Anda di halaman 1dari 16

LAPORAN MANAJEMEN KASUS

GENERAL ANESTESI PADA TONSILEKTOMI


Diajukan untuk memenuhi syarat dalam mengikuti Program Pendidikan
Klinik Bagian Ilmu Anestesi dan Reanimasi di RSUD Wonogiri

Oleh :
Septiana Dewi Ardiana
1071156
Pembimbing :
dr. Girindro Utomo,
Sp.An
Pendidikan Klinik
Ilmu Kedokteran
Anestesi dan
Reanimasi
FK UII / RSUD dr Soediran Mangun Sumarso
WONOGIRI
2015

BAB I
PENDAHULUAN
Setiap pasien yang akan menjalani tindakan invasif seperti tindakan bedah akan
menjalani prosedur anestesi. Anestesi secara umum merupakan tindakan untuk

menghilangkan rasa sakit ketika melakukan pembedahan dan berbagai prosedur


lainnya yang menimbulkan rasa sakit pada tubuh. Obat anestesi ini juga
menghilangkan kesadaran. Selain itu juga dibutuhkan relaksasi otot yang maksimal
agar operasi dapat berjalan lancar. Anestesi memungkinkan pasien untuk mentolerir
prosedur bedah yang akan menimbulkan sakit yang tidak tertahankan.
Obat untuk menghilangkan rasa nyeri terbagi ke dalam 2 kelompok, yaitu
analgetik dan anestesi. Analgetik merupakan obat pereda rasa nyeri tanpa disertai
hilangnya perasaan secara total, sehingga seseorang yang mengkonsumsi analgeti
tetap akan berada dalam kondisi sadar. Analgetik tidak selalu menghilangkan rasa
nyeri, akan tetapi selalu mengurangi rasa nyeri. Beberapa jenis anestesi menyebabkan
hilangnya kesadaran, sedangkan jenis lainnya ada yang menghilangkan rasa nyeri
pada bagian tubuh tertentu sedangkan penderitanya akan tetap sadar ( Latief, 2009 ).
Beberapa jenis anestesi antara lain : anestesi total, anestesi lokal dan anestesi
regional. Anestesi umum/ total merupakan suatu tindakan untuk menghilangkan nyeri
secara sentral disertai dengan hilangnya kesadaran dan bersifat dapat pulih kembali
atau reversible. Komponen anestesi yang ideal ( trias anestesi ) terdiri dari : hipnotik,
anelgetik dan relaksasi otot. Praktek anestesi umum juga termasuk mengendalikan
pernafasan, pemantauan fungsi - fungsi vital tubuh selama prosedur anestesi. Tahapan
naestesi sendiri mencakup induksi, maintenance dan pemulihan.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Anestesi umum merupakan suatu tindakan untuk menghilangkan nyeri secara
sentral yang disertai dengan hilangnya kesadaran yang dapat pulih kembali.

Anestesi memiliki tujuan sebagai berikut : hipnotik/ sedasi, analgesia dan muscle
relaksan. Anestesi umum (general anestesi) atau bius total disebut juga dengan nama
narkose umum (NU). Anestesi umum adalah meniadakan nyeri secara sentral disertai
hilangnya kesadaran yang bersifat reversibel (Miharja, 2009). Anestesi umum
biasanya dimanfaatkan untuk tindakan operasi besar yang memerlukan ketenangan
pasien dan waktu pengerjaan lebih panjang, misalnya pada kasus bedah jantung,
pengangkatan batu empedu, bedah rekonstruksi tulang, dan lain-lain (Joomla, 2008).
Cara kerja anestesi umum selain menghilangkan rasa nyeri, menghilangkan
kesadaran, dan membuat amnesia, juga merelaksasi seluruh otot. Maka, selama
penggunaan anestesi juga diperlukan alat bantu nafas, selain deteksi jantung untuk
meminimalisasi kegagalan organ vital melakukan fungsinya selama operasi dilakukan
.
Untuk menentukan prognosis ASA (American Society of Anesthesiologists)
membuat klasifikasi berdasarkan status fisik pasien pra anestesi yang membagi pasien
kedalam 5 kelompok atau kategori sebagai berikut:
a. ASA 1, yaitu pasien dalam keadaan sehat yang memerlukan operasi.
b. ASA 2, yaitu pasien dengan kelainan sistemik ringan sampai sedang baik karena
penyakit bedah maupun penyakit lainnya. Contohnya pasien batu ureter dengan
hipertensi sedang terkontrol, atau pasien apendisitis akut dengan lekositosis dan
febris.
c. ASA 3, yaitu pasien dengan gangguan atau penyakit sistemik berat yang
diaktibatkan karena berbagai penyebab. Contohnya pasien apendisitis perforasi
dengan septi semia, atau pasien ileus obstruksi dengan iskemia miokardium.
d. ASA 4, yaitu pasien dengan kelainan sistemik berat yang secara langsung
mengancam kehiduannya.
e. ASA 5, yaitu pasien tidak diharapkan hidup setelah 24 jam walaupun dioperasi atau
tidak. Contohnya pasien tua dengan perdarahan basis krani dan syok hemoragik
karena ruptura hepatik.

