Anda di halaman 1dari 28

REFERAT

POLIP NASI

Oleh :
N. Guruh Dirga Saputra 10700021
Andini Febriana
10700026
Kiki Megasari
10700157

Pembimbing :
Dr. Lenny B. Wuriningtyas Sp, THT-KL

SMF ILMU KESEHATAN THT-KL


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS WIJAYA KUSUMA SURABAYA
RSUD NGANJUK
2015

BAB I
PENDAHULUAN
I. Latar Belakang
Sumbatan hidung adalah salah satu yang paling sering dikeluhkan ke dokter pada
pelayanan primer. Banyak faktor dan kondisi anatomi yang dapat menyebabkan
sumbatan hidung. Penyebab dari sumbatan hidung dapat struktur maupun sistemik.
Yang disebabkan struktur termasuk perubahan jaringan, trauma, gangguan congenital
sebab sistemik terkait dengan perubahan fisiologis dan patologis.. Pasien juga sering
mengeluhkan sakit kepala dan napas yang lebih sulit dan sensasi penuh pada wajah.
Polip merupakan salah satu dari penyebab rasa hidung tersumbat (1).
Polip nasal adalah masa polipoidal yang biasanya berasal dari membran mukosa
dari hidung dan sinus paranasal. Polip tumbuh melebihi dari mukosa yang sering
berhubungan rinitis alergi (1)
Patogenesis polip nasal adalah tidak diketahui, Polip hidung paling sering
bersamaan dengan rhinitis alergi dan kadang dengan fibrosis kistik, walaupun pada
dewasa terdapat angka yang siqnifikan di kaitkan dengan non alergi. Polip ini tidak ada
hubungan dengan colonic. Polip yang iregular unilateral yang dikaitkan dengan sakit
dan berdarah akan memerlukan investigasi penting mungkin merupakan presentasi dari
sebuah tumor intra nasal (1).
Polip hidung sampai saat ini masih merupakan masalah medis, selain itu juga
memberikan masalah sosial karena dapat mempengaruhi kualitas hidup penderitanya
seperti di sekolah, di tempat kerja, aktifitas harian dsb. Gejala utama yang paling sering
dirasakan adalah sumbatan di hidung yang menetap dan semakin lama semakin berat
keluhannya, hal ini dapat mengakibatkan hiposmia sampai anosmia. Bila menyumbat
ostium sinus paranasalis mengakibatkan terjadinya sinusitis dengan keluhan nyeri
kepala dan hidung berair (1).

Polip nasi merupakan salah satu penyakit yang cukup sering ditemukan di
bagian Telinga Hidung Tenggorok (THT). Keluhan pasien yang datang dapat berupa
sumbatan pada hidung yang makin lama semakin berat. Kemudian pasien juga
mengeluhkan adanya gangguan penciuman dan sakit kepala. Untuk mengetahui massa
di rongga hidung merupakan polip atau bukan selain perlu dikuasai anatomi hidung
juga perlu dikuasai cara pemeriksaan yang dapat menyingkirkan kemungkinan diagnosa
lain. Di dalam referat ini akan dijelaskan mengenai anatomi, fisiologi hidung serta
patofisiologi, gejala klinis, pemeriksaan dan penatalaksanaan pada polip nasi.(2)

BAB II
3

ANATOMI DAN FISIOLOGI

2. 1. Anatomi Hidung
2. 1. 1 Hidung Luar

Gambar 1. Anatomi hidung luar


Hidung luar berbentuk piramid dengan bagian bagiannya dari atas ke bawah :
1.

Pangkal hidung (bridge)

2.

Dorsum nasi

3.

Puncak hidung

4.

Ala nasi

5.

Kolumela

6.

Lubang hidung (nares anterior)

Gambar 2. Tulang rawan pada hidung


Hidung luar dibentuk oleh kerangka tulang dan tulang rawan yang dilapisi kulit,
jaringan ikat dan beberapa otot kecil yaitu M. Nasalis pars transversa dan M. Nasalis
pars allaris. Kerja otot otot tersebut menyebabkan nares dapat melebar dan
menyempit.(3,4) \
Kerangka tulang terdiri dari(4) :
1.
2.
3.

Tulang hidung (os nasal)


Prosesus frontalis os maksila
Prosesus nasalis os frontal

Kerangka tulang rawan terdiri dari beberapa pasang tulang rawan yang terletak di
bagian bawah hidung, yaitu (4):
1.
2.
3.

Sepasang kartilago nasalis lateralis superior


Sepasang kartilago nasalis lateralis inferior (kartilago alar mayor)
Tepi anterior kartilago septum

Batas atas nasi eksternus melekat pada os frontal sebagai radiks (akar), antara
radiks sampai apeks (puncak) disebut dorsum nasi. Lubang yang terdapat pada bagian
inferior disebut nares, yang dibatasi oleh(4,5) :
5

Superior : os frontal, os nasal, os maksila

- Inferior : kartilago septi nasi, kartilago nasi lateralis, kartilago alaris mayor dan
kartilago alaris minor
Dengan adanya kartilago tersebut maka nasi eksternus bagian inferior menjadi
fleksibel(4).
Perdarahan :
Arteri yang paling penting pada perdarahan hidung luar adalah A. Nasalis
anterior (cabang A. Etmoidalis yang merupakan cabang dari A. Oftalmika, cabang
dari a. Karotis interna). A. Nasalis posterior (cabang A.Sfenopalatinum, cabang
dari A. Maksilaris interna, cabang dari A. Karotis interna). A. Angularis (cabang
dari A. Fasialis)
Persarafan :
Saraf yang paling penting pada hidung luar adalah cabang dari N.
Oftalmikus (N. Supratroklearis, N. Infratroklearis). Cabang dari N. Maksilaris
(ramus eksternus N. Etmoidalis anterior)

