Anda di halaman 1dari 15

Laporan Manajemen Kasus

General Anestesi 2
Disusun Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Kepaniteraan Klinik
Bagian Ilmu Anestesi dan Reanimasi
Fakultas Kedokteran Universitas Islam Indonesia
RSUD dr. Soeroto Ngawi

Disusun oleh:
Putri Nurhayati (10711222)
Pembimbing :
dr. Bambang Triyono, Sp.An., Msi.Med
KEPANITERAAN KLINIK
BAGIAN ILMU ANESTESI DAN REANIMASI
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS ISLAM INDONESIA
RSUD DR. SOEROTO NGAWI
2016

Manajemen Kasus General Anestesi


Tonsilektomi
IDENTITAS
Nama Pasien

: Nn. H

Umur

: 17 tahun

Alamat

: Cangakan, Padas

Pekerjaan

: Pelajar

Agama

: Islam

No. RM

: 189581

Tgl Operasi

: 06 Januari 2016

ANAMNESIS
Autoanamnesis dan pengambilan data sekunder dari status pasien pada tanggal
06 Januari 2016.
a. Keluhan Utama
OS dikirim dari dr. Sp. THT dengan diagnosis tonsilitis.
b. Riwayat Penyakit Sekarang
Pada tanggal 05 Januari pasien datang kerumah sakit karena sudah
direncanakan untuk di lakukan tindakan operasi karena keluhan pasien semakin
memberat. Kemudian pasien direncanakan untuk dilakukan operasi Tonsilektomi pada
tanggal 06 Januari 2016.
c. Anamnesis Sistem
- Cerebrospinal

: pusing (-), demam (-), kejang (-)

- Kardiovaskular

: berdebar-debar (-), nyeri dada (-)

- Respirasi

: sesak nafas (-), batuk (-)

- Digesti

: BAK normal

- Integumentum

: gatal-gatal (-), kemerahan di kulit (-)

- Muskuloskeletal : bengkak pada ekstremitas kaki (-)

d. Riwayat Penyakit Dahulu


- Riwayat asma

: (-)

- Riwayat diabetes mellitus

: (-)

- Riwayat hipertensi

: (-)

- Riwayat alergi

: (-)

e. Riwayat Penyakit Keluarga


- Riwayat asma

: (-)

- Riwayat diabetes mellitus

: (-)

- Riwayat hipertensi

: (-)

- Riwayat alergi

: (-)

PEMERIKSAAN FISIK
a. Pemeriksaan Umum
- Keadaan umum

: baik

- Kesadaran

: compos mentis

- Berat badan

: 51 kg

- Tinggi badan

: 159 cm

- IMT

: 27,05 (Overweight)

- Vital sign
TD

: 110/80 mmHg

RR

: 20x/menit

HR

: 78 x/menit

Suhu : 36,3 C

- Kepala

: bentuk kepala normal, mesosefal

- Mata

: konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-)

- Leher

: simetris, massa (-), deviasi trakea (-), nyeri tekan (-)

- Thoraks

: dada simetris kanan dan kiri, retraksi dinding dada (-)

- Abdomen

: perut membuncit (-), striae gravidarum (-)

- Ekstremitas

: edema pada ekstremitas bawah (-), akral teraba hangat

b. Pemeriksaan Lokalis (Regio Mulut)


- Inspeksi

: hiperemis (+), pembesaran tonsil (+) T2/T3

PEMERIKSAAN PENUNJANG
Tidak dilakukan
DIAGNOSIS
Tonsilitis
TERAPI
Terapi non farmakologi

:-

Terapi farmakologi

:-

Terapi pembedahan

: Tonsilektomi

PENATALAKSANAAN ANESTESI
Pasien wanita usia 17 tahun dengan Tonsilitis. ASA 1. BB : 51 kg, TB : 159
cm, TD : 110/80 mmHg, HR : 78x/menit, RR : 20 x/menit.
- Anamnesis
Riwayat asma (-), diabetes mellitus (-), hipertensi (-), alergi obat (-), alergi
makanan (-), gigi palsu (-), gigi goyang (-).
- Konsul ke dokter Spesialis Anestesi jenis anestesi GA (General Anestesi), obat
Recofol 150 mg dan Ecron 4 mg
- Teknik

: semi closed inhalasi dengan ET No. 7.0

- Premedikasi

:-

- Induksi

: Recofol 150 mg

- Pelumpuh Otot

: Ecron 4 mg

- Obat lain

: Asam traneksamat 500 mg

- Maintenance

: O2, Fentanyl, Isoflurane

- Monitoring

: tanda vital selama operasi setiap 5 menit, kedalaman anestesi,

cairan dan perdarahan.