f. ASA 6, yaitu matinya batang otak, sedangkan organ tubuh masih dapat
ditranplantasikan
Klasifikasi ASA juga dipakai pada pembedahan darurat dengan mencantumkan tanda
darurat (E = emergency), misalnya ASA 1 E atau III E.
Stadium anestesi dibagi dalam 4 yaitu;
1. Stadium I (stadium induksi atau eksitasi volunter), dimulai dari pemberian agen
anestesi sampai menimbulkan hilangnya kesadaran. Rasa takut dapat meningkatkan
frekuensi nafas dan pulsus, dilatasi pupil, dapat terjadi urinasi dan defekasi. Stadium
II (stadium eksitasi involunter), dimulai dari hilangnya kesadaran sampai permulaan
stadium pembedahan.
2. Stadium II terjadi eksitasi dan gerakan yang tidak menurut kehendak, pernafasan
tidak teratur, inkontinensia urin, muntah, midriasis, hipertensi, dan takikardia.
3. Stadium III (pembedahan/operasi), terbagi dalam 3 bagian yaitu; Plane I yang
ditandai dengan pernafasan yang teratur dan terhentinya anggota gerak. Tipe
pernafasan thoraco-abdominal, refleks pedal masih ada, bola mata bergerak-gerak,
palpebra, konjuctiva dan kornea terdepresi. Plane II, ditandai dengan respirasi
thoraco-abdominal dan bola mata ventro medial semua otot mengalami relaksasi
kecuali otot perut. Plane III, ditandai dengan respirasi regular, abdominal, bola mata
kembali ke tengah dan otot perut relaksasi. Stadium IV (paralisis medulla oblongata
atau overdosis),ditandai dengan paralisisotot dada, pulsus cepat dan pupil dilatasi.
Bola mata menunjukkan gambaran seperti mata ikan karena terhentinya sekresi
lakrimal.
Agar anestesi umum dapat berjalan dengan sebaik mungkin, pertimbangan utamanya
adalah memilih anestetika ideal. Pemilihan ini didasarkan pada beberapa pertimbangan yaitu
keadaan penderita, sifat anestetika, jenis operasi yang dilakukan, dan peralatan serta obat
yang tersedia .
Sifat anestetika yang ideal antara lain mudah didapat, murah, tidak menimbulkan efek
samping terhadap organ vital seperti saluran pernapasan atau jantung, tidak mudah terbakar,
stabil, cepat dieliminasi, menghasilkan relaksasi otot yang cukup baik, kesadaran cepat

kembali, tanpa efek yang tidak diinginkan. Obat anestesi umum yang ideal mempunyai sifatsifat antara lain : pada dosis yang aman mempunyai daya analgesik relaksasi otot yang cukup,
cara pemberian mudah, mula kerja obat yang cepat dan tidak mempunyai efek samping yang
merugikan. Selain itu obat tersebut harus tidak toksik, mudah dinetralkan, mempunyai batas
keamanan yang luas, tidak dipengaruhi oleh variasi umur dan kondisi pasien.
Obat-obatan anestesi yang umum dipakai pada pembiusan total adalah N2O, halotan,
enfluran, isofluran, sevofluran, dan desfluran. Obat anestesi umum yang ideal haruslah tidak
mudah terbakar, tidak meledak, larut dalam lemak, larut dalam darah, tidak meracuni endorgan (jantung, hati, ginjal), efek samping minimal, tidak dimetabolisasi oleh tubuh, dan
tidak mengiritasi pasien ( Kumala, 2008 ).

