Anda di halaman 1dari 17

Skrining Ca Cervix dengan Tes IVA

Novi yantika kaban


102011199
Universitas Kristen Krida Wacana
JL. Arjuna Utara No. 6 Jakarta Barat 11510
email : novinovinay@yahoo.com

Pendahuluan
Kanker servix adalah kanker primer serviks (kanalis servikalis dan atau porsio). Kanker leher
rahim merupakan masalah kesehatan yang penting bagi wanita. Kanker ini dialami oleh lebih
dari 1,4 juta wanita di seluruh dunia. Setiap tahun, lebih dari 460.000 kasus terjadi dan sekitar
231.000 orang meninggal karena penyakit ini. Di Indonesia, kasus kanker leher rahim pada
peringkat pertama dengan jumlah kasus 14.368 orang. Dari jumlah tersebut, 7,297 orang
meninggal dan prevalensinya adalah 10.823 orang setiap tahunnya. Pemeriksaan kanker leher
rahim dengan metode IVA digunakan untuk mendeteksi kanker secara dini. Pemeriksaan
dilakukan terutama pada wanita yang telah menikah dan umur lebih dari 25 tahun. Dari hasil
pemeriksaan IVA yang dilaksanakan di Puskesmas Warnasari pada kasus, terdapat positif 6
orang dan negatif 3 orang dari total peserta yang telah diperiksa 100 orang. Pada makalah ini
akan dibahas mendiagnosis dini dengan screening menggunakan test IVA (Inspeksi Visual
Asam Asetat).
Pembahasan
Etiologi
Penyebab primer kanker leher rahim adalah infeksi kronik leher rahim oleh satu atau
lebih virus HPV (Human Papiloma Virus) tipe onkogenik yang beresiko tinggi menyebabkan
kanker leher rahim yang ditularkan melalui hubungan seksual (sexually transmitted
disease).3,11,12 Perempuan biasanya terinfeksi virus ini saat usia belasan tahun, sampai tiga
puluhan, walaupun kankernya sendiri baru akan muncul 10-20 tahun sesudahnya.9 Infeksi
virus HPV yang berisiko tinggi menjadi kanker adalah tipe 16, 18, 45, 5613 dimana HPV tipe
16 dan 18 ditemukan pada sekitar 70% kasus. Infeksi HPV tipe ini dapat mengakibatkan
1

perubahan sel-sel leher rahim menjadi lesi intra-epitel derajat tinggi (high-grade
intraepithelial lesion/ LISDT) yang merupakan lesi prakanker. Sementara HPV yang berisiko
sedang dan rendah menyebabkan kanker (tipe non-onkogenik) berturut turut adalah tipe 30,
31, 33, 35, 39, 51, 52, 58, 66 dan 6, 11, 42, 43, 44, 53, 54,55.13. 1
Epidemiologi
Berdasarkan hasil survey kesehatan oleh World Health Organitation (WHO), 2010
dilaporkan kejadian kanker serviks sebesar 500.000 kasus baru di dunia. Kejadian kanker
serviks di Indonesia dilaporkan 20-24 kasus kanker serviks baru setiap harinya. Kejadian
kanker serviks di Bali dilaporkan telah menyerang sebesar 553.000wanita usia subur pada
tahun 2010 atau 43/100.000 penduduk

WUS. Berdasarkan AOGIN (2010) angka ini

mengalami peningkatan sebesar 0,89% sejak tahun 2008.1


Faktor resiko dan cara penularan ca cervix
Penyebab langsung dari kanker serviks belum diketahui. Ada bukti kuat kejadiannya
mempunyai hubungan erat dengan jumlah faktor ekstrinsik, di antaranya yang penting adalah
jarang ditemukan pada perawan (virgo), insidens lebih tinggi pada mereka yang kawin
daripada yang tidak kawin, terutama pada gadis yang koitus pertama dialami pada usia amat
muda (kurang dari 16 tahun), insidens meningkat dengan tingginya paritas, apalagi dengan
jarak persalinan terlampau dekat, ekonomi rendah, hygiene seksual jelek, aktifitas seksual
yang sering berganti-ganti pasangan (promiskuitas), jarang di jumpai pada masyarakat yang
suaminya disunat, sering pada perempuan yang mengalami infeksi virus hPV(human
papiloma virus) tipe 16 atau 18, dan pada wanita yang memiliki kebiasaan merokok.
Penularan ca cervix adalah dengan hubungan seksual.2
Predisposisi
Faktor risiko terjadinya infeksi HPV adalah hubungan seksual pada usia dini,
berhubungan seks dengan berganti-ganti pasangan, dan memiliki pasangan yang suka
berganti-ganti pasangan. Infeksi HPV sering terjadi pada usia muda, sekitar 25-30% nya
terjadi pada usia kurang dari 25 tahun. Beberapa ko-faktor yang memungkinkan infeksi HPV
berisiko menjadi kanker leher rahim adalah: 1

a. Faktor HPV :
-

tipe virus

infeksi beberapa tipe onkogenik HPV secara bersamaan

jumlah virus (viral load)

b. Faktor host/ penjamu :