2. 1. 2 Hidung dalam

Gambar 3. Anatomi hidung dalam


Struktur ini membentang dari anterior hingga koana di posterior, yang
memisahkan rongga hidung dari nasofaring. Septum nasi merupakan struktur tulang
dari garis tengah, secara anatomi membagi organ menjadi dua hidung. Selanjutnya,
pada dinding lateral hidung terdapat pula konka dengan rongga udara yang tak teratur
diantaranya meatus superior, media dan inferior. Sementara kerangka tulang tampaknya
menentukan diameter yang pasti dari rongga udara, struktur jaringan lunak yang
menutupi hidung dalam cenderung bervariasi tebalnya, juga mengubah resistensi, dan
akibatnya tekanan volume aliran udara inspirasi dan ekspirasi (4).
Diameter yang berbeda-beda disebabkan oleh kongesti dan dekongesti mukosa,
perubahan badan vaskuler yang dapat mengembang pada konka dan septum atas, dan
dari krusta dan deposit atau sekret mukosa (3).
Bagian tulang dari septum terdiri dari kartilago septum (kuadrangularis)
disebelah anterior, lamina perpendikularis tulang etmoidalis disebelah atas, vomer dan
rostrum sfenoid di posterior dan suatu krista di sebelah bawah, terdiri dari krista
maksimal dan krista palatina. Krista dan tonjolan yang terkadang perlu diangkat.
Pembengkokan septum yang dapat terjadi karena faktor-faktor pertumbuhan ataupun
7

trauma dapat sedemikian hebatnya sehingga menggangu aliran udara dan perlu
dikoreksi secara bedah. Konka di dekatnya dapat mengkompensasi bila kelainan
septum tidak terlalu berat, dengan memperbesar ukurannya pada sisi yang konkaf dan
mengecil pada sisi lainnya, sedemikian rupa agar dapat mempertahankan lebar rongga
udara yang optimum. Jadi, meskipun septum nasi bengkok, aliran udara masih akan ada
dan normal. Daerah jaringan erektil pada kedua sisi septum berfungsi mengatur
ketebalan dalam berbagai kondisi atmosfer yang berbeda(3,4)
2. 1. 2 Kavum nasi
Kavum nasi atau rongga hidung berbentuk terowongan dari depan ke belakang
dipisahkan oleh septum nasi di bagian tengahnya menjadi kavum nasi kanan dan kiri.
Pintu atau lubang masuk kavum nasi bagian depan disebut nares anterior dan lubang
belakang disebut nares posterior (koana) yang menghubungkan kavum nasi dengan
nasofaring.
Batas batas kavum nasi:
1. Posterior

: berhubungan dengan nasofaring

2. Atap

: os nasal, os frontal, lamina kribriformis etmoidale, korpus

sfenoidale dan sebagian os vomer


3. Lantai

: merupakan bagian yang lunak, kedudukannya hampir horisontal,

bentuknya konkaf dan bagian dasar ini lebih lebar daripada bagian atap.
Bagian ini dipisahkan dengan kavum oris oleh palatum durum.
2. Medial

: septum nasi yang membagi kavum nasi menjadi dua ruangan

(dekstra dan sinistra), pada bagian bawah apeks nasi, septum nasi dilapisi
oleh kulit, jaringan subkutan dan kartilago alaris mayor. Bagian dari septum
yang terdiri dari kartilago ini disebut sebagai septum pars membranosa =
kolumna = kolumela.
3. Lateral

: terdapat 4 buah konka, yaitu konka inferior yang terbesar, konka

media, konka superior dan konka suprema yang merupakan konka terkecil dan
biasanya rudimenter.
Konka nasalis suprema, superior dan media merupakan tonjolan dari tulang
etmoid. Sedangkan konka nasalis inferior merupakan tulang yang terpisah. Ruangan di
atas dan belakang konka nasalis superior adalah resesus sfeno-etmoid yang
8

berhubungan dengan sinis sfenoid. Kadang kadang konka nasalis suprema dan meatus
nasi suprema terletak di bagian ini(4).
Perdarahan :

Gambar 3. Perdarahan cavum nasi(3)


Arteri yang paling penting pada perdarahan kavum nasi adalah A.sfenopalatina
yang merupakan cabang dari A.maksilaris dan A. Etmoidale anterior yang merupakan
cabang dari A. Oftalmika(4).
Vena tampak sebagai pleksus yang terletak submukosa yang berjalan bersama
sama arteri. Juga terdapat pleksus kieselbach yang merupakan anastomosis dari
A.etmoidalis anterior, A.palatina mayor, A. sfenopalatina, dan A.labialis superior(3,4).
Persarafan :
1.

Anterior kavum nasi dipersarafi oleh serabut saraf dari N. Trigeminus

yaitu N. Etmoidalis anterior


2.

Posterior kavum nasi dipersarafi oleh serabut saraf dari ganglion

pterigopalatinum masuk melalui foramen sfenopalatina kemudian menjadi N. Palatina


mayor menjadi N. Sfenopalatinus.

2.2 Histologi Hidung


2. 2. 1 Mukosa Hidung
Epitel organ pernapasan yang biasanya berupa epitel toraks besilia, bertingkat
palsu (pseudo stratified), berbeda-beda pada berbagai bagian hidung, tergantung pada
9

tekanan dan kecepatan aliran udara, demikian pula suhu, dan derajat kelembaban udara.
Jadi, mukosa pada ujung anterior konka dan septum sedikit melampaui os internum
masih dilapisi oleh epitel berlapis gepeng tanpa silia lanjutan epitel kulit vestibulum
nasi. Sepanjang jalur utama arus inspirasi epitel menjadi toraks; silia pendek dan agak
iregular. Sel-sel meatus media dan interior yang terutama menangani arus ekspirasi
memiliki silia yang panjang yang tersusun rapi. Sinus mengandung epitel kubus dan
silia yangg sama panjang dan jarak antaranya. Kekuatan aliran udara yang melewati
berbagai lokasi juga mempengaruhi ketebalan lamina propria dan jumlah kelenjar
mukosa (4).