Metode pemberian anestesi umum dapat dilihat dari cara pemberian obat,
terdapat 3 cara pemberian obat pada anestesi umum :
a. Parenteral
Anestesi umum yang diberikan secara parenteral, baik secara intravena
maupun intramuskuler biasanya digunakan untuk tindakan operasi yang singkat
atau untuk induksi anestesi. Obat anestesi yang sering digunakan yaitu :
- Pentothal
Dipergunakan dalam larutan 2,5 % atau 5 % dengan dosis permulaan 4 - 6
mg/ kgBB dan selanjutnya ditambah sampai 1 gram.
- Ketalar / ketamine
Diberikan IV atau IM berbentuk larutan 10 mg/cc. Dosis IV 1 - 3 mg/
kgBB, IM 8 - 13 mg/ kgBB dan 1 - 3 menit setelah penyuntikan operasi
dapat dimulai
b. Perektal
Obat anestesi diserap lewat mukosa rektum ke dalam darah dan selanjutnya
sampai ke otak. Dipergunakan untuk tindakan diagnostik terutama pada bayi dan
anak kecil. Juga dapat dipakai seabagai induksi narkose dengan inhalasi pada
bayi dan anak - anak.
c. Perinhalasi

Obat anestesi dihirup bersama udara pernafasan ke dalam paru - paru masuk
ke dalam darah dan sampai di jaringan otak menyebabkan narkose. Obat yang
dipakai :
1. Induksi halotan
Induksi halotan memerlukan gas pendorong O2 atau campuran NO2 dan
O2. Induksi dimulai dengan aliran O2 > 4 L/ menit atau campuran N2O : O2
= 3 : 1.
2. Induksi sevofluran
Induksi dengan isofluran lebih disenangi karena pasien jarang batuk
walaupun diberikan dengan konsentrasi tinggi sampai 8 vol %, dimana
konsentrasi ini dipertahankan sesuai kebutuhan.
3. Induksi dengan enfluran ( ethran ), isofluran atau desfluran jarang dilakukan
pasien sering batuk dan waktu induksi menjadi lebih lama ( Latief, 2011 ).
Pemilihan teknik anestesi adalah suatu hal yang kompleks, memerlukan kesepakatan dan
pengetahuan yang dalam baik antara pasien dan faktorfaktor pembedahan. Dalam beberapa
kelompok populasi pasien, pembiusan regional ternyata lebih baik daripada pembiusan total.
Blokade neuraksial bisa mengurangi resiko trombosis vena, emboli paru, transfusi,
pneumonia, tekanan pernapasan, infark miokardial, dan gagal ginjal .
Beberapa faktor yang mempengaruhi pemilihan anestesi antara lain: keterampilan dan
pengalaman ahli anestesi dan ahli bedah, tersedianya obat dan peralatan, kondisi klinis
pasien, waktu yang tersedia, tindakan gawat darurat atau efektif, keadaan lambung, dan
pilihan pasien. Untuk operasi kecil ( misalnya menjahit luka atau manipulasi fraktur lengan),
jika lambung penuh, maka pilihan yang terbaik adalah anestesi regional. Untuk operasi besar
gawat darurat, anestesi regional atau umum sangat kecil perbedaannya dalam hal
keamanannya.

BAB III
LAPORAN KASUS

DEPARTEMEN ILMU ANESTESI DAN


REANIMASI
UNIVERSITAS ISLAM

INDONESIA
FAKULTAS KEDOKTERAN
STATUS UJIAN

Nama Dokter Muda

S. Dewi Ardiana

Tanda Tangan

10711156

NIM
Tanggal Ujian
Rumah sakit

RSUD dr. Soediran MS.

Gelombang Periode

1. Identitas Pasien
Nama

: An. Y

Usia

: 9 tahun

Jenis Kelamin

: Laki - laki

Berat badan

: 19 kg

Register

: 503220

Jenis Pembedahan

: Tonsilektomi

Rencana anestesi

: General anestesi

2. Persiapan Pre Operasi


A. Anamnesis
Keluhan Utama

: sering tidur ngorok

Riwayat Penyakit Sekarang


Seorang ibu mengantarkan anaknya datang ke Poli THT dengan keluhan
anaknya sering ngorok saat tidur. Setiap kali tidur pasien selalu mengorok,

sehingga pasien sering tidak pulas tidur. Anak juga kadang terbangun saat
malam hari. Anak juga sering mengalami demam dan batuk, dalam setahun
pasien bisa mengalami demam dan batuk lebih dari 5 kali. Riwayat sakit gigi
dan gigi berlubang disangkal oleh pasien. Pasien juga mengeluhkan
amandelnya kadang membesar dan terasa sakit untuk menelan, sehingga nafsu
makan pasien menurun. Karena sakitnya ini pasien sering tidak masuk sekolah
karena sakit.
Riwayat Penyakit Dahulu
- Pasien sering mengalami keluhan ini berulang dala setahun
- Tidak ada riwayat alergi/ asthma/ sakit gigi
- Pasien belum pernah menjalani operasi sebelumnya
Riwayat Penyakit Keluarga
- Tidak ada anggota keluarga yang menderita keluhan serupa
A ( Alergi )

