Anda di halaman 1dari 31

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Trauma thoraks masih menjadi salah satu penyebab utama kematian pada
seluruh kelompok usia dengan angka kejadian yang cukup tinggi, yaitu 25 - 50%
dari semua cedera traumatik (Hunt, Greaves dan Owen, 2005). Cedera thoraks
menduduki peringkat ketiga terbanyak pada kasus-kasus trauma, setelah cedera
pada kepala ekstremitas. Tingkat mortalitas rata-rata sebesar 10,1 %, terbanyak
pada pasien dengan cedera kardiak atau cedera trakheobronkhial-oesophageal.
Lebih jauh lagi, adanya cedera thoraks dalam setting trauma multisitemik dapat
meningkatkan mortalitas pasien secara signifikan. Cedera seperti flail chest,
kontusio pulmo, hemothoraks, dan pneumothoraks dapat dapat menimbulkan
berbagai komplikasi.
Trauma dada kebanyakan disebabkan oleh kecelakaan lalu lintas yang
umumnya berupa trauma tumpul.Trauma tajam terutama disebabkan oleh tikaman
dan tembakan.Cedera thoraks sering disertai dengan cedera perut, kepala, dan
ekstremitas sehingga merupakan cedera multipel. Banyak penderita meninggal
setelah sampai di rumah sakit, dan banyak di antara kematian ini sebenarnya
dapat dicegah dengan meningkatkan kemampuan diagnostic dan terapi. Kurang
dari 10% dari cedera tumpul thorakdan hanya 15-30% dari cedera tembus thoraks
yang membutuhkan tindakan thorakotomi.
Cedera dada yang memerlukan tindakan darurat adalah obstruksi jalan
napas, hemotoraks massif, tamponade jantung, pneumothoraks, flail chest,
pneumothoraks terbuka, dan kebocoran udara trakea-bronkus. Semua kelainan ini
menyebabkan gawat dada atau thoraks akut yang analog dengan gawat abdomen,
dalam arti diagnosis harus ditegakkan secepat mungkin dan penanganan
dilakukan segera untuk mempertahankan pernapasan, ventilasi paru, dan
perdarahan. Sering tindakan yang diperlukan untuk menyelamatkan penderita
1

bukan merupakan tindakan operasi, seperti aspirasi rongga pleura, aspirasi rongga
pericardium, menutup sementara luka dada, membebaskan jalan napas,
pengontrol nyeri, dan perawatan suportif lainnya.
Dengan tingginya angka kejadian trauma thoraks yang menyebabkan
cedera dinding dada dan paru, penting bagi dokter umum untuk mengetahui
mekanisme dan penatalaksanaan trauma thoraks untuk mengurangi angka
mortalitas dan morbiditasnya.

BABA II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Anatomi
2.1 Struktur Dinding Thorax
Dinding thoraks bagian luar dilapisi oleh kulit dan otot. Dinding thoraks
dilapisi oleh pleura parietalis. Dinding thoraks di posterior dibentuk oleh pars
thoracica columna vertebralis, dianterior oleh sternum dan cartilago costa, lateral

oleh costa dan spatium intercosta, superior oleh membrane suprapleuralis dan
inferior oleh diafragma, yang memisahkan cavitas thoracis dan cavitas
abdominis.8,9

2.2 Sternum
Sternum terletak digaris tengah dinding anterior thorax. Sternum merupakan
tulang pipih yang dapat dibagi menjadi 3 bagian: (a) manubrium sterni.
Manubrium sterni merupakan bagian atas sternum yang masing-masing sisinya
bersendi dengan clavicula, kartilago costa 1 dan bagian atas kartilago kosta II.
Manubrium sterni terletak berhadapan dengan vertebrata thoracica III dan IV. (b)
corpus sterni. Bagian atas corpus sterni bersendi dengan ,manubrium sterni
melalui symphysis manubrium sternalis, bagian bawah corpus sterni bersendi
dengan processus xyphoideus pada symphisis xiphosternalis. Pada setiap sisi
terdapat lekukan lekukan untuk bersendi dengan bagian bawah cartilago costa II
dan kartilago kosta III sampai VII. Kartilago costae II-VII bersendi dengan
sternum melalui juctura syonovialis (c) processus xiphoideus merupakan bagian
sternum yang paling bawah dan paling kecil . sternum merupakan cartilago
hyaline pipih yang pada orang dewasa mengalami ossifikasi pada ujung

proksimalya, tidak ada costa ataupun cartilage costalis yang melekat pada bagian
ini. 8,9

2.3 Angulus Sterni


Angulus sterni yang dibentuk oleh persendian manubrium sterni dengan
corpus sterni dapat dikenali dengan adannya peninggian transversal pada
permukaan anaterior sternum. Peninggian transversal terletak setinggi cartilage
costalis II, dan merupakan titik mula perhitungan kartilago kosta dan kosta.
Angulus sterni terletak berhadapan dengan discus intervertrebralis

diantara

vertebrata thoracica IV dan V. 8,9


2.4 Kartilago Kosta
Kartilago kosta merupakan batang kartilago hyaline yang menghubungkan 7
kosta bagian atas dengan pinggir lateral sternum, dan kosta VIII,IX,X dengan
kartilago tepat diatasnya. Kartilago kosta XI dan XII berakhir pada otot otot
abdomen. Kartilago kosta berpera penting dalam elastisitas dan mobilitas dinding
thoraks.

