Anda di halaman 1dari 39

BAB I

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pembesaran prostat benigna atau lebih dikenal sebagai BPH sering
ditemukan pada pria yang menapaki usia lanjut. Istilah BPH atau benign
prostatic hyperplasia sebenarnya merupakan istilah histopatologis, yaitu
terdapat hiperplasia sel-sel stroma dan sel-sel epitel kelenjar prostat.
Hiperplasia prostat benigna ini dapat dialami oleh sekitar 70% pria di atas
usia 60 tahun. Angka ini akan meningkat hingga 90% pada pria berusia di
atas 80 tahun.
Meskipun jarang mengancam jiwa, BPH memberikan keluhan yang
menjengkelkan dan mengganggu aktivitas sehari-hari. Keadaan ini akibat dari
pembesaran kelenjar prostat atau yang menyebabkan terjadinya obstruksi
pada leher buli-buli dan uretra atau dikenal sebagai bladder outlet obstruction
(BOO). Obstruksi yang khusus disebabkan oleh pembesaran kelenjar prostat
disebut sebagai benign prostate obstruction (BPO). Obstruksi ini lama
kelamaan dapat menimbulkan perubahan struktur buli-buli maupun ginjal
sehingga menyebabkan komplikasi pada saluran kemih atas maupun bawah.
Seperti pada skenario berikut ini.
Apa Cuci Darah Bisa Bikin Ketagihan?
Lima hari yang lalu Tn. Hadi 70 th datang ke IGD RSDM karena tidak
bisa buang air kecil. Sebelumnya setiap BAK harus mengejan dan merasa
kurang lampias. Oleh dokter juga diperiksa pasien tampak pucat dan teraba
massa kistik suprapubik, kemudian dipasang kateter per uretra, dan keluar
urin 600 cc. Dikatakan ada sumbatan pada saluran kencing bagian bawah
dan disarankan untuk operasi. Pasien merasa belum siap dan memilih untuk
pulang paksa.
Setelah 2 hari berada di rumah, pasien menjadi semakin lemas, pucat,
sesak, mual dan muntah. Dari kateter urin keluar sedikit, tidak sampai 100 cc
setiap harinya. Karena gejala yang semakin berat tersebut, akhirnya pasien

dibawa ke RSDM lagi. Setelah dilakukan pemeriksaan fisik dan pemeriksaan


penunjang, dokter menyarankan untuk dilakukan operasi tetapi sebelumnya
pasien harus cuci darah dan transfusi karena dari pemeriksaan laboratorium
didapatkan kadar Hb 7 g/dL, dan kadar ureum 200 mg/dL dan kreatinin
darah 8 mg/dL, serta kadar gula darah sewaktunya normal.
Pasien awalnya tidak setuju, merasa khawatir akan kecanduan cuci
darah karena menurut pemikirannya ada tetangga pasien yang telah lama
mengidap penyakit ginjal selama bertahun-tahun harus cuci darah rutin
seminggu 2x. akan tetapi, dokter yang merawat pasien menjelaskan, bahwa
apa yang dialami pasien dan tetangga pasien adalah hal yang berbeda.
Menurut dokter, jika dilakukan cuci darah dan kemudian dilanjutkan
tindakan operasi kemungkinan fungsi ginjal pasien akan mengalami
perbaikan.
B. Rumusan Masalah
1. Kenapa pada saat miksi pasien harus mengejan dan merasa kurang
2.
3.
4.
5.

lampias?
Mengapa pasien tampak lemas, pucat, sesak, mual dan muntah?
Kenapa pada saat pemeriksaan teraba massa kistik suprapubik?
Bagaimana interpretasi hasil laboratorium pasien dan apa penyebabnya?
Apa yang dimaksud dengan kateterisasi dan apa indikasi serta

kontraindikasi penggunaannya?
6. Apa yang menyebabkan keluarnya urin pasien menjadi lebih sedikit pada
saat dipasang kateter per uretra yang kedua?
7. Apa yang dimaksud dengan cuci darah?
8. Bagaimana mekanisme dan indikasi dilakukan cuci darah?
9. Operasi apa yang sesuai untuk pasien dan apa indikasi dilakukan operasi
secara umum?
10. Apa indikasi dan kontraindikasi serta komplikasi transfusi darah?
11. Bagaimana fisiologi ginjal?
12. Bagaimana proses pembentukan dan pengeluaran urin?
13. Bagaimana karakteristik urin normal?
14. Bagaimana patofisiologi sumbatan saluran kencing?
15. Apakah diagnosis banding dari penyakit yang diderita pasien?
16. Bagaimana tatalaksana dan prognosis pada kasus tersebut?
C. Tujuan

1. Mengetahui dan memahami anatomi dan fisiologi sistem uropoietika.


2. Mengetahui tentang kelainan pada sistem uropoietika.
3. Mengetahui manifestasi klinis, patofisiologi, patogenesis, penegakan
diagnosis, penatalaksanaan dan pencegahan dari kelainan-kelainan sistem
uropoietika.
4. Mengetahui faktor resiko dan prognosis secara umum kelainan system
uropoietika.
5.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Anatomi dan Fisiologi Sistem Uropoietika
a. Ginjal
Ginjal merupakan organ yang berbentuk seperti kacang, terdapat
sepasang (masing-masing satu di sebelah kanan dan kiri vertebra) dan
posisinya retroperitoneal. Ginjal kanan terletak sedikit lebih rendah (kurang
lebih 1 cm) dibanding ginjal kiri, hal ini disebabkan adanya hati yang
mendesak ginjal sebelah kanan.
Secara umum, ginjal terdiri dari beberapa bagian:

Korteks, yaitu bagian ginjal di mana di dalamnya terdapat/terdiri dari


korpus renalis/Malpighi (glomerulus dan kapsul Bowman), tubulus
kontortus proksimal dan tubulus kontortus distalis. Bangunan- bangunan di

korteks ginjal:
Columna renalis, yaitu bagian korteks di antara pyramid ginjal
Arcus renalis, yaitu bagian korteks yang menghubungkan antara collumna

renalis.
Medula, yang terdiri dari 9-14 pyiramid. Di dalamnya terdiri dari tubulus
rektus, lengkung Henle dan tubukus pengumpul (ductus colligent).

Bangunan-bangunan di medulla ginjal:


Papilla renalis, yaitu bagian yang menghubungkan antara duktus

pengumpul dan calix minor.


Calix minor, yaitu percabangan dari calix major.
Calix major, yaitu percabangan dari pelvis renalis
Hilus renalis, yaitu suatu bagian/area di mana pembuluh darah, serabut

saraf atau duktus memasuki/meninggalkan ginjal.


Pelvis renalis, disebut juga piala ginjal,

yaitu

bagian

yang

menghubungkan antara calix major dan ureter.


Fungsi Ginjal
Fungsi ginjal adalah
1. Fungsi ekskresi

Mempertahankan osmolalitas plasma sekitar 285 mOsmol dengan


mengubah ekskresi air.

Mempertahankan pH plasma sekitar 7,4 dengan mengeluarkan


kelebihan H+ dan membentuk kembali HCO3.

Mempertahankan kadar masing-masing elektrolit plasma dalam rentang


normal.

Mengekskresikan produk akhir nitrogen dan metabolisme protein


terutama urea, asam urat dan kreatinin.

2. Fungsi non ekskresi

Menghasilkan renin yang penting untuk mengatur tekanan darah.

Menghasilkan eritropoietin yaitu suatu faktor yang penting dalam


stimulasi produk sel darah merah oleh sumsum tulang.

Memetabolisme vitamin D menjadi bentuk aktifnya.

Degradasi insulin.

Menghasilkan prostaglandin.
Unit fungsional ginjal disebut nefron. Nefron terdiri dari korpus

renalis/Malpighi (yaitu glomerulus dan kapsul Bowman), tubulus kontortus


proksimal, lengkung Henle, tubulus kontortus distal yang bermuara pada
tubulus pengumpul. Di sekeliling tubulus ginjal tersebut terdapat pembuluh
kapiler, yaitu arteriol (yang membawa darah dari dan menuju glomerulus)
serta kapiler peritubulus (yang memperdarahi jaringan ginjal).
Fungsi dasar nefron adalah membersihkan atau menjernihkan plasma
darah dan substansi yang tidak diperlukan tubuh sewaktu darah melalui
ginjal. Substansi yang paling penting untuk dibersihkan adalah hasil akhir
metabolisme seperti urea, kreatinin, asam urat dan lain-lain. Selain itu ion-ion
natrium, kalium, klorida dan hidrogen yang cenderung untuk berakumulasi
dalam tubuh secara berlebihan (Guyton dan Hall, 2007).
Mekanisme kerja utama nefron dalam membersihkan substansi yang
tidak diperlukan dalam tubuh adalah :
1. Nefron menyaring sebagian besar plasma di dalam glomerulus yang akan
menghasilkan cairan filtrasi.

2. Jika cairan filtrasi ini mengalir melalui tubulus, substansi yang tidak
diperlukan tidak akan direabsorpsi sedangkan substansi yang diperlukan
direabsorpsi kembali ke dalam plasma dan kapiler peritubulus.
3. Substansi-substansi yang tidak diperlukan tubuh akan disekresi dan
plasma langsung melewati sel-sel epitel yang melapisi tubulus ke dalam
cairan tubulus. Jadi, urine yang akhirnya terbentuk terdiri dari bagian
utama berupa substansi-substansi yang difiltrasi dan juga sebagian kecil
substansi-substansi yang disekresi.

