Anda di halaman 1dari 26

BAB I

PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Tuberkulosis (TB) adalah suatu penyakit infeksi yang menular, disebabkan oleh
kuman Mycobacterium tuberculosis. Sumber penularan adalah pasien TB paru
BTA positif. Gejala umum TB pada orang dewasa adalah batuk yang terusmenerus dan berdahak lebih dari 2 minggu. Bila tidak diobati maka setelah lima
tahun sebagian besar (50%) pasien akan meninggal.
Mulai tahun 1995, Program Nasional Penanggulangan TB mengadopsi strategi
DOTS atau Directly Observed Treatment Shortcourse, yang direkomendasi oleh
WHO. Strategi DOTS telah dibuktikan dengan berbagai uji coba lapangan dapat
memberikan angka kesembuhan yang tinggi. Bank Dunia menyatakan strategi
DOTS merupakan strategi kesehatan yang paling cost effective. Satu studi cost
benefit yang dilakukan oleh WHO di Indonesia menggambarkan bahwa setiap
satu dolar yang digunakan untuk membiayai program nasional penanggulangan
TB, akan menghemat sebesar 55 dolar selama 20 tahun.
Petugas TB dalam melaksanakan tugasnya seharusnya
pengetahuan tentang Program Nasional Penanggulangan TB.

mempunyai

Modul ini akan membahas tentang Program Nasional Penanggulangan TB


meliputi penyebab, cara penularan, faktor risiko kejadian TB, riwayat alamiah
penyakit, komplikasi serta pengaruh HIV/AIDS terhadap masalah TB, TB-MDR,
jejaring pelayanan, organisasi pelayanan serta hal-hal yang mendukung dalam
penerapan Strategi DOTS yaitu International Standards for TB Care (ISTC).
B. TUJUAN PEMBELAJARAN
Tujuan Pembelajaran Umum (TPU):
Setelah menyelesaikan modul ini peserta latih memahami Program Nasional
Penanggulangan TB.
Tujuan Pembelajaran Khusus (TPK):
Setelah menyelesaikan modul ini, peserta latih mampu:
1. Menjelaskan gambaran umum TB (kuman TB dan penularan, patogenesis,
perjalanan alamiah TB bila tidak diobati dan komplikasi TB);
2. Pengaruh infeksi HIV AIDS terhadap masalah TB;
3. Menjelaskan tentang terjadinya TB-MDR;
4. Menjelaskan situasi TB di Indonesia dan di dunia;
5. Menjelaskan visi, misi, tujuan, dan kebijakan operasional program
penanggulangan TB;
6. Menjelaskan strategi dan kegiatan penanggulangan TB;
7. Menjelaskan pengorganisasian penanggulangan TB (Gerdunas di pusat s/d
kab/kota dan Sarana Pelayanan Kesehatan);
8. Menjelaskan tentang jejaring pelayanan.
1

BAB II
MATERI PEMBELAJARAN
A.

TUBERKULOSIS

1. Kuman TB dan Penularannya


Tuberkulosis adalah penyakit menular langsung yang disebabkan oleh kuman TB
(M. tuberculosis). Sebagian besar kuman TB menyerang paru, tetapi dapat juga
mengenai organ tubuh lainnya.
Kuman TB berbentuk batang, mempunyai sifat khusus yaitu tahan terhadap asam
pada pewarnaan Ziehl Neelsen, oleh karena itu disebut pula sebagai Basil Tahan
Asam (BTA). Dalam jaringan tubuh kuman ini dapat dormant, tidur lama beberapa
tahun.
Kuman dapat bertahan hidup dalam suhu yang sangat rendah yaitu antara 2C
sampai minus 70 C, namun sangat peka terhadap panas sinar matahari dan ultra
violet. Di dalam dahak pada suhu 30-37C kuman cepat mati dalam waktu
seminggu, sedangkan apabila terpapar sinar ultraviolet secara langsung sebagian
besar kuman akan mati dalam waktu beberapa menit (Tuberculosis, From Basic Science
to Patient Care, 2007).

Sumber penularan adalah pasien TB paru BTA positif. Pada waktu batuk atau bersin,
pasien menyebarkan kuman ke udara dalam bentuk droplet (percikan dahak).
Droplet yang mengandung kuman dapat bertahan di udara pada suhu kamar selama
beberapa jam. Orang dapat terinfeksi kalau droplet tersebut terhirup ke dalam
saluran napas. Setelah kuman TB masuk ke dalam tubuh manusia melalui
pernapasan, kuman TB dapat menyebar dari paru kebagian tubuh lainnya melalui
sistem peredaran darah, sistem saluran getah bening atau menyebar langsung ke
bagian-bagian tubuh lainnya.
Daya penularan dari seorang pasien TB ditentukan oleh banyaknya kuman yang
dikeluarkan dari parunya. Makin tinggi derajat positif hasil pemeriksaan dahak,
makin menular pasien tersebut. Kemungkinan seseorang terinfeksi TB ditentukan
oleh konsentrasi droplet dalam udara dan lamanya menghirup udara tersebut.
Risiko penularan setiap tahun (Annual Risk of Tuberculosis Infection = ARTI) di
Indonesia dianggap cukup tinggi dan bervariasi antara 1-3%. Daerah dengan ARTI
sebesar 1%, berarti setiap tahun diantara 1.000 penduduk 10 (sepuluh) orang akan
terinfeksi. Sebagian besar orang yang terinfeksi tidak akan menjadi pasien TB,
hanya sekitar 10% dari yang terinfeksi yang akan menjadi pasien TB. Dari
keterangan tersebut, dapat diperkirakan bahwa pada daerah dengan ARTI 1%,
maka diantara 100.000 penduduk, terinfeksi 1.000 orang, rata-rata terjadi 100 pasien
TB setiap tahun, 50 pasien diantaranya adalah BTA positif.
Faktor yang mempengaruhi kemungkinan seseorang menjadi pasien TB adalah
daya tahan tubuh yang rendah, antara lain keadaan gizi buruk atau HIV/AIDS.

Faktor Risiko Kejadian TB

transmisi
Jumlah kasus TB BTA+
Faktor lingkungan :
Ventilasi
Kepadatan
Dalam ruangan
Faktor Perilaku

TERPAJAN

Risiko menjadi TB bila


dengan HIV:
5-10% setiap tahun
>30% lifetime

HIV(+)

INFEKSI
10%

Konsentrasi Kuman
Lama kontak

Diagnosis tepat dan


cepat
Pengobatan tepat
dan lengkap
kondisi kesehatan
SEMBUH mendukung

Malnutrisi
Penyakit DM,
immuno-supresan

TB

MATI

Keterlambatan diagnosis
dan pengobatan
Tatalaksana tak memadai
Kondisi kesehatan

Beberapa hal penting yang perlu dipahami, yaitu:


a.
Penularan TB akan lebih mudah terjadi, antara lain:
1)
Hunian padat (over-crowding), misalnya di penjara dan di
tempat-tempat pengungsian dan yang kurang berventilasi.
2)
Situasi sosial ekonomi yang tidak menguntungkan (social
deprivation), misalnya keadaan malnutrisi, pelayanan kesehatan yang buruk,
tuna-wisma.
3)
Lingkungan kerja, misalnya pertambangan, laboratorium,
rumah sakit.
b.