: Tidak ada alergi obat - obatan / makanan

M ( Medikasi )

: Belum menjalani pengobatan

P ( Past illness )

: Riwayat asthma ( - )

L ( Last meal )

: Puasa 6 jam pre operasi

E ( Enviroment )

:-

Pemeriksaan Fisik Pre-operasi


GCS

: E4V5M6 = 15

Vital Sign

Tekanan darah

: 90 / 65 mmHg

Nadi

: 100x/menit

Suhu

: 36,8

Pernafasan

: 18 x/menit

Status Generalis
a. Kulit
Warna kulit sawo matang, tidak ikterik, tidak sianosis, turgorkulit cukup, capilary
refill kurang dari 2 detik dan terabahangat.
b. Kepala
Tampak tidak ada jejas, tidak ada bekas trauma
c. Mata
Tidak terdapat konjungtiva anemis dan sklera ikterik
d. Pemeriksaan Leher
Inspeksi

: Tidak terdapat jejas

Palpasi

: Trakea teraba di tengah, tidak terdapat pembesaran kelenjart iroid.

e. Pemeriksaan Thorax
Jantung
Inspeksi

: Tampak ictus cordis 2cm dibawah papila mamae sinistra

Palpasi

: Ictus cordis teraba kuatc)

Perkusi

Batas atas kiri : ICS II garis parasternal sinsitraii.


Batas atas kanan : ICS II garis parasternal dextraiii.
Batas bawah kiri : ICS V garis midclavikula sinistraiv.
Batas bawah kanan : ICS IV garis parasterna dextra
Auskultasi

: S1 > S2 reguler, tidak ditemukan gallop dan murmur

Paru
Inspeksi : Dinding dada simetris pada saat statis dan dinamis serta tidak
ditemukan retraksi dan ketertinggalan gerak.
Palpasi

: Simetris, vokal fremitus kanan sama dengan kiri dan tidak terdapat
ketertinggalan gerak.

Perkusi

: Sonor kedua lapang paru

Auskultasi

: Tidak terdengar suara ronkhi pada kedua pulmo. Tidak terdengar suara

wheezing

10

f. Pemeriksaan Abdomen
Inspeksi : Perut datar, simetris, tidak terdapat jejas dan massa
Auskultasi

: Terdengar suara bising usus

Perkusi

: Timpani

Palpasi

: Supel, tidak terdapat nyeri tekan. Hepar dan lien tidak teraba

k. Pemeriksaan Ekstremitas :
Tidak terdapat jejas, bekas trauma, massa, dan sianosis
Turgor kulit cukup, akral hangat
D. PEMERIKSAAN PENUNJANG
a. Darah rutin
AL : 9,1
Hb : 13,9
AT : 384
E. KESAN ANESTESI
Laki - laki 9 tahun menderita tonsilitis kronik dengan ASA 1
F. PENATALAKSANAAN
Penatalaksanaan yaitu :
a.Intravena fluid drip (IVFD) RL 20 tpm
b. Pro Tonsilectomi
c. Informed Consent Operasi
d. Konsul ke Bagian Anestesi
e. Informed Consent Pembiusan
Dilakukan operasi dengan general anestesi dengan status ASA I
G. KESIMPULAN
Berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik, maka
Diagnosis pre operatif : Tonsilitis Kronis
Status Operatif
Jenis Operasi

: ASA 1
: Tonsilektomi

Jenis Anastesi

: General Anastesi

H. LAPORAN ANESTESI
1. Diagnosis Pra BedahTonsilitis Kronik

11

2. Diagnosis Pasca BedahTonsilitis Kronik


3. Penatalaksanaan Preoperasia : Infus RL 500 cc
4. Penatalaksanaan Anestesia.
a. Jenis Pembedahan

: Tonsilectomy

b. Jenis Anestesi

: General Anestesic.

