Definisi Sianida
Sianida adalah garam asam hydrocyanic dan merupakan salah satu
zat yang dikenal paling beracun, berefek cepat, dan mematikan yang
terdapat dalam berbagai bentuk. Sianida bisa menjadi gas yang tidak
berwarna, seperti hidrogen sianida (HCN) atau cyanogen chloride (CNCL)
atau dalam bentuk kristal yang larut dalam air seperti natrium sianida
(NaCN) atau kalium sianida (KCN). Sianida mempunyai bau yang khas
berupa bau almond pahit tetapi hal ini tidak dapat dideteksi oleh beberapa
orang (Borron dan Stephen, 2003).
Sianida di bidang manufaktur digunakan untuk membuat kertas,
tekstil, dan plastik. Garam sianida digunakan oleh bidang metalurgi dalam
sejumlah proses kimia, termasuk electroplating, pengerasan besi dan baja,
membersihkan logam, dan mengeluarkan emas dari bijih. Sianida sediaan
gas digunakan untuk membasmi hama dan serangga hewan lainnya di
kapal dan gedung-gedung (Borron dan Stephen, 2003).
2.1.2
Sumber Sianida
Apricot, ceri liar, persik, plum, jagung (sorghum), chickpea,
Toksisitas Sianida
Tidak mudah menentukan dosis sianida yang mematikan untuk
manusia.
Manusia
yang
mengalami
keracunan
sianida
memiliki
10
tidak terurai menjadi HCN, keadaan ini dikenal sebagai imunitas Rasputin.
Tetapi sekarang hal ini telah dibantah, karena cukup dengan air saja dalam
lambung, garam CN sudah dapat terurai menjadi HCN. Kemungkinan lain
adalah karena dalam penyimpanan sianida sudah berubah menjadi garam
karbonat NaCN + udara Na2CO3 + NH3 (Basbeth, 1997).
Pengaruh toksikodinamik dapat bervariasi tergantung dari dosis,
rute dan waktu pemaparan, kecepatan distribusi, bentuk kimia sianida, dan
faktor lainnya termasuk jenis kelamin, umur, berat badan, tingkat stress,
dan kondisi fisik umum korban (Basbeth, 2004).
2.1.6
11
ketiadaan koordinasi gerakan, ketidakteraturan detak jantung, kejangkejang, koma dan gagal napas dapat terjadi sehingga menimbulkan
kematian. Namun, tanda-tanda ini tidak spesifik untuk keracunan siandia
(Bhattacharya, 2000).
2.1.7
12
menjadi met-Hb dan akan mengikat CN menjadi sian-met Hb. Salah satu
keterbatasan mengenai antidotum ini adalah hanya berdasarkan dari
ekperimen menggunakan hewan (Basbeth, 1997; Baskin dan Brewer,
2004).
Jumlah nitrit yang diberikan harus berdasarkan kadar Hb dan berat
badan korban. Jumlah Na-nitrit cukup dengan mengubah 25% Hb menjadi
met-Hb. Kadar met-Hb tidak boleh melebihi 40% karena met-Hb akan
mengganggu pendistribusian O2. Bila kadar met-Hb melebihi 40% berikan
reduktor, misalnya vitamin C intervena (Basbeth, 1997).
Takaran Awal
(g/100ml)
NaNO2 (mg/Kg)
7
8
9
10
11
12
13
14
5.8
6.6
7.5
8.3
9.1
10
10.8
11.6
Takaran Awal
NaNO2 3%
tiosulfat 25%
(ml/Kg)
0.19
0.22
0.25
0.27
0.30
0.33
0.36
0.38
(ml/Kg)
0.95
1.10
1.25
1.35
1.50
1.65
1.80
1.95
kobalt EDTA adalah obat pilihan dengan takaran 300 mg I.V yang akan
mengubah CN menjadi kobaltsianida Co(CN)6 yang larut dalam air
(Basbeth, 1997).