- status imunitas, dimana penderita imunodefisiensi (misalnya penderita HIV positif)
yang terinfeksi HPV lebih cepat mengalami regresi menjadi lesi prekanker dan
kanker.
- jumlah paritas, dimana paritas lebih banyak lebih berisiko mengalami kanker
c. Faktor eksogen
- merokok
- ko-infeksi dengan penyakit menular seksual lainnya
- penggunaan jangka panjang ( lebih dari 5 tahun) kontrasepsi oral 2

Gambaran Klinik Karsinoma leher rahim


Gejala-gejala yang timbul pada karsinoma leher rahim dan merupakan gejala yang sering di
temukan pada karsinoma leher rahim adalah:
a. Masa tanpa gejala, pada masa ini penderita tidak mengeluh dan tidak merasakan suatu
gejala meskipun sebenarnya pasien sudah mengidap penyakit kanker leher rahim. Hal
ini tejadi pada stadium dini.
b. Keputihan, merupakan gejala yang sering di temukan. Getah yang keluar dari vagina
makin lama makin banyak, berbau busuk akibat infeksi dan nekrosis jaringan.
c. Pendarahan yang timbul akibat terbukanya pembuluh darah yang makin lama makin
sering terjadi, misalnya setelah melakukan koitus atau perdarahan menstruasi lebih
banyak, atau bisa juga diluar senggama/spontan, biasanya terjadi pada tingkat klinik
lanjut stadium II-III.
d. Rasa nyeri, terjadi karena infiltrasi sel tumor ke serabut saraf.
e. Anemia, sering ditemukan pada stadium lanjut sebagai akibat dari perdarahan
pervaginam dan akibat penyakitnya.
f. Gejala yang dapat timbul karena mestastasi jauh, misalnya obstruksi total vesika
urinaria, cepat lelah, penurunan berat bada. 3
3

Diagnosa Karsinoma leher rahim


Diagnosa kanker adalah usaha untuk mengidentifikasi jenis kanker yang diderita dengan cara
pemeriksaan tertentu. Pemeriksaan yang dilakukan pada kanker leher rahim meliputi:
a. Pemeriksaan Ginekologi
Dengan melakukan Vaginal tauche atau rectal tauche yang berguna untuk mengetahui
keadan leher rahim serta sangat penting untuk mengetahui stadium kanker leher rahim.
b. Pemeriksaan Pap Smear
Pemeriksaan pap smear adalah pemeriksaan sitologi epitel porsio dan leher rahim
untuk menentukan tingkat praganas dan ganas pada portio dan leher rahim serta
diagnose dini karsinoma leher rahim.
c. Pemeriksaan Kolposkopi
Kolposkopi adalah mikroskop teropong stereoskopis dengan pembesaran yang rendah
10-40x, dengan kolposkopi maka metaplasia skuamosa infeksi HPV, neoplasma
Intraepiteliel leher rahim akan terlihat putih dengan asam asetat atau tanpa corak
pembuluh darah.
d. Pemeriksaan Biopsi
Pemeriksaan ini dikerjakan dengan mata telanjang pada beberapa tempat di leher
rahim yaitu, dengan cara mengambil sebagain/seluruh tumor dengan menggunakan
tang obligator, sampai jaringan lepas dari tempatnya. 3
e. IVA tes
Mengkaji masalah penanggulangan kanker leher rahim yang ada di Indonesia dan
adanya pilihan metode yang mudah di-ujikan di berbagai negara, agaknya metode IVA
(inspeksi visual dengan aplikasi asam asetat) layak dipilih sebagai metode skrining
alternatif untuk kanker leher rahim. Pertimbangan tersebut didasarkan oleh pemikiran,
bahwa metode skrining IVA itu mudah, praktis dan sangat mampu laksana.4 Dapat
dilaksanakan oleh tenaga kesehatan bukan dokter ginekologi, dapat dilakukan oleh
bidan di setiap tempat pemeriksaan kesehatan ibu. Alat-alat yang dibutuhkan sangat
sederhana. Metode skrining IVA sesuai untuk pusat pelayanan sederhana. IVA adalah
pemeriksaan skrining kanker serviks dengan cara inspeksi visualpada serviks dengan
aplikasi asam asetat.

