Anda di halaman 1dari 25

BAB II

ANALISIS POSTMORTEM PADA KEMATIAN AKIBAT KERACUNAN


SIANIDA DALAM FORENSIK TOKSIKOLOGI
DITINJAU DARI KEDOKTERAN
2.1 Sianida
2.1.1

Definisi Sianida
Sianida adalah garam asam hydrocyanic dan merupakan salah satu

zat yang dikenal paling beracun, berefek cepat, dan mematikan yang
terdapat dalam berbagai bentuk. Sianida bisa menjadi gas yang tidak
berwarna, seperti hidrogen sianida (HCN) atau cyanogen chloride (CNCL)
atau dalam bentuk kristal yang larut dalam air seperti natrium sianida
(NaCN) atau kalium sianida (KCN). Sianida mempunyai bau yang khas
berupa bau almond pahit tetapi hal ini tidak dapat dideteksi oleh beberapa
orang (Borron dan Stephen, 2003).
Sianida di bidang manufaktur digunakan untuk membuat kertas,
tekstil, dan plastik. Garam sianida digunakan oleh bidang metalurgi dalam
sejumlah proses kimia, termasuk electroplating, pengerasan besi dan baja,
membersihkan logam, dan mengeluarkan emas dari bijih. Sianida sediaan
gas digunakan untuk membasmi hama dan serangga hewan lainnya di
kapal dan gedung-gedung (Borron dan Stephen, 2003).

2.1.2

Sejarah Penggunaan Sianida


Sejak zaman Roma kuno, sianida dan turunannya merupakan zat

yang telah dipergunakan sebagai senjata. Nero menggunakan senjata yang


berisi sianida sebagai komponen utamanya untuk merancuni anggota
keluarganya. Napoleon III mengusulkan pengunaan sianida untuk
meningkatkan efektivitas prajuritnya (Basbeth, 2004).
Meskipun zat-zat yang mengandung sianida telah digunakan
selama berabad-abad sebagai racun, pada tahun 1782 sianida itu sendiri
baru diidentifikasi. Pertama kali diisolasi dari senjata laurel cherry oleh
ahli kimia Swedia Scheele, dan pada tahun 1786 menjadi korban pertama
dari racun ini yang bereaksi cepat dalam kerjanya, diikuti oleh Blakes
upaya mengetahui efeknya yang beracun (Bhattacharya, 2000).
Selama Perang Dunia I pada akhir tahun 1915 dan awal 1916,
Perancis adalah satu-satunya negara yang menggunakan sianida dan
turunannya, asam hydrocyanic. Zat ini dibuat dari penyulingan larutan
pekat potasium sianida dengan cairan asam sulfat. Namun penggunaanya
tidak menghasilkan efek yang diinginkan. Suatu gas yang sangat stabil dan
lebih ringan dari udara, asam hydrocyanic hanya berlangsung selama
beberapa menit di udara terbuka; ini membuatnya sulit untuk mencapai
konsentrasi yang mematikan (Basbeth, 2004).
September 1916, Perancis mencoba membuat racun lain dengan
bahan dasar sianida yakni chloride cyanogens, yang lebih berat dan kurang
stabil daripada asam hydrocyanic dan memiliki efek kumulatif pada

korbannya. Cyanogens chloride diproduksi oleh klorinasi solusi potasium


sianida jenuh pada

00C (320F). Toksisitasnya mirip dengan asam

hydrocyanic, tapi Cyanogens chloride lebih efektif pada konsentrasi


rendah. Pada konsentrasi tinggi, Cyanogens chloride mampu membunuh
dengan cepat melumpuhkan sistem saraf pernapasan (Basbeth, 2004).
Pada saat yang bersamaan Perancis meluncurkan Cyanogens
chloride, Austria juga memperkenalkan gas beracun mereka sendiri yang
berasal dari potasium sianida dan bromida. Bromide cyanogens yang
dihasilkan sangat stabil, namun itu hanya seperempat dari volatile asam
hydrocyanic dan kurang toksik. Bromide cyanogens memiliki efek iritasi
kuat pada konjungtiva dan selaput lendir pada sistem pernapasan (Basbeth,
2004).
Hidrogen sianida dengan nama Zyklon B digunakan sebagai agen
genosida oleh Jerman dalam Perang Dunia II. Nazi menggunakan asam
untuk membasmi jutaan warga sipil dan tentara musuh di kamp. Zyklon B
adalah fumigant dan rodenticide (Dominick dan Vincent, 1993).
2.1.3

