Anda di halaman 1dari 18

Etika Kedokteran dan Medikolegal Dalam Pengambilan Keputusan

Chatrine wijanarko
102012158/E4
Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana
Jln. Arjuna Utara No. 6 Jakarta 11510
PENDAHULUAN
Etik adalah cabang ilmu filsafat yang mempelajari moralitas . Etik harus dibedakan
dengan sains yang mempelajari mora;itas, yaitu etik deskriptif, sedangkan bioetika adalah
salah satu cabang dari etik normatif. Bioetik atau biomedical etik adalah etik yang
berhubungan dengan praktek kedokteran atau penelitian di bidang biomedis.
Profesi kedokteran diharapkan memiliki sikap profesionalisme, yaitu sikap yang
bertanggung jawab, sikap kompetensi dan wewenang yang sesuai waktu juga tempat, sikap
etis sesuai etika profesi, bekerja sesuai standar yang ditetapkan, dan untuk bidang kesehatan
diperlukan adanya sikap altruis (rela berkorban).
Didalam menentukan tindakan di bidang kesehatan medis, perlu dipertimbangkan
tentang kebutuhan pasien, namun keputusan tetap harus didasarkan pada hak-hak asasi
pasien. Dalam pengambilan keputusan sebagai tenaga medis pun kita perlu mempelajari
tentang etika yang merupakan disiplin ilmu yang mempelajari baik buruk atau benar salahnya
suatu tindakan perbuatan seseorang / institusi dilihat dari moralitas.
PEMBAHASAN
Skenario IV : Seorang laki-laki adalah pasien lama anda, dating ke tempat praktek anda. Ia
menyapa dengan baik seperti biasanya, dan kemudian meminta tolong kepada anda
melakukan sesuatu.
Kakak kandungnya saat ini sedang diperiksa oleh kejaksaan karena diduga
telah melakukan tindak pidana korupsi, dengan status tahanan. Ia sebenernya menderita
penyakit jantung yang telah lama dideritanya, penyakit lever, dan penyakit pada lutut
kanannya ( osteochondritis genu) sehingga ia mengalami hambatan dalam berjalan. Pasien
lama anda tersebut menunjukan kepada anda data-data medic dari kakaknya. Pasien lama
anda tersebut mendengar bahwa di Jepang terdapat seorang professor ortopedi mahir dalam
menangani penyakit lututnya. Oleh karena itu ia meminta kepada anda untuk dapat
membuatkan surat pengantar berobat ke Profesor di Jepang tersebut.

| Page 1

Etika Kedokteran
Etika adalah disiplin ilmu yang mempelajari baik buruk atau benar salahnya suatu
sikap dan atau perbuatan seseorang individu atau institusi dilihat dari moralitas. Ada dua
macam etika yang harus kita pahami bersama dalam menentukan baik dan buruknya perilaku
manusia terutamanya apabila menyangkut ilmu profesi kedokteran yang berhadapan dengan
pasien:

Etika deskriptif, yaitu etika yang berusaha meneropong secara kritis dan rasional sikap
dan prilaku manusia dan apa yang dikejar oleh manusia dalam hidup ini sebagai sesuatu
yang bernilai. Etika deskriptif memberikan fakta sebagai dasar untuk mengambil

keputusan tentang prilaku atau sikap yang mau diambil.


Etika normative, yaitu etika yang berusaha menetapkan berbagai sikap dan pola prilaku
ideal yang seharusnya dimiliki oleh manusia dalam hidup ini sebagai sesuatu yang
bernilai. Etika normatif memberi penilaian sekaligus memberi norma sebagai dasar dan
kerangka tindakan yang akan diputuskan.1
Kode Etik Kedokteran Internasional berisikan tentang kewajiban umum, kewajiban

terhadap pasien, kewajiban terhadap sesama dan kewajiban terhadap diri sendiri. Selanjutnya,
Kode Etik Kedokteran Indonesia dibuat dengan mengacu kepada Kode Etik Kedokteran
Internasional. Selain Kode Etik Profesi di atas, praktek kedokteran juga berpegang kepada
prinsip-prinsip moral kedokteran, prinsip-prinsip moral yang dijadikan arahan dalam
membuat keputusan dan bertindak, arahan dalam menilai baik-buruknya atau benar-salahnya
suatu keputusan atau tindakan medis dilihat dari segi moral. Pengetahuan etika ini dalam
perkembangannya kemudian disebut sebagai etika biomedis. Etika biomedis memberi
pedoman bagi para tenaga medis dalam membuat keputusan klinis yang etis (clinical ethics)
dan pedoman dalam melakukan penelitian di bidang medis.
Di dalam menentukan tindakan di bidang kesehatan atau kedokteran, keputusan
hendaknya mempertimbangkan Etika Profesi Kedokteran. Etika adalah disiplin ilmu yang
mempelajari baik buruk atau benar salahnya suatu sikap dan atau perbuatan seseorang
individu atau institusi dilihat dari moralitas. Penilaian baik-buruk, benar-salah dari sisi moral
tersebut menggunakan pendekatan teori etika yang cukup banyak jumlahnya. Terdapat dua
teori etika yang paling banyak dianut orang adalah teori deontologi dan teleologi. Deontologi
mengajarkan bahwa baik-buruknya suatu perbuatan harus dilihat dari perbuatannya itu sendiri
| Page 2

sedangkan teleologi mengajarkan untuk menilai baik-buruk tindakan dengan melihat hasil
atau akibatnya. Deontologi lebih mendasarkan kepada ajaran agama, tradisi dan budaya,
sedangkan teologi lebih kearah penalaran (reasoning) dan pembenaran (justifikasi) kepada
azas manfaat. 1,2
Kaidah dasar (prinsip) Etika / Bioetik adalah aksioma yang mempermudah penalaran
etik. Prinsip-prinsip itu harus spesifik. Pada praktiknya, satu prinsip dapat dibersamakan
dengan prinsip yang lain. Tetapi pada beberapa kasus, karena kondisi berbeda, satu prinsip
menjadi lebih penting dan sah untuk digunakan dengan mengorbankan prinsip yang lain.
Keadaan terakhir disebut dengan prima facie. Konsil Kedokteran Indonesia, dengan
mengadopsi prinsip etika kedokteran barat, menetapkan bahwa, praktik kedokteran Indonesia
mengacu kepada 4 kaidah dasar moral (sering disebut kaidah dasar etika kedokteran atau
bioetika), juga prima facie dalam penerapan praktiknya.
Prinsip-Prinsip Etika Profesi.Beauchamp and childress (1994) menguraikan bahwa untuk
mencapai suatu keputusan etis diperlukan empat kaedah dasar moral dan beberapa rules
dibawahnya, yaitu:1
A. Prinsip beneficence, yaitu prinsip moral yang mengutamakan tindakan yang ditunjukan
kepada kebaikan pasien. Dokter harus mengusahakan agar pasien yang dirawatnya terjaga
keadaan kesehatannya. Pengertian berbuat baik di sini adalah bersikap ramah atau
menolong,