Deteksi Dini Kanker Leher Rahim

Kanker leher rahim adalah penyakit yang diawali oleh infeksi virus HPV yang
merubah sel-sel leher rahim sehat menjadi displasia dan bila tidak diobati pada gilirannya
akan tubuh menjadi kanker leher leher rahim.3-4Prinsip dasar kontrol penyakit ini adalah
memutus mata rantai infeksi, atau mencegah progresivitas lesi displasia sel-sel leher rahim
(disebut juga lesi prakanker) menjadi kanker. Bila lesi displasia ditemukan sejak dini dan
kemudian segera diobati, hal ini akan mencegah terjadinya kanker leher rahim dikemudian
hari. Lesi prakanker yang perlu diangkat/diobati adalah jenis LISDT (lesi intraepitelial
skuamosa derajat tinggi), adapun jenis LISDR (lesi intraepitelial skuamosa derajat rendah)
dianggap lesi yang jinak dan sebagian besar akan mengalami regresi secara spontan.
Perempuan yang terkena lesi prakanker diharapkan dapat sembuh hampir 100%, sementara
kanker yang ditemukan pada stadium dini memberikan harapan hidup 92%. Karenanya
deteksi sedini mungkin sangat penting untuk mencegah dan melindungi perempuan dari
kanker leher rahim. WHO menyebutkan 4 komponen penting yang menjadi pilar dalam
penanganan kanker leher rahim, yaitu : pencegahan infeksi HPV, deteksi dini melalui
peningkatan kewaspadaan dan program skrining yang terorganisasi, diagnosis dan tatalaksana,
serta perawatan paliatif untuk kasus lanjut. Deteksi dini kanker leher rahim meliputi program
skirining yang terorganisasi dengan sasaran perempuan kelompok usia tertentu, pembentukan
sistem rujukan yang efektif pada tiap tingkat pelayanan kesehatan, dan edukasi bagi petugas
kesehatan dan perempuan usia produktif1 Skrining dan pengobatan lesi displasia (atau disebut
juga lesi prakanker) memerlukan biaya yang lebih murah bila dibanding pengobatan dan
penatalaksanaan kanker leher rahim. Beberapa hal penting yang perlu direncanakan dalam
melakukan deteksi dini kanker, supaya skrining yang dilaksanakan terprogram dan
terorganisasi dengan baik, tepat sasaran dan efektif, terutama berkaitan dengan sumber daya
yang terbatas :

Sasaran yang akan menjalani skrining


WHO mengindikasikan skrining dilakukan pada kelompok berikut1 :
a.

Setiap perempuan yang berusia antara 25-35 tahun, yang belum pernah menjalani tes Pap

sebelumnya, atau pernah mengalami tes Pap 3 tahun sebelumnya atau lebih.
5

b. Perempuan yang ditemukan lesi abnormal pada pemeriksaan tes Pap sebelumnya
c. Perempuan yang mengalami perdarahan abnormal pervaginam, perdarahan pasca sanggama
atau perdarahan pasca menopause atau mengalami tanda dan gejala abnormal lainnya
d. Perempuan yang ditemukan ketidak normalan pada leher rahimnya 4

Keunggulan Tes IVA


a. Hasil segera diketahui saat itu juga.
b. Efektif karena tidak membutuhkan banyak waktu dalam pemeriksaan, aman
karena pemeriksaan IVA tidak memiliki efek samping bagi ibu yang memeriksa, dan
praktis.
c. Teknik pemeriksaan sederhana, karena hanya memerlukan alat-alat kesehatan yang
sederhana, dan dapat dilakukan dimana saja.
d. Butuh bahan dan alat yang sederhana dan murah.
e. Sensivitas dan spesifikasitas cukup tinggi.
f. Dapat dilakukan oleh semua tenaga medis terlatih 4,5
Pemeriksaan dengan Metode IVA
Di negara maju, skrining secara luas dengan metode pemeriksaan sitologi tes Pap smear telah
menunjukkan hasil yang efektif dalam menurunkan insidens kanker leher rahim. Namun di
negara-negara berkembang yang hanya memiliki sumber daya terbatas, skrining hanya
menjangkau sebagian kecil perempuan saja, terutama di daerah perkotaan. Ada beberapa
kelemahan tes Pap diantaranya keterbatasan jumlah laboratorium sitologi dan tenaga
sitoteknologi terlatih, sehingga menyebabkan hasil tes Pap baru didapat dalam rentang waktu
yang relatif lama (berkisar 1 hari- 1 bulan). Skrining dengan metode tes Pap memerlukan
tenaga ahli, sistem transportasi, komunikasi dan tindak lanjut (follow-up) yang belum dapat
dipenuhi oleh negara-negara berkembang. Hanya sebagian kecil dari perempuan yang
menjalani dan mendapatkan hasil tes Pap juga menjalani evaluasi dan pengobatan yang
semestinya bila ditemukan abnormalitas. Sebagai konsekuensinya, angka insidens kanker
leher rahim tetap tinggi dan kebanyakan pasien datang pada stadium lanjut. Masalah yang
berkembang akibat keterbatasan metode tes Pap inilah yang mendorong banyak penelitian
untuk mencari metode alternatif skrining kanker leher rahim. Salah satu metode yang
dianggap dapat dijadikan alternatif adalah metode inspeksi visual dengan asam asetat
6

