Anda di halaman 1dari 19

TINJAUAN PUSTAKA

I. PENDAHULUAN
Tetanus adalah suatu toksemia akut yang disebabkan oleh neurotoksin yang
dihasilkan oleh Clostridium tetani ditandai dengan spasme otot yang periodik dan berat.(5)
Tetanus ini biasanya akut dan menimbulkan paralitik spastik yang disebabkan
tetanospasmin. Tetanospamin merupakan neurotoksin yang diproduksi oleh Clostridium
tetani.(6,7)
Tetanus disebut juga dengan "Seven day Disease". Dan pada tahun 1890,
diketemukan toksin seperti strichnine, kemudian dikenal dengan tetanospasmin, yang
diisolasi dari tanah anaerob yang mengandung bakteri. lmunisasi dengan mengaktivasi
derivat tersebut menghasilkan pencegahan dari tetanus. (1)
Spora Clostridium tetani biasanya masuk kedalam tubuh melalui luka pada kulit oleh
karena terpotong , tertusuk ataupun luka bakar serta pada infeksi tali pusat (Tetanus
Neonatorum). (1)

II. ETIOLOGI
Tetanus disebabkan oleh bakteri gram positif; Cloastridium tetani. Bakteri ini
berspora, dijumpai pada tinja binatang terutama kuda, juga bisa pada manusia dan juga pada
tanah yang terkontaminasi dengan tinja binatang tersebut. Spora ini bisa tahan beberapa
bulan bahkan beberapa tahun, jika ia menginfeksi luka seseorang atau bersamaan dengan
benda daging atau bakteri lain, ia akan memasuki tubuh penderita tersebut, lalu
mengeluarkan toksin yang bernama tetanospasmin(2)

Pada negara belum berkembang, tetanus sering dijumpai pada neonatus, bakteri
masuk melalui tali pusat sewaktu persalinan yang tidak baik, tetanus ini dikenal dengan nama
tetanus neonatorum. C. tetani dapat menghasilkan dua jenis eksotoksin, yaitu tetanolisin dan
tetanospasmin. Efek tetanolisin masih belum diketahui pasti. Tetanospasmin merupakan
neurotoksin penyebab manifestasi klinis infeksi tetanus. (2)

9
III. PATOFISIOLOGI

Clostridium tetani masuk ke dalam tubuh manusia melalui luka. Semua jenis luka
dapat terinfeksi oleh kuman tetanus seperti luka laserasi, luka tusuk, luka tembak, luka bakar,
luka gigit oleh manusia atau binatang, luka suntikan dan sebagainya. Pada 60 % dari pasien
tetanus, port d’entre terdapat didaerah kaki terutama pada luka tusuk. Infeksi tetanus dapat
juga terjadi melalui uterus sesudah persalinan atau abortus provokatus. Pada bayi baru
lahir Clostridium tetani dapat melalui umbilikus setelah tali pusat dipotong tanpa
memperhatikan kaidah asepsis antisepsis. Otitis media atau gigi berlubang dapat dianggap
sebagai port d’entre, bila pada pasien tetanus tersebut tidak dijumpai luka yang diperkirakan
sebagai tempat masuknya kuman tetanus. Bentuk spora akan berubah menjadi bentuk
vegetatif bila lingkungannya memungkinkan untuk perubahan bentuk tersebut dan kemudian
mengeluarkan eksotoksin. Kuman tetanusnya sendiri tetap tinggal di daerah luka, tidak ada
penyebaran kuman. Kuman ini membentuk dua macam eksotoksin yang dihasilkan yaitu
tetanolisin dan tetanospasmin. Tetanolisin dalam percobaan dapat menghancurkan sel darah
merah tetapi tidak menimbulkan tetanus secara langsung melainkan menambah optimal
kondisi lokal untuk berkembangnya bakteri. Tetanospasmin terdiri dari protein yang bersifat
toksik terhadap sel saraf. Toksin ini diabsorbsi oleh end organ saraf di ujung saraf motorik
dan diteruskan melalui saraf sampai sel ganglion dan susunan saraf pusat. Bila telah
mencapai susunan saraf pusat dan terikat dengan sel saraf, toksin tersebut tidak dapat
dinetralkan lagi. Saraf yang terpotong atau berdegenerasi, lambat menyerap toksin,
sedangkan saraf sensorik sama sekali tidak menyerap. (2)

Tetanus disebabkan neurotoksin (tetanospasmin) dari bakteri Gram positif anaerob,


Clostridium tetani, dengan mula-mula 1 hingga 2 minggu setelah inokulasi bentuk spora ke
dalam tubuh yang mengalami cedera/luka (masa inkubasi). Penyakit ini merupakan 1 dari 4
penyakit penting yang manifestasi klinis utamanya adalah hasil dari pengaruh
kekuatan eksotoksin (tetanus, gas ganggren, dipteri, botulisme). Tempat masuknya
kuman penyakit ini bisa berupa luka yang dalam yang berhubungan dengan kerusakan
jaringan lokal, tertanamnya benda asing atau sepsis dengan kontaminasi tanah, lecet yang
dangkal dan kecil atau luka geser yang terkontaminasi tanah, trauma pada jari tangan atau

10
jari kaki yang berhubungan dengan patah tulang jari dan luka pada pembedahan dan
pemotongan tali pusat yang tidak steril(2).

