DAFTAR ISI
Kata Pengantar...........................................................................................................
Daftar Isi.....................................................................................................................
BAB I
Pendahuluan...............................................................................................
BAB II
Tinjauan Pustaka........................................................................................
II.1 Definisi......................................................................................................
II.2 Etiologi......................................................................................................
II.3 Patofisiologi...............................................................................................
11
II.5 Diagnosis...................................................................................................
15
16
II.7 Penatalaksanaan.........................................................................................
18
II.8 Komplikasi.................................................................................................
26
II.9 Pencegahan................................................................................................
26
27
Daftar Pustaka............................................................................................................
28
BAB I
Pendahuluan
I.1 Latar Belakang
Infeksi virus dengue merupakan salah satu penyakit dengan vektor nyamuk (mosquito borne
disease) yang paling penting di seluruh dunia terutama di daerah tropis dan subtropis. Penyakit
ini mempunyai spektrum klinis dari asimptomatis, undifferentiated febrile illness, demam
dengue (DD) dan demam berdarah dengue (DBD), mencakup manifestasi paling berat yaitu
sindrom syok dengue (dengue shock syndrome/DSS). 1
Pada tahun 1950an, hanya sembilan negara yang dilaporkan merupakan endemi infeksi dengue,
saat ini endemi dengue dilaporkan terjadi di 112 negara di seluruh dunia. World Health
Organization (WHO) memperkirakan lebih dari 2,5 milyar penduduk berisiko menderita infeksi
dengue. Setiap tahunnya dilaporkan terjadi 100 juta kasus demam dengue dan setengah juta
kasus demam berdarah dengue terjadi di seluruh dunia dan 90% penderita demam berdarah
dengue ini adalah anak-anak dibawah usia 15 tahun. 1 Walaupun demikian tidaklah benar jika
dikatakan DD/DBD adalah penyakit pada anak, pada saat kejadian luar biasa (KLB) tahun 2004
di enam rumah sakit di DKI Jakarta tercatat lebih dari 75% kasus DD/DBD adalah dewasa.
Tingkat mortalitas di sebagian besar negara di Asia Tenggara mengalami penurunan dan saat ini
berada dibawah 1%, walaupun di beberapa negara masih diatas 4% akibat penanganan yang
terlambat.1
Gambar 1. Insiden rata-rata setiap propinsi saat terjadi KLB Dengue tahun 2004
Infeksi dengue dapat disebabkan oleh salah satu dari keempat serotipe virus yang dikenal
(DEN-1,DEN-2,DEN-3 dan DEN-4). Infeksi salah satu serotipe akan memicu imunitas protektif
terhadap serotipe tersebut tetapi tidak terhadap serotipe yang lain, sehingga infeksi kedua akan
memberikan dampak yang lebih buruk. Hal ini dikenal sebagai fenomena yang disebut antibody
dependent enhancement (ADE), dimana antibodi akibat serotipe pertama memperberat infeksi
serotipe kedua. 1
Mengingat infeksi dengue termasuk dalam 10 jenis penyakit infeksi akut endemis di Indonesia
maka seharusnya tidak boleh lagi dijumpai misdiagnosis atau kegagalan pengobatan.
Menegakkan diagnosis DBD pada stadium dini sangatlah sulit karena tidak adanya satupun
pemeriksaan diagnostik yang dapat memastikan diagnosis DBD dengan sekali periksa, oleh
sebab itu perlu dilakukan pengawasan berkala baik klinis maupun laboratoris. 2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
II.1 Definisi
Demam dengue (DD) merupakan sindrom benigna yang disebabkan oleh
arthropod borne viruses dengan ciri demam bifasik, mialgia atau atralgia, rash,
leukopeni dan limfadenopati. Demam berdarah dengue (DBD) merupakan penyakit
demam akibat virus dengue yang berat dan sering kali fatal. 3
DBD dibedakan dari DD berdasarkan adanya peningkatan permeabilitas vaskuler dan
bukan dari adanya perdarahan. Pasien dengan demam dengue (DD) dapat mengalami
perdarahan berat walaupun tidak memenuhi kriteria WHO untuk DBD. 1
Sejarah Infeksi Dengue dan Virus Dengue
DD klinis dilaporkan pertama kali oleh Banyamin Reesh pada bulan Agustus -Oktober
1780 (break bone fever) di Philadelphia.4,6 Pada tahun 1954, DBD pertama kali
dilaporkan di Filipina yang kemudian menyebar ke negara-negara kawasan Asia
Tenggara. Pada tahun 1980 an penyakit ini merambah negara-negara di Benua Amerika
yang beriklim tropis dan subtropis.6
Di Indonesia, pertama kali dilaporkan kasus DD oleh Bylon di Batavia
tahun1779.4 Kasus DBD pertama kali terdiagnosis di Surabaya pada tahun 1968.
