Anda di halaman 1dari 13

Nama : Fikriah Rahmi

NIM

Tugas : dr. Sukasihati, SpKK

: 09101021

OBAT ANTI JAMUR


MEKANISME KERJA
Mekanisme kerja obat antijamur adalah dengan mempengaruhi sterol membran plasma sel
jamur, sintesis asam nukleat jamur, dan dinding sel jamur yaitu kitin, glukan, dan
mannooprotein.
1. Sterol membran plasma : ergosterol dan sintesis ergosterol
Ergosterol adalah komponen penting yang menjaga integritas membran sel jamur dengan
cara mengatur fluiditas dan keseimbangan dinding membran sel jamur. Kerja obat antijamur
secara langsung (golongan polien) adalah menghambat sintesis ergosterol dimana obat ini
mengikat secara langsung ergosterol dan channel ion di membran sel jamur, hal ini
menyebabkan gangguan permeabilitas berupa kebocoran ion kalium dan menyebabkan
kematian sel. Sedangkan kerja antijamur secara tidak langsung (golongan azol) adalah
mengganggu biosintesis ergosterol dengan cara mengganggu demetilasi ergosterol pada jalur
sitokrom P450 (demetilasi prekursor ergosterol).1
2. Sintesis asam nukleat
Kerja obat antijamur yang mengganggu sintesis asam nukleat adalah dengan cara
menterminasi secara dini rantai RNA dan menginterupsi sintesis DNA. Sebagai contoh obat
antijamur yang mengganggu sintesis asam nukleat adalah 5 flusitosin (5 FC), dimana 5 FC
masuk ke dalam inti sel jamur melalui sitosin permease. Di dalam sel jamur 5 FC diubah
menjadi 5 fluoro uridin trifosfat yang menyebabkan terminasi dini rantai RNA. Trifosfat ini
juga akan berubah menjadi 5 fuoro deoksiuridin monofosfat yang akan menghambat timidilat
sintetase sehingga memutus sintesis DNA.1
3. Unsur utama dinding sel jamur : glukans
Dinding sel jamur memiliki keunikan karena tersusun atas mannoproteins, kitin, dan
dan glukan yang menyelenggarakan berbagai fungsi, diantaranya menjaga rigiditas dan
bentuk sel, metabolisme, pertukaran ion pada membran sel. Sebagai unsur penyangga adalah
glukan. Obat antijamur seperti golongan ekinokandin menghambat pembentukan 1,3
glukan tetapi tidak secara kompetitif. Sehingga apabila glukan tidak terbentuk, integritas
struktural dan morfologi sel jamur akan mengalami lisis.1
OBAT ANTIJAMUR SISTEMIK
GOLONGAN AZOL
Kelompok azol dapat dibagi menjadi dua kelompok berdasarkan jumlah nitrogen pada
cincin azol. Kelompok imidazol (ketokonazol, mikonazol, dan klotrimazol) terdiri dari dua
nitrogen dan kelompok triazol (itrakonazol, flukonazol, varikonazol, dan posakonazol)
mengandung tiga nitrogen.2,3 Kedua kelompok ini memiliki spektrum dan mekanisme aksi yang
sama. Triazol dimetabolisme lebih lambat dan efek samping yang sedikit dibandingkan imidazol,
karena keuntungan itulah para peneliti berusaha mengembangkan golongan triazol daripada
imidazol.4
Pada umumnya golongan azol bekerja menghambat biosintesis ergosterol yang
merupakan sterol utama untuk mempertahankan integritas membran sel jamur. Bekerja dengan

cara menginhibisi enzim sitokrom P 450, C-14--demethylase yang bertanggung jawab merubah
lanosterol menjadi ergosterol, hal ini mengakibatkan dinding sel jamur menjadi permeabel dan
terjadi penghancuran jamur.5,6
1. Ketokonazol
Ketokonazol mempunyai spektrum yang luas dan efektif terhadap Blastomyces dermatitidis,
Candida species, Coccidiodes immitis, Histoplasma capsulatum, Malasezzia furfur,
Paracoccidiodes brasiliensis. Ketokonazol juga efektif terhadap dermatofit tetapi tidak efektif
terhadap Aspergillus spesies dan Zygomycetes.7
Dosis ketokonazol yang diberikan pada dewasa 400 mg/hari sedangkan dosis untuk anakanak 3,3-6,6 mg/kgBB dosis tunggal. Lama pengobatan untuk tinea korporis dan tinea kruris
selama 2-4 minggu, 5 hari untuk kandida vulvovaginitis, 2 minggu untuk kandida esofagitis,
tinea versikolor selama 5-10 hari, 6-12 bulan untuk mikosis dalam.7
Anoreksia, mual dan muntah merupakan efek samping yang sering dijumpai terjadi pada
20% pasien yang mendapat dosis 400 mg/hari. Pemberian pada saat menjelang tidur atau dalam
dosis terbagi dapat mengatasi keadaan ini. Alergi dapat terjadi pada 4% pasien, dan gatal tanpa
rash terjadi sekitar 2% pada pasien yang diterapi ketokonazol.7
Ketokonazol dapat menginhibisi biosintesis steroid, seperti halnya pada jamur. Peninggian
transaminase sementara dapat terjadi pada 5-10% pasien. Untuk pengobatan jangka waktu yang
lama, dianjurkan dilakukan pemeriksaan fungsi hati. Hepatitis drug induced dapat terjadi pada
beberapa hari pemberian terapi atau dapat terjadi berbulan-bulan setelah pemberian terapi
ketokonazol. Ketokonazol dosis tinggi (>800 mg/hari) dapat menghambat human adrenal
synthetase dan testicular steroid yang dapat menimbulkan alopesia, ginekomastia dan impoten.7
2. Itrakonazol
Itrakonazol mempunyai aktifitas spektrum yang luas terhadap Aspergillosis sp.,
Blastomyces dermatidis, Candida sp., Cossidiodes immitis, Cryptococcus neoformans,
Histoplasma capsulatum, Malassezia furfur, Paracoccidiodes brasiliensis, Scedosporium
apiospermum dan Sporothrix schenckii. Itrakonazol juga efektif terhadap dematiaceous mould
dan dermatofita tetapi tidak efektif terhadap Zygomycetes.7
Itrakonazol dosis kontinyu sama efektif dengan dosis pulse. Pada onikomikosis kuku
tangan, pulse terapi diberikan selama 2 bulan, sedangkan onikomikosis kuku kaki selama 3
bulan. Itrakonazol merupakan obat kategori C, sehingga tidak direkomendasikan untuk wanita
hamil dan menyusui, karena dieksresikan di air susu. Itrakonazol tersedia juga dalam bentuk
kapsul 100 mg. Bentuk kapsul diberikan dalam kondisi lambung penuh untuk absorpsi maksimal,
karena cyclodextrin yang terdapat dalam bentuk
ini sering menimbulkan keluhan
4,8
gastrointestinal.
Tabel 1. Rejimen dosis itrakonazol5
Onikomikosis