Upaya untuk mencegah penularan penyakit TB:


1) Mengobati pasien tuberkulosis paru BTA positif sampai sembuh (merupakan
upaya terpenting).
2) Menganjurkan kepada pasien agar menutup mulut dengan sapu tangan bila
batuk atau bersin dan tidak membuang dahak di lantai atau di sembarang
tempat.
3) Perbaikan perumahan dan lingkungan, peningkatan status gizi dan
peningkatan pelayanan kesehatan.

c.
1)

Upaya untuk mencegah terjadinya TB :


Meningkatkan gizi

2)

Memberikan pengobatan pencegahan pada anak balita tanpa gejala TB


tapi mempunyai kontak atau serumah dengan pasien TB paru BTA positif.
Pada anak ini diberikan tablet Isoniazid (INH) dengan dosis 5 mg/kg berat
badan per hari selama enam bulan. Bila anak tersebut belum pernah
mendapat BCG, maka BCG ini perlu diberikan sesudah pemberian INH.(satu
minggu setelah dosis INH terakhir)

d. Imunisasi BCG:
1)
Dapat menurunkan kejadian TB berat pada anak (misalnya meningitis
tuberkulosa, TB millier, dll).
2)
Tidak dapat mencegah terjadinya TB post-primer jika infeksi dengan
kuman TB tersebut sudah terjadi sebelum imunisasi BCG.
3)
Tidak dapat menurunkan insidensi TB.
e. Pemeriksaan kontak dari pasien TB paru BTA positif, bertujuan untuk menemukan
pasien lain sedini mungkin, supaya dapat mencegah perkembangan dan
penularan penyakit.
2.

Patogenesis TB

Infeksi Primer
Infeksi primer terjadi saat seseorang terpapar pertama kali dengan kuman TB.
Droplet yang terhirup ukurannya sangat kecil (1-5 mikron), sehingga dapat melewati
sistem pertahanan mukosilier bronkus dan terus berjalan sehingga sampai di
alveolus dan menetap di sana. Infeksi dimulai saat kuman TB berhasil berkembang
biak dengan cara pembelahan diri di paru yang mengakibatkan radang di dalam
paru. Aliran getah bening akan membawa kuman TB ke kelenjar getah bening di
sekitar hilus paru, ini disebut sebagai kompleks primer. Waktu antara terjadinya
infeksi sampai pembentukan kompleks primer adalah sekitar 4-6 minggu. Infeksi
dapat dibuktikan dengan terjadinya perubahan reaksi tuberkulin dari negatif menjadi
positif.
Kelanjutan setelah infeksi primer tergantung dari banyaknya kuman yang masuk dan
besarnya respon daya tahan tubuh (imunitas seluler). Pada umumnya reaksi daya
tahan tubuh tersebut dapat menghentikan perkembangan kuman TB. Meskipun
demikian, beberapa kuman akan menetap sebagai kuman persister atau dormant.
Bila daya tahan tubuh tidak mampu menghentikan perkembangan kuman, akibatnya
dalam beberapa bulan yang bersangkutan akan menjadi sakit TB. Masa inkubasi
yaitu waktu sejak terinfeksi sampai menjadi sakit diperkirakan sekitar 6 bulan.
Tuberkulosis Pasca-primer (Post-primary TB)
Tuberkulosis pasca-primer biasanya terjadi setelah beberapa bulan atau tahun
sesudah infeksi primer, misalnya karena daya tahan tubuh menurun akibat status
gizi yang buruk atau terinfeksi HIV. Ciri khas tuberkulosis pasca-primer adalah
kerusakan paru yang luas dengan terjadinya cavitas atau efusi pleura.
3.

Perjalanan Alamiah TB yang Tidak Diobati

Tanpa pengobatan, setelah lima tahun, 50% dari pasien TB akan meninggal, 30%
akan sembuh sendiri dengan daya tahan tubuh tinggi dan 20% berlanjut

mengeluarkan kuman dan tetap sebagai sumber penularan untuk beberapa tahun
sebelum meningggal. Pasien TB ekstraparu satu diantara dua akan mati dan yang
lain secara spontan akan sembuh dengan meninggalkan cacat.
(Tuberculosis, A Manual for medical students by Nadia ait-Khaled and Donalda. Enarson, WHO,
2003).

4.

Komplikasi pada Pasien TB


Komplikasi berikut sering terjadi pada pasien lanjut :
a.
Hemoptisis masif (perdarahan dari saluran napas bawah) yang
dapat mengakibatkan kematian karena sumbatan jalan napas, atau syok
hipovolemik;
b.
Kolaps lobus akibat sumbatan bronkus;
c.
Bronkietasis (pelebaran bronkus setempat) dan fibrosis
(pembentukan jaringan ikat pada proses pemulihan atau reaktif) pada paru;
d.
Pneumotoraks (udara didalam rongga pleura) spontan, kolaps
spontan karena bullae yang pecah;
e.
Penyebaran infeksi ke organ lain seperti otak, tulang, sendi, ginjal
dan sebagainya;
f.
Insufisiensi kardio pulmoner (cardio pulmonary insufficiency).

5.

Risiko Menjadi Sakit TB dan Pengaruh HIV/AIDS Terhadap Masalah TB.


a.

Faktor yang mempengaruhi kemungkinan seseorang menjadi sakit


TB adalah daya tahan tubuh yang rendah, diantaranya infeksi HIV/AIDS dan
malnutrisi (gizi buruk).
b.
HIV merupakan faktor risiko utama bagi yang terinfeksi TB menjadi
sakit. Infeksi HIV mengakibatkan kerusakan luas sistem daya tahan tubuh
seluler (cellular immunity). Jika terjadi infeksi penyerta (oportunistic) seperti
tuberkulosis, pasien akan menjadi sakit parah bahkan bisa mengakibatkan
kematian. Bila jumlah orang yang terinfeksi HIV meningkat, maka jumlah
pasien TB akan meningkat, dengan demikian penularan TB di masyarakat
akan meningkat pula.
6. Tuberculosis Multi Drug Resistance (TB MDR)
TB MDR adalah TB yang disebabkan oleh kuman TB yang telah resisten terhadap
sekurang-kurangnya 2 jenis OAT lini pertama yaitu INH dan Rifampisin.
Penatalaksanaan TB MDR lebih sulit dan membutuhkan masa pengobatan yang
lebih lama berkisar 18-24 bulan atau lebih dengan tingkat kesembuhan yang rendah
sehingga membutuhkan strategi khusus yang dikenal dengan DOTS Plus.
Penerapan strategi DOTS Plus tetap menggunakan prinsip dasar strategi DOTS
yang dikembangkan sesuai kebutuhan penatalaksanaan pasien TB MDR.
Munculnya kekebalan terhadap obat dalam pengobatan TB sudah menjadi masalah
kesehatan masyarakat yang bermakna di sejumlah negara dan merupakan
hambatan terhadap pengendalian TB secara global. Insidensi kekebalan terhadap
obat telah meningkat sejak diperkenalkannya untuk pertama kali pengobatan TB