Gambar 9. Nephron
Ginjal diperdarahi oleh a/v renalis. A. renalis merupakan percabangan
dari aorta abdominal, sedangkan v. renalis akan bermuara pada vena cava
inferior. Setelah memasuki ginjal melalui hilus, a.renalis akan bercabang
menjadi arteri intralobaris yang akan memperdarahi segmen-segmen tertentu
pada ginjal, yaitu segmen superior, anterior-superior, anterior-inferior, inferior
serta posterior.
Ginjal memiliki persarafan simpatis dan parasimpatis. Untuk persarafan
simpatis ginjal melalui segmen T10-L1 atau L2, melalui n.splanchnicus
major et minor. Saraf ini berperan untuk vasomotorik dan aferen viseral.
Sedangkan persarafan simpatis melalui n.vagus.
b. Ureter
Ureter merupakan saluran sepanjang 25-30 cm yang membawa hasil
penyaringan ginjal (filtrasi, reabsorpsi, sekresi) dari pelvis renalis menuju

vesica urinaria. Terdapat sepasang ureter yang terletak retroperitoneal,


masing-masing satu untuk setiap ginjal.
Ureter setelah keluar dari ginjal (melalui pelvis) akan turun di depan m.
psoas major, lalu menyilangi pintu atas panggul dengan a. iliaca communis.
Ureter berjalan secara postero-inferior di dinding lateral pelvis, lalu
melengkung secara ventro-medial untuk mencapai vesica urinaria. Adanya
katup uretero-vesical mencegah aliran balik urine setelah memasuki kandung
kemih. Terdapat beberapa tempat di mana ureter mengalami penyempitan
yaitu peralihan pelvis renalis-ureter, fleksura marginalis serta muara ureter ke
dalam

vesica

urinaria. Tempat-tempat

seperti

ini

sering

terbentuk

batu/kalkulus.
Ureter diperdarahi oleh cabang dari a. renalis, aorta abdominalis, a.
iliaca communis, a. testicularis/ovarica serta a. vesicalis inferior. Sedangkan
persarafan ureter melalui segmen T10-L1 atau L2 melalui pleksus renalis,
pleksus aorticus, serta pleksus hipogastricus superior dan inferior.
c. Vesica urinaria
Vesica urinaria, sering juga disebut kandung kemih atau buli-buli,
merupakan tempat untuk menampung urine yang berasal dari ginjal melalui
ureter, untuk selanjutnya diteruskan ke uretra dan lingkungan eksternal tubuh
melalui mekanisme relaksasi sphincter. Vesica urinaria terletak di lantai pelvis
(pelvic floor), bersama-sama dengan organ lain seperti rektum, organ
reproduksi, bagian usus halus, serta pembuluh-pembuluh darah, limfatik dan
saraf.
Dalam keadaan kosong vesica urinaria berbentuk tetrahedral yang
terdiri atas tiga bagian yaitu apex, fundus/basis dan collum. Serta mempunyai
tiga permukaan (superior dan inferolateral dextra dan sinistra) serta empat
tepi (anterior, posterior, dan lateral dextra dan sinistra). Dinding vesica
urinaria terdiri dari otot m. detrusor (otot spiral, longitudinal, sirkular).
Terdapat trigonum vesicae pada bagian posteroinferior dan collum vesicae.
Trigonum vesicae merupakan suatu bagian berbentuk mirip segitiga yang

terdiri dari orifisium kedua ureter dan collum vesicae, bagian ini berwarna
lebih pucat dan tidak memiliki rugae walaupun dalam keadaan kosong.
Vesicae urinaria diperdarahi oleh a. vesicalis superior dan inferior.
Namun pada perempuan, a.vesicalis inferior digantikan oleh a. vaginalis.
Sedangkan persarafan pada vesica urinaria terdiri atas persarafan simpatis dan
parasimpatis. Persarafan simpatis melalui n. splanchnicus minor, n.
splanchnicus imus, dan n. splanchnicus lumbalis L1-L2. Adapun persarafan
parasimpatis melalui n. splanchnicus pelvicus S2-S4, yang berperan sebagai
sensorik dan motorik.
d. Uretra
Uretra merupakan saluran yang membawa urine keluar dari vesica
urinaria menuju lingkungan luar. Terdapat beberapa perbedaan uretra pada
pria dan wanita. Uretra pada pria memiliki panjang sekitar 20 cm dan juga
berfungsi sebagai organ seksual (berhubungan dengan kelenjar prostat),
sedangkan uretra pada wanita panjangnya sekitar 3.5 cm. selain itu, Pria
memiliki dua otot sphincter yaitu m. sphincter interna (otot polos terusan dari
m.detrusor dan bersifat involunter) dan m. sphincter externa (di uretra pars
membranosa, bersifat volunter), sedangkan pada wanita hanya memiliki m.
sphincter externa (distal inferior dari kandung kemih dan bersifat volunter).
Pada pria, uretra dapat dibagi atas pars pre-prostatika, pars prostatika,
pars membranosa dan pars spongiosa.

Pars pre-prostatika (1-1.5 cm), merupakan bagian dari collum vesicae


dan aspek superior kelenjar prostat. Pars pre-prostatika dikelilingi otot m.
sphincter urethrae internal yang berlanjut dengan kapsul kelenjar prostat.

Bagian ini disuplai oleh persarafan simpatis.


Pars prostatika (3-4 cm), merupakan bagian yang melewati/menembus
kelenjar prostat. Bagian ini dapat lebih dapat berdilatasi/melebar

dibanding bagian lainnya.


Pars membranosa (12-19 mm), merupakan bagian yang terpendek dan
tersempit. Bagian ini menghubungkan dari prostat menuju bulbus penis

melintasi diafragma urogenital. Diliputi otot polos dan di luarnya oleh


m.sphincter urethrae eksternal yang berada di bawah kendali volunter

(somatis).
Pars spongiosa (15 cm), merupakan bagian uretra paling panjang,
membentang dari pars membranosa sampai orifisium di ujung kelenjar
penis. Bagian ini dilapisi oleh korpus spongiosum di bagian luarnya.
Sedangkan uretra pada wanita berukuran lebih pendek (3.5 cm)

dibanding uretra pada pria. Setelah melewati diafragma urogenital, uretra


akan bermuara pada orifisiumnya di antara klitoris dan vagina (vagina
opening). Terdapat m. spchinter urethrae yang bersifat volunter di bawah
kendali somatis, namun tidak seperti uretra pria, uretra pada wanita tidak
memiliki fungsi reproduktif.
Fisiologi Pembentukan Dan Pengeluaran Urine
Pembentukan Urin
Urin dibentuk dari hasil filtrasi glomerulus yang kemudian
direabsorbsi di tubulus dan ditambah sekresi zat-zat oleh
tubulus. Filtrasi zat yang terjadi di glomerulus berbeda-beda
tergantung pada jenis zat btersebut. Filtrasi sendiri dipengaruhi
oleh kecepatan filtrasi glomerulus dan konsentrasi plasma.
Untuk menilai Laju Filtrasi Glomerulus (LFG) : memakai formula CockcroftGault :
Untuk pria:

( 140umur )
LFG =

( BBkg )

72 kreatinin serum(mg )

Untuk wanita:

( 140umur )
LFG =
Nilai normal :

( BBkg )

72 kreatinin serum(mg )

0 . 85

Laki-laki

: 0,93 1,32 mL/detik/m2

Perempuan

: 0,85 1,23 mL/detik/m2

Filtrasi glomerulus secara relatif tidak selektif (artinya, semua


hal yang terlarut dalam plasma akan difiltrasi kecuali protein
plasma dan zat-zat yang terikat protein). Sedangkan reabsorbsi
tubulus sendiri bersifat sangat selektif.
Beberapa zat seperti glukosa dan asam amino di reabsorbsi
secara sempurna di tubulus, sehingga pada dasarnya, kecepatan
ekskresi urin adalah nol. Banyak ion dalam plasma, seperti
natrium, klorida, dan bikarbonat juga direabsorbsi, hanya saja
kecepatan

reabsorbsinya

berbeda-beda

tergantung

dari

kebutuhan tubuh. Sebaliknya, produk buangan seperti ureum dan


kreatinin sulit direabsorbsi dari tubulus dan diekskresi dalam
jumlah yang relatif besar.
Bila suatu zat akan direabsorbsi, pertama zat tersebut harus
ditranspor (1) melintasi membran epitel tubulus ke dalam cairan
interstisial ginjal dan kemudian (2) melalui membran kapiler
peritubulus kembali ke dalam darah. Reabsorbsi sendiri meliputi
serangkaian langlah transpor aktif atau pasif. Zat terlarut
diangkut melewati sel (jalur transseluler) dengan cara difusi pasif
atau transpor aktif, atau antara sel-sel (jalur paraseluler) dengan
difusi. Air diangkut melalui sel dan antara sel-sel tubulus dengan
osmosis. Pengangkutan air dan zat terlarut dari cairan interstisial
masuk keb dalam kapiler peritubulus terjadi melalui ultrafiltrasi
(aliran yang besar).
Reabsorbsi klorida, ureum, dan zat-zat terlarut lainnya
melalui difusi pasif. Sedangkan air sendiri direabsorbsi secara
pasif melalui osmosis terutama menyertai reabsorpsi natrium.
Pada tubulus proksimal terjadi proses
pasif.