(IVA).47,48,49,50,51,52,53,54 Efektivitas IVA sudah di teliti oleh banyak peneliti. Walaupun


demikian perbandingan masing-masing penelitian tentang IVA agak sulit dievaluasi karena
perbedaan protokol dan populasi. Secara umum dapat dikatakan bahwa sensitivitas IVA untuk
mendeteksi High Grade SIL berkisar 60-90 %., sehingga dapat dikatakan bahwa sensitifitas
IVA setara dengan sitologi walaupun spesifisitasnya lebih rendah. 47-54 Metode IVA memberi
peluang dilakukannya skrining secara luas di tempat-tempat yang memiliki sumberdaya
terbatas, karena metode ini memungkinkan diketahuinya hasil dengan segera dan terutama
karena hasil skrining dapat segera ditindaklanjuti. Metode satu kali kunjungan (single visit
approach) dengan melakukan skrining metode IVA dan tindakan bedah krio untuk temuan lesi
prakanker (see and treat) memberikan peluang untuk peningkatan cakupan deteksi dini
kanker leher rahim, sekaligus mengobati lesi prakanker. 4,5
Dasar Pemeriksaan IVA
Pemeriksaan inspeksi visual dengan asam asetat (IVA) adalah pemeriksaan yang
pemeriksanya (dokter/bidan/paramedis) mengamati leher rahim yang telah diberi asam
asetat/asam cuka 3-5% secara inspekulo dan dilihat dengan penglihatan mata telanjang.
Pemeriksaan IVA pertama kali diperkenalkan oleh Hinselman (1925) dengan cara memulas
leher rahim dengan kapas yang telah dicelupkan dalam asam asetat 3-5%. Pemberian asam
asetat itu akan mempengaruhi epitel abnormal, bahkan juga akan meningkatkan osmolaritas
cairan ekstraseluler. Cairan ekstraseluler yang bersifat hipertonik ini akan menarik cairan dari
intraseluler sehingga membran akan kolaps dan jarak antar sel akan semakin dekat. Sebagai
akibatnya, jika permukaan epitel mendapat sinar, sinar tersebut tidak akan diteruskan ke
stroma, tetapi dipantulkan keluar sehingga permukaan epitel abnormal akan berwarna putih,
disebut juga epitel putih (acetowhite).Daerah metaplasia yang merupakan daerah peralihan
akan berwarna putih juga setelah pemulasan dengan asam asetat tetapi dengan intensitas yang
kurang dan cepat menghilang. Hal ini membedakannya dengan proses prakanker yang epitel
putihnya lebih tajam dan lebih lama menghilang karena asam asetat berpenetrasi lebih dalam
sehingga terjadi koagulasi protein lebih banyak. Jika makin putih dan makin jelas, main tinggi
derajat kelainan jaringannya. Dibutuhkan 1-2 menit untuk dapat melihat perubahan-perubahan
pada epitel. Leher rahim yang diberi 5% larutan asam asetat akan berespons lebih cepat
daripada 3% larutan tersebut. Efek akan menghilang sekitar 50-60 detik sehingga dengan
pemberian asam asetat akan didapatkan hasil gambaran leher rahim yang normal (merah

homogen) dan bercak putih (mencurigakan displasia). Lesi yang tampak sebelum aplikasi
larutan asam asetat bukan merupakan epitel putih, tetapi disebut leukoplakia; biasanya
disebabkan oleh proses keratosis. 4,5
Teknik Pemeriksaan IVA dan Interpretasi
Prinsip metode IVA adalah melihat perubahan warna menjadi putih (acetowhite) pada
lesi prakanker jaringan ektoserviks rahim yang diolesi larutan asam asetoasetat (asam cuka).
Bila ditemukan lesi makroskopis yang dicurigai kanker, pengolesan asam asetat tidak
dilakukan namun segera dirujuk ke sarana yang lebih lengkap. 4,5
Untuk melaksanakan skrining dengan metode IVA, dibutuhkan tempat dan alat sebagai
berikut:
-

Ruang tertutup, karena pasien diperiksa dengan posisi litotomi.

Meja/tempat tidur periksa yang memungkinkan pasien berada pada posisi litotomi.

Terdapat sumber kanker hanya untuk melihat leher rahim.