Penyakit ini terutama menyerang anak usia dibawah 15 tahun. Dalam kurun waktu 40
tahun, penyakit ini telah menyebar ke seluruh propinsi di Indonesia. 6 Istilah
haemorrhagic fever di Asia Tenggara pertama kali digunakan di Filipina tahun 1953 ,
kasusnya dilaporkan oleh Quintos dkk pada tahun 1954.4,7
Hingga tahun 1956 baru dikenal virus dengue tipe 1 dan 2. 4 Virus DEN-1 pertama kali
diisolasi Sabin dan Schlesinger di Honolulu tahun 1943. Pada tahun yang sama,
Kimura dan Hotta berhasil mengisolasi dan mempublikasikan virus DEN-1 selama
terjadi epidemi di Nagasaki.5 Virus DEN-2 berhasil diisolasi oleh sejumlah ahli di New
Guinea pada tahun 1944. Virus DEN-3 dan 4 diidentifikasi oleh Hammon dkk tahun
1960 4 dan dua tahun kemudian berhasil mengidentifikasi virus DEN- 5 dan 6.5
II.2 Etiologi
Virus dengue termasuk genus Flavivirus dari keluarga flaviviridae dengan ukuran 50 nm
dan mengandung RNA rantai tunggal.
II.3 Patofisiologi
Patofisiologi yang terpenting dan menentukan derajat penyakit ialah adanya perembesan
plasma dan kelainan hemostasis yang akan bermanifestasi sebagai peningkatan
hematokrit dan trombositopenia. Adanya perembesan plasma ini membedakan demam
dengue dan demam berdarah dengue. 9,10
Hingga saat ini patofisiologi DD/DBD masih belum jelas. 3 Beberapa teori dan hipotesis
yang dikenal untuk mempelajari patofisiologi infeksi dengue ialah :
1.
6.
Teori endotoksin
2.
Teori imunopatologi
7.
Teori limfosit
3.
8.
4.
9.
Teori apoptosis. 9
5.
Teori mediator
Sejak tahun 1950an, dari pengamatan epidemiologis, klinis dan laboratoris muncul teori
infeksi sekunder oleh virus lain berturutan, teori antigen antibodi dan aktivasi
komplemen, dari sini berkembang menjadi teori infection enhancing antibody kemudian
muncul peran endotoksemia dan limfosit T. 9
adanya Ig G anti dengue dari ibu. Dari observasi ini, diduga kuat adanya antibodi virus
dengue dan sel T memori berperan penting dalam patofisiologi DBD. 10
Teori Enhancing Antibody/ The Immune Enhancement Theory
Teori ini dikembangkan Halstead tahun 1970an. Belaiau mengajukan dasar
imunopatologi DBD/DSS akibat adanya antibodi non-neutralisasi heterotrpik selama
perjalanan infeksi sekunder yang menyebabkan peningkatan jumlah sel mononuklear
yang terinfeksi virus dengue. Berdasarkan data epuidemiologi dan studi in vitro, teorui
ini saat ini dikenal sebagai antibody dependent enhancement (ADE) yang dianut
untuk menjelaskan patogenesis DBD/DSS. Hipotesisi ini juga mendukung bahwa pasien
yang menderita infeksi sekunder dengan serotipe virus dengue heteroolog memiliki
risiko lebih tinggi mengalami DBD dan DSS. 1
Menurut teori ADE ini, saat pertama digigit nyamuk Aedes aegypty, virus DEN
akan masuk dalam sirkulasi dan terjadi 3 mekanisme yaitu :
1. Mekanisme aferen dimana virus DEN melekat pada monosit melalui reseptor Fc
dan masuk dalam monosit
2. Mekanisme eferen dimana monosit terinfeksi menyebar ke hati, limpa dan
sumsum tulang (terjadi viremia).
3. Mekanisme efektor dimana monosit terinfeksi ini berinteraksi dengan berbagai
sistem
humoral
dan
memicu
pengeluaran
subtansi
inflamasi
(sistem
sel terinfeksi sedangkan virus tetap hidup dan berkembang. Artinya antibodi non
netralisasi mempermudah monosit terinfeksi sehingga penyakit cenderung lebih berat.10
Gambar 4. Respon imun pad ainfeksi virus dengue terhadap pencegahan infeksid an
patogenesis DBD/DSS
(dikutip dari kepustakaan no. 10 )
Tabel 1. Peran sitokin dan mediator kimiawi dalam patogenesis DBD
(dikutip dari kepustakaan no. 10 )
2.
