Tonsilitis Kronik
Dokter Pembimbing
Dr. Wahyu BM, Sp.THT, Msi Med
Disusun Oleh
Keren Marthen 112015041
Noviyantika Br Kaban 112014286
KEPANITERAAN KLINIK
STATUS ILMU PENYAKIT THT
FAKULTAS KEDOKTERAN UKRIDA
(UNIVERSITAS KRISTEN KRIDA WACANA)
RUMAH SAKIT PANTI WILASA DR. CIPTO
Nama : Keren Marthen
112015041
Tanda Tangan
Noviyantika Br Kaban
112014286
Dr. Pembimbing/Penguji: dr. Dr. Wahyu BM, Sp.THT, Msi Med
IDENTITAS PASIEN:
Nama
: Ny N
Umur
: 35 tahun
Agama
: Kristen
Pekerjaan
: Karyawan
Pendidikan
: SMP
Alamat
: Jl Kerawang Baru
ANAMNESIS
Diambil secara autoanamnesis pada senin, 18 maret 2016 Jam : 08.30
Keluhan utama: nyeri saat menelan sejak 1 minggu SMRS.
Riwayat penyakit sekarang (RPS):
Tiga bulan SMRS Os mengeluh sering keluar cairan dari hidung dan disertai hidung yang
tersumbat. Os mengaku cairan yang keluar dari hidung encer berwarna bening tidak berbau dan
sering kali disertai bersin-bersin. Keluhan nyeri saat menelan diakui os, nyeri dirasakan terus
menerus juga disertai batuk berdahak bening tidak berbau. Keluhan adanya lendir ditenggorokan
yang keluar dari belakang hidung , sulit menelan, suara serak tidak ada. Keluhan nyeri di pipi,
dahi, sakit kepala, gigi berlubang, demam serta keluhan nyeri dan keluarnya cairan dari telinga
tidak ada. Adanya riwayat alergi debu dan udara. Oleh Karena keluhan diatas os berobat ke
klinik dan diberikan obat sehingga keluhan pada hidung dan tenggorok mulai berkurang.
2
Satu minggu SMRS os mengeluh nyeri saat menalan, nyeri dirasakan hilang timbul sejak 3
bulan yang lalu disertai meriang pada malam hari. Keluhan nyeri saat menalan disertai dengan
batuk berdahak berwarna bening agak kehijauan dan tidak berbau. Os mengaku akhir-akhir ini
sulit untuk berkonsentrasi saat beraktivitas dan sering mengkonsumsi makanan yang berminyak
juga pedas. Sejak dua hari Os mengkonsumsi antibiotic serta obat batuk namun keluhan nyeri
menalan tetap dirasakan sehingga os berobat ke poli THT. Keluhan bau mulut, nafsu makan
berkurang, sulit menelan, suara serak tidak ada. Keluhan mengorok saat tidur tidak diketahui os.
: 18 maret 2016
Keadaan Umum
Kesadaran
: compos mentis
Tanda Vital
Tekanan Darah
: 110/70 mmHg.
Nadi
: 80x/ menit.
Frekuensi Napas
: 18x/ menit.
Suhu
: 36,8OC.
Status Lokalis
Kepala dan Leher
Kepala
Wajah
Leher
: Normocephal.
: Simetris.
: KGB tidak tampak membesar.
3
Lain-lain
: Tidak ada.