Pada keadaan anaerobik, spora bakteri ini akan bergerminasi menjadi


sel vegetatif bila dalam lingkungan yang anaerob, dengan tekanan oksigen jaringan yang
rendah. Selanjutnya, toksin akan diproduksi dan menyebar ke seluruh bagian tubuh
melalui peredaran darah dan sistem limpa. Toksin tersebut akan beraktivitas pada tempat-
tempat tertentu seperti pusat sistem saraf termasuk otak. Gejala klinis timbul sebagai dampak
eksotoksin pada sinaps ganglion spinal dan neuromuscular junction serta syaraf autonom.
Toksin dari tempat luka menyebar ke motor endplate dan setelah masuk lewat ganglioside
dijalarkan secara intraaxonal ke dalam sel saraf tepi, kemudian ke kornu anterior sumsum
tulang belakang. Akhirnya menyebar ke SSP. Gejala klinis yang ditimbulakan dari
eksotoksin terhadap susunan saraf tepi dan pusat tersebut adalah dengan memblok pelepasan
dari neurotransmiter sehingga terjadi kontraksi otot yang tidak terkontrol/ eksitasi terus
menerus dan spasme. Neuron ini menjadi tidak mampu untuk melepaskan neurotransmitter.
Neuron, yang melepaskan gamma aminobutyric acid (GABA) dan glisin, neurotransmitter
inhibitor utama, sangat sensitif terhadap tetanospasmin, menyebabkan kegagalan
penghambatan refleks respon motorik terhadap rangsangan sensoris. Kekakuan mulai pada
tempat masuknya kuman atau pada otot masseter (trismus), pada saat toxin masuk ke
sumsum tulang belakang terjadi kekakuan yang berat, pada extremitas, otot-otot bergaris
pada dada, perut dan mulai timbul kejang. Bilamana toksin mencapai korteks serebri,
menderita akan mulai mengalami kejang umum yang spontan. Karakteristik dari spasme
tetani ialah menyebabkan kontraksi umum kejang otot agonis dan antagonis. Racun atau
neurotoksin ini pertama kali menyerang saraf tepi terpendek yang berasal dari system saraf
kranial, dengan gejala awal distorsi wajah dan punggung serta kekakuan dari otot leher. (2)

Tetanospasmin pada system saraf otonom juga berpengaruh, sehingga terjadi


gangguan pernapasan, metabolism, hemodinamika, hormonal, saluran cerna, saluran kemih,
dan neuromuscular. Spasme larynx, hipertensi, gangguan irama janjung, hiperflexi,
hyperhidrosis merupakan penyulit akibat gangguan saraf otonom, yang dulu jarang karena
penderita sudah meninggal sebelum gejala timbul. Dengan penggunaan diazepam dosis

11
tinggi dan pernapasan mekanik, kejang dapat diatasi namun gangguan saraf otonom harus
dikenali dan di kelola dengan teliti.(3)

Tetanospasmin adalah toksin yang menyebabkan spasme, bekerja pada beberapa


level dari susunan syaraf pusat, dengan cara : (3)

 Toksin menghalangi neuromuscular transmission dengan cara menghambat


pelepasan acethyl-choline dari terminal nerve di otot.
 Karakteristik spasme dari tetanus terjadi karena toksin mengganggu fungsi
dari refleks synaptik di spinal cord. (3)

Beberapa penderita mengalami gangguan dari Autonomik Nervous System (ANS )


dengan gejala : berkeringat, hipertensi yang fluktuasi, periodisiti takikardia, aritmia jantung,
peninggian cathecholamine dalam urine. (3)

Timbulnya kegagalan mekanisme inhibisi yang normal, yang menyebabkan


meningkatnya aktifitas dari neuron yang mensarafi otot masetter sehingga terjadi trismus.
Oleh karena otot masetter adalah otot yang paling sensitif terhadap toksin tetanus tersebut.
Stimuli terhadap afferen tidak hanya menimbulkan kontraksi yang kuat, tetapi juga
dihilangkannya kontraksi agonis dan antagonis sehingga timbul spasme otot yang khas. Ada
dua hipotesis tentang cara bekerjanya toksin, yaitu:

 Toksin diabsorbsi pada ujung syaraf motorik dari melalui sumbu silindrik
dibawa ke kornu anterior susunan saraf pusat
 Toksin diabsorbsi oleh susunan limfatik, masuk kedalam sirkulasi darah
arteri kemudian masuk kedalam susunan saraf pusat. (3)