Sel

epitelnya

yang

bersifat

reabsorbsi aktif dan

sangat

metabolik

dan

menpunyai sejumlah besar mitokondria mendukung proses

transpor aktif yang kuat. Selain itu, terdapat banyak brush


border pada sisi lumen (apikal) membran, dan juga labirin
interseluler serta kanal basalis yang luas yang secara bersamasama menghasilkan area permukaan membran yang luas pada
sisi lumen dan sisi basolateral dari epitel untuk mentranspor ion
natrium dan zat-zat lain cepat. Pada tubulus proksimal terjadi
reabsorbsi Na+, Cl- , HCO3-, K+, H2O, glukosa, dan asam amino.
Sekresi juga terjadi pada tubulus ini, zat yang disekresi adalah
H+, asam organik, basa.
Ansa henle terdiri dari segmen tipis dan segmen tebal. Pada
segmen tipis ansa henle terjadi reabsorbsi air. Sedangkan pada
segmen tebal ansa henle terjadi reabsorbsi Na+, Cl- , HCO3-,
K+ , Ca+ + , dan Mg+ + . Pada segmen tipis ansa henle tidak
terjadi sekresi zat, namun pada segmen tebal ansa henle terjadi
sekresi H+ .
Segmen tebal asenden ansa henle berlanjut ke dalam tubulus
distal. Bagian paling pertama dari tubulus distal membentuk
bagian kompleks jukstaglomerulus yang menimbulkan kontrol
umpan balik GFR dan aliran darah dalam nefron yang sama.
Fungsi reabsorbsi tubulus distal sendiri sama dengan ansa henle
segmen tebal.
Tubulus distal bagian akhir dan tubulus koligentes korikalis
mempunyai ciri-ciri fungsional yang sama. Namun mempunyai
tipe sel yang berbeda, sel-sel prinsipalis dan sel-sel interkalatus.
Sel-sel prinsipalis mereabsorbsi natrium dan air dari lumen dan
menyekresikan

ion

kalium

ke

lumen.

Sel-sel

interkalatus

mereabsorbsi ion kalium dan menyekresikan ion hidrogen ke


dalam lumen tubulus. Yang terakhir adalah duktus koligentes
medulla. Duktus koligentes medulla mereabsorbsi Na+ , Cl- ,

HCO3-, dan ureum sekaligus menyekresikan H+ (Guyton dan Hall,


2008).
Mikturisi
Mikturisi adalah proses pengosongan kandung kemih setelah terisi dengan
urin. Mikturisi melibatkan dua tahap utama. Pertama, kandung kemih terisi secara
progresif hingga tegangan pada dindingnya meningkat melampaui nilai ambang
batas; keadaan ini akan mencetuskan tahap kedua yaitu reflex saraf (disebut reflex
mikturisi) yang akan mengosongkan kandung kemih atau, jika gagal, setidaknya
akan menyebabkan keinginan berkemih yang disadari. Meskipun reflex mikturisi
adalah reflex medulla spinalis yang bersifat autonom, reflex ini dapat dihambat
atau difasilitasi oleh pusat-pusat di korteks serebri atau batang otak.
Apabila kandung kemih terisi, akan terjadi peningkatan kontraksi mikturisi.
Kontraksi ini dihasilkan dari reflex renggang yang dipicu oleh reseptor renggang
sensorik di dalam dinding kandung kemih, terutama oleh reseptor di uretra
posterior ketika area ini mulai terisi dengan urin pada tekanan kandung kemih
yang lebih tinggi. Sinyal sensorik dari reseptor renggang kandung kemih
dikirimkan ke segmen sakralis dari medulla spinalis melalui saraf pelvis dan
kemudian dikembalikan secara refleks ke kandung kemih melalui serabut saraf
parasimpatis dengan menggunakan persarafan yang sama. Ketika kandung kemih
terus terisi, refleks mikturisi menjadi semakin sering dan menyebabkan kontraksi
otot detrusor yang lebih kuat. Sekali refleks mikturisi dimulai, refleks ini bersifat
regenerasi sendiri. Yang artinya, kontraksi awal kandung kemih akan
mengaktifkan reseptor renggang yang menyebabkan peningkatan impuls sensorik
yang lebih banyak ke kanding kemih dan uretra posterior, sehingga menyebabkan
peningkatan refleks kontraksi kandung kemih selanjutnya; jadi, siklus ini akan
berulang terus-menerus sampai kandung kemih mencapai derajat kontraksi yang
cukup kuat. Kemudian, setelah beberapa detik sampai lebih dari semenit, refleks
yang beregenerasi sendiri ini mulai kelelahan dan siklus regeneratif pada refleks
mikturisi mulai terhenti, memungkinkan kandung kemih berelaksasi. Bila refleks
mikturisi sudah cukup kuat, akan memicu refleks lain yang berjalan melalui saraf
pudendus ke fingter eksterna untuk menghambatnya (Guyton dan Hall, 2008).

Karakteristik Urine Normal


1. 95% terdiri dari air
2. Urine berisi produk akhir metabolisme protein seperti urea, asam urat, dan
kreatinin
3. Membuang mineral yang diambil dari makanan yang sudah tidak dibutuhkan
seperti natrium, kalium, calcium, sulfat, dan fosfat
4. Berisi toksin
5. Berisi hormon
6. Pigmen kuning berasal dari bilirubin
Karakteristik Urine Abnormal
1. Albumin/protein: merupakan indikasi adanya penyakit pada ginjal, infeksi ,
atau trauma
2. Glukosa: dapat menjadi indikasi adanya diabetes mellitus, syok atau cedera
kepala
3. Eritrosit: sebagai indikasi adanya infeksi, kanker/tumor, penyakit ginjal
4. Leukosit: sebagai indikasi infeksi traktus urinaria
5. Benda keton: sebagai indikasi adanya diabetes mellitus, kelaparan/dehidrasi
atau kondisi lain dimana terjadi katabolisme lemak dengan cepat
6. Nilai pH urine: nilai abnormal mengindikasikan gout, batu traktus urinaria,
infeksi
7. Bilirubin: mengindikasikan gangguan fungsi hepar, obstruksi traktus biliaris,
hepatitis
8. Nilai berat jenis urine: nilai abnormal mengindikasikan adanya penyakit
ginjal, ketidakseimbangan elektrolit, gangguan fungsi hati dan luka bakar
Kelenjar Prostat
Kelenjar prostat adalah salah satu organ genitalia pria yang terletak di
inferior buli-buli dan membungkus uretra posterior. Pada usia lanjut beberapa pria
mengalami pembesaran prostat benigna yang mengakibatkan terganggunya aliran
urine sehingga menimbulkan gangguan miksi (Hardjowidjoto, 2000).
Pembesaran prostat menyebabkan penyempitan lumen uretra prostatika dan
menghambat aliran urine. Keadaan ini menyebabkan peningkatan tekanan
intravesikal. Untuk dapat mengeluarkan urine, buli-buli harus berkontraksi lebih
kuat guna melawan tahanan itu. Kontraksi yang terus menerus ini menyebabkan
perubahan anatomik buli-buli berupa hipertrofi oot detrusor, trabekulasi,

terbentuknya selula, sakula, dan divertikel buli-buli. Perubahan struktur pada bulibuli tersebut, oleh pasien dirasakan sebagai keluhan pada saluran kemih bagian
bawah atau lower urinary tract symptom (LUTS) yang dahulu dikenal dengan
gejala prostatismus.
Tekanan intravesikal yang tinggi diteruskan ke seluruh bagian buli-buli
tidak terkecuali pada kedua muara ureter. Tekanan pada kedua muara ureter ini
dapat menimbulkan aliran balik urine dari buli-buli ke ureter atau terjadi refluks
vesiko-ureter. Keadaan ini jika berlangsung terus akan mengakibatkan hidroureter,
hidronefrosis, bahkan akhirnya dapat jatuh ke dalam gagal ginjal.

BAB III
PEMBAHASAN
Tidak bisa buang air kecil
Pada skenario, pasien tidak bisa buang air kecil dan teraba massa kistik
suprapubik kemungkinan mengalami retensi urin sehingga dilakukan kateterisasi
dan keluar urin 600cc.
Retensi urin adalah ketidakmampuan buli-buli untuk mengeluarkan urin
yang telah melampaui batas kapasitas maksimalnya. Hal ini dirasakan sebagai
nyeri suprapubik, perasaan ingin kencing dan buli-buli terasa penuh (Purnomo,
2000).
Penyebab retensi urin:
1. Kelemahan detrusor. Cedera /gangguan pada sumsum tulang belakang,
kerusakan serat saraf (diabetes melitus), detrusor yang mengalami
peregangan/dilatasi yang berlebihan untuk waktu lama.
2. Gangguan koordinasi detrusor-sfingter (dis-sinergi). Cedera /gangguan
sumsum tulang belakang di daerah cauda equina.
3. Hambatan pada jalan keluar:
a. kelainan kelenjar prostat (BPH, Ca)
b. striktura uretra
c. batu uretra
d. kerusakan uretra (trauma)
e. gumpalan darah didalam lumen buli-buli (clot retention) dll. (Gardjito,
1994).
Akibat dari retensi urin:

Buli-buli akan mengembang melebihi kapasitas maksimal sehingga tekanan

didalam lumennya meningkat dan tegangan dari dindingnya akan meningkat.


Bila keadaan ini dibiarkan berlanjut, tekanan yang meningkat didalam lumen
akan menghambat aliran urin dari ginjal dan ureter sehingga terjadi

hidroureter dan hidronefrosis dan lambat laun terjadi gagal ginjal.


Bila tekanan didalam buli-buli meningkat dan melebihi besarnya hambatan di
daerah uretra, urin akan memancar berulang-ulang (dalam jumlah sedikit)
tanpa bisa ditahan oleh penderita, sementara itu buli-buli tetap penuh dengan
urin. Keadaan ini disebut : inkontinensi paradoksa atau "overflow
incontinence"

Tegangan dari dinding buli-buli terus meningkat sampai tercapai batas


toleransi dan setelah batas ini dilewati, otot buli-buli akan mengalami dilatasi
sehingga kapasitas buli-buli melebihi kapasitas maksimumnya, dengan akibat

kekuatan kontraksi otot buli-buli akan menyusut.