lebih

dari

sekedar

memenuhi

kewajibannya.Tindakan

konkrit

dari

beneficience meliputi:
1. Mengutamakan altruisme (menolong tanpa pamrih, rela berkorban untuk kepentingan
orang lain)
2. Menjamin nilai pokok harkat dan martabat manusia
3. Memandang pasien/keluarga/sesuatu tidak hanya sejauh menguntungkan dokter
4. Mengusahakan agar kebaikan/manfaatnya lebih banyak dibandingkan dengan
keburukannya
5. Paternalisme bertanggung jawab/berkasih sayang
6. Menjamin kehidupan baik
7. Pembatasan goal based
8. Maksimalisasi pemuasan kebahagiaan / preferensi pasien
9. Minimalisasi akibat buruk
10. Kewajiban menolong pasien gawat darurat
11. Menghargai hak-hak pasien secara keseluruhan
12. Tidak menarik honorarium di luar kepantasan
13. Maksimalisasi kepuasan tertinggi secara keseluruhan
14. Mengembangkan profesi secara terus-menerus
15. Memberikan obat berkhasiat namun murah
| Page 3

16. Menerapkan Golden Rule Principle, dimana kita harus memperlakukan orang lain
seperti kita ingin diperlakukan oleh orang lain.
B. Prinsip non-maleficence, yaitu prinsip moral yang melarang tindakan yang
memperburuk keadaan pasien. Prinsip ini dikenal sebagai primum non nocere atau do
not harm.Tindakan konkrit dari non-maleficence meliputi:
1. Menolong pasien emergensi
2. Kondisi untuk menggambarkan criteria ini adalah:
3. Mengobati pasien yang luka
4. Tidak membunuh pasien (tidak melakukan euthanasia)
5. Tidak menghina/mencaci maki/memanfaatkan pasien
6. Tidak memandang pasien hanya sebagai objek
7. Mengobati secara tidak proporsional
8. Mencegah pasien dari bahaya
9. Menghindari misinterpretasi dari pasien
10. Tidak membahayakan kehidupan pasien karena kelalaian
11. Memberiksan semangat hidup
12. Melindungi pasien dari serangan
13. Tidak melakukan white collar crime dalam bidang kesehatan/ kerumah-sakitan yang
merugikan pihak pasien/ keluarganya.
C. Prinsip autonomy, yaitu prinsip moral yang menghormati hak-hak pasien (the rights to
self determinations). Maksudnya tiap individu harus diperlakukan sebagai makhluk hidup
yang memiliki otonomi (hak untuk menentukan nasibnya sendiri).Tindakan konkrit dari
autonomi meliputi:2
1. Menghargai hak menentukan nasibnya sendiri
2. Tidak mengintervensi pasien dalam membuat keputusan (pada kondisi elektif)
3. Berterus terang
4. Menghargai privasi
5. Menjaga rahasia pasien
6. Menghargai rasionalitas pasien
7. Melaksanakan informed consent
8. Membiarkan pasien dewasa dan kompeten mengambil keputusan sendiri
9. Tidak mengintervensi atau menghalangi autonomi pasien
10. Mencegah pihak lain ,emgintervensi pasien dalam membuat keputusan, termasuk
keluarga pasien sendiri
11. Sabar menunggu keputusan yang akan diambil pasien pada kasus non emergensi
12. Tidak berbohong kepada pasien meskipun demi kebaikan pasien
13. Menjaga hubungan.
D. Prinsip justice, yaitu prinsip moral yang mementingkan fairness dan keadilan dalam
mendistribusikan sumber daya (distributive justice). Maksudnya adalah memperlakukan
semua pasien sama dalam kondisi yang sama.Tindakan konkrit yang termasuk justice
meliputi:
1. Memberlakukan segala sesuatu secara universal
2. Mengambil porsi terakhir dari proses membagi yang telah ia lakukan
3. Memberi kesempatan yang sama terhadap pribadi dalam posisi yang sama
| Page 4

4. Menghargai hak sehat pasien (affordability, equality, accessibility, availability,


quality)
5. Menghargai hak hukum pasien
6. Menghargai hak orang lain
7. Menjaga kelompok yang rentan (yang paling merugikan)
8. Tidak membedakan pelayanan pasien atas dasar SARA, status social, dll
9. Tidak melakukan penyalahgunaan
10. Memberikan kontribusi yang relative sama dengan kebutuhan pasien
11. Meminta partisipasi pasien sesuai kemampuannya
12. Kewajiban mendistribusi keuntungan dan kerugian (biaya, beban, sanksi) secara adil
13. Mengembalikan hak kepada pemiliknya pada saat yang tepat dan kompeten
14. Tidak memberi beban berat secara tidak merata tanpa alasan sah/tepat
15. Menghormati hak populasi yang sama-sama rentan penyakit/gangguan kesehatan
16. Bijak dalam makroalokasi.1,3
Peranan Etika Dalam Profesi:
A. Suatu kelompok diharapkan akan mempunyai tata nilai untuk mengatur kehidupan
bersama kerana nilai-nilai etika itu tidak hanya milik satu atau dua orang, atau segolongan
orang saja, tetapi milik setiap kelompok masyarakat, bahkan kelompok yang paling kecil
yaitu keluarga sampai pada suatu bangsa.
B. Salah satu golongan masyarakat yang mempunyai nilai-nilai yang menjadi landasan
dalam pergaulan baik dengan kelompok atau masyarakat umumnya maupun dengan
sesama anggotanya, yaitu masyarakat profesional. Golongan ini sering menjadi pusat
perhatian karena adanya tata nilai yang mengatur dan tertuang secara tertulis (yaitu kode
etik profesi) dan diharapkan menjadi pegangan para anggotanya.
Sorotan masyarakat menjadi semakin tajam manakala perilaku-perilaku sebagian para
anggota profesi yang tidak didasarkan pada nilai-nilai pergaulan yang telah disepakati
bersama (tertuang dalam kode etik profesi), sehingga terjadi kemerosotan etik pada
masyarakat profesi tersebut. 1,4
Tujuan Kode Etik Profesi:
A.
B.
C.
D.
E.
F.
G.