Pada

manula,

kartiago

kosta

cenderung

kehilangan

sebagian

fleksibilitasnya. 8,9

2.5 Kosta
Terdapat 12 pasang kosta yang semuanya melekat pada columna vertebrata
thoracica. 7 pasang costa yang teraatas melekat di anterior pada sternum melalui
kartilago kostalis. Pasangan kota VIII,IX, dan X dianterior melekat satu dengan
lainnya ke costa VIII melalui kartilago kostalis dan junctura synovialis yang kecil.
Pasangan costa XI dan XII tidak mempuyai perlekatan didepan dan dinamakan
costa fluctuantes. 8,9

2.6 Persendian Pada Costa


Dari costa II sampai IX, caput costa bersendi dengan corpus vertebrae yang
sama nomornya melalui sendi synovial dan pada corpus vertebra yang ada tepat
diatasnya. Terdapat ligament,intra-articulare kuat yang menghubungkan caput
costa dengan discus intervertebralis. Caput costa I dan tiga costa yang terbawah
mempunyai sebuah sendi synovial pada corpus vertebra yang sesuai. Persendian
antara costa dengan kartilago costa merupakan sendi cartilaginosa, dan tidak ada
gerakan yang mungkin dilakukan. 8,9
Kartilago costa I bersendi dengan manubrium sterni melalui sendi
cartilaginosa dan tidak ada gerakan yang mungkin bias dilakukan. Kartilago IIVII bersendi dengan pinggir lateral sternum melalui sendi synovial. Selain itu
kartilago costa VI,VII,VIII,IX,dan X besendi satu dengan yang lain melalui sendi
6

synovial yang kecil pada pinggirnya masing-masing. Kartilago costa XI dan XII
terbenam didalam otot-otot abdomen. Gerakan kosta dan kartilago kosta costa I
bersama dengan kartilago kosta difiksasi pada manubrium sterni, sehingga tidak
dapat digerakan. Pengangkatan dan penurunan kosta selama respirasi diikuti oleh
gerakan pada sendi sendi di kaput dan tuberkulum, sehinga memungkinkan kolum
kosta berputar disekeliling sumbnya. 8,9
2.7 Musculus Intercostalis
Otot intercostalis terdiri dari 3 lapisan , yaitu lapisan tengah, luar, dan dalam.
Lapisan terluar tersususn atas M. intrcostalis eksternus dan M. levatores
kostarum, lapisan tengah hanya dibetuk oleh M.intercostalis internus, sedangkan
lapisan dalam disusun oleh M.intercostalis intimus, M.subcostalis, dan
M.transverses costalis. 10
Musculus intercostalis eksternus membentuk lapisan yang paling luar. Arah
serabut-serabutnya kebawah dan depan, dari pinggir bawah costa di atasnya ke
pinggir atas costa yang ada dibawahnya. M. Intercostalis internus membentuk
lapisan tengah. Arah serabut-serabutnya ke bawah dan belakang, dari sulcus
costae diatas, sampai pinggir atas costa yang ada dibawahnya. Otot-otot berjalan
kebelakang dari sternum didepan sampai keangulus kosta dibelakang. M.
intercostalis intimi membetuk lapisan paling dalam

dan analog dengan M.

transverses abdominis pada dinding anterior abdomen. Otot ini merupakan lapisan
otot yang tidak lengkap dan menyilang lebih dari satu spatium intercostale yang
terdapat diantara costa. Kedalam, berhubungan dengan fascia endothoraica dan
pleura parietalis dan keluar berhubungan dengan A.V.dan N intercostalis. 8,9
Fungsi musculus intercostalis bila berkontraksi cenderung mendekatkan costa
satu dengan yang lainnya, jika costa I difiksasi oleh kontraksi otot-otot yang
terdapat pada pangkal leher , yaitu Mm Scaleni, Mm Intercostalis akan
mengangkat costa II sampai XII kearah costa I, seperti pada inspirasi. Sebaliknya
jika costa XII difiksasi oleh M. Quadratus lumborum costa I sampai ke XI akan

tertarik kebawah oleh kontraksi Mm, intercostalis seperti pada ekspirsi. Selain itu
tonus Mm. inercostalis selama fase-fase respirasi berperan memperkuat jaringan
yang ada dalam spatium intercosta kedalam atau pendorongan ke luar jaringan,
jadi mencegah pengisapan kedalam atau pendorongan keluar jaringan akibat
perubahan tekanan intra torakal. 8,9

2.8 Klavikula
Klavikula adalah tulang berbentuk S, agak mudah dilihat dan teraba pada dada
bagian atas. permukaan superior relatif mulus, sedangkan permukaan inferior

ditandai dengan alur dan punggung untuk lampiran otot. Klavikula adalah tulang
yang umumnya pada tubuh karena begitu dekat ke permukaan. 9

2.9 Vaskularisasi Thorax


Setiap spatium intercostale mempunyai satu A.Intercostalis posterior yang
besar dan dua A.intercostalis anterior yang kecil. A.intercostalis posterior pada
dua spatium intercosta yang pertama berasal dari A.intercostalis superior, cabang
dari truncus costocervicalis dari A.subclavia, Aa intercostalis posterior pada
Sembilan spatium intercostale yang bawah dipercabangkan dari aorta thorachalis.
Aa.Intercostales

anterior

pada

enam

spatium

intercosta

yang

pertama

dipercabangkan dari A.thoracica interna yang berasal dari bagian pertama


A.subclavia Aa.intercostalis anterior pada spatium intercostalis yang lebih bawah
dipercabangkan dari A. musculophrenicus (salah satu cabang arteri thoracica
interna). 8,9
Masing-masing A.intercostalis memberikan cabang untuk otot-otot kulit dan
pleura parietalis. Pada daerah glandula mamma wanita. Cabang-cabang yang
menuju ke struktur permukaan berukuran besar. 9

