Anda di halaman 1dari 20

BAB I

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Sesuai dengan Undang-Undang no.5 tahun 1960 yaitu UUPA, dimana UUPA merupakan
undang-undang yang menjadi pokok dalam penyusunan hukum tanah Nasional di Indonesia.
Sebagaimana kita ketahui pula UUPA mengakhiri kebinekaan perangkat hukum yang mengatur
dalam bidang pertanahan yang mana dalam pengaplikasiannya masih di dasarkan pada hukum
adat.
Selain hukumnya UUPA juga menunifikasikan hak-hak penguasaan atas tanah terutama
hak-hak atas tanah yang di dalamnya masih banyak melahirkan kontroversi maupun hak-hak
jaminan atas tanah. Dewasa ini hukum adat apabila kita melihat realita yang ada dalam perihal
hak atas tanah dapat memungkinkan di dalamnya adanya penguasaan atas tanah yang secara
individual, dengan hak-hak atas tanah yang bersifat pribadi, sekaligus mengandung unsur
kebersamaan.
Hal tersebut diatas seiring dengan rumusan konsepsi hukum adat yang mempunyai sifat
komunalistik religius. Dimana dengan adanya hal tersebut menimbulkan dan menunjuk adanya
hak ulayat dalam masyarakat adat, yang keberadaannya dalam Hukum Tanah Nasional (UUPA)
masih dipermasalahkan. Begitu juga statusnya dalam masyarakat adat itu sendiri.
B. Konteks Perundang-Undagan.
Berdasarkan dengan UU No. 19 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan PerundangUndangan dan Peratutan Mendagri No.16vTahun 2006 Tentang Prosedur Penyusunan Produk
Hukum Daerah. Maka dalam rangka penyelanggaraan otonomu daerah dan tugas pembantuan,
yang menampung kondisi khusus daerah serta penjabaran lebih lanjut Peraturan Perundang1

Undangan yang lebih tinggi. Pembentukan Perda (Peraturan Daerah) dibentuk dengan dibuat
terlebih dahulu suatu Raperda. Rancangan Peraturan Daerah (Ranperda) dapat berasal dari
DPRD atau Kepala Daerah (Gubernur, Bupati, atau Walikota) untuk disahkan oleh pemerintah
daerah.
Perda yang di buat oleh pemerintah Daerah hanyalah berlaku sebatas wilayah
kekuasaannya, untuk menyikapi hal itu maka pemerintah Daerah untuk menjaga kondisi yang
kondusid di dalam lingkungan, maka perlu dibuat suatu ketentuan mengenai peraturan hak ulayat
di Tapanuli Utara.

BAB II
RANCANGAN
PERATURAN DAERAH KABUPATEN TAPANULI UTARA
NOMOR 040 TAHUN 2013
TENTANG
Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
Menimbang :
a. bahwa berdasarkan Peraturan Menteri Negara Agraria/ Kepala Badan Pertanahan Nasional
Nomor 5 Tahun 1999 tentang Pedoman Penyelesaian Masalah Hak Ulayat

Masyarakat

Hukum Adat menyatakan bahwa penentuan masih adanya hak ulayat dan peraturan lebih
lanjut mengenai hak ulayat diatur dengan Peraturan Daerah;
b.bahwa Undang undang Nomor 12 tahun 20008 tahun 2004 menyatakan bahwa daerah
berwenang mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat dalam ikatan Negara Kesatuan
Republik Indonesia;
c. bahwa di tiap tiap daerah tanah adat terdapat tanah tanah adat yang penguasaanya
dilakukan masyarakat adat setempat berdasarkan peraturan hukum adat yang berlaku;
d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, b, dan c tersebut dia
atas perlu ditetapkan hak ulayat masyarakat hukum adat dalam peraturan daerah.
Mengingat :
1. Pasal 18 ayat (6), Pasal 18B Ayat (2), Pasal 28I Ayat (3), Pasal 32 Ayat (1) dan Ayat (2)
Undang undang Dasar Tahun 1945;
2. TAP MPR Nomor IX Tahun 2001 Tentang Pembaharuan Agraria dan Pengelolaan Sumber
Daya Alam;
3. Undang undang Nomor 5 tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok Pokok Agraria
(Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 78 Tahun 1960, Tambahan Negara Republik
Indonesia Nomor 2043);
4. Undang undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan
Ekosistemnya (Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 49 Tahun 1990, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3419);
3

5. Undang undang Nomor 5 Tahun 1994 tentang Pengesahan Konvensi Internasional


Mengenai Keanekaragaman Hayati (Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 41 Tahun
1994);
6. Undang undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 165, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia 3886);
7. -Undang uundang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan (Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 167 Tahun 1999, dan Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 3888) .
8.