Untuk menjunjung tinggi martabat profesi.


Untuk menjaga dan memelihara kesejahteraan para anggota.
Untuk meningkatkan pengabdian para anggota profesi.
Untuk meningkatkan mutu profesi.
Untuk meningkatkan mutu organisasi profesi.
Meningkatkan layanan di atas keuntungan pribadi.
Mempunyai organisasi profesional yang kuat dan terjalin erat.2

Praktek kedokteran juga berpegang kepada prinsip-prinsip moral kedokteran, prinsip-prinsip


moral yang dijadikan arahan dalam membuat keputusan dan bertindak, arahan dalam menilai
| Page 5

baik-buruknya atau benar-salahnya suatu keputusan atau tindakan medis dilihat dari segi
moral. Pengetahuan etika ini dalam perkembangannya kemudian disebut sebagai etika
biomedis. Etika biomedis memberi pedoman bagi para tenaga medis dalam membuat
keputusan klinis yang etis (clinical ethics) dan pedoman dalam melakukan penelitian di
bidang medis.Nilai-nilai materialisme yang dianut masyarakat harus dapat dibendung dengan
memberikan latihan dan teladan yang menunjukkan sikap etis dan profesional dokter.
Pembuatan keputusan etik terutama dalam situasi klinik, dapat juga dilakukan dengan
pendekatan yang berbeda dengan pendekatan kaidah dasar moral diatas. Jonsen, Siegler, dan
Winslade mengembangkan teori etik yang menggunakan 4 topik yang esensial dalam
pelayanan klinik, yaitu:
A. Medical indication. Pada topik ini dimasukkan semua prosedur diagnostik dan terapi yang
sesuai untuk mengevaluasi keadaan pasien dan mengobatinya. Penilaian aspek indikasi
medis ini ditinjau dari sisi etiknya, terutama menggunakan kadiah beneficence dan nonmaleficence. Pertanyaan etika pada topic ini adalah serupa dengan seluruh informasi yang
selayaknya disampaikan kepada pasien pada informed consent.
B. Patient preferences. Pada topik ini kita memperhatikan nilai dan penilaian pasien tentang
manfaat dan beban yang akan diterimanya, yang berarti cerminan kaidah autonomy.
Pertanyaan etiknya meliputi pertanyaan tentang kompetensi pasien, sifat volunteer sikap
dan keputusannya, pemahaman atas informasi, siapa pembuat keputusan bila pasien tidak
kompeten, nilai dan keyakinan yang dianut pasien, dan lain-lain.
C. Quality of life. Topik ini merupakan aktualisasi salah satu tujuan kedokteran, yaitu,
memperbaiki, menjaga, atau meningkatkan kualitas hidup insani. Apa, siapa, dan
bagaimana melakukan penilaian kualitas hidup merupakan pertanyaan etik sekitar
D.

prognosis, yang berkaitan dengan beneficence, non-maleficence, dan autonomy.


Contextual features. Dalam topik ini dibahas pertanyaan etik seputar aspek non medis
yang mempengaruhi keputusan, seperti faktor keluarga, ekonomi, agama, budaya,

kerahasiaan, alokasi sumber daya, dan faktor hukum.1,3


Informed Consent
Informed Consent terdiri dari dua kata yaitu informed yang berarti telah mendapat
penjelasan atau keterangan (informasi), dan consent yang berarti persetujuan atau memberi
izin. Jadi informed consent mengandung pengertian suatu persetujuan yang diberikan setelah
mendapat informasi. Dengan demikian informed consent dapat didefinisikan sebagai
persetujuan yang diberikan oleh pasien dan atau keluarganya atas dasar penjelasan mengenai
tindakan medis yang akan dilakukan terhadap dirinya serta resiko yang berkaitan dengannya.
Tiga elemen Informed consent,
| Page 6

A. Threshold elements
Elemen ini sebenarnya tidak tepat dianggap sebagai elemen, oleh karena sifatnya
lebih ke arah syarat, yaitu pemberi consent haruslah seseorang yang kompeten (cakap).
Kompeten disini diartikan sebagai kapasitas untuk membuat keputusan medis. Kompetensi
manusia untuk membuat keputusan sebenarnya merupakan suaut kontinuum, dari sama sekali
tidak memiliki kompetensi hingga memiliki kompetensi yang penuh. Diantaranya terdapat
berbagai tingkat kompetensi membuat keputusan tertentu (keputusan yang reasonable
berdasarkan alasan yang reasonable).
Secara hukum seseorang dianggap cakap (kompeten) apabila telah dewasa, sadar dan
berada dalam keadaan mental yang tidak di bawah pengampuan. Dewasa diartikan sebagai
usia telah mencapai 21 tahun atau telah pernah menikah. Sedangkan keadaan mental yang
dianggap tidak kompeten adalah apabila mempunyai penyakit mental sedemikian rupa
sehingga kemampuan membuat keputusan menjadi terganggu.2,4
B. Information elements
Elemen ini terdiri dari dua bagian yaitu, disclosure (pengungkapan) dan understanding
(pemahaman). Pengertian berdasarkan pemahaman yang adekuat membawa konsekuensi
kepada tenaga medis untuk memberikan informasi (disclosure) sedemikian rupa sehingga
pasien dapat mencapai pemahaman yang adekuat. Dalam hal ini, seberapa baik informasi
harus diberikan kepada pasien, dapat dilihat dari 3 standar, yaitu :
1. Standar Praktik Profesi. Bahwa kewajiban memberikan informasi dan kriteria keadekuat-an informasi ditentukan bagaimana biasanya dilakukan dalam komunitas
tenaga medis.Dalam standar ini ada kemungkinan bahwa kebiasaan tersebut di atas
tidak sesuai dengan nilai-nilai sosial setempat, misalnya resiko yang tidak bermakna
(menurut medis) tidak diinformasikan, padahal mungkin bermakna dari sisi sosial
pasien.
2. Standar Subyektif. Bahwa keputusan harus didasarkan atas nilai-nilai yang dianut oleh
pasien secara pribadi, sehingga informasi yang diberikan harus memadai untuk pasien
tersebut dalam membuat keputusan. Kesulitannya adalah mustahil (dalam hal
waktu/kesempatan) bagi profesional medis memahami nilai-nilai yang secara
individual dianut oleh pasien.
3. Standar pada Reasonable Person. Standar ini merupakan hasil kompromi dari kedua
standar sebelumnya, yaitu dianggap cukup apabila informasi yang diberikan telah
memenuhi kebutuhan umumnya orang awam.5
C. Consent elements
| Page 7