Gambar 4. Nasal Mucosa(6)

Lamina propria tipis pada daerah di mana aliranudara lambat dan lemah,namun
di daerah aliran udara yang kuat. Jumlah kelenjar penghasil sekret dan sel goblet, yaitu
sumber dari lapisan mukus, sebanding dengan ketebalan laimna propria. Lapisan mukus
yang sangat kental dan lengket menangkap debu, benda asing dan bakteri yang terhirup,
dan melalui kerja silia benda-benda ini diangkut ke faring, selanjutnya ditelan dan
dihancurkan dilambung. Lisozim dan imunoglobulin A (IgA) ditemukan pula dalam
lapisan mukus, dan melindungi lebih lanjut terhadap patogen. Lapisan mukus hidung
diperbarui tiga sampai empat kali dalam satu jam. Silia struktur kecil mirip rambut
bergerak serempak secara cepat ke arah aliran lapisan, kemudian membengkok dan

10

kembali tegak dengan lebih lambat. Kecepatan pukulan silia kira-kira 700-1000 siklus
per menit.(4)
Dalam keadaan normal mukosa berwarna merah muda dan selalu basah karena
diliputi oleh palut lendir (mucous blanket) pada permukaannya. Palut lendir ini
dihasilkan oleh kelenjar mukosa dan sel goblet.(4,5)
2.2.2

Silia
Silia yang panjangnya sekitar 5-7 mikron terletak pada lamina akhir sel-sel

permukaan eptelium dan jumlahnya sekitar 100 per mikron persegi, atau sekitar 250 per
sel pada saluran pernapasan atas (3).
Silia terbentuk dari dua mikrotubulus sentral tunggal yang dikelilingi sembilan
pasang mikrotubulus, semuanya terbungkus dalam membran sel berlapis tiga yang tipis
dan rapuh. Masing-masing silium terdiri dari suatu batang, ujung yang makin mengecil,
dan korpus basalis. Tidak semua mikrotubulus berlanjut hingga ke ujung silia. Kedua
mikrotubulus sentral tunggal tidak melewati bagian bawah permukaan sel. Namun,
tepat dibawah permukaan sel, tiap pasang mikrotubulus perifer bergabung dengan
mikrotubulus ketiga dalam korpus basalis, yaitu struktur yang ditemukan dalam
sitoplasma apikal. Triplet ini terus berjalan turun ke dalam sitoplasma apikal sebagai
radiks silia, dan perlahan-lahan menghilang.(3,5)
Dalam hal melecut, masing-masing silia tidak hanya bergerak ke depan dan ke
belakang seperti tangkai gandum di ladang. Tiap lecutan memiliki suatu fase dengan
kekuatan penuh yang berlangsung cepat searah aliran di mana silium tegak dan kaku,
yang dikuti suatu fase pemulihan yang lebih lambat dimana silium membengkok.
Hubungan waktu antara fase efektif dan fase pemulihan tengah diteliti dengan
percobaan memakai tikus. Rasionya adalah 1:3, yaitu fase efektif memerlukan sepertiga
dari waktu fase pemulihan. Lecutan itu bukannya tidak mirip kayuhan lengan perenang
(5)

2.2.3 Area Olfaktorius


Variasi antar individu yang besar mencirikan struktur regio penghidu; perbedaan
ini dapat menyangkut ketebalan mukosa (biasanya sekitar 60 mikron) ukuran sel, dan
11

vesikel olfaktorius. Pada manusia, epitel penhidu bertingkat toraks terdiri dari tiga jenis
sel sel saraf bipolar olfaktorius, sel sustentakular penyokong yang besar jumlahnya, dan
sejumlah sel basal yang kecil, agaknya merupakan sel induk dari sel sustentakuler (3).
Masing-masing sel olfaktorius merupakan suatu neuron bipolar. Dalam lapisan
epitel, sel-sel ini tersebar merata di antara sel-sel penyokong. Sel-sel penghidu ini
merupakan satu-satunya bagian sistem saraf pusat yang mencapai permukaan tubuh.
Ujung distal sel ini merupakan suatu dendrit yang telah mengalami modifikasi yang
menonjol di atas permukaan epitel, membentuk apa yang disebut vesikel olfaktorius.
Pada permukaan vesikel terdapat 10 sampai 15 silia non motil (5).
Ujung proksimal sel mengecil membentuk suatu tonjolan yang halus
berdiameter sekitar 0,1 mikron, yaitu aksonnya. Akson ini bergabung dengan akson
lainnya membentuk saraf olfaktorius, yang menembus lamina kribriformis dan
membentuk bulbus olfaktorius dimana terjadi sinaps dengan dendrit neuron kedua.
Akson-akson neuron kedua mebentuk traktus olfaktorius, yang berjalan ke otak untuk
berhubungan dengan sejumlah nuklei, fasikuli dan traktus lainnya. Aparatus olfaktorius
sentral merupakan struktur yang sangat kompleks.(3,5)
2.3.Fisiologi hidung
Berdasarkan teori struktural, teori evolusioner dan teori fungsional, fungsi
fisiologis hidung dan sinus paranasal adalah :1) fungsi respirasi untuk mengatur kondisi
udara (air conditioning), penyaring udara,humdufikasi, penyeimbang dalam pertukaran
tekanan dan mekanisme imunoligik local. 2) fungsi penghidu karena terdapatnya mukosa
olfaktorius dan reservoir udara untuk menampung stimulus penghidu 3) fungsi fonetik
yang berguna untuk resonansi suara, membantu proses bicara dan mencegahhantaran
suara sendiri melalui konduksi tulang 4) fungsi statik dan mekanik untuk meringankan
beban kepala, proteksi terhadap trauma dan pelindung panas. 5) Refleks nasal (18)