Undang undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan (Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 86 Tahun2004, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
4412);

9. Undang undang Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air (Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2004);
10. Undang undang Nomor 18 Tahun 2004 tentang Perkebunan (Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 85 Tahun 2004);
11. Undang undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara
Indonesia Nomor 125 Tahun 2004, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
4437);
12. Undang undang Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah (Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 59 Tahun 2008, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 4844);
13. Undang undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah
Pusat dan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 126 Tahun 2004,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4438);
14. Undang undang Nomor 11 Tahun 2005 tentang Pengesahan Konvenan Internasional
tentang Hak hak Ekonomi Sosial Dan Budaya (Tambahan Negara Republik Indonesia
Nomor 4557);
15. Undang undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang (Lembaran Negara
Republik Indonesian Nomor 68 Tahun 2007, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 4725);

16. Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolahan
Lingkungan Hidup (Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 140 Tahun 2009);
17. Undang undang nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang
undangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 82 Tahun 2011, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4737);
18. Peraturan pemerintah nomor 41 tahun 2007 tentang Pedoman Organisasi Perangkat Daerah
(Lemabaran Negara Republik Indonesia Nomor 89 Tahun 2009, Tambahan lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 4741);
19. Peraturan Menteri Agraria / Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 5 Tahun 1999
tentang Pedoman Penyelesaian Masalah Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat.

MEMUTUSKAN:
DENGAN PERSETUJUAN BERSAMA
PEMERINTAH DAERAH TAPANULI UTARA
5

dan
DEWAN PERWAKILAN DAERAH
Menetapkan : PERATURAN DAERAH HAK ULAYAT MASYARAKAT HUKUM ADAT
KABUPATEN TAPANULI UTARA
BAGIAN I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam peraturan ini atau peraturan daerah ini yang dimaksud dengan :
1. Pemerintah adalah pemerintah daerah kabupaten tapanuli utara.
2. Dewan Perwakilan rakyat Daerah adalah deawan perwakilan daerah tapanuli utara.
3. Tanah adat adalah bidang tanah yang diatasnhya terdapat hak adat dari masyarakat
adat,baik bersifat komunal maupun individual yang meliputi perkampungan atau daerah
daerah, persawahan atau perladangan, atau padang pengembalaan, atau hutan beserta
segala sumber daya alam yang berada diatas maupun terkandung di dalam tanah.
4. Sumber daya alam adalah segala kekayaan alam yang terdapat diatas ataupun yang
terkandung di dalam tanah yang meliputi tumbuhan, hewan, air, baik air permukaan
tanah, seperti sungai, maupun air yang terdapat di bawah permukaan tanah, dan barang
tambang.
5. Hak adat adalah hak komunal atau individual yang bersifat asal usul yang melekat pada
masyarakat adat yang bersumber dari nilai nilai budaya dan kemasyarakatan.
6. Hak atas tanah adat adalah hak yang dipunyai oleh masyarakat hukum adat atas ulayah
sebagai labensraum berdasarkan hukum adat.
7. Masyarakat Hukum Adat adalah sekelompok orang yang terikat oleh tatanan hukum
adatnya sebagai warga bersama suatu persekutuan hukum karena kesamaan tempat
tinggal ataupun atas dasar keturunan.
8. Pengetua adat adalah para tetua masayarakat hukum adat
9. Hak komunal adalah hak kepunyaan bersama dari suatu masyarakat hukum adat
10. Hak individu adalah hak perseorangan yang dipunyai oleh warga masyarakat hukum adat.
11. Kearifan lokal adalah suatu nilai, pandangan hidup dari masyarakat hukum adat.
12. Hak Ulayat Adalah merupakan hak penguasaan yang tertinggi atas tanah dalam hukum
adat yang meliputi semua tanah yang termasuk dalam lingkungan wilayah suatu
6

masyarakat hukum adat tertentu yang merupakan tanah kepunyaan bersama para
warganya.
13. Masyarakat hukum adat adalah sekelompok orang yang terikat oleh tatanan hukum
adatnya sebagai warga bersama suatu persekutuan hukum karena kesamaan tempat
tinggal ataupun atas dasar keturunan.
14. Tanah ulayat adalah bidang tanah yang diatasnya terdapat hak ulayat dari suatu
masyarakat hukum adat tertentu.

BAGIAN II
ASAS, TUJUAN DAN RUANG LINGKUP
Bagian Kesatu
Asas
Pasal 2
Pengaturan tanah adat beserta hak hak adat yang melekat di atasnya dilaksanakan berdasarkan
asas :
(1)

Hak Asasi Manusia.

(2)

Keadilan.

(3)

Partisipasi.

(4)

Transparansi.

(5)

Kesetaraan dan Non-diskriminasi.

(6)

Keberlanjutan lingkungan.

(7)

Kebersamaan dan gotong royong


Bagian Kedua
Tujuan
Pasal 3

Pengaturan tanah adat beserta hak hak adat yang melekat di atasnya bertujuan :
1. Melindungi keberadaan hak masyarakat hukum adat.
2. Menjamin pemanfaatan tanah adat secara maksimal untuk meningkatkan kesejahteraan
masyarakat adat.
3. Terwujudnya pemeliharaan tanah tanah adat demi kelangsungan keberadaan tanah adat
dan hubungan yang tidak terputus antara masyarakat adat dengan tanah adatnya.
7

Bagian ketiga
Ruang Lingkup
Pasal 4
Ruang lingkup peraturan daerah ini mencakup segala peraturan yang berkaitan dengan
perlindungan hukum atas hak ulayat masyarakat hukum adat beserta hak-hak yang terkandung
dalam hak tersebut termasuk pengaturan, penyelenggaraan, peruntukan, penggunaan dan
pemeliharaan tanah yang dikuasai oleh masyarakat hukum adat.

BAGIAN III
KEDUDUKAN DAN FUNGSI TANAH ADAT
Pasal 5
Tanah adat berkedudukan sebagai identitas bagi masyarakat adat yang berasal dari warisan nenek
moyang, tidak dapat diperjual belikan, dan bersifat religious-magis .

Pasal 6
Hak Ulayat berfungsi sebagai:
a. Sebagai identitas, alat pemersatu masyarakat hukum adat.
b. Sebagai tempat atau wadah bagi anggota masyarakat hukum adat untuk melangsungkan
hidup dan kehidupannya berupa pemukiman/ tempat tinggal, mencari sumber nafkah
(bersawah, berladang, beternak), tempat pekuburan dan mengambil hasil-hasil hutan.
c. Sebagai warisan yang diberikan kepada generasi penerus.
BAGIAN IV
PEMEGANG HAK ULAYAT
Pasal 7
(1) Pemegang hak ulayat adalah masayarakat hukum adat (desa, marga).

(2) Hak ulayat dikuasai oleh masyarakat hukum adat yang dipimpin oleh kepala masyarakat
hukum adat/kepala adat/kepala suku/kepala marga.
(3) Hak menguasai masyarakat hukum adat meliputi kewenangan untuk mengatur,
mempergunakan, memperuntukkan tanah ulayat beserta isinya untuk kemakmuran dari
pada seluruh anggota masyarakat hukum adat.
(4) Keberadaan hukum hak ulayat dilakukan dengan Peraturan Daerah
Kabupaten yang sebelumnya dilakukan dengan penilitan apakah masih
ada hak ulayat tersebut.
(5) Untuk menentukan masih ada atau tidak ada hak ulayat sebagaimana
dalam ayat 4 pasal ini dityentukan berdasarkan ciri-ciri sebagai berikut
:
a. Terdapat sekelompok orang yang masih merasa terikat oleh tatanan
hukum adatnya sebagai warga bersama suatau persekutuan hukum
tertentu, yang mengakui dan menerapkan ketentuan-ketentuan
persekutuan tersebut dalam kehidupannya sehari hari,
b. Terdapat tanah ulayat tertentu yang menjadi lingkungan hidup para
warga persekutuan hukum tersebut dan tempatnya mengambil
keperluan hidupnya sehari-hari, dan
c. Terdapat tatanan hukum adat mengenai pengurusan, penguaasaan
dan penggunaan tanah ulayat yang berlaku dan ditaati oleh para
warga persekutuan hukum tersebut

Pasal 8
(1)Penelitian sebagaimana dimaksud dalam pasal 7 ayat (4) dibentuk
panitia yang diangkat oleh bupati yang terdiri dari : tokoh
masyarakat adat, pakar hukum adat dan instansi yang terkait.
(2)Untuk memperoleh kepastian tentang kebenaran dari hasil
penelitian sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) pasal ini
9

dilakukan seminar yang bertujuan untuk menampung saran dan


masukan.
(3)Prosedur pembuatan perda hak ulayat dilakukan berdasarkan
peraturan yang berlaku.
Pasal 9
(1) Apabila kepentingan yang lebih besar termasuk kepentingan pemerintah, masyarakat
hukum adat tidak boleh menolak atau menghalang-halangi usaha pembangunan
nasional dalam hal untuk itu dibutuhkan tanah
(2) Pemberian atau penyerahan atau pelepasan hak masyarakat hukum adat dilakukan
dengan tidak merugikan masyarakat hukum ada.
(3) Bentuk-bentuk penyerahan atau pelepasan hak sebagaimana menurut ketentuan ayat
pasal ini dapat dilakukan dalam bentuk :
a.

Dengan memberikan ganti rugi berupa uang

b.

Dengan memberikan tanah sebagai pengganti (tukar guling), dan

c. Pergantian sesuai dengan hasil kesepakatan pihak-pihak bersangkutan.

Pasal 10
(1) Selain yang diatur dalam pasal 9 mayarakat hukum adat mempunyai hak untuk
mengusahakan hak ulayat sebagaimana diatur dalam pasal 6.
(2) Hak ulayat dapat juga diberikan pengusahaannya kepada mayarakat perorangan,
perusahaan-perusahaan swasta baik dalam negeri dan luar negeri.
(3) Pelaksanaan ketentuan dalam ayat (2) diatur berdasarkan persetujuan masyarakat hukum
adat dan syarat-syarat yang disepakati para pihak.
BAGIAN V
PELAKSANAAN PENGUASAAN HAK ULAYAT
Pasal 11

10

1. Pelaksanaan penguasaan tanah adat oleh masyarakat adat dilakukan oleh kepala
masyarakat

adat

yang

kewenangannya

meliputi

penyelenggaraan

penggunaan,

peruntukan dan pemeliharaan tanah adat.


2. Segala sesuatu yang berkaitan dengan penguasaan tanah adat baik tanah komunal
maupun tanah individual dilakukan oleh masyarakat adat secara musyawarah dan
mufakat bersama dengan pengetua adat.
3. Hasil musyawarah dan mufakat masyarakat adat bersama pengetua adat dituangkan
dalam keputusan adat yang mempunyai kekuatan hukum mengikat.
4. Pemeliharaan tanah adat bertujuan untuk kelangsungan, kesuburan, serta mencengah
kerusakan tanah dan bersumber daya alam yang terdapat dalam wilayah adatnya.
5. Pelaksanan hak ulayat sepanjang pada kenyataannya masih ada
dilakukan oleh masyarakat hukum adat yang bersangkutan menurut
ketentuan hukum adat stempat.
Pasal 12
1. Penggunaan tanah adat oleh pemerintah baik untuk kepentingan umum maupun oleh
pihak swasta baik badan atau pun perorangan hanya dapat dilakukan jika mendapat
persetujuan terlebih dahulu dari masyarakat adat yang merupakan hasil musyawarah
mufakat masyarakat adat bersama pengetua adat, dengan ketentuan pihak yang
memerlukan tanah harus memperoleh izin dari pemerintah sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang undangan.
2. Masyarakat adat tidak boleh dipindahkan atau direlokasi dari wilayah adat mereka tanpa
adanya persetujuan terlebih dahulu yang dilakukan secara bebas, sadar serta tanpa
paksaan dari masyarakat adat yang bersangkutan.
3. Masyarakat adat yang berdasarkan ketentuan hukum ataupun kepentingan umum harus
dipindahkan atau direlokasi dari tanah wilayah adatnya berhak mendapatkan kompensasi
dan ganti rugi yang layak dan adil atas tanah wilayah dan sumber daya alam yang
dimilikinya secara turun temurun.