Akibat dari tetanus adalah rigid paralysis (kehilangan kemampuan untuk bergerak)
pada voluntary muscles (otot yang geraknya dapat dikontrol), sering disebut lockjaw karena
biasanya pertama kali muncul pada otot rahang dan wajah. Kematian biasanya disebabkan
oleh kegagalan pernafasan dan rasio kematian sangatlah tinggi. (3)

12
IV. GEJALA KLINIS
Masa inkubasi (rentang waktu antara trauma dengan gejala pertama) tetanus rata-rata
7-10 hari dengan rentang 1-60 hari. Onset (rentang waktu antara gejala pertama dengan
spasme pertama) bervariasi berkisar antara 1-7 hari. Masa inkubasi & onset yang lebih
pendek berhubungan dengan tingkat keparahan penyakit yang lebih berat. (3)

Ada empat bentuk tetanus yang dikenal secara klinis, yakni

1. Tetanus Lokal

2. Tetanus Sefalik

3. Tetanus Umum/generalisata

4. Tetanus Neonatorum(3)

Tetanus memiliki gambaran klinis dengan ciri khas trias rigiditas otot, spasme otot,
dan ketidakstabilan otonom. Gejala awalnya meliputi kekakuan otot, lebih dahulu pada
kelompok otot dengan jalur neuronal pendek, karena itu yang tampak pada lebih dari 90%
kasus saat masuk rumah sakit adalah trismus, kaku leher, dan nyeri punggung. Keterlibatan
otot-otot wajah dan faringeal menimbulkan ciri khas risus sardonicus, sakit tenggorokan,
dan disfagia. Peningkatan tonus otot-otot trunkal mengakibatkan opistotonus. Kelompok
otot yang berdekatan dengan tempat infeksi sering terlibat, menghasilkan penampakan tidak
simetris. Spasme otot muncul spontan, juga dapat diprovokasi oleh stimulus fisik, visual,
auditori, atau emosional. Spasme otot menimbulkan nyeri dan dapat menyebabkan ruptur
tendon, dislokasi sendi serta patah tulang. Spasme laring dapat terjadi segera, mengakibatkan
obstruksi saluran nafas atas akut dan respiratory arrest. Pernapasan juga dapat terpengaruh
akibat spasme yang melibatkan otot-otot dada. Selama spasme yang memanjang, dapat
terjadi hipoventilasi berat dan apnea yang mengancam nyawa. Tanpa fasilitas ventilasi
mekanik, gagal nafas akibat spasme otot adalah penyebab kematian paling sering. Hipoksia
biasanya terjadi pada tetanus akibat spasme atau kesulitan membersihkan sekresi bronkial
yang berlebihan dan aspirasi. Spasme otot paling berat terjadi selama minggu pertama dan
kedua, dan dapat berlangsung selama 3 sampai 4 minggu, setelah itu rigiditas masih terjadi
sampai beberapa minggu lagi. Tetanus berat berkaitan dengan hyperkinesia sirkulasi,
terutama bila spasme otot tidak terkontrol baik. Gangguan otonom biasanya mulai beberapa

13
hari setelah spasme dan berlangsung 1-2 minggu. Meningkatnya tonus simpatis biasanya
dominan menyebabkan periode vasokonstriksi, takikardia dan hipertensi. Autonomic storm
berkaitan dengan peningkatan kadar katekolamin. Keadaan ini silih berganti dengan episode
hipotensi, bradikardia dan asistole yang tiba-tiba. Gambaran gangguan otonom lain meliputi
salivasi, berkeringat, meningkatnya sekresi bronkus, hiperpireksia, stasis lambung. Pada
keadaan berat dapat timbul berbagai komplikasi. Intensitas spasme paroksismal kadang
cukup untuk mengakibatkan rupture otot spontan dan hematoma intramuskular. Fraktur
kompresi atau subluksasi vertebra dapat terjadi, biasanya pada vertebrathorakalis. Gagal
ginjal akut merupakan komplikasi tetanus yang dapat dikenali akibat dehidrasi,
rhabdomiolisis karena spasme, dan gangguan otonom. Komplikasi lain meliputi atelektasis,
penumonia aspirasi, ulkus peptikum, retensi urine, infeksi traktus urinarius, ulkus dekubitus,
thrombosis vena, dan thromboemboli.(1)
A. Tetanus Lokal
Pada lokal tetanus dijumpai adanya kontraksi otot yang persisten, pada daerah tempat
dimana luka terjadi (agonis, antagonis, dan fixator). Hal inilah merupakan tanda dari tetanus
lokal. Kontraksi otot tersebut biasanya ringan, bisa bertahan dalam beberapa bulan tanpa
progressif dan biasanya menghilang secara bertahap.(3)
Lokal tetanus ini bisa berlanjut menjadi tetanus umum, tetapi dalam bentuk yang
ringan dan jarang menimbulkan kematian. Bisa juga lokal tetanus ini dijumpai sebagai
prodromal dari klasik tetanus atau dijumpai secara terpisah. Hal ini terutama dijumpai
sesudah pemberian profilaksis antitoksin.(3)
B. Tetanus Sefalik
Tetanus sefalik adalah bentuk yang jarang dari tetanus. Masa inkubasi berkisar 1 –2
hari, yang berasal dari otitis media kronik (seperti dilaporkan di India), luka pada daerah
muka dan kepala, termasuk adanya benda asing dalam rongga hidung. (1,2)