Sumber Sianida
Apricot, ceri liar, persik, plum, jagung (sorghum), chickpea,

kacang mede, dan ubi kayu merupakan tanaman yang mengandung


sianida, berupa glikosida cyanogens (yaitu, pembentuk sianida) atau
amigdalin yang dapat menghasilkan hydrogen sianida ketika dikunyah
atau dicerna, tetapi dalam konsentrasi rendah. Selain itu, sianida dapat
diproduksi oleh bakteri, jamur, dan ganggang tertentu. Dalam tubuh,

gabungan sianida dosis rendah dengan bahan kimia membentuk Vitamin


B12 (Goodman dan Gilman,1955).
2.1.4

Mekanisme Kerja Sianida


Garam sianida diabsorbsi melalui saluran pencernaan, setelah

masuk ke dalam sirkulasi darah sebagai CN bebas dan tidak dapat


berikatan dengan hemoglobin, kecuali terjadi reaksi antara ion sianida
(CN-) dan Methemoglobin yang membentuk cyanomethemoglobin
(CNMetHB) (Alcorta dan Facep, 2006).
Sianida dapat mengikat dan menginaktifkan beberapa enzim
oksidatif seluruh jaringan secara radikal, tetapi yang mengakibatkan
timbulnya kematian atau histotoxic anoxia karena sianida mengikat enzim
sitokrom c oksidase bagian ferric heme group dari oksigen yang dibawa
oleh darah. Sehingga akan mengakibatkan terhentinya metabolisme sel
secara aerob, oleh karena oksi-Hb tidak dapat berdisosiasi melepaskan O2
ke sel jaringan. Hal ini merupakan keadaan paradoksal karena korban
meninggal akibat hipoksia tetapi dalam darahnya kaya akan oksigen.
Selain itu sianida secara spontan merangsang ujung saraf sensorik sinus
(kemoreseptor) sehingga pernapasan bertambah cepat (Basbeth, 1997).
Jalur terpenting dari eliminasi sianida adalah dengan terjadinya
pembentukan tiosianat (SCN-) yang dapat diekresikan melalui urin.
Tiosianat ini dibentuk secara langsung sebagai hasil katalisis dari enzim
rhodanese dan secara indirek sebagai reaksi spontan antara sianida dan
sulfur persulfida (Alcorta dan Facep, 2006).

Sianida dioksidasi dalam tubuh menjadi sianat dan sulfosianat, atau


berikatan dengan endothelial-derived relaxing factor (EDRF) yang
merupakan asam nitrit, dan diekskresikan melalui urin (Alcorta dan Facep,
2006; Basbeth, 1997).
Selain itu, berikatan dengan bahan-bahan metal seperti emas,
molybdenum atau komponen organik seperti hidrokobalamin sangat efektif
mengeliminasi sianida dari dalam sel. Albumin dapat merangsang kerja
enzim dengan menggunakan sulfur untuk mengikat sianida (Alcorta dan
Facep, 2006).
2.1.5

Toksisitas Sianida
Tidak mudah menentukan dosis sianida yang mematikan untuk

manusia.

Manusia

yang

mengalami

keracunan

sianida

memiliki

kemungkinan angka kematian sebesar 95%. Dosis fatal pemakaian oral


potasium sianida (KCN) sekitar 150-250 mg dan hidrogen sianida (HCN)
sekitar 60-90 mg serta menghirup HCN pada konsentrasi 270 ppm (sekitar
0.3 mg HCN per liter). Konsentrasi siandia dalam darah 2.5-3.0 g/ml
dapat menimbulkan henti napas dalam 2 30 menit setelah terpapar. Nilai
TLV (Threshold Limit Value) untuk debu sianida adalah 5 gr per m 3
(Bhattacharya, 2000; Basbeth, 1997).
Kadang korban keracunan CN melebihi takaran mematikan tetapi
tidak meninggal, hal ini disebabkan oleh toleransi individual dengan daya
detoksifikasi tubuh berlebihan, dapat pula disebabkan oleh keadaan anasiditas asam lambung, sehingga menyebabkan garam CN yang ditelan

10

tidak terurai menjadi HCN, keadaan ini dikenal sebagai imunitas Rasputin.
Tetapi sekarang hal ini telah dibantah, karena cukup dengan air saja dalam
lambung, garam CN sudah dapat terurai menjadi HCN. Kemungkinan lain
adalah karena dalam penyimpanan sianida sudah berubah menjadi garam
karbonat NaCN + udara Na2CO3 + NH3 (Basbeth, 1997).
Pengaruh toksikodinamik dapat bervariasi tergantung dari dosis,
rute dan waktu pemaparan, kecepatan distribusi, bentuk kimia sianida, dan
faktor lainnya termasuk jenis kelamin, umur, berat badan, tingkat stress,
dan kondisi fisik umum korban (Basbeth, 2004).
2.1.6