B. Patofisiologi
Hipoksia, hiperkarbia, dan asidosis sering disebabkan oleh cedera toraks,
Hipoksia jaringan merupakan akibat dari tidak adekuatnya pengangkutan oksigen
ke

jaringan

oleh

karena

hipovolemia

(kehilangan

darah),

pulmonary

ventilation/perfusion mismatch (misalnya kontusio, hematoma, kolaps alveolus)


dan perubahan dalam tekanan intra toraks (misalnya tension pneumothorax,
pneumotoraks terbuka).
Hiperkarbia lebih sering disebabkan oleh tidak adekuatnya ventilasi akibat
perubahan tekanan intratoraks atau penurunan tingkat kesadaran. Asidosis
metabolik disebabkan oleh hipoperfusi dari jaringan (syok). 2
C. Mekanisme cedera
Penyebab terbanyak dari trauma tumpul thoraks adalah kecelakaan kendaraan
bermotor. Walaupun perjalanan dengan kendaraan bermotor telah semakin aman
pada beberapa dekade terakhir, setidaknya 44% dari 98.000 cedera yang tidak
disengaja di Amerika Serikat pada tahun 2001 disebabkan oleh kecelakaan
kendaraan bermotor. Secara umum, diperkirakan terdapar risiko trauma thoraks
serius sebesar 7% dari kecelakaan kendaraan bermotor, dan di Amerika Serikat,
setidaknya 1.500 pasien perhari mengalami trauma thoraks yang mengancam
nyawa hanya dari kecelakaan kendaraan bermotor. Mekanisme trauma thoraks
yang lain disebabkan jatuh dari ketinggian, cedera akibat kerja, dan akibat tindak
kekerasan.3,5
Tiga tipe mekanisme cedera tumpul yang dapat menyebabkan trauma thoraks
adalah kompresi, pemotongan, dan penghancuran/ledakan. Cedera kompresi
thoraks seperti fraktur costae terjadi saat tenaga yang membentur melebihi
kekuatan dinding thoraks untuk menahannya. Area dinding dada yang terlemah
ditemukan pada posisi 60orotasi sternum, yaitu pada posisi costae yang terdatar
dan kurang terlindung. 8,9,10
Rudapaksa akibat pemotongan dapat menyebabkan cedera vascular dan
jaringan lunak. Sebagai respons terhadap akselerasi atau deselerasi cepat, gerakan

10

organ tubuh dan jarigan lunak terhambat pada perlekatan anatomisnya. Pada
akhirnya, apabila daya rentang jaringan yang melekat terlampaui, robekan atau
rupture dapat terjadi. Efek kelembaman inilah yang menjadi penyebab salah satu
trauma thoraks yang mematikan, yaitu transeksi aorta. Cedera pemotongan pada
parenkim pulmo dapat menyebabkan kaserasi, hematoma, kontusio atau
pneumatokel. 6,8,9,10
Ledakan merupakan mekanisme yang bersifat mematikan, tidak hanya karena
tekanan gelombang ledakan, tapi juga karena korban ledakan dapat terlontar
sampai jarak yang jauh dan serpihan ledakan benda-benda di sekitar dapat
menusuk tubuh korban. Cedera primer paru akibat ledakan terjadi saat gelombang
tekanan menyerang dinding dada dan menghasilkan perbedaan tekanan pada
permukaan udara-jaringan. Semakin besar perbedaan tekanan yang dihasilkan,
semakin besar rudapaksa yang disalurkan ke paru. Derajat cedera paru bergantung
pada jarak korban dari sumber ledakan. Cedera sekunder dihasilkan dari objek
yang bergerak menyerang korban akibat ledakan. Mekanisme cedera lainnya
disebabkan oleh luka bakar thermal dan luka bakar inhalasi. 7,8,9,10
D. Initial Assessment dan Pengelolaan
Prinsip-prinsip initial assessment dan pengelolaan. 1,2,5,6
Pengelolaan terdiri dari:
a. Primary survey
b. Resusitasi fungsi vital
c. Secondary survey yang rinci
d. Perawatan definitif
1. Karena hipoksia adalah masalah yang sangat serius pada cedera toraks,
intervensi dini perlu dilakukan untuk pencegahan dan mengoreksinya.
2. Cedera yang bersifat mengancam nyawa secara langsung, dilakukan terapi
secepat dan sesederhana mungkin.
3. Kebanyakan kasus cedera toraks yang mengancam nyawa diterapi dengan
mengontrol airway atau melakukan pemasangan selang toraks atau
dekompresi toraks dengan jarum.

11

4. Secondary survey membutuhkan riwayat cedera dan kewaspadaan yang tinggi


terhadap adanya cedera toraks yang bersifat khusus.
E. Primary Survey: cedera yang mengancam nyawa
Primary survey pada penderita cedera toraks dimulai dengan airway. Masalah
utama harus dikoreksi begitu teridentifikasi. 1,2,7
Penatalaksanaan pada setiap pasien trauma tetap tidak melupakan prinsip
penilaian awal (initial assessment). Penilaian keadaan pasien dan prioritas terapi
didasarkan jenis perlukaan, tanda-tanda vital, dan mekanisme trauma. Pada pasien
yang terluka parah, terapi tetap harus diberikan berdasarkan prioritas. Tanda vital
pasien harus dinilai secara cepat dan efisien. Pengelolaan pasien berupa primary
survey yang cepat dan kemudian resusitasi, secondary survey dan akhirnya terapi
definitif. Proses ini merupakan ABCDE-nya trauma, dan berusaha untuk
mengenali keadaan yang mengancam nyawa terlebih dahulu, dengan berpatokan
pada urutan berikut.
1. Airway
Cedera berat pada airway harus dikenali dan dikoreksi saat melakukan
primary survey. Patensi airway dan ventilasi harus dinilai dengan
mendengarkan gerakan udara pada hidung penderita mulut dan dada serta
inspeksi pada daerah orofaring untuk sumbatan airway oleh benda asing, dan
dengan mengobservasi retraksi otot-otot interkostal dan supraklavikular . 1,2,6
Cedera laring dapat bersamaan dengan cedera toraks. Walaupun gejala
klinis yang ada kadang tidak jelas, sumbatan airway karena cedera laring
merupakan cedera yang mengancam nyawa.
Beberapa kondisi yang jarang ditemukan mungkin timbul pada penderita
dengan cedera skeletal yang menyebabkan gangguan bermakna pada airway
dan pernapasan penderita. Sebagai contoh adalah cedera pada dada bagian
atas yang menyebabkan dislokasi ke arah posterior atau fraktur dislokasi dari
sendi sternoklavikular. Ini dapat menimbulkan sumbatan airway bagian atas
yang menyebabkan dislokasi ke arah posterior bila displacement dari fragmen
proksimal fraktur atau komponen sendi distal menekan trakea. Hal ini juga
dapat menyebabkan cedera pembuluh darah pada ekstremitas yang

12

homolateral akibat kompresi fragmen fraktur atau laserasi dari cabang utama
arkus aorta. 1,2,7
Cedera ini diketahui bila ada sumbatan airway atas (stridor), adanya tanda
berupa perubahan dari kualitas suara (jika penderita masih dapat bicara), dan
cedera yang luas pada dasar leher dengan terabanya defek pada region sendi
strenoklavikular.
Penanganan pada cedera ini adalah menstabilkan patensi dari airway, yang
terbaik dengan intubasi endotrakeal, walalupun hal ini kemungkinan sulit
dilakukan jika ada tekanan yang cukup besar pada trakea. Yang paling
penting,

reposisi

tertutup

dari

cedera

yang

terjadi

dengan

cara

mengekstensikan bahu, mengangkat klavikula dengan pointed clamp seperti


towel clip dan melakukan reposisi fraktur secara manual. Cedera seperti ini
bila dilakukan tindakan di atas biasanya akan tetap stabil walaupun penderita
dalam posisi berbaring 1,2
Breathing
Dada leher penderita harus terbuka selama penilaian breathing dan venavena leher. Pergerakan pernafasan dan kualitas pernafasan dinilai dengan
observasi, palpasi dan didengarkan.
Gejala yang terpenting dari cedera toraks adalah hipoksia termasuk
peningkatan frekuensi dan perubahan pada pola pernafasan, terutama
pernafasan yang dengan lambat memburuk. Sianosis adalah gejala hipoksia
yang lanjut pada penderita trauma. Tetapi bila sianosis tidak ditemukan, bukan
merupakan indikasi bahwa oksigenasi jaringan adekuat atau airway adekuat.
Jenis cedera toraks yang penting dan mempengaruhi

breathing adalah

keadaan-keadaan di bawah ini: 1,2,4


a) Tension pneumothorax
Tension pneumothorax berkembang ketika terjadi one-way-valve
(fenomena ventil), kebocoran udara yang berasal dari paru atau dari luar
melalui dinding dada, masuk ke dalam rongga pleura dan tidak dapat
keluar lagi. Akibat udara yang masuk ke dalam rongga pleura yang tidak

13

dapat keluar lagi, maka tekanan di intrapleural akan semakin meninggi,


paru menjadi kolaps, mediastinum terdorong ke sisi berlawanan dan
menghambat pengembalian darah vena ke jantung (venous return), serta
akan menekan paru kontra lateral.
Penyebab tersering dari tension pneumothorax adalah komplikasi
penggunaan ventilasi mekanik (ventilator) dengan ventilasi tekanan positif
pada

pasien

dengan

kerusakan

pada

pleura

visceral.

Tension

pneumothorax juga dapat timbul dari pneumotoraks sederhana akibat


cedera toraks tembus atau tajam dengan perlukaan parenkim paru yang
tidak menutup atau setelah salah arah pada pemasangan kateter subklavia
atau vena jugularis interna. Kadangkala defek atau perlukaan pada dinding
dada juga dapat menyebabkan tension pneumothorax jika salah cara
menutup defek atau luka tersebut dengan pembalut kedap udara occlusive
dressing) yang kemudian akan menimbulkan mekanisme katup (flap
valve). Tension pneumothorax juga dapat terjadi pada fraktur tulang
belakang toraks yang mengalami pergeseran (displaced thoracic spine
fractures). 1,2,6
Manifestasi Klinis
Diagnosis tension pneumothorax ditegakkan secara klinis dan terapi
tidak boleh terlambat oleh karena menunggu konfirmasi radiologis.
Tension pneumothorax ditandai dengan gejala nyeri dada, sesak yang
berat, distress pernafasan, takikardi, hpotensi, deviasi trakea, hilangnya
suara nafas pada satu sisi dan distensi vena leher. Sianosis merupakan
manifestasi lanjut. Karena ada kesamaan gejala antara tension
pneumothorax

dan tamponade jantung maka pada awalnya sering

membingungkan, namun perkusi yang hipersonor dan hilangnya suara


nafas pada hemitoraks yang terkena pada tension pneumothorax

akan

dapat membedakannya.1,2,7
Penatalaksanaan

14

Tension

pneumothorax

membutuhkan

dekompresi

segera

dan

penanggulangan awal dengan cepat berupa insersi jarum yang berukuran


besar pada sela iga dua garis midclavicular pada hemitoraks yang terkena.
Tindakan

ini

akan

mengubah

tension

pneumothorax

menjadi

pneumotoraks sederhana (kemungkinan akan terjadi pneumotoraks yang


bertambah akibat penusukan jarum). Evaluasi ulang selalu diperlukan.
Terapi definitip selalu dibutuhkan dengan memasang selang dada (chest
tube) pada sela iga ke-5 (setinggi putting susu) dari anterior dari garis
midaxillaris. 1,2,5

Gambar 2.2.Tension Pneumothorax


(Eyolfson, 2010)
b) Pneumotoraks terbuka (sucking chest wound)
Defek atau luka yang besar pada dinding dada akan menyebabkan
pneumotoraks terbuka. Tekanan di dalam rongga pleura akan seger
menjadi sama dengan tekanan atmosfir. Jika defek pada dinding dada lebih
dari 2/3 diameter trakea maka udara akan cenderung mengalir melalui
defek karena mempunyai tahanan yang kurang atau lebih kecil
dibandingkan dengan trakea. Akibatnya ventilasi terganggu sehingga
menyebabkan hipoksia dan hiperkapnia. 1,2,6
Penatalaksanaan

