DEFINISI
Istilah atresia ani berasal dari bahasa Yunani yaitu a yang artinya
tidak ada dan trepsis yang berarti makanan dan nutrisi. Dalam istilah
kedokteran, atresia ani adalah suatu keadaan tidak adanya atau
tertutupnya lubang yang normal.
perkembangan
embrionik
pada
distal
anus
atau
yang
memisahkan
bagian
endoterm
mengakibatkan
3. EPIDEMIOLOGI
Angka kejadian rata-rata malformasi anorektal di seluruh dunia adalah
1 dalam 5000 kelahiran ( Grosfeld J, 2006). Secara umum, atresia ani lebih
banyak ditemukan pada laki-laki daripada perempuan. Fistula rektouretra
merupakan kelainan yang paling banyak ditemui pada bayi laki-laki, diikuti
oleh fistula perineal. Sedangkan pada bayi perempuan, jenis atresia ani yang
paling banyak ditemui adalah atresia ani diikuti fistula rektovestibular dan
fistula perineal (Oldham K, 2005). Hasil penelitian Boocock dan Donna di
Manchester menunjukkan bahwa atresia ani letak rendah lebih banyak
ditemukan dibandingkan atresia letak tinggi ( Boocock G, 1987). Orang tua
yang mempunyai gen karier terhadap kelainan ini mempunyai peluang sekitar
25% untuk diturunkan kepada anaknya. 30% Anak dengan kelainan genetik,
kelainan kromosom atau kelainan kongenital lain yang juga beresiko untuk
menderita atresia ani.
4. ETIOLOGI & FAKTOR RESIKO
Etiologi Atresia Bilier dan Atresia Ani
Penyebab atresia bilier tidak diketahui dengan jelas, tetapi diduga akibat
proses inflamasi yang destruktif. Atresia bilier terjadi karena adanya perkembangan
abnormal dari saluran empedu di dalam maupun diluar hati. Tetapi penyebab
terjadinya gangguan perkembangan saluran empedu ini tidak diketahui. Meskipun
penyebabnya belum diketahui secara pasti, tetapi diduga karena kelainan
congenital, didapat dari proses-proses peradangan, atau kemungkinan infeksi virus
dalam intrauterine.
Penyebab atresia masih controversial, beberapa ahli percaya bahwa hal ini
terjadi akibat infeksi intrauterine. Atresia biasanya hanya mengenai duktus biliaris
ekstrahepatik, duktus intrahepatik lebih jarang terkena. Atresia biliaris komplit yang
mengenai seluruh system menyebabkan kematian yang tinggi. Hati menunjukan
gambaran obstruksi hebat duktus biliaris yang besar dengan sirosis biliaris sekunder.
Tanpa pengobatan, kematian terjadi pada masa bayi. Terapi bedah dapat berhasil
pada kasus atresia parsial. Pada kasus atresia yang mengenai duktus intrahepatik,
transplantasi hati merupakan satu-satunya harapan.
Hal yang penting perlu diketahui adalah bahwa atresia biliaris adalah bukan
merupakan penyakit keturunan. Kasus atresia biliaris tidak diturunkan dari keluarga.
Atreia biliaris paling sering disebabkan karena sebuah peristiwa yang terjadi saat
bayi dalam kandungan. Kemungkinan hal yang dapat memicu terjadinya atresia
biliaris diantaranya: infeksi virus atau bakteri, gangguan dalam system kekebalan
tubuh, komponen empedu yang abnormal, kesalahan dalam perkembangan hati dan
saluran empedu.
Penyebab sebenarnya dari atresia ani ini belum di ketahui pasti, namun ada
sumber yang mengatakan bahwa kelainan bawaan anus di sebabkan oleh :
a) Karena kegagalan pembentukan septum urorektal secara komplit karena
gangguan pertumbuhan, fusi, atau pembentukan anus dari tonjolan embrionik.
b) Putusnya saluran pencernaan dari atas dengan dubur, sehingga bayi lahir tanpa
lubang anus.
c) Gangguan organogenesis dalam kandungan penyebab atresia ani, karena ada
kegagalan pertumbuhan saat bayi dalam kandungan berusia 12 minggu atau 3
bulan.
d) Kelainan bawaan, anus umumnya tidak ada kelainan rektum, sfingter, dan otot
dasar panggul. Namum demikian pada agenesis anus, sfingter internal mungkin
tidak memadai. Menurut penelitian beberapa ahli masih jarang terjadi bahwa gen
autosomal resesif yang menjadi penyebab atresia ani. Orang tua tidak diketahui
apakah mempunyai gen carier penyakit ini. Janin yang diturunkan dari kedua
orang tua yang menjadi carier saat kehamilan mempunyai peluang sekitar 25 % 30 % dari bayi yang mempunyai sindrom genetik, abnormalitas kromosom, atau
kelainan kongenital lain juga beresiko untuk menderita atresia ani.
Faktor Predisposisi
Atresia ani dapat terjadi disertai dengan beberapa kelainan kongenital saat lahir,
seperti :
Kelainan sistem pencernaan terjadi kegagalan perkembangan anomali pada
gastrointestinal.
Kelainan sistem perkemihan terjadi kegagalan pada genitourinari.
Atresia dapat disebabkan oleh beberapa faktor, antara lain:
Putusnya saluran pencernaan dari atas dengan daerah dubur sehingga bayi
lahir tanpa lubang dubur
Kegagalan pertumbuhan saat bayi dalam kandungan berusia 12 minggu/3
bulan
fistula)
Bayi muntah-muntah pada umur 24-48 jam.
Pada pemeriksaan rectal touche terdapat adanya membrane anal.
