Oleh:
SUYOGA GINTING
090100355
PEMBIMBING
BAGIAN PSIKIATRI
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
2013
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis haturkan kepada Tuhan Yang Maha Esa yag telah memberikan
berkat dan rahmatnya, sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah yang
berjudul
Gangguan Distimik. Adapun tujuan penulisan makalah ini adalah untuk memenuhi tugas
Kepaniteraan Klinik Senior Departemen Psikiatri Rumah Sakit Jiwa Medan dan meningkatkan
pemahaman mahasiswa mengenai Gangguan Distimik.
Selama penulisan makalah ini, penulis banyak mendapatkan bimbingan dan arahan.
Dalam kesempatan ini, penulis denga segala kerendahan hati ingin mennyampaikan terima kasih
sebesar-besarnya kepada dokter-dokter PPDS Psikiatri atas bimbingan dan ilmu yang sangat
berharga. Penulis juga mengucapan terima kasih kepada teman-teman yang turut membantu
dalam proses penulisan makalah ini. Untuk seluruh bantuan baik moril maupun materil yang
diberikan kepada penulis selama ini, penulis mengucapkan banyak terima kasih.
Penulis juga menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna. Untuk itu, penulis
mengharapkan asukan beupa kritik dan saran yang bersifat membangun demi kesempurnaan
makalah ini. Semoga makalah ini berguna bagi kita semua.
Suyoga Ginting
BAB I
PENDAHULUAN
1.1.
BAB II
2.1. Definisi Distimik
Gangguan distimik (dysthymic disorder) merupakan suatu gangguan kronik dengan cirri-ciri
adnya suatu mood depresi yang menetap seharian dan hampir berlanjut terus-terusan. Menurut
revisi buku edisis ke empat dari Diagnostic and Statistical Manual of Mental disorders (DSMIV-TR), ciri gangguan distimik yang
iritabilitas, serta kemarahan ; penarikan diri dari masyarakat ; hilang minat ; serta inaktivitas dan
tidak produktif. Istilah distimia, yang berarti tidak menyenangkan(ill-humored) diperkenalkan
pada tahun 1980. Sebelumnya, sebagian besar pasien yang yang saat ini digolongkan memiliki
gangguan distimik, digolongkan memiliki neurosis depresif (juga disebut depresi neurotik).
Gangguan distimik dibedakan dengan gangguan depresif berat berdasarkan fakta bahwa pasien
mengeluh selalu merasa depresi. Dengan deikian, sebagian besar kasus aalah awitan dini,
dimulai saat masa kanak atau remaja dan saat pasien mencapai usia 20-an. Subtipe awitan
lambat, sering ditemukan, dan tidak dapat ditandai secara klinis dengan baik, diidentifikasai di
antara populasi geriatrikdan usia pertengahan, sebagaian besar melalui, studi epidmiologis di
dalam komunitas. Riwayat keluarga pasien dengan distimia secara khas dipenuhi gangguan
depresif serta bipolar, yang merupakan salah satu temuanlebih kuat yang menyokong kaitannya
dengan ganggaun mood primer.
2.2. Epidemilogi
Gangguan distimik lazim ditemukan pada populasi umum dan memengaruhi 5 sampa 6 persen
orang. Gangguan ini ditemukan pada pasien klinik psikiatri umum dan mengenai antara setengah
dan sepertiga pasien klinik. Prevalensi ganggaun distimik yang dilaporkan di antara remaja muda
sekita 8 persen pada anak laki-laki dan 5 persen pada anak perempuan; meskipun demikian, tidak
ada perbedaan gender unuk angka insiden. Gangguan ini lebih lazim ditemukan pada perempuan
dibawah usia 4 tahun dan pada laki-laki usia berapapun dan lebih lazim pada orang yang tidak
menikah serta muda dan pada orang dengan penghasilan rendah. Gangguan distimik sering
terdapat bersamaan dengan gangguan jiwa lain, terutama gangguan depresif berat, dan pada
orang dengan gangguan depresif berat terdapat kecenderungan menurun dengan adanya remisi
penuhdi antara episiode.
2.3. Etiologi
1. Faktor Biologis.
Sejumlah
studi
mengenai
komponen
biologis
pada
gangguan
distimik
menyokong
penggolongannya dangan gangguan mood; studi lain mempertanyakan hubungan ini. Satu
hipotesis yang ditarik dari data adalah bahwa dasar biologis gejala distimik menyerupai
gangguan depresif berat tetapi dasar biologis patofisiologis yang mendasari kedua gangguan ini
berbeda.
2. Studi Mengenai Tidur.
Latensi REM yang meningkat adalah dua penandaa keadaan depresi pada gangguan depresif
berat yang juga ada pada pasien ganggaun distimik dengan proporsi yang signifikan. Sejumlah,
peneliti, yang melaporkan data awal yag menunjukkan adanya abnormalitas tidur pada pasien
gangguan distimik, memprediksikan respons terhadap obat antidepresan.