15

Langkah awal adalah menutup luka dengan kasa oklusif steril yang
diplester hanya pada 3 sisinya saja. Dengan penutupan seperti ini
diharapkan akan terjadi efek katup (flutter type valve) di mana saat
inspirasi kasa penutup akan menutup luka, mencegah kebocoran udara
dari dalam. Saat ekspirasi kasa penutup terbuka untuk menyingkirkan
udara keluar. Setelah itu maka sesegera mungkin dipasang selang dada
yang harus berjauhan dari luka primer. Menutup seluruh sisi luka akan
menyebabkan terkumpulnya udara di dalam rongga pleura yang akan
menyebabkan tension pneumothorax kecuali jika selang dada sudah
terpasang. Kasa penutup sementara yang dapat digunakan adalah plastic
wrap atau petrolatum gauze, sehingga penderita dapat dilakukan evaluasi
dengan cepat dan dilanjutkan dengan penjahitan luka. Penjahitan luka
primer seringkali diperlukan. 1,2,7
c) Flail chest
Flail chest terjadi ketika segmen dinding dada tidak lagi mempunyai
kontinuitas dengan keseluruhan dinding dada. Keadaan tersebut terjadi
karena fraktur iga multipel pada dua atau lebih tulang iga dengan dua atau
lebih garis fraktur. Adanya segmen flail chest (segmen mengambang)
menyebabkan gangguan pada pergeraka dinding dada. Bila terjadi
kerusakan parenkim paru di bawah kerusakan dinding dada maka akan
menyebabkan hipoksia yang serius. Kesulitan utama pada kelainan flail
chest yaitu cedera pada parenkim paru yang mungkin terjadi (kontusio
paru). 1,2,6
Manifestasi klinis
Walaupun ketidakstabilan dinding dada menimbulkan gerakan
paradoksal dinding dada pada inspirasi dan ekspirasi, defek ini sendiri saja
tidak akan menyebabkan hipoksia. Hipoksia disebabkan nyeri yang
mengakibatkan gerakan dinding dada menjadi tertahan dan cedera
jaringan parunya.

16

Flail chest mungkin tidak terlihat pada awalnya, karena splinting


dengan dinding dada. Gerakan pernapasan menjadi buruk dan toraks
bergerak secara asimetris dan tidak terkoordinasi. Palpasi gerakan
pernapasan yang abnormal dan krepitasi iga atau fraktur tulang rawan
membantu diagnosis. Dengan foto toraks akan lebih jelas karena akan
terlihat fraktur iga yang multipel, akan tetapi terpisahnya sendi
costochondral tidak akan terlihat. Pemeriksaan analisis gas darah yang
menunjukkan hipoksia akibat kegagalan penafasan juga membantu dalam
diagnosis flail chest. 1,2,9
Penatalaksanaan
Terapi awal yang diberikan adalah pemberian ventilasi adekuat,
oksigen yang dilembabkan dan resusitasi cairan. Bila tidak ditemukan
syok maka pemberian cairan krostaloid intra vena harus lebih berhati-hati
untuk mencegah kelebihan pemberian cairan. Kerusakan parenkim paru
pada flail chest akan sangat sensitive terhadap kekurangan atau kelebihan
resusitasi cairan. Pengukuran yang lebih spesifik harus dilakukan agar
pemberian cairan benar-benar optimal.
Terapi definitive ditujukan untuk mengembangkan paru, berupa
oksigenasi yang cukup serta pemberian cairan dan analgesia untuk
memperbaiki ventilasi. Tidak semua penderita membutuhkan penggunaan
ventilator. Pencegahan hipoksia merupakan hal penting pada penderita
trauma, dan intubasi serta ventilasi untuk waktu singkat, mungkin
diperlukan. Sampai diagnosis dan pola cedera yang terjadi pada penderita
tersebut lengkap. Indikasi waktu untuk melakukan intubasi dan ventilasi
tergantung pada penilaian yang hati-hati dari frekuensi pernafasan,
tekanan oksigen arterial, dan penilaian kinerja pernafasan. 1,2,9

17

Gambar 2.3. Flail Chest

d) Hemotoraks massif
Terkumpulnya darah dan cairan di salah satu hemitoraks dapat
menyebabkan gangguan usaha bernafas akibat penekanan paru dan dapat
menghambat ventilasi yang adekuat. Perdarahan yang banyak dan cepat
akan mempercepat timbulnya syok dan akan dibahas lebih lanjut pada
bahasan tentang sirkulasi.1,2,9
2. Circulation
Denyut nadi penderita harus dinilai kualitas, frekuensi dan keteraturannya.
Pada penderita hipovolemia, denyut nadi arteri radialis dan arteri dorsalis
pedis mungkin tidak teraba oleh karena volume yang kecil. Tekanan darah dan
tekanan nadi harus diukur dan sirkulasi perifer dinilai melalui inspeksi dan
palpasi kulit untuk warna dan temperature. Vena leher harus dinilai apakah
distensi atau tidak. Distensi vena leher mungkin tidak tampak pada penderita
hipovolemia walalupun ada tamponade jantung, tension pneumothorax atau
cedera diafragma. 1,2,6
Monitor jantung dan pulse oximetry harus dipasang pada penderita.
Penderita yang dicurigai cedera toraks terutama pada daerah sternum atau
cedera deselerasi yang hebat harus dicurigai adanya cedera miokard apabila
18

ada disritmia. Hipoksia ataupun asidosis akan mempermudah terjadinya.