Speculum vagina

Asam asetat (3-5%)

Swab-lidi berkapas

Sarung tangan 4,5

Dengan speculum melihat leher rahim yang dipulas dengan asam asetat 3-5%. Pada
lesi prakanker akan menampilkan warna berkankerk putih yang disebut aceto white
epithelium. Dengan tampilnya portio dan berkankerk putih dapat disimpulkan bahwa tes IVA
positif, sebagai tindak lanjut dapat dilakukan biopsi. Andai kata penemuan tes IVA positif oleh
bidan, maka beberapa bidan tersebut dapat langsung melakukan terapi dengan cryosergury.
Hal ini tentu mengandung kelemahan-kelemahn dalam menyingkirkan lesi invasive. 5
Ada beberapa kategori yang dapat dipergunakan, salah satu katagori yang dapat dipergunakan
adalah:
a. IVA negative= Leher rahim normal
b. IVA radang= Leher rahim dengan radang (servisitis), atau kelainan jinak lainnya (polip
leher rahim).
c. IVA positif = ditemukan berkankerk putih (aceto white epithelium). Kelompok ini
yang menjadi sasarab temuan skrining kanker leher rahim dengan metode IVA karena

temuan ini mengarah pada diagnosis Leher rahim prakanker (dysplasia ringan-sedangberat atau kanker leher rahim in situ).
d. IVA-Kanker leher rahim pada tahap ini pun, untuk upaya penurunan temuan stadium
kanker leher rahim, masih akan bermanfaat bagi penurunan kematian akibat kanker
leher rahim bila ditemukan masih pada stadium invasive dini (stadium IB-IIA). 5

Skrining
Pengertian Skrining
Skrinining (screening) untuk pengendalian penyakit adalah pemeriksaan orang-orang
asimptomatik untuk mengklasifikasikan mereka ke dalam kategori yang diperkirakan
mengidap atau diperkirakan tidak mengidap penyakit yang menjadi objek skrining. 6
Contoh uji skrining antara lain yaitu, pemeriksaan Rontagen pemeriksaan sitologi, dan
pemeriksaan tekanan darah. Uji skrining tidaklah bersifat diagnostik. Orang-orang dengan
temuan positif aau mencurigakan harus dirujuk ke dokter untuk diagnosis dan
pengobatannya.6
Tujuan Skrining
Tujuan skrining adalah untuk mengurangi morbiditas atau mortalitas dari penyakit dengan
pengobatan dini terhadap kasus-kasus yang ditemukan. Program diagnosis dan pengobatan
dini hampir selalu diarhakan kepada penyakit tidak menular, seprti kanker, diabetes melitus,
glaucoma, dan lain-lain. Dalam skala tingkat prevelensi penyakit, deteksi dan pengobatan dini
ini termsuk dalam tingkat prevelensi skunder. 6
Semua skrining dengan sasaran pengobatan dini ini dimaksudkan untuk mengidentifikasi
orang-orang asimptomatik yang beresiko mengidap gangguan kesehatan serius. Dalam
konteks ini, penyakit adalah setiap karaakteristik anatomi (misalnya kanker atau
arteriosklerosis), ataupun perilaku (misalnya kebiasaan merokok) yang berkaitan dengan
peningkatan gangguan kesehatan yang serius ataupun kematian. 6
Selain pengertian skrining yang dikaitkan dengan diagnosis dan pengobatan dini ini, istilah
skrining mungkin memiliki pengertian lain, yaitu:

Rangkaian pengujian yang dilakukan terhadap pasien simptomatik yang diagnosisnya

belum dapat dipastikan.


Agen kimiawi dapat diskrining dengan pengujian laboratorium atau surveilans

epidemiologi untuk mengidentifikasi zat-zat diperkirakan bersifat toksik.


Prosedur skrining dapat digunakan untuk mengestimasi prevalensi berbagai kondisi

tanpa bertujuan untuk pengendalian penyakit dalam waktu dekat.


Skrining adalah pengidentifikasian orang yang beresiko tinggi terhadap suatu
penyakit. 6

Reliabilitas dan Validitas


Reliabilitas dan Validitas merupakan suatu hal yang umum pada semua instumen
pengukukuran. Masalah ini berhubungan dengan pertanyaan tentang tingkat kemampuan
kuesioner dan wawancara dalam mengukur kepuasan pasien yang akurat. 6,7

Reliabilitas
Reliabilitas dari suatu pengukuran adalah suatu indikator tingkat, seberapa jauh pengukuran
dapat direplikasi, artinya apakah hasilnya selalu sama, jika pengukuran oleh siapa pun, kapan
pun dan dalam lingkungan yang berbeda sekalipun. Reliabilitas berhubungan dengan
kesalahan acak yang terjadi dalam segala bentuk pengukuran. Pengukuran yang semakin
reliable, kesalahan acak yang terjadi semakin kecil. Reliabilitas adalah sangat mendasar bagi
setiap keperluan pengukuran mutu layanan kesehatan, karena jika pengukuran tidak reliable,
hasil pengukuran menjadi tidak bermanfaat. Namun, demikian, banyak pengukurn mutu
layanan kesehatan tidak di ujicoba reliabilitasnya dengan tepat. 6,7

Ada tiga bentuk reliabilitas, yaitu:

Reliabilitas antar-evalutor
Apabila pengukuran diterapkan pada hal atau keadaan yang sama oleh beberapa
evaluator, apakah hasilnya sama?
Reliabilitas intra-evalutor

10

Jika pengukuran diterapkan pada hal atau keadaan yang sama oleh seorang evaluator

pada berbagai kejadian, apakah hasilnya sama?