3.
4.
11
2.
Ruam kulit : kemerahan atau bercak bercak meraj yang menyebar dapat terlihat
pada wajah, leher dan dada selama separuh pertama periode demam dan
kemungkinan makulopapular maupun menyerupai demam skalartina yang
muncul pada hari ke 3 atau ke 4.
naik pertama kali (hari sakit ke 3-5) dan berlangsung 3-4 hari. 12
3.
Anoreksi dan obstipasi sering dilaporkan. Gejala klinis lainnya meliputi fotofoi,
berkeringat, batuk, epistaksis dan disuria. Kelenjar limfa servikal dilaporkan
membesar pada 67-77% kasus atau dikenal sebagai Castelanis sign yang
patognomonik. Beberapa bentuk perdarahan lain dapat menyertai.4,12
10
Demam tinggi
Hepatomegali
11
Gejala Klinis
Demam Berdarah
++
Nyeri Kepala
Dengue
+
+++
Muntah
++
Mual
++
Nyeri Otot
++
Ruam Kulit
++
Diare
Batuk
Pilek
++
Limfadenopati
Kejang
Kesadaran menurun
++
Obstipasi
++
++++
Petekie
+++
++
Hepatomegali
+++
Nyeri perut
+++
++
Trombositopenia
++++
Syok
+++
12
Gambar 8. Kelainan utama pada DBD, gambaran skematis kebocoran plasma pada
DBD ( Dikutip dari kepustakaan no. 13)
13
II.5 Diagnosis
Kriteria diagnosis WHO hanya berlaku untuk DBD, tidak untuk spektrum infeksi
dengue yang lain. WHO membuat panduan diagnosis DBD karena DBD adalah masalah
kesehatan masyarakat dengan angka kematian yang tinggi. Bila kriteria WHO tidak
terpenuhi maka yang dihadapi memang bukan DBD, mungkin DD atau infeksi virus
lainnya. Kriteria WHO sangat membantu dalam membuat diagnosis pulang (bukan
diagnosis masuk rumah sakit), sehingga catatan medis dapat dibuat lebih tepat.2
Kriteria diagnosis DBD ialah dua atau lebih tanda klinis ditambah tanda laboratoris
yaitu trombositopeni dan hemokonsentrasi (kedua hasil laboratorium tersebut harus ada)
dan dikonfirmasi dengan pemeriksaan serologi.2
Kriteria diagnosis DBD (Case definition) berdasarkan WHO 1997 ialah :
Kriteria klinis :
1. Demam tinggi mendadak tanpa sebab jelas terus menerus selama 2-7 hari
2. Terdapat manifestasi perdarahan termasuk uji tornikuet positif, petekie,
ekimosis, epistaksis, perdarahan gusi, hematemesis dan melena
3. Pembesaran hati
4. Syok ditandai nadi cepat dan lemah serta penurunan tekanan nadi
Kriteria laboratorium :
1. Trombositopenia (100.000/l atau kurang)
2. Hemokonsentrasi dengan peningkatan hematokrit lebih dari 20%. 8
Pembagian derajat DBD menurut WHO 1975 dan 1986 ialah :
-
Derajat III: Kegagalan sirkulasi ditandai oleh denyut nadi yang cepat dan
lemah, tekanan nadi menurun (<20mmHg) atau hipotensi, suhu tubuh rendah, kulit
lembab dan penderita gelisah.