pada tahun 1943. TB MDR muncul seiring dengan mulai digunakannya Rifampicin
secara luas sejak tahun 1970-an.
Kekebalan terhadap obat erat kaitannya dengan pengobatan sebelumnya, pada
pasien yg pernah diobati, kemungkinan kekebalan adalah 4 kali, sedangkan kejadian
TB MDR kekebalannya 10 kali lebih tinggi dibanding dengan pasien yg belum
pernah diobati.
Faktor utama penyebab terjadinya resistensi kuman terhadap OAT adalah
pengobatan yang tidak memadai karena ulah manusia yaitu penatalaksanaan pasien
TB yang tidak adekuat, dapat ditinjau dari sisi:
a.
Pemberi jasa/petugas kesehatan yaitu:
Diagnosis tidak tepat;
Paduan, dosis, jenis, jumlah obat dan jangka waktu pengobatan tidak
adekuat;
Komunikasi, Informasi dan Edukasi (KIE) kepada pasien yang tidak
efektif.
b.
Pasien dan keluarga yaitu:
Tidak mematuhi anjuran dokter/petugas kesehatan;
- Tidak teratur menelan paduan OAT;
- Menghentikan pengobatan secara sepihak sebelum waktunya;
- Gangguan penyerapan obat
c.
Program Penanggulangan TB yaitu:
Persediaan OAT yang kurang;
OAT yang disediakan kualitasnya rendah.
TB MDR dipastikan melalui pemeriksaan biakan dan uji kepekaan untuk M.
Tuberculosis. Telah ditetapkan empat jenis kategori kekebalan terhadap obat TB:
Mono resistance: kekebalan terhadap salah satu OAT.
Poly resistance : kekebalan terhadap lebih dari satu OAT, selain Isoniazid dan
Rifampicin.
Multi Drug Resistance (MDR): kekebalan terhadap sekurang-kurangnya
Isoniazid dan Rifampicin.
Extensive Drug Resistance (XDR): kekebalan terhadap salah satu
Fluorokuinolon dan paling kurang salah satu dari OAT suntikan lini kedua
(Kapreomycin, Kanamycin dan Amikacin), sebagai tambahan dari TB MDR.
Kriteria Suspek TB MDR:
1.
Kasus TB kronik;
2.
Gagal pengobatan kategori 2;
3.
Pasien dengan riwayat OAT baik lini pertama maupun
lini kedua (fluorokuinolon, aminoglikosid misalnya kanamisin);
4.
Gagal pengobatan kategori 1;
5.
Pasien dengan BTA tetap positif setelah pengobatan
sisipan;
6.
Pasien kambuh;
7.
Pasien pengobatan ulang setelah lalai pengobatan
(default);

8.

Pasien TB dan petugas yang kontak erat dengan


pasien MDR.

7. International Standards for Tuberculosis Care (ISTC)


Pada tahun 2005 International Standards for Tuberculosis Care (ISTC)
dikembangkan oleh semua organisasi profesi internasional. Standar tersebut juga
didukung oleh organisasi profesi di Indonesia.
ISTC merupakan standar minimal yang harus dipenuhi dalam tatalaksana pasien
TB, yang terdiri dari 6 standar untuk penegakan diagnosis, 9 standar untuk
pengobatan, dan 2 standar untuk fungsi tanggung jawab kesehatan masyarakat.

Beberapa hal yang perlu diketahui dalam ISTC tersebut adalah :


1. Standar tersebut dibuat dan akan digunakan oleh semua profesi yang terkait
dalam penanggulangan TB di semua tempat;
2. Standar digunakan untuk menangani semua pasien TB, baik TB anak, TB paru
BTA positif dan BTA negatif, TB ekstraparu, TB MDR serta TB-HIV;
3. Tiap orang yang menangani TB harus memahami fungsi kesehatan masyarakat
dengan tingkat tanggung jawab yang tinggi terhadap masyarakat dan pasien;
4. Konsisten dengan pedoman internasional yang sudah ada.
Untuk lebih jelasnya secara rinci tentang ISTC tersebut dapat dibaca pada lampiran
1.

LATIHAN 1
1. Sebutkan komplikasi-komplikasi TB yang sering terjadi !
Jawab:

2. Bagaimana dampak HIV/AIDS terhadap masalah TB ?


Jawab:

3. Sebutkan penyebab terjadinya resistensi kuman terhadap OAT ?


Jawab :

4. Sebutkan salah satu standar ISTC (standar diagnosis, standar pengobatan, dan
standar tanggung jawab masyarakat masing-masing 1 standar).
Jawab :

B. PROGRAM PENANGGULANGAN TUBERKULOSIS


1. Tuberkulosis Sebagai Masalah Kesehatan Masyarakat
Diperkirakan sekitar sepertiga penduduk dunia telah terinfeksi oleh M. tuberculosis.
Seluruh dunia pada tahun 1995, diperkirakan ada 9 juta pasien TB baru dan 3 juta
kematian akibat TB. Di negara-negara berkembang kematian TB merupakan 25%
dari seluruh kematian yang sebenarnya dapat dicegah. Diperkirakan 95% kasus TB
dan 98% kematian akibat TB di dunia terjadi pada negara-negara berkembang.
Kematian wanita karena TB lebih banyak daripada kematian wanita karena
kehamilan, persalinan dan nifas.
Sekitar 75% pasien TB adalah kelompok usia yang paling produktif secara ekonomis
(15-50 tahun). Seorang pasien TB dewasa akan kehilangan rata-rata waktu
kerjanya 3 sampai 4 bulan. Hal tersebut berakibat kehilangan pendapatan tahunan
rumah tangganya sekitar 20-30%. Jika ia meninggal akibat TB, maka akan
kehilangan pendapatannya sekitar 15 tahun. Selain merugikan secara ekonomis, TB
juga memberikan dampak buruk lainnya berupa stigma sosial, bahkan mungkin
dikucilkan oleh masyarakat.
Penyebab utama meningkatnya beban masalah TB antara lain adalah:
a. Kemiskinan pada berbagai kelompok masyarakat, seperti pada negara negara
yang sedang berkembang.
b.
Kegagalan program TB selama ini. Hal ini diakibatkan oleh:
1) Tidak memadainya komitmen politik dan pendanaan
2) Tidak memadainya organisasi pelayanan TB (kurang terakses oleh
masyarakat, penemuan kasus /diagnosis yang tidak standar, obat tidak
terjamin penyediaannya, tidak dilakukan pemantauan, pencatatan dan
pelaporan yang standar dan sebagainya).
3) Tidak memadainya tatalaksana kasus (diagnosis dan paduan obat yang tidak
standar, gagal menyembuhkan kasus yang telah didiagnosis)
4) Salah persepsi terhadap manfaat dan efektifitas BCG.
5) Infrastruktur kesehatan yang buruk pada negara-negara yang mengalami
krisis ekonomi atau pergolakan masyarakat.
c. Perubahan demografik karena meningkatnya penduduk dunia dan perubahan
struktur umur kependudukan.
d. Dampak pandemi HIV.