3. Studi Neuroendokrin.
Dua aksis neuroendokrin yang paling sering dipelajari pada ganggau depresif beratdan gangguan
distimik adalah akis adrenal dan aksis tiroid, yang telah diuji dengan menggunakan uji supresi
deksametason (DST) dan uji stimulasi hormone pelepas tirotropin (TRH) secara berurutan.
Walaupun hasil studi ini tidak benar-benar konsisten, sebagian besar studi menunjukkan bahwa
pasien gangguan distimik lebih jarang memiliki hasil abnormal DST daaripada psien gangguan
depresif berat. Studi uji stimulasi- TRH yang lebihh sedikit telah dilakukan, tetapi studi ini
menghasilkan data awal yang menunjukkan bahwa abnormalitas aksis tiroid dapat meruakan
variasi ciri bawaan akibat penyakit kronis. Persentase yang lebih tinggi pasien gangguan distimik
memiliki abnormalitas aksis tiroid daripad subjek kontrol normal.
4. Faktor Psikososial.
Teori psikodinamik mengenai timbulnya gangguan distimik menyatakan bahwa gangguan ini
berasal dari perkembangan ego dan kepribadian dan berpuncak pada kesulitan dalam beradaptasi
pada masa remaja dan dewasa. Karl Abraham, contohnya, menduga bahwa konflik depresi
berpusat pada ciri bawaan sadistik oral dan anal. Ciri bawaan anal mencakup keteraturan yang
berlebihan, rasa bersalah, serta kepedulian terhadap orang lain; hal ini dihipotesiskan sebagai
perlawanan terhadap preokupasi akan hal-hal anal dan disorganisasi, hostilitas, serta preokupasi
diri. Mekanisme defense utama yang digunakan adalah reaction formation. Harga diri rendah,
anhedonia, serta introversi sering dikaitkan dengan cirri depresif.
5. Freud.
Di dalam Mourning and Melancholia, Sigmund Freud menyatakan bahwa kekecewaan
interpersonal di awal kehidupan dapat menyebabkan kerentanan terhadap depresi, menyebabkan
ambivalensi hubungan cinta sebagai orang dewasa; kehilangan atau ancaman akan kehilangan
pada kehidupan dewasa kemudian mencetuskan depresi. Orang yang rentan terhadap depresi
serta oral bergantung dan membutuhkan kepuasan narsisistik yang konstan.
6. Teori Kognitif
Teori kognitif depresi juga berlaku untuk gangguan distimik. Teori ini berpegang pada perbedaan
antara kenyataan dan situasi khayalan mengakibatkan berkurangnyaharga diri dan rasa tidak
berdaya. Keberhasilan terapi kognitif di dalam terapi sejumlah pasien gangguan distimik dapat
memberikan dukungan untuk model teoritis.
2.4. Diagnosis dan Gambaran Klinis
Kriteria diagnosis DSM-IV-TR gangguan distimik (Tabel 12.2-1) menetapkan adanya mood
depresi selama sebagian besar waktu untuk setidaknya 2 tahun (atau satu tahun untuk anak-anak
dan remaja). Untuk memenuhi kriteria diagnostik, seorang pasien tidak boleh memiliki gejala
yang sebaiknya dianggap sebagai gangguan depresif berat dan tidak pernah boleh memiliki
episode manik atau hipomanik. DSM-IV-TR memungkinkan klinisi menentukan apakah
awitannya dini(sebelum usia 21 tahun) atau lambat (usia 21 tahun atau lebih). DSM-IV-TR juga
memungkinkan spesifikasi ciri atipikal gangguan distimik(Tabel 12.1-1).
Tabel 12.2-1
Kriteria Diagnostik DSM-IV-TR Gangguan Distimik
A. Mood depresi hampir sepanjang hari selama berhari-hari, lebih banyak depresi daripada
tidak, sebagaimana ditunjukkan secara subjektif atau melalui pengamatan orang lain, untuk
setidaknya 2 tahun. Catatan: pada anak dan remaja, mood dapat iritabel dan durasinya harus
sedikitnya 1 tahun.
B. Saat depresi terdapat dua (atau lebih) hal berikut:
(1) nafsu makan buruk atau makan berlebihan
(2) insomnia atau hiersomnia
(3) kurang tenaga atau lelah
(4) harga diri rendah
(5) konsentrasi buruk atau sulit mengambil keputusan
(6) rasa putus asa
C. Selama periode 2 tahun gangguan (1 tahun untuk anak-anak remaja), orang tersebut tidak
pernah bebas gejala dalam Kriteria A dan B lebih dari 2 bulan.
