POLIP NASI
Oleh :
N. Guruh Dirga Saputra 10700021
Andini Febriana
10700026
Kiki Megasari
10700157
Pembimbing :
Dr. Lenny B. Wuriningtyas Sp, THT-KL
BAB I
PENDAHULUAN
I. Latar Belakang
Sumbatan hidung adalah salah satu yang paling sering dikeluhkan ke dokter pada
pelayanan primer. Banyak faktor dan kondisi anatomi yang dapat menyebabkan
sumbatan hidung. Penyebab dari sumbatan hidung dapat struktur maupun sistemik.
Yang disebabkan struktur termasuk perubahan jaringan, trauma, gangguan congenital
sebab sistemik terkait dengan perubahan fisiologis dan patologis.. Pasien juga sering
mengeluhkan sakit kepala dan napas yang lebih sulit dan sensasi penuh pada wajah.
Polip merupakan salah satu dari penyebab rasa hidung tersumbat (1).
Polip nasal adalah masa polipoidal yang biasanya berasal dari membran mukosa
dari hidung dan sinus paranasal. Polip tumbuh melebihi dari mukosa yang sering
berhubungan rinitis alergi (1)
Patogenesis polip nasal adalah tidak diketahui, Polip hidung paling sering
bersamaan dengan rhinitis alergi dan kadang dengan fibrosis kistik, walaupun pada
dewasa terdapat angka yang siqnifikan di kaitkan dengan non alergi. Polip ini tidak ada
hubungan dengan colonic. Polip yang iregular unilateral yang dikaitkan dengan sakit
dan berdarah akan memerlukan investigasi penting mungkin merupakan presentasi dari
sebuah tumor intra nasal (1).
Polip hidung sampai saat ini masih merupakan masalah medis, selain itu juga
memberikan masalah sosial karena dapat mempengaruhi kualitas hidup penderitanya
seperti di sekolah, di tempat kerja, aktifitas harian dsb. Gejala utama yang paling sering
dirasakan adalah sumbatan di hidung yang menetap dan semakin lama semakin berat
keluhannya, hal ini dapat mengakibatkan hiposmia sampai anosmia. Bila menyumbat
ostium sinus paranasalis mengakibatkan terjadinya sinusitis dengan keluhan nyeri
kepala dan hidung berair (1).
Polip nasi merupakan salah satu penyakit yang cukup sering ditemukan di
bagian Telinga Hidung Tenggorok (THT). Keluhan pasien yang datang dapat berupa
sumbatan pada hidung yang makin lama semakin berat. Kemudian pasien juga
mengeluhkan adanya gangguan penciuman dan sakit kepala. Untuk mengetahui massa
di rongga hidung merupakan polip atau bukan selain perlu dikuasai anatomi hidung
juga perlu dikuasai cara pemeriksaan yang dapat menyingkirkan kemungkinan diagnosa
lain. Di dalam referat ini akan dijelaskan mengenai anatomi, fisiologi hidung serta
patofisiologi, gejala klinis, pemeriksaan dan penatalaksanaan pada polip nasi.(2)
BAB II
3
2. 1. Anatomi Hidung
2. 1. 1 Hidung Luar
2.
Dorsum nasi
3.
Puncak hidung
4.
Ala nasi
5.
Kolumela
6.
Kerangka tulang rawan terdiri dari beberapa pasang tulang rawan yang terletak di
bagian bawah hidung, yaitu (4):
1.
2.
3.
Batas atas nasi eksternus melekat pada os frontal sebagai radiks (akar), antara
radiks sampai apeks (puncak) disebut dorsum nasi. Lubang yang terdapat pada bagian
inferior disebut nares, yang dibatasi oleh(4,5) :
5
- Inferior : kartilago septi nasi, kartilago nasi lateralis, kartilago alaris mayor dan
kartilago alaris minor
Dengan adanya kartilago tersebut maka nasi eksternus bagian inferior menjadi
fleksibel(4).