Pasien Nn H, 17 tahun, dengan diagnosis tonsilitis diantar ke ruang operasi untuk
menjalani operasi Tonsilektomi pada tanggal 06 Januari 2016 dengan menggunakan
General Anestesi, ASA 1. Operasi dilaksanakan pukul 10.05 10.45 WIB dan lama
operasi 40 menit. Anestesi yang digunakan adalah Recofol dan Ecron, dengan
maintenance O2, Fentanyl, dan Isoflurane.
Pasien masuk ruang operasi pukul 10.00 WIB. Kemudian dilakukan
pemasangan alat-alat monitoring seperti tensimeter dan pulse oxymetri yang berguna
untuk memantau keadaan pasien selama proses anestesi. Pada pasien ini terpasang IV
line. Keadaan umum pasien sebelum operasi adalah :
- TD

: 112/66 mmHg

- Nadi

: 66 x/menit

- Suhu

: 36 C

- SpO2

: 98 %

- BB

: 51 kg

Langkah awal sebelum dilakukan induksi anestesi, O2 sebanyak 8 lpm selama 2


menit diberikan kepada pasien. Kemudian pukul 10.05 WIB induksi berupa Recofol
150 mg dimasukkan dan disertai dengan muscle relaxant yaitu Ecron 4 mg. Setelah
pemberian induksi anestesi, pastikan pasien sudah tertidur atau belum dengan
melakukan pengecekan refleks bulu mata dan rangsang nyeri. Operasi dimulai setelah
memastikan pasien sudah tertidur pada pukul 10.10 WIB serta dilakukan pemantauan
terhadap keadaan pasien diantaranya tanda-tanda vital, cairan dan perdarahan setiap 5
menit.
Setelah dilakukan pemberian induksi anestesi, oksigen diberikan kepada pasien
dengan menggunakan masker O2 sebanyak 8 lpm dan dibantu dengan bagging selama
2 menit. Selanjutnya dilakukan intubasi dengan Endotracheal Tube No. 7.0 dan
dilakukan pengecekan dengan cara melakukan pemeriksaan auskultasi pada kedua
lapang paru untuk memastikan apakah ET sudah masuk ke dalam trakea dan dalam
posisi yang benar. ET dihubungkan dengan mesin ventilator dan diatur volume tidal
menjadi 600 cc serta ditambahkan dengan gas Isoflurane 1% dan gas N2O. Selain itu
ada beberapa obat-obatan yang diberikan antara lain injeksi Fentanyl, Asam
Traneksamat.

Beberapa menit sebelum operasi selesai pemberian Isoflurane dihentikan dan pasien
diberikan bantuan nafas secara manual sampai pasien dapat bernafas dengan spontan.
Pukul 11.40 operasi selesai dan dilakukan tindakan suction pada orofaring serta
tindakan ekstubasi. Hasil pemantauan tanda-tanda vital seperti tekanan darah dan
frekuensi nadi, cairan masuk serta cairan keluar dilakukan selama proses anestesi
adalah sebagai berikut :

JAM

10.05

10.10

10.15

10.20

10.25

10.30

10.35

10.40

10.45

TD

110/

100/

92/ 58

91/58

120

122

117

119

120

(mmHg)

62

50

/73

/70

/82

/83

/62

HR

65

62

85

78

81

73

58

63

65

(x/menit)
Cairan masuk : RL 500cc

Cairan keluar :
Perdarahan 100 cc

Urine
Selama operasi berlangsung tidak terjadi hipotensi maupun kenaikan tekanan
darah yang berarti :
-

cairan yang masuk selama operasi 500 cc

perdarahan selama operasi 100 cc

operasi berlangsung selama 40 menit

urin output : Perawatan post operasi

post operasi pasien rawat di RR (Recovery Room)

awasi vital sign setiap 15 menit sampai sadar

berikan oksigen masker 6 lpm

pindah ruangan bila Aldrete score 6-8

bila pasien sadar (+), mual/muntah (-), BU (+) coba minum sedikit-sedikit

PEMBAHASAN ANESTESI
Persiapan pra anestesi yang kurang memadai merupakan faktor penyumbang
sebab-sebab terjadinya kecelakaan anetesia. Sebelum dilakukannya tindakan
pembedahan setidaknya harus melakukan kunjungan pasien yang dapat mengurangi
angka kesakitan operasi, mengurangi biaya operasi dan meningkatkan kualitas
pelayanan kesehatan. Persiapan pra bedah meliputi anamnesis, pemeriksaan fisik,
pemeriksaan laboratorium, serta klasifikasi status fisik yang biasa menggunakan
klasifikasi ASA (The American Society of Anaesthesiologists).

