Anda di halaman 1dari 18

BAB I

PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Bahasa adalah fungsi luhur yang paling utama bagi manusia selain fungsi
daya mengingat, persepsi, kognisi dan emosi. Kerusakan atau kelainan di otak
dapat menimbulkan gangguan kemampuan berbahasa yang disebut afasia. Afasia
adalah suatu gangguan berbahasa yang diakibatkan oleh kerusakan otak. Afasia
mencakup gangguan berbahasa secara menyeluruh walaupun biasanya terdapat
gangguan yang lebih menonjol daripada gangguan lainnya.
Di Amerika, afasia banyak dijumpai pada 20% penderita stroke. Namun,
tidak menutup kemungkinan afasia juga dapat terjadi pada mereka yang
mengalami cedera otak, tumor dan terutama pasien neurodegeneratif. Afasia
seringkali masih disalahdiagnosis atau dianggap remeh karena afasia seringkali
hanya merupakan penyakit penyerta dari sebuah penyakit yang lebih nyata.
Padahal, diagnosis afasia merupakan hal yang penting karena membutuhkan terapi
yang khusus.3

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi

Afasia

merupakan

gangguan

berbahasa.

Dalam

hal

ini

pasien

menunjukkan gangguan dalam memproduksi dan / atau memahami bahasa. Defek


dasar pada afasia ialah pada pemrosesan bahasa tingkat integratif yang lebih
tinggi. Gangguan artikulasi dan praksis mungkin ada sebagai gejala yang
menyertai. Afasia adalah gangguan berbahasa akibat gangguan serebrovaskuler
hemisfer dominan, trauma kepala, atau proses penyakit. Terdapat beberapa tipe
afasia, biasanya digolongkan sesuai lokasi lesi. Semua penderita afasia
memperlihatkan keterbatasan dalam pemahaman, membaca, ekspresi verbal, dan
menulis dalam derajat berbeda-beda.
2.2 Etiologi
Afasia biasanya berarti hilangnya kemampuan berbahasa setelah kerusakan otak.
Kata afasia perkembangan (sering disebut sebagai disfasia) digunakan bila anak
mempunyai keterlambatan spesifik dalam memperoleh kemampuan berbahasa. Dalam hal
ini, perkembangan kemampuan berbahasa yang tidak sebanding dengan perkembangan
kognitif umumnya.
Strok, tumor di otak, cedera otak, demensi dan penyakit lainnya dapat
mengakibatkan gangguan berbahasa.

Gambar 1. Area pengaturan bahasa pada otak. Lesi pada area ini
akan menyebabkan afasia

2.3 Patofisiologi
Afasia terjadi akibat kerusakan pada area pengaturan bahasa di otak. Pada
manusia, fungsi pengaturan bahasa mengalami lateralisasi ke hemisfer kiri otak
pada 96-99% orang yang dominan tangan kanan (kinan) dan 60% orang yang
dominan tangan kiri (kidal). Pada pasien yang menderita afasia, sebagian besar
lesi terletak pada hