabar dari orang-orang
bahwa Sunan Muria akan segera kembali dari Pati. Tumbuhlah niat mereka hendak memohon
ampunan kepada Sunan Muria agar dapat menjadi manusia biasa.
Dengan kabar mereka menunggu lewatnya suan muria sambil berendam diri disawah. Setiap kali
mendengar langkah orang yang lewat mereka berebut naik keatas hendak mengetahui siapa yang
lewat. Beberapa kali mereka pun kecewa karena orang-orang yang lewat ternyata bukan
rombongan Sunan Muria.

Pada saat Sunan Muria dan Santri-santrinya melewati tempat itu bergegaslah mereka naik keatas
hendak menghadap Sunan Muria. Setelah yakin bahwa orang-orang yang lewat adalah
rombongan Sunan Muria, berkatalah diantara mereka, Kanjeng Sunan, ampunilah dosa dan
kesalahan kami dan mohonkan kepada Allah agar akmi kembali menjadi manusia biasa.
Sesungguhnya hati Sunan Muria merasa terharu menyaksikan peristwa itu. Akan tetapi beliau
pun tersenyum sambil berkata dengan lembutnya.
Wahai sanak kerabatku, aku sendiri ikut prihatin terhadap musibah ini, namun haruslah
kukatakan bahwa semua ini sudah menjadi takdir Allah. Oleh karena itu terimalah dengan iklas
dan bertawakallah kepada Sang Pencipta.
Kanjeng Sunan, sekiranya memang demikian takdir kami, lantas bagaimanakah kami
memperoleh kehidupan?
Hati Sunan Muria semakin pilu mendengar permohonan itu. Setelah beliau bertafakur sejenak
sesaat kemudian dengan tangkas menusukkan tongkatnya ke dalam tanah. Pada saat Sunan
mencabut tongkatnya muncullah air yang jernih. Dalam waktu sekejap saja tempat itu telah
menjadi kolam atau sendang.
Dengarlah wahai para bulus tempat ini telah menjadisumber air abadi dan kelak akan mejadi
desa yang ramai dengan nama sumber. Bersabarlah kalian disini karena makanan apapun yang
kalian inginkan akan datang sendiri.
Setelah berkata demikian bergegaslah Sunan Muria dan rombongan meningglkan tempat itu
sehingga para bulus tak sempat menyampaikan terima kasihnya. Sejak itu orang-orang setempat
menyaksikan sebuah kolam atau sendang yang banyak bulusnya. Sampai sekarang sendang
sumber itu masih dikeramatkan.

Cerita Rakyat Watu Gajah


Ki Ageng Kedungsari yaiku wong kang paling dihurmati ing daerah Gebog. Daerah kuwi anane
ing Kabupaten Kudus. Dheweke seneng banget amarga duwe anak lanang sing bagus lan gagah
prakasa. Nalika anake wis gedhe, Ki Ageng Kedungsari duwe kepenginan ngawinake anake.
Ananging anake ora gelem amarga durung ana bocah wadon kang trep ana ing atine. Banjur Ki
Ageng Kedungsari njaluk tulung marang sedulure supaya nggolekake prawan sing pantes dadi
bojone anake. Let pirang-pirang dina Ki Ageng Kedungsari entuk warta saka sedulure, yen ana
prawan saka daerah Jepara sing ayu banget. Dheweke anake Ki Ageng Rajekwesi.
Banjur kulawargane Ki Ageng Kedungsari nyiapake ubarampe maneka warna kanggo digawa
menyang Jepara. Ki Ageng Kedungsari atine sansaya bungah banget amarga rumangsa dheweke
wong sing paling sugih lan dihurmati wong akeh.

Nalika wis tekan nggone Ki Ageng Rajekwesi, ning kana wis disiapake maneka warna panganan
lan omben-omben. Uga ana gamelan lan bocah-bocah wadon kang lagi mbeksa. Sawise njagong
ngalor ngidul, banjur utusane Ki Ageng Kedungsari kandha yen Ki Ageng Kedungsari arep
nglamar anake wadon Ki Ageng Rajekwesi, kanggo anake lanang Ki Ageng Kedungsari.
Krungu mengkana kuwi, Ki Ageng Rajekwesi mung mlengeh. Banjur ngendika yen anake wadon
kuwi mung gelem dilamar karo wong lanang sing menehi mas kawin kang arupa gajah, Mula
kandhakana marang Ki Ageng Kedungsari.ngendikane Ki Ageng Rajekwesi.
Pangandikane Ki Ageng Rajekwesi katrima kanthi leganing ati marang utusane Ki Ageng
Kedungsari. Amarga utusane kelingan yen Ki Ageng Kedungsari duweni gajah. Banjur utusane
Ki Ageng Kedungsari bali menyang Kudus.
Nalika wis tekan Kudus, Ki Ageng Kedungsari wis duwe pangangen-angen yen lamarane
marang anake Ki Ageng Rajekwesi bakal katrima. Sunyatane malah Ki Ageng Kedungsari kudu
menehi gajah kanggo mas kawin, yen kepengin lamarane katrima marang Ki Ageng Rajekwesi.
Uga suwe nggone mikir, nanging amarga rasa tresnane marang anake, dheweke nglilakake
gajahe kanggo mas kawin.
Banjur warta kuwi kasebar tekan ngendi-endi, yen Ki Ageng Kedungsari nglikake gajahe kanggo
mas kawin. Warta kuwi uga krungu dening Ki Ageng Menawan. Ananging atine serik krungu
warta yen Ki Ageng Kedungsari nglikake gajahe kanggo mas kawin. Mula Ki Ageng Menawan
ngrancana arep ngrampog utusane Ki Ageng Kedungsari sing arep menyang Jepara. Ki Ageng
Menawan uga nggolek bala sing jenenge Ki Watu Gede. Ki Watu Gede uga seneng banget nalika
dikandhani rancana kuwi. Mengko yen wis entuk hasil rampogane, Ki Watu Gede entuk kabeh
bandha sing dirampog, banjur Ki Ageng Menawan entuk gajahe.
Ora let suwe, utusane Ki Ageng Kedungsari wis ngleboni daerah kuwasane Ki Watu Gede.
Utusane Ki Ageng Kedungsari wis wiwit waspada amarga wis ngleboni daerah kuwasane wong
liya.