Taat-asas internal
Apakah butir-butir dalam suatu pengukuran, dengan tujuan untuk mengukur suatu
karakteristik yang spesifik, berhubungan satu dengan yang lain? 6,7

Sebaliknya, validitas instrument yang digunakan mengukur kepuasan pasien sangant sulit
dibuat. Hal ini merupakan kenyataan bahwa tidak ada Gold Standard yang dapat dijadikan
dasar untuk pengukuran ataupun penilainan pandangan pasien dan/ atau masyarakat.
Validitas
Validitas suatu pengukuran adalah indikator sejauh mana pengukuran itu dapat mengukur apa
yang hendak diukur. Apabila pengukuran tidak memberikan hasil yang sahih atau absa, tidak
dapat digunakan dengan baik dan sebaliknya dapat menyesatkan. Meskipun demikian, dalam
kuesioner kapuasan pasien, jenis validitas yang berikut harus dipertimbangkan. 7

Validitas isi atau konsep


Validitas konsep
Validitas konvergen dan divergen
Validitas terkait kriteria

Validitas konten
Instrument atau kuesioner dapat diperiksa untuk melihat apakah isinya mencakup
pengertian konseptual tertentu yang hendak diukur. 6,7
Validitas konsep
Apakah hasil pengukuran sesuai dengan konsep atau teori tentang sifat atau
karakteristik yang sedang diukur. Instrument diperiksa untuk meneliti apakah skor kepuasan
pasien terkait dengan proses layanan kesehatan yang telah diukur tersendiri. Misalnya antara
waktu yang diperlukan untuk membuat suatu penjanjian dengan waktu keterlambatan yang
masih dapat diterima. 6,7

11

Validitas konvergen dan divergen


Validitas ini berhubungan dengan pola kesepakatan dan ketidaksepakatan dalam
berbagai variabel. Maksudnya ialah buti-butir dalam kuesioner harus banyak berkorelasi
dengan butir-butir yang dianggap sama dan sedikit berkorelasi dengan butir-butir yang kurang
berhubungan. Hal ini akan sangat membantu sewaktu analisis data kuesioner sehingga dapat
membentuk matriks korelasi. 6,7
Validitas terkait kriteria
Kapan satau ukuran yang berkorelasi dengan ukuran lain yang memiliki sifat sama
disebut sahih atau abash? Kuesioner atau instrument pengukuran terhadap suatu kriteria
eksternal yang disepakati. Meskipun tidak ada gold standart, banyak standar eksternal yang
digunakan peneliti. Misalnya, skor kepuasan pasien terhadap puskesmas yang memberikan
layanan kepada mereka dapat diperiksa:

Berdasarkan kriteria penilaian eksternal dari puskesmas


Berdasarkan keterampilan hubungan antara manusia dan kompetensi dokter, perawat
dan profesi layanan kesehatan lain yang terdapat dalam puskesmas. 6,7
Meskipun demikian, selama interprestasi harus hati-hati, karena kriteria ekstenal

mungkin tidak tepat, justru karena pasien mempunyai perspektif yang lain tentang mutu
layanan kesehatan. Pengukuran validitas terkait kriteria untuk pengukuran mutu sangat sulit
karena bersifat multidimensi mutu layanan kesehatan yang begitu rumit. 7
Validitas
Validitas dari suatu tes skrining ditentukan oleh sensitivitas dan spesifitas.

Sensitivitas
Sensitivitas adalah jumlah frekuensi orang yang positif menderita penyakit
atau merupakan persentase orang dengan penyakit yang dideteksi oleh tes

skrining.
Spensifisitas
Spensifisitas adalah jumlah frekuensi orang tidak atau negatif menderita sakit
atau merupakan peresentase orang yang tidak menderita penyakit yang deteksi
oleh tes skrining. 8

12

Nilai Prediksi (Predictive Value)


Nilai prediksi dari tes skrining adalah frekuensi orang atau individu yang telah
dinyatakan menderita sakit atau tidak sakit.
Nilai prediksi terdiri dari:
Positif palsu (false positive)
Berupa persentase frekuensi orang dengan tes skrining yang dinyatakan positif

tetapi tidak menderita sakit.