Telinga
Kanan
Bentuk normal, benjolan (-),
Kiri
Bentuk normal, benjolan (-),
(-)
(-)
(-)
(-)
(+)
(+)
Putih abu-abu
Putih abu-abu
Normal
Normal
Kanan
Tidak dilakukan
Tidak dilakukan
Tidak dilakukan
(-)
Kiri
Tidak dilakukan
Tidak dilakukan
Tidak dilakukan
(-)
Kanan
Kiri
(-)
(-)
(-)
(-)
(-)
(-)
Membran timpani
Perforasi
Cone of light
Warna
Bentuk
Tes Penala
Rinne
Weber
Swabach
Penala yang dipakai
Hidung
Nyeri tekan:
Pangkal hidung
Pipi
Dahi
Bentuk
Sekret
Cavum nasi
Konka media
Meatus media
Konka inferior
Septum
Normal
(-)
Lapang
Hiperemis (-), hipertrofi (-)
Sekret (-)
Hiperemis (-), hipertrofi (-)
Deviasi (-)
Normal
(-)
Lapang
Hiperemis (-), hipertrofi (-)
Sekret (-)
Hiperemis (-), hipertrofi (-)
Deviasi (-)
NASOPHARNYX
Koana
Septum nasi posterior
Muara tuba eustachius
Tuba eustachius
Torus tubarius
Post nasal drip
: tidak dilakukan
: tidak dilakukan
: tidak dilakukan
: tidak dilakukan
: tidak dilakukan
: tidak dilakukan
PEMERIKSAAN TRANSLUMINASI
: tidak dilakukan
: tidak dilakukan
: tidak dilakukan
: tidak dilakukan
TENGGOROK
Orofaring:
- Oral
- Mukosa bukal
- Ginggiva
- Lidah 2/3 anterior
- Palatum
- Dinding pharynx
- Arkus faring
- Tonsil
Ukuran
Kripta
Permukaan
Warna
Detritus
Peritonsil
Pilar anterior
Sinistra
T2
melebar
Tidak rata
Hiperemis
(+)
Abses (-)
Merah muda
5
Uvula
Gigi
Nasofaring
Discharge
Mukosa
Adenoid
Massa
Laringofaring
Mukosa
Massa
Lain-lain
:
:
:
Laring
Epiglotis
Plica vocalis
- Gerakan
- Posisi
- Tumor
Massa
:
:
:
:
:
:
PEMERIKSAAN PENUNJANG
Laboratorium
Pemeriksaan ASTO
RESUME
Seorang perempuan usia 35 tahun datang dengan keluhan nyeri saat menelan sejak satu
minggu SMRS, nyeri dirasakan hilang timbul disertai batuk berdahak berwarna bening agak
kehijauan dan tidak berbau. Nyeri menelan disertai keluhan demam dan malaise. Tiga bulan
SMRS os juga mengeluh nyeri saat menalan, nyeri yang dirasakan terus menerus disertai batuk
6
berdahak dan keluhan hidung tersumbat disertai keluarnya cairan serous dari hidung. Os juga
memiliki riwayat alergi udara dan debu, riwayat mengkonsumsi makan berminyak dan pedas,
riwayat ISPA serta riwayat berobat ke poli THT. Dari hasil pemeriksaan fisik didapatkan: Tonsil
sinistra dan dextra: Tampak hiperemis, T2/T2, Kripta melebar, Detritus +, permukaan tidak rata.
WORKING DIAGNOSIS
Tonsilitis kronik
Dasar diagnosis:
Odinofagia residif sejak 3 bulan dengan frekuensi kurang lebih 3 kali dalam 3 bulan, perasaan
tenggorokan tidak nyaman (+), batuk dan pilek (+), febris (+). Nyeri saat menelan(+), malaise
(+).
Pemeriksaan Fisik :Tonsil : T2/T2 hiperemis, kripte melebar, tidak rata, detritus +
DIAGNOSA BANDING
Tonsilofaringitis kronik
Tonsilolaringitis kronik
PENATALAKSANAAN
Medikamentosa :
- cefixim 3 x 500 mg
- ambroksol 3 x 30 mg
Non-Medikamentosa :
- Makanan lunak
Anjuran
Tonsilektomi
PROGNOSIS
Ad vitam: bonam.
Ad sanationam: bonam.
Ad functionam: bonam.