Selain nitrit, dapat juga diberikan metilen biru 1% 50 ml I.V
sebagai antidotum. Metilen biru akan mengubah Hb menjadi met-Hb dan
akan tetapi hasil dari pembentukan ini masih belum diketahui. Bila korban
keracunan akut dapat dapat bertahan hidup selama empat jam maka
prognosisnya baik, umumnya diikuti dengan gejala sisa berupa kelainan
neurologik (Basbeth, 1997).
Bilas lambung dilakukan setelah pemberianan antidotum, bilas
lambung menggunakan Na-tiosulfat 5% dan sisakan 200 ml (10 gr) dalam
lambung. Dapat juga dengan K-permanganat 0.1% atau H2O2 3% yang
diencerkan satu sampai lima kali, atau dengan dua sendok teh karbon aktif
atau universal antidote dalam satu gelas air dan kemudian kosongkan
lambung dengan jalan dimuntahkan atau bilas lambung (Basbeth, 1997).
Asidosis laktat yang berasal dari metabolism anaerob dapat diterapi
dengan memberikan sodium bikarbonat secara intravena dan bila penderita
gelisah dapat diberkan obat antikonvulsan seperti diazepam. Pemberian
obat vasopressor seperti epinefrin bila timbul hipotensi yang tidak
memberi respon setelah diberikan terapi cairan. Pemberian obat
antiaritmia bila terjadi gangguan pada detak jantung (CDC, 2005).
Jika terkena paparan sianida, segera menjauh dari tempat atau
sumber paparan, jika korban berada di dalam ruangan maka segera keluar.
14
Jika pakaian terpapar, cepat buka dan letakkan pakaian tersebut didalam
kantong plastik, ikat kuat dan rapat. Jauhkan dari jangkauan manusia
terutama anak-anak. Segera cuci sisa sianida yang masih melekat pada
kulit dengan sabun dan air yang mengalir, berikan antidotum seperti
sodium nitrit dan sodium tiosulfat (CDC, 2004).
Kesulitan dalam melakukan penelitian mengenai penggunaan
antidotum ini disebabkan karena kecilnya jumlah korban keracunan, fakta
bahwa kebanyakan korban keracunan harus mendapatkan terapi segera,
sulitnya untuk mendapatkan hasil analisis darah dan konsentrasi sianida
dalam jaringan, dan terbatasnya penelitian yang membandingkan dengan
penelitian yang dilakukan oleh hewan (Baskin dan Brewer, 2004).
15
2.2
dan vena retina karena rendahnya penghantaran oksigen ke jaringan. (Baskin dan
Brewer, 2004).
Dari pemeriksaan laboratorium menunjukkan adanya penurunan tekanan
parsial oksigen (PO2) dengan adanya asidosis laktat. Pemeriksaan darah dan urin
sangat penting pada mereka yang sering terpapar agen ini. Selain itu juga,
pemeriksaan ini akan menentukan pemberian jenis terapi. Konsentrasi sianida
dalam darah sangat berhubungan dengan gejala klinis yang akan ditimbulkannya
(Baskin dan Brewer, 2004).
Karena sel darah merah banyak mengandung sianida, maka pemeriksaan
seluruh komponen darah sangat diperlukan. Hal ini cukup sulit dilakukan karena
waktu paruh sianida yang pendek sehingga kandungan sianida dalam darah
dengan cepat berkurang. Oleh sebab itu, faktor waktu dan kondisi tempat
penyimpanan sangat penting dalam menentukan hasil pemeriksaan (Alcorta dan
Faceps, 2006).
2.3
sianida harus memakai alat perlindungan diri sehingga terhindar dari kontaminasi
sianida yang mudah menguap (Wiguna, 2010) antara lain dengan;
1
Gunakan sarung tangan lateks, karena pada dasarnya semua cairan tubuh
dianggap dapat menularkan baik itu penyakit atau racun.