Elemen ini terdiri dari dua bagian yaitu, voluntariness (kesukarelaan, kebebasan) dan
authorization (persetujuan). Kesukarelaan mengharuskan tidak ada tipuan, misrepresentasi
ataupun paksaan. Pasien juga harus bebas dari tekanan yang dilakukan tenaga medis yang
bersikap seolah-olah akan dibiarkan apabila tidak menyetujui tawarannya. 2,4 Consent dapat
diberikan :
1. Dinyatakan (expressed)
a. Dinyatakan secara lisan
b. Dinyatakan secara tertulis. Pernyataan tertulis diperlukan apabila dibutuhkan bukti
di kemudian hari, umumnya pada tindakan yang invasif atau yang beresiko
mempengaruhi

kesehatan

penderita

secara

bermakna.Permenkes

tentang

persetujuan tindakan medis menyatakan bahwa semua jenis tindakan operatif


harus memperoleh persetujuan tertulis.
2. Tidak dinyatakan (implied). Pasien tidak menyatakannya, baik secara lisan maupun
tertulis, namun melakukan tingkah laku (gerakan) yang menunjukkan jawabannya.
Meskipun consent jenis ini tidak memiliki bukti, namun consent jenis inilah yang
paling banyak dilakukan dalam praktik sehari-hari. Misalnya adalah seseorang yang
menggulung lengan bajunya dan mengulurkan lengannya ketika akan diambil
darahnya.
Suatu informed consent baru sah diberikan oleh pasien jika memenuhi minimal 3 (tiga)
unsure sebagai berikut :
A. Keterbukaan informasi yang cukup diberikan oleh dokter
B. Kompetensi pasien dalam memberikan persetujuan
C. Kesukarelaan (tanpa paksaan atau tekanan) dalam memberikan persetujuan.
Di Indonesia perkembangan informed consent secara yuridis formal, ditandai dengan
munculnya pernyataan Ikatan Dokter Indonesia (IDI) tentang informed consent melalui SK
PB-IDI No. 319/PB/A.4/88 pada tahun 1988. Kemudian dipertegas lagi dengan PerMenKes
No. 585 tahun 1989 tentang Persetujuan Tindakan Medik atau Informed Consent. Hal ini
tidak berarti para dokter dan tenaga kesehatan di Indonesia tidak mengenal dan melaksanakan
informed consent karena jauh sebelum itu telah ada kebiasaan pada pelaksanaan operatif,
dokter selalu meminta persetujuan tertulis dari pihak pasien atau keluarganya sebelum
tindakan operasi itu dilakukan.Secara umum bentuk persetujuan yang diberikan pengguna
jasa tindakan medis (pasien) kepada pihak pelaksana jasa tindakan medis (dokter) untuk
melakukan tindakan medis dapat dibedakan menjadi tiga bentuk, yaitu:
A. Persetujuan Tertulis, biasanya diperlukan untuk tindakan medis yang mengandung resiko
besar, sebagaimana ditegaskan dalam PerMenKes No. 585/Men.Kes/Per/IX/1989 Pasal 3
| Page 8

ayat (1) dan SK PB-IDI No. 319/PB/A.4/88 butir 3, yaitu intinya setiap tindakan medis
yang mengandung resiko cukup besar, mengharuskan adanya persetujuan tertulis, setelah
sebelumnya pihak pasien memperoleh informasi yang adekuat tentang perlunya tindakan
medis serta resiko yang berkaitan dengannya (telah terjadi informed consent);
B. Persetujuan Lisan, biasanya diperlukan untuk tindakan medis yang bersifat non-invasif
dan tidak mengandung resiko tinggi, yang diberikan oleh pihak pasien;
C. Persetujuan dengan isyarat, dilakukan pasien melalui isyarat, misalnya pasien yang akan
disuntik atau diperiksa tekanan darahnya, langsung menyodorkan lengannya sebagai
tanda menyetujui tindakan yang akan dilakukan terhadap dirinya.5,6
Tujuan Pelaksanaan Informed Consent. Dalam hubungan antara pelaksana (dokter)
dengan pengguna jasa tindakan medis (pasien), maka pelaksanaan informed consent,
bertujuan :
A. Melindungi pengguna jasa tindakan medis (pasien) secara hukum dari segala tindakan
medis yang dilakukan tanpa sepengetahuannya, maupun tindakan pelaksana jasa tindakan
medis yang sewenang-wenang, tindakan malpraktek yang bertentangan dengan hak asasi
pasien dan standar profesi medis, serta penyalahgunaan alat canggih yang memerlukan
biaya tinggi atau over utilization yang sebenarnya tidak perlu dan tidak ada alasan
medisnya;
B. Memberikan perlindungan hukum terhadap pelaksana tindakan medis dari tuntutantuntutan pihak pasien yang tidak wajar, serta akibat tindakan medis yang tak terduga dan
bersifat negatif, misalnya terhadap risk of treatment yang tak mungkin dihindarkan
walaupun dokter telah bertindak hati-hati dan teliti serta sesuai dengan standar profesi
medik.
Perlunya dimintakan informed consent dari pasien karena informed consent mempunyai
beberapa fungsi sebagai berikut :
A.
B.
C.
D.
E.
F.
G.