Dewasa
Kuku tangan : 200 mg 2xsehari 1
minggu/bulan , 2 dosis pulse
Kuku kaki : 200 mg/harix12
minggu
Atau
200 mg 2xsehari x 1minggu/bulan,
3 dosis pulse

Anak-anak
Kuku tangan : 5 mg/kg/hari x 1
minggu/bulan, 2 dosis pulsea
Kuku kaki : 5 mg/kg/hari x 1
minggu/bulan, 3 dosis pulse

Tinea kapitis

250 mg/hari x 2-8 minggu

Tinea korporis, tinea kruris, tinea


pedis
Pitiriasis versikolor

200 mg 2xseharix1 minggu

Infeksi Trichophyton : 5 mg/kg/hari


x 2-4 minggu
Infeksi
Mikrosporum
:
5
mg/kg/hari x 4-8 minggu
Dosis berdasarkan berat x 1-4
minggu
Tidak ada penelitian

200 mg/hari x 5-7 hari, untuk


pencegahan rekuren dengan 200
mg 2xsehari dosis tunggal/bulan
a
Dosis pediatrik berdasarkan berat badan : 100 mg/hari (15-30 mg), 100 mg/hari dapat diganti dengan 200 mg/hari
(30-40 kg), 200mg/hari (> 50 kg)

Efek samping yang sering dijumpai adalah masalah gastrointestinal seperti mual, nyeri
abdomen dan konstipasi. Efek samping lain seperti sakit kepala, pruritus, dan ruam alergi.
3. Flukonazol
Menurut FDA flukonazol efektif untuk mengatasi kandidiasis oral atau esophageal,
criptococcal meningitis dan pada penelitian lain dinyatakan efektif pada sporotrikosis
(limfokutaneus dan visceral).4
Flukonazol digunakan sebagai lini pertama terapi kandidiasis mukotan. 5 Pada pediatrik
digunakan untuk terapi tinea kapitis yang disebabkan Tinea tonsurans dengan dosis 6 mg/kg/hr
selama 20 hari, dan 5 mg/kg/hr selama 30 hari. Tetapi diberikan lebih lama pada infeksi
Mycoplasma canis.8
Flukonazol tersedia sediaan tablet 50 mg, 100 mg, 150 mg, dan 200mg; sediaan oral solusio
10 mg/ml dan 40 mg/ml dan dalam bentuk sediaan intravena. Direkomendasikan pada anakanak <6 bulan.8
Penggunaan untuk orang dewasa dan kandidiasis vagina adalah 150 mg dosis tunggal. Pada
kandidiasis vulvovaginal rekuren 150 mg tiap minggu selama 6 bulan atau lebih. Tinea pedis
dengan 150 mg tiap minggu selama 3-4 minggu, dengan 75% perbaikan pada minggu ke-4. Pada
terapi onikomikosis, terbinafin 250 mg sehari selama 12 minggu lebih utama dibandingkan
flukonazol 150 mg tiap minggu selama 24 minggu. Pada pitiriasis versikolor digunakan 400 mg
dosis tunggal. Pada suatu penelitian open label randomized meneliti pitiriasis versikolor yang
diterapi dengan 400 mg flukonazol dosis tunggal dibandingkan dengan 400 mg itrakonazol,
ternyata flukonazol lebih efektif dibandingkan itrakonazol dengan dosis sama.8
Flukonazol ditoleransi baik oleh geriatrik kecuali dengan gangguan ginjal. Obat ini termasuk
kategori C, sehingga tidak direkomendasikan untuk wanita hamil dan menyusui.8
Efek samping yang sering adalah masalah gastrointestinal seperti mual, muntah, diare,
nyeri abdomen dan juga sakit kepala. Selain itu hipersensitivitas, agranulositosis, sindroma
Stevens Johnsons, hepatotoksik, trombositopenia dan efek pada sistem saraf pusat.8
4. Varikonazol
Varikonazol mempunyai spektrum yang luas terhadap Aspergillus sp., Blastomyces
dermatitidis, Candida sp, Candida spp flukonazol resistant., Cryptococcus neoforams, Fusarium
sp., Histoplasma capsulatum, dan
Scedosporium apospermum. Tidak efektif terhadap
1
Zygomycetes.
Pemberian pada kandidiasis esofageal dimulai dengan dosis oral 200 mg setiap 12 jam untuk
berat badan > 40 kg dan 100 mg setiap 12 jam untuk berat badan < 40 kg. Untuk aspergilosis
invasif dan penyakit jamur, lainnya yang disebabkan Scedosporium asiospermum dan Fussarium