Perdarahan :
Arteri yang paling penting pada perdarahan hidung luar adalah A. Nasalis
anterior (cabang A. Etmoidalis yang merupakan cabang dari A. Oftalmika, cabang
dari a. Karotis interna). A. Nasalis posterior (cabang A.Sfenopalatinum, cabang
dari A. Maksilaris interna, cabang dari A. Karotis interna). A. Angularis (cabang
dari A. Fasialis)
Persarafan :
Saraf yang paling penting pada hidung luar adalah cabang dari N.
Oftalmikus (N. Supratroklearis, N. Infratroklearis). Cabang dari N. Maksilaris
(ramus eksternus N. Etmoidalis anterior)
2. 1. 2 Hidung dalam
trauma dapat sedemikian hebatnya sehingga menggangu aliran udara dan perlu
dikoreksi secara bedah. Konka di dekatnya dapat mengkompensasi bila kelainan
septum tidak terlalu berat, dengan memperbesar ukurannya pada sisi yang konkaf dan
mengecil pada sisi lainnya, sedemikian rupa agar dapat mempertahankan lebar rongga
udara yang optimum. Jadi, meskipun septum nasi bengkok, aliran udara masih akan ada
dan normal. Daerah jaringan erektil pada kedua sisi septum berfungsi mengatur
ketebalan dalam berbagai kondisi atmosfer yang berbeda(3,4)
2. 1. 2 Kavum nasi
Kavum nasi atau rongga hidung berbentuk terowongan dari depan ke belakang
dipisahkan oleh septum nasi di bagian tengahnya menjadi kavum nasi kanan dan kiri.
Pintu atau lubang masuk kavum nasi bagian depan disebut nares anterior dan lubang
belakang disebut nares posterior (koana) yang menghubungkan kavum nasi dengan
nasofaring.
Batas batas kavum nasi:
1. Posterior
2. Atap
bentuknya konkaf dan bagian dasar ini lebih lebar daripada bagian atap.
Bagian ini dipisahkan dengan kavum oris oleh palatum durum.
2. Medial
(dekstra dan sinistra), pada bagian bawah apeks nasi, septum nasi dilapisi
oleh kulit, jaringan subkutan dan kartilago alaris mayor. Bagian dari septum
yang terdiri dari kartilago ini disebut sebagai septum pars membranosa =
kolumna = kolumela.
3. Lateral
media, konka superior dan konka suprema yang merupakan konka terkecil dan
biasanya rudimenter.
Konka nasalis suprema, superior dan media merupakan tonjolan dari tulang
etmoid. Sedangkan konka nasalis inferior merupakan tulang yang terpisah. Ruangan di
atas dan belakang konka nasalis superior adalah resesus sfeno-etmoid yang
8
berhubungan dengan sinis sfenoid. Kadang kadang konka nasalis suprema dan meatus
nasi suprema terletak di bagian ini(4).
Perdarahan :
tekanan dan kecepatan aliran udara, demikian pula suhu, dan derajat kelembaban udara.
Jadi, mukosa pada ujung anterior konka dan septum sedikit melampaui os internum
masih dilapisi oleh epitel berlapis gepeng tanpa silia lanjutan epitel kulit vestibulum
nasi. Sepanjang jalur utama arus inspirasi epitel menjadi toraks; silia pendek dan agak
iregular. Sel-sel meatus media dan interior yang terutama menangani arus ekspirasi
memiliki silia yang panjang yang tersusun rapi. Sinus mengandung epitel kubus dan
silia yangg sama panjang dan jarak antaranya. Kekuatan aliran udara yang melewati
berbagai lokasi juga mempengaruhi ketebalan lamina propria dan jumlah kelenjar
mukosa (4).
Lamina propria tipis pada daerah di mana aliranudara lambat dan lemah,namun
di daerah aliran udara yang kuat. Jumlah kelenjar penghasil sekret dan sel goblet, yaitu
sumber dari lapisan mukus, sebanding dengan ketebalan laimna propria. Lapisan mukus
yang sangat kental dan lengket menangkap debu, benda asing dan bakteri yang terhirup,
dan melalui kerja silia benda-benda ini diangkut ke faring, selanjutnya ditelan dan
dihancurkan dilambung. Lisozim dan imunoglobulin A (IgA) ditemukan pula dalam
lapisan mukus, dan melindungi lebih lanjut terhadap patogen. Lapisan mukus hidung
diperbarui tiga sampai empat kali dalam satu jam. Silia struktur kecil mirip rambut
bergerak serempak secara cepat ke arah aliran lapisan, kemudian membengkok dan
10
kembali tegak dengan lebih lambat. Kecepatan pukulan silia kira-kira 700-1000 siklus
per menit.(4)
Dalam keadaan normal mukosa berwarna merah muda dan selalu basah karena
diliputi oleh palut lendir (mucous blanket) pada permukaannya. Palut lendir ini
dihasilkan oleh kelenjar mukosa dan sel goblet.(4,5)
2.2.2
Silia
Silia yang panjangnya sekitar 5-7 mikron terletak pada lamina akhir sel-sel
permukaan eptelium dan jumlahnya sekitar 100 per mikron persegi, atau sekitar 250 per
sel pada saluran pernapasan atas (3).
Silia terbentuk dari dua mikrotubulus sentral tunggal yang dikelilingi sembilan
pasang mikrotubulus, semuanya terbungkus dalam membran sel berlapis tiga yang tipis
dan rapuh. Masing-masing silium terdiri dari suatu batang, ujung yang makin mengecil,
dan korpus basalis. Tidak semua mikrotubulus berlanjut hingga ke ujung silia. Kedua
mikrotubulus sentral tunggal tidak melewati bagian bawah permukaan sel. Namun,
tepat dibawah permukaan sel, tiap pasang mikrotubulus perifer bergabung dengan
mikrotubulus ketiga dalam korpus basalis, yaitu struktur yang ditemukan dalam
sitoplasma apikal. Triplet ini terus berjalan turun ke dalam sitoplasma apikal sebagai
radiks silia, dan perlahan-lahan menghilang.(3,5)
Dalam hal melecut, masing-masing silia tidak hanya bergerak ke depan dan ke
belakang seperti tangkai gandum di ladang. Tiap lecutan memiliki suatu fase dengan
kekuatan penuh yang berlangsung cepat searah aliran di mana silium tegak dan kaku,
yang dikuti suatu fase pemulihan yang lebih lambat dimana silium membengkok.
Hubungan waktu antara fase efektif dan fase pemulihan tengah diteliti dengan
percobaan memakai tikus. Rasionya adalah 1:3, yaitu fase efektif memerlukan sepertiga
dari waktu fase pemulihan. Lecutan itu bukannya tidak mirip kayuhan lengan perenang
(5)
vesikel olfaktorius. Pada manusia, epitel penhidu bertingkat toraks terdiri dari tiga jenis
sel sel saraf bipolar olfaktorius, sel sustentakular penyokong yang besar jumlahnya, dan
sejumlah sel basal yang kecil, agaknya merupakan sel induk dari sel sustentakuler (3).
Masing-masing sel olfaktorius merupakan suatu neuron bipolar. Dalam lapisan
epitel, sel-sel ini tersebar merata di antara sel-sel penyokong. Sel-sel penghidu ini
merupakan satu-satunya bagian sistem saraf pusat yang mencapai permukaan tubuh.
Ujung distal sel ini merupakan suatu dendrit yang telah mengalami modifikasi yang
menonjol di atas permukaan epitel, membentuk apa yang disebut vesikel olfaktorius.
Pada permukaan vesikel terdapat 10 sampai 15 silia non motil (5).
Ujung proksimal sel mengecil membentuk suatu tonjolan yang halus
berdiameter sekitar 0,1 mikron, yaitu aksonnya. Akson ini bergabung dengan akson
lainnya membentuk saraf olfaktorius, yang menembus lamina kribriformis dan
membentuk bulbus olfaktorius dimana terjadi sinaps dengan dendrit neuron kedua.