Negatif palsu (false negative)
Berupa persentase frekuensi orang dengan tes skrining yang dinyatakan negatif
dan sebenarnya menderita sakit. 8

Tabel.1 Distribusi populasi berdasarkan Status Penyakit dan Hasil Tes Skrining 8
Tes Skrining
Positif
Negatif
Total
Rumus

Diagnosis pasti
Sakit
A
C
a+c

Total
Tidak Sakit
B
D
b+d

a+b
c+d
a+b+c+d

1. Sensitivitas dan Spesifisitas


a
x 100
Sensitivitas = (a+ c)
c
x 100
Negatif palsu = (a+ c)
Spesifisitas =
Positif palsu =

d
x 100
(b+ d)
b
x 100
(b+ d)

2. Nilai prediksi
Nilai prediksi tes (+) =

a
x 100
(a+ b)

Nilai prediksi tes (-) =

d
x 100
(c +d )

Kasus

13

Dokter A di Puskesmas Warnasari melakukan skrining Ca cerviks pada kelomppok wanita di


lokalisasi tuna susila dengan menggunakan tes IVA. Dari 100 orang yang diperiksa,
didapatkan 30 orang terdeteksi positif tes IVA. Setelah diperiksa lebih lanjut dari yang positif
tes IVA 6 orang (+) sakit kanker rahim dan yang hasil tesnya megatif 3 orang sakit kanker
rahim. Dokter bertanya tentang sensitivitas dan spesifisitas skrining IVA tersebut.

Tes Skrining
Positif
Negatif
Total

Diagnosis pasti
Ca Serviks
6
3
9

Total
Tidak Ca Cerviks
24
67
91

30
70
100

6
x 100=66,7
Sensitivitas = ( 9 )
3
x 100=33,3
Negatif palsu = (9)
Spesifisitas =

67
x 100=73,62
(91)
(91)

Positif palsu =

24
x 100=26,37

Nilai prediksi

Nilai prediksi tes (+) =

6
x 100=20
(30)

Nilai prediksi tes (-) =

67
x 100=95,7
(70)

Pencegahan
Ilmu kedokteran pencegahan (preventive medicine)
14

Ada tiga tingkatan pencegahan di bidang pelayanan kedokteran medical servive sesuai
dengan perkembangan patologi penyakitnya . 9
a. Pencegahan primer (primer prevention)
Langkah-langkah pencegahan primer terdiri dari promosi kesehatan dan
perlindungan spesifik baik terhadap orangnya maupun lngkungannya atau health
promotion and specific protection. Masalah kesehatan yang perlu dicegah bukan
hanya penyakit infeksi yang menular tetapi juga masalah kesehatan yang lainnya
yaitu kecelakaan, kesehatan jiwa, kesehatan kerja, dsb. Besarnya masalah
kesehatan masyarakat dapat diukur dengan menghitung tingkat morbiditas
(kejadian sakit), mortalitas 9kematian), fertilitas (tingkat kelahiran) dan disability
(tingkat kecacatan) pada kelompok-kelompok masyarakat. Pencegahan primer ini
dilaksanakan selama pre-pathoogenese suatu kejadian penyakit atau masalah
kesehatan. 9
Penerapan pencegahan primer pada program kesehatan masyarakat dipuskesma
dapat dikaji melalui program PKM (penyuluhan kesehatan masyarakat), program
P2M (pemberantasan peyakit menular melalui imunisasi dan pemberantasan
vector), program kesehatan lingkungan (menjaga agar lingkungan hidup manusia
tidak merugikan hidup manusia atau tidak memungkinkan berkembangnya vector
dan bibit penyebab penyakit seperti bakteri, jamur dan virus). Program kesehatan
lingkungan juga diterapkan dengan dimensi yang lebih luas untuk menjaga agar
lingkungan social manusia tidak berkembang menjadi beban yang mengakibatkan
stress (tekanan) pada kehidupan manusia.
b. Pencegahan sekunder (secunder prevention) 9
Langkah-langkah tingkatab pencegahan sekunder terdiri dari penemuan kasus
secara dini dan pengobatan tepat atau disebut juga dengan early diagnoses and
prompt treatment. Pencegahan sekunder dilakukan mulai fase patogenesa (masa
inkubasi) yang dimulai saat bibit penyakit masuk kedalam tubuh manusia (pada
saat stress alami) sampai saat timbulnya gejala penyakit atau gangguan kesehatan.
Penerapan pencegahan sekunder pada program kesehatan masyarakat di
puskesmas dapat dikaji melalui program P2M khususnya kegiatan surveilen
(active and passive case detection), program pengobatan (pengobatan pasien
umum, mata, gigi, dan gangguan jiwa), program gizi melalui peimbangan anak
balita, program KIA (kesehatan ibu dan anak) mellaui deteksi dini factor risiko
15