2.3.1 Fungsi Respirasi


Udara inspirasi masuk ke hidung menuju sistem respirasi melalui nares anterior,
lalu naik keatas setinggi konka media dan kemudian turun ke bawah ke arah
nasofaring.aliran udara di hidung ini berbentuk lengkungan atau arkus.Udara yang
12

dihirup akan mengalami humidifikasi oleh parut lendir. Pada musim panas,
udarahampir jenuh oleh uap air sehingga terjadi sedikit penguapan udara inspirasi oleh
parut lendir,sedangkan pada musim dingin akan terjadi sebaliknya.Suhu udara yang
melalui hidung diatur sehingga berkisar 37 derajat celcius. Fungsi pengatur suhu ini
dimungkinkan oleh banyaknya pembuluh darah di bawah epitel dan adanya permukaan
konkadan septum yang luas.Partikel debu, virus, bakteri dan jamur yang terhirup
bersama udara akan disaring di hidungoleh :a.Rambut (vibrisssae) pada vestibulum
nasi b.Siliac.Parut lendir Debu dan bakteri akan melekat pada parut lendir dan partikelpartikel yang besar akandikeluarkan dengan refleks bersin. (18)
2.3.2 Fungsi Penghidu
Hidung juga bekerja sebagai indra penghidu dan pengecap dengan adanya
mukosa olfaktorius pada atap rongga hidung, konka superior dan sepertiga bagian atas
septum.Partikel bau dapat mencapai daerah ini dengan cara difusi dengan palut lendir
atau bilamenarik napas dengan kuat.Fungsi hidung untuk membantu indra pengecap
adalah untuk membedakan rasa manis yang berasal dari berbagai macam bahan seperti
perbedaan rasa manis stawberri, jeruk, pisang atau coklat.Juga untuk membedakan rasa
asam yang berasal dari cuka dan asam jawa. (18)
2.3.3 Fungsi Fonetik
Resonansi oleh hidung penting untuk kualitas suara ketika berbicara dan
menyanyi. Sumbatanhidung akan menyebabkan resonansi berkurang atau hilang
sehingga terdengar suara sengau(rinolalia).Hidung membantu pembentukan konsonan
nasal (m, n , ng), rongga mulut tertutup dan hidungterbuka dan palatum mole turun
untuk aliran udara. (18)

2.3.4 Fungsi Reflek Nasal


Mukosa hidung merupakan reseptor refleks yang berhubungan dengan saluran
cerna,kardiovaskuler dan pernapasan. Iritasi mukosa hidung akan menyebabkan refleks

13

bersin dan napas berhenti. Rangsang bau tertentu akan menyebabkan sekresi kelenjar
liur,lambung dan pankreas. (18)

BAB III
POLIP NASI
3.1 Definisi
14

Polip nasi merupakan kelainan mukosa hidung berupa massa lunak yang
bertangkai, berbentuk bulat atau lonjong, berwarna putih keabuan, dengan permukaan
licin dan agak bening karena mengandung banyak cairan. Polip nasi bukan merupakan
penyakit tersendiri tapi merupakan manifestasi klinik dari berbagai macam penyakit
dan sering dihubungkan dengan sinusitis, rhinitis alergi, fibrosis kistik dan asma(2).
Polip yang multipel dapat timbul pada anak-anak dengan sinusitis kronik,
rhinitis alergi, fibrosis kistik atau sinuisitis jamur alergi. Polip sangat bervariasi pada
setiap individu, polip dapat berupa polip antro-koanal, polip jinak yang besar ataupun
polip multipel yang dapat merupakan lesi jinak atau merupakan suatu keganasan
seperti: glioma, hemangioma, papiloma, limfoma, neuroblastoma, sarcoma, karsinoma
nasofaring dan papiloma inverted.(2)
Tumbuhnya polip terutama di bagian-bagian sempit di bagian atas hidung, di
bagian lateral konka media, dan sekitar muara sinus maksila dan sinus etmoid. Di tempat
inilah mukosa hidung saling berdekatan. Bila ada fasilitas pemeriksaan dengan endoskop,
mungkin tempat asal tangkai polip dapat dilihat.(4)
3.2. Etiologi
Polip hidung biasanya terbentuk sebagai akibat reaksi hipersensitif atau reaksi
alergi pada mukosa hidung. Peranan infeksi pada pembentukan polip hidung belum
diketahui dengan pasti. Polip berasal dari pembengkakan lapisan permukaan mukosa
hidung atau sinus, yang kemudian menonjol dan turun ke dalam rongga hidung oleh
gaya berat. Polip banyak mengandung cairan interseluler dan sel radang (neutrofil dan
eosinofil) dan tidak mempunyai ujung saraf atau pembuluh darah. Polip biasanya
ditemukan pada orang dewasa dan jarang pada anak anak. Pada anak anak, polip
mungkin merupakan gejala dari kistik fibrosis(8).

Yang dapat menjadi faktor predisposisi terjadinya polip antara lain(8) :


1.

Alergi terutama rinitis alergi.

2.

Sinusitis kronik.
15

3.

Iritasi.

4.

Sumbatan hidung oleh kelainan anatomi seperti deviasi septum dan

hipertrofi konka.
Etiologi yang pasti belum diketahui tetapi ada 3 faktor penting pada terjadinya
polip, yaitu(8) :
1.

Adanya peradangan kronik yang berulang pada mukosa hidung dan sinus.

2.

Adanya gangguan keseimbangan vasomotor.

3.