Penghormatan terhadap harkat dan martabat pasien selaku manusia


Promosi terhadap hak untuk menentukan nasibnya sendiri
Untuk mendorong dokter melakukan kehati-hatian dalam mengobati pasien
Menghindari penipuan dan misleading oleh dokter
Mendorong diambil keputusan yang lebih rasional
Mendorong keterlibatan publik dalam masalah kedokteran dan kesehatan
Sebagai suatu proses edukasi masyarakat dalam bidang kedokteran dan kesehatan.2

Aspek Hukum Informed Consent


Dalam hubungan hukum, pelaksana dan pengguna jasa tindakan medis (dokter, dan
pasien) bertindak sebagai subyek hukum yakni orang yang mempunyai hak dan kewajiban,
sedangkan jasa tindakan medis sebagai obyek hukum yakni sesuatu yang bernilai dan
| Page 9

bermanfaat bagi orang sebagai subyek hukum, dan akan terjadi perbuatan hukum yaitu
perbuatan yang akibatnya diatur oleh hukum, baik yang dilakukan satu pihak saja maupun
oleh dua pihak.Dalam masalah informed consent dokter sebagai pelaksana jasa tindakan
medis, disamping terikat oleh KODEKI (Kode Etik Kedokteran Indonesia) bagi dokter, juga
tetap tidak dapat melepaskan diri dari ketentuan-ketentuan hukun perdata, hukum pidana
maupun hukum administrasi, sepanjang hal itu dapat diterapkan.Pada pelaksanaan tindakan
medis, masalah etik dan hukum perdata, tolok ukur yang digunakan adalah kesalahan kecil
(culpa levis), sehingga jika terjadi kesalahan kecil dalam tindakan medis yang merugikan
pasien, maka sudah dapat dimintakan pertanggungjawabannya secara hukum. Hal ini
disebabkan pada hukum perdata secara umum berlaku adagium barang siapa merugikan
orang lain harus memberikan ganti rugi. Sedangkan pada masalah hukum pidana, tolok ukur
yang dipergunakan adalah kesalahan berat. Oleh karena itu adanya kesalahan kecil (ringan)
pada pelaksanaan tindakan medis belum dapat dipakai sebagai tolok ukur untuk menjatuhkan
sanksi pidana.7
Aspek Hukum Perdata, suatu tindakan medis yang dilakukan oleh pelaksana jasa
tindakan medis (dokter) tanpa adanya persetujuan dari pihak pengguna jasa tindakan medis
(pasien), sedangkan pasien dalam keadaan sadar penuh dan mampu memberikan persetujuan,
maka dokter sebagai pelaksana tindakan medis dapat dipersalahkan dan digugat telah
melakukan suatu perbuatan melawan hukum (onrechtmatige daad) berdasarkan Pasal 1365
Kitab Undang-undang Hukum Perdata (KUHPer). Hal ini karena pasien mempunyai hak atas
tubuhnya, sehingga dokter dan harus menghormatinya;Aspek Hukum Pidana, informed
consent mutlak harus dipenuhi dengan adanya pasal 351 Kitab Undang-Undang Hukum
Pidana (KUHP) tentang penganiayaan. Suatu tindakan invasive (misalnya pembedahan,
tindakan radiology invasive) yang dilakukan pelaksana jasa tindakan medis tanpa adanya izin
dari pihak pasien, maka pelaksana jasa tindakan medis dapat dituntut telah melakukan tindak
pidana penganiayaan yaitu telah melakukan pelanggaran terhadap Pasal 351 KUHP.
Sebagai salah satu pelaksana jasa tindakan medis dokter harus menyadari bahwa informed
consent benar-benar dapat menjamin terlaksananya hubungan hukum antara pihak pasien
dengan dokter, atas dasar saling memenuhi hak dan kewajiban masing-masing pihak yang
seimbang dan dapat dipertanggungjawabkan. Masih banyak seluk beluk dari informed
consent ini sifatnya relative, misalnya tidak mudah untuk menentukan apakah suatu inforamsi
sudah atau belum cukup diberikan oleh dokter. Hal tersebut sulit untuk ditetapkan secara pasti
dan dasar teoritis-yuridisnya juga belum mantap, sehingga diperlukan pengkajian yang lebih
mendalam lagi terhadap masalah hukum yang berkenaan dengan informed consent ini.2,4
| P a g e 10

Rahasia Kedokteran
Rahasia kedokteran adalah suatu norma yang secara tradisional dianggap sebagai
norma dasar yang melindungu hubungan dokter dan pasien. Sesuai dengan sumpah dokter,
kode etik kedokteran internasional, dan peraturan oemerintah no.10 tahun 1966 yang
mengatur kewajiban simpan rahasia kedokteran oleh seluruh tenaga kesehatan. Namun dalam
PP ini diberikan pengecualian apaiba terdapat Peraturan Perundang-undangan (PP) yang
sederajat atau lebih tinggi (UU), dalam pasal 48 ayat (2):5

Untuk kepentingan kesehatan pasien


Untuk memenuhi permintaan aparat penegak hukum dalam rangka penegakan hukum
Permintaan pasien sendiri
Berdasarkan ketentuan undang-undang

Peraturan lain yang membenarkan pembukaan rahasia kedokteran antara lain adalah
ketentuan pasal 50 KUHAP, pasal 51 KUHAP, pasal 48 KUHAP, dan pasal 49 KUHAP.
Dalam permenkes no.749a, rekam medis boleh dibuka untuk pendidikan dan penelitian.
Dalam kaitannya dengan keadaan memaksa, dikenal dua keadaan yaitu:5
1. Overmacth: pengaruh daya paksa yang memadai
2. Noodtoeestand: keadaan yang memaksa
Dapat diakibatkan pertentangan antara dua kepentingan hukum, pertentangan antara
kepentingan hukum dan kewajiban hukum, dan pertentangan antara dua kewajiban
hukum. Salah satu contoh noodtoestand adalah kasus dokter yang menemukan child
abuse yang berat dan dicurigai akan bertambah parah dihari kemudian.
Untuk memahami rahasia jabatan ditilik dari sudut hukum,tingkah laku seorang
dokter dibagi menjadi 2 jenis :
1. Tingkah laku yang bersangkutann dalam pekerjaan sehari-hari
Dalam hal ini yang harus diperhatikan ialah :
a. Pasal 322 KUHP yang berbunyi :
(1) Barang siapa dengan sengaja membuka suatu rahasia, yang menurut jabatan
atau pekerjaannya, baik yang sekarang maupun yang dahulu ia diwajibkan
untuk menyimpannya, dihukum dengan pidana perkara paling lama sembilan
bulan atau denda paling banyak sembilan ribu rupiah
(2) Jika kejahatan itu dilakukan terhadap seorang yang tertentu,maka perbuatan itu
hanya dituntut atas pengaduan orang tersebut.
2. Tingkah laku dalam keadaan khusus
Menurut hukum, setiap warga Negara dapat dipanggil oleh pengadilan untuk didengar
sebagai saksi.Selain itu, seorang yang mempunyai keahlian dapat dipanggil sebagai
ahli. Dengan demikian, dapatlah terjadi, bahwa seorang yang mempunyai keahlian,
| P a g e 11