Sementara itu, upaya penanggulangan TB secara umum dikatakan mengalami


kegagalan, walaupun kuman TB telah ditemukan pada tahun 1882 dan obat anti
tuberkulosis telah ditemukan sejak tahun 1944. Sebab utama kegagalan tersebut
antara lain:
a.
Tidak memadainya komitmen politik dan pendanaan;
b.
Tidak memadainya organisasi pelayanan TB (kurang terakses oleh
masyarakat);
c.
Tidak memadainya tatalaksana pasien (diagnosis dan paduan obat yang tidak
terstandar, obat tidak terjamin penyediaannya, tidak dilakukan pemantauan, tidak
terstandarnya pencatatan pelaporan dan kegagalan menyembuhkan pasien yang
diobati).
Situasi TB di dunia semakin memburuk, sebagian besar negara di dunia yang
dikategorikan sebagai high burden countries, jumlah kasus TB semakin tidak
terkendali dengan banyaknya pasien TB yang tidak berhasil disembuhkan.
Menyikapi hal tersebut, pada tahun 1993 WHO mencanangkan TB sebagai
kedaruratan dunia (global emergency).
Munculnya pandemi HIV/AIDS di dunia akan menambah permasalahan TB. Koinfeksi dengan HIV akan meningkatkan secara signifikan risiko berkembangnya TB.
Negara-negara dengan prevalensi HIV yang tinggi, terutama pada negara negara
sub-sahara Afrika telah menunjukkan peningkatan jumlah TB yang tajam dengan
peningkatan insidensi dua sampai tiga kali lipat pada tahun 1990 an.
Fakta menunjukkan bahwa TB masih merupakan masalah utama kesehatan
masyarakat Indonesia, antara lain:
a. Indonesia merupakan negara dengan pasien TB terbanyak ke-3 di dunia setelah
India dan Cina. Diperkirakan jumlah pasien TB di Indonesia sekitar 5,8 % dari
total jumlah pasien TB didunia;
b. Hasil Survei Prevalensi TB di Indonesia tahun 2004 menunjukkan bahwa angka
insidensi TB BTA positif secara nasional 110 per 100.000 penduduk. Secara
regional insidensi TB BTA positif di Indonesia dikelompokkan dalam 3 wilayah
yaitu:
1) Wilayah Sumatera angka insidensi TB adalah 160 per 100.000 penduduk;
2) Wilayah Jawa angka insidensi TB adalah 110 per 100.000 Penduduk;
3) Wilayah Indonesia Timur angka insidensi TB adalah 210 per 100.000
penduduk.
Khusus untuk Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta dan Bali angka insidensi TB
adalah 64 per 100.000 penduduk.
2. Visi dan Misi
a. Visi
Masyarakat yang mandiri dalam hidup sehat di mana tuberkulosis tidak lagi
menjadi masalah kesehatan masyarakat.
b. Misi
1).Menjamin bahwa setiap pasien TB mempunyai akses terhadap pelayanan
yang bermutu, untuk menurunkan angka kesakitan dan kematian karena TB;
2).Menurunkan risiko penularan TB;
3).Mengurangi dampak sosial dan ekonomi akibat TB.

10

3. Tujuan dan Target Program Nasional Penanggulangan TB


a. Tujuan
Menurunkan angka kesakitan dan angka kematian TB, memutuskan rantai
penularan serta mencegah terjadinya TB MDR.
b.Target
Target Program Nasional Penanggulangan TB adalah:
1)
Sejak tahun 2005 paling sedikit 70% dari perkiraan pasien baru
TB BTA positif harus ditemukan;
2)
Menyembuhkan paling sedikit 85% dari semua pasien baru TB
BTA positif yang diobati.
Bila kondisi ini dapat dipertahankan minimal 5 tahun berturut-turut, diharapkan akan
dapat menurunkan angka insidensi TB hingga separuhnya.
Millenium Development Goals (MDGs) menargetkan pada tahun 2015 angka
insidensi dan angka kematian akibat TB dapat diturunkan sebesar 50% dibanding
dari tahun 1990.
4. Kebijakan
Untuk mencapai tujuan tersebut, ditetapkan kebijakan operasional sebagai berikut
a.

b.

c.
d.

e.

f.

Penanggulangan TB di Indonesia dilaksanakan sesuai dengan


asas desentralisasi dengan kabupaten/kota sebagai titik berat manajemen
program dalam kerangka otonomi yang meliputi : perencanaan, pelaksanaan,
monitoring dan evaluasi serta menjamin ketersediaan sumber daya (dana,
tenaga, sarana dan prasarana).
Penanggulangan TB dilaksanakan dengan menggunakan
Strategi DOTS.
Strategi DOTS terdiri dari 5 komponen kunci:
1) Komitmen politis;
2) Pemeriksaan dahak mikroskopis yang terjamin mutunya
3) Pengobatan jangka pendek yang standar bagi semua kasus TB dengan
tatalaksana kasus yang tepat, termasuk pengawasan langsung pengobatan;
4) Jaminan ketersediaan OAT yang bermutu;
5) Sistem pencatatan dan pelaporan yang mampu memberikan penilaian
terhadap hasil pengobatan pasien dan kinerja program secara keseluruhan.
Penguatan kebijakan untuk meningkatkan komitmen daerah terhadap program
penanggulangan TB.
Penguatan Strategi DOTS dan pengembangannya ditujukan
terhadap peningkatan mutu pelayanan, kemudahan akses untuk penemuan dan
pengobatan sehingga mampu memutuskan rantai penularan dan mencegah
terjadinya MDR TB.
Penemuan dan pengobatan dalam rangka penanggulangan TB
dilaksanakan oleh seluruh Sarana Pelayanan Kesehatan meliputi: Puskesmas,
Rumah Sakit Pemerintah dan Swasta, BP4/BKPM/BBKPM, Klinik Pengobatan
lain serta Dokter Praktik Swasta (DPS).
Penanggulangan
TB
dilaksanakan
melalui
promosi,
penggalangan kerja sama dan kemitraan dengan program terkait, sektor