Retensi urin merupakan predileksi untuk terjadinya infeksi saluran kemih
(ISK) dan bila ini terjadi, dapat menimbulkan keadaan gawat yang serius
seperti pielonefritis, urosepsis, khususnya pada penderita usia lanjut
(Gardjito, 1994).

Miksi mengejan dan tidak lampias


Pada posisi anatomisnya, urethra pria dikelilingi oleh kelenjar prostat. Pada
kasus di atas penderita yang sulit miksi akan membuatnya harus mengejan karena
kemungkinan besar terjadi sumbatan pada urethra yang bisa disebabkan oleh batu
ataupun pembesaran pada kelenjar prostat yang menghimpit urethra. Walaupun
sudah mengejan, karena pada urethra ada sumbatan, urine yang keluar tidak bisa
dikeluarkan semuanya yang menyebabkan masih tertinggalnya urine dalam vesika
urinaria yang akhirnya menimbulkan rasa tidak lampias.
Pancaran urin melemah dan kadang-kadang jarak pancar urin sangat dekat.
Hal ini merupakan gejala dari obstruksi infravesika, sedangkan pancaran urin
yang kecil dan deras menunjukkan adanya penyempitan uretra (Purnomo, 2000).
Kateterisasi urin yang kedua keluar sedikit yaitu <100cc
Kemungkinan terjadi anuria atau oligouri.
Anuria adalah produksi urine kurang dari 200 ml dalam sehari, sementara
oligouri adalah produksi urin kurang dari 600 ml per hari. Keadaan ini dapat
disebabkan oleh faktor: 1) pre renal yaitu akibat berkurangnya perfusi cairan ke
ginjal, 2) renal, yaitu terjadinya kerusakan parenkim ginjal, atau 3) pasca renal
akibat adanya obstruksi saluran kemih bilateral (Purnomo, 2000)
Pucat, Lemas, Sesak, Mual dan Muntah
Pucat dapat disebabkan oleh berbagai macam hal, salah satunya karena
supply darah yang tidak maksimal ke seluruh jaringan tubuh sehingga kebutuhan
oksigen jaringan tidak dapat dipenuhi.

Jika dihubungkan dengan kasus pada skenario, kadar ureum dan kreatinin
pasien tidak berada dalam harga normal. Seperti yang kita ketahui bahwa ureum
dan kreatinin dapat merepresentasikan faal ginjal, maka pada kasus, dapat
dikatakan faal ginjal pasien terganggu. Padahal ginjal mensekresikan eritropietin
untuk proses eritropoiesis. Hal ini berefek pada kadar Hb menjadi rendah. Padahal
Hb memberi warna merah pada darah dan mengikat oksigen, akhirnya kadar
eritrosit berkurang dan hal ini yang menyebabkan pucat.
Pucat akibat anemia yang menetap merupakan ciri khas pada pasien uremia.
Anemia jelas akan menyebabkan kelelahan. Bila kadar Hb 8 g/100 mL dapat
timbul dispnea sewaktu pasien melakukan kegiatan fisik. bila kadar ureum > 20
25 mg/dL bisa menimbulkan anoreksia, mual dan muntah (Price dan Sylvia,
2006).
Interpretasi Hasil Laboratorium
a. Kadar Hb
Kadar Hb normal pada wanita = 13 - 15.5 mg/dL dan pada laki-laki = 14
17.5 mg/dL. Pada skenario, Hb pasien 7 mg/dL berarti kurang dari normal.
bila Hb <normal penyebabnya bisa anemia dan perdarahan (Hartono, 2006).
Tapi, pada pasien kemungkinan akibat anemia karena ada gangguan pada
fungsi ginjalnya.
b. Ureum
Kadar Ureum normal adalah 9 20 mg/dL. Pada skenario, kadar ureum pasien
200 mg/dL berarti lebih dari normal. Bila lebih dari normal penyebabnya bisa
dehidrasi, pemberian protein berlebihan, dan gagal ginjal (Hartono, 2006).
Tapi, pada pasien kemungkinan disebabkan gagal ginjal.
c. Kreatinin
Kadar kreatinin normal dalam darah 0.3 1.3 mg/dL. Pada skenario, kadar
kreatinin pasien 8 mg/dL berarti leboh dari normal. bila kreatinin>normal bisa
disebabkan oleh dehidrasi atau gagal ginjal (Hartono, 2006). Tapi, pada psien
kemungkinan disebabkan oleh gagal ginjal.
d. Kadar Glukosa Darah Sewaktu
Kadar GDS normal adalah 60-110 mg/dL. Kadar GDS pasien normal berarti
pasien tidak mengalami hipoglikemia atau hiperglikemia.
Tindakan pada skenario

a. Kateterisasi
Kateterisasi uretra adalah memasukkan kateter kedalam buli-buli melalui
uretra. Tindakan kateterisasi ini dimaksudkan untuk tujuan diagnosis maupun
untuk tujuan terapi (Purnomo, 2000).
Tindakan diagnosis antara lain:
-

Kateterisasi pada wanita dewasa untuk memperoleh contoh urin untuk


pemeriksaan kultur urin untuk mengurangi kontaminasi dari bakteri di

vagina.
Mengukur residu (sisa) urin yang dikerjakan sesaat setelah pasien miksi.
Memasukkan bahan kontras untuk pemeriksaan radiologi antara lain:
sistografi atau pemeriksaan adanya refluks vesiko-ureter melalui

pemeriksaan voiding cysto-urethrography (VCUG).


Pemeriksaan urodinamik untuk menentukan tekanan intravesika.
Untuk menilai produksi urin pada saat dan setelah operasi besar
(Purnomo, 2000).

Sedangkan tindakan kateterisasi untuk tujuan terapi antara lain adalah:


-

Mengeluarkan urin dari buli-buli pada keadaan obstruksi infravesikal


baik karena hiperplasi prostat maupun oleh benda asing yang menyumbat

uretra.
Mengeluarkan urin pada disfungsi buli-buli.
Diversi urin setelah tindakan operasi system urinary bagian bawah, yaitu

pada prostatektomi, vesikolitotomi.


Sebagai splint setelah operasi rekonstruksi uretra untuk tujuan stabilisasi

uretra.
Pada tindakan kateterisasi bersih mandiri berkala.
Memasukkan obat-obatan intravesika, antara lain sitostatika atau
antiseptic untuk buli-buli (Purnomo, 2000).
Kateterisasi suprapubik adalah memasukkan kateter dengan membuat

lubang pada buli-buli dengan insisi suprapubik dengan tujuan untuk


mengeluarkan urin. Pemasangan kateter sistosomi dapat dikerjakan dengan
cara operasi terbuka atau dengan perkutan (trokar) sistosomi. Kateterisasi ini
biasanya dikerjakan pada:
1. Kegagalan pada saat melakukan kateterisasi uretra

2. Ada kontraindikasi untuk melakukan tindakan transuretra misalkan pada


rupture uretra atau dugaan adanya rupture uretra.
3. Jika ditakutkan akan terjadi kerusakan uretra pada pemakaian kateter
uretra yang terlalu lama.
4. Untuk mengukur tekanan intravesikal pada studi sistotonometri.
5. Mengurangi penyulit timbulnya sindrom intoksikasi air pada saat TUR
Prostat (Purnomo, 2000).
Kontraindikasi kateter suprapubik
1. Kontraindikasi absolut: tidak terabanya kandung kemih saat palpasi atau
terjadi pembesaran secara ultrasonografi
2. Kontraindikasi relative:
a. Koagulopati
b. Menjalani bedah pelvis atau perut bagian bawah
c. Keganasan pelvis
Persiapan Kateterisasi
Tindakan katerisasi merupakan tindakan invasif dan dapat menimbulkan
rasa nyeri, sehingga jika dikerjakan dengan cara yang keliru akan
menimbulkan kerusakan saluran uretra yang permanen. Oleh karena itu
sebelum menjalani tindakan ini pasien harus diberi penjelasan dan
menyatakan persetujuannya melalui surat persetujuan tindakan medik
(informed Consent).
Setiap pemasangan kateter harus diperhatikan prinsip-prinsip yang tidak
boleh ditinggalkan, yaitu :
-

Pemasangan kateter dilakukan secara aseptik dengan melakukan


disinfeksi secukupnya memakai bahan yang tidak menimbulkan ritasi
pada kulit genitalia dan jika perlu diberi profilaksis antibiotika

sebelumnya.
Diusahakan tidak menimbulkan rasa sakit pada pasien.
Dipakai kateter dengan ukuran terkecil yang masih cukup efektif untuk
melakukan drainase urine yaitu untuk orang dewasa ukuran 16F 18F.
Dalam hal ini tidak diperkenankan mempergunakan kateter logam pada

tindakan kateterisasi pada pria karena akan menimbulkan kerusakan


-

uretra.
Jika dibutuhkan pemakaian kateter menetap, diusahakan memakai sistem
tertutup yaitu dengan dengan menghubungkan kateter pada saluran

penampung urine (urinbag).


Kateter menetap dipertahankan sesingkat mungkin sampai dilakukan
tindakan definitip terhadap penyebab retensi urine. Perlu diingat bahwa
makin lama kateter dipasang makin besar kemungkinan terjadi penyulit
berupa infeksi atau cedera uretra.