C. Tetanus Umum
Bentuk ini yang paling banyak dikenal. Trismus merupakan gejala utama yang sering
dijumpai (50%), yang disebabkan oleh kekakuan otot-otot masseter, bersamaan dengan
kekakuan otot leher yang menyebabkan terjadinya kaku kuduk dan kesulitan menelan.
Gejala lain berupa Risus Sardonicus (Sardonic grin) yakni spasme otot-otot muka,

14
opistotonus (kekakuan otot punggung), kejang dinding perut. Spasme dari laring dan otot-
otot pernafasan bisa menimbulkan sumbatan saluran nafas, sianosis asfiksia. Bisa terjadi
disuria dan retensi urine, fraktur kompresi dan pendarahan didalam otot. Kenaikan
temperatur biasanya hanya sedikit, tetapi begitupun bisa mencapai 40 C. Bila dijumpai
hipertermi ataupun hipotermi, tekanan darah tidak stabil dan dijumpai takikardia, penderita
biasanya meninggal. Diagnosa ditegakkan hanya berdasarkan gejala klinis. (1,2)

D. Tetanus Neonatorum
Biasanya disebabkan infeksi C. tetani, yang masuk melalui tali pusat sewaktu proses
pertolongan persalinan. Spora yang masuk disebabkan oleh proses pertolongan persalinan
yang tidak steril, baik oleh penggunaan alat yang telah terkontaminasi spora C.tetani(3)
Kebiasaan menggunakan alat pertolongan persalinan dan obat tradisional yang tidak
steril,merupakan faktor yang utama dalam terjadinya neonatal tetanus (3)

V. DIAGNOSIS
Diagnosis tetanus adalah murni diagnosis klinis berdasarkan riwayat penyakit dan
temuan saat pemeriksaan. Pada pemeriksaan fisik dapat dilakukan uji spatula, dilakukan
dengan menyentuh dinding posterior faring menggunakan alat dengan ujung yang lembut
dan steril. Hasil tes positif jika terjadi kontraksi rahang involunter (menggigit spatula) dan
hasil negatif berupa reflex muntah. Laporan singkat The American Journal of Tropical
Medicine and Hygiene menyatakan bahwa uji spatula memiliki spesifisitas tinggi (tidak ada
hasil positif palsu) dan sensitivitas tinggi (94% pasien terinfeksi menunjukkan hasil positif).
Pemeriksaan darah dan cairan cerebrospinal biasanya normal. Kultur C. tetani dari luka
sangat sulit (hanya 30% positif), dan hasil kultur positif mendukung diagnosis, bukan
konfirmasi. Beberapa keadaan yang dapat disingkirkan dengan pemeriksaan cermat adalah
meningitis, perdarahan subarachnoid, infeksi orofacial serta arthralgia temporomandibular
yang menyebabkan trismus, keracunan strychnine, tetani hipokalsemia, histeri, encefalitis,
terapi phenotiazine, serum sickness, epilepsi dan rabies. (1,2)

15
VI. TATALAKSANA
a. Umum
Pasien sebaiknya ditempatkan di ruang perawatan yang sunyi dan dihindarkan dari
stimulasi taktil ataupun auditorik. (3)
b. Antitoksin
Antitoksin tetanus intramuskuler (IM) dengan dosis human tetanus
immunoglobulin (TIG). Tatalaksana tetanus: Dosis dewasa: Dosis tunggal 3000-6000 IU
dengan pemberian 5 ml (250IU)/ tempat injeksi untuk berat badan > 20 kg. Dosis dapat
diulang tergantung keadaan klinis pasien diberikan secara intramuskuler sebaliknya di
daerah ventrogluteal. pemberian tidak perlu diulang karena waktu paruh antibody ini 3 1/2 –
4 ½ minggu secara IM tidak boleh diberikan secara intravena karena TIG mengandung "anti
complementary aggregates of globulin", yang mana ini dapat mencetuskan reaksi alergi yang
serius. (3)
Jika dibutuhkan dosis besar dianjurkan dibagi dalam beberapa dosis. Tidak boleh
disuntikan secara intravena dan tidak boleh dicampur dengan vaksin toksoid. Bila human
TIG tidak tersedia, dapat digunakan ATS dengan dosis 50.000-100.000 unit, diberikan
50.000 unit intravena dan 50.000 unit IM. Antitoksin diberikan untuk menginaktivasi toksin
tetanus bebas, sedangkan toksin yang sudah berada di saraf terminal tidak dapat ditangani
dengan antitoksin. Oleh karena itu, gejala otot dapat tetap berkembang karena toksin tetanus
berjalan melalui akson dan trans-sinaps serta memecah VAMP. Selain itu, dapat
ditambahkan vaksin tetanus toksoid (TT) 0,5 ml. IM. Pasien yang tidak memiliki riwayat
vaksinasi sebaiknya mendapat dosis kedua 1-2 bulan setelah dosis pertama dan dosis ketiga
6-12 bulan setelahnya. (3)
c. Antibiotik
Beberapa antibiotik pilihan di antaranya metronidazol 500 mg setiap 6 jam intravena
atau per oral, penisilin G 100.000-200.000 IU/kgBB/hari intravena dibagi 2-4 dosis. Pasien
alergi golongan penisilin, dapat diberi tetrasiklin, makrolid, klindamisin, sefalosporin, atau
kloramfenikol. (3)
d. Kontrol Spasme Otot
pemberian antispasme dengan diazepam dengan dosis 0,5-1mg/kgbb/hari atau pada
spasme ringan 5-20mg per oral tiap 8 jam bila perlu. Spasme sedang 5-10mg IV atau 10-