Kontraksi ventrikel premature, disritmia yang kerap terjadi, mungkin
membutuhkan terapi dengan bolus lidocain segera (1mg/kg) dilanjutkan
dengan drip lidocain (2-4 mg/menit). 1,2
Pulseless Electric Activity (PEA) merupakan keadaan di mana pada EKG
ditemukan irama, sedangkan pada perabaan nadi tidak ditemukan pulsasi.
PEA dapat di temukan pada tamponade jantung, tension pneumothorax,
hipovolemia, atau yang lebih buruk lagi rupture jantung. 1,2
Cedera toraks yang akan mempengaruhi sirkulasi dan harus ditemukan
pada primary survey adalah: 1,2,9
a) Hemotoraks massif
Hemotoraks massif yaitu terkumpulnya darah dengan cepat lebih dari
1500 cc di dalam rongga pleura. Hal in sering disebabkan oleh luka
tembus yang merusak pembuluh darah sistemik atau pembuluh darah pada
hilus paru. Hal ini juga dapat disebabkan oleh cedera tumpul. Kehilangan
darah menyebabkan hipoksia. Vena leher dapat kolaps (flat) akibat adanya
hipovolemia berat, tetapi kadang dapat ditemuan distensi vena leher, jika
disertai tension pneumothorax. Jarang terjadi efek mekanik dari darah
yang terkumpul intratoraks lalu mendorong mediastinum sehingga
menyebarbkan distensi dari pembuluh vena leher.
Manifestasi klinis
Diagnosis ditegakkan dengan adanya syok yang disertai suara nafas
menghilang dan perkusi pekak pada sisi dada yang mengalami trauma.
Penatalaksanaan
Terapi awal hemotoraks massif adalah dengan penggantian volume
darah yang dilakukan bersamaan dengan dekompresi rongga pleura.
Dimulai dengan infuse cairan kristaloid secara cepat dengan jarum besar
dan kemudian pemberian darah dengan golongan spesisfik secepatnya.
Darah dari rongga pleura dapat dikumpulkan dalam penempungan yang
cocok untuk autotransfusi. Bersamaan dengan pemberian infuse, sebuah
selang dada no 38 French dipasang setinggi puting susu, anterior dari garis

19

midaxillaris kemudian dekompresi rongga pleura secepatnya. Ketika kita


mencurigai

hemotoraks

massif,

pertimbangkan

untuk

melakukan

autotransfusi. Jika pada awalnya sudah keluar 1500 cc, kemungkinan


besar penderita membutuhkan torakotomi segera.
Beberapa penderita pada awalnya darah yang keluar kurang dari 1500
cc, tetapi perdarahan tetap berlangsung. Ini juga membutuhkan
torakotomi. Keputusan torakotomi diambil bila didapatkan kehilangan
darah terus-menerus sebanyak 200 c/jam dalam waktu 2-4 jam, tetapi
status fisiologi penderita teap diutamakan. Transfusi darah diperlukan
selama ada indkasi untuk torakotomi. Selama penderita diresusitasi,
volume darah awal yang dikeluarkan dengan selang dada dan kehilangan
darah selanjutnya harus ditambahkan ke dalam cairan pengganti yang akan
diberikan. Warna darah (arteri atau vena) bukan merupakan indikator yang
baik untuk dipakai sebagai dasar dilakukannya torakotomi.

Gambar 2.4.Hemothorax
b) Tamponade jantung
Sering disebabkan oleh luka tembus, namun cedera tumpul juga dapat
menyebabkan pericardium terisi darah baik dari jantung, pembuluh darah
besar, maupun pembuluh darah perikardium. Perikardium manusia terdiri

20

dari struktur jaringan ikat yang kaku dan walalupun relative sedikit darah
yang terkumpul, namun sudah dapat menghambat aktivitas jantung dan
mengganggu pengisian jantung. Mengeluarkan darah atau cairan perikard
walalupun hanya 15-20 cc, sudah akan memperbaiki hemodinamik. 1,2,9
Manifestasi Klinis
Diagnosis tamponade jantung tidak mudah. Diagnosis klasik adalah
adanya trias Beck yaitu peningkatan tekanan vena, penurunan tekanan
arteri, dan suara jantung menjauh. Penilaian suara jantung menjauh sulit
ditemukan bila ruang gawat darurat dalam keadaan ramai, distensi vena
leher tidak ditemukan karena dalam keadaan hipovolemia, dan hipotensi
sering disebabkan hipovolemia. Pulsus paradoksus adalah keadaan
fisiologis di mana terjadi penurunan tekanan darah sistolik selama
inspirasi spontan. Bila penurunan lebih dari 10 mmHg, maka ini
merupakan tanda terjadinya tamponade jantung, namun tanda ini tidak
selalu ditemukan. Lagipula jika terdapat tension pneumothorax pada sisi
kiri, akan sangat miriip dengan tamponade jantung.
Tanda Kussmaul (peningkatan tekanan vena saat inspirasi biasa)
adalah kelainan paradoksal yang sesungguhnya dan menunjukkan adanya
tamonade jantung. 1,2,9
Penatalaksanaan
Evakuasi cepat darah dari perikard merupakan indikasi bila penderita
dengan syok hemoragik tidak memberikan respon pada resusitasi cairan
dan mungkin ada tamponade jantung. Tindakan ini menyelamatkan nyawa
dan tdak boleh diperlambat untuk mengadakan pemeriksaan diagnostic
tambahan. Metode sederhana untuk mengeluarkan cairan dari perikard
adalah dengan perikardiosintesis. Kecurigaan yang tinggi adanya
tamponade jantung pada penderita yang tidak memberikan respon
terhadap

usaha

resusitasi,

merupakan

indikasi

untuk

tindakan

perikardiosintesis melalui metode subskifoid. Tindakan altenatif lain


adalah melakukan operasi jendela perikard atau torakotomi dengan

21

perikardiotomi oleh seorang ahli bedah. Prosedur ini akan lebih baik
dilakukan di ruang operasi jika kondisi penderita memungkinkan.
Walaupun kecurigaan besar akan adanya tamponade jantung, tetap
dilakukan pemberian cairan infuse awal karena akan dapat menngkatkan
tekanan vena dan cardiac output untuk sementara, sambil melakukan
persiapan untuk tindakan perikardiosintesis melalui metode subskifoid.
Pada tindakan ini penggunaan plastic-sheated needle atau insersi dengan
teknik Seldinger merupakan cara paling baik, tetapi dalam keadaan yang
lebih gawat, prioritas adalah aspirasi darah dari kantung perikard.
Monitoring EKG dapat menunjukkan tertusuknya miokard atau terjadinya
disritmia. Karena luka jantung akan menutup sendiri, prikardiosintesis
akan memperbaiki gejala untuk sementara. Namun semua penderita
dengan prikardiosintesis positif akan memerluka torakotomi atau median
sternotomi untuk pemeriksaan dan perbaikan cedera jantungnya.
Perikardiosintesis mungkin negative karena darah beku. Untuk pasien ini
harus