Akson-akson neuron kedua mebentuk traktus olfaktorius, yang berjalan ke otak untuk
berhubungan dengan sejumlah nuklei, fasikuli dan traktus lainnya. Aparatus olfaktorius
sentral merupakan struktur yang sangat kompleks.(3,5)
2.3.Fisiologi hidung
Berdasarkan teori struktural, teori evolusioner dan teori fungsional, fungsi
fisiologis hidung dan sinus paranasal adalah :1) fungsi respirasi untuk mengatur kondisi
udara (air conditioning), penyaring udara,humdufikasi, penyeimbang dalam pertukaran
tekanan dan mekanisme imunoligik local. 2) fungsi penghidu karena terdapatnya mukosa
olfaktorius dan reservoir udara untuk menampung stimulus penghidu 3) fungsi fonetik
yang berguna untuk resonansi suara, membantu proses bicara dan mencegahhantaran
suara sendiri melalui konduksi tulang 4) fungsi statik dan mekanik untuk meringankan
beban kepala, proteksi terhadap trauma dan pelindung panas. 5) Refleks nasal (18)
dihirup akan mengalami humidifikasi oleh parut lendir. Pada musim panas,
udarahampir jenuh oleh uap air sehingga terjadi sedikit penguapan udara inspirasi oleh
parut lendir,sedangkan pada musim dingin akan terjadi sebaliknya.Suhu udara yang
melalui hidung diatur sehingga berkisar 37 derajat celcius. Fungsi pengatur suhu ini
dimungkinkan oleh banyaknya pembuluh darah di bawah epitel dan adanya permukaan
konkadan septum yang luas.Partikel debu, virus, bakteri dan jamur yang terhirup
bersama udara akan disaring di hidungoleh :a.Rambut (vibrisssae) pada vestibulum
nasi b.Siliac.Parut lendir Debu dan bakteri akan melekat pada parut lendir dan partikelpartikel yang besar akandikeluarkan dengan refleks bersin. (18)
2.3.2 Fungsi Penghidu
Hidung juga bekerja sebagai indra penghidu dan pengecap dengan adanya
mukosa olfaktorius pada atap rongga hidung, konka superior dan sepertiga bagian atas
septum.Partikel bau dapat mencapai daerah ini dengan cara difusi dengan palut lendir
atau bilamenarik napas dengan kuat.Fungsi hidung untuk membantu indra pengecap
adalah untuk membedakan rasa manis yang berasal dari berbagai macam bahan seperti
perbedaan rasa manis stawberri, jeruk, pisang atau coklat.Juga untuk membedakan rasa
asam yang berasal dari cuka dan asam jawa. (18)
2.3.3 Fungsi Fonetik
Resonansi oleh hidung penting untuk kualitas suara ketika berbicara dan
menyanyi. Sumbatanhidung akan menyebabkan resonansi berkurang atau hilang
sehingga terdengar suara sengau(rinolalia).Hidung membantu pembentukan konsonan
nasal (m, n , ng), rongga mulut tertutup dan hidungterbuka dan palatum mole turun
untuk aliran udara. (18)
13
bersin dan napas berhenti. Rangsang bau tertentu akan menyebabkan sekresi kelenjar
liur,lambung dan pankreas. (18)
BAB III
POLIP NASI
3.1 Definisi
14
Polip nasi merupakan kelainan mukosa hidung berupa massa lunak yang
bertangkai, berbentuk bulat atau lonjong, berwarna putih keabuan, dengan permukaan
licin dan agak bening karena mengandung banyak cairan. Polip nasi bukan merupakan
penyakit tersendiri tapi merupakan manifestasi klinik dari berbagai macam penyakit
dan sering dihubungkan dengan sinusitis, rhinitis alergi, fibrosis kistik dan asma(2).