16
40mg/24 jam dalam bentuk drip/infus kontinu. Spasme berat 50-100 mg IV dalam 24 jam,
dilarutkan dalam 500ml dekstrose 5% atau dalam infus kontinu. Jika belum berhasil maka
perlu diberikan neuromuscular blocking agent dan ventilator (3)
e. Kontrol Disfungsi Otonom
Dapat menggunakan magnesium sulfat atau morfin. (3)
f. Kontrol Saluran Napas
Obat yang digunakan untuk mengontrol spasme dan memberikan efek sedasi dapat
menyebabkan depresi saluran napas. Ventilasi mekanik diberikan sesegera mungkin.
Trakeostomi lebih dipilih dibandingkan intubasi endotrakeal yang dapat memprovokasi
spasme dan memperburuk napas. (3)
g. Cairan dan Nutrisi yang Adekuat
Diperlukan cairan serta nutrisi yang adekuat mengingat tetanus meningkatkan status
metabolik dan katabolik. Yaitu dengan tirah baring, diet per sonde, dengan asupan sebesar
45 kalori / kgbb /hari untuk orang dewasa, bersihkan jalan nafas secara teratur, berikan
cairan infus dan oksigen, awasi dengan seksama tanda – tanda vital (seperti kesadaran,
keadaan umum, tekanan darah, denyut nadi, kecepatan pernapasan), trismus (diukur
dengan cm setiap hari), asupan / keluaran (pemasukan dan pengeluaran cairan), temperatur,
elektrolit (bila fasilitas pemeriksaan memungkinkan), konsultasikan ke bagian lain bila
perlu. (3)
h. Prognosis dan Derajat tetanus

Severitas Tetanus Berdasarkan Klasifikasi Ablett

 Derajat 1 (ringan) = Trimus ringan-sedang, spastisitas generalisata, tanpa disertai


gangguan nafas, tanpa spasme, tanpa/sedikit disfagia.
 Derajat 2 (sedang) = Trimus sedang, tampak rigiditas, spasme ringan-sedang, terdapat
gangguan nafas sedang dengan frekuensi pernafasan >30 per menit, disfagia ringan.
 Derajat 3 (berat) = Trimus berat, spastisitas generalisata, frekuensi pernafasan >40 per
menit, serangan apneu, takikardia >120 per menit, disfagia berat.
 Derajat 4 (sangat berat) = Derajat 3 dengan gangguan otonomik berat yang melibatkan
sistem kardiovaskuler

17
Phillips score

Faktor Skor
Masa inkubasi
< 48 jam 5
2-5 hari 4
5-10 hari 3
10-14 hari 2
>14 hari 1
Lokasi infeksi
Organ dalam dan 5
umbilikus
Kepala, leher, dan 4
badan
Perifer proksimal 3
Perifer distal 2
Tidak diketahui 1
Status proteksi
Tidak ada 10
Mungkin ada atau 8
imunisasi pada ibu
bagi pasien-pasien
neonates
Terlindungi > 10tahun 4
Terlindungi <10 tahun 2
Proteksi lengkap 0
Faktor-faktor
komplikasi
Cedera atau penyakit 10
yang mengancam
nyawa

18
Cedera berat atau 8
penyakit yang tidak
segera mengancam
nyawa
Cedera atau penyakit 4
yang tidak mengancam
nyawa
Cedera atau penyakit 2
minor
ASA grade 1 0
<9 severitas ringan
9-18 severitas sedang
>18, severitas berat.