disiapkan

tindakan

untuk

merujuk

ke

ahli

bedah

yang

berpengalaman. 1,2
3. Disability
Menjelang akhir primary survey dilakukan evaluasi terhadap keadaan
neurologis secara cepat yang meliputi tingkat kesadaran, ukuran dan reaksi
pupil, tanda-tanda lateralisasi, dan tingkat (level) cedera spinal.
4. Exposure/Environmental Control
Pasien harus dibuka keseluruhan pakaiannya, sering dengan cara
menggunting, guna memeriksa dan mengevaluasi pasien. Setelah pakaian
dibuka, pasien diselimuti agar tidak hipotermia. Selimut yang digunakan
adalah selimut hangat, ruangan cukup hangat dan diberikan cairan intravena
yang sudah dihangatkan.
Selama primary survey, keadaan yang mengancam nyawa harus
dikenali, dan resusitasinya dilakukan pada saat itu juga.Tindakan primary

22

survey adalah bentuk berurutan (sekuensial) sesuai prioritas namun dalam


praktek nya sering dilakukan secara bersamaan (simultan).9

BAB III
LAPORAN KASUS
1. Identitas Pasien
Nama

Tn. Rusli

Usia

50 tahun

Agama

Islam

Alamat

Kel. Tondo / Dupa

2. Anamnesis

Keluhan Utama
: Nyeri di bagian dada.
Riwayat Trauma
: Kecelakaan tunggal lalu lintas
Mekanisme Trauma :
Pasien berkendaraan motor menghindari hewan yang melintasi jalan dan
menabrak pohon di tepi jalan, dengan dada yang terbentur ke stir motor.
Riwayat penyakit sekarang
Pasien laki-laki usia 50 tahun, masuk dengan keluhan nyeri pada dada
sebelah kanan. yang dirasakan sesaat setelah menglamai KLL. Nyeri ini
pasien rasakan saat menarik nafas, sesak nafas (+). Mual dan muntah tidak
ada, nyeri kepala (-), penurunan kesadaran tidak ada, nyeri perut (-), tidak ada
nyeri maupun keterbatasan gerak pada anggota gerak tubuh. BAB dan BAK

saat pasien masuk biasa.


Riwayat penyakit sebelumnya
Riwayat kecelakaan sebelumnya (-), DM dan Hipertensi disangkal.

23

Riwayat penyakit keluarga


Tidak ada keluarga yang menderita sakit serupa.

3. Primary Survey
Airway

: Patent

Breathing : 26x/menit
Thorax
Inspeksi

: Gerakan dada simetris bilateral, penggunaan otot


napas tambahan (-).

Palpasi

: Nyeri tekan (+), Krepitasi (+) pada costa V dan VII,


Emfisema subkutis (-).

Perkusi

: Sonor (+)

Auskultasi

: Vesikuler kedua lapang paru, Bunyi nafas tambahan(-)

Circulation
TD : 130/100 mmHg
N : 88x/menit teratur dan kuat angkat
Disability
GCS : E4 V5 M6
Refleks cahaya langsung : (+/+)
Refleks cahaya tidak langsung : (+/+)
Pupil : (Bulat 2,5mm / Bulat 2,5mm) isokor
4. Secondary Survey
Kepala
Konjungtiva anemis (-/-)
Sklera ikterus (-/-)
Bibir sianosis (-)
Leher
Pembesaran KGB (-)

24

Pembesaran Tiroid (-)


Distensi vena jugular (-)
Emfisema subkutis (-)
Deviasi trakea (-)

Thoraks
Inspeksi

: Simetris kiri = kanan, tampak jejas (vulnus Ekskoriasi) pada


dinding kanan toraks linea Mid Axilaris berwarna merah
kebiruan.

Palpasi

: Vocal Fremitus Kiri=Kanan, emfisema subkutis (-) Nyeri


tekan (+), Krepitasi(+)

Perkusi

: Sonor, batas paru hepar ICS VI kanan depan

Auskultasi

: Bunyi Pernapasan : Vesikuler


Bunyi Tambahan : Rh -/-, Whz -/-

Jantung
Inspeksi

: Iktus cordis tidak tampak

Palpasi

: Iktus cordis teraba pada SIC V linea Midclavicula Sinistra

Perkusi

: Batas jantung kesan normal

Auskultasi

: BJ I/II murni reguler.

Abdomen
Inspeksi

: Tampak datar, Jejas (-), Massa (-).

Auskultasi

: Peristaltik (+), kesan normal

Perkusi

: Timpani (-).

Palpasi

: Nyeri tekan (-), Hepar dan lien tidak teraba.

Genitalia
Tidak Diperiksa

25

Ekstremitas
Superior

: Akral hangat

Inferior

: Akral hangat

NVD

: CRT<2 detik

ROM

: Bebas tidak terbatas

Status Lokalis

Regio Hemitoraks Dextra


Inspeksi : Ekspansi dinding toraks simetris bilateral, Vulnus ekskoriasi

di line midaxilaris dextra setinggi ics 5-6, retraksi otot (-).


Palpasi : vokal fremitus simetris kiri = kanan, nyeri tekan dan krepitasi

pada costa 5 dan 7 anterior dextra, emfisema subkutis (-).