spp, direkomendasikan loading dose 6 mg/kg IV setiap 12 jam untuk 24 jam pertama, diikuti
dengan dosis pemeliharaan 4 mg/kgBB setiap 12 jam dengan pemberian intravena atau 200 mg
setiap 12 jam per oral.9
Vorikonazol dapat ditoleransi baik oleh manusia. Efek toksik vorikonazol yang sering
ditemukan adalah gangguan penglihatan transien (30%). Meski dapat ditoleransi dengan baik,
pada 10-15% kasus ditemukan adanya abnormalitas fungsi hepar sehingga dalam pemberian
vorikonazol perlu dilakukan monitor fungsi hepar. Vorikonazol bersifat teratogenik pada hewan
dan kontraindikasi pada wanita hamil.7,10
5. Posakonazol
Posakonazol memiliki kemampuan antijamur terluas saat ini. Tidak ditemukan resistensi
silang posakonazol dengan flukonazol. Posakonazol merupakan satu-satunya golongan azol yang
dapat menghambat jamur golongan Zygomycetes. Posakonazol juga dapat digunakan dalam
pengobatan aspergilosis dan fusariosis.11,12
Posakonazol hanya tersedia dalam bentuk suspensi oral, dapat diberikan dengan rentang
dosis 50-800 mg. Pemberian awal posakonazol dibagi menjadi empat dosis guna mencapai level
plasma adekuat. Pemberian posakonazol dapat juga diberikan dua kali sehari pada keadaan tidak
membahayakan jiwa. Absorbsi posakonazol lebih baik bila diberikan bersama dengan makanan
atau suplemen nutrisi.16
GOLONGAN ALILAMIN
Terbinafin
Terbinafin merupakan anti jamur yang berspektrum luas. Efektif terhadap dermatofit yang
bersifat fungisidal dan fungistatik untuk Candida albican, s tetapi bersifat fungisidal terhadap
Candida parapsilosis. Terbinafin juga efektif terhadap Aspergillosis sp., Blastomyces
dermatitidis, Histoplasma capsulatum, Sporothrix schenxkii dan beberapa dermatiaceous
moulds.8
Pada onikomikosis kuku tangan dan kaki dewasa yang disebabkan dermatofita, pemberian
terbinafin kontinyu lebih efektif daripada itrakonazol dosis pulse.4,7,8
Oral terbinafin efektif untuk pengobatan dermatofitosis pada kulit dan kuku. Dosis terbinafin
oral untuk dewasa yaitu 250 mg/hari, tetapi pada pasien dengan gangguan hepar atau fungsi
ginjal (kreatinin klirens < 50 ml/menit atau konsentrasi serum kreatinin > 300 mol/ml) dosis
harus diberikan setengah dari dosis tersebut. Pengobatan tinea pedis selama 2 minggu, tinea
korporis dan kruris selama 1-2 minggu, sedangkan infeksi pada kuku tangan selama 3 bulan dan
kuku kaki selama 6 bulan atau lebih.7,8
Tabel 2. Terbinafin dosis rejimen8
Onikomikosis

Tinea kapitis

Tinea korporis, tinea kruris


Tinea pedis (mokasin)

Dewasa
Kuku tangan : 250 mg/hr x 6
minggu
Kuku kaki : 250 mg/hr x 12
minggu
250 mg/hr x 2-8 minggu

250 mg/hr x 1-2 minggu


250 mg/hr x 2 minggu

Anak-anak
3-6 mg/khg/hr x 6-12 minggua

Infeksi
Trichophyton
:
mg/kg/hr x 2-4 minggua
Infeksi
Microsporum :
mg/kg/hr x 6-8 minggua
3-6 mg/kg/hr x 1-2 minggu
b

3-6
3-6

b
Dermatitis seboroik
250 mg/hr x 4-6 minggu
a
Dosis anak berdasarkan berat badan : 62,5 mg/hr (10-20 kg), 125 mg/hr (20-40 kg), 250 mg/hr (>40 kg). Catatan :
tingkat kesembuhan tinggi dicapai dengan dosis 4,5 mg/hr atau lebih.
b
Tidak ada penelitian.

Efek samping pada gastrointestinal seperti diare, dispepsia, dan nyeri abdomen. Terbinafin
tidak direkomendasikan untuk pasien dengan penyakit hepar kronik atau aktif.7