Polip yang multipel dapat timbul pada anak-anak dengan sinusitis kronik,
rhinitis alergi, fibrosis kistik atau sinuisitis jamur alergi. Polip sangat bervariasi pada
setiap individu, polip dapat berupa polip antro-koanal, polip jinak yang besar ataupun
polip multipel yang dapat merupakan lesi jinak atau merupakan suatu keganasan
seperti: glioma, hemangioma, papiloma, limfoma, neuroblastoma, sarcoma, karsinoma
nasofaring dan papiloma inverted.(2)
Tumbuhnya polip terutama di bagian-bagian sempit di bagian atas hidung, di
bagian lateral konka media, dan sekitar muara sinus maksila dan sinus etmoid. Di tempat
inilah mukosa hidung saling berdekatan. Bila ada fasilitas pemeriksaan dengan endoskop,
mungkin tempat asal tangkai polip dapat dilihat.(4)
3.2. Etiologi
Polip hidung biasanya terbentuk sebagai akibat reaksi hipersensitif atau reaksi
alergi pada mukosa hidung. Peranan infeksi pada pembentukan polip hidung belum
diketahui dengan pasti. Polip berasal dari pembengkakan lapisan permukaan mukosa
hidung atau sinus, yang kemudian menonjol dan turun ke dalam rongga hidung oleh
gaya berat. Polip banyak mengandung cairan interseluler dan sel radang (neutrofil dan
eosinofil) dan tidak mempunyai ujung saraf atau pembuluh darah. Polip biasanya
ditemukan pada orang dewasa dan jarang pada anak anak. Pada anak anak, polip
mungkin merupakan gejala dari kistik fibrosis(8).
2.
Sinusitis kronik.
15
3.
Iritasi.
4.
hipertrofi konka.
Etiologi yang pasti belum diketahui tetapi ada 3 faktor penting pada terjadinya
polip, yaitu(8) :
1.
Adanya peradangan kronik yang berulang pada mukosa hidung dan sinus.
2.
3.
16
perennial yang banyak terdapat di Indonesia karena tidak adanya variasi musim
sehingga alergen terdapat sepanjang tahun. Begitu sampai dalam kavum nasi, polip
akan terus membesar dan bisa menyebabkan obstruksi di meatus media(1).
3.3.1 Makroskopis
Secara makroskopis polip merupakan massa bertangkai dengan permukaan
licin, berbentuk bulat atau lonjong, berwarna putih keabu-abuan,agak bening, lobular,
dapat tunggal atau multipel dan tidak sensitif (bila ditekan/ditusuk tidak terasa sakit).
Warna polip yang pucat tersebut disebabkan karena mengandung banyak cairan dan
sedikitnya aliran darah ke polip.bila terjadi iritasi kronis atau proses peradangan warna
polip dapat berubah menjadi kemerah-merahan dan polip yang sudah menahun
warnanya dapat menjadi kekuning-kuningan karena banyak mengandung jaringan
ikat(11).
17
polip antro-koana. Ada juga sebagian kecil polip koana yang berasal dari sinus
etmoid(11).
3.3.2 Mikroskopis
Secara mikroskopis tampak epitel pada polip serupa dengan mukosa hidung
normal yaitu epitel bertingkat semu bersilia dengan submukosa yang sembab. Selselnya terdiri dari limfosit, sel plasma, eosinofil, neutrofil dan makrofag. Mukosa
mengandung sel-sel goblet. Pembuluh darah, saraf dan kelenjar sangat sedikit. Polip
yang sudah lama dapat mengalami metaplasia epitel karena sering terkena aliran udara,
menjadi epitel transisional, kubik atau gepeng berlapis tanpa keratinisasi(11).
Berdasarkan jenis sel peradangannya, polip dikelompokkan menjadi 2, yaitu
polip tipe eosinofilik dan tipe neutrofilik.
Gambar 6. Gambaran endoskopi
cavum
nasi
kiri,
menunjukkan
polip
Antrochoanal polip adalah polip soliter yang tumbuh dari antrum maksila.