Kesulitan dalam memasukkan Kateter


Kesulitan memasukkan kateter pada pasien pria dapat disebabkan oleh
karena kateter tertahan di uretra pars bulbosa yang bentuknya seperti huruf
S, ketegangan dari sfingter uretra eksterna karena pasien merasa kesakitan
dan ketakutan, atau terdapat sumbatan organik di uretra yang disebabkan oleh
batu uretra, striktur uretra, kontraktur leher buli-buli, atau tumor uretra.
b. Cuci darah (Dialisis)
Cuci darah terdiri dari hemodialisis dan dialysis peritoneal. Mesin cuci
darah terdiri dari pompa darah, sistem pengaturan larutan dialisat dan sistem
monitor. Pompa darah berfungsi untuk mengalirkan darah dari tempat tusukan
vaskuler kepada dializer. Kecepatan dapat diatur biasanya antara 200-300 ml
per menit. Untuk pengendalian ultrafiltrasi diperlukan tekanan negatif. Lokasi
pompa darah biasanya terletak antara monitor tekanan arteri dan monitor
larutan dialisat. Larutan dialisat harus dipanaskan antara 34-39 oC sebelum
dialirkan kepada dializer. Suhu larutan dialisat yang terlalu rendah ataupun
melebihi suhu tubuh dapat menimbulkan komplikasi. Sistem monitoring
setiap mesin HD sangat penting untuk menjamin efektifitas proses dialisis
dan keselamatan penderita (Gatot, 2003).
Dialisis bermanfaat untuk koreksi akibat metabolic dari GGA. Dengan
dialysis dapat diberikan cairan/nutrisi, dan obat-obat lain yang diperlukan
seperti antibiotic. GGA post-renal memerlukan tindakan cepat bersama
dengan ahli urologi misalnya pembuatan nefrostomi, mengatasi infeksi

saluran kemih, dan menghilangkan sumbatan yang dapat disebabkan oleh


batu, striktur uretra, atau pembesaran prostat (Markum, 2007).

Hemodialisis
Pada GGT, hemodialisis dilakukan dengan mengalirkan darah ke
dalam suatu tabung ginjal buatan (dialiser) yang terdiri dari dua
kompartemen yang terpisah. Darah pasien dipompa dan dialirkan ke
kompartemen darah yang dibatasi oleh selaput semipermeabel buatan
(artifisial) dengan kompartemen dialisat. Komparteman dialisat dialiri
cairan dialysis yang bebas pirogen, berisi larutan dengan komposisi
elektrolit mirip serum normal dan tidak mengandung sisa metabolisme
nitrogen. Cairan dialysis dan darah yang terpisah akan mengalami
perubahan konsentrasi karena zat terlarut berpindah dari konsentrasi yang
tinggi kearah konsentrasi yang rendah sampai konsentrasi zat terlarut sama
di kedua kompartemen (difusi). Pada proses dialysis, air juga dapat
berpindah dari kompartemen darah ke kompartemen cairan dialisat dengan
cara menaikkan tekanan hidrostatik negative pada kompartemen cairan
dialisat. Perpindahan air ini disebut ultrafisasi (Rahardjo, Susalit &
Suhardjono, 2007).
Komplikasi akut hemodialisis adalah komplikasi yang terjadi selama
hemodialisis berlangsung. Komplikasi yang sering terjadi diantaranya
adalah hipotensi, kram otot, mual dan muntah, sakit kepala, sakit dada,
sakit punggung, gatal, demam, menggigil. Komplikasi yang jarang terjadi
misalnya sindrom disekulibrium, reaksi dialiser, aritmia, tamponade
jantung, perdarahan intrakranial, kejang, hemolisis, emboli udara,
neutropenia,

serta

aktivasi

komplemen

akibat

dialisis

dan

hipoksemia (Rahardjo, Susalit & Suhardjono, 2007).


Indikasi dialisis pada GGK adalah bila laju filtrasi glomerulus (LFG)
sudah kurang dari 5mL/menit, yang didalam praktek dianggap demikian
bila (TKK) 5 mL/menit. Keadaan pasien yang hanya mempunyai TKK
yang 5mL/menit tidak selalu sama, sehingga dialisis dianggap baru perlu
di mulai bila di jumpai salah satu dari hal tersebut di bawah:

Keadaan umum buruk dan gejala klinis nyata


K serum 6 meq/L
Ureum darah 200 mg/dl
Ph darah 7,1
Anuria berkepanjangan ( 5 hari)
Fluid overloaded
(Rahardjo, Susalit & Suhardjono, 2007)

Dialisis Peritoneal
Dialisis peritoneal adalah salah satu bentuk dialysis untuk membantu
penanganan pasien GGA (gagal ginjal akut) maupun GGK (gagal ginjal
kronik),

menggunakan

membrane

peritoneum

yang

bersifat

semipermeabel. Melalui membrane tersebut darah dapat difiltrasi.


Keuntungan dialysis peritoneal bila dibandingkan dengan hemodialisis,
secara teknik lebih sederhana, cukup aman dan efisien, dan tidak
memerlukan fasilitas khusus (Parsudi, Siregar, & Roesli, 2007).
Untuk dialysis peritoneal akut biasa dipakai stylet-catheter (kateter
peritoneum) untuk dipasang pada abdomen masuk kedalam cavum
peritoneum, sehingga ujung kateter terletak dalam cavum Douglassi.
Membrane peritoneum bertindak sebagai membrane dialysis yang
memisahkan antara cairan dialysis dalam cavum peritoneum dan plasma
darah dalam pembuluh darah di peritoneum (Parsudi, Siregar, & Roesli,
2007).
Indikasi pemakaian dialysis peritoneal:
1. Gagal ginjal akut (dialisat peritoneal akut)
2. Gangguan keseimbangan cairan, elektrolit, atau asam basa
3. Intoksikasi obat atau bahan lain
4. Gagal ginjal kronik (dialisat peritoneal kronik)
5. Keadaan klinis lain dimana DP telah terbukti manfaatnya.
(Parsudi, Siregar, & Roesli, 2007).
Kontraindikasi dialysis peritoneal:
1. Kontraindikasi absolute: tidak ada.
2. Kontraindikasi relative: keadaan teknis penyulit atau penyebab
komplikasi, seperti gemuk berlebihan, perlengketan peritoneum,
peritonitis local, operasi atau trauma abdomen yang baru saja terjadi,
kelainan intraabdominal yang belum diketahui sebabnya, luka bakar

dindingg abdomen yang cukup luas terutama bila disertai infeksi atau
perawatan yang tidak adekuat.
(Parsudi, Siregar, & Roesli, 2007).
Indikasi DP pada pasien gagal ginjal akut dilakukan atas dasar:
1. DP pencegahan: DP dilakukan setelah diagnosis GGA ditetapkan
2. DP dilakukan atas indikasi:
a. Indikasi klinis: keadaan umum jelek dan gejala klinis nyata
b. Indikasi biokimiawi: ureum darah >200 mg%; kalium <6>3 <1015>
(Parsudi, Siregar, & Roesli, 2007).
c. Transfusi Darah
Transfusi darah adalah tindakan medis berupa transfer komponen darah
dari donor ke resipien.
Indikasi transfusi darah:
1. Anemia pada perdarahan akut setelah didahului penggantian volume
dengan cairan
2. Anemia kronis jika Hb tidak dapat ditingkatkan dengan cara lain
3. Gangguan pembekuan darah karena defisiensi komponen
4. Plasma loss atau hipoalbuminemia jika tidak dapat lagi diberikan plasma
subtitute atau larutan albumin
Dalam pedoman WHO disebutkan :
1. Transfusi tidak boleh diberikan tanpa indikasi kuat
2. Transfusi hanya diberikan berupa komponen darah pengganti

yang

hilang/kurang sehingga pemberian komponen darah harus sesuai


kebutuhan.
3. Perlu pedoman pemberian komponen darah efek samping transfusi
minimal.
4. Transfusi darah Hb>10 gr/dl tidak perlu.
Dapat disebutkan bahwa :
-

Hb sekitar 5 gr/dl adalah CRITICAL


Hb sekitar 8 gr/dl adalah TOLERABLE
Hb sekitar 10 gr/dl adalah OPTIMAL

Transfusi mulai diberikan pada saat Hb CRITICAL dan dihentikan


setelah mencapai batas TOLERABLE atau OPTIMAL
Kontraindikasi : Beda golongan darah dan beda rhesus.
d. Tindakan Operasi
1) Nefrostomi
Nefrostomi

adalah

suatu

tindakan

membuat

fistula

yang

menghubungkan sistem uropelviokalises ginjal dengan luar tubuh melalui


kulit, untuk mengalihkan aliran urin dari sistem pelviokalises ginjal yang
mengalami obstruksi (Rasjidi, 2008).
Indikasi:
1.