GOLONGAN POLIEN
1. Amfoterisin B
Amfoterisin B mempunyai aktifitas spektrum yang luas terhadap Aspergillus sp., Mucorales
sp., Blastomyces dermatitidid, candida sp., Coccidiodiodes immitis, Cryptococcus neoformans,
Histoplasma capsulatum, paracoccidioides brasiliensis, Penicillium marneffei.
Sedangkan untuk Aspergillus tereus, Fussarium sp., Malassezia furfur, Scedosporium sp.,
dan Trichosporon asahii biasanya resisten.7
Kebanyakan pasien dengan infeksi mikosis dalam diberikan dosis 1-2 gr amfoterisin B
deoksikolat selama 6-10 minggu. Orang dewasa dengan fungsi ginjal yang normal diberikan
dosis 0,6-1,0 mg/kg BB. Sebelum pemberian obat, terlebih dahulu dites dengan dosis 1 mg
amfoterisin B di dalam 50 ml cairan dextrose dan diberikan selama 1-2 jam (anak-anak dengan
berat badan kurang dari 30 kg diberikan dosis 0,5 mg) kemudian diobservasi dan dimonitor suhu,
denyut jantung dan tekanan darah setiap 30 menit oleh karena pada beberapa pasien dapat timbul
reaksi hipotensi berat atau reaksi anafilaksis. Dosis obat dapat ditingkatkan > 1mg/kgBB, tetapi
tidak melebihi 50 mg. Setelah 2 minggu pengobatan, konsentrasi di dalam darah akan stabil dan
kadar obat di jaringan makin bertambah dan memungkinkan obat diberikan pada interval 48 atau
72 jam.4
Pemberian liposomal amfoterisin B biasanya dimulai dengan dosis 1,0 mg/kg BB dapat
ditingkatkan menjadi 3,0-5,0 mg.kgBB atau lebih. Formula ini harus diberikan intravena dalam
waktu 2 jam, jika ditoleransi baik maka waktu pemberian dapat dipersingkat menjadi 1 jam. Obat
ini berikan pada individu selama 3 bulan dengan dosis kumulatif 15 g tanpa efek samping toksik
yang signifikan. Dosis yang dianjurkan adalah 3 mg/kbBB/hari.13
Dosis yang direkomendasikan untuk pemberian amfoterisin B lipid kompleks yaitu 5
mg/kgBB dan diberikan intravena dengan rata-rata 2,5 mg/kbBB/jam. Obat ini pernah diberikan
pada individu selama 11 bulan dengan dosis kumulatif 50 g tanpa efek samping toksik yang
signifikan.13
Dosis awal amfoterisin B dispersi koloid yaitu 1,0 mg/kgBB diberikan intravena dengan
rata-rata 1 mg/kgBB/jam dan jika dibutuhkan dosis dapat ditingkatkan menjadi 3,0-4,0
mg/kgBB. Obat ini pernah diberikan pada individu dengan dosis kumulatif 3 g tanpa efek
samping toksik yang signifikan.4,13
Pemberian formula konvensional dengan cara intravena dapat segera menimbulkan efek
samping seperti demam, menggigil dan badan menjadi kaku. Biasanya timbul setelah 1-3 jam
pemberian obat. Mual dan muntah dapat juga dijumpai tetapi jarang, sedangkan efek lokal
flebitis sering juga dijumpai. Efek samping toksik yang paling serius adalah kerusakan tubulus
ginjal. Kebanyakan pasien yang mendapat formula konvensional sering menderita kerusakan
fungsi ginjal terutama pada pasien yang mendapat dosis lebih dari 0,5/kgBb/hari. Formula
konvensional dapat juga menyebabkan hilangnya potasium dan magnesium. Pasien yang

mendapat pengobatan lebih dari 2 minggu, dapat timbul anemia normokromik dan normositik
sedang.7,13
2. Nistatin
Nistatin merupakan antibotik yang digunakan sebagai antijamur, diisolasi dari Streptomyces
nourse pada tahun 1951. Untuk pengobatan kandidiasis oral, nistatin diberikan tablet nistatin
500.000 unit setiap 6 jam. Suspensi nistatin oral terdiri dari 100.000 unit/ml yang diberikan 4
kali sehari dengan dosis pada bayi baru lahir 1 ml, infant 2 ml dan dewasa 5 ml.7
GOLONGAN EKINOKANDIN
1. Kaspofungin
Kaspofungin mempunyai aktifitas spektrum yang terbatas. Kaspofungin efektif terhadap
Aspergillus fumigates, Aspergillus flavus dan Aspergillus terreus. Kaspofungin mempunyai
aktifitas yang berubah-ubah terhadap Coccidioides immitis, Histoplasma capsulatum dan
dermatiaceous molds. Kaspofungin juga efektif terhadap sebagian besar Candida sp., dengan
efek fungisidal yang tinggi, tetapi dengan Candida parpsilosis dan Candida krusei kurang
efektif, dan resisten terhadap Cryptococcus neoformans.9
Pada pasien aspergilosis, dosis yang dianjurkan 70 mg pada hari pertama dan 50 mg/hari
untuk hari selanjutnya. Setiap dosis harus diberikan intravena melalui infus dalam periode 1 jam.
Pasien dengan kerusakan hepar sedang, direkomendasikan dosis kaspofungin diturunkan menjadi
35 mg.4
Efek samping yang sering dijumpai yaitu demam, adanya ruam kulit, mual, muntah.5,13
2. Mikafungin
Pada tahun 2005, mikafungin disetujui FDA untuk terapi esofagitis kandida pada pasien
HIV.3
Pettengell et al. melaporkan pemberian mikafungin 50-100 mg/hari menyebabkan respon
total atau parsial pada 35 dari 36 pasien kandidiasis esophagus (97,2%) dan insiden efek simpang
hanya 2,8% (1 dari 36 pasien). Mikafungin juga bermanfaat untuk terapi aspergilosis invasif.10
Penelitian juga telah dilakukan untuk membandingkan efektifitas mikafungin dengan
flukonazol sebagai antijamur profilaksis pada 882 pasien yang menjalani transplantasi stem sel
hemopoietik. Mikafungin diberikan 50 mg/hari atau flukonazol 400 mg/hari secara acak selama
enam minggu. Hasil penelitian menunjukkan respon mikafungin sebagai antijamur profilaksis
lebih baik dibanding flukonazol (80% dibanding 73.5%; p = 0.025). Hasil ini konsisten terhadap
semua subgroup termasuk anak dan orang tua, pasien dengan netropenia persisten dan resipien
transplantasi alogenik dan autolog.4
3. Anindulafungin
Anindulafungin merupakan kelompok ekinokandin yang telah disetujui FDA tahun 2006
untuk penatalaksanaan kandidiasis esophagus, peritonitis dan abses intraabdomen disebabkan
kandida.3
Suatu penelitian terhadap 123 pasien kandidiasis invasif diacak untuk menerima sediaan 50,
75, atau 100 mg anindulafungin sekali sehari.