Tinjauan Pustaka
BAB I
PENDAHULUAN
Di Indonesia infeksi saluran pernafasan atas (ISPA) masih merupakan penyebab tersering
morbiditas dan mortalitas pada anak. Menurut penelitian yang dilakukan di Indonesia, penderita
ISPA terbanyak berumur di atas 15 tahun, dan tingkat pendidikan rendah lebih berpotensi
menderita penyakit ISPA 1,34 kali dibandingkan dengan pendidikan tinggi. Di Amerika Serikat,
sekitar 66% dari absensi sekolah diduga disebabkan ISPA.1
Tonsilitis kronik pada anak mungkin disebabkan karena anak seriung menderita ISPA
atau karena tonsillitis akut yang tidak ditangani secara adekuat atau dibiarkan. Berdasarkan data
epidemiologi penyakit THT di tujuh provinsi di Indonesia pada tahun 1994-1996, prevalensi
tonsillitis kronik tertinggi setelah nasofaringitis akut (4,6%) yaitu 3,8%.2
Insidensi tonsillitis kronik di RS Dr. Kariadi Semarang 23,36% dan 47% diantaranya
pada usia 6-15 tahun. Sedangkan di RSUP Dr. Hasan Sadikin Bandung pada periode April 1997
sampai dengan maret 1998 ditemukan 1024 pasien tonsillitis kronik atau 6,75% dari seluruh
jumlah kunjungan.2
Secara klinis pada tonsillitis kronik didapatkan gejala berupa nyeri tenggorok atau nyeri
menelan ringan, mulut berbau, badan lesu, sering mengantuk, nafsu makan menurun, nyeri
kepala dan badan terasa meriang.3
Pada tonsillitis kronik hipertrofi dapat menyebabkan apnea obstruksi saat tidur; gejala
umum pada anak adalah mendengkur, sering mengantuk, gelisah, perhatian berkurang dan
prestasi belajar kurang baik.3
Kualitas hidup anak dengan apnea obstruksi saat tidur dapat dinilai dari hasil/prestasi
belajarnya. Indikasi tonsilektomi pada tonsillitis kronik adalah jika sebagai focus infeksi, kualit
hidup menurun dan menimbulkan rasa tidak nyaman.1,2
Hal ini sesuai dengan kesan masyarakat bahwa tonsilektomi dapat meningkatkan prestasi
belajar pada anak yang menderita tonsilitis atau pembesaran tonsil sehingga banyak orang tua
yang menginginkan tonsilektomi pada anaknya untuk meningkatkan prestasi belajar anaknya,
meskipun belom tentu tonsilnya sakit.1,2
Berdasarkan hal tersebut dapat dimengerti bahwa tonsilitis kronik dapat mengganggu
kondisi fisiologis dan psikologis anak sehingga dapat mengganggu kualitas hidup seseorang.1,2
BAB II
PEMBAHASAN
Anatomi
Tonsil adalah massa yang terdiri dari jaringan limfoid dan ditunjang oleh jaringan ikat
dengan kriptus di dalamnya.3,4
Terdapat tiga macam tonsil yaitu tonsila faringeal, tonsila palatina, dan tonsila lingual
yang membentuk lingkaran yang disebut cincin Waldeyer. Pada kutub atas tonsila palatina
seringkali ditemukan celah intratonsil yang merupakan sisa kantong faring yang kedua. Kutub
bawah tonsil biasanya melekat pada dasar lidah.3,4
10
inferior oleh sepertiga posterior lidah, bagian medial oleh ruang orofaring, dan bagian lateral
oleh jaringan areolar jarang yang berada di sebelah m. constrictor pharyngis superior.3,4
11
Akan tetapi terdapat pula penelitian yang menyebutkan bahwa terdapat bakteri
Staphylococcus aureus di dalam sel epitel tonsil yang persisten. Bakteri ini tidak ditemukan
dalam hasil swab tonsil karena terdapat di dalam sel epitel dan dengan cara ini diduga
merupakan mekanisme pertahanan bakteri menghindari antibiotik dan respon imun pejamu.8
Patologi
Karena proses radang berulang yang timbul maka selain epitel mukosa juga jaringan
limfoid terkikis, sehingga pada proses penyembuhan jaringan limfoid diganti oleh jaringan parut
yang akan mengalami pengerutan sehingga kripta melebar. Secara klinis kripta ini tampak diisi
oleh detritus. Proses berjalan terus sehingga menembus capsula tonsil dan akhirnya
menimbulkan perlengketan dengan jaringan di sekitar fossa tonsillaris. Pada anak proses ini
disertai dengan pembesaran kelenjar limfa submandibula.5,6
Gambar 4. Gambaran mikroskopik permukaan epitel tonsil normal (kiri) dengan permukaan
epitel tonsil pada tonsillitis kronik.9
Manifestasi Klinis
Pada pemeriksaan tampak tonsil membesar dengan permukaan yang tidak rata, kripta
melebar dan beberapa kripta terisi oleh detritus. Plica palatoglossus terlihat hiperemis. Terkadang
gejala dari nyeri tenggorokan dan disfagia berhubungan dengan tonsil fibrotik kecil. Pembesaran
kelenjar getah bening jugulodigastricus merupakan tanda penting dari infeksi tonsil.5,6
Gejala meliputi rasa tidak nyaman di tenggorokan, nyeri tenggorok berulang, halitosis.
Terkadang terdapat pula kesulitan menelan (disfagia) dan perubahan suara.5,6
Berdasarkan rasio perbandingan tonsil dengan orofaring, dengan mengukur jarak antara
kedua pilar anterior dibandingkan dengan jarak permukaan medial kedua tonsil, maka gradasi
pembesaran tonsil dapat dibagi menurut tabel berikut.5,6
Tabel 1. Gradasi pembesaran tonsil beserta intepretasinya.5,6
13
Gradasi
T0
T1
T2
T3
T4
Intepretasi
Tonsil masuk di dalam fossa tonsillaris
<25% volume tonsil dibandingkan dengan volume orofaring
25-50% volume tonsil dibandingkan dengan volume orofaring
50-75% volume tonsil dibandingkan dengan volume orofaring
>75% volume tonsil dibandingkan dengan volume orofaring
Diagnosis
Tonsilitis kronis tanpa diragukan merupakan penyakit yang paling sering dari semua
penyakit tenggorokan yang berulang. Gambaran klinis bervariasi, dan diagnosis sebagian besar
tergantung pada inspeksi. Pada umumnya, terdapat dua gambaran yang secara menyeluruh
berbeda yang tampaknya cocok untuk dimasukkan ke dalam kategori tonsillitis kronik. Pada
salah satu jenis tonsil dapat membesar, dengan adanya hipertrofi dan jaringan parut. Sebagian
kripta tampak mengalami stenosis, tapi eksudat, yang seringkali purulen, dapat diperlihatkan dari
kripta-kripta tersebut. Pada beberapa kasus satu atau dua kripta membesar.5,6
Adapun tahapan menuju diagnosis tonsilitis kronis adalah sebagai berikut 6
1. Anamnesa
Anamnesa ini merupakan hal yang sangat penting karena hampir 50% diagnosa dapat
ditegakkan dari anamnesa saja. Penderita sering datang dengan keluhan rasa sakit pada
tenggorok yang terus menerus, sakit waktu menelan, nafas bau busuk, malaise, sakit pada
sendi, kadang-kadang ada demam dan nyeri pada leher.
2. Pemeriksaan Fisik
Tampak tonsil membesar dengan adanya hipertrofi dan jaringan parut. Sebagian kripta
mengalami stenosis, tapi eksudat (purulen) dapat diperlihatkan dari kripta-kripta tersebut.
Pada beberapa kasus, kripta membesar, dan suatu bahan seperti keju atau dempul amat
banyak terlihat pada kripta. Gambaran klinis yang lain yang sering adalah dari tonsil yang
kecil, biasanya membuat lekukan, tepinya hiperemis dan sejumlah kecil sekret purulen yang
tipis terlihat pada kripta.
3. Pemeriksaan Penunjang
Dapat dilakukan kultur dan uji resistensi (sensitifitas) kuman dari sediaan apus tonsil.
Biakan swab sering menghasilkan beberapa macam kuman dengan derajat keganasan yang
rendah.
Penatalaksanaan
14
tonsillitis
kronik. Penatalaksanaan
seperti
pemberian
antibiotik,
dekongestan, mukolitik, dan anti histamin dapat mengurangi atau mencegah terjadinya infeksi
jaringan tonsil lebih jauh lagi.5,6
The American Academy of Otolaryngology-Head and Neck Surgery Clinical Indicators
Compendium tahun 1995 menetapkan bahwa indikasi dilakukannya tonsillektomi antara lain: 5,6
1. Serangan tonsillitis lebih dari tiga kali per tahun walaupun telah mendapatkan terapi yang
adekuat.
2. Tonsil hipertrofi yang menimbulkan maloklusi gigi dan menyebabkan gangguan
pertumbuhan orofasial.
3. Sumbatan jalan nafas yang berupa hipertrofi tonsil dengan sumbatan jalan napas, sleep
apnea, gangguan menelan, gangguan berbicara, dan cor pulmonale.
4. Tibitis dan sinusitis kronis, peritonsilitis, abses peritonsil yang tidak berhasil dengan
pengobatan.
5. Nafas berbau yang tidak berhasil dengan pengobatan
6. Tonsillitis berulang yang disebabkan oleh bakteri Streptococcus -hemolyticus grup A.
7. Hipertrofi tonsil yang dicurigai adanya keganasan
8. Otitis media efusi atau otits media supuratif
Terdapat pula indikasi relative dilakukannya tonsilektomi menurut American Academy of
Otolaryngology-Head and Neck Surgery, yaitu: 5,6
15
1.
2.
3.
4.
5.
respons
terhadap
penatalaksanaan medis
7. Hipertrofi tonsil dan adenoid yang berhubungan dengan abnormalitas orofacial dengan
gigi geligi yang menyempitkan jalan napas bagian atas
8. Tonsillitis berulang atau kronis yang berhubungan dengan adenopati servikal persisten
9. Kejang demam berulang yang disertai tonsillitis
10. Halitosis akibat tonsillitis kronis yang tidak membaik dengan pemberian terapi medis
11. Tonsillitis kronis atau berulang pada carrier Sttreptococcus -hemolyticus yang tidak
membaik dengan pemberian antibiotik -Lactamase
Komplikasi
Komplikasi dari tonsilitis kronis dapat terjadi secara perkontinuitatum ke daerah sekitar
atau secara hematogen atau limfogen ke organ yang jauh dari tonsil. Adapun berbagai komplikasi
yang kerap ditemui adalah sebagai berikut : 5,6
1. Komplikasi sekitar tonsila
Peritonsilitis
Peradangan tonsil dan daerah sekitarnya yang berat tanpa adanya trismus dan abses.
Abses Peritonsilar (Quinsy)
Kumpulan nanah yang terbentuk di dalam ruang peritonsil. Sumber infeksi berasal
dari penjalaran tonsilitis akut yang mengalami supurasi, menembus kapsul tonsil dan
penjalaran dari infeksi gigi.
Abses Parafaringeal
Infeksi dalam ruang parafaring dapat terjadi melalui aliran getah bening atau
pembuluh darah.
Abses Retrofaring
Merupakan pengumpulan pus dalam ruang retrofaring. Biasanya terjadi pada anak
usia 3 bulan sampai 5 tahun karena ruang retrofaring masih berisi kelenjar limfe.
Kista Tonsil
16
Sisa makanan terkumpul dalam kripta mungkin tertutup oleh jaringan fibrosa dan ini
menimbulkan kista berupa tonjolan pada tonsil berwarna putih dan berupa cekungan,
biasanya kecil dan multipel.