Oligouria atau anuria yang terjadi karena adanya obstruksi

2.

nonkeganasan (mis. batu saluran kemih/ureter bilateral)


Karena adanya obstruksi keganasan akibat pertumbuhan pendesakan
oleh tumor (mis. kanker serviks stadium 3-4)

Kontraindikasinya adalah jika terdapat satu dari criteria di bawah ini,


sudah menjadi kontraindikasi untuk tindakan nefrostomi perkutan
1. Penyakit yang progresif meskipun sedang dalam terapi
2. Memiliki masalah/komorbiditas yang potensial membahayakan jiwa
3. Status performance dengan scoring ECOG/Zubord >2, atau
Karlnofsky <60
4. Tidak ada terapi yang efektif
5. Pasien tidak mau diobati
6. Terdapat nyeri yang tidak dapat diatasi pada saat tindakan nefrostomi
7. Terdapat tanda-tanda overload, seperti oedem paru dan sesak nafas
8. Terdapat asidosis metabolic yang berat
9. Terdapat hiperkalemia
10. Keadaan-keadaan lain yang menyebabkan pasien tidak bisa
diposisikan tengkurap
(Rasjidi, 2008).
2) Apabila terjadi obstruksi karena BPH (Benign Prostate Hyperplasic), dapat
dilakukan Prostatektomi parsial, reseksi transurethral prostat (TURP), atau
insisi prostatektomi terbuka, untuk mengangkat jaringan periuretral
hiperplastik (Price, 2006).
Diagnosis Banding

1. BPH (Benign Prostate Hiperplasy)


Kelenjar prostat adalah salah satu organ genitalia pria yang terletak di
inferior buli-buli dan membungkus uretra posterior. Pada usia lanjut beberapa
pria mengalami pembesaran prostat benigna yang mengakibatkan terganggunya
aliran urine sehingga menimbulkan gangguan miksi.
Pembesaran prostat menyebabkan penyempitan lumen uretra prostatika
dan menghambat aliran urine. Keadaan ini menyebabkan peningkatan tekanan
intravesikal. Untuk dapat mengeluarkan urine, buli-buli harus berkontraksi
lebih kuat guna melawan tahanan itu. Kontraksi yang terus menerus ini
menyebabkan perubahan anatomik buli-buli berupa hipertrofi otot detrusor,
trabekulasi, terbentuknya selula, sakula, dan divertikel buli-buli. Perubahan
struktur pada buli-buli tersebut, oleh pasien dirasakan sebagai keluhan pada
saluran kemih bagian bawah atau lower urinary tract symptom (LUTS) yang
dahulu dikenal dengan gejala prostatismus.
Keluhan LUTS terdiri atas gejala obstruksi dan gejala iritatif. Gejala
hiperplasia prostat biasanya memperlihatkan dua tipe yang saling berhubungan,
obstruksi dan iritasi. Gejala obstruksi terjadi karena otot detrusor gagal
berkontraksi dengan cukup kuat atau gagal berkontraksi cukup lama sehingga
kontraksi terputus-putus.
Tanda obstruksi :
Menunggu pada permulaan miksi
Pancaran miksi terputus-putus (intermitten)
Rasa tidak puas sehabis miksi
Urin menetes pada akhir miksi (terminal dribling)
Pancaran urin jadi lemah
Gejala iritasi biasanya lebih memberatkan pasien dibandingkan obstruksi.
Gejala iritasi timbul karena pengosongan kandung kemih yang tidak sempurna
pada akhir miksi atau pembesaran prostat menyebabkan ransangan pada
kandung kemih, sehingga kandung kemih sering berkontraksi meskipun belum
penuh. Bila terjadi dekompensasi akan terjadi retensi urin sehingga urin masih
berada dalam kandung kemih pada akhir miksi. Proses kerusakan ginjal
dipercepat bila terjadi infeksi.
Tanda iritasi:

Rasa tidak dapat menahan kencing (urgensi)


Terbangun untuk kencing pada saat tidur malam hari (nocturia)
Bertambahnya frekuensi miksi
Nyeri pada waktu miksi (disuria)
Gejala dan tanda ini diberi skoring untuk menentukan berat keluhan

klinik. Pada waktu miksi penderita hampir selalu mengedan, sehingga lama
kelamaan akan menyebabkan hernia atau hermoroid. Karena selalu terdapat
sisa urin dapat terbentuk batu endapan dalam kandung kemih.
Hanya batu saluran kemih menambah keluhan iritasi dan menimbulkan
hematuria. Hematuria bisa juga terjadi karena ruptur dari vena-vena yang
berdilatasi pada leher vesika uninaria. Selain itu, batu tersebut bisa
menyebabkan sistitis dan bila terjadi refluk dapat terjadi pyelonefritis. Kadangkadang tanpa sebab yang diketahui penderita sama sekali tidak dapat miksi
sehingga harus dikeluarkan dengan kateter
Tidak semua pasien BPH perlu menjalani tindakan medik. Kadang-kadang
mereka yang mengeluh LUTS ringan dapat sembuh sendiri tanpa mendapatkan
terapi apapun atau hanya dengan nasehata atau konsultasi saja. Namun di
antara mereka akhirnya ada yang membutuhkan terapi medikamentosa atau
tindakan medik yang lain seperti pembedahan atau tindakan endoneurologi
yang kurang invasif.
Menurut Mansjoer dan Purnomo (2000), penatalaksanaan pada BPH dapat
dilakukan dengan:
a. Observasi
Kurangi minum setelah makan malam, hindari obat dekongestan, kurangi
kopi, hindari alkohol, tiap 3 bulan kontrol keluhan, sisa kencing dan colok
dubur.
b. Medikamentosa
- Penghambat alfa (alpha blocker)
Prostat dan dasar buli-buli manusia mengandung adrenoreseptor1, dan prostat memperlihatkan respon mengecil terhadap agonis.
Komponen yang berperan dalam mengecilnya prostat dan leher bulibuli secara primer diperantarai oleh reseptor alpha blocker.

Penghambatan terhadap alfa telah memperlihatkan hasil berupa


perbaikan subjektif dan objektif terhadap gejala dan tanda BPH
pada beberapa pasien. Penghambat alfa dapat diklasifikasikan
berdasarkan selektifitas reseptor dan waktu paruhnya
-

Penghambat 5-Reduktase (5-Reductase inhibitors)


Finasteride adalah penghambat 5-Reduktase yang menghambat
perubahan

testosteron

mempengaruhi

menjadi

komponen

epitel

dihydratestosteron.
prostat,

yang

Obat

ini

menghasilkan

pengurangan ukuran kelenjar dan memperbaiki gejala. Dianjurkan


pemberian terapi ini selama 6 bulan, guna melihat efek maksimal
terhadap ukuran prostat (reduksi 20%) dan perbaikan gejala-gejala
-

Terapi Kombinasi
Terapi kombinasi antara penghambat alfa dan penghambat 5Reduktase memperlihatkan bahwa penurunan symptom score dan
peningkatan aliran urin hanya ditemukan pada pasien yang
mendapatkan hanya Terazosin. Penelitian terapi kombinasi tambahan

sedang berlangsung.
Fitoterapi
Fitoterapi adalah penggunaan tumbuh-tumbuhan dan ekstrak
tumbuh-tumbuhan untuk tujuan medis. Penggunaan fitoterapi pada
BPH telah popular di Eropa selama beberapa tahun. Mekanisme kerja
fitoterapi tidak diketahui, efektifitas dan keamanan fitoterapi belum
banyak diuji.

c. Terapi Bedah
Indikasinya adalah bila retensi urin berulang, hematuria, penurunan
fungsi ginjal, infeksi saluran kemih berulang, divertikel batu saluran
kemih, hidroureter, hidronefrosis jenis pembedahan:
-

TURP (Trans Uretral Resection Prostatectomy)


Yaitu pengangkatan sebagian atau keseluruhan kelenjar prostat
melalui sitoskopi atau resektoskop yang dimasukkan malalui uretra

Prostatektomi Suprapubis

Yaitu pengangkatan kelenjar prostat melalui insisi yang dibuat pada


kandung kemih.
-

Prostatektomi Retropubis
Yaitu pengangkatan kelenjar prostat melalui insisi pada abdomen
bagian bawah melalui fosa prostat anterior tanpa memasuki kandung
kemih.

Prostatektomi Peritoneal
Yaitu pengangkatan kelenjar prostat radikal melalui sebuah insisi
diantara skrotum dan rektum.

Prostatektomi retropubis radikal


Yaitu pengangkatan kelenjar prostat termasuk kapsula, vesikula
seminalis dan jaringan yang berdekatan melalui sebuah insisi pada
abdomen bagian bawah, uretra dianastomosiskan keleher kandung
kemih pada kanker prostat.

d. Terapi Invasif Minimal


- Trans Uretral Mikrowave Thermotherapy (TUMT)
Yaitu pemasangan prostat dengan gelombang mikro yang disalurkan ke
-

kelenjar prostatmelalui antena yang dipasang melalui/pada ujung kateter.


Trans Uretral Ultrasound Guided Laser Induced Prostatectomy (TULIP)
Trans Uretral Ballon Dilatation(TUBD)

2. Striktur Uretra
Striktur uretra adalah penyempitan lumen uretra karena fibrosis pada
dindingnya. Striktur uretra dapat terjadi pada:
a. Kelainan Kongenital, misalnya kongenital meatus stenosis, klep uretra
posterior
b. Operasi rekonstruksi dari kelainan kongenital seperti hipospadia,
epispadia
c. Trauma, misalnya fraktur tulang pelvis yang mengenai uretra pars
membranasea; trauma tumpul pada selangkangan (straddle injuries)
yang mengenai uretra pars bulbosa, dapat terjadi pada anak yang naik
sepeda dan kakinya terpeleset dari pedal sepeda sehingga jatuh dengan
uretra pada bingkai sepeda pria; trauma langsung pada penis;

instrumentasi transuretra yang kurang hati-hati (iatrogenik) seperti


pemasangan kateter yang kasar, fiksasi kateter yang salah.
d. Post operasi, beberapa operasi pada saluran kemih dapat menimbulkan
striktur uretra, seperti operasi prostat, operasi dengan alat endoskopi.
e. Infeksi, merupakan faktor yang paling sering menimbulkan striktur
uretra, seperti infeksi oleh kuman gonokokus yang menyebabkan
uretritis gonorrhoika atau non gonorrhoika telah menginfeksi uretra
beberapa tahun sebelumnya namun sekarang sudah jarang akibat
pemakaian antibiotik, kebanyakan striktur ini terletak di pars
membranasea, walaupun juga terdapat pada tempat lain; infeksi
chlamidia sekarang merupakan penyebab utama tapi dapat dicegah
dengan menghindari kontak dengan individu yang terinfeksi atau
menggunakan kondom.
Patofisiologi
Struktur uretra terdiri dari lapisan mukosa dan lapisan submukosa.
Lapisan mukosa pada uretra merupakan lanjutan dari mukosa buli-buli,
ureter dan ginjal. Mukosanya terdiri dari epitel kolumnar, kecuali pada
daerah dekat orifisium eksterna epitelnya skuamosa dan berlapis.
Submukosanya terdiri dari lapisan erektil vaskular.
Apabila terjadi perlukaan pada uretra, maka akan terjadi penyembuhan
cara epimorfosis, artinya jaringan yang rusak diganti oleh jaringan lain
(jaringan ikat) yang tidak sama dengan semula. Jaringan ikat ini
menyebabkan hilangnya elastisitas dan memperkecil lumen uretra, sehingga
terjadi striktur uretra.
Derajat Penyempitan Uretra
Sesuai dengan derajat penyempitan lumennya, striktur uretra dibagi
menjadi tiga tingkatan, yaitu derajat:
1.