11

g.
h.
i.
j.
k.
l.
m.

pemerintah/non pemerintah dan swasta dalam wujud Gerakan Terpadu Nasional


Penanggulangan TB (Gerdunas TB).
Peningkatan kemampuan laboratorium di berbagai tingkat
pelayanan ditujukan untuk peningkatan mutu pelayanan dan jejaring.
Obat Anti Tuberkulosis (OAT) untuk penanggulangan TB
diberikan kepada pasien secara cuma-cuma dan dijamin ketersediaannya.
Ketersediaan sumber daya manusia yang kompeten dalam
jumlah yang memadai untuk meningkatkan dan mempertahankan kinerja
program.
Penanggulangan TB lebih diprioritaskan kepada kelompok miskin dan kelompok
rentan terhadap TB.
Penanggulangan TB berkolaborasi dengan penanggulangan
HIV/AIDS.
Pasien TB tidak dijauhkan dari keluarga, masyarakat dan
pekerjaannya.
Memperhatikan komitmen internasional yang termuat dalam
MDGs.

5. Kerangka Kerja Strategi Penanggulangan TB di Indonesia


Rencana kerja strategi 2006-2010, merupakan kelanjutan dari renstra sebelumnya,
yang mulai difokuskan pada perluasan jangkauan pelayanan dan DOTS yang
berkualitas. Untuk itu diperlukan suatu strategi dalam pencapaian target yang telah
ditetapkan, yang dituangkan pada tujuh strategi utama pengendalian TB, yang
meliputi:
Ekspansi Quality DOTS
a.
Perluasan dan Peningkatan Pelayanan DOTS Berkualitas.
b.
Menghadapi Tantangan Baru, TB-HIV, MDR-TB dll.
c.
Melibatkan Seluruh Penyedia Pelayanan.
d.
Melibatkan pasien dan Masyarakat.
Didukung dengan Penguatan Sistem Kesehatan
e.
Penguatan Kebijakan dan Kepemilikan Daerah.
f.
Kontribusi terhadap Sistem Pelayanan Kesehatan.
g.
Penelitian Operasional.
6. Kegiatan
a.
Tatalaksana Pasien TB:
1) Penemuan tersangka TB.
2) Diagnosis.
3) Pengobatan.
b.
Manajemen Program:
1) Perencanaan.
2) Pelaksanaan .

12

3)
c.
1)
2)
3)
d.
1)
2)
3)

a) Pencatatan dan pelaporan.


b) Pelatihan.
c) Bimbingan teknis.
d) Pemantapan mutu laboratorium.
e) Pengelolaan logistik.
Pemantauan dan Evaluasi.
Kegiatan Penunjang:
Promosi.
Kemitraan.
Penelitian.
Kolaborasi TB/HIV di Indonesia, meliputi:
Membentuk mekanisme kolaborasi.
Menurunkan beban TB pada ODHA.
Menurunkan beban HIV pada pasien TB.

7. Organisasi Pelaksanaan.
a. Tingkat Pusat
Upaya penanggulangan TB dilakukan melalui Gerakan Terpadu Nasional
Penanggulangan Tuberkulosis (Gerdunas TB) yang merupakan forum lintas sektor
dibawah koordinasi Menko Kesra. Menteri Kesehatan R.I. sebagai penanggung
jawab teknis upaya penanggulangan TB.
Dalam pelaksanaan program TB secara nasional dilaksanakan oleh Direktorat
Pengendalian Penyakit Menular Langsung, cq. Sub Direktorat Tuberkulosis.
b. Tingkat Provinsi
Di tingkat provinsi dibentuk Gerdunas-TB provinsi yang terdiri dari Tim Pengarah dan
Tim Teknis. Bentuk dan struktur organisasi disesuaikan dengan kebutuhan daerah.
Dalam pelaksanaan program TB di tingkat provinsi dilaksanakan dinas kesehatan
provinsi.
c. Tingkat Kabupaten/Kota
Di tingkat kabupaten/kota dibentuk Gerdunas-TB kabupaten/kota yang terdiri dari
Tim Pengarah dan Tim Teknis. Bentuk dan struktur organisasi disesuaikan dengan
kebutuhan kabupaten/kota.
Dalam pelaksanaan program TB di tingkat kabupaten/kota dilaksanakan oleh dinas
kesehatan kabupaten/Kota.
d. Sarana Pelayanan Kesehatan.
Dilaksanakan oleh Puskesmas, Rumah Sakit, BP4/BKPM/BBKPM, Balai
Pengobatan, Klinik dan Praktik Dokter Swasta .
1) Puskesmas
Dalam pelaksanaan di Puskesmas, dibentuk Kelompok Puskesmas
Pelaksana (KPP) yang terdiri dari Puskesmas Rujukan Mikroskopis (PRM),
dengan dikelilingi oleh 3 - 5 Puskesmas Satelit (PS).
Pada keadaan geografis yang sulit, dapat dibentuk Puskesmas Pelaksana
Mandiri (PPM) yang dilengkapi tenaga dan fasilitas pemeriksaan dahak.
2) Rumah Sakit Pemerintah dan Swasta, Rumah Sakit Paru (RSP) dan BP4
(Balai Pengobatan Penyakit Paru-paru)/BKPM (Balai Kesehatan Paru
Masyarakat)/BBKPM (Balai Besar Kesehatan Paru Masyarakat) dapat
melaksanakan semua kegiatan tatalaksana pasien TB.

13

3) Balai Pengobatan (BP) ditempat kerja, Klinik Lapas/Rutan dan lainya, Dokter
Praktik Swasta (DPS).
Secara umum konsep pelayanan di Balai Pengobatan, Klinik dan DPS sama
dengan pelaksanaan pada rumah sakit dan BP4/BKPM/BBKPM.