Tonsilolith (Kalkulus dari tonsil)
Terjadinya deposit kalsium fosfat dan kalsium karbonat dalam jaringan tonsil yang
2.
BAB III
PENUTUP
Tonsil merupakan massa yang terdiri dari jaringan limfoid dan ditunjang oleh jaringan
ikat dengan kriptus di dalamnya. Tonsil terdiri dari tiga macam, yaitu tonsil faringeal, tonsila
17
palatina, dan tonsila lingual, yang membentuk lingkaran yang disebut cincin Waldeyer. Epitel
yang melapisi tonsil ialah epitel skuamosa yang juga meliputi kriptus.
Tonsilitis kronik ditandai dengan nyeri tenggorok persisten, anoreksia, disfagia, dan
eritema faringotonsiler. Penyebabnya bersifat polimikrobial, dan dapat disebabkan oleh
penanganan tonsilitis akut yang tidak adekuat. Pada manifestasi klinis didapatkan rasa tidak
nyaman di tenggorokan, nyeri tenggorok berulang, bau mulut, terkadang ada pula kesulitan
menelan dan perubahan suara. Pengobatan dari tonsilitis kronik yaitu dengan cara mengobati
penyebab dasar, dan dapat pula dilakukan tonsilektomi dengan indikasi menurut American
Academy of Otolaryngology-head and Neck Surgery. Komplikasi terdiri dari komplikasi sekitar
tonsila dan komplikasi organ lainnya.
18
DAFTAR PUSTAKA
1. Notosiswoyo M, MArtomijoyo R, Supardi S, Riyadina W. Pengetahuan dan perilaku
ibu/anak balita serta persepsi masyarakat dalam kaitannya dengan penyakit ISPA dan
pneumonia. Bul. Penelit. Kes. 2003; 31: 60-71
2. Daroham NEP, Mutiatikum. Penyakit ispa hasil riskesdas di Indonesia. Bul. Penelit.
Kesehat. 2009. 50-55
3. Soepardi EA, Iskandar N, Bashiruddin J, Restuti RD. Editor. Buku ajar ilmu kesehatan
telinga hidung tenggorokan kepala leher. Ed. 7. Jakarta: Badan Penerbit Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia. 2012. H. 201-3
4. Lalwani AK. Editor. Current diagnosis & treatment in otolaryngology-head & neck
surgery. 2nd ed. USA: The McGraw-Hill Companies, Inc.2008. p. 340-4
5. Snell RS. Clinical anatomy by regions. 9th ed. Baltimore: Lippincott Williams & Wilkins.
2012. p. 639
6. Jensen A, Fag-Olsen H, Srensen CH, Kilian M. Molecular mapping to species level of
the tonsillar crypt microbiota associated with health and recurrent tonsillitis. PLoS One
[Internet]. 2013;8(2):e56418. Available from:
http://www.pubmedcentral.nih.gov/articlerender.fcgi?
artid=3578847&tool=pmcentrez&rendertype=abstract
7. Zautner AE, Krause M, Stropahl G, Holtfreter S, Frickmann H, Maletzki C, et al.
Intracellular persisting Staphylococcus aureus is the major pathogen in recurrent
tonsillitis. PLoS One [Internet]. 2010;5(3):e9452. Available from:
http://journals.plos.org/plosone/article?id=10.1371/journal.pone.0009452
8. Ugras S, Kutluhan A. Chronic tonsillitis can be diagnosed with histopathologic findings.
Eur J Gen Med [Internet]. 2008;5:95103. Available from:
http://www.ejgm.org/index.php/EJGM/article/view/54/23
http://digitaal.uba.uva.nl:9003/uva-linker?
sid=OVID:embase&id=pmid:&id=doi:&issn=1304-3889&isbn=&volume=5&issue=
19
9. Paulsen F, Waschke J. editors. Sobotta atlas of human anatomy head, neck, and
neuroanatomy. Germany: Elsevier GmbH. 2011. p.81-9
20