16
3
4
5
patognomonik untuk keracunan sianida, dapat tercium dengan cara menekan dada
mayat sehingga akan keluar gas dari mulut dan hidung. Bau tersebut harus cepat
dapat ditentukan karena indera penciuman kira cepat beradaptasi. Harus diingat
bahwa tidak semua orang dapat mencium bau sianida karena kemampuan untuk
mencium bau khas bersifat sex-linked trait (Basbeth, 1997).
Sianosis pada wajah dan bibir, busa keluar dari mulut, dan lebam mayat
berwarna merah terang karena darah vena kaya akan oksi-Hb. Tetapi adapula yang
mengatakan karena terdapat Cyan-Met-Hb. Warna lebam yang merah terang tidak
selalu ditemukan pada kasus keracunan sianida, ditemukan pula kasus kematian
akibat sianida dengan warna lebam mayat yang berwarna biru-kemeraha, livid.
Hal ini tergantung pada keadaan dan derajat keracunan (Basbeth, 1997).
Pada pemeriksaan bedah jenazah, dapat tercium bau amandel yang khas
pada waktu membuka rongga dada, perut, dan otak serta lambung. Darah otot dan
penampang organ tubuh dapat berwarna merah terang. Selanjutnya hanya
ditemukan tanda-tanda asfiksia pada organ-organ tubuh (Basbeth, 1997).
Pada korban keracunan yang menelan garam alkali sianida, dapat
ditemukan kelainan pada mukosa lambung berupa korosi dan berwarna merah
kecoklatan karena terbentuk hematin alkali dan pada perabaan mukosa licin
17
seperti sabun. Korosi dapat mengakibatkan perforasi lambung yang dapat terjadi
antemortal atau postmortal (Basbeth, 1997).
2.4
Forensik Toksikologi
2.4.1 Definisi Forensik Toksikologi
Forensik toksikologi adalah salah satu dari cabang ilmu forensik.
Menurut Saferstein yang dimaksud dengan Forensic Science adalah the
application of science to law, maka secara umum ilmu forensik dapat
dimengerti sebagai aplikasi atau pemanfaatan ilmu pengetahuan tertentu
untuk menegakkan hukum dan peradilan. Ilmu toksikologi adalah ilmu
yang menelaah tentang kerja dan efek berbahaya zat kimia atau racun
terhadap mekanisme biologis suatu organisme. Racun itu sendiri
didefinisikan sebagai senyawa yang berpotensi memberikan efek yang
berbahaya terhadap organisme. Sifat racun dari suatu senyawa ditentukan
oleh; dosis, konsentrasi racun di reseptor, sifat fisiko kimis toksikan
tersebut, kondisi bioorganisme atau sistem bioorganisme, paparan terhadap
organisme dan bentuk efek yang ditimbulkan (Wirasuta. M.A.G, 2008).
Kerja utama dari forensik toksikologi adalah melakukan analisis
kualitatif maupun kuantitatif dari racun dan menerjemahkan temuan
analisisnya apakah ada atau tidaknya racun yang terlibat dalam tindak
kriminal yang dituduhkan sebagai bukti di pengadilan. Hasil analisis dan
interpretasi temuan analisis ini akan dimuat ke dalam suatu laporan yang
sesuai dengan hukum dan perundangan-undangan. Menurut Hukum Acara
Pidana (KUHAP), laporan ini dapat disebut dengan Surat Keterangan Ahli
18
Menurut society of
Analisis
obat
terlarang
dalam
darah
dan
urin
pada
kasus
19
2.4.2
seringkali menjadi rumit karena adanya proses yang secara alamiah terjadi
dalam tubuh manusia. Jarang sekali suatu bahan kimia bertahan dalam
bentuk asalnya didalam tubuh. Saat bahan kimia memasuki tubuh maka
akan terjadi proses ADME, yaitu absorpsi, distribusi, metabolisme dan
ekskresi. Zat toksik juga kemungkinan dapat mengalami pengenceran
dengan adanya proses penyebaran ke seluruh tubuh sehingga sulit untuk
terdeteksi. Walaupun zat racun yang masuk dalam ukuran gram atau
milligram, sampel yang diinvestigasi dapat mengandung zat racun atau
biomarkernya dalam ukuran microgram atau nanogram, bahkan hingga
pikogram (Budiawan, 2008).