Killian 1906 adalah orng pertama yang menemukan antrochoanal polip. Walaupun
etiologinya belum diketahui secara pasti, namun alergi dapat dijadikan salah satu faktor
pencetus. Polip tersebut keluar dari antrum maksila dan dapat prolaps melalui ostium
asesorius kedalam kavum nasi dan membesar ke arah posterior koana dan nasofaring.(8)
18
v Gangguan tidur
v Penurunan kualitas hidup
3.4.2 Gejala Objektif(11)
v Oedema mukosa hidung
v Submukosa hipertropi dan tampak sembab
v Terlihat masa lunak yang berwarna putih atau kebiruan
v Bertangkai
Bila penyebabnya adalah alergi, maka gejala yang utama ialah bersin dan iritasi
di hidung. Pada rinoskopi anterior polip hidung seringkali harus dibedakan dari konka
hidung yang menyerupai polip (konka polipoid). Perbedaan antara polip dan konka
polipoid ialah :
Polip :
- Bertangkai
- Mudah digerakkan
- Konsistensi lunak
- Tidak nyeri bila ditekan
- Tidak mudah berdarah
- Pada pemakaian vasokonstriktor (kapas adrenalin) tidak mengecil
3.5. Diagnosis
3.5.1 Anamnesa
Keluhan utama penderita polip nasi adalah hidung rasa tersumbat dari ringan
hingga berat, rinore yang jernih hingga purulen, hipoosmia atau anosmia. Dapat juga
disertai bersin-bersin, rasa nyeri dihidung disertai sakit kepala di daerah frontal. Bila
disertai infeksi sekunder mungkin didapati post nasal drip dan rinore purulen. Gejala
sekunder yang dapat timbul adalah bernafas melalui mulut, suara sengau, halitosis,
gangguan tidur dan penurunan kualitas hidup. Selain itu dapat juga menyebabkan gejala
pada saluran napas bawah, berupa batuk kronik dan mengi, terutama dengan asma(15).
3.5.2. Pemeriksaan Fisik
20
anterior
tetapi
tampak
dengan
pemeriksaan
nasoendoskopi.
21
medikamentosa, jika ada komplikasi dari sinusitis dan pada perencanaan tindakan
bedah terutama bedah endoskopi
3.6. Diagnosis Banding
Diagnosis banding polip yaitu konka polipoid, yang ciri cirinya sebagai
berikut(15) :
-
Tidak bertangkai
Sukar digerakkan
Mudah berdarah
steroid, yang dapat mengurangi atau menurunkan pertumbuhan polip nasi yang kecil,
22
efektif pada periode post operatif untuk mencegah atau mengurangi relaps(10).
Pengobatan juga dapat ditujukan untuk mengurangi reaksi alergi pada polip
yang dihubungkan dengan rhinitis alergi. Pada penderita dapat diberikan antihistamin
oral untuk mengurangi reaksi inflamasi yang terjadi. Bila telah terjadi infeksi yang
ditandai dengan adanya sekret yang mukopurulen maka dapat diberikan antibiotik(11).
Steroid oral dan topikal di berikan pada pengobatan pertama pada nasal polip.
Antihistamin, dekongestan dan sodium cromolyn memberikan sedikit keuntungan.
Imunoterapi mungkin dapat berguna untuk pengobatan rhinitis alergi, tapi bila di
gunakan sendirian, tak dapat berguna pada polip yang telah ada, pemberian antibiotik
bila terjadi superimposed infeksi bakteri.(10,11)
Kortikosteroid adalah pengobatan pilihan, baik secara topikal maupun sistemik.
Injeksi langsung pada polip tidak dibenarkan oleh Food and Drug Administration
karena dilaporkan terdapat 3 pasien dengan kehilangan penglihatan unilateral setelah
injeksi intranasal langsung dengan kenalog. Keamanan mungkin tergantung pada
ukuran spesifik partikel. Berat molekuler yang besar seperti Aristocort lebih aman dan
sepertinya sedikit yang di pindahkan ke area intrakranial. Hindari injeksi langsung ke
dalam pembuluh darah.(16)
Steroid oral paling efektif pada pengobatan medis untuk nasal polipoid. Pada
dewasa penulis banyak menggunakan prednison (30-60mg) selama 4-7 hari dan
diturunkan selama 1-3 minggu. Variasi dosis pada anak-anak, tetapi maksimum
biasanya 1mg/kb/hari selama 5-7 hari dan diturunkan selama 1-3 minggu(16).
Respon dengan kortikosteroid tergambar dari ada atau tidaknya eosinofilia, jadi
pasien dengan polip dan rhinitis alergi atau asma seharusnya respon dengan pengobatan
ini. Pasien dengan polip yang sedikir eosinofil mungkin tidak respon terhadap steroids.
Penggunaan steroid oral jangka panjang tidak direkomendasikan karena efek
sampingnya yang merugikan ( seperti gangguan pertumbuhan, Diabetes Melitus,
hipertensi, gangguan psikis, gangguan pencernaan, katarak, glukoma, osteoporosis)(16).
Pemberian topikal kortikosteroid di berikan secara umum karena lebih sedikit
efek yang merugikan dibandingkan pemberian sistemik karena bioavaibilitasnya yang
terbatas. Pemberian jangka panjang khususnya dosis tinggi dan kombinasi dengan
23
24
Polip nasi dapat muncul kembali selama iritasi alergi masih tetap berlanjut.
Rekurensi dari polip umumnya terjadi bila adanya polip yang multipel. Polip tunggal
yang besar seperti polip antral-koanal jarang terjadi relaps(6).
Polip hidung sering tumbuh kembali, oleh karena itu pengobatannya juga perlu
ditujukan kepada penyebabnya, misalnya alergi. Terapi yang paling ideal pada rinitis
alergi adalah menghindari kontak dengan alergen penyebab dan eliminasi(6).
Secara medikamentosa, dapat diberikan antihistamin dengan atau tanpa
dekongestan yang berbentuk tetes hidung yang bisa mengandung kortikosteroid atau
tidak. Dan untuk alergi inhalan dengan gejala yang berat dan sudah berlangsung lama
dapat dilakukan imunoterapi dengan cara desensitisasi dan hiposensitisasi, yang
menjadi pilihan apabila pengobatan cara lain tidak memberikan hasil yang
memuaskan(9).
BAB IV
RINGKASAN
Polip nasi merupakan salah satu penyakit THT yang memberikan keluhan
sumbatan pada hidung yang menetap dan semakin lama semakin berat dirasakan.
Etiologi polip di literatur terbanyak merupakan akibat reaksi hipersensitivitas yaitu
pada proses alergi, sehingga banyak didapatkan bersamaan dengan adanya rinitis alergi.
Pada anamnesis pasien, didapatkan keluhan obstruksi hidung, anosmia, adanya riwayat
rinitis alergi, keluhan sakit kepala daerah frontal atau sekitar mata, adanya sekret
25
hidung. Pada pemeriksaan rinoskopi anterior ditemukan massa yang lunak, bertangkai,
mudah digerakkan, tidak ada nyeri tekan dan tidak mengecil pada pemberian
vasokonstriktor lokal.
Penatalaksanaan untuk polip nasi ini bisa secara konservatif maupun operatif,
yang biasanya dipilih dengan melihat ukuran polip itu sendiri dan keluhan dari pasien
sendiri. Pada pasien dengan riwayat rinitis alergi, polip nasi mempunyai kemungkinan
yang lebih besar untuk rekuren. Sehingga kemungkinan pasien harus menjalani
polipektomi beberapa kali dalam hidupnya.
DAFTAR PUSTAKA
1. Throat Departement, Medical Faculty,Hasanuddin University, Makassar The Indonesian
Journal of Medical Science Volume 1 No. 1 July-September 2008
2. Kevin T Kavanagh. Nasal polypectomy.All Rights Reserved www.ent-usa.com
3. Soetjipto D, Mangunkusumo Endang, Retno S.Wardani.dalam:Buku Ajar Ilmu
Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok edisi VI cetakan II. Balai Penerbit FK-UI,
Jakarta 2008.hal 118-122
26
4. Higler,
Peter.
Hidung
(Anatomi
dan
fisiologi
terapan).
Dalam:Effendi
H,
27
17. Assanasen, P &Naclerio, RM. 2001. Medical and Nasal surgical management of nasal
polyps in Current opinion in Otolaryngology and Head and Neck Surgery. Lippincott
William and Wilkins Inc, p. 27-36.
18. Soetjipto, D. mangunkusumo, E. Wardani, R.Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung
Tenggorokan Kepala & Leher. 7th Ed. 2012. Badan Penerbit FKUI, Jakarta
28