Gejala Klinis Sianida


Manifestasi klinis keracunan sianida akut bervariasi baik dalam hal

waktu dan intensitas tergantung pada besarnya paparan. Keracunan yang


ditelan cepat menyebabkan kegagalan pernapasan dan kematian dapat
timbul dalam beberapa menit, gejala yang dikeluhkan berupa terasa
terbakar pada kerongkongan dan lidah, sesak napas, hipersalivasi, mual,
muntah, sakit kepala, vertigo, fotofobia, tinnitus, pusing, dan kelelahan
(Basbeth, 1997).
Manifestasi klinis keracunan sianida kronik, korban tampak pucat,
berkeringat dingin, pusing, mual, sesak napas. Keracunan kronik CN dapat
menyebabkan goiter dan hipotiroid, akibat terbentuk sulfosianat (Basbeth,
1997).
Tanda-tanda non spesifik lainnya seperti sakit kepala, pusing,
mual, muntah, delirium, koma, dan inkontinensia tinja dan urin. Dispnea,

11

ketiadaan koordinasi gerakan, ketidakteraturan detak jantung, kejangkejang, koma dan gagal napas dapat terjadi sehingga menimbulkan
kematian. Namun, tanda-tanda ini tidak spesifik untuk keracunan siandia
(Bhattacharya, 2000).
2.1.7

Penatalaksanaan Keracunan Sianida


Prinsip utama dari terapi ini adalah mengeliminasi sumber-sumber

yang terus menerus mengeluarkan racun sianida, perbaikan perfusi


jaringan merupakan tujuan utama dari terapi ini, yang sangat
mempengaruhi tingkat keberhasilan pemberian antidotum. Pertolongan
terhadap korban keracunan sianida sangat tergantung dari tingkat dan
jumlah paparan dengan lamanya waktu paparan (Baskin dan Brewer,
2004; CDC, 2005).
Pada keracunan sianida yang ditelan, lakukan tindakan darurat
dengan pemberian inhalasi amil-nitrit satu ampul (0.2 ml dalam waktu tiga
menit) setiap lima menit. Berikan pernapasan buatan dengan oksigen
100% untuk menjaga PO2 dalam darah tetap tinggi, dapat juga dipakai
oksigen hiperbarik. Resusitasi mulut-ke-mulut merupakan kontraindikasi.
Penggunaan oksigen hiperbarik untuk korban yang keracunan sianida
masih sering diterapkan. Penambahan tingkat ventilasi oksigen ini akan
meningkatkan efek dari antidotum (Basbeth, 1997; CDC, 2005).
Antidotum berupa Na-nitrit 3% I.V diberikan sesegera mungkin
dengan kecepatan 2.5-5 ml per menit. Pemberian dihentikan bila tekanan
darah sistolik dibawah 80 mmHg. Pemberian nitrit akan mengubah Hb

12

menjadi met-Hb dan akan mengikat CN menjadi sian-met Hb. Salah satu
keterbatasan mengenai antidotum ini adalah hanya berdasarkan dari
ekperimen menggunakan hewan (Basbeth, 1997; Baskin dan Brewer,
2004).
Jumlah nitrit yang diberikan harus berdasarkan kadar Hb dan berat
badan korban. Jumlah Na-nitrit cukup dengan mengubah 25% Hb menjadi
met-Hb. Kadar met-Hb tidak boleh melebihi 40% karena met-Hb akan
mengganggu pendistribusian O2. Bila kadar met-Hb melebihi 40% berikan
reduktor, misalnya vitamin C intervena (Basbeth, 1997).

Tabel 2.1. Variasi takaran Na-nitrit dan Na-tiosulfat dengan kadar Hb


Hemoglobin

Takaran Awal

(g/100ml)

NaNO2 (mg/Kg)

7
8
9
10
11
12
13
14

5.8
6.6
7.5
8.3
9.1
10
10.8
11.6

Takaran Awal

Takaran Awal Na-

NaNO2 3%

tiosulfat 25%

(ml/Kg)
0.19
0.22
0.25
0.27
0.30
0.33
0.36
0.38

(ml/Kg)
0.95
1.10
1.25
1.35
1.50
1.65
1.80
1.95

Bila tekanan darah turun karena pemberian nitrit, berikan 0.1 mg


levarterenol atau epinefrin I.V. Natrium tiosulfat 25% diberikan menyusul
setelah pemberian Na-nitrit dengan kecepatan 2.5-5ml per menit. Tiosulfat
mengubah CN menjadi tiosanat. Hidroksokobalamin juga dianjurkan
sebagai antidotum terutama untuk keracunan kronik. Dikatakan bahwa
13