Adanya peningkatan tekanan cairan interstitial dan edema mukosa hidung.

Fenomena Bernoulli menyatakan bahwa udara yang mengalir melalui tempat


yang sempit akan mengakibatkan tekanan negatif pada daerah sekitarnya. Jaringan yang
lemah akan terhisap oleh tekanan negatif ini sehingga mengakibatkan edema mukosa
dan pembentukan polip. Fenomena ini menjelaskan mengapa polip kebanyakan berasal
dari daerah yang sempit di kompleks ostiomeatal (KOM) di meatus medius. Walaupun
demikian polip juga dapat timbul dari tiap bagian mukosa hidung atau sinus paranasal
dan seringkali bilateral dan multipel.(9)
3.3. Patofisiologi
Pada tingkat permulaan ditemukan edema mukosa yang kebanyakan terdapat di
daerah meatus medius. Kemudian stroma akan terisi oleh cairan interseluler, sehingga
mukosa yang sembab menjadi polipoid. Bila proses terus berlanjut, mukosa yang
sembab makin membesar dan kemudian akan turun ke dalam rongga hidung sambil
membentuk tangkai, sehingga terbentuk polip (1).
Polip di kavum nasi terbentuk akibat proses radang yang lama. Penyebab
tersering adalah sinusitis kronik dan rinitis alergi. Dalam jangka waktu yang lama,
vasodilatasi lama dari pembuluh darah submukosa menyebabkan edema mukosa.
Mukosa akan menjadi ireguler dan terdorong ke sinus dan pada akhirnya membentuk
suatu struktur bernama polip. Biasanya terjadi di sinus maksila, kemudian sinus etmoid.
Setelah polip terrus membesar di antrum, akan turun ke kavum nasi. Hal ini terjadi
karena bersin dan pengeluaran sekret yang berulang yang sering dialami oleh orang
yang mempunyai riwayat rinitis alergi karena pada rinitis alergi terutama rinitis alergi

16

perennial yang banyak terdapat di Indonesia karena tidak adanya variasi musim
sehingga alergen terdapat sepanjang tahun. Begitu sampai dalam kavum nasi, polip
akan terus membesar dan bisa menyebabkan obstruksi di meatus media(1).
3.3.1 Makroskopis
Secara makroskopis polip merupakan massa bertangkai dengan permukaan
licin, berbentuk bulat atau lonjong, berwarna putih keabu-abuan,agak bening, lobular,
dapat tunggal atau multipel dan tidak sensitif (bila ditekan/ditusuk tidak terasa sakit).
Warna polip yang pucat tersebut disebabkan karena mengandung banyak cairan dan
sedikitnya aliran darah ke polip.bila terjadi iritasi kronis atau proses peradangan warna
polip dapat berubah menjadi kemerah-merahan dan polip yang sudah menahun
warnanya dapat menjadi kekuning-kuningan karena banyak mengandung jaringan
ikat(11).

Gambar 5. Nasal Polyp(3)


Tempat asal tumbuhnya polip terutama dari kompleks ostio-meatal di meatus
medius dan sinus etmoid. Bila ada fasilitas pemeriksaan dengan endoskop, mungkin
tempat asal tangkai polip dapat dilihat(11)
Ada polip yang tumbuh kearah belakang dan membesar dinasofaring, disebut
polip koana.polip koana kebanyakan berasal dari dalam sinus maksila dan disebut juga

17

polip antro-koana. Ada juga sebagian kecil polip koana yang berasal dari sinus
etmoid(11).
3.3.2 Mikroskopis
Secara mikroskopis tampak epitel pada polip serupa dengan mukosa hidung
normal yaitu epitel bertingkat semu bersilia dengan submukosa yang sembab. Selselnya terdiri dari limfosit, sel plasma, eosinofil, neutrofil dan makrofag. Mukosa
mengandung sel-sel goblet. Pembuluh darah, saraf dan kelenjar sangat sedikit. Polip
yang sudah lama dapat mengalami metaplasia epitel karena sering terkena aliran udara,
menjadi epitel transisional, kubik atau gepeng berlapis tanpa keratinisasi(11).
Berdasarkan jenis sel peradangannya, polip dikelompokkan menjadi 2, yaitu
polip tipe eosinofilik dan tipe neutrofilik.
Gambar 6. Gambaran endoskopi
cavum

nasi

kiri,

menunjukkan

polip

pada prosesus uncinatus.

Tampak jelas polip berada di


tengah, berwarna pucat dan putih
berkilau.(3)

Antrochoanal polip adalah polip soliter yang tumbuh dari antrum maksila.
Killian 1906 adalah orng pertama yang menemukan antrochoanal polip. Walaupun
etiologinya belum diketahui secara pasti, namun alergi dapat dijadikan salah satu faktor
pencetus. Polip tersebut keluar dari antrum maksila dan dapat prolaps melalui ostium
asesorius kedalam kavum nasi dan membesar ke arah posterior koana dan nasofaring.(8)

18

Gambar 7. Polip antrokoanal kiri yang menggantung pada orofaring(3)