Perut kembung
7. PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK
Diagnosis ditegakkan dari anamnesis dan pemeriksaan fisik yang teliti.
Pada anamnesis dapat ditemukan :
a Bayi cepat kembung antara 4-8 jam setelah lahir.
b Tidak ditemukan anus, kemungkinan juga ditemukan adanya fistula.
c Bila ada fistula pada perineum maka mekoneum (+) dan
kemungkinan kelainan adalah letak rendah (Faradilla, 2009).
Menurut
Pena
yang
dikutipkan
Faradilla
untuk
mendiagnosa
menggunakan cara:
1 Bayi laki-laki dilakukan pemeriksaan perineum dan urin bila :
a Fistel perianal (+), bucket handle, anal stenosis atau anal membran
berarti atresia letak rendah maka dilakukan minimal Postero Sagital
Anorektoplasti (PSARP) tanpa kolostomi
b Bila mekoneum (+) maka atresia letak tinggi dan dilakukan kolostomi
terlebih dahulu, setelah 8 minggu kemudian dilakukan tindakan definitif.
Apabila pemeriksaan diatas meragukan dilakukan invertrogram. Bila
akhiran rektum < 1 cm dari kulit maka disebut letak rendah. Akhiran
rektum > 1 cm disebut letak tinggi. Pada laki-laki fistel dapat berupa
rektovesikalis, rektouretralis dan rektoperinealis.
2 Pada bayi perempuan 90 % atresia ani disertai dengan fistel.
Bila ditemukan fistel perineal (+) maka dilakukan minimal PSARP tanpa
kolostomi. Bila fistel rektovaginal atau rektovestibuler dilakukan kolostomi
terlebih dahulu. Bila fistel (-) maka dilakukan invertrogram: apabila akhiran
< 1 cm dari kulit dilakukan postero sagital anorektoplasti, apabila akhiran >
1 cm dari kulit dilakukan kolostom terlebih dahulu.
Leape (1987) yang dikutip oleh Faradilla menyatakan bila mekonium
didadapatkan pada perineum, vestibulum atau fistel perianal maka
kelainan adalah letak rendah . Bila Pada pemeriksaan fistel (-) maka
kelainan adalah letak tinggi atau rendah. Pemeriksaan foto abdomen
setelah 18-24 jam setelah lahir agar usus terisis\ udara, dengan cara
Wangenstein Reis (kedua kaki dipegang posisi badan vertikal dengan
kepala dibawah) atau knee chest position (sujud) dengan bertujuan
agar udara berkumpul didaerah paling distal. Bila terdapat fistula
lakukan fistulografi (Faradilla, 2009).
Pada pemeriksan klinis, pasien atresia ani tidak selalu menunjukkan
gejala obstruksi saluran cerna. Untuk itu, diagnosis harus ditegakkan
pada pemeriksaan klinis segera setelah lahir dengan inspeksi daerah
perianal dan dengan memasukkan termometer melalui anus. (Levitt M,
2007)
Mekonium biasanya tidak terlihat pada perineum pada bayi dengan
fistula rektoperineal hingga 16-24 jam. Distensi abdomen tidak
ditemukan selama beberapa jam pertama setelah lahir dan mekonium
harus dipaksa keluar melalui fistula rektoperineal atau fistula urinarius.
Hal ini dikarenakan bagian distal rektum pada bayi tersebut dikelilingi
struktur otot-otot volunter yang menjaga rektum tetap kolaps dan
kosong. Tekanan intrabdominal harus cukup tinggi untuk menandingi
tonus otot yang mengelilingi rektum. Oleh karena itu, harus ditunggu
selama 16-24 jam untuk menentukan jenis atresia ani pada bayi untuk
menentukan apakah akan dilakukan colostomy atau anoplasty (Levitt
M, 2007).
Inspeksi perianal sangat penting. Flat "bottom" atau flat perineum,
ditandai
dengan
tidak
adanya
garis
anus
dan
anal
dimple
sangat sedikit. Tanda ini berhubungan dengan atresia ani letak tinggi
dan harus dilakukan colostomy (Levitt M, 2007).
Tanda pada perineum yang ditemukan pada pasien dengan atresia ani
letak rendah meliputi adanya mekonium pada perineum, "buckethandle" (skin tag yang terdapat pada anal dimple), dan adanya
membran pada anus (tempat keluarnya mekonium) (Levitt M, 2007).
Untuk
memperkuat
diagnosis
sering
diperlukan
pemeriksaan
mengetahui
jarak
pemanjangan
kantung
rektum
dari
sfingternya.
3 Ultrasound terhadap abdomen
Digunakan untuk melihat fungsi organ internal terutama dalam
sistem pencernaan dan mencari adanya faktor reversible seperti
obstruksi oleh karena massa tumor.
4 CT Scan
Digunakan untuk menentukan lesi.
5 Pyelografi intra vena
Digunakan untuk menilai pelviokalises dan ureter.
6 Pemeriksaan fisik rektum
Kepatenan
rektal
dapat
dilakukan
colok
dubur
dengan
DAFTAR PUSTAKA
Betz. Cealy L. & Linda A. Sowden. 2002. Buku Saku Keperawatan Pediatrik. Edisi 3.
Jakarta : EGC
Carpenito, Lynda Juall. 1997. Buku Saku Diagnosa Keperawatan. Edisi ke-6. Jakarta
: EGC
Wong, Donna L. 2003. Pedoman Klinis Keperawatan Pediatrik. Sri Kurnianingsih
(Ed), Monica Ester (Alih Bahasa). Edisi 4. Jakarta : EGC