kobalt EDTA adalah obat pilihan dengan takaran 300 mg I.V yang akan
mengubah CN menjadi kobaltsianida Co(CN)6 yang larut dalam air
(Basbeth, 1997).
Selain nitrit, dapat juga diberikan metilen biru 1% 50 ml I.V
sebagai antidotum. Metilen biru akan mengubah Hb menjadi met-Hb dan
akan tetapi hasil dari pembentukan ini masih belum diketahui. Bila korban
keracunan akut dapat dapat bertahan hidup selama empat jam maka
prognosisnya baik, umumnya diikuti dengan gejala sisa berupa kelainan
neurologik (Basbeth, 1997).
Bilas lambung dilakukan setelah pemberianan antidotum, bilas
lambung menggunakan Na-tiosulfat 5% dan sisakan 200 ml (10 gr) dalam
lambung. Dapat juga dengan K-permanganat 0.1% atau H2O2 3% yang
diencerkan satu sampai lima kali, atau dengan dua sendok teh karbon aktif
atau universal antidote dalam satu gelas air dan kemudian kosongkan
lambung dengan jalan dimuntahkan atau bilas lambung (Basbeth, 1997).
Asidosis laktat yang berasal dari metabolism anaerob dapat diterapi
dengan memberikan sodium bikarbonat secara intravena dan bila penderita
gelisah dapat diberkan obat antikonvulsan seperti diazepam. Pemberian
obat vasopressor seperti epinefrin bila timbul hipotensi yang tidak
memberi respon setelah diberikan terapi cairan. Pemberian obat
antiaritmia bila terjadi gangguan pada detak jantung (CDC, 2005).
Jika terkena paparan sianida, segera menjauh dari tempat atau
sumber paparan, jika korban berada di dalam ruangan maka segera keluar.

14

Jika pakaian terpapar, cepat buka dan letakkan pakaian tersebut didalam
kantong plastik, ikat kuat dan rapat. Jauhkan dari jangkauan manusia
terutama anak-anak. Segera cuci sisa sianida yang masih melekat pada
kulit dengan sabun dan air yang mengalir, berikan antidotum seperti
sodium nitrit dan sodium tiosulfat (CDC, 2004).
Kesulitan dalam melakukan penelitian mengenai penggunaan
antidotum ini disebabkan karena kecilnya jumlah korban keracunan, fakta
bahwa kebanyakan korban keracunan harus mendapatkan terapi segera,
sulitnya untuk mendapatkan hasil analisis darah dan konsentrasi sianida
dalam jaringan, dan terbatasnya penelitian yang membandingkan dengan
penelitian yang dilakukan oleh hewan (Baskin dan Brewer, 2004).

15

2.2

Pemeriksaan Penunjang pada Kematian Akibat Keracunan Sianida


Pada pemeriksaan funduskopi akan terlihat warna merah terang pada arteri

dan vena retina karena rendahnya penghantaran oksigen ke jaringan. (Baskin dan
Brewer, 2004).
Dari pemeriksaan laboratorium menunjukkan adanya penurunan tekanan
parsial oksigen (PO2) dengan adanya asidosis laktat. Pemeriksaan darah dan urin
sangat penting pada mereka yang sering terpapar agen ini. Selain itu juga,
pemeriksaan ini akan menentukan pemberian jenis terapi. Konsentrasi sianida
dalam darah sangat berhubungan dengan gejala klinis yang akan ditimbulkannya
(Baskin dan Brewer, 2004).
Karena sel darah merah banyak mengandung sianida, maka pemeriksaan
seluruh komponen darah sangat diperlukan. Hal ini cukup sulit dilakukan karena
waktu paruh sianida yang pendek sehingga kandungan sianida dalam darah
dengan cepat berkurang. Oleh sebab itu, faktor waktu dan kondisi tempat
penyimpanan sangat penting dalam menentukan hasil pemeriksaan (Alcorta dan
Faceps, 2006).
2.3

Otopsi pada Kematian Akibat Keracunan Sianida


Adapun para penolong dan petugas otopsi jenazah korban keracunan

sianida harus memakai alat perlindungan diri sehingga terhindar dari kontaminasi
sianida yang mudah menguap (Wiguna, 2010) antara lain dengan;
1

Gunakan sarung tangan lateks, karena pada dasarnya semua cairan tubuh
dianggap dapat menularkan baik itu penyakit atau racun.

16

Gunakan kacamata pelindung, karena mata termasuk port de entre virus,

3
4
5

bakteri, dana tau zat-zat beracun.


Gunakan baju pelindung untuk mencegah terpaparnya cairan tubuh.
Gunakan masker agar mencegah zat sianida terhirup oleh penolong.
Gunakan masker resusitasi jantung untuk memberikan bantuan napas (untuk
pasien dalam keadaan gawat).
Pada pemeriksaan bagian luar jenazah dapat tercium bau amandel yang