Paracelsus (1493-1541) menyatakan bahwa semua zat adalah
racun; tidak ada yang bukan racun. Dosis yang tepat membedakan suatu
racun dengan obat. Toksikan (zat toksik) adalah bahan apapun yang
dapat memberikan efek yang berlawanan (merugikan). Racun merupakan
istilah untuk toksikan yang dalam jumlah sedikit (dosis rendah) dapat
menyebabkan kematian atau penyakit (efek merugikan) yang secara tiba-
20
tiba. Zat toksik ini dapat berada dalam bentuk fisik (radiasi), kimiawi
(arsen, sianida) maupun biologis (bisa ular). Zat ini terdapat dalam
beragam wujud (cair, padat, gas), dan beberapa diantaranya mudah
diidentifikasi dari gejala yang ditimbulkan selain itu banyak zat toksik
cenderung menyamarkan diri (Budiawan, 2008).
Prinsip utama dalam toksikologi ialah hubungan dosis dengan
respon/efek yang ditimbulkan. Kontak zat toksik (paparan) terhadap
organisme/tubuh dapat melalui jalur tertelan (ingesti), terhirup (inhalasi)
atau
terabsorpsi
melalui
kulit.
Zat
toksik
umumnya
memasuki
organisme/tubuh dalam dosis tunggal dan besar (akut). Atau dosis rendah
namun terakumulasi hingga jangka waktu tertentu (kronis) (Budiawan,
2008).
2.4.3
dilakukan analisis jaringan dan cairan tubuh (body fluids). Hal ini
ditujukan untuk mengukur kandungan dari zat tersebut, metabolit, atau
enzim-enzim dan bahan atau respon biologis lainnya sebagai akibat dari
pengaruh zat toksik tersebut. Penetapan zat sebagai petanda bio
(biomarker) dengan cara demikian dikenal sebagai biomonitoring, dan
dapat memberikan suatu indikasi penyebab/sumber paparan dan dosis
internal dari suatu zat toksik (Budiawan, 2008).
Biomonitoring merupakan suatu cara untuk mendeteksi adanya
paparan zat beracun dan berbahaya (toksikan). Merupakan kegiatan
21
22
23
24
25
26
Selain tiosianat, sianida metabolit lain, asam 2-aminothiazole-4karboksilat (ATCA), adalah digunakan sebagai biomarker dari paparan
sianida. biomarker ini terbentuk melalui reaksi sianida dengan l-sistin dan
rekening untuk 20% dari metabolisme sianida dalam tubuh manusia
(Logue et al.2005). Tidak seperti sianida, ATCA stabil selama berbulanbulan dalam sampel biologis disimpan pada pembekuan atau ambien
suhu. ATCA adalah mudah pulih dari plasma atau urin dengan terlebih
dahulu acidifying sampel dan kemudian mengekstraksi senyawa untuk
campuran, kolom tukar kation.
ACTA dielusi dari kolom dan dikonversi ke turunan trimethylsilyl
melalui reaksi dengan 30% N-metil-N-trimethylsilyl trifluoroasetamida
(BSTFA) dalam heksana sebelum analisis dengan kromatografi gas /
spektrometer massa (GC/MS). Metode uji menyediakan untuk batas
deteksi yang baik (25 ng / mL) dan pemulihan (100% dari plasma dan
84% dari urin).
2.4.5
27
senyawa
tersebut.
Sedangkan
hasil
uji
pemastian
28
29
30