c.Teknik Anestesi : General Anastesi dengan tekhnik semi closed circuits


system
d. Mulai Anestesi : pukul 09.20 WIB
e. Mulai Operasi

: pukul 09. 25 WIB

f. Premedikasi

: Sulfa Atropin 0, 38 mg, Midazolam 3,8 mg dan Fentanyl

18 mcg diberikan secara intravena


g. Induksi

: Propofol 38 mg secara intravena

h. Medikasi tambahan : Ketorolac 30 mg


i. Maintanance

: O2 3 lt, N2O 3 lt ,isoflurane 1.5 lt

j. Relaksasi

: Tracrium 25 mg intravenous dan diberi bantuan nafas

dengan ventilasi mekanik dengan metode face mask


selama 3 - 5 menit.
: Laringoskop Nasal Endotracheal Tube ( ET nasotracheal )

Intubasi
k. Respirasi

: pernapasan spontanl.

l. Posisi

: Supine

m. Cairan Durante Operasi : RL 500 ml.


n. Pemantauan Tekanan Darah dan HR
o.Selesai operasi

: 09.45 WIB

3. Tindakan Anestesi Umum dengan Intubasi

Pasien diposisikan pada posisi supine.

Memastikan kondisi pasien stabil dengan vital sign dalam batas normal.

Obat premedikasi seperti Sulfa Atropin 0, 38 mg, Midazolam 3,8 mg dan


Fentanyl 18 mcg diberikan secara intravena.

12

Kemudian diberikan Propofol 38 mg secara intravena sebagai obat


induksi anestesi .

Memastikan apakah airway pasien paten.

Pemberian

muscle relaxant Tracrium 25 mg intravenous dan diberi

bantuan nafas dengan ventilasi mekanik dengan metode face mask selama
3 - 5 menit.

Dipastikan pasien sudah berada dalam kondisi tidak sadar dan stabil
untuk dilakukan intubasi ET nasotracheal.

Dilakukan intubasi ET nasotracheal

Dilakukan ventilasi dengan oksigenasi

Cuff dikembangkan, lalu cek suara nafas pada semua lapang paru dan
lambung dengan menggunakan stetoskop dan dipastikan suara nafas dan
dada mengembang secara simetris.

ET difiksasi agar tidak lepas dan disambungkan dengan ventilator.

Maintenance dengan inhalasi oksigen 2 lpm, N2O 3 lpm, isofluran MAC


1% dan ventilasi manual dengan frekuensi 12x/menit.

Monitor tanda-tanda vital pasien, produksi urin, saturasi oksigen, tandatanda komplikasi (pendarahan, alergi obat, obstruksi jalan nafas).

Setelah tindakan bedah selesai, masuk pada tahap pengakhiran yaitu


dilakukan pemberian ketorolac 30 mg secara intravena

Dilakukan ekstubasi apabila pasien mulai sadar, nafas spontan dan ada
reflek-reflek jalan napas atas, serta dapat menuruti perintah sederhana.

4. Pasca Bedah di Ruang Recovry (RR)


Keluhan pasien: Mual (-), muntah (-), pusing (-), nyeri (-)
Pemeriksaan fisik
B1

: Airway Paten, nafas spontan, RR 28 x/menit

B2

: Akral hangat, kering, nadi 98 x /menit, TD 90/ 70 mmHg

13

B3

: sadar penuh, GCS E4V5M6, reflek cahaya +/+

B4

: urin warna kuning (+)

B5

: mobilitas (+), edema (-)

Terapi Pasca Bedah


Infus : RL 20 tpm
Inj. Amoxicillin 3 1/ 2 gr
Inj. Ketorolac 3 1/ 2 amp
Bila muntah, kepala dimiringkan, head down dan suction aktif. Makan atau
minum diperbolehkan setelah 4-6 jam pasca oprasi apabila bising usus (+), pasien
sadar penuh, mual (-), muntah (-), awasi perdarahan, awasi vital sign.

PEMBAHASAN
Pasien, An. Y, 9 tahun datang ke ruang operasi untuk menjalani operasi tonsilektomi
dengan diagnosis pre operatif tonsilitis kronis. Persiapan operasi juga dilakukan. Dari
anamnesis terdapat keluhan tidur sering mengorok yang kambuh - kambuhan dirasakan sejak
3 bulan terakhir. Karena sering kambuh, dokter menganjurkan untuk dilakukan operasi
tonsilektomi. Pemeriksaan fisik dari tanda vital didapatkan tekanan darah 90/ 65 mmHg; nadi
100x/menit; respirasi 18x/menit; suhu 36,8 Dari pemeriksaan laboratorium hematologi yang
telah dilakukan dengan hasil: AL: 9,1 ; Hb: 13,9 ; AT

: 384.