Dakar score
Faktor prognosis Score 1 Score 0
Periode inkubasi < 7 hari >7 hari atau tidak
diketahui
Periode onset <2 hari >2 hari
Tempat masuk Umbilicus, luka bakar, Selain dari yang telah
uterus, fraktur terbuka, disebut atau tidak
luka operasi, injeksi diketahui
intramuscular
Spasme Ada Tidak ada
Demam >38,4C <38,4C
Takikardi Dewasa >120x/menit Dewasa <120x/menit
Neonates >150x/menit Neonates <150x/menit
0-1, severitas ringan dengan mortalitas 10%
2-3, severitas sedang dengan mortalitas 10-20%
4, severitas berat dengan mortalitas 20-40%
5-6, severitas sangat berat

19
VII. PENCEGAHAN

Mengingat banyaknya masalah dalam penanggulangan tetanus serta masih


tingginya angka kematian (30 – 60%), tindakan pencegahan merupakan usaha yang sangat
penting untuk menurunkan morbiditas dan mortalitas akibat tetanus. Ada dua pencegahan
tetanus, yaitu perawatan luka dan imunisasi aktif serta pasif. Imunisasi aktif didapat dari
penyuntikan toksoid tetanus untuk merangsang tubuh membentuk antibodi. Manfaat
imunisasi aktif ini sudah banyak dibuktikan. Imunisasi pasif diperoleh dari pemberian serum
yang mengandung antitoksin heterolog (ATS) atau antitoksin homolog (immunoglobulin
antitetanus). Berdasarkan riwayat imunisasi dan jenis luka, baru ditentukan pemberian
antitetanus serum atau toksoid. Ada keraguan dalam memberikan serum antitetanus
bersamaan dengan toksoid karena ditakutkan terjadi netralisasi toksoid oleh ATS. Hal ini
dapat dihindari dengan memberikannya secara terpisah pada tempat penyuntikan yang
berjauhan, misalnya lengan kanan dan paha kiri.(4)

1.1 Penderita yang hipersensitif terhadap ATS Hewan

Pada penderita ini terdapat 3 kemungkinan, yaitu :

 pemberian hypertet (HTIG),


 pemberian ATS hewan secara desensitisasi (cara Bedreska)
 ATS tidak diberikan.(4)

1.2 Desensitisasi cara Bedreskad

Adalah pemberian ATS pada penderita yang hipersensitif terhadap penyuntikan langsung,
tetapi tidak dapat diberi HTIG karena suatu hal. Dalam hal ini wajib memberikan ATS
dengan pertimbangan kemungkinan terjadinya tetanus pada luka besar. Pada cara Bedreska
ini, pengawasan dilakukan bertahap. Bila timbul reaksi hebat, pemberian tidak boleh
diteruskan. .(4)

20
Cara pemberiannya sebagai berikut :

 0,1 cc serum + 0,9 cc akuades atau NaC1 0,9 % disuntikkan secara subkutanm
tunggulah selama 30 menit.
 Sesudahnya, suntikkan 0,5 cc serum + 0,5 cc serum +0,5 cc akuades atau NaC1 0,9
% secara subkutan, tunggulah 30 menit. Perhatikan reaksi. Bila tampak tanda –
tanda penderita hipersensitif (tanda profromalsyok anafilaktik), hentikan pemberian,
dan berikan antihistamin serta kortikosteroid. Rawat penderita sesuai keadaannya.
 Bila tidak ada reaksi berarti setelah 30 menit sisa serum dapat disuntikkan secara
intramuskuler.
 Desensitisasi ini bertahan selama 2 – 3 minggu, jadi bila keesokan harinya atau hari
– hari berikutnya (dalam masa 2 – 3 minggu tersebut) perlu dilakukan suntikan
ulangan, maka cara Bersredka tak perlu diiulangi. Pada cara Besredka, sebaiknya
perlengkapan P3K yaitu obat yag diperlukan untuk menanggulangi syok anafilaktik
tetap tersedia. .(4)

A. Indikasi Imunisasi

Yang dimaksud di sini mulai dari bayi sampai orang tua berumur puluhan tahun,
bahkan bayi sebelum lahirpun sudah harus diberi kekebalan melalui ibu yang sedang
hamil.(4)

Untuk immunisasi dasar diberikan saat usia 2, 4, 6 (imunisasi dasar), 24 bulan, 10


tahun, dan 18 tahun diberikan bersama vaksin diphteri, pertusis dalam bentuk vaksin DTP
atau DT atau diberikan terpisah – pisah. Kalau seseorang belum pernah mendapatkannya
maka imunisasi dasar dapat dilakukan kapan saja sepanjang hidupnya, dengan dosis dan
interval yang sama seperti di atas. Seseorang yang telah mendapat immunisasi dasar lengkap
(3 kali suntikan) maka dalam jangka waktu 10 tahun setelah suntikan terakhir, kandungan
antitoksin tetanus dalam serum darahnya berada di atas garis perlindungan minimal yaitu
garis 0,01 i.u/ml, jadi orang itu dianggap sudah terlindung terhadap tetanus.(4)

Setelah suntikan pertama kali timbul rangsangan terhadap tubuh untuk membentuk
antitoksin tetanus. Dia terdapat dalam serum setelah 7 hari suntikan pertama, kemudian