3.4. Gejala Klinis
Gejala utama yang ditimbulkan oleh polip hidung adalah rasa sumbatan di
hidung. Sumbatan ini tidak hilang timbul dan makin lama semakin berat keluhannya.
Pada sumbatan yang hebat dapat menyebabkan gejala hiposmia atau anosmia. Bila
polip ini menyumbat sinus paranasal, maka sebagai komplikasinya akan terjadi sinusitis
dengan keluhan nyeri kepala dan rinore(1).
3.4.1 Gejala Subjektif:
v Hidung terasa tersumbat
v Hiposmia atau Anosmia (gangguan penciuman)
v Nyeri kepala
v Rhinore
v Bersin
v Iritasi di hidung (terasa gatal)
v Post nasal drip
v Nyeri muka
v Suara bindeng
v Telinga terasa penuh
v Mendengkur
19

v Gangguan tidur
v Penurunan kualitas hidup
3.4.2 Gejala Objektif(11)
v Oedema mukosa hidung
v Submukosa hipertropi dan tampak sembab
v Terlihat masa lunak yang berwarna putih atau kebiruan
v Bertangkai
Bila penyebabnya adalah alergi, maka gejala yang utama ialah bersin dan iritasi
di hidung. Pada rinoskopi anterior polip hidung seringkali harus dibedakan dari konka
hidung yang menyerupai polip (konka polipoid). Perbedaan antara polip dan konka
polipoid ialah :
Polip :
- Bertangkai
- Mudah digerakkan
- Konsistensi lunak
- Tidak nyeri bila ditekan
- Tidak mudah berdarah
- Pada pemakaian vasokonstriktor (kapas adrenalin) tidak mengecil
3.5. Diagnosis
3.5.1 Anamnesa
Keluhan utama penderita polip nasi adalah hidung rasa tersumbat dari ringan
hingga berat, rinore yang jernih hingga purulen, hipoosmia atau anosmia. Dapat juga
disertai bersin-bersin, rasa nyeri dihidung disertai sakit kepala di daerah frontal. Bila
disertai infeksi sekunder mungkin didapati post nasal drip dan rinore purulen. Gejala
sekunder yang dapat timbul adalah bernafas melalui mulut, suara sengau, halitosis,
gangguan tidur dan penurunan kualitas hidup. Selain itu dapat juga menyebabkan gejala
pada saluran napas bawah, berupa batuk kronik dan mengi, terutama dengan asma(15).
3.5.2. Pemeriksaan Fisik
20

Polipnasi yang masif dapat menyebabkan deformitas hidung luar sehingga


hidung tampak mekar karena pelebaran batang hidung. Pada pemeriksaan rinoskopi
anterior terlihat sebagai massa yang berwarna pucat yang berasal dari meatus medius
dan mudah digerakkan.
a. Rinoskopi anterior
Pada kasus polip koanal juga sering dapat dilihat tangkai polip yang berasal dari
ostium asesorius sinus maksila
b. Naso-endoskopi
Polip stadium 1 dan 2 kadang-kadang tidak terlihat pada pemeriksaan
rinoskopi

anterior

tetapi

tampak

dengan

pemeriksaan

nasoendoskopi.

Pemeriksaan nasoendoskopi memberikan visualisasi yang baik terutama pada


polip nasi yang kecil di meatus media (Assanasen 2001). Penelitian Stamberger
pada 200 pasien polip nasi yang telah dilakukan bedah sinus endoskopik
fungsional ditemukan polip sebanyak 80% di mukosa meatus media, prosessus
unsinatus dan infundibulum (Tos 2001). Stadium polip berdasarkan pemeriksaan
nasoendoskopi menurut Mackay dan Lund dibagi menjadi stadium 0: tanpa polip,
stadium 1: polipterbatas di meatus media, stadium 2: polip di bawah meatus
media, stadium 3: polip masif (Assanasen 2001). Polip nasi hampir semuanya
bilateral dan bila unilateral membutuhkan pemeriksaan histopatologi untuk
menyingkirkan keganasan atau kondisi lain seperti papiloma inverted (16).
c. Pada pemeriksaan histopatologi,
polip nasi ditandai dengan epitel kolumnar bersilia, penebalan dasar
membran, stoma edematous tanpa vaskularisasi dan adanya infiltrasi sel plasma
dan eosinofil. Eosinofil dijumpai sebanyak 85% pada polip dan sisanya
merupakan neutrofil (16)
3. 5. 3. PemeriksaanRadiologi
a. Fotopolos sinus paranasal
Memperlihatkan penebalan mukosa dan adanya batas udara-cairan didalam sinus
b. CT scan
Dapat melihat dengan jelas keadaan di hidung dan sinus paranasal apakah ada proses
radang, kelainan anatomi, polip, atau sumbatan pada KOM. Pemeriksaan tergantung
klinis, terutamadiindikasikan pada kasus polip yang gagal diobati dengan terapi

21

medikamentosa, jika ada komplikasi dari sinusitis dan pada perencanaan tindakan
bedah terutama bedah endoskopi
3.6. Diagnosis Banding
Diagnosis banding polip yaitu konka polipoid, yang ciri cirinya sebagai
berikut(15) :
-

Tidak bertangkai

Sukar digerakkan

Nyeri bila ditekan dengan pinset

Mudah berdarah

Dapat mengecil pada pemakaian vasokonstriktor (kapas adrenalin).

Pada pemeriksaan rinoskopi anterior cukup mudah untuk membedakan polip


dan konka polipoid, terutama dengan pemberian vasokonstriktor yang juga harus hati
hati pemberiannya pada pasien dengan penyakit kardiovaskuler karena bisa
menyebabkan vasokonstriksi sistemik, maningkatkan tekanan darah yang berbahaya
pada pasien dengan hipertensi dan dengan penyakit jantung lainnya (15).
3.7 Penatalaksanaan
3.7.1. Pengobatan medikamentosa
Karena etiologi yang mendasari pada polip nasi adalah reaksi inflamasi, maka
penatalaksanaan medis ditujukan untuk pengobatan yang tidak spesifik. Pada terapi
medikamentosa dapat diberikan kortikosteroid. Kortikosteroid dapat diberikan secara
sistemik ataupun intranasal(10).
Pemberian kortikosteroid sistemik diberikan dengan dosis tinggi dalam waktu
yang singkat, dan

pemberiannya perlu memperhatikan efek samping dan

kontraindikasi. Kortikosteroid oral adalah pengobatan paling efektif untuk pengobatan


jangka pendek dari polip nasi, dan kortikosteroid oral memiliki efektivitas paling baik
dalam mengurangi inflamasi polip.(10,11)
Kortikosteroid

juga dapat diberikan secara intranasal dalam bentuk spray

steroid, yang dapat mengurangi atau menurunkan pertumbuhan polip nasi yang kecil,

22

tetapi secara relatif tidakefektif

untuk polip yang masif. Steroid intranasal paling

efektif pada periode post operatif untuk mencegah atau mengurangi relaps(10).
Pengobatan juga dapat ditujukan untuk mengurangi reaksi alergi pada polip
yang dihubungkan dengan rhinitis alergi. Pada penderita dapat diberikan antihistamin
oral untuk mengurangi reaksi inflamasi yang terjadi. Bila telah terjadi infeksi yang
ditandai dengan adanya sekret yang mukopurulen maka dapat diberikan antibiotik(11).
Steroid oral dan topikal di berikan pada pengobatan pertama pada nasal polip.
Antihistamin, dekongestan dan sodium cromolyn memberikan sedikit keuntungan.
Imunoterapi mungkin dapat berguna untuk pengobatan rhinitis alergi, tapi bila di
gunakan sendirian, tak dapat berguna pada polip yang telah ada, pemberian antibiotik
bila terjadi superimposed infeksi bakteri.(10,11)
Kortikosteroid adalah pengobatan pilihan, baik secara topikal maupun sistemik.
Injeksi langsung pada polip tidak dibenarkan oleh Food and Drug Administration
karena dilaporkan terdapat 3 pasien dengan kehilangan penglihatan unilateral setelah
injeksi intranasal langsung dengan kenalog. Keamanan mungkin tergantung pada
ukuran spesifik partikel. Berat molekuler yang besar seperti Aristocort lebih aman dan
sepertinya sedikit yang di pindahkan ke area intrakranial. Hindari injeksi langsung ke
dalam pembuluh darah.(16)
Steroid oral paling efektif pada pengobatan medis untuk nasal polipoid. Pada
dewasa penulis banyak menggunakan prednison (30-60mg) selama 4-7 hari dan
diturunkan selama 1-3 minggu. Variasi dosis pada anak-anak, tetapi maksimum
biasanya 1mg/kb/hari selama 5-7 hari dan diturunkan selama 1-3 minggu(16).
Respon dengan kortikosteroid tergambar dari ada atau tidaknya eosinofilia, jadi
pasien dengan polip dan rhinitis alergi atau asma seharusnya respon dengan pengobatan
ini. Pasien dengan polip yang sedikir eosinofil mungkin tidak respon terhadap steroids.
Penggunaan steroid oral jangka panjang tidak direkomendasikan karena efek
sampingnya yang merugikan ( seperti gangguan pertumbuhan, Diabetes Melitus,
hipertensi, gangguan psikis, gangguan pencernaan, katarak, glukoma, osteoporosis)(16).
Pemberian topikal kortikosteroid di berikan secara umum karena lebih sedikit
efek yang merugikan dibandingkan pemberian sistemik karena bioavaibilitasnya yang
terbatas. Pemberian jangka panjang khususnya dosis tinggi dan kombinasi dengan
23

kortikosteroid inhalasi, terdapat resiko penekanan hipotalamus-pituari-adrenal aksis,


pembentukan katarak, gangguan pertumbuhan, perdarahan hidung, dan pada jarang
kasus terjadi perforasi septum(16).
Kortikosteroid merupakan antiinflamasi yang biasa diberikan padapasien polip
hidung. Namun, memberikan efek samping yang serius seperti perdarahan usus bila
diberikan dalam dosis yang besar dan dalam waktu yang lama. Kortikosteroid juga
mempunyai efek anti inflamasi dan dikenal tidak memberikan efek samping pada
gastrointestinal.(14)
3.7.2. Pembedahan dilakukan jika:
1. Polip menghalangi saluran nafas
2. Polip menghalangi drainase dari sinus sehingga sering terjadi infeksi sinus
3. Polip berhubungan dengan tumor
4. Pada anak-anak dengan multipel polip atau kronik rhinosinusitis yang gagal
pengobatan maksimum dengan obat- obatan.
Tindakan pengangkatan polip atau polipektomi dapat dilakukan dengan
menggunakan senar polip dengan anestesi lokal, untuk polip yang besar tetapi belum
memadati rongga hidung. Polipektomi sederhana cukup efektif untuk memperbaiki
gejala pada hidung, khususnya padakasus polip yang tersembunyi atau polip yang
sedikit. Bedah sinus endoskopik (Endoscopic Sinus Surgery) merupakan teknik yang
lebih baik yang tidak hanya membuang polip tapi juga membuka celah di meatus
media, yang merupakan tempatasal polip yang tersering sehingga akan membantu
mengurangi angka kekambuhan. Surgical micro debridement merupakan prosedur yang
lebih aman dan cepat, pemotongan jaringan lebih akurat dan mengurangi perdarahan
dengan visualisasi yang lebih baik.(2,15)
Keputusan

atas pembedahan ditentukan dari penemuan CT-Scan sinus

paranasal sebelum operasi. Anterior ethmoidectomy, posterior ethmoidectomy,


antrostomy meatus medius dan pembersihann resesus frontalis dapat dilakukan pada
semua pasien.
3.8. Prognosis

24

Polip nasi dapat muncul kembali selama iritasi alergi masih tetap berlanjut.
Rekurensi dari polip umumnya terjadi bila adanya polip yang multipel. Polip tunggal
yang besar seperti polip antral-koanal jarang terjadi relaps(6).
Polip hidung sering tumbuh kembali, oleh karena itu pengobatannya juga perlu
ditujukan kepada penyebabnya, misalnya alergi. Terapi yang paling ideal pada rinitis
alergi adalah menghindari kontak dengan alergen penyebab dan eliminasi(6).
Secara medikamentosa, dapat diberikan antihistamin dengan atau tanpa
dekongestan yang berbentuk tetes hidung yang bisa mengandung kortikosteroid atau
tidak. Dan untuk alergi inhalan dengan gejala yang berat dan sudah berlangsung lama
dapat dilakukan imunoterapi dengan cara desensitisasi dan hiposensitisasi, yang
menjadi pilihan apabila pengobatan cara lain tidak memberikan hasil yang
memuaskan(9).