BAGIAN VI
11

PENYELESAIAN SENGKETA
Pasal 13
Sengekta tanah adat yang terjadi antara warga suatu komunitas masyarakat adat diselesaikan
secara musyawarah dan mufakat oleh pengetua adat menurut ketentuan hukum adat yang berlaku
yang dituangkan dalam bentuk keputusan perdamaian yang dipimpin oleh pengetua adat.
1. Sengketa tanah adat yang terjadi antara warga dari dua atau lebih wilayah komunitas
masyarakat adat yang berbeda diselesaikan secara musyawarah dan mufakat menurut
hukum adat yang berlakudalam bentuk keputusan perdamaian yang dipimpin oleh
pengetua pengetua adat yang merupakan perwakilan dari masing masing wilayah
komunitas masyarakat adat.
2. menyelesaiakan

sengketa

tanah

yang

terjadi

para

pihak

yang

bersengketa akan bertindak sendiri dan tidak memberikan kuasa


kepada pihak lain untuk mewakilinya sehingga permasalahan tidak
akan melebar karena kepentingan dan permasalah dari para pihak
akan dapat dengan mudah diketahui oleh Kepala Desa/adat dan pihak
lain yang berkepentingan. Selain itu para pihak dapat dengan mudah
menyampaikan apa yang diinginkannya langsung kepada pihak lainnya
dan juga kepada Kepala Desa/adat.
3. Dalam hal ini Kepala adat berperan sebagai:
1. Hakim perdamaian antara masyarakat, dalam hal ini Kepala desa/adat harus sebagai juru
penengah dalam menyelesaikan sengketa tanah ulayat yang terjadi, maka dibutuhkan data
yang dapat memberikan informasi mengenai status tanah maupun asal-usul tanah yang
menjadi sengketa.
2. Tempat bersandarnya anggota masyarakat adat untuk menyelesaikan, melindungi,
menjamin ketentraman. Karena itu setiap ada persengketaan maka Kepala desa/Adat
adalah satu-satunya tempat anggota masyarakat bersandar untuk menyelesaikan
masalahnya.

12

3.

Memutuskan dan menetapkan peraturan hukum adat yang mengikat pihak-pihak yang
bersengketa serta menciptakan kerukunan.

Pasal 14
Bahwa ketentuan hukum tanah tidak boleh bertentangan dengan kepentingan nasional dan
Negara sudalah semestinya. Hukum tanah justru mengabdi pada kepentingan nasional dan
Negara . kepentingan nasional dan Negara harus ditempatkan diatas kepentinagn golongan dan
daerah, apalagi kepentingan perorangan.

BAGIAN VII
LARANGAN
Pasal 15
(1)

Terhadap hak ulayat tidak diperkenankan :


a. Tidak boleh diperjual belikan atau dialihkan kepada pihak lain atau asing kecuali
sebagaimana diatur dalam pasal 9.
b. Anggota masyarakat hukum adat dan masyarakat diluar masyarakat hukum adat tidak
boleh mengusahakan selain tanpa persetujuan dari kepala masyarakat hukum adat.
c. Tidak diperkenankan merusak, menterlantarkan hak ulayat.

(2)

Segala sesuatu perbuatan yang melanggar ketentuan ayat (1) diberikan sanksi sesuai
dengan peraturan yang berlaku.

BAGIAN VIII
KETENTUAN PIDANA
Pasal 16
13

Barang siapa melanggar ketentuan dalam pasal 12 ayat (1) dan pasal 14 dipidana sesuai dengan
peraturan perundang-undangan yang berlaku.

BAGIAN IX
Ketentuan Penutup
Pasal 17
Peraturan ini mulai berlaku sejak tanggal diundangkan.
Agar setiap orang dapat mengetahuinya diundangkan dalam lembaran daerah.

Di tetapkan di Indonesia
Pada tanggal januari 2013
PEMERINTAH DAERAH KABUPATEN TAPANULI UTARA
KETUA KELOMPOK 040

BAB III
PENJELASAN
RANCANGAN
14

PERATURAN DAERAH KABUPATEN TAPANULI UTARA


NOMOR 040 TAHUN 2013
TENTANG
Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
A.

UMUM
a. Negara Republik Indonesia didasarkan sebagai Negara hukum yang berdasarkan
pancasila dan Undang Undang Dasar 1945 bertujuan untuk mewujudkan tata
kehidupan Negara dan bangsa yang sejahtera, aman tentraman dan tertib. Dalam tata
kehidupan yang demikian itu dijamin persamaan kedudukan warga masyarakat
dalam hukum, akan tetapi pelaksanaan berbagai fungsi untuk menjamin kesamaan
kedudukan tersebut dan untuk mewujudkan keseimbangan, keselarasan antara
kepentingan perorangan dengan kepentingan masyarakat atau kepentingan umum.
b. Peraturan pemerintah daerah tapanuli utara ini adalah peraturan perundang
undangan yang dibentuk oleh Dewan Perwakilan Rakyat dengan persetujuan bersama
Presiden. Materi muatan peraturan ini adalah seluruh materi muatan dalam rangka
penyelenggaraan otonomi daerah atas tugas pembantuan, dan menampung kondisi
khusus daerah serta lebih lanjut peraturan perundang undagan yang lebih tinggi.
c. Didaerah tanah masyarakat hukum adat terdapat tanah tanah adat yang
penguasaanya dilakukan masyarakat adat setempat berdasarkan peraturan hukum adat
yang berlaku;
d. Peraturan pemerintah ini dibuat sebagai acuan bagi setiap masyarakat untuk dapat
memperhatikan prosedur dan peraturan pertanahan . keberadaan peraturan ini
diharapkan agar dapat menciptakan suatu ketentraman dan keamanan dilingkungan
masyarakat.