21
titernya menarik dan pada hari ke-28. Kalau pada hari ke-28 itu diberikan suntikan kedua,
titernya akan menanjak terus dan akan mencapai 1,0 IU pada hari ke 60 yaitu jauh di atas
garis proteksi minimal walau kemudian ada penurunan, diperkirakan titer itu akan tetap
berada di atas garis proteksi minimal selama 5 tahun. Bila suntikan ketiga diberikan 6 bulan
sesudah suntikan kedua, titernya jauh lebih tinggi, walau kemudian akan ada penurunan,
tetapi tetap berada di atas garis proteksi minimal sampai 10 tahun, bahkan 15 – 20 tahun
yang didapatkan pada 85 – 95 % personil perang dunia kedua. .(4)

Walau demikian untuk proteksi terhadap penyakit perlu dilakukan suntikan booster
setiap 5 tahun paling lambat 10 tahun atau setiap seseorang luka di mana diperkirakan titer
antitoksin tetanus dalam serumnya sudah mulai menurun walau masih di atas garis proteksi
minimal terutama untuk luka yang disebut “ tetanus prona wound”. Pemberian booster akan
menaikkan titer antitoksin berlipat ganda jumlahnya.

Ada istilah proteksi parsial terhadap tetanus, maksudnya ialah :

 Orang – orang yang telah mendapat suntikan vaksin tetanus sebanyak 3 kali, tetapi
suntikan terakhir sudah lebih dari 10 tahun.
 Orang – orang yang telah mendapat vaksin tetanus 2 kali dan waktunya telah lebih
dari 5 tahun.
 Orang – orang yang mendapat suntikan hanya 1 kali saja.

22
Imunisasi Luka bersih Luka Kotor
sebelumnya
Toksoid ATS Toksoid ATS
Tidak ada / Ya* Tidak Ya* Ya
tidak pasti
1x DT atau DTP Ya* Tidak Ya* Ya
2x DT atau DTP Ya* Tidak Ya* Ya
3x DT atau DTP Tidak+ Tidak Tidak++ Tidak
Keterangan :
 * = seri imunisasinya harus dilengkapi
 + = ya, bila booster terakhir sudah 10 tahun yang lalu
 ++ = ya, bila booster terakhir sudah 5 tahun yang lalu atau lebih
 Cara pemberian melalui intramuscular (ATS 1500 U/ immunoglobulin 250U)(9)

B. Melakukan profilaksis tetanus terhadap orang yang luka secara benar dan tepat

Ada 4 faktor yang perlu diperhatikan :

 Pemberian vaksin tetanus


 Perawatan luka secara bedah yang benar
 Pemberian antitoksin tetanus
 Pemberian antibiotika dan identifikasi catatan medis emergency(5)

23
1. Perawatan luka secara bedah yang benar

Pencegahan secara bedah ini bertujuan untuk membuang clostridium tetani yang
berkontak dengan luka, membuang jaringan yang tidak vital lagi untuk mencegah suasana
anaerob, dan sebaik mungkin melakukan rekonstruksi luka sehingga terjadi suasana
aerob. Untuk mencapai maksud tersebut diperlukan : (5)

 Luka dirawat secepat mungkin


 Teknik aseptik dengan memakai sarung tangan steril, mencuci kulit sekitar luka dengan
cairan yang cukup sebelum tindakan bedah.
 Menutup luka dengan kasa steril waktu mencuci luka tadi.
 Cahaya haruslah cukup agar secara cermat mengidentifikasi jaringan yang vital seperti
saraf dan pembuluh darah.
 Instrumen harus lengkap, pembantu cukup agar penarikan jaringan secara halus untuk
mencegah kerusakan jaringan yang lebih besar.
 Perdarahan dikontrol dengan instrumen yang tepat dan benang yang cukup kecil agar
jaringan nekrotik minimum yang tinggal di dalam luka.
 Jaringan diperlukan secara halus agar jaringan menambah jaringan nekrotik dalam luka.
 Diberikan secara komplit dengan memakai pisau untuk meratakan pinggir luka yang
compang – camping, mengangkat jaringan yang sudah diragukan vitalitasnya,
mengangkat benda asing sampai tidak ada yang tertinggal(5)

2. Pemberian antitoksin tetanus

Antitoksin tetanus pada dasarnya ada 2

 Heterologous antitoksin
 Tetanus immun Globulin (human) (6)

Heterologous antitoksin (ATS) diambil dari serum kuda yang telah divaksinasikan
sebelumnya. Jadi mengandung protein kuda (protein asing) dan pemberian kedua dan
seterusnya menimbulkan reaksi sensitivity yang hebat sampai dapat terjadi anafilaktik
shock. Oleh sebab itu sebelum pemberian perlu ditest lebih dahulu. (6)

24
Sedangkan TIG diambil dari serum manusia. Dalam perdagangan bermacam – macam nama
seperti Hu-Tet, Hyper-Tet, Homo-Tet dan sebagainya. Jenis ini jarang sekali menimbulkan
reaksi hipersensitivity, kalau ada sangat ringan antitoksin diberikan harus dengan indikasi
yang jelas. (6)