GOLONGAN ANTIJAMUR LAIN

1.

Flusitosin
Flusitosin efektif terhadap Candida sp., Cryptococcus neoformans, Cladophialophora
carrionii, Fonsecaea sp., Phialophora verrucosa.7
Pada orang dewasa dengan fungsi ginjal yang normal, pemberian flusitosin diawali
dengan dosis 100 mg/kg BB perhari, dibagi dalam 4 dosis dengan interval 6 jam namun jika
terdapat gangguan ginjal pemberian flusitosin diawali dengan dosis 25 mg/kgBB.7
Efek samping yang sering dijumpai yaitu mual,muntah dan diare. Trombositopenia dan
leukopenia dapat terjadi jika konsentrasi obat di dalam darah meninggi, menetap (>100 mg/L)
dan dapat juga dijumpai jika obat dihentikan. Peninggian kadar transaminase dapat juga dijumpai
pada beberapa pasien tetapi dapat kembali normal setelah obat dihentikan.7
2.

Griseofulvin
Griseofulvin mempunyai aktifitas spektrum yang terbatas hanya untuk spesies
Epidermophyton flocossum, Microsporum sp., dan Trichophyton sp., yang merupakan penyebab
infeksi jamur pada kulit, rambut kuku. Griseofulvin tidak efektif terhadap kandidiasis kutaneus
dan pitiriasis versikolor.7
Griseofulvin terdiri atas 2 bentuk yaitu microsize (mikrochryristallin) dan ultramicrosize
(ultramicrochrystallin). Bentuk ultramicrosize penyerapannya pada saluran pencernaan 1,5 kali
dibandingkan dengan bentuk microsize.8
Pada saat ini, griseofulvin lebih sering digunakan untuk pengobatan tinea kapitis. Tinea
kapitis lebih sering dijumpai pada anak-anak disebabkan oleh Trychopyton tonsurans. Dosis pada
anak-anak 20-25 mg/kg/hari (mikrosize), atau 15-20 mg/kg/hari (ultrasize) selama 6-8 minggu.8
Dosis griseofulvin (pemberian secara oral) yaitu dewasa 500-1000 mg/ hari (microsize)
dosis tunggal atau terbagi dan 330-375 mg/hari (ultramicrosize) dosis tunggal atau terbagi.10
Lama pengobatan untuk tinea korporis dan kruris selama 2-4 minggu, untuk tinea kapitis paling
sedikit selama 4-6 minggu, untuk tinea pedis selama 4-8 minggu dan untuk tinea unguium
selama 3-6 bulan.7,8
Efek samping griseofulvin biasanya ringan berupa sakit kepala, mual, muntah, dan nyeri
abdomen. Timbulnya reaksi urtikaria dan erupsi kulit dapat terjadi pada sebagian pasien.8
ANTI JAMUR TOPIKAL
GOLONGAN AZOL-IMIDAZOL
1.
Klotrimazol
Klotrimazol dapat digunakan untuk pengobatan dermatifitosis, kandidiasis oral, kutaneus
dan genital. Untuk pengobatan oral kandidiasis, diberikan oral troches (10 mg) 5 kali sehari
selama 2 minggu atau lebih. Untuk pengobatan kandidiasis vaginalis diberikan dosis 500 mg
pada hari ke-1, 200 mg hari ke-2, atau 100 mg hari ke-6 yang dimasukkan ke dalam vagina.
Untuk pengobatan infeksi jamur pada kulit digunakan krim klotrimazol 1% dosis dan lamanya
pengobatan tergantung kondisi pasien, biasanya diberikan selama 2-4 minggu dan dioleskan 2
kali sehari.

2.