patognomonik untuk keracunan sianida, dapat tercium dengan cara menekan dada
mayat sehingga akan keluar gas dari mulut dan hidung. Bau tersebut harus cepat
dapat ditentukan karena indera penciuman kira cepat beradaptasi. Harus diingat
bahwa tidak semua orang dapat mencium bau sianida karena kemampuan untuk
mencium bau khas bersifat sex-linked trait (Basbeth, 1997).
Sianosis pada wajah dan bibir, busa keluar dari mulut, dan lebam mayat
berwarna merah terang karena darah vena kaya akan oksi-Hb. Tetapi adapula yang
mengatakan karena terdapat Cyan-Met-Hb. Warna lebam yang merah terang tidak
selalu ditemukan pada kasus keracunan sianida, ditemukan pula kasus kematian
akibat sianida dengan warna lebam mayat yang berwarna biru-kemeraha, livid.
Hal ini tergantung pada keadaan dan derajat keracunan (Basbeth, 1997).
Pada pemeriksaan bedah jenazah, dapat tercium bau amandel yang khas
pada waktu membuka rongga dada, perut, dan otak serta lambung. Darah otot dan
penampang organ tubuh dapat berwarna merah terang. Selanjutnya hanya
ditemukan tanda-tanda asfiksia pada organ-organ tubuh (Basbeth, 1997).
Pada korban keracunan yang menelan garam alkali sianida, dapat
ditemukan kelainan pada mukosa lambung berupa korosi dan berwarna merah
kecoklatan karena terbentuk hematin alkali dan pada perabaan mukosa licin

17

seperti sabun. Korosi dapat mengakibatkan perforasi lambung yang dapat terjadi
antemortal atau postmortal (Basbeth, 1997).

2.4

Forensik Toksikologi
2.4.1 Definisi Forensik Toksikologi
Forensik toksikologi adalah salah satu dari cabang ilmu forensik.
Menurut Saferstein yang dimaksud dengan Forensic Science adalah the
application of science to law, maka secara umum ilmu forensik dapat
dimengerti sebagai aplikasi atau pemanfaatan ilmu pengetahuan tertentu
untuk menegakkan hukum dan peradilan. Ilmu toksikologi adalah ilmu
yang menelaah tentang kerja dan efek berbahaya zat kimia atau racun
terhadap mekanisme biologis suatu organisme. Racun itu sendiri
didefinisikan sebagai senyawa yang berpotensi memberikan efek yang
berbahaya terhadap organisme. Sifat racun dari suatu senyawa ditentukan
oleh; dosis, konsentrasi racun di reseptor, sifat fisiko kimis toksikan
tersebut, kondisi bioorganisme atau sistem bioorganisme, paparan terhadap
organisme dan bentuk efek yang ditimbulkan (Wirasuta. M.A.G, 2008).
Kerja utama dari forensik toksikologi adalah melakukan analisis
kualitatif maupun kuantitatif dari racun dan menerjemahkan temuan
analisisnya apakah ada atau tidaknya racun yang terlibat dalam tindak
kriminal yang dituduhkan sebagai bukti di pengadilan. Hasil analisis dan
interpretasi temuan analisis ini akan dimuat ke dalam suatu laporan yang
sesuai dengan hukum dan perundangan-undangan. Menurut Hukum Acara
Pidana (KUHAP), laporan ini dapat disebut dengan Surat Keterangan Ahli

18

(saksi ahli) atau Surat Keterangan sebagai bukti tindak kriminal di


peradilan. Forensik toksikologi sendiri merupakan ilmu terapan yang
dalam praktisnya sangat didukung oleh berbagai bidang ilmu dasar lain,
seperti kimia analisis, biokimia, kimia instrumentasi, farmakologitoksikologi, farmakokinetik, biotransformasi.

Menurut society of

forensic toxicologist, inc. SOFT Amerika bidang kerja forensik


toksikologi meliputi:

Analisis dan evaluasi racun penyebab kematian.

Analisis ada/tidaknya alkohol, obat terlarang di dalam cairan tubuh atau


napas.

Analisis

obat

terlarang

dalam

darah

dan

urin

pada

kasus

penyalahgunaan narkotika, psikotropika dan obat terlarang lainnya


(Wirasuta. M.A.G, 2008).
Tujuan lain dari analisis ini adalah membuat suatu rekaan
rekonstruksi suatu peristiwa yang terjadi, sampai sejauh mana obat atau
racun tersebut dapat mengakibatkan perubahan fisiologis. Gambaran kasus
-kasus yang umumnya memerlukan pemeriksaan forensik toksikologi,
meliputi tiga kelompok besar yaitu:
1

Kematian akibat keracunan, meliputi: kematian mendadak, kematian di


penjara, kematian pada kebakaran, dan kematian medis yang
disebabkan oleh efek samping obat atau kesalahan penanganan medis.

Kecelakaan fatal maupun tidak, yang dapat mengancam keselamatan


nyawa sendiri ataupun orang lain, yang umumnya diakibatkan oleh

19

pengaruh obat-obatan, alkohol, atau pun narkoba.


3

Penyalahgunaan narkoba dan kasus-kasus keracunan yang terkait


dengan akibat pemakaian obat, makanan, kosmetika, alat kesehatan,
dan bahan berbahaya kimia lain yang tidak memenuhi standar
kesehatan (kasus-kasus forensik farmasi) (Wirasuta. M.A.G, 2008).