Ringan : jika oklusi yang terjadi kurang dari 1/3 diameter lumen

2.

uretra
Sedang: jika terdapat oklusi 1/3 sampai dengan diameter lumen

3.

uretra
Berat : jika terdapat oklusi lebih besar dari diameter lumen uretra

Pada penyempitan derajat berat kadang kala teraba jaringan keras di


korpus spongiosum yang dikenal dengan spongiofibrosis.
Gejala Klinis
Gejala dari striktur uretra yang khas adalah pancaran buang air seni
kecil dan bercabang. Gejala yang lain adalah iritasi dan infeksi seperti
frekuensi, urgensi, disuria, inkontinensia, urin yang menetes, kadang-kadang
dengan penis yang membengkak, infiltrat, abses dan fistel. Gejala lebih
lanjutnya adalah retensi urine.
Pemeriksaan
1. Pemeriksaan Fisik
Anamnesa:
Untuk mencari gejala dan tanda adanya striktur uretra dan juga mencari
penyebab striktur uretra.
Pemeriksaan fisik dan lokal:
Untuk mengetahui keadaan penderita dan juga untuk meraba fibrosis di
uretra, infiltrat, abses atau fistula.
2. Pemeriksaan Penunjang
Laboratorium:
-

Urin dan kultur urin untuk mengetahui adanya infeksi


Ureum dan kreatinin untuk mengetahui faal ginjal

Uroflowmetri
Uroflowmetri adalah pemeriksaan untuk menentukan kecepatan
pancaran urin. Kecepatan pancaran urin normal pada pria adalah 20
ml/detik dan pada wanita 25 ml/detik. Bila kecepatan pancaran kurang
dari harga normal menandakan ada obstruksi.
Radiologi
Diagnosa pasti dibuat dengan uretrografi, untuk melihat letak
penyempitan dan besarnya penyempitan uretra..
Instrumentasi
Pada pasien dengan striktur uretra dilakukan percobaan dengan
memasukkan kateter Foley ukuran 24 ch, apabila ada hambatan dicoba

dengan kateter dengan ukuran yang lebih kecil sampai dapat masuk ke
buli-buli. Apabila

dengan

kateter

ukuran

kecil

dapat

masuk

menandakan adanya penyempitan lumen uretra.


Uretroskopi
Untuk melihat secara langsung adanya striktur di uretra.
Diagnosis
Diagnosis striktur uretra dari hasil anamnesa dan pemeriksaan fisik.
Diagnosis pasti striktur uretra didapat dari pemeriksaan radiologi, tentukan
lokasi dan panjang striktur serta derajat penyempitan dari lumen uretra.
Penatalaksanaan
-

Striktur uretra tidak dapat dihilangkan dengan jenis obat-obatan


apapun. Medikamentosa hanya digunakan untuk: Analgesik non narkotik
untuk mengendalikan nyeri & Medikasi antimikrobial untuk mencegah

infeksi.
Pasien yang datang dengan retensi urin, secepatnya dilakukan sistostomi
suprapubik untuk mengeluarkan urin, jika dijumpai abses periuretra
dilakukan insisi dan pemberian antibiotika. Pengobatan striktur uretra
banyak pilihan dan bervariasi tergantung panjang dan lokasi dari striktur,
serta derajat penyempitan lumen uretra.
Tindakan khusus yang dilakukan terhadap striktur uretra adalah:
1. Bougie (Dilatasi)
2. Uretrotomi interna
Tindakan ini dilakukan dengan menggunakan alat endoskopi
yang memotong jaringan sikatriks uretra dengan pisau Otis atau
dengan pisau Sachse, laser atau elektrokoter.
3. Uretrotomi eksterna
Tindakan operasi terbuka berupa pemotongan jaringan
fibrosis kemudian dilakukan anastomosis end-to-end di antara
jaringan uretra yang masih sehat, cara ini tidak dapat dilakukan bila
daerah strikur lebih dari 1 cm.
Komplikasi
a. Trabekulasi, sakulasi dan divertikel

Pada striktur uretra otot buli-buli mula-mula akan menebal terjadi


trabekulasi pada fase kompensasi, setelah itu pada fase dekompensasi
timbul sakulasi dan divertikel. Perbedaan antara sakulasi dan divertikel
adalah penonjolan mukosa buli pada sakulasi masih di dalam otot buli
sedangkan divertikel menonjol di luar buli-buli, jadi divertikel buli-buli
adalah tonjolan mukosa keluar buli-buli tanpa dinding otot.
b. Residu urine
Residu adalah keadaan dimana setelah kencing masih ada urine
dalam kandung kencing. Dalam keadaan normal residu ini tidak ada.
c. Refluks vesiko ureteral
Pada striktur uretra dimana terdapat tekanan intravesika yang
meninggi maka akan terjadi refluks, yaitu keadaan dimana urine dari
buli-buli akan masuk kembali ke ureter bahkan sampai ginjal.
d. Infeksi saluran kemih dan gagal ginjal
Dalam keadaan normal, buli-buli dalam keadaan steril. Salah satu
cara tubuh mempertahankan buli-buli dalam keadaan steril adalah
dengan jalan setiap saat mengosongkan buli-buli waktu buang air kecil.
Dalam keadaan dekompensasi maka akan timbul residu, akibatnya
maka buli-buli mudah terkena infeksi.
e. Infiltrat urine, abses dan fistulasi
Adanya sumbatan pada uretra, tekanan intravesika yang meninggi
maka bisa timbul inhibisi urine keluar buli-buli atau uretra proksimal
dari striktur. Urine yang terinfeksi keluar dari buli-buli atau uretra
menyebabkan timbulnya infiltrat urine, kalau tidak diobati infiltrat urine
akan timbul abses, abses pecah timbul fistula di supra pubis atau uretra
proksimal dari striktur.
Pencegahan
-

Menghindari terjadinya trauma pada uretra dan pelvis


Tindakan transuretra dengan hati-hati, seperti pada pemasangan kateter
Menghindari kontak langsung dengan penderita yang terinfeksi penyakit
menular seksual seperti gonorrhea, dengan jalan setia pada satu pasangan
dan memakai kondom

Pengobatan dini striktur uretra dapat menghindari komplikasi seperti


infeksi dan gagal ginjal
Prognosis
Striktur uretra kerap kali kambuh, sehingga pasien harus sering
menjalani pemeriksaan yang teratur oleh dokter. Penyakit ini dikatakan
sembuh jika setelah dilakukan observasi selama satu tahun tidak
menunjukkan tanda-tanda kekambuhan.

3. Urolithiasis / Batu Ginjal


Urolithiasis atau Batu ginjal merupakan batu pada saluran kemih
(urolithiasis). Batu saluran kemih dapat diketemukan sepanjang saluran
kemih mulai dari sistem kaliks ginjal, pielum, ureter, buli-buli dan uretra
(Purnomo, 2000).
Secara epidemiologis terdapat beberapa faktor yang mempermudah
terjadinya batu saluran kemih yang dibedakan sebagai faktor intrinsik dan
faktor ekstrinsik;
Faktor intrinsik, meliputi:
1.

Herediter; diduga dapat diturunkan dari generasi ke generasi.

2.

Umur; paling sering didapatkan pada usia 30-50 tahun


3.

Jenis kelamin; jumlah pasien pria 3 kali lebih banyak dibanding pasien
wanita.

Faktor ekstrinsik, meliputi:


1.

Geografi; pada beberapa daerah menunjukkan angka kejadian yang lebih


tinggi daripada daerah lain sehingga dikenal sebagai daerah stone belt
(sabuk batu)

2.

Iklim dan temperatur


3.

Asupan air; kurangnya asupan air dan tingginya kadar mineral kalsium
dapat meningkatkan insiden batu saluran kemih.

4.

Diet; diet tinggi purin, oksalat dan kalsium mempermudah terjadinya batu
saluran kemih.

5.

Pekerjaan; penyakit ini sering dijumpai pada orang yang pekerjaannya


banyak duduk atau kurang aktivitas fisik (sedentary life).