B. Pasal Demi Pasal


Pasal 1
Ayat (1)
15

Cukup jelas
Ayat (2)
Membaharukan agraria dan pengelolaan sumber daya alam.
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya.
Ayat (5)
Mengenai Keanekaragaman Hayati di setiap daerah.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Ayat (7)
Cukup jelas.
Ayat (8)
Cukup jelas.
Ayat (9)
Cukup jelas.
Ayat (10)
Cukup jelas.
Ayat (11)
Cukup jelas.
Ayat (12)
Cukup jelas.
Ayat (13)
Cukup jelas.
16

Ayat (14)
Cukup jelas.
Ayat (15)
Cukup jelas.
Ayat (16)
Cukup jelas.
Ayat (17)
Cukup jelas.
Ayat (18)
Cukup jelas.
Ayat (19)
Cukup jelas.
Pasal 2
Cukup Jelas
Pasal 3
Cukup Jelas
Pasal 4
Cukup Jelas
Pasal 5
Yang dimaksud religius magis dalam masyarakat hukum adat dimana tanah sebagai
warisan leluhur dianggap mengandung berkah bagi masyarakat adat sehingga segala
sesuatu yang bersangkutan paut dengan pemanfaatan tanah dan penggunaanya harus
dilakukan secara hati hati karena ada kekuatan kekuatan gaib.

Pasal 6

17

Yang dimaksud persediaan bagi generasi berikutnya adalah sebagai warisan yang
diberikan kepada anak laki laki berupa tanah ( sawah, ladang, kebun, hutan) dari orang
tuanya.
Warisan dapat diperoleh pada saat orang tua masih hidup, namun baru boleh menguasai
warisan tersebut setelah orang tuanya meninggal.
Pasal 7
Geneoligis yang dimaksud adalah masyarakat adat yang anggota anggotanya merasa
terikat dalam suatu ketertiban berdasarkan kepercayaan bahwa mereka semua berasal dari
satu keturunan yang sama.
Teritorial yang dimaksud adalah masyarakat hukum adat yang para anggotanya merasa
bersatu dan oleh sebab itu merasa bersama sama merupakan kesatuan masyarakat
hukum adat yang bersangkutan, karena ada ikatan antara mereka masing masing
dengan tempat tinggal mereka.

Pasal 8
Ayat (1)
Tanah tanah yang dimiliki oleh masyarakat adat di wilayah administratif yang bersifat
komunal maupun bersifat perseorangan, dapat dibuktikan dari adanya tanah komunal di
sebagian besar suku/marga dan ada tanah tanah pribadi baik yang sudah dikelola
menjadi kebun kebun, maupun tanah tanh pribadi baik yang sudah dikelola menjadi
kebun kebun, maupun tanah tanah pribadi yang belum dikelola.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 9
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
18

pemerintah harus memberikan atau penyerahan atau pelepasan hak masyarakat hukum
adat dilakukan dengan tidak merugikan masyarakat hukum adat
Ayat (3)
Cukup jelas
.pasal 10
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
pasal 11
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Cukup jelas
Ayat (5)
Cukup jelas
Pasal 12
Ayat (1)
Penggunaan tanah adat oleh pemerintah baik untuk kepentingan umum maupun oleh
pihak swasta baik badan atau pun perorangan hanya dapat dilakukan jika mendapat
persetujuan terlebih dahulu dari masyarakat adat yang merupakan hasil musyawarah
mufakat masyarakat adat bersama pengetua adat, dengan ketentuan pihak yang
memerlukan tanah harus memperoleh izin dari pemerintah sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang undangan.
Ayat (2)
19

Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Pasal 13
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Pasal 14
Cukup jelas
Pasal 15
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Pasal 16
Cukup jelas
Pasal 17
Cukup jelas

20

Anda mungkin juga menyukai