2.4.2

Prinsip Dasar dalam Investigasi Toksikologi


Dalam menentukan jenis zat toksis yang menyebabkan keracunan,

seringkali menjadi rumit karena adanya proses yang secara alamiah terjadi
dalam tubuh manusia. Jarang sekali suatu bahan kimia bertahan dalam
bentuk asalnya didalam tubuh. Saat bahan kimia memasuki tubuh maka
akan terjadi proses ADME, yaitu absorpsi, distribusi, metabolisme dan
ekskresi. Zat toksik juga kemungkinan dapat mengalami pengenceran
dengan adanya proses penyebaran ke seluruh tubuh sehingga sulit untuk
terdeteksi. Walaupun zat racun yang masuk dalam ukuran gram atau
milligram, sampel yang diinvestigasi dapat mengandung zat racun atau
biomarkernya dalam ukuran microgram atau nanogram, bahkan hingga
pikogram (Budiawan, 2008).
Paracelsus (1493-1541) menyatakan bahwa semua zat adalah
racun; tidak ada yang bukan racun. Dosis yang tepat membedakan suatu
racun dengan obat. Toksikan (zat toksik) adalah bahan apapun yang
dapat memberikan efek yang berlawanan (merugikan). Racun merupakan
istilah untuk toksikan yang dalam jumlah sedikit (dosis rendah) dapat
menyebabkan kematian atau penyakit (efek merugikan) yang secara tiba-

20

tiba. Zat toksik ini dapat berada dalam bentuk fisik (radiasi), kimiawi
(arsen, sianida) maupun biologis (bisa ular). Zat ini terdapat dalam
beragam wujud (cair, padat, gas), dan beberapa diantaranya mudah
diidentifikasi dari gejala yang ditimbulkan selain itu banyak zat toksik
cenderung menyamarkan diri (Budiawan, 2008).
Prinsip utama dalam toksikologi ialah hubungan dosis dengan
respon/efek yang ditimbulkan. Kontak zat toksik (paparan) terhadap
organisme/tubuh dapat melalui jalur tertelan (ingesti), terhirup (inhalasi)
atau

terabsorpsi

melalui

kulit.

Zat

toksik

umumnya

memasuki

organisme/tubuh dalam dosis tunggal dan besar (akut). Atau dosis rendah
namun terakumulasi hingga jangka waktu tertentu (kronis) (Budiawan,
2008).
2.4.3

Biomarker dalam Investigasi Toksikologi


Untuk menetapkan suatu paparan terhadap suatu zat toksik dapat

dilakukan analisis jaringan dan cairan tubuh (body fluids). Hal ini
ditujukan untuk mengukur kandungan dari zat tersebut, metabolit, atau
enzim-enzim dan bahan atau respon biologis lainnya sebagai akibat dari
pengaruh zat toksik tersebut. Penetapan zat sebagai petanda bio
(biomarker) dengan cara demikian dikenal sebagai biomonitoring, dan
dapat memberikan suatu indikasi penyebab/sumber paparan dan dosis
internal dari suatu zat toksik (Budiawan, 2008).
Biomonitoring merupakan suatu cara untuk mendeteksi adanya
paparan zat beracun dan berbahaya (toksikan). Merupakan kegiatan

21

pemantauan atau kajian terhadap zat di lingkungan atau terhadap


biomarker nya baik dalam jaringan (organ sel), sekreta, eksresi, udara
pernafasan atau kombinasinya dalam makhluk hidup. Sedangkan
biomarker itu sendiri didefinisikan sebagai suatu parameter yang dapat
dipakai untuk mengidentifikasi suatu efek racun dalam organisme.
Biomarker merupakan suatu senyawa spesifik yang digunakan sebagai
penanda terjadinya paparan bahan-bahan toksik, baik pada tingkat
individu, maupun pada populasi masyarakat. Senyawa spesifik tersebut
mampu menggambarkan jenis paparan (bahan kimia), status paparan,
mekanisme aksi suatu paparan dan perubahan biokimia (biomolekular)
atau fisiologis atau perubahan lainnya yang dapat diukur (ditentukan) serta
memprediksi risiko dampak/penyakit yang yang akan muncul (Budiawan,
2008).
Biomarker dari suatu paparan zat toksik dapat berupa zat toksik itu
sendiri, metabolit dari suatu bahan yang mengalami perubahan
(metabolism) dalam tubuh (dalam darah, urin dan udara pernafan),
Protein-adduct, parameter sitogenik, atau enzim (Budiawan, 2008).
2.4.4

Metode Analisis Zat Toksik Sianida


Tujuan utama dari sub-bab ini untuk menjelaskan metode analisis

yang dapat digunakan untuk mendeteksi, mengukur dan memonitori zat


sianida, dan biomarker lainnya yang terpapar dan berefek terhadap sianida.
Manusia dapat terkena sianida dari makanan, industri, lingkungan,
dan lainnya sumber. Setelah penyerapan, sianida cepat didistribusikan
dalam tubuh melalui darah. Beberapa metode yang umum tersedia untuk

