Anda di halaman 1dari 4

BAB IV

PEMBAHASAN
Pasien seorang perempuan berusia 22 tahun datang dengan keluhan pandangan yang
mulai kabur. Pandangan kabur semakin hari semakin memberat terutama apabila melihat
benda yang jauh. Hal ini dirasakan sejak 3 bulan sebelum berobat ke poli mata. Pasien juga
mengeluh pusing, pusing dirasakan hilang timbul. Pusing dirasakan terutama setelah pasien
belajar. Saat pusing penglihatan pasien semakin kabur. Pasien belum pernah menggunakan
kacamata sebelumnya. Pasien sering membaca dengan posisi tidur dan menonton tv dalam
jarak yang dekat. Ayah pasien menderita hal yang sama seperti pasien. Riwayat trauma
disangkal.
Pasien seorang perempuan berusia 22 tahun, Berdasarkan teori pada kelainan refraksi
angka kejadian miopia di dunia data WHO 2004 menunjukan 10% dari 66 juta anak usia
sekolah. Puncak terjadinya miopi adalah usia remaja yaitu pada tingkat SMA dan miopi paing
banyak terjadi pada anak perempuan terhadap laki laki, denga perbandingan perempuan
terhadap laki laki 1,4 : 1. Perbandingan serupa miopia tinggi adalah 3,5:1. Ada kenaikan
prevelensi miopia seiring dengan peningkatan umur, dari 4% pada usia 12 tahun. Lebih dari
70% dari umur 17 tahun dan lebih dari 75% dari umur 18 tahun.
Keluhan utama pasien pandangan jauh terutama saat melihat benda jauh, berdasarkan
teori pada penderita miopia, sinar yang datang menuju mata dbiaskan dengan tidak tepat
sehingga menghasilkan bayangan yang tidak tepat pula. Penderita yang memiliki bola mata
yang terlalu panjang atau kornea yang terlalu melengkung menyebabkan sinar yang masuk ke
mata dibiaskan tidak tepat pada retina (di depan retina) sehingga menyebabkan penglihatan
penderita menjadi kabur. Pada mata normal, apabila saat melihat benda pada jarak tak
terhingga (>6 meter) maka bayangan akan jatuh tepat pada retina (macula lutea). Jarak antara
titik tengah kornea dengan macula lutea adalah 2,4 cm jadi fokusnya 2,4 cm (jika So= ~ maka
Si=f)
P

= I/F
= 1/0,024M
= 42 dioptri

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa mata emetropia aksis mata adalah 24 mm,
fokus tepat diretina sehingga bayangan jelas saat melihat jauh. Pada miopia aksis mata
29

panjangnya lebih dari 24mm, fokus jatuh didepan retina sehingga cahaya yang sampai retina
sudah menyebar dan bayangan di retina kabur saat melihat jauh.
Pasien mengeluh pusing yang hilang timbul, berdasarkan teori miopia memiliki gejala
penyerta seperti keluhan sakit kepala, sering disertai dengan juling dan celah kelopak yang
sempit. Seseorang miopia mempunyai kebiasaan mengerinyitkan matanya bila ia melihat jauh
untuk mencegah aberasi sferis atau untuk mendapatkan efek pinhole (lubang kecil) sehingga
dapat melihat jelas. Apabila terdapat miopia pada satu mata jauh lebih tinggi dari mata yang
lain, dapat terjadi ambliopia pada mata yang miopianya lebih tinggi. Penglihatan yang baik
harus jernih dan bayangan terfokus pada kedua mata. Bila bayangan kabur pada satu mata,
atau bayangan tersebut tidak sama pada kedua mata, maka Bila hal ini terjadi, otak akan
mematikan mata yang tidak fokus dan penderita akan bergantung pada satu mata untuk
melihat. Beratnya ambliopia berhubungan dengan lamanya mengalami kurangnya rangsangan
untuk perkembangan penglihatan makula. Mata ambliopia yang menggulir ke temporal
disebut strabismus divergen (eksotropia).
Pasien sering menonton tv dalam jarak yang dekat, berdasarkan teori jarak dekat
mempengaruhi kejadian miopia pada seseorang. Aktivitas melihat dekat jangka panjang
menyebabkan miopia melalui efek fisik langsung akibat akomodasi terus menerus sehingga
tonus otot siliaris menjadi tinggi dan lensa menjadi cembung. Namun berdasarkan teori
terbaru, aktivitas melihat dekat yang lama menyebabkan miopia melalui terbentuknya
bayangan buram di retina (retina blur) yang terjadi selama fokus dekat. Bayangan buram di
retina ini memulai proses biokimia pada retina untuk menstimulasi perubahan biokimia dan
struktural pada sklera dan koroid yang menyebabkan elongasi aksial. Peneliti di Singapura
mengamati bahwa anak yang menghabiskan waktunya untuk membaca, menonton tv,
bermain video game, dan menggunakan komputer lebih banyak mengalami miopia.
Ayah pasien menderita hal yang sama seperti pasien, berdsarkan teori Anak dengan
orang tua yang miopia cenderung mengalami miopia (P= 0,001). Hal ini cenderung
mengikuti pola dose-dependent pattern. Prevalensi miopia pada anak dengan kedua orang tua
miopia adalah 32,9% namun jika anak dengan salah satu orang tua miopia maka berkurang
menjadi 18,2% dan kurang dari 6,3% pada anak dengan orang tua tanpa miopia.
Pada pemeriksaan fisik ophtalmologi didapatkan pasien mengeluh kabur pada VODS
5/9 setelah dikoreksi dengan lensa negatif 0,75 huruf menjadi lebih jeles, berdasarkan teori