Anamnesis meliputi apakah pasien pernah mendapat anestesia sebelumnya


sangat penting untuk mengetahui apakah ada hal-hal yang perlu mendapatkan
perhatian khusus misalnya alergi, riwayat asma, diabetes melitus, hipertensi, mual,
muntah, nyeri otot, gatal-gatal atau sesak nafas pasca bedah, sehingga dapat
menentukan anestesi berikutnya dengan baik. Pemeriksaan fisik meliputi keadaan
gigi, tindakan buka mulut, lidah relatif besar yang akan mempengaruhi untuk tindakan
laringoskopi intubasi. Keadaan status fisik yang diukur dengan menggunakan
klasifikasi ASA sebagai berikut :
- ASA I

: pasien sehat organik, fisiologik, psikiatrik, biokimia

- ASA II

: pasien dengan penyakit sistemik ringan atau sedang

- ASA III

: pasien dengan penyakit sistemik berat, sehingga aktivitas rutin


terbatas

- ASA IV

: pasien dengan penyakit sistemik berat tak dapat melakukan aktivitas


rutin dan penyakitnya merupakan ancaman kehidupannya setiap saat

- ASA V

: pasien sekarat yang diperkirakan dengan atau tanpa pembedahan


hidupnya tidak akan lebih dari 24 jam

- ASA VI

: pasien mati otak yang organ tubuhnya dapat diambil

Pada pembedahan cito atau emergency biasanya dicantumkan huruf E.


Pasien Nn. H, 17 tahun, dengan diagnosis tonsilitis. Dari hasil anamnesis, tidak
didapatkan adanya riwayat alergi obat, asma, diabetes melitus, hipertensi dan tidak
sedang memakai gigi palsu. Sehingga pasien dapat dimasukkan ke dalam klasifikasi
ASA 1, yaitu pasien sehat organik, fisiologik, psikiatrik, biokimia.
Dari hasil pemeriksaan laboratorium semua dalam batas normal. Berdasarkan
hasil konsultasi dengan dokter spesialis anestesi, pada pasien ini akan dilakukan
tindakan anestesi umum (General Anaesthesia) dengan metode semi closed intubation
menggunakan Endotracheal tube No. 7.0. ET digunakan agar dapat mempertahankan
bebasnya

jalan

nafas.

Karena

pembedahan

ini

bersifat

emergency

perlu

dipertimbangkan intake makanan dan cairan pada pasien untuk mencegah terjadinya
regurgitasi lambung saat dilakukan operasi.
Anestesi adalah suatu keadaan dengan tidak adanya rasa nyeri. Anestesi umum
adalah suatu keadaan yang ditandai dengan hilangnya persepsi terhadap semua sensasi
akibat induksi obat. Menurut Kee et al (1996) anestesi seimbang yaitu suatu

kombinasi obat-obatan yang sering dipakai dalam anestesi umum. Anestesi seimbang
terdiri atas :
1. hipnotik diberikan semalam sebelumnya
2. premediaksi, seperti analgesik narkotik atau benzodiazepin (misalnya,
midazolam) dan antikolinergik (contoh, atropin) untuk mengurangi sekresi
diberikan kira-kira 1 jam sebelum pembedahan
3. barbiturat dengan masa kerja singkat, seperti natrium tiopental
(Penthothal)
4. gas inhalan, seperti nitrous oksida dan oksigen
5. pelemas otot jika diperlukan.
Tahapan anestesi dibagi dalam 4 stadium yaitu :
1. Stadium I (stadium induksi atau eksitasi volunter), dimulai dari pemberian
agen anestesi sampai menimbulkan hilangnya kesadaran. Rasa takut dapat
meningkatkan frekuensi nafas dan pulsus, dilatasi pupil, dapat terjadi urinasi
dan defekasi.
2. Stadium II (stadium eksitasi involunter), dimulai dari hilangnya kesadaran
sampai permulaan stadium pembedahan. Pada stadium ini terjadi eksitasi dan
gerakan yang tidak menurut kehendak, pernafasan tidak teratut, inkontinensia
urin, muntah, midriasis, hipertensi, dan takikardi.
3. Stadium III (pembedahan) terbagi menjadi 3 bagian yaitu Plane I yang
ditandai dengan pernafasan yang teratur dan terhentinya anggota gerak. Tipe