22

menentukan sianida media biologi dilaporkan dalam table berikut ini :


(Ballantyne 1983c, 1987a).
Tabel. 2.2 Metode Analisis Sianida Berdasarkan Sampel Biologis

23

24

Penentuan sianida dalam cairan tubuh memerlukan pemisahan


sianida dari tiosianat, biasanya dengan distilasi dari sianida atau
microdiffusion menjadi solusi absorber. Sianida diukur spektrofotometri
setelah reaksi kolorimetri melibatkan ion sianida dan chloramines-T
ditambah piridin-pyrazolone, p-benzoquinon, atau p-fenilena diamina
(lihat Tabel 7-1). Batas deteksi terrendah untuk rentang pertengahan ppb
(mg / L) (Cruz-Landeira et al 2000;. Ganjeloo et al 1980;. Laforge et al
1994.).
Teknik ini memakan waktu, dan beberapa kurang spesifik atau
sensitivitas. Sianida dalam darah hampir secara eksklusif lokal ke
eritrosit, sedangkan tiosianat terbatas pada plasma (Lundquist dan Sorbo
1989); dengan demikian, beberapa peneliti merekomendasikan analisis
eritrosit (McMillan dan Svoboda1982; Sano et al. 1992).
Beberapa gangguan dapat dikurangi. Misalnya, natrium tiosulfat,
sebuah antagonis sianida umum yang bertindak sebagai gangguan, dapat
dihilangkan dengan menggunakan larutan buffer di pH 5,2 sebagai agen
acidifying untuk sianida microdiffusion (Sylvester et al 1982;. Way 1984).
Kadar serum tiosianat biasanya ditentukan secara spektrofotometri
setelah reaksi kolorimetri dari tiosianat dengan nitrat besi atau asam
barbiturat dan piridin (Li et al 1993;. Olea et al 1992.). Ion kromatografi
resin pertukaran telah digunakan untuk mengisolasi tiosianat dari serum
(Olea et al. 1992). Batas deteksi berada dalam kisaran ppb (Li et al 1993;.
Olea et al 1992.). Pemulihan dan presisi, di mana dilaporkan, baik

25

(recovery> 90%; presisi <15% RSD) (. Li et al 1993). Metode yang


tersedia untuk mengukur tiosianat dalam air liur dengan kromatografi cair
kinerja tinggi (HPLC) (Liu dan Yun 1993) dan di air liur dan darah
spektrofotometri (Tominaga et al 1991;.. Yamanaka et al 1991). Pada tabel
2.3 berisi metode analisis perwakilan untuk menentukan tiosianat dalam
matriks biologi.
Tabel. 2.3 Metode Analisis Penentuan Tiosanat dalam Matrix Biologi

26

Selain tiosianat, sianida metabolit lain, asam 2-aminothiazole-4karboksilat (ATCA), adalah digunakan sebagai biomarker dari paparan
sianida. biomarker ini terbentuk melalui reaksi sianida dengan l-sistin dan
rekening untuk 20% dari metabolisme sianida dalam tubuh manusia
(Logue et al.2005). Tidak seperti sianida, ATCA stabil selama berbulanbulan dalam sampel biologis disimpan pada pembekuan atau ambien
suhu. ATCA adalah mudah pulih dari plasma atau urin dengan terlebih
dahulu acidifying sampel dan kemudian mengekstraksi senyawa untuk
campuran, kolom tukar kation.
ACTA dielusi dari kolom dan dikonversi ke turunan trimethylsilyl
melalui reaksi dengan 30% N-metil-N-trimethylsilyl trifluoroasetamida
(BSTFA) dalam heksana sebelum analisis dengan kromatografi gas /
spektrometer massa (GC/MS). Metode uji menyediakan untuk batas
deteksi yang baik (25 ng / mL) dan pemulihan (100% dari plasma dan
84% dari urin).
2.4.5

Interpretasi Temuan Analisis


Temuan analisis sendiri tidak mempunyai makna yang berarti jika

tidak dijelaskan makna dari temuan tersebut. Seorang toksikolog forensik


berkewajiban menerjemahkan temuan terebut berdasarkan kepakarannya
ke dalam suatu kalimat atau laporan, yang dapat menjelaskan atau mampu
menjawab pertanyaan yang muncul berkaitan dengan permasalahan/kasus
yang ditujukan (Wirasuta. M.A.G, 2008).

27

Terdapat beberapa pertanyaan yang harus dijawab oleh toksikologi


forensik dalam melakukan analisis: (Wirasuta. M.A.G, 2008)
a

Senyawa apa yang terlibat dalam tindak kriminal tersebut (senyawa


apa yang menyebabkan keracunan)?

Berapa besar dosisnya?

Efek apa yang ditimbulkan?

Kapan tubuh korban terpapar oleh senyawa tersebut?