Perkusi : sonor pada kedua lapang paru
Auskultasi : vesikuler (+/+), bunyi jantung normal.

Pemeriksaan Lab :
Darah Lengkap
WBC : 9,00

26

RBC : 3,50
Hb

: 11,00

PLT : 285
HCT : 31,8
Foto toraks AP

Resume
Pasien pria umur 50 tahun masuk dengan keluhan nyeri dada kanan yang
dirasakan sesaat setelah mengalami KLL. Nyeri ini sangat terasa saat inspirasi,
sesak (+), nausea dan vomiting (-), cephalgia (-), nyeri abdomen (-), tidak ada
fraktur dan deformitas pada anggota gerak, GCS 15. Tekanan darah 130/100, nadi
: 88x/menit teratur dan kuat angkat. Mekanisme trauma : Pasien berkendaraan
motor menghindari hewan yang melintasi jalan dan menabrak pohon di tepi jalan,
dengan dada kanan yang terbentur ke stir motor.
27

5.

Diagnosis
Diagnosis Kerja : Trauma tumpul toraks (D) + Fraktur Costa V dan VII Anterior

Dextra
6.

7.

Penatalaksanaan

Oksigen 3 Lpm

IVFD RL 20 tpm

Inj Ketorolac 30 gr/ 8 jam

Inj. Ranitidin /12 jam

Bebat thoraks menggunakan elastik perban 6 inc.

Prognosis
Dubia ad Bonam

28

BAB IV
PEMBAHASAN
Pasien Tn. R masuk dengan keluhan nyeri dada sebelah kanan disertai nyeri saat
menarik napas dada sebelah kanan sesaat setelah kecelakaan lalu lintas. Awalnya
pasien menabrak pohon di pinggiran jalan kemudian dada sebelah kanan pasien
tertumbuk di stir motor. Setelah tiba di rumah sakit dilakukan anamnesis,
pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang sesuai protocol ATLS.
Berdasarkan mekanisme trauma yaitu berupa trauma tumpul pada dinding toraks
anterior dextra dengan sumber energy trauma dari benda padat berupa strir motor. Hal
ini berkolerasi dengan keluhan pasien saat masuk yaitu dengan nyeri dada dan sesak
dapas pada dada kanan. Tingkat kesadaran pasien saat masuk yaitu GCS 15. Sehingga
perlu di pikirkan diagnosis banding dari trauma tumpul toraks tersebut yaitu : tension
pnumotoraks, fail chest, hematotoraks, tamponade jantung.
Pemeriksaan fisik di leher tidak ditemukan adanya deviasi trakea, distensi vena
jugulare, serta emfisema subkutis. Pada pemeriksaan fisik di toraks didapatkan pada
regio hemi toraks dextra, pada inspeksi ekspansi dinding toraks simetris bilateral,
terdapat jejas (vulnus ekskoriasi) di linea midaxilaris setinggi ics 5-6 dextra, dari
palpasi didapatkan nyeri tekan dan krepitasi pada costa 5 dan 7 anterior dextra tetapi
tidak ada ditemukan emfisema subkutis. Auskultasi bunyi nafas sama kiri dan kanan
(vesikuler), tidak ada rhonki dan bunyi jantung normal. Berdasarkan pemeriksaan
fisik tersebut maka diagnosis banding tension peneumotoraks, hematotoraks, dan
tamponade jantung tersingkirkan.
Berdasarkan hasil pemeriksaan penunjang berupa foto toraks didapatkan adanya
gambaran fraktur bergeser pada tulang costa 5 anterior dextra dan fraktur tidak
bergeser pada costa 7 anterior dextra. Tetapi konfigurasi dari kedua fraktur tersebut

29

tidak segmental walaupun 2 tulang costa yang mengalami fraktur. Sehingga diagnosis
banding fail chest juga tersingkirkan.
Berdasarkan anmnesis, pemeriksaan fisik dan hasil pemeriksaan penunjang maka
diagnosis kerja pada kasus ini yaitu trauma tumpul toraks dan fraktur costa 5 dan 7
anterior dextra.
Tata laksana pada kasus ini yaitu pemberian oksigen untuk menjaga ventilasi yang
adekuat dengan nasal kanul, pemberian obat analgetik untuk menghilangkan nyeri
akibat fraktur yang terjadi, pemasangan perban elastic bertujuan untuk imobilisasi
yaitu mencegah pergerakan fragmen tulang yang mengalami fraktur bergerak jauh
yang berpotensi dapat mencederai pembuluh darah inter costa dan parenkim paru dan
mengurangi nyeri

DAFTAR PUSTAKA

30

1. American College of Surgeons Committee on Trauma (ACSCOT). 2008.


Rujukan. Dalam: Advanced Trauma Life Support for Doctors, ATLS Student
Course Manual . Eight Edition. Chicago.
2. American College of Surgeons. 2004. Cedera Toraks. Dalam: Advanced Trauma
Life Support fo Doctors. Chicago.
3. Dongel Isa, Coskun Abuzer, Ozbay Sedat. Management of thoracic trauma in
4. Emergency
service:
Analysis
of
1139
cases.
doi:
http://dx.doi.org/10.12669/pjms.291.2704 . 2012
5. Eyolfson, D. 2010. Thoracic Injuries.Paramedic Association of Canada.4-18.
6. Hunt, P.A., I. Greaves, dan W.A. Owens. 2006. Emergency Thoracotomy in
Thoracic Trauma-A Review. International Journal of The Care of The Injured.
37: 1-19.
7. Wanek, S. and J.C. Mayberry. 2008. Blunt Thoracic Trauma. Critical Care
8. Snell RS.Clinical Anatomy. 7thed. USA: Lippincott Williams & Wilkins;2009
9. Syamsyuhidajat R, De Jong W. Buku Ajar Ilmu bedah ed 2. Jakarta: EGC;2010
10. Sabiston. Buku Ajar bedah Bagian 1. Jakarta. EGC .2011

31

Anda mungkin juga menyukai