pernafasan thoracoabdominal, refleks pedal masih ada, bola mata


bergerakgerak, palpebra, konjuctiva dan kornea terdepresi. Plane II,
ditandaidenganrespirasithoracoabdominaldanbolamataventromedial
semua otot mengalami relaksasi kecuali otot perut. Plane III, ditandai
denganrespirasiregular,abdominal,bolamatakembaliketengahdanotot
perutrelaksasi
4. StadiumIV(paralisismedullaoblongataatauoverdosis),ditandaidengan
paralisisototdada,pulsuscepatdanpupildilatasi.Bolamatamenunjukkan
gambaransepertimataikankarenaterhentinyasekresilakrimal.

Pemberiananestesidimulaidengantahapinduksiyaitumemasukkanobatsehingga
pasientertidur.ObatyangdiberikandalamtahapiniadalahRecofol150mg.Propofol
adalah modulator selektif dari reseptor gamma amino butiric acid (GABAA) dan tidak
terlihat memodulasi saluran ion ligand lainnya pada konsentrasi yang relevan secara
klinis. Propofol memberikan efek sedatif hipnotik melalui interaksi reseptor GABA A.
GABA adalah neurotransmiter penghambat utama dalam susunan saraf pusat. Ketika
reseptor GABAA diaktifkan, maka konduksi klorida transmembran akan meningkat,
mengakibatkan hiperpolarisasi membran sel postsinap dan hambatan fungsional dari
neuron postsinap. Interaksi propofol dengan komponen spesifik reseptor GABA A
terlihat mampu meningkatkan laju disosiasi dari penghambat neurotransmiter, dan
juga mampu meningkatkan lama waktu dari pembukaan klorida yang diaktifkan oleh
GABA dengan menghasilkan hiperpolarisasi dari membran sel.
Dosis induksi dari propofol pada orang yang sehat adalah 1.5 hingga 2.5 mg/kgBB IV,
dengan kadar darah 2-6 g/ml yang menghasilkan ketidaksadaran tergantung pada
pengobatan dan pada usia pasien. Onset hipnosis propofol sangat cepat (one armbrain circulation) dengan durasi hipnosis 5-10 menit. Seperti halnya dengan
barbiturat, anak membutuhkan dosis induksi dari propofol yang lebih tinggi per
kilogram badan, kemungkinan berhubungan dengan volume distribusi sentral lebih
besar dan juga angka bersihan yang tinggi. Pasien lansia membutuhkan dosis induksi
yang rendah (25% hingga 50% terjadi penurunan) akibat penurunan volume distribusi
sentral dan juga penurunan laju bersihan. Pasien sadar biasanya

terjadi pada

konsentrasi propofol plasma 1,0 hingga 1,5 g/ml. Jikaberatbadanpasien51 kg


makadosispropofolyangdiperlukanpasiensebanyak76,5127,5mg.
Relaksasi otot lurik dapat dicapai dengan mendalamkan anestesi umum
inhalasi, melakukan blokade saraf regional dan memberikan pelumpuh otot.
Pendalamananestesiaberisikodepresinafasdandepresijantung.Anestesitidakperlu
dalam,hanyasekedarsupayatidaksadar,analgesidapatdiberikanopioiddosistinggi
danototlurikdapatrelaksasiakibatpemberianpelumpuhotot.Ketigakombinasiini
dikenaldengantraisanestesia.Menurut mekanisme kerjanya, obat ini dibagi menjadi
2 golongan yaitu obat penghambat secara depolarisasi resisten, misalnya
suksinilkolin, dan obat penghambat kompetitif atau nondepolarisasi, misal kurarin.
Pada pasien digunakan Ecron sebagai obat pelumpuh otot sebanyak 4 mg. Dosis yang