Pertanyaan-pertanyaan tersebut dapat terungkap dari hasil analisis

toksikologi dan didukung oleh penguasaan ilmu pendukung lainnya seperti


farmakologi dan toksikologi, biotransformasi, dan farmakokinetik
(Wirasuta. M.A.G, 2008).
Data temuan hasil uji penapisan dapat dijadikan petunjuk bukan
untuk menarik kesimpulan bahwa seseorang telah terpapar atau
menggunakan

senyawa

tersebut.

Sedangkan

hasil

uji

pemastian

(confirmatory test) dapat dijadikan dasar untuk memastikan atau menarik


kesimpulan apakah seseorang telah menggunakan obat terlarang yang
dituduhkan. Pertanyaan ini terdengar sangatlah mudah, namun pada
praktisnya banyak faktor yang mempengaruhi (Wirasuta. M.A.G, 2008).
Pada interpretasi hasil analisis kasus kematian, seorang toksikolog
forensik harus mampu menjawab pertanyaan spesifik, seperti: rute
pemakaian toksikan, apakah konsentrasi toksikan yang ditetapkan cukup
sebagai penyebab kematian atau penyebab keracunan. Penetapan rute
pemakaian biasanya diperoleh dari analisis berbagai spesimen, dimana

28

pada umumnya konsentrasi toksikan yang lebih tinggi ditemukan di daerah


rute pemakaian. (Wirasuta. M.A.G, 2008).
Ditemukannya toksikan dalam konsentrasi yang cukup tinggi baik
di saluran pencernaan maupun di darah, dapat dijadikan cukup bukti untuk
menyatakan toksikan tersebut sebagai penyebab kematian. Seorang
toksikolog forensik dituntut juga dapat menerangkan absorpsi toksikan dan
transportasi/distribusi melalui sirkulasi sistemik menuju organ-jaringan
sampai dapat menimbulkan efek yang fatal. Interpretasi ini diturunkan dari
data konsentrasi toksikan baik di darah maupun di jaringan (Wirasuta.
M.A.G, 2008).
Hasil analisis urin biasanya kurang berarti dalam menentukan efek
toksik/psikologi dari suatu toksikan. Secara umum hasil analisis urin
menyatakan adanya paparan toksikan sebelum kematian. Dari jumlah
volume urin dan konsentrasi jumlah toksikan dan metabolitnya di dalam
kantung kemih, dengan berdasarkan data laju eksresi toksikan dan
metabolitnya, maka dimungkinkan untuk menurunkan informasi lamanya
waktu paparan telah terjadi sebelum kematian (Wirasuta. M.A.G, 2008).
Interpretasi tingkat konsentrasi dalam darah dan jaringan dapat
dibagi menjadi tiga kategori; normal atau terpaeutik, toksik, dan lethal.
Tingkat konsentrasi normal dinyatakan sebagai keadaan dimana tidak
menimbulkan efek toksik pada organisme. Tingkat konsentrasi toksik
berhubungan dengan gejala membahayakan nyawa, seperti; koma, kejangkejang, kerukan hati dan ginjal. Tingkat konsentrasi kematian dinyatakan

29

sebagai konsentrasi yang dapat menyebabkan kematian, contoh; sianida


pada konsentrasi yang tinggi (0,17 2,22 mg/L) diketemukan pada
kematian akibat keracunan sianida, dinyatakan sebagai penyebab
keracunan. Sedangkan pada konsentrasi yang sangat kecil (0,004 mg/L
pada orang sehat dan 0,006 mg/L pada perokok), sianida juga berperan
dalam pembentukan vitamin B12. Dalam jumlah kecil sianida juga
diabsorpsi selama merokok. Oleh sebab itu mendeteksi sianida didarah
pada tingkat dibawah konsentrasi toksik masih dapat ditolerir sebagai
tanpa efek toksik (Wirasuta. M.A.G, 2008).
Faktor-faktor yang mempengaruhi respon individu terhadap tingkat
konsentrasi toksik (seperti; usia, jenis kelamin/status hormonal, berat
badan, status nutrisi, genetic, status imunologi, kelainan patologik dan
penyakit bawaan, kelainan fungsi organ, sifat farmakokinetik dari
toksikan) seharusnya juga dipertimbangkan dalam menginterpretasikan
hasil analisis, yang bertujuan mencari faktor penyebab keracunan. Faktor
lain yang juga harus mendapat perhatian adalah fenomena farmakologi
seperti toleransi. Toleransi adalah suatu keadaan menurunnya respon tubuh
terhadap toksikan sebagai hasil paparan yang berulang sebelumnya,
biasanya dalam waktu yang lama. Penurunan respon dapat diakibatkan
oleh adaptasi selular pada suatu konsentrasi toksikan, yang dapat berakibat
pada penekanan efek farmakologis yang diinginkan (Wirasuta. M.A.G,
2008).

30

Anda mungkin juga menyukai