umpamanya seorang dokter, dipanggil sebagai saksi, sebagai ahli sekaligus sebagai
saksi ahli.3
Sebagai saksi atau saksi ahli mungkin sekali ia diharuskan memberi keterangan
tentang seorang yang sebelum itu telah menjadi pasien yang diobatinya. Ini berarti ia
seolah-olah diharuskan melanggar rahasia pekerjaannya. Kejadian ini bertentangan
dan dapat dihindarkan karena adanya hak undur diri seperti yang tercantum dalam
pasal 277 reglemen Indonesia yang diperbaharui, bunyinya :
(1) Barang siapa yang martabatnya, pekerjaannya atau jabatannya yang sah,
diwajibkan menyimpan rahasia, boleh minta mengundurkan ddari memberi
penyaksian, akan tetapi hanya dan terutama mengenai hal yang diketahuinya
dan dipercayakan kepadanya karena martabatnya, pekerjaannya atau
jabatannya itu.
Dalam pasal 48 undang-undang No 29 tahun 2004 tentang praktik kedokteran
pada paragraph 4 mengenai rahasia kedokteran, dinyatakan bahwa setiap dokter atau
dokter gigi dalam melaksanakan praktik kedokteran wajib menyimpang rahasia
kedokteran. Rahasia kedokteran dapat dibuka hanya untuk kepentingan pasien,
memenuhi permintaan aparatur penegak hukum dalam rangka penegakan hukumn
permintaan pasien sendiri atau berdasarkan ketentuan undang-undang.3
Kewajiban seorang dokter untuk menyimpan rahasia kedokteran telah diatur dalam,4
A.

PP.No.10 tahun 1966.


1. Pasal 1 PP No 10/1966. Yang dimaksud dengan rahasia kedokteran ialah segala
sesuatu yang diketahui oleh orang-orang tersebut dalam pasal 3 pada waktu atau
selama melakukan pekerjaannya dalam lapangan kedokteran.
2. Pasal 2 PP No 10/1966. Pengetahuan tersebut pasal 1 harus dirahasiakan oleh orangorang yang tersebut dalam pasal 3, kecuali apabila sautu peraturan lain yang sederajat
atau lebih tinggi dari pada PP ini menentukan lain.
3. Pasal 3 PP No 10/1966. Yang diwajibkan menyimpan rahasia yang dimaksud dalam
pasal 1 ialah:
a. Tenaga kesehatan menurut pasal 2 UU tentang tenaga kesehatan
b. Mahasiswa kedokteran, murid yang bertugas dalam lapangan pemeriksan,
pengobatan dan atau perawatan dan orang lain yang ditetapkan oleh menteri
kesehatan.
4. Pasal 4 PP No/1966.Terhadap pelanggaran ketentuan mengenai wajib simpan rahasia
yang tidak atau dapat dipidana menurut pasal 322 atau pasal 112 KUHP, menteri
kesehatan dapat melakukan tindakan administratif berdasakan pasal UU tentang
tenaga kesehatan.
| P a g e 12

5. Pasal 5 PP No 10/1966. Apabila pelanggaran yang dimaksud dalam pasal 4 dilakukan


oleh mereka yang disebut dalam pasal 3 huruf b, maka menteri kesehatan dapat
mengambil tindakan-tindakan berdasarkan wewenang dan kebijaksanaannya.
B.

Kode Etik Kedokteran Indonesia (KODEKI)6


1. Pasal 7c. Seorang dokter harus menghormati hak-hak pasien, hak-hak sejawatnya, dan
hak tenaga kesehatan lainnya, dan harus menjaga kepercayaan pasien.
2. Pasal 12. Setiap dokter wajib merahasiakan segala sesuatu yang diketahuinya tentang
seorang pasien, bahkan juga setelah pasien itu meninggal dunia.

Pada dasarnya rahasia kedokteran harus tetap disimpan walaupun pasien tersebut telah
meninggal. Rahasia kedokteran ini begitu dijunjung tinggi dalam masyarakat, sehingga
walaupun dalam pengadilan meminta seorang dokter untuk membuka rahasia kedokteran,
seorang dokter memiliki hak tolak (verschoningsrecht). Hak ini telah diatur dalam pasal 170
KUHAP, yang menentukan bahwa mereka yang diwajibkan menyimpan rahasia
pekerjaan/jabatan dapat minta dibebaskan dari kewajiban untuk memberi keterangan sebagai
saksi. Namun ayat kedua dari pasal 170 KUHAP tersebut membatasi hak tolak sesuai dengan
pertimbangan hakim. Hal ini tentunya diterapkan bila kepentingan yang dilindungi
pengadilan lebih tinggi dari rahasia kedokteran.2
Fitness to stand trial dan Fitness to be detained
Kapasitas yang harus dimiliki seseorang untuk dapat dikatakan kompeten
memberikan kesaksian di pengadilan adalah mampu mengamati, mengingat dan
berkomunikasi tentang peristiwa yang dipertanyakan, serta memahami sifat dan dampak dari
sumpah yang diucapkannya (be capable of observing, remembering, and communicating
about events in question, understand the nature of an oath).
Kompetensi yang lebih tinggi kualitasnya harus dimiliki oleh seseorang yang akan
diinterogasi sebagai tersangka (competence to be interviewed, competence to be detained)
ataupun diperiksa di sidang pengadilan sebagai terdakwa (competence to stand trial).
Perasaan moral masyarakat menyatakan bahwa individu yang tidak dapat memahami sifat
dan obyektif persidangan yang melawannya, tidak mampu berkonsultasi dengan penasehat
hukumnya dan tidak mampu membantu persiapan pembelaan atas dirinya, dianggap tidak
layak untuk diadili.7
Di dalam jurisprudensi kasus Dusky vs US (1960) dikatakan bahwa test (untuk menguji
kompetensi untuk diajukan ke pengadilan) harus dapat menentukan apakah ia saat ini
memiliki kemampuan yang memadai untuk berkonsultasi dengan penasehat hukumnya
| P a g e 13