dianjurkan adalah 0,08-0,12 mg/kgBB. Jika berat badan pasien adalah 51 kg maka
dosis Ecron dapat berkisar antara 0,32-6,12 mg.
Oksigen, Fentanyl dan Isoflurane digunakan sebagai maintenance saat anestesi
berlangsung. Fentanyl adalah opioid sintetik yang secara struktur mirip dengan
meperidin. Potensial analgesiknya 75-125 kali lebih besar daripada morfin.
Mempunyai onset dan durasi yang lebih cepat jika dibandingkan dengan morfin hal
ini dikarenakan kelarutan lemak fentanyl yang tinggi. Fentanyl dimetabolisme dengan
cara

metilasi

menjadi

norfentanyl,

hydroksipropionil-fentanyl

dan

hidroksinorpropionil-fentanyl. Diekskresi melalui urin dan dapat dideteksi 72 jam


setelah pemberian iv. Namun <10% tetap tidak termetabolisme dan diekskresikan
melalui urin. Setelah pemberian bolus iv, fentanyl tersebar terutama pada organ yang
kaya vaskularisasi seperti otak, paru-paru dan jantung. Dosis fentanyl 2-20 g/kgBB
seringkali diberikan sebagai adjuvant anestesi inhalasi pada saat operasi.
Induksi dengan isofluran relatif cepat tetapi isofluran dapat mengiritasi jalan
nafas bila digunakan pada awal induksi dengan masker pada konsentrasi tinggi.
Isofluran merupakan halogenasi eter yang pada dosis anestetik atau subanestetik
menurunkan laju metabolism otak terhadap oksigen, tetapi meninggikan aliran darah
otak dan tekanan intrakranial. Peninggian aliran darah otak dan tekanan intrakranial
ini dapat dikurangi dengan teknik anestesi hiperventilasi sehingga isofluran banyak
digunakan untuk bedah otak. Induksi lambat direkomendasikan untuk mengurangi
efek iritatif saluran nafas dan untuk menghindari tahan nafas dan batuk. Dalam
praktek barbiturat aksi pendek biasanya diberikan untuk memfasilitasi proses tersebut.
Pemeliharaan anastesi antara 1-1,5% dengan kombinasi N2O dan O2. Pada pasien ini
diberikan dosis isofluran 1% sehingga sudah sesuai dengan dosis yang dianjurkan.
Asam traneksamat diberikan sebagai profilaksis dan pengobatan perdarahan
yang disebabkan fibrinolisis yang berlebihan dan angiodema hereditas.
Keseimbangan cairan juga dinilai selama proses operasi berlangsung. Cairan
yang masuk dan keluar diperhitungkan dengan mengukur produksi urin dan
perdarahan yang dihasilkan selama proses operasi. Jika untuk mengatasi kondisi
kekurangan volume darah, larutan natrium klorida 0,9% - 1,0% menjadi kehilangan
maka secara terapeutik sebaiknya digunakan larutan ringer laktat, larutan ini
mengandung KCl dan CaCl2 disamping NaCl. Cairan yang masuk dalam tubuh pasien
berupa cairan kristaloid (RL) adalah 500 cc dengan perdarahan 100 cc. Perhitungan

cairan yang diberikan pada kasus ini adalah BB 51 kg, puasa 10 jam, jumlah
perdarahan (JP) 100 cc :
Maintenance (M)

= 2 cc/kgBB/jam

= 2 x 51

= 102 cc

Stress Operasi (SO)

= 6 cc/kgBB/jam

= 6 x 51

= 306 cc

Pengganti puasa (PP)

= M x jam puasa

= 102 x 6

= 612 cc

EBV

= 70 cc/kgBB

= 70 x 51

= 3.570 cc

UBL

= EBV x 20%

= 3.570x 20% = 714 cc

Kebutuhan cairan
M + SO + PP + 3 (JP)

= 102 + 306 + 306 + 300 = 1.014 cc

Berdasarkan perhitungan diatas maka cairan yang masuk dalam tubuh pasien
selama proses operasi berlangsung masih kurang sebanyak 514 cc. Namun
kekurangan cairan tersebut dapat diberikan setelah proses operasi selesai saat pasien
berada di recovery room (RR).
Pasien dengan anestesi umum (general anestesi), dapat dipindahkan ke ruang
recovery dengan ketentuan pasien memiliki Aldrete Score 8.
Modifikasi Aldrete Score
Kesadaran
Sadar penuh