Ekonazol

Ekonazol dapat digunakan untuk pengobatan dermatofitosis dan kandidiasis oral,


kutaneus dan genital. Untuk pengobatan kandidiasis vaginalis diberikan dosis 150 mg yang
dimasukkan ke dalam vagina selama 3 hari berurut-turut. Untuk pengobatan infeksi jamur pada
kulit digunakan ekonazol krim 1 %, dosis dan lamanya tergantung dari kondisi pasien, biasanya
diberikan selama 2-4 minggu dan dioleskan 2 kali sehari. Ekonazol penetrasi dengan cepat di
stratum korneum. Kurang dari 1% diabsorpsi ke dalam darah. Sekitar 3% pasien mengalami
eritema lokal, sensasi terbakar, tersengat, atau gatal. 7
3.
Mikonazol
Mikonazol digunakan untuk pengobatan dermatofitosis, pitiriasis versikolor, serta
kandidiasis oral, kutaneus dan genital. Mikonazol cepat berpenetrasi pada stratum korneum dan
bertahan lebih dari 4 hari setelah pengolesan. Kurang dari 1% diabsorpsi dalam darah. Absorpsi
kurang dari 1,3% di vagina. Pengobatan kandidiasis vaginalis diberikan dosis 200 selama 7 hari
atau 100 mg selama 14 hari yang dimasukkan ke dalam vagina. Pengobatan kandidiasis oral,
diberikan oral gel (25 mg) 4 kali sehari. Pengobatan infeksi jamur pada kulit digunakan
mikonazol krim 2%, dosis dan lamanya pengobatan tergantung dari kondisi pasien, biasanya
diberikan selama 2-4 minggu dan dioleskan 2 kali sehari.
Efek samping pemakaian topikal vagina adalah rasa terbakar, gatal atau iritasi 7%
kadang-kadang terjadi kram di daerah pelvis (0,2%), sakit kepala, urtika, atau skin rash. Iritasi,
rasa terbakar dan maserasi jarang terjadi pada pemakaian kutaneus. Mikonazol aman digunakan
pada wanita hamil, meskipun beberapa ahli menghindari pemakaian pada kehamilan trimester
pertama.7
4.
Ketokonazol
Ketokonazol mempunyai ikatan yang kuat dengan keratin dan mencapai keratin dalam
waktu 2 jam melalui kelenjar keringat ekrin. Penghantaran akan menjadi lebih lambat ketika
mencapai lapisan basal epidermis dalam waktu 3-4 minggu. Konsentrasi ketokonazol masih
tetap dijumpai, minimal 10 hari setelah obat dihentikan.14
Ketokonazol digunakan untuk pengobatan dermatofitosis, pitiriasis versikolor, kutaneus
kandidiasis dan dapat juga untuk pengobatan dermatitis seboroik. Pengobatan infeksi jamur pada
kulit digunakan krim ketokonazol 1%, dosis dan lamanya pengobatan tergantung dari kondisi
pasien, biasanya diberikan selama 2-4 minggu dan dioleskan sekali sehari sedangkan pengobatan
dermatitis seboroik dioleskan 2 kali sehari. Pengobatan pitiriasis versikolor menggunakan
ketokonazol 2% dalam bentuk shampoo sebanyak 2 kali seminggu selama 8 minggu.14
5.
Sulkonazol
Sulkonazol digunakan untuk pengobatan dermatofitosis dan kandidiasis kutaneus.
Pengobatan infeksi jamur pada kulit digunakan sulkonazol krim 1%. Dosis dan lamanya
pengobatan tergantung dari kondisi pasien, biasanya untuk pengobatan tinea korporis , tinea
kruris ataupun pitiriasis versikolor dioleskan 1 atau 2 kali sehari selama 3 minggu dan untuk
tinea pedis dioleskan 2 kali sehari selama 4 minggu.14
6.
Terkonazol
Terkonazol digunakan untuk pengobatan dermatofitosis dan kandidiasis kutaneus dan
genital. Pengobatan kandidiasis vaginalis yang disebabkan Candida albicans, digunakan
terkonazol krim vagina 0,4% (20 gr terkonazol) yang dimasukkan ke dalam vagina
menggunakan aplikator sebelum waktu tidur, 1 kali sehari selama 3 hari berturut-turut dan
vaginal supositoria dengan dosis 80 mg terkonazol, dimasukkan ke dalam vagina, 1 kali sehari
sebelum waktu tidur selama 3 hari berturut-turut.15

7.

Tiokonazol
Tiokonazol digunakan untuk pengobatan dermatofitosis serta kandidiasis kutaneus dan
genital. Untuk pengobatan kandidiasis vaginalis diberikan dosis tunggal sebanyak 300 mg
dimasukkan ke dalam vagina. Untuk infeksi pada kulit digunakan tiokonazol krim 1%, dosis dan
lamanya pengobatan tergantung kondisi pasien, biasanya untuk pengobatan tinea korporis dan
kandidiasis kutaneus biasanya diberikan selama 2-4 minggu dan dioleskan 2 kali sehari. Untuk
tinea pedis dioleskan 2 kali sehari selama 6 minggu, untuk tinea kruris dioleskan 2 kali sehari
selama 2 minggu dan untuk pitirisis versikolor dioleskan 2 kali sehari selama 1-4 minggu.15
8.

Sertakonazol
Sertakonazol dapat digunakan untuk pengobatan dermatofitosis dan candida sp,
digunakan sertakonazol krim 2%, dioleskan 1-2 kali sehari selama 4 minggu.15

GOLONGAN ALILAMIN/BENZILAMIN
1.
Naftifin
Naftifin dapat digunakan untuk pengobatan dermatofitosis dan Candida sp., Untuk
pengobatan digunakan krim naftifin hidroklorida krim 1% dioleskan 1 kali sehari selama 1
minggu.8
2.
Terbinafin
Terbinafin dapat digunakan untuk pengobatan dermatofitosis, pitiriasis versikolor dan
kandidiasis kutaneus. Digunakan terbinafin krim 1% yang dioleskan 1 atau 2 kali sehari. Untuk
pengobatan tinea korporis dan tinea kruris digunakan selama 1-2 minggu, untuk tinea pedis
selama 2-4 minggu, untuk kandidiasis kutaneus selama 1-2 minggu dan untuk pitiriasis
versikolor selama 2 minggu.7
3.

Butenafin
Butenafin merupakan golongan benzilamin aktifitas antijamurnya sama dengan golongan
alilamin. Butenafin bersifat fungisidal terhadap dermatofita dan dapat digunakan untuk
pengobatan tinea korporis, tinea kruris dan tinea pedis, dioleskan 1 kali sehari selama 4 minggu.4

GOLONGAN POLIEN
1.
Nistatin
Pengobatan kandidiasis kutis dapat digunakan nistatin topikal pada kulit atau membrane
mukosa (rongga mulut, vagina). Nistatin biasanya tidak bersifat toksik tetapi kadang-kadabng
dapat timbul mual, muntah dan diare jika diberikan dengan dosis tinggi.
Untuk pengobatan kandidiasis vaginalis diberikan 1 atau 2 vaginal suppossitoria
(100.000 setiap unitnya) yang diberikan selama kurang lebih 14 hari.