D. Tidak pernah ada episode depresif berat selama 2 tahun pertama gangguan (1 tahun untuk
anak-anak dan remaja); yaitu gangguan tidak lebih baik, dimasukkan ke dalam gangguan
depresif berat kronis, atau gangguan depresif berat kronis, atau gangguan depresif berat,
dalam remisi parsial.
Catatan: Mungkin terdapat episode depresif berat sebelumnya mengingat terdapat remisi
penuh (tanpa tanda atau gejala signifikan selama 2 bulan) sebelum timbulnya gangguan
distimik. Disamping itu, setelah 2 tahun pertama ( 1 tahun pada anak-anak dan remaja)
gangguan distimik, bisa terdapat episode gangguan depresif berat yang bertumbang tindih,
pada kasus tersebut kedua diagnosis dapat diberikan ketika kriteria episode depresif berat
terpenuhi.
E. Tidak pernah ada episode manik, episode cmapuran, atau episode hipomanik, dan kriteria
tidak pernah terpenuhi untuk gangguan siklotimik.
F. Gangguan tidak hanya timbul selama perjalanan gangguan psikotik konis, seprti skizofrenia
atau gangguan waham.
G. Gejala bukan disebabkan efek fisiologis langsung suatu zat (cth., penyalahgunaan zat, obat),
atau keadaan medis umum (cth., hipotiroid).
H. Gejala secara klinis menyeabkan penderitaann atau hendaya bermakna fungsi sosial,
pekerjaan, atau area fungsi lain.
Tentukan apakah:
Awitan dini : jika awitan sebelum usia 21 tahun
Awitan lambat : jika awitan usia 21 tahun atau lebih
Tentukan (untuk gangguan distimik 2 tahun terkini):
Dengan ciri atipikal
3. Depresi Ganda.
Sekitar 40 persen pasien dengan gangguan depresif berat juga memenuhi kriteria gangguan
distimik, sutau kombinasi yang sering disebut depresi ganda. Data yang tersedia menyokong
kesimpulan bahwa pasien depresi ganda memiliki prognosis lebih buruk daripada pasien
daripada pasien dengan hanya gangguan depersif berat. Terapi pasien depresi ganda harus
diarahkan pada kedua gangguan karena perbaikan gejala ganggaun depresif berat tetap
meninggalkan pasien dengan hendaya psikiatri yang bermakna.
4. Penyalahgunaan Alkohol dan Zat.
Pasien dengan gangguan distimik umumnya memenuhi kriteria diagnostik gangguan terkait zat.
Komorbiditas ini dapat menjadi logis: pasien dengan gangguan distimik cenderung membenuk
metode koping untuk keadaan depresi kronisnya.
2.7. Perjalanan Gangguan dan Prognosis
Sekitar 50 persen pasien dengan ganggaun distimik mengalkami awitan gejala yang tidak
disadari sebelum usia 25 tahun. Wlaupun awitannya dini, pasien sering mengalami gejala selama
satu dekade sebelum meminta bantuan psikiatri dan dapat menganggap gangguan distimik
awitan dini sebagai bagian dari kehidupan . pasien dengan awitan dini ini memiliki resiko
memiliki gangguan depresif berat maupun gangguan bipolarI dalam perjalanan gangguannya.
Prognosis pasien dengan gangguan distimik bervariasi. Sekitar 25 persen pasien dengan
gangguan distimik tidak pernah mencapai pemulihan sempurna. Meskipun demikian, secara
keseluruhannya prognosisnya baik dengan terapi.
2.8. Terapi
Data saat ini memberikan dukungan obejktif untuk terapi kognitif, terapi perilaku, dan
farmakoterapi. Kombinasi farmakoterapi dan terapi kognitif atau perilaku mungkin merupakan
terapi yang paling efektif untuk gangguan tersebut.
1. Terapi Kognitif
Terapi kognitif adalah suatu teknik mengajarkan pasien cara berpikir dan bersikap untuk
menggantikan sikap negatif yang salah mengenai diri mereka sendiri, dunia , dan masa depan.
Terapi ini merupakan program terapi jangka-pendek yang ditujukan pada masalah saat ini dan
penyelesaiannya.
2. Terapi Perilaku
Terapi perilaku gangguan depresif
6. Farmakoterapi
Karena keyakinan teoritis yang bertahan lama dan lazim bahwa gangguan distimik adalah
gangguan yang terutama ditentukan secara psikologis, banyak klinisi mengindari peresepan
antidepresan untuk pasien, tetapi banyak studi menunjukkan keberhasilan terapi dengan
antidepresan. Data umumnya menunjukkan bahwa SSRI berguna bagi pasien dengan
gangguan distimik. Laporan menunjukkan bahwa SSRI dapat menjadi obat pilihan.