gangguan dan kelainan kehamilan, program UKGS (usaha kesehtan sekolah)


melalui deteksi dini adanya gangguan kesehatan gigi, mata, dsb pada kelompok
anak-anak sekolah. 9
c. Pencegahan tertier (tertier prevention)
Pencegahan tertier dilaksanakan melalui program rehabilitasi untuk mengurangi
ketidakmampuan dan meningkatkan keefisenan hidup penerita. Kegiatan
rehabi;itasi meliputi aspek medis dan social. Pencegahan tertier dilaksanakan pada
dase lanjur proses patogenese suatu penyakt atau gangguan kesehehatan.
Penerapannya pada pelayanan kesehatan masyarakat di puskesmas dpat dikaji
melalui program PHN (public health nursing atau perawatan kesehatan
masyarakat0 yaitu perawatan penderita penyakit kronis di luar psuat-pusat
kesehatan (dirumahnya sendiri). Perawatan penderita pada stadium terminal
(pasien yang tidak mampu diatasi penyakitnya atau yang sudah mendekati
meninggal) jarang dikategorikan sebagai pencegahan tertier, karena prinsip upaya
pencegahan adalah mencegah agar individu atau kelompok masyarakat tidak jatuh
sakit, diringankan gejala penyakitnya atau akibat.komplikasi penyakitnya, dan
tingkatkan fungsi tubuh penderita setelh perawatan. Perawatan pasie yang akan
meninggal bersifat paliatif. 9

Program puskesmas akan skrining kanker serviks:


Ketua Yayasan Kanker Indonesi Provinsi DKI Jakarta melihat kanker serviks merupakan
salah satu masalah kesehatan perempuan yang perlu menjadi perhatian utama sebagai bentuk
perlindungan bagi perempuan di indonesia.6 Program ini merupakan langkah positif
menyadarkan kaum perempuan bahwa pencegahan lebih baik dari pada mengobati. Dengan
target pencapaian 1.4 juta perempuan di DKI Jakarta diperiksa untuk mendeteksi dini kanker
serviks ditahun 2017.
Periode pemeriksaan IVA secara gratis dimulai dari bulan Mei sampai Juni 2013 dengan
waktu pelayanan pukul 08.00 sampai 12.00 di 286 puskesmas se DKI Jakarta. Dimana
sebelumnya pada tahun 2007 sampai 2012 terdapat 53.815 perempuan yang telah diperiksa
dengan melibatkan kader dan anggota PKK serta PPKS Yayasan Kanker Indonesia DKI
Jakarta.6
16

Kesimpulan

Kanker serviks merupakan penyebab kematian pada wanita pada usia subur, untuk
mendeteksi suatu penyakit/masalah yang secara klinis belum jelas dengan menggunakan suatu
test atau pemeriksaan untuk kasus kanker serviks. Deteksi dini yang baik dilakukan untuk
kasus kanker serviks yaitu skrining menggunakan test IVA (inspeksi visual asam asetat), test
IVA salah satu metode alternative untuk deteksi dini di negara berkembang. Skrining kanker
serviks telah memberikan dampak yang baik terhadap masalah kanker serviks Penurunan
jumlah penderita kanker serviks dikarenakan skrining yang dilakukan pada wanita yang
memiliki faktor resiko. Skrining memiliki nilai sensitivitas dan spesifisitas yang berguna
untuk menentukan nilai prediksi uji positif dan nilai prediksi uji negative
Daftar Pustaka
1. Prawirohardj. Ilmu Kandungan. Jakarta: YBPSP;2001.
2. Hacker.Ilmu Kebidanan dan Penyakit Kandungan. Jakarta: EGC;2001
3. Anwar M, Baziad A, Prabowo RP. Ilmu kandungan. Jakarta: Tridasa Printer;2011h.294-

300.
4. Rajab W. Buku ajar Epidemiologi untuk mahasiswa kebidanan. Jakarta : EGC, 2009.h.155-8.

5. Sankaranarayanan R, Budukh AM, Rajkumar R, Effective Screening programmes for


cervical cancer in low- and middle-income developing countries. Bulletin of the World
Health Organization, 2001; 79:954-962
6. Chandra B. Ilmu kedokteran pencegahan dan komunitas. Jakarta: EGC;2009.h.157-8.
7. Sastroasmoro S. Dasar-dasar metodologi penelitian klinis. Jakarta: Sagung

Seto;2011.h.228-30.
8. Pohan I. Jaminan mutu layanan kesehatan: dasar-dasar pengertian dan penerapan.

Jakarta: EGC; 2007.h.148-50.


9. Gede MAA. Manajemen kesehatan. Jakarta: EGC;1999 .h.10-1.

17

Anda mungkin juga menyukai