ANTIJAMUR GOLONGAN LAIN


1.
Asam Undesilenat
Asam undesilenat bersifat fungistatik, dapat juga bersifat fungisidal apabila terpapar
lama dengan konsentrasi yang tinggi pada agen jamur. Tersedia dalam bentuk salep, krim, bedak
spray powder, sabun, dan cairan. Salap asam undesilenat mengandung 5% asam undesilenat dan
20% zinc undesilenat. Zinc bersifat astringent yang menekan inflamasi. Preparat ini digunakan

untuk mengatasi dermatomikosis, khususnya tinea pedis. Efektifitas masih lebih rendah dari
imidazol, haloprogin atau tolnaftat. Preparat ini juga dapat digunakan pada ruam popok, dan
tinea kruris.7
2.

Salep Whitefield
Pada tahun 1970, Arthur Whitefield membuat preparat salep yang mengandung 12%
asam benzoate dan 6% asam salisilat. Kombinasi ini dikenal dengan salep Whitefield. Asam
benzoat bekerja sebagai fungistatik, dan asam salisilat sebagai keratolitik sehingga menyebabkan
deskuamasi keratin yang mengandung jamur. Preparat nini sering menyebabkan iritasi khususnya
jika dipakai pada permukaan kulit yang luas. Selain itu absorpsi secara sistemik dapat terjadi,
dan menyebabkan toksisitas asam salisilat, khususnya pada pasien yang mengalami gagal ginjal.
Digunakan untuk mengatasi tinea pedis, dan tinea kruris. 7
3.
Amorolfin
Amorolfin merupakan phenylpropylpiperidine. Bekerja dengan cara menghambat
biosintesis ergosterol jamur. Aktifitas spektrumnya luas, dapat digunakan untuk pengobatan tinea
korporis, tinea kruris, tinea pedis dan onikomikosis. Untuk infeksi jamur pada kulit amorolfin
dioleskan satu kali sehari selama 2-3 minggu sedangkan untuk tinea pedis selama 6 bulan.
Amorolfin 5% nail lacquaer diberikan sebagai monoterapi pada onikomikosis ringan tanpa
adanya keterlibatan matriks. Diberikan satu atau dua kali seminggu selama 6-12 bulan.
Pemakaian amorolfin 5% pada pengobatan jamur memiliki angka kesembuhan 60-76% dengan
pemakaian satu atau dua kali seminggu. Kuku tangan dioleskan satu atau dua kali setiap minggu
selama 6 bulan sedangkan kuku kaki harus digunakan selama 9-12 bulan.5
4.

Siklopiroks olamin
Siklopiroks olamin adalah antijamur sintetik hydroxypyridone, bersifat fungisidal,
sporisida dan memiliki penetrasi yang baik pada kulit dan kuku. Siklopiroks efektif untuk
pengobatan tinea korporis, tinea kruris, tinea pedis, onikomikosis, kandidiasis kutaneus dan
pitiriasis versikolor.15
Untuk pengobatan infeksi jamur pada kulit harus dioleskan 2 kali sehari selama 2-4
minggu sedangkan untuk pengobatan onikomikosis digunakan siklopiroks nail lacquer 8%.
Setelah dioleskan pada permukaan kuku yang sakit, larutan tersebut akan mengering dalam
waktu 30-45 detik, zat aktif akan segera dibebaskan dari pembawa berdifusi menembus lapisan
lempeng kuku hingga ke dasar kuku (nail bed) dalam beberapa jam sudah mencapai kedalaman
0,4 mm dan secara penuh akan dicapai setelah 24-48 jam pemakaian. Kadar obat akan mencapai
kadar fungisida dalam waktu 7 hari sebesar 0,89 0,25 mikrogram tiap milligram material kuku.
Kadar obat akan meningkat terus hingga 30-45 hari setelah pemakaian dan selanjutnya
konsentrasi akan menetap yakni sebesar 50 kali konsentrasi obat minimal yang berefek
fungisidal. Konsentrasi obat yang berefek fungisidal ditemukan di setiap lapisan kuku.7
Sebelum pemakaian cat kuku siklopiroks, terlebih dahulu bagian kuku yang terinfeksi
diangkat atau dibuang, kuku yang tersisa dibuat kasar kemudian dioleskan membentuk lapisan
tipis. Dilakukan setiap 2 hari sekali selama bulan pertama, setiap 3 hari sekali pada bulan kedua
dan seminggu sekali pada bulan ketiga hingga bulan keenam pengobatan. Pemakaian cat kuku
dianjurkan tidak lebih dari 6 bulan.5,15
5.

Haloprogin

Haloprogin merupakan halogenated phenolic, efektif untuk pengobatan tinea korporis,


tinea kruris, tinea pedis dan pitiriasis versikolor, dengan konsentrasi 1% dioleskan 2 kali sehari
selama 2-4 minggu.7
6.

Timol
Timol adalah antiseptik yang larut dalam alkohol efektif dalam bentuk tingtur untuk
mengobati onikolisis. Timol bekerja sebagai antiseptik membunuh organisme pada saat alkohol
menguap. Tidak tersedia preparat komersil; ahli farmakologi mencampur 2-4% timol ke dalam
larutan dasar seperti etanol 95% dan mengendap di dasar botol. Pemakaiannya jari ditegakkan
vertikal lalu diteteskan solusio sampai menyentuh hiponikium, gaya gravitasi dan tekanan
permukaan secara cepat mendistribusikan timol ke bagian terdalam dari ruang subungual.
Penggunaan timol beresiko iritasi, dan memiliki bau yang tidak menyenangkan. 14
7.