30

pada kelainan refraksi miopia, ketajaman penglihatan dapat dikoreksi dengan menggunakan
sferis negatif terkecil yang akan memberikan ketajaman penglihatan terbaik tanpa akomodasi.

Pada gambar diatas menunjukan adanya perbaikan jatuhnya cahaya pada retina
setelah dikoreksi dengan menggunakan lensa negatif. Pasien diterapi dengan penggunaan
kacamata. Dalam hal ini fungsi dari kacamata adalah mengatur supaya bayangan benda yang
tidak dapat dilihat dengan jelas oleh mata menjadi jatuh tepat di titik jauh mata (pada
penderita miopia).

31

DAFTAR PUSTAKA
1

Eva PR, Whitcher JP.2009. Optik dan Refraksi. In:Vaughan dan Asbury Ofthalmology

Umum. Edisi 17. Jakarta : EGC.Pp147-148


Goss DA, Grosvenor TP, Keller JT et al.2010. Care of The Patient with Myopia.

Optometric Clinical Guideline. America Optometric Association. Pp 7-8


Hartono, Hernowo AT, Sasongko MB. 2007. Anatomi dan Fisiologi Penglihatan In:
Ilmu Kesehatan Mata. Yogyakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Gajah Mada. Pp

16-27
Ilyas S, Yulianti SR,. 2011. Tajam Penglihatan dan Kelainan Refraksi Penglihatan
Warna. Ilmu Penyakit Mata. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Pp

76-77
Irwana O, Rahman A, Faradilla N et al. 2009. Miopi Tinggi. Files of

DrsMed.Pekanbaru: Faculty of Medicine University of Riau. Pp 8-13


Ming ALS, Constable IJ.2011. Refractive Eror In:Color Atlas of Opthalmology.World

Science. Pp 140-141
Saleh TT, Suryani PT. 2006. Miopia In: Pedoman Diagnosis dan Terapi. BAG/SMF
Ilmu Penyakit Mata. Surabaya: Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga. Pp 173-

175
Hartono, Hernowo AT, Hernowo. 2007. Refraksi In: Ilmu Kesehatan Mata.

Yogyakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Gajah Mada. Pp 149-160


Hartanto W, Inekawati S. 2010. Kelainan Refraksi Tidak Terkoreksi Penuh di RSUP

dr. Kariadi Semarang: FK Universitas Diponegoro.Pp 25-31


10 Usman S, Nukman A. 2014. Hubungan Antara Faktor Keturunan, Aktivitas Melihat
Dekat Dan Sikap Pencegahan Mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Riau
Terhadap Kejadian Miopia : Jom FK. Pp 1-13

32

Anda mungkin juga menyukai