JEJARING PELAYANAN DOTS

KPP
DPS
BP/Klinik

RS/BP4/BKPM/BBKPM

PS

Labkes

PS
PRM

PPM

Dinas Kesehatan
Kab./Kota
Dinas Kesehatan
Provinsi

Penjelasan Jejaring:

14

a. Kelompok Puskesmas Pelaksana (KPP)/Puskesmas Pelaksana


Mandiri (PPM)
1)
KPP.
KPP merupakan kelompok puskesmas pelaksana program TB yang terdiri
dari 1 PRM dan kurang lebih 3-5 Puskesmas Satelit (PS), yang secara
keseluruhan mencakup wilayah kerja dengan jumlah penduduk 50.000 150.000 jiwa.
2)
PPM.
Pada keadaan geografis yang sulit, dapat dibentuk Puskesmas Pelaksana
Mandiri (PPM) yang dilengkapi tenaga terampil dan fasilitas pemeriksaan
dahak.
b. Unit Rujukan
1)
Rumah Sakit dan BP4/BKPM/BBKPM
Rumah Sakit dan BP4/BKPM/BBKPM dapat melaksanakan semua
kegiatan tatalaksana pasien TB.
Dalam hal tertentu, rumah sakit dan BP4/BKPM/BBKPM dapat
berfungsi sebagai tempat rujukan pasien dan pemeriksaan pendukung
lain sesuai dengan indikasinya.
Atas kesepakatan dokter dan pasien, Rumah sakit dan
BP4/BKPM/BBKPM, pasien dapat dikirim kembali ke puskesmas yang
terdekat dengan tempat tinggal pasien untuk mendapatkan
pengobatan dan pengawasan selanjutnya.
Pelaksanaan jejaring Internal dan eksternal dalam pelayanan pasien
TB di rumah sakit sudah diatur dalam buku Penerapan Strategi DOTS
di Rumah Sakit.
2)

Balai Pengobatan (BP), Klinik (umum/perusahaan/Lapas/Rutan)


dan DPS.
Secara umum konsep pelayanan di Klinik-klinik dan DPS sama dengan
pelaksanaan pada Rumah Sakit dan BP4/BKPM/BBKPM. Dalam hal
tertentu, klinik-klinik dan DPS dapat merujuk pasien dan pemeriksaan
dahak ke Puskesmas, rumah sakit atau ke BP4/BKPM/BBKPM.

c. Alur Koordinasi
Dalam jejaring pelayanan DOTS antara lain: pengelolaan logistik dan
pelaporan termasuk pencatatan pengobatan pasien yang tidak
menggunakan OAT yang disediakan Program Nasional Penanggulangan
TB, rumah sakit dan BP4/BKPM/BBKPM berkoordinasi dengan pengelola
program TB di Dinas Kesehatan Provinsi, Kabupaten/Kota sesuai dengan
wilayah kerjanya. Sedangkan bagi BP dan Klinik berkoordinasi dengan
pengelola program TB di Puskesmas se-wilayah dan Dinas Kesehatan
Kabupaten/Kota sesuai dengan wilayah kerjanya.
8. Uraian Tugas bagi Petugas TB di Sarana Pelayanan Kesehatan
Sebagaimana diketahui kegiatan program penanggulangan TB di sarana pelayanan
kesehatan terdiri dari kegiatan penemuan, pengobatan pasien, memberikan
penyuluhan, mengelola logistik TB, melakukan monitoring dan evaluasi, maka

15

diperlukan uraian tugas dari petugas TB di sarana pelayanan kesehatan meliputi dari
semua kegiatan tersebut. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada lampiran 2.

LATIHAN 2
1. Sebutkan 5 komponen Strategi DOTS
Jawab:

2. TB masih merupakan masalah kesehatan masyarakat di Indonesia, mengapa?


Jelaskan!
Jawab:

16

3. Sebutkan kegiatan yang perlu dilakukan di Sarana Pelayanan Kesehatan dalam


rangka penanggulangan TB!
Jawab:

4. Sebutkan kegiatan terpenting untuk menurunkan kesakitan dan kematian TB di


daerah saudara!
Jawab:

EVALUASI AKHIR MODUL


Kerjakanlah evaluasi dibawah ini. Tujuan evaluasi ini adalah untuk mengetahui
secara garis besar, apakah saudara telah memahami modul ini. Jika ada soal yang
belum dapat saudara kerjakan, lihat kembali materi yang ada, atau diskusikanlah
dengan fasilitator.
Berilah tanda (X) pada jawaban yang paling tepat !
1. Kuman yang menyebabkan TB pada manusia, adalah :
a. Mycobacterium bovis
b. Mycobacterium leprae
c. Mycobacterium ulcerans
d. Mycobacterium tuberculosis
2. TB terutama ditularkan melalui:
a. Sistem limfe
b. Sistim peredaran darah
c. Makanan dari pasien TB
d. Percikan dahak (droplet)
3. Infeksi primer terjadi ketika :
a. Seseorang mulai batuk-batuk
b. Seseorang tinggal serumah dengan pasien TB
c. Seseorang terpapar pertama kali dengan kuman TB
d. Seseorang mendapat imunisasi BCG
17

4. Sumber penularan TB terutama oleh :


a.
Pasien TB Paru BTA Negatif
b.
Pasien TB Paru BTA positif
c.
Pasien TB Extraparu
d.
Pasien TB Anak
5. Imunisasi BCG dapat mencegah:
a. Penularan TB
b. Terjadinya TB pada orang dewasa
c. Terjadinya TB berat pada balita
d. Penularan TB pada anak
6. Komplikasi yang paling sering terjadi pada TB paru yang dapat mengakibatkan
kematian akibat shock hipovolemik atau tersumbatnya jalan nafas adalah:
a. Pneumotoraks spontan
b. Hemoptisis berat
c. Fibrosis paru
d. Bronchiectasis

7. Apabila pasien TB tidak diobati, secara alamiah dalam jangka 5 tahun akan
sembuh sebanyak:
a) 30%
b) 45%
c) 50%
d) 80%
8. TB Kebal Obat Ganda atau Multi Drug Resistance (MDR) adalah :
a. Kekebalan terhadap Isoniazid dan Rifampicin
b. Kekebalan terhadap Etambutol dan Pirazinamid
c. Kekebalan terhadap kuinolon dan INH
d. Kekebalan terhadap Streptomisin, Etambutol dan Rifampisin.
9. Tuliskan tujuan Program Nasional Penanggulangan TB.
Jawab:

10. Tulislah cara mencegah terjadinya penyakit TB yang anda ketahui!


Jawab:

18

19

LAMPIRAN 1. Standar Internasional untuk Pelayanan Tuberkulosis


(International Standard for TB Care/ISTC)
A. Standar Untuk Diagnosis
Standar 1.

Setiap orang dengan batuk produktif selama 2-3 minggu atau


lebih, yang tidak jelas penyebabnya, harus dievaluasi untuk
tuberkulosis.
*) Lihat addendum
Standar 2.

Semua pasien (dewasa, remaja dan


anak yang dapat
mengeluarkan dahak) yang diduga menderita tuberkulosis paru
harus menjalani pemeriksaan dahak mikroskopik minimal 2
dan sebaiknya 3 kali. Jika mungkin paling tidak satu
spesimen harus berasal dari dahak pagi hari.

Standar 3.