Komposisi Batu
Batu saluran kemih pada umumnya mengandung unsur: kalsium
oksalat, kalsium fosfat, asam urat, magnesium-amonium-fosfat (MAP),
xanthyn dan sistin. Pengetahuan tentang komposisi batu yang ditemukan
penting dalam usaha pencegahan kemungkinan timbulnya batu residif
Patofisiologi Urolithiasis/Batu Ginjal
Batu saluran kemih dapat menimbulkan penyulit berupa obstruksi dan
infeksi saluran kemih. Manifestasi obstruksi pada saluran kemih bagian
bawah adalah retensi urine atau keluhan miksi yang lain sedangkan pada
batu saluran kemih bagian atas dapat menyebabkan hidroureter atau
hidrinefrosis. Batu yang dibiarkan di dalam saluran kemih dapat
menimbulkan infeksi, abses ginjal, pionefrosis, urosepsis dan kerusakan
ginjal permanen (gagal ginjal)
Keluhan yang disampaikan pasien tergantung pada letak batu, besar
batu dan penyulit yang telah terjadi. Pada pemeriksaan fisik mungkin
didapatkan nyeri ketok di daerah kosto-vertebra, teraba ginjal pada sisi yang
sakit akibat hidronefrosis, ditemukan tanda-tanda gagal ginjal, retensi urine
dan jika disertai infeksi didaptkan demam/menggigil.
Pemeriksaan Urolithiasis
Pemeriksaan sedimen urine menunjukan adanya lekosit, hematuria dan
dijumpai kristal-kristal pembentuk batu. Pemeriksaan kultur urine mungkin
menunjukkan

adanya

adanya

pertumbuhan

kuman

pemecah

urea.

Pemeriksaan faal ginjal bertujuan mencari kemungkinan terjadinya


penurunan fungsi ginjal dan untuk mempersipkan pasien menjalani
pemeriksaan foto PIV. Perlu juga diperiksa kadar elektrolit yang diduga
sebagai penyebab timbulnya batu salran kemih (kadar kalsium, oksalat,
fosfat maupun urat dalam darah dan urine).
Pembuatan foto polos abdomen bertujuan melihat kemungkinan adanya
batu radio-opak dan paling sering dijumpai di atara jenis batu lain. Batu asam
urat bersifat non opak (radio-lusen).

Pemeriksaan pieolografi intra vena (PIV) bertujuan menilai keadaan


anatomi dan fungsi ginjal. Selain itu PIV dapat mendeteksi adanya batu semi
opak atau batu non opak yang tidak tampak pada foto polos abdomen.
Ultrasongrafi dikerjakan bila pasien tidak mungkin menjalani pemeriksaan
PIV seperti pada keadaan alergi zat kontras, faal ginjal menurun dan pada
pregnansi.
Penatalaksanaan Urolithiasis/Batu Ginjal
Batu yang sudah menimbulkan masalah pada saluran kemih harus segera
dikeluarkan agar tidak menimbulkan penyulit yang lebih berat.
Pencegahan Urolithiasis/Batu Ginjal
Setelah batu dikelurkan, tindak lanjut yang tidak kalah pentingnya adalah
upaya mencegah timbulnya kekambuhan. Angka kekambuhan batu saluran
kemih rata-rata 7%/tahun atau kambuh lebih dari 50% dalam 10 tahun.
Prinsip pencegahan didasarkan pada kandungan unsur penyusun batu yang
telah diangkat. Secara umum, tindakan pencegahan yang perlu dilakukan
adalah:
1.

Menghindari dehidrasi dengan minum cukup, upayakan produksi urine 23 liter per hari

2.

Diet rendah zat/komponen pembentuk batu

3.

Aktivitas harian yang cukup

4.

Medikamentosa
Beberapa diet yang dianjurkan untuk untuk mengurangi kekambuhan
adalah:
1. Rendah protein, karena protein akan memacu ekskresi kalsium urine
dan menyebabkan suasana urine menjadi lebih asam.
2. Rendah oksalat
3. Rendah garam karena natiuresis akan memacu

timbulnya

hiperkalsiuria
4. Rendah purin
5. Rendah kalsium tidak dianjurkan kecuali pada hiperkalsiuria absorbtif
type II

4. Gagal Ginjal
Gagal ginjal adalah suatu keadaan klinis yang ditandai dengan penurunan
fungsi ginjal yang irreversible, pada suatu derajat butuh terapi pengganti yang
tetap (dialysis/tranpslantasi). Gagal ginjal ada 2:
a. Gagal Ginjal Akut (GGA)
GGA merupakan suatu kondisi klinis yang ditandai dengan
penurunan fungsi ginjal yang mendadak dengan akibat terjadinya
peningkatan hasil metabolit seperti ureum dan kreatinin. Penyebabnya
-

dapat dikelompokkan menjadi 2:


Faktor prerenal, seperti hipovolemi, hipotensi, dan hipoksia.
Faktor renal, seperti glomerulonefritis akut, koagulasi intravaskuler
terlokalisasi, nekrosis tubulus akut, nefritis interstisial akut, tumor,
kelainan perkembangan, dan nefritis herediter.
Tanda dan gejala yang muncul mungkin didominasi oleh penyakit
pencetus. Temuan-temuan klinis yang terkait dengan gagal ginjal
meliputi pucat, penurunan volume urin, hipertensi muntah dan letargi.
Komplikasi gagal ginjal akut meliputi kelebihan cairan, dengan gagal
jantung kongestif dan edema paru.
Penatalaksanaan harus ditujukan kepada penyakit primer yang
menyebabkan gagal ginjal akut tersebut, dan berdasarkan keadaan klinis
yang muncul.

b. Gagal Ginjal Kronis (GGK)


Dikatakan GGK bila:
-

Kerusakan ginjal yang > 3 bulan berupa kelainan struktural dan


fungsional, dengan atau tanpa penurunan laju filtrasi glomerulus, dengan
manifestasi : kelainan patologis dan terdapat tanda kelainan ginjal
termasuk kelainan dalam komposisi darah atau urin, atau kelainan dalam

tes pencitraan.
LFG < 60 mL/menit/1,73 m2 selama 3 bulan dengan atau tanpa kerusakan
ginjal.
Gambaran klinis:

Sesuai dengan penyakit yang mendasari (DM, infeksi traktus urinarius,


batu traktus urinarius, hipertensi, dsb)

Sindrom uremia (lemah, letargi, anoreksia, mual, muntah, nokturia,


kelebihan volume cairan, neuropati perifer, perikarditis, kejang-kejang

sampai koma)
Gejala komplikasi (hipertensi, anemia, osteodistrofi ginjal, payah jantung,
asidosis metabolic, gangguan keseimbangan elektrolit).
Gambaran Laboratorium

Sesuai dengan penyakit yang mendasarinya


Penurunan fungsi ginjal berupa peningkatan kadar ureum dan kreatinin

serum dan penurunan LFG.


Kelainan biokimiawi darah (penurunan Hb, peningkatan asam urat,

hiper/hipokalemia, hipokalsemi, asidosis metabolik)


Kelainan urinalisis (proteinuria, hematuri, leukosuria).
Gambaran radiologis

Foto polos abdomen, bisa tampak radio-opak


Pielografi intravena jarang dikerjakan karena kontras sering tidak bisa

melewati filter glomerulus.


Pielografi antegrad/retrograde dilakukan sesuai dengan indikasi.
USG memperlihatkan ukuran ginjal yang mengecil, korteks yang menipis,

adanya hidronefrosis atau batu ginjal, kista, massa, kalsifikasi.


Pemeriksaan pemindaian ginjal/renografi dikerjakan bila ada indikasi.
Biopsi dan pemeriksaan histopatologi ginjal

Dilakukan pada pasien dengan ukuran ginjal masih mendekati normal.


Pemeriksaan histopatologi untuk mengetahui etiologi, menetapkan terapi,

prognosis, dan evaluasi hasil terapi.


Biopsi ginjal indikasi-kontra dilakukan bila ukuran ginjal sudah mengecil,
ginjal polikistik, hipertensi yang tidak terkendali, infeksi perinefritik,
gangguan pembekuan darah, gagal nafas dan obesitas.
Tatalaksana:

Terapi spesifik terhadap penyakit dasarnya


Pencegahan dan terapi terhadap kondisi komorbid
Memperlambat perburukan fungsi ginjal
Pencegahan dan terapi terhadap penyakit kardiovaskuler
Pencegahan dan terapi terhadap komplikasi
Terapi pengganti ginjal (dialysis/transplantasi)
(Soeparman, 2000).

Berdasarkan uraian diatas, dapat disimpulkan bahwa pasien menderita BPH


yang menimbulkan terjadinya gagal ginjal akut sehingga diperlukan penanganan
tertentu bagi pasien seperti operasi TURP untuk menghilangkan sumbatan pada
saluran kemih pasien.

BAB IV
PENUTUP
A. Simpulan
Berdasarkan skenario, dapat disimpulkan bahwa pasien mengalami:
- Retensi Urin, karena pasien sulit buang air kecil
- Anuria karena urin keluar < 200 cc atau oligouri karena urin keluar < 600
-

cc
Pembesaran kelenjar prostat, karena saat miksi pasien harus mengejan dan

kurang lampias
Kegagalan fungsi ginjal, karena berdasarkan hasil laboratorium kadar
kreatinin dan ureum meningkat, kadar Hb turun sehingga pasien tampak
pucat, lemas, sesak, mual dan muntah. Tapi, pasien tidak mengalami
hipoglikemia atau hiperglikemia.
Pembesaran prostat yang dialami pasien menyebabkan penyempitan lumen

uretra prostatika dan menghambat aliran urine sehingga pasien mengalami


keluhan LUTS (lower urinary tract symptom). Keluhan LUTS terdiri dari tanda
obstruksi dan tanda iritasi seperti yang telah dibahas di bab pembahasan.
Akibat pembesaran prostat ini pasien mengalami gagal ginjal akut sehingga
harus dilakukan cuci darah untuk mengembalikan fungsi ginjal dan operasi
TURP untuk menghilangkan hambatan pada saluran kencingnya akibat BPH.
B. Saran
Pasien seharusnya tidak perlu takut untuk melakukan cuci darah karena cuci
darah tidak membuat ketagihan tapi ada indikasinya sendiri. Selain itu, juga
harus minum

Anda mungkin juga menyukai