dengan tingkat penalaran yang memadai dan pemahaman yang memadai tentang fakta dalam
persidangan tersebut. Dalam praktek, Chiswyck (1990) merumuskan kapasitas yang harus
dimiliki adalah sebagaimana dikutip oleh Zapata

sewaktu mengomentari pemeriksaan atas

Pinochet, yaitu : (1) memberi instruksi kepada penasehat hukum, (2) melakukan pembelaan
atas tuduhan, (3) menantang keberadaan seseorang anggota juri tertentu, dan (4) memahami
bukti-bukti yang diajukan ke pengadilan.
Penentuan kompetensi biasanya melalui tiga tahap prosedur, dimulai dengan tahap
pencetus. Baik jaksa penuntut umum maupun pembela, ataupun hakim dapat mencetuskan
persoalan kompetensi terdakwa. Akibatnya, begitu isu kompetensi diajukan di pengadilan,
maka siapa pun tidak diperbolehkan mengabaikannya ditinjau dari prinsip fair-trial.
Seorang atau sebaiknya tim dokter yang independen segera dibentuk untuk menilai
keadaan kesehatan jiwa terdakwa. Dalam hal ini terdapat dua hal yang perlu dicatat, yaitu
unsur prosedural dan unsur substantif. Dalam kaitannya dengan prosedur, kata independen
di atas berarti bahwa dokter tersebut bukanlah dokter pengobat (treating / attending
physicians), melainkan dokter yang khusus ditunjuk untuk menilai (assessing / advising
physicians). Demikian pula pemeriksaan yang dilakukan haruslah pemeriksaan psikiatris
yang impartial. Secara substantif, kompetensi yang dipertanyakan adalah kompetensi
terdakwa pada saat ini dan bukan kompetensi pada saat melakukan tindak pidana.
Peraturan perundang-undangan di Indonesia belum mengatur hal di atas, sementara
berbagai negara membuat ketentuan yang jelas dan cukup rinci. Dikatakan bahwa selanjutnya
akan digelar suatu formal hearing (tertulis), dimana pada saat tersebut peran ahli psikiatri
sangatlah penting. Bila ia mengatakan bahwa terdakwa mungkin inkompetent (is likely to be
incompetent), maka biasanya akan digelar suatu competency hearing. Competency hearing
dapat diadakan kapan saja dalam suatu rangkaian persidangan. Psikiater pemeriksa terdakwa
akan menjadi saksi ahli utama dalam competency hearing, namun tidak menutup
kemungkinan diajukannya saksi dan atau ahli lain oleh jaksa penuntut umum ataupun oleh
pembela. Dalam hal kemudian diputuskan bahwa terdakwa tidak kompeten untuk diajukan ke
pengadilan, maka ia dimasukkan ke dalam suatu institusi atau dirawat selama satuan waktu
tertentu untuk memperoleh observasi dalam rangka re-evaluasi secara berkala. Ia dapat
dibebaskan dari ketentuan observasi apabila ia dinyatakan kompeten dan konsekuensinya
diajukan ke pengadilan atau perkaranya dihentikan secara resmi.

| P a g e 14

Pertanggungjawaban hukum
Sejarah menunjukkan bahwa seseorang secara hukum dianggap tidak dapat
dipertanggungjawabkan apabila ia menderita sakit jiwa sehingga ia tidak dapat memahami
sifat dan kualitas tindakannya, atau apabila ia memahaminya, ia tidak memahami apakah
tindakannya tersebut benar atau salah (M Naughton rule). Setelah seabad lebih ketentuan ini
berlaku, konsep ini mulai dikritik. Para ahli mengatakan bahwa banyak orang menderita
penyakit mental sedemikian rupa sehingga meskipun ia dapat membedakan baik dan
buruknya suatu tindakan, namun ia tidak dapat mengendalikan tindakannya. Untuk mengatasi
kelemahan MNaughton rule tersebut, maka ditambahkanlah satu test, yaitu irresistible
impulse.
Oleh karena MNaughton rule dianggap terlalu sempit maka dibuatlah standar yang
lebih luas (Durham), yaitu terdakwa tidak dapat bertanggungjawab secara pidana apabila
tindak pidana yang dilakukannya adalah hasil dari suatu penyakit jiwa atau defek kejiwaan.
Namun para ahli menganggap ketentuan ini terlalu luas. Pada tahun 1960 the American Law
Institute (ALI) membuat model test dengan menyatakan bahwa seseorang tidak
bertanggungjawab secara pidana apabila pada saat itu tindak pidana tersebut merupakan
akibat dari penyakit atau defek mental sehingga ia kehilangan kapasitas yang diperlukan
untuk menilai kriminalitas tindakannya atau untuk menyesuaikan tindakannya dalam
mematuhi hukum (if at the time of such conduct as a result of mental disease or defect he
lacks substantial capacity either to appreciate the criminality of his conduct or to conform
his conduct to the requirements of the law).
The American Psychiatry Association mengajukan suatu standar yang lebih ketat,
yaitu seseorang dapat dinyatakan tidak bersalah karena alasan insanity apabila terbukti
bahwa sebagai hasil dari penyakit mental atau mental retardasinya ia tidak mampu menilai
kesalahan tindakannya pada saat ia melakukan tindak pidana. Di dalam standar ini, keadaan
penyakit mental dan retardasi mental hanya meliputi mereka dengan kondisi mental yang
abnormal berat sehingga secara jelas terlihat gangguan persepsi atau pemahaman atas
realitasnya (a person charged with a criminal offense should be found not guilty by reason
of insanity if it is shown that as a result of mental disease or mental retardation he was
unable to appreciate the wrongfulness of his conduct at the time of the offense. As used in this
standard, the terms mental disease or mental retardation include only those severely
abnormal mental conditions that grossly and demonstrably impair a persons perception or