Pada semua pasien (dewasa, remaja dan anak) yang diduga


menderita tuberkulosis ekstraparu, spesimen dari bagian tubuh
yang sakit seharusnya diambil untuk pemeriksaan mikroskopik
dan jika tersedia fasiliti dan sumber daya, dilakukan
pemeriksaan biakan dan histopatologi.
*) Lihat addendum
Standar 4.

Semua orang dengan temuan foto toraks diduga tuberkulosis


seharusnya
menjalani pemeriksaan dahak
secara
mikrobiologi.

Standar 5.

Diagnosis tuberkulosis paru sediaan apus dahak negatif harus


didasarkan
kriteria berikut : minimal pemeriksaan dahak
mikroskopik 3 kali negatif (termasuk minimal 1 kali dahak pagi
hari); temuan foto toraks sesuai tuberkulosis dan tidak ada
respon terhadap antibiotika spektrum luas (Catatan:
fluorokuinolon harus dihindari karena aktif terhadap M.
tuberculosis complex sehingga dapat menyebabkan perbaikan
sesaat pada pasien tuberkulosis). Untuk pasien ini, jika tersedia
fasiliti, biakan dahak seharusnya dilakukan. Pada pasien yang
diduga terinfeksi HIV evaluasi diagnostik harus disegerakan

Standar 6.

Diagnosis tuberkulosis intratoraks (yakni, paru, pleura dan


kelenjar getah bening hilus atau mediastinum) pada anak
dengan gejala namun sediaan apus dahak negatif seharusnya
didasarkan atas kelainan radiografi toraks sesuai tuberkulosis
dan paparan kepada kasus tuberkulosis yang menular atau bukti
infeksi tuberkulosis (uji kulit tuberkulin positif atau interferron
gamma release assay). Untuk pasien seperti ini, bila tersedia
fasilitas, bahan dahak seharusnya diambil untuk biakan (dengan
cara batuk, bilas lambung atau induksi dahak).
*) Lihat addendum

20

B. Standar Untuk Pengobatan


Standar 7.

Setiap praktisi yang mengobati pasien tuberkulosis mengemban


tanggung jawab kesehatan masyarakat yang penting. Untuk
memenuhi tanggung jawab ini praktisi tidak hanya wajib
memberikan paduan obat yang memadai tapi juga harus mampu
menilai kepatuhan pasien kepada pengobatan serta dapat
menangani ketidakpatuhan bila terjadi. Dengan melakukan hal itu,
penyelenggara kesehatan akan mampu meyakinkan kepatuhan
kepada paduan sampai pengobatan selesai.

Standar 8.

Semua pasien (termasuk mereka yang terinfeksi HIV) yang belum


pernah diobati harus diberi paduan obat lini pertama yang
disepekati secara internasional menggunakan obat yang
bioavailabilitinya telah diketahui. Fase awal harus terdiri dari
isoniazid, rifampisin, pirazinamid, dan etambutol.* Fase lanjutan
yang dianjurkan terdiri dari isoniazid dan rifampisin diberikan
selama 4 bulan. Isoniazid dan etambutol selama 6 bulan
merupakan paduan alternatif pada fase lanjutan yang dapat
dipakai jika kepatuhan pasien tidak dapat dinilai, akan tetapi hal ini
berisiko tinggi untuk gagal dan kambuh, terutama untuk pasien
yang terinfeksi HIV.
Dosis obat antituberkulosis yang digunakan harus sesuai dengan
rekomendasi internasional. Kombinasi dosis tetap yang terdiri
kombinasi 2 obat (isoniazid dan rifampisin), 3 obat (isoniazid,
rifampisin dan pirazinamid), dan 4 obat (isoniazid, rifampisin,
pirazinamid dan etambutol) sangat direkomendasikan terutama
jika menelan obat tidak diawasi.
*) Lihat addendum
Standar 9.

Untuk membina dan menilai kepatuhan pengobatan, suatu


pendekatan pemberian obat yang berpihak kepada pasien,
berdasarkan kebutuhan pasien dan rasa saling menghormati
antara pasien dan penyelenggara kesehatan, seharusnya
dikembangkan untuk semua pasien. Pengawasan dan dukungan
seharusnya sensitif terhadap jenis kelamin dan spesifik untuk
berbagai usia dan harus memanfaatkan bermacam-macam
intervensi yang direkomendasikan serta layanan pendukung yang
tersedia, termasuk konseling dan penyuluhan pasien. Elemen
utama dalam strategi yang berpihak kepada pasien adalah
penggunaan cara-cara menilai dan mengutamakan kepatuhan
terhadap paduan obat dan menangani ketidakpatuhan, bila terjadi.
Cara-cara ini seharusnya dibuat sesuai keadaan pasien dan
dapat diterima oleh kedua belah pihak, yaitu pasien dan
penyelenggara pelayanan. Cara-cara ini dapat mencakup
pengawasan langsung menelan obat (Directly Observed Therapy
- DOT) oleh pengawas menelan obat yang dapat diterima dan
dipercaya oleh pasien dan sistem kesehatan.

21

Standar 10.

Semua pasien harus dimonitor responsnya terhadap terapi;


penilaian terbaik pada pasien tuberkulosis ialah pemeriksaan
dahak mikroskopik berkala (dua spesimen) paling tidak pada
waktu fase awal pengobatan selesai (dua bulan), pada lima bulan,
dan pada akhir pengobatan. Pasien dengan sediaan apus dahak
positif pada pengobatan bulan kelima harus dianggap gagal
pengobatan dan pengobatan harus dimodifikasi secara tepat
(lihat standar 14 dan 15). Pada pasien tuberkulosis ekstraparu
dan pada anak, respons pengobatan terbaik dinilai secara klinis.
Pemeriksaan foto toraks umumnya tidak diperlukan dan dapat
menyesatkan.
*) Lihat addendum
Standar 11.

Rekaman tertulis tentang pengobatan yang diberikan, respons


bakteriologis dan efek samping seharusnya disimpan untuk
semua pasien.

Standar 12.

Di daerah dengan prevalensi HIV tinggi pada populasi umum dan


daerah dengan kemungkinan tuberkulosis dan infeksi HIV muncul
bersamaan, konseling dan uji HIV diindikasikan bagi semua
pasien tuberkulosis sebagai bagian penatalaksanaan rutin. Di
daerah dengan prevalensi HIV yang lebih rendah, konseling dan
uji HIV diindikasikan bagi pasien tuberkulosis dengan gejala
dan/atau tanda kondisi yang berhubungan dengan HIV dan pada
pasien tuberkulosis yang mempunyai riwayat risiko tinggi terpajan
HIV.

Standar 13.