Indikasi pemberian antitoksin tetanus adalah :

 Luka yang kotor atau tetanus proma wound yang terjadi pada orang yang belum
pernah mendapat immunisasi aktif, atau orang itu dengan proteksi tetanus persial.
 Pengobatan pasien dengan tetanus. (6)

Dosis pemberian tetanus immuno-globulin (human) untuk profilaksis adalah :

 Orang dewasa : 250 u – 500 u


 Anak di atas 10 tahun : 250 u
 Anak 5 – 10 tahun : 125 u
 Anak di bawah 5 tahun : 75 u(6)

Tetanus immuno-globulin (human) ini bertahan dalam darah selama 1 bulan. Untuk
terapi pengobatan penderita tetanus diberikan dosis 3000 – 6000 IU intra muskuler pada otot
gluteus. (6)

Antitoksin serum kuda (ATS) diberikan bila human antitoksin tidak ada, dosisnya
untuk profilaksis 1500 – 3000 IU. ATS bertahan dalam darah 7 – 14 hari. Untuk pengobatan
penderita tetanus dosis ATS adalah 50.000 – 100.000 unit, setengah dosis intramuskuler
setengahnya lagi dengan intravena dengan di uji kulit terlebih dahulu. Antitoksin untuk
profilaksis diberikan secara simultan dengan vaksin tetanus tetapi dengan spuit dan jarum
yang berbeda, juga tempat penyuntikan harus berbeda, gunanya agar jaringan terjadi
aglutinasi antara keduanya. (4,5,6)

25
Grafik titer antitoksin dalam serum sesudah pemberian toksoid saja, antitoksin saja,
toksoid dan antitoksin secara simultan. (6)

Mengobati penderita tetanus dengan perawatan intensif secara


multidisipliner. Setelah ditegakkan ditentukan klasifikasi penyakit apakah ringan, sedang
atau berat. Klasifikasi ini sebagai dasar untuk menentukan pegangan klinik dan penangan
pernafasan dan kardiovaskuler sebagai komplikasi penyakit ini. Tetanus ringan ditangani
secara konservatif, tetanus sedang dan berat di tangani dengan intubasi endotrakheal dan /
atau trekhostomi selama pemberian positif pressure ventilasi. Segera setelah diagnosa
ditegakkan pasien dibawa ke ruangan intensif di mana personelnya telah trampil menangani
problem pernafasan dan resusitasi jantung. Diberikan obat – obat untuk mencegah kejang,
diberikan antitoksin tetanus, sebaiknya tetano immun globutin (human), bila terpaksa baru
diberikan ATS. (6,7,8) Debridement luka dilakukan 1 – 2 jam setelah pemberian antitoksin,
guna mencegah bertambah banyak neurotoksin tetanospasmin yang lepas dan terikat pada
susunan saraf pusat. Perlu diingat bahwa neurotoksin tetanospasmin yang telah terikat pada
susunan saraf pusat tidak dapat dinetralisir lagi. (6,7,8)

26
DAFTAR PUSTAKA

1. Kelompok studi Neuroinfeksi, Tetanus dalam Infeksi pada sistem saraf. Perdossi. 2012.
2. Ismanoe, Gatot. 2006. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid I. Edisi ke 4. Jakarta: FK UI.
Hal 1799-1806.
3. Azhali, M.S. Garna, H. Aleh. Ch. Djatnika, S. Penyakit Infeksi dan Tropis. Dalam: Garna,
H. Melinda, H. Rahayuningsih, S.E. Pedoman Diagnosis dan Terapi Ilmu Kesehatan
Anak.Ed3. Bandung: FKUP/RSHS. 2005; 209-213.
4. Rauscher, L.A. Tetanus. Dalam:Swash, M. Oxbury, J.Eds. Clinical Neurology. Edinburg:
Churchill Livingstone. 1991; 865-871.
5. Behrman, R.E.Kliegman, R.M.Jenson, H.B. Nelson Textbook of Pediatrics. Vol 1. 17thEd.
6. Poowo, S.S.S. Garna, H. Hadinegoro. Sri Rejeki, S.Buku Ajar Ilmu Kesehatan Anak,
Infeksi & Penyakit Tropis. Ed 1. Ikatan Dokter Anak Indonesia.
7. WHO News and activities. The Global Eliination of neonatal tetanus: progress to date.
Bull: WHO. 1994; 72: 155-157.
8. Panduan Praktik Klinis Bagi Dokter di Fasilitas Pelayanan Kesehatan Primer. 2013.
9. De Jong. Buku Ajar Ilmu Bedah. In : Sjamsuhidajat R, Karnadihardja W, Prasetyono TOH,
Rudiman R, editors. 3 ed. Jakarta : EGC; 2012; p. 45 – 50.
W.B. Saunders Company. 2004.

27

Anda mungkin juga menyukai