Dari hasil anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang disimpulkan bahwa
pasien masuk dalam ASA I.
Pemberian

maintenance

cairan

sesuai

dengan

berat

badan

pasien

yaitu

2cc/kgBB/jam,sehingga kebutuhan per jam dari penderita adalah 38 cc/jam. Sebelum


dilakukan operasi pasien dipuasakan selama 6 jam. Tujuan puasa untuk mencegah terjadinya
aspirasi isi lambung karena regurgitasi atau muntah pada saat dilakukannya tindakan anestesi
akibat efek samping dari obat- obat anastesi yang diberikan sehingga refleks laring
mengalami penurunan selama anestesia.

14

Operasi Tonsilektomi dilakukan pada tanggal 9 Juli 2015. Pasien dikirim dari bangsal
Cempaka. Pasien masuk keruang OK pada pukul 09.15 dilakukan pemasangan NIBP dan O2
dengan hasil TD 130/80 mmHg. Dilakukan injeksi Sulfa atropin, midazolam dan fentanyl.
Pemberian fentanyl yang merupakan obat opioid yang bersifat analgesik dan bisa bersifat
induksi. Penggunaan premedikasi pada pasien ini betujuan untuk menimbulkan rasa nyaman
pada pasien dengan pemberian analgesia dan mempermudah induksi dengan menghilangkan
rasa khawatir. Karena dilakukan operasi tonsilektomi, maka dokter anestesi memilih untuk
dilakukan intubasi nasal agar tidak mengganggu operator sepanjang operasi dilakukan dan
supaya pasien tetap dianestesi dan dapat bernafas dengan adekuat. Pasien disungkupkan
dengan sungkup muka yang telah terpasang pada mesin anestesi yang menghantarkan gas
(isoflurane) dengan ukuran 2 vol% dengan oksigen dari mesin ke jalan napas pasien sambil
melakukan bagging selama kurang lebih 3 - 5 menit untuk menekan pengembangan paru dan
juga menunggu kerja dari pelemas otot sehingga mempermudah dilakukannya pemasangan
endotrakheal tube. Penggunaan isofluran disini dipilih karenaisofluran mempunyai efek
induksi dan pulih dari anestesi lebih cepat dibanding dengan gas lain, dan baunya pun lebih
harum dan tidak merangsang jalan napas sehingga digemari untuk induksi anestesi dibanding
gas lain (halotan). Efek terhadap kardiovaskular pun relatif stabil dan jarang menyebabkan
aritmia.Setelah pasien di intubasi dengan mengunakan endotrakheal tube, maka
dialirkanisofluran 2 vol%, oksigen sekitar 50 ml/menit sebagai anestesi rumatan. Ventilasi
dilakukan dengan bagging dengan laju napas 20 x/ menit. Sesaat setelah operasi selesai gas
anestesi diturunkan untuk menghilangkan efek anestesi perlahan-lahan dan untuk
membangunkan pasien. Juga diharapkan agar pasien dapat melakukan nafas spontan
menjelang operasi hampir selesai.Operasi selesai tepat jam 09.45 WIB. Lalu mesin anestesi
diubah ke manual supaya pasien dapat melakukan nafas spontan. Gas iso dihentikan karena
pasien sudah nafas spontan dan adekuat. Kemudian dilakukan ekstubasi endotracheal secara
cepat untuk menghindari penurunan saturasi lebih lanjut. Pada pukul 09.40 WIB, sebelum
selesai pembedahan dilakukan pemberian analgetik., injeksi ketorolac 30 mg diindikasikan
untuk penatalaksanaan jangka pendek terhadap nyeri akut sedang sampai berat setelah
prosedur pembedahan. Pada pukul 09.45 WIB, pembedahan selesai dilakukan, dengan
pemantauan akhir TD 130/ 90 mmHg. Pembedahan dilakukan selama 25 menit. Selama di

15

ruang pemulihan, jalan nafas dalam keadaan baik, pernafasan spontan dan adekuat serta
kesadaran compos mentis.

Daftar Pustaka
Latief, SA., Suryadi KA., Dachlan MR, Petunjuk Praktis Anestesiologi : Edisi kedua.
2011. Jakarta : Bagian Anestesiologi dan Terapi Intensif FKUII
Kumala. (2008). Bius total: Adakah efek sampingnya. Dibuka pada tanggal 13 Juli
2015, dari http://www.tanyadokteranda.com

16

Anda mungkin juga menyukai