Semua pasien dengan tuberkulosis dan infeksi HIV seharusnya


dievaluasi untuk menentukan perlu/tidaknya pengobatan
antiretroviral diberikan selama masa pengobatan tuberkulosis.
Perencanaan yang tepat untuk mengakses obat antiretroviral
seharusnya dibuat untuk pasien yang memenuhi indikasi.
Mengingat
kompleksnya
penggunaan
serentak
obat
antituberkulosis dan antiretroviral, konsultasi dengan dokter ahli di
bidang ini sangat direkomendasikan sebelum mulai pengobatan
serentak untuk infeksi HIV dan tuberkulosis, tanpa memperhatikan
mana yang muncul lebih dahulu. Bagaimanapun juga
pelaksanaan pengobatan tuberkulosis tidak boleh ditunda. Pasien
tuberkulosis dan infeksi HIV juga seharusnya diberi kotrimoksazol
sebagai pencegahan infeksi lainnya.

Standar 14.

Penilaian kemungkinan
resistensi
obat, berdasarkan riwayat
pengobatan terdahulu, paparan dengan sumber yang mungkin resisten
obat dan prevalensi resistensi obat dalam masyarakat seharusnya
dilakukan pada semua pasien. Pasien gagal pengobatan dan kasus
kronik seharusnya selalu dipantau kemungkinan akan resistensi obat.
Untuk pasien dengan kemungkinan resistensi obat, biakan dan uji
sensitifiti obat terhadap isoniazid, rifampisin, dan etambutol seharusnya
dilaksanakan segera.

22

Standar 15.

Pasien tuberkulosis yang disebabkan kuman resisten obat


(khususnya MDR) seharusnya diobati dengan paduan obat khusus yang
mengandung obat antituberkulosis lini kedua. Paling tidak harus
digunakan empat obat yang masih efektif dan pengobatan harus
diberikan paling sedikit 18 bulan. Cara-cara yang berpihak kepada
pasien disyaratkan untuk memastikan kepatuhan pasien terhadap
pengobatan. Konsultasi dengan penyelenggara pelayanan yang
berpengalaman dalam pengobatan pasien dengan MDR-TB harus
dilakukan.

C. Standar Untuk Tanggung Jawab Kesehatan Masyarakat


Standar 16.

Semua penyelenggara pelayanan untuk pasien tuberkulosis


seharusnya memastikan bahwa semua orang (khususnya anak
berumur di bawah 5 tahun dan orang terinfeksi HIV) yang
mempunyai kontak erat dengan pasien tuberkulosis menular
seharusnya dievaluasi dan ditatalaksana
sesuai dengan
rekomendasi internasional. Anak berumur di bawah 5 tahun dan
orang terinfeksi HIV yang telah terkontak dengan kasus menular
seharusnya dievaluasi untuk infeksi laten M. tuberculosis maupun
tuberkulosis aktif.

Standar 17.

Semua penyelenggara pelayanan kesehatan harus melaporkan


kasus tuberkulosis baru maupun kasus pengobatan ulang serta
hasil pengobatannya ke kantor dinas kesehatan setempat sesuai
dengan peraturan hukum dan kebijakan yang berlaku.
*) Lihat addendum

23

ADDENDUM
Standar 1
Untuk pasien anak, selain gejala batuk, entry untuk diagnosis adalah berat badan
yang sulit naik dalam waktu kurang lebih 2 bulan terakhir atau gizi buruk
Standar 3
Sebaiknya dilakukan juga pemeriksaan foto toraks untuk mengetahui ada tidaknya
TB paru dan TB millier. Pemeriksaan dahak perlu dilakukan, bila mungkin juga pada
anak.
Standar 6
Untuk pelaksanaan di Indonesia, diagnosis didasarkan atas pajanan kepada kasus
TB yang menular atau bukti infeksi TB (uji kulit tuberkulin positif atau interferon
gamma release assay) dan kelainan radiografi toraks sesuai TB
Standar 8
a.
Etambutol boleh dihilangkan pada fase awal pengobatan pasien dewasa dan
anak dengan sediaan apus dahak negatif, tidak menderita TB paru yang luas
atau penyakit ekstraparu yang berat, serta diketahui HIV negatif.
b.
Secara umum terapi TB pada anak diberikan selam 6 bulan, namun pada
keadaan tertentu (meningitis TB, TB millier dan TB berat lainnya) terapi TB
diberikan lebih lama (9-12 bulan) dengan paduan OAT yang lebih lengkap sesuai
dengan derajat penyakitnya.
Standar 10
Respons pengobatan pada pasien TB millier dan efusi pleura atau TB paru BTA
negatif dapat dinilai dengan foto toraks
Standar 17
Pelaksanaan pelaporan seharusnya difasilitasi dan dikoordinasikan oleh Dinas
Kesehatan setempat, sesuai dengan kesepakatan yang dibuat.

24

Lampiran 2 : Uraian Tugas Petugas Pengelola Program Penanggulangan Tb


Di Sarana Pelayanan Kesehatan (SPK)
1.

Melakukan penemuan (diagnosis) TB


a. Identifikasi suspek
b. Mengisi Daftar Suspek (TB.06)
c. Mengumpul dahak untuk pemeriksaan mikroskopis
d. Memahami pembuatan sediaan apusan dahak
e. Mengirim sediaaan tersebut ke laboratorium (TB.05)
f. Mendiagnosis TB
g. Membuat klasifikasi dan tipe pasien TB

2.

Memberikan pengobatan pasien TB


a. Menetapkan paduan pengobatan TB
b. Menyiapkan paket pengobatan TB
c. Mengisi kartu pengobatan pasien TB (TB.01, 02)
d. Menentukan Pengawas Menelan Obat (PMO)
e. Menyampaikan komunikasi, informasi dan edukasi terhadap pasien
f. Memantau kemajuan pengobatan:
1)
Melakukan pemeriksaan ulang dahak
2)
Menetapkan tindak lanjut pengobatan sesuai dengan hasil
pemeriksaan ulang dahak
3)
Memantau efek samping obat dan mengatasinya
g. Melengkapi kartu pengobatan TB
h. Menjamin keteraturan pengobatan:
1) Melacak pasien mangkir
2) Merujuk pasien
3) Mengelola pasien pindah dan pasien pindahan (TB.09, 10)
4) Mengatur pengobatan bagi pasien yang akan melaksanakan perjalanan
jauh
i. Mengelola pasien TB yang berobat tidak teratur
j. Menentukan hasil akhir pengobatan
k. Melakukan kunjungan rumah:
1) Melakukan pemeriksaan kontak
2) Memberikan pengobatan pencegahan

3.

Melakukan Komunikasi, Informasi dan Edukasi (KIE) TB kepada suspek, pasien,


keluarga pasien dan kelompok masyarakat

4.

Mengelola logistik TB (OAT dan non OAT)

5.

Melakukan Monitoring dan Evaluasi Kegiatan TB di puskesmas

25

26

Anda mungkin juga menyukai