Respirasi

Bangun bila dipanggil

Tidak ada respon


Nafas dalam, bebas, batuk

0
2

Sesak, nafas dangkal atau hambatan

Apnea
Sirkulasi (TD dengan Perbedaan 20%

0
2

preanestesi)

Perbedaan 50%

Aktivitas

Perbedaan > 50%


4 ekstremitas

0
2

2 ekstremitas

Tidak bergerak
SpO2> 92% dalam suhu ruang

0
2

Butuh penambahan O2 untuk SpO2> 90%

SpO2< 92% dengan penambahan O2

Saturasi Oksigen

PEMBAHASAN TONSILEKTOMI

1.Definisi

Tonsilektomi didefinisikan sebagai operasi pengangkatan seluruh tonsil


palatina). Menurut Mosbys Dictionary of Medicine, Nursing and Health Profession
(2006) pula, tonsilektomi adalah eksisi surgikal tonsil palatina untuk mencegah
tonsilitis rekuren.
2. Indikasi
Indikasi tonsilektomi dulu dan sekarang tidak berbeda, namun terdapat
perbedaan prioritas relatif dalam menentukan indikasi tonsilektomi pada saat ini.
Dulu tonsilektomi diindikasikan untuk terapi tonsilitis kronik dan berulang. Saat ini,
indikasi yang lebih utama adalah obstruksi saluran napas dan hipertrofi tonsil.
Menurut American Academy of Otolaryngology Head and Neck Surgery
(AAO-HNS) (1995), indikator klinis untuk prosedur surgikal adalah seperti berikut:

Indikasi Absolut

a. Pembengkakan tonsil yang menyebabkan obstruksi saluran napas, disfagia berat,


gangguan tidur dan komplikasi kardiopulmoner
b. Abses peritonsil yang tidak membaik dengan pengobatan medis dan drainase
c. Tonsilitis yang menimbulkan kejang demam
d. Tonsilitis yang membutuhkan biopsi untuk menentukan patologi anatomi

Indikasi Relatif

a. Terjadi 3 episode atau lebih infeksi tonsil per tahun dengan terapi antibiotik adekuat
b. Halitosis akibat tonsilitis kronik yang tidak membaik dengan pemberian terapi medis
c. Tonsilitis kronik atau berulang pada karier streptokokus yang tidak membaik dengan
pemberian antibiotik -laktamase resisten
d. Hipertrofi tonsil unilateral yang dicurigai merupakan suatu keganasan
Saat mempertimbangkan tonsilektomi untuk pasien dewasa harus dibedakan
apakah mereka mutlak memerlukan operasi tersebut atau hanya sebagai kandidat.
Dugaan keganasan dan obstruksi saluran nafas merupakan indikasi absolut untuk
tonsilektomi. Tetapi hanya sedikit tonsilektomi pada dewasa yang dilakukan atas
indikasi tersebut, kebanyakan karena infeksi kronik.

Obstruksi nasofaringeal dan orofaringeal yang berat sehingga boleh


mengakibatkan terjadinya gangguan apnea ketika tidur merupakan indikasi absolute
untuk surgery. Pada kasus yang ekstrim, obstructive sleep apnea ini boleh
menyebabkan hipoventilasi alveolar, hipertensi pulmonal dan kardiopulmoner.
3. Kontraindikasi
Terdapat beberapa keadaan yang disebutkan sebagai kontraindikasi, namun
bila

sebelumnya

dapat

diatasi,

operasi

dapat

dilaksanakan

dengan

tetap

memperhitungkan imbang manfaat dan risiko. Keadaan tersebut adalah:


1. Gangguan perdarahan
2. Risiko anestesi yang besar atau penyakit berat
3. Anemia
4. Infeksi akut yang berat

4. Komplikasi
Tonsilektomi

merupakan tindakan bedah yang dilakukan dengan anestesi

umum maupun lokal, sehingga komplikasi yang ditimbulkannya merupakan gabungan


komplikasi tindakan bedah dan anestesi. Sekitar 1:15.000 pasien yang menjalani
tonsilektomi meninggal baik akibat perdarahan maupun komplikasi anestesi dalam 57 hari setelah operasi.

KESIMPULAN
Langkah-langkah anestesi dan obat-obatan yang digunakan pada kasus ini sudah
sesuai dengan yang seharusnya.

Anda mungkin juga menyukai