BAB IV
RINGKASAN
Polip nasi merupakan salah satu penyakit THT yang memberikan keluhan
sumbatan pada hidung yang menetap dan semakin lama semakin berat dirasakan.
Etiologi polip di literatur terbanyak merupakan akibat reaksi hipersensitivitas yaitu
pada proses alergi, sehingga banyak didapatkan bersamaan dengan adanya rinitis alergi.
Pada anamnesis pasien, didapatkan keluhan obstruksi hidung, anosmia, adanya riwayat
rinitis alergi, keluhan sakit kepala daerah frontal atau sekitar mata, adanya sekret
25

hidung. Pada pemeriksaan rinoskopi anterior ditemukan massa yang lunak, bertangkai,
mudah digerakkan, tidak ada nyeri tekan dan tidak mengecil pada pemberian
vasokonstriktor lokal.
Penatalaksanaan untuk polip nasi ini bisa secara konservatif maupun operatif,
yang biasanya dipilih dengan melihat ukuran polip itu sendiri dan keluhan dari pasien
sendiri. Pada pasien dengan riwayat rinitis alergi, polip nasi mempunyai kemungkinan
yang lebih besar untuk rekuren. Sehingga kemungkinan pasien harus menjalani
polipektomi beberapa kali dalam hidupnya.

DAFTAR PUSTAKA
1. Throat Departement, Medical Faculty,Hasanuddin University, Makassar The Indonesian
Journal of Medical Science Volume 1 No. 1 July-September 2008
2. Kevin T Kavanagh. Nasal polypectomy.All Rights Reserved www.ent-usa.com
3. Soetjipto D, Mangunkusumo Endang, Retno S.Wardani.dalam:Buku Ajar Ilmu
Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok edisi VI cetakan II. Balai Penerbit FK-UI,
Jakarta 2008.hal 118-122
26

4. Higler,

Peter.

Hidung

(Anatomi

dan

fisiologi

terapan).

Dalam:Effendi

H,

editor:BOEIS:Buku Ajar Penyakit THT.Edisi keenam.Philadelphia:WB Saunders


Company,1997.Hal 173-188
5. Ballenger, John Jacob. Diseaes of The Nose Throat Ear Head and Neck. Lea & Febiger
14th edition. Philadelphia 1991
6. Bechara Y Ghorayeb .Nasal polyps.http://www.otolaryngologyHouston.htm)
7. Alper Nabi Erkan, MD, zcan akmak, MD, and Nebil Bal, MD.Frontochoanal polyp
article by All Rights Reserved
8. John E McClay GOOD. Nasal Polyps. Associate Professor of Pediatric Otolaryngology,
Department of Otolaryngology-Head and Neck Surgery, Children's Hospital of Dallas,
University of Texas Southwestern Medical School. update Oct 22, 2008
9. Mangunkusumo,Endang, Retno S.Wardani.dalam:Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga
Hidung Tenggorok edisi VI cetakan II. Balai Penerbit FK-UI, Jakarta 2008.hal 123-125
10. J. Gulia, S. P. S. Yadav, N. Sharma, H. & A. Hooda. Ectopic Tooth In Osteomeatal
Complex Presenting With Nasal Polyps: A Case Report. The Internet Journal of
Otorhinolaryngology. 2010 Volume 12 Number 1
11. Bangladesh J Otorhinolaryngol,Article by :Abu Hena Mohammad Parvez Humayun1,
AHM Zahurul Huq2, SM Tarequddin Ahmed3, Md. Shah Kamal4, Kyaw Khin U3,
Nilakanta Bhattacharjee. Vol. 16, No. 1, April 2010
12. Fransina, R.Sedjawidada, Amsyar Akil, Fadjar Perkasa, Abdul Qadar Punagi Ear Nose
Throat Departement,

Medical Faculty,Hasanuddin University, Makassar. The

Indonesian Journal of Medical Science Volume 1 No. 1 July-September 2008.


13. S. P. Gulati, Anshu, R. Wadhera & A. Deeo : Efficacy of Functional Endoscopic Sinus
Surgery in the treatment of Ethmoidal polyps . The Internet Journal of
Otorhinolaryngology. 2007 Volume 7 Number 1
14. Immunologic factors in patients with chronic polypoid sinusitis. Nikakhlagh
S, Ghafourian-Boroujerdnia M, Saki N, Soltan-Moradi MR, Rahim F. Niger J
Med. 2010 Jul-Sep;19(3):316-9.
15. Soepardi, Efiaty. Iskandar, Nurbaiti. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung
Tenggorok edisi VII cetakan I. Balai Penerbit FK-UI, Jakarta 2012
16. Newton, J.R., Ah-See., 2008. A Review of Nasal Polyposis,Department of
Otolaryngology Head and Neck Surgery

27

17. Assanasen, P &Naclerio, RM. 2001. Medical and Nasal surgical management of nasal
polyps in Current opinion in Otolaryngology and Head and Neck Surgery. Lippincott
William and Wilkins Inc, p. 27-36.
18. Soetjipto, D. mangunkusumo, E. Wardani, R.Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung
Tenggorokan Kepala & Leher. 7th Ed. 2012. Badan Penerbit FKUI, Jakarta

28

Anda mungkin juga menyukai