Derajat IV : Syok berat dengan nadi yang tidak teraba dan tekanan darah tidak
dapat diperiksa. 4,7,8,12
14
dalam penatalaksanaan DBD. Pemeriksaan USG dapat pula dipakai sebagai alat
diagnostik bantu untuk meramalkan kemungkinan penyakit yang lebih berat misalnya
dengan melihat penebalan dinding kandung empedu dan penebalan pankreas dimana
tebalnya dinding kedua organ tersebut berbeda bermakna pada DBD I-II dibanding
DBD III-IV. 13
3. Pemeriksaan Serologi.
Ada beberapa uji serologi yang dapat dilakukan yaitu :
-
Uji Netralisasi
Mungkin terbentuk pada kadar yang rendah atau tidak terdeteksi pasca infeksi
primer singkat
Antibodi Ig G :
Sekitar 20-30% pasien dengan infeksi sekunder dengue tidak menghasilkan Ig M anti
dengue pada kadar yang dapat dideteksi hingga hari ke 10 dan harus didiagnosis
peningkatan Ig G anti dengue. 14
II.7 Penatalaksanaan
Pengobatan DBD bersifat suportif simptomatik dengan tujuan memperbaiki sirkulasi
dan mencegah timbulnya renjatan dan timbulnya Koagulasi Intravaskuler Diseminata
(KID).13
17
Analgesik atau sedatif ringan mungkin perlu diberikan pada pasien yang
mengalami nyeri yang parah
Terapi elektrolit dan cairan secara oral dianjurkan untuk pasien yang berkeringat
lebih atau muntah. 8
Pengalaman dirumah sakit mendapatkan sekitar 60% kasus DBD berhasil diatasi hanya
dengan larutan kristaloid, 20% memerlukan cairan koloid dan 15% memerlukan
transfusi darah. Cairan kristaloid yang direkomendasikan WHO untuk resusitasi awal
syok ialah Ringer laktat, Ringer asetat atau NaCL 0,9%. Ringer memiliki kelebihan
karena mengandung natrium dan sebagai base corrector untuk mengatasi hiponatremia
dan asidosis yang selalu dijumpai pada DBD. Untuk DBD stadium IV perlu
ditambahkan base corrector disamping pemberian cairan Ringer akibat adanya asidosis
berat. 2
Saat pasien berada dalam fase demam, pemberian cairan hanyalah untuk rumatan bukan
cairan pengganti karena kebocoran plasma belum terjadi. Jenis dan jumlah cairan harus
disesuaikan. Pada DD tidak diperlukan cairan pengganti karena tidak ada perembesan
plasma.2
Bila pada syok DBD tidak berhasil diatasi selama 30 menit dengan resusitasi kristaloid
maka cairan koloid harus diberikan (ada 3 jenis ;dekstan, gelatin dan hydroxy ethyl
starch)sebanyak 10-30ml/kgBB. Berat molekul cairan koloid lebih besar sehingga dapat
bertahan dalam rongga vaskular lebih lama (3-8 jam) daripada cairan kristaloid dan
memiliki kapasitas mempertahankan tekanan onkotik vaskular lebih baik.2
Tabel 3. Jenis cairan kristaloid untuk resusitasi DBD
Pada syok berat (lebih dari 60 menit) pasca resusitasi kristaloid (20ml/kgBB/30menit)
dan diikuti pemberian cairan koloid tetapi belum ada perbaikan maka diperlukan
pemberian transfusi darah minimal 100 ml dapat segera diberikan. Obat inotropik
diberikan apabila telah dilakukan pemberian cairan yang memadai tetapi syok belum
dapat diatasi.2
Tabel 4. Jenis cairan koloid untuk resusitasi DBD
19
Pemasangan CVP pada DBD tidak dianjurkan karena prosedur CVP bersifat traumatis
untuk anak dengan trombositopenia, gangguan vaskular dan homeostasis sehingga
mudah terjadi perdarahan dan infeksi, disamping prosedur pengerjaannya juga tidak
mudah dan manfaatnya juga tidak banyak.2
Pemberian suspensi trombosit umumnya diperlukan dengan pertimbangan bila terjadi
perdarahan secara klinis dan pada keadaan KID. Bila diperlukan suspensi trombosit
maka pemberiannya diikuti dengan pemberian fresh frozen plasma (FFP) yang masih
mengandung faktor-faktor pembekuan untuk mencegah agregasi trombosit yang lebih
hebat. Bila kadar hemoglobin rendah dapat pula diberikan packed red cell (PRC).2
Setelah fase krisis terlampau, cairan ekstravaskular akan masuk kembali dalam
intravaskular sehingga perlu dihentikan pemberian cairan intravena untuk mencegah
terjadinya oedem paru. Pada fase penyembuhan (setelah hari ketujuh) bila terdapat
penurunan kadar hemoglobin, bukan berarti perdarahan tetapi terjadi hemodilusi
sehingga kadar hemoglobin akan kembali ke awal seperti saat anak masih sehat. Pada
anak yang awalnya menderita anemia akan tampak kadar hemoglobin rendah, hati-hati
tidak perlu diberikan transfusi. 2
20
21
22
23
24
2.
3.
4.
Hematokrit stabil
5.
6.
7.
Tidak dijumpai adanya distress pernafasan (akibat efusi pleura atau asidosis).7
II.8 Komplikasi
1.
Ensefalopati dengue dapat terjadi pada DBD dengan maupun tanpa syok
2.
3.