Nalika utusane Ki Ageng Kedungsari lagi padha ngaso Ki Watu Gedhe lan Ki Ageng Menawan
ngrampog bandha lan gajahe Ki Ageng Kedungsari. Banjur para utusane Ki Ageng Kedungsari
padha tandhing karo Ki Ageng Menawan lan Ki Watu Gede. Tetandhingan kuwi ora ana sing
kalah, ora ana sing menang.
Banjur Ki Ageng Kedungsari teka marang panggonan kuwi lan tandhing karo Ki Watu Gede uga
Ki Ageng Menawan. Tetandhingan kuwi uga ora ana sing menang, ora ana sing kalah.
Pungkasane, entuk pasarujukan kanggo ngedum gajah kuwi dadi telu. Ki Ageng Menawan
enthuk endhase, Ki Ageng Kedungsari nggawa awake lan Ki Watu Gede entuk bokong lan
buntute.
Saka prastawa kuwi dadine ana kapercayan yen trahe Ki Ageng Menawan yaiku wong-wong
sing waninan, trahe Ki Ageng Kedungsari yaiku wong-wong sing akeh rejekine lan trahe Ki
Watu Gede yaiku wong-wong sing kangelan nggolek rejeki.
Mula saiki telung perangan gajah kuwi awujud watu-watu gedhe sing bisa katemokake ing Desa
Kedungsari lan Desa Menawan ing Kecamatan Gebog, Kabupaten Kudus. Uga ana ing Desa
Watu, Kecamatan Mayong, Kabupaten Jepara.

GEDHANG BECICI
ORA ENTUK DI PANGAN
Ing Indonesia akeh jenise gedhang ana gedhang ambon, gedhang raja, gedhang susu, gedhang
kepok, gedhang klutuk, gedhang becici lan sakliyane. Gedhang klutuk jarang di pangan amarga
isine akeh, nanging gedhang becici pantang dipangan atas saran Sunan Muria. Kisahepun
saklajengepun.
Putri Narayana yaiku istri Sunan Muria kang lagi meteng. Putri Narayana pengen mangan daging
kijang. Sunan Muria seneng amerga puteri Narayana lagi meteng, nanging Sunan Muria bingung
piye carane golek daging kijang,

Banjur Sunan Muria lan para santrine lunga marang hutan nggolek kijang, nanging ing tengah
perjalanan Sunan Muria lan santrine ketemu karo wong tuwa lanang sing lagi nggolek kayu
bakar, banjur pak tuwa ngandhani Sunan Muria yen hutan niki wanten sing nduweni yaiku Ki
Lokajaya. Banjur Sunan Muria lan pak tuwa mau lunga neng guo arep nemoni Ki Lokajaya,
nanging sakwisi tekan neng gua jebule neng gua orak ana sapa-sapa. Banjur Sunan Muria semedi
neng njero guo lan njaluk patunjuk karo sing gawe urip.
Orak suwe panjaluke Sunan Muria di ijabahi. Sunan Muria lan para santrine banjur bali marang
pesantren karo nggawa kijang. Tekan pesantren, putri Narayana saneng banget weruh Sunan
Muria lan para santrine bali karo nggawa kijang. Sahingga ndadikake putri Narayana kepengen
cepet-cepet mangan daging kijang.
Banjur Sunan Muria ngengken santrine njaluk geni neng omahe pak tuwa kang sakti. Santrine
bali songko omahe pak tuwa orak nggawa geni malah nggawa gedhang becici, sahingga
ndanekake Sunan Muria nesu, banjur gedhang becici mau di banting neng lemah, nanging orak
suwe soko banthingane mau metu geni soko gedhang becici. Banjur geni kuwi akhire di enggo
masak daging kijang.
Sakwise acara mangan-mangan daging kijang mau, banjur Sunan Muria ngendhikan karo kabeh
santrine elingo para santri lan anak putuku, aja nganti mangan gedhang becici, amarga gedhang
becici rasane orak enak. Ben wae gedhang kuwi nduweni kodrate dewe.
Banjur Sunan Muria lunga neng gua arep nemoni Begawan Lokajaya arep ngaturake
maturnuwun marang Begawan Lakojaya, nanging Sunan Muria orak ketemu Begawan Lakojaya,
amarga Begawan Lakojaya wis Moksa. Sahingga orak ana wong kang ngerti neng endhi
kuburane. Kanggo ngaturaken maturnuwun, Sunan Muria nancepakake tongkat ing bekas
pertapaan Begawan Lokajaya. Kelak tongkat kuwi bisa urip dadi suket pring sing kabeh wong

orak bisa nggunakake,. Tongkat kuwi dadi cungkup (pelindung) kuburan kang di percaya
masyarakat dadi kuburane Begawan Lokajaya.

Anda mungkin juga menyukai