Castellanis paint
Castellanis paint (carbol fuchsin paint) memiliki aktifitas antijamur dan antibacterial.
Digunakan sebagai terapi tinea pedis, dermatitis seboroik, tinea imbrikata. Efek sampingnya
adalah iritasi dan reaksi toksik terhadap fenol. 15
8. Alumunium Chloride
Alumunium Chloride 30% memiliki efikasi mirip dengan Castellanis paint pada terapi
tinea pedis.15
9.

Gentian Violet
Gentian violet adalah triphenylmethane (rosaniline) dye. Produk yang dipasarkan
mengandung 4% tetramethyl dan pentamethyl congeners campuran ini membentuk kristal violet.
Solusio gentian violet dengan konsentrasi 0,5-2% digunakan pada infeksi jamur mukosa.
Gentian violet memiliki efek antijamur dan antibaterial.15
10.

Potassium Permanganat
Potassium permanganat tidak memiliki aktifitas antijamur. Pada pengenceran 1:5000
sering digunakan untuk meredakan inflamasi akibat kandidiasi intertriginosa.15
11.

Selenium Sulphide
Losio 2,5% selenium sulphide untuk terapi pitiriasis versikolor dan dermatitis seboroik.
Pengguinaan losio selama 10 menit satu kali sehari selama pemakaian 7 hari, tidak terjadi
absorpsi perkutaneus yang signifikan. Selenium sulphide 2,5% dalam bentuk sampo dapat
menyebabkan iritasi pada kulit kepala atau perubahan warna rambut. Losio selenium sulphide
juga digunakan sebagai sampo pada tinea kapitis yang telah diberikan terapi oral griseofulvin.15
12.

Zinc Pyrithione
Zinc pyrithione adalah antijamur dan antibakteri yang digunakan mengatasi pitiriasis sika.
Sampo zinc pyrithione 1% efektif pada terapi pitiriasis versikolor yang dioleskan setiap hari
selama 2 minggu.15
13.

Sodium Thiosulfate dan Salicylic Acid

Solusio 25% sodium thiosulfate dikombinasi dengan 1% salicylic acid tersedia preparat
komersial dan digunakan pada tinea versikolor.15
14.

Prophylen Glycol
Prophylen glycol (50% dalam air) telah digunakan untuk mengatasi pitiriasis versikolor.
Prophylen glycol 4-6% sebagai agen keratolitik, yang secara in vitro bersifat fungistatik terhadap
Malassezia furfur kompleks (bentuk dari Pityrosporum spp). Solusio propylene glycol-ureaasam laktat juga telah digunakan untuk onikomikosis.15

DAFTAR PUSTAKA
1. Gubbins PO, Anaissie EJ. Antifungal therapy. In: Anaissie EJ, McGinn MR, Pfaller. Clinical
Mycology. 2nd Ed. China: Elsevier. 2009. p161-196
2. ZhaoX, Calderone RA. Antifungals currently used in the treatment of invasive fungal
disease. In: Calderone RA, Cihlar RL. Eds. Fungal pathogenesis principles and clinical
applications. USA; Mycology Vol 14. 2002; p 559-574

3. Onyewu C, Heitman J. Unique Aplications of Novel Antifungal Drug Combinations. AntiInfective Agents in Medicinal Chemistry 2007; 6: 3-15
4. Gupta AK. Systemic antifungal agents. In: Wolverton ES, editor. Comprehensive
dermatology drug therapy. Indianapolis, Indiana: W.B. Saunders Company;2002. Pp75-99.
5. Ashley ES et.al. Pharmacology of systemic antifungal agents. Clinical Infectious Disease D
2006;43 (Suppl 1):28-39.
6. Lesher J. Woody CMC. Antimicrobial drugs. In:Bolognia JL Jorrizo JL, Rapini RP, et al.
Eds. Dermatology 2th Ed, Mosby Elsevier, 2008.
7. Bennet JE. Antimicrobial Agents: Antifungal Agents. In: Brunton LL, Lazo JS, Parker KL. Goodman
& Gilman's: The Pharmacological Basis Of Therapeutics. 11th Ed. New York: Mc Graw-Hill. 2006

8. Bellantoni MS, Konnikov N. Oral antifungal agents. In: Wolff K, Goldsmith LA, Katz SI,
Gilchrest BS, Paller AS, Leffel DJ. eds. Fitzpatrickss Dermatology in General Medicine. 7 th
ed. New York: Mc Graw-Hill.2008.p 2211-2217
9. Wu JJ, Pang KR, Huang DB, Trying SK. Therapy of Systemic Fungal Infections. Dermatologic
Therapy 2004; 17: 532538
10. Rubin AI, Bagheri B, Scher RK. Six Novel Antimycotics. Am J Clin Dermatol 2002; 3(2): 71-81

11. Marr KA. Empirical Antifungal Therapy New Options, New Tradeoffs. N Engl J Med 2002;
346(4): 278-280
12. Torres HA, Hachem RY, Chemaly RF, Kontoviannis DP, Raad II. Posaconazole: A BroadSpectrum Triazole Antifungal. Lancet Infect Dis 2005; 5: 77585

13. Ray A, Anand S. Recent trends in antifungal therapy:focus on systemic mycoses. Indian J
Chest Dis Allied Sci 2000;42:357-366
14. Kyle AA, Dahl MV. Topical therapy for fungal infections. Am J Clin Dermatol
2004:5(6):443-461.
15. Huang DB. Therapy Of Common Superficial Fungal Infection. Dermatologic Therapy 2004;
17: 517-522

Anda mungkin juga menyukai