II.9 Pencegahan
1. Pemberantasan Sarang Nyamuk (PSN)
a. Melakukan metode 3 M (menguras, Menutup dan Menyingkirkan tempat
perindukan nyamuk) minimal 1 x seminggu bagi tiap keluarga
b. 100% tempat penampungan air sukar dikuras diberi abate tiap 3 bulan
c. ABJ (angka bebas jentik) diharapkan mencapai 95%
2. Foging Focus dan Foging Masal
a. Foging fokus dilakukan 2 siklus dengan radius 200 m dengan selang
waktu 1 minggu
b. Foging masal dilakukan 2 siklus diseluruh wilayah suspek KLB dalam
jangka waktu 1 bulan
c. Obat yang dipakai : Malation 96EC atau Fendona 30EC dengan
menggunakan Swing Fog
3. Penyelidikan Epidemiologi
a. Dilakukan petugas puskesmas yang terlatih dalam waktu 3x24 jam
setelah menerima laporan kasus
b. Hasil dicatat sebagai dasar tindak lanjut penanggulangan kasus
4. Penyuluhan perorangan/kelompok untuk meningkatkan kesadaran masyarakat.
5. Kemitraan untuk sosialisasi penanggulangan DBD. 15
25
BAB III
KESIMPULAN
Infeksi virus dengue merupakan salah satu penyakit dengan vektor nyamuk
(mosquito borne disease) yang paling penting di seluruh dunia terutama di daerah
tropis dan subtropis. Penyakit ini mempunyai spektrum klinis dari asimptomatis,
undifferentiated febrile illness, demam dengue (DD) dan demam berdarah dengue
(DBD), mencakup manifestasi paling berat yaitu sindrom syok dengue (dengue shock
syndrome/DSS).
Dalam menegakkan diagnosis dan memberikan pengobatan yang tepat, pemahaman
mengenai perjalanan infeksi virus dengue harus dikuasai dengan baik. Pemantauan
klinis dan laboratoris berkala merupakan kunci tatalaksanan DBD. Akhirnya dalam
menegakkan diagnosis dan memberikan pengobatan pada kasus DBD perlu disesuaikan
dengan kondisi pasien. Penanganan yang cepat tepat dan akurat akan dapat memberikan
prognosis yang lebih baik.
26
BAB IV
DAFTAR PUSTAKA
1. Setiabudi D. Evalution of Clinical Pattern and Pathogenesis of Dengue
Haemorrhagic Fever. Dalam : Garna H, Nataprawira HMD, Alam A, penyunting.
Proceedings Book 13th National Congress of Child Health. KONIKA XIII.
Bandung, July 4-7, 2005. h. 3292. Hadinegoro SRS. Pitfalls & Pearls dalam Diagnosis dan Tata Laksana Demam
Berdarah Dengue. Dalam : Trihono PP, Syarif DR, Amir I, Kurniati N, penyunting.
Current
Management
of
Pediatrics
Problems.
Pendidikan
Kedokteran
Berkelanjutan Ilmu Kesehatan Anak XLVI. Jakarta 5-6 September 2004.h. 633. Halstead SB. Dengue Fever and Dengue Hemorrhagic Fever. Dalam : Behrman RE,
Kliegman RM, Jenson HB, penyunting. Textbook of Pediatrics. Edisi ke-17.
Philadelphia : WB Saunders.2004.h.1092-4
4. Soedarmo SSP. Demam Berdarah (Dengue) Pada Anak. Jakarta : UI Press 1988
5. Halstead CB. Dengue hemorrhagic fever: two infections and antibody dependent
enhancement, a brief history and personal memoir . Rev Cubana Med Trop 2002;
54(3):h.171-79
6. Soewondo ES. Demam Dengue/Demam Berdarah Dengue Pengelolaan pada
Penderita Dewasa. Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan XIII. Surabaya 12-13
September 1998.h.
7. Soegijanto S. Demam Berdarah Dengue : Tinjauan dan Temuan Baru di Era 2003.
Surabaya : Airlangga University Press 2004.h.1-9
8. World Health Organization Regional Office for South East Asia. Prevention and
Control of Dengue and Dengue Haemorrhagic Fever : Comprehensive Guidelines.
New Delhi : WHO.1999
9. Sutaryo. Perkembangan Patogenesis Demam Berdarah Dengue. Dalam :
Hadinegoro SRS, Satari HI, penyunting. Demam Berdarah Dengue: Naskah
Lengkap Pelatihan bagi Dokter Spesialis Anak & Dokter Spesialis Penyakit Dalam
dalam tatalaksana Kasus DBD. Jakarta : Balai Penerbit FKUI.2004.h.32-43
10. Hadinegoro SRS. Imunopatogenesis Demam Berdarah Dengue. Dalam : Akib Aap,
Tumbelaka AR, Matondang CS, penyunting. Naskah Lengkap Pendidikan
27
28