| P a g e 15

understanding of reality and that are not attributable primarily to the voluntary ingestion of
alcphol or other psychoactive substances).
Di Indonesia kita kenal pasal 44 KUHP sebagai dasar hukum utama :
(1) Barangsiapa melakukan perbuatan yang tidak dapat dipertanggungkan kepadanya
karena jiwanya cacat dalam pertumbuhan atau terganggu karena sakit, tidak
dipidana.
Saat ini Indonesia belum memiliki peraturan perundangundangan yang mengatur secara rinci
apa yang dimaksud dengan keadaan jiwa sebagaimana bunyi pasal 44 KUHP. Oleh karena itu
pemeriksaan penilaian kompetensi seseorang dalam kaitannya dengan kepentingan peradilan
mengacu kepada ketentuan profesional yang terkait dengan itu, yaitu profesi neuro-psikiatri.
Penilaian kompetensi
Penilaian kompetensi seseorang hingga saat ini masih merupakan bidang yang belum
tuntas benar dan masih dikembangkan oleh berbagai ahli, terutama oleh para ahli psikiatri. Di
dunia psikiatri terdapat sejumlah checklists dan tes psikometrik yang didesain untuk
membantu para dokter dalam menilai kompetensi seseorang untuk diajukan ke pengadilan.
Salah satu yang paling sering digunakan adalah Competency to Stand Trial Instrument (CSTI)
yang didesain oleh Laboratorium Psikiatri Komunitas. CSTI mengkur 13 fungsi yang
berkaitan dengan yang dibutuhkan dalam mengikuti proses persidangan dalam rangka ia
dapat membela diri secara adekuat. CSTI menstandarisasi, mengobyektifkan, dan
mengkualifikasikan kriteria yang relevan untuk menentukan kompetensi seseorang diajukan
ke pengadilan. 7
Berbagai instrumen pemeriksaan yang biasa digunakan dalam psikiatri untuk menilai
intelegensi (Wechler dan Progressive matrix) dan memori juga dapat digunakan (drawing,
brief story, objects). Demikian pula Mini Mental State Examination juga dapat dilakukan
untuk mengukur orientasi, memori, perhatian, konsentrasi, kemampuan menyebut nama
obyek, kemampuan untuk mengikuti perintah tulisan dan verbal, menulis suatu kalimat atau
menggambar suatu geometrik. Selain itu pemeriksaan fisik yang berkaitan dengan fungsi
neurologis tertentu dapat juga dimanfaatkan untuk dapat menjelaskan berbagai kelainan,
seperti CT Scan, brain mapping dll. Beberapa pemeriksaan lain bila diperlukan juga dapat
dilakukan untuk menjelaskan hubungan antara penyakit kronik tertentu, impairment tertentu
dan penggunaan obat-obatan, dengan keadaan mentalnya saat itu.

| P a g e 16

Pada awal 1990 the MacArthur Foundation Research Network on Mental Health and
the Law mulai mengembangkan suatu instrumen untuk mengukur kompetensi seseorang
untuk maju ke pengadilan. Studi tersebut mendasarkan kerjanya kepada proposal :
kompetensi fundamental untuk berkonsultasi dengan penasehat hukum dan konsep
kontekstual decisional competence. Kompetensi fundamental mengacu kepada kriteria
Dusky,

sedangkan

decisional

competence

mengacu

kepada

kemampuan

untuk

mengungkapkan pendapat yang ingin disampaikannya, kemampuan untuk memahami


informasi yang relevan, kesadaran yang terinformasi tentang signifikansi informasi tersebut
bagi kasusnya, dan penggunaan penalaran pengambilan keputusan dalam mencapai
keputusan.
Mac Arthur Structured Assessment of the Competencies of Criminal Defendants
(MacSAC-CD) menggunakan teori legal competence dan dibagi ke dalam dua garis
konseptual (adjudication dan decisional competence) dan 4 area fungsional (choice,
understanding, appreciation, and reasoning). Selanjutnya, dengan merampingkan MacSACCD mereka dapat menciptakan MacCAT-CA (MacArthur Competence Assessment Tool
Criminal Adjudication) yang memiliki 3 pengukuran dan 22 items. MacSAC-CA dapat
dilakukan dalam waktu kurang dari satu jam, memeriksa : understanding (misalnya
kemampuan memahami informasi umum berkaitan dengan hukum dan prosedur
persidangan); reasoning (misalnya kemampuan melihat informasi dengan potensi relevan
dengan hukum dan kapasitas untuk menalar pilihan khusus yang menentang terdakwa dalam
persidangan); dan appreciation (misalnya kesadaran rasional akan arti dan konsekuensi
persidangan bagi kasusnya). 9
KESIMPULAN
Dari skenario yang didapat dan hasil yang diterima kami menyimpulkan bahwa
Disini yang harus dijaga oleh seorang dokter adalah untuk tetap menjaga rahasia
kedokteran ialah pertama-tama dokter harus menjelaskan kepada pasien bahwa harus
membawa kakak kandungnya untuk diperiksa dan surat-surat tidak bisa digunakan untuk
keluar dari tahanan, karena yang berwenang mengeluarkan surat tersebut yaitu dokter
forensic dan dokter dari kejaksaan.

| P a g e 17

DAFTAR PUSTAKA
1. Sampurna B, Syamsu Z, Siswaja TD. Bioetik dan hukum kedokteran pengantar bagi
mahasiswa kedokteran dan hukum. Pustaka Dwipar; Jakarta: 2007. h. 8-12,30-32,535,62-7,77-9
2. Budiyanto arif,Widiatmaka Wibisana,dkk .Peraturan Perundang-Undangan Bidang
Kedokteran edisi 2. Jakarta : Bagian Kedokteran Forensik Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia;1994 h 20-36
3. Peraturan

perundang-undangan

bidang

kedokteran.

cetakan

kedua.

Bagian

Kedokteran Forensik Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta; 1994, hal


17
4. Kode

Etik

Kedokteran.

http://www.ilunifk83.com/t130-kode-etik-kedokteran-

indonesia. 18 Januari 2009.Diunduh 6 Januari 2016.


5. Samil, Suprapti R. Etika kedokteran indonesia. Jakarta: Yayasan Bina Pustaka
Sarwono Prawirohardjo, 2001.
6. Rekam
Medis dan

Informed

Consent.

http://repository.ui.ac.id/contents/koleksi/11/b6fa37a62692182ad455b08bac8ac3d8bc
639f55.pdf. 27 April 2009. Diunduh 6 Januari 2016.
7. Majelis Kehormatan Etik Kedokteran Indonesia Ikatan Dokter Indonesia. dikti.go.id.
2006. Diunduh 6 Januari 2016.
8. Ciccone JR. Competence to stand trial: efforts to clarify the concept and improve
clinical evaluations of criminal defendants. Current Opinion in Psychiatry 1999, 12:
647-651.
9. Leenen H, Gevers S, Pinet G. The Rights of Patients in Europe. Boston : Kluer
Taxation and Law Publishers, 1993.

| P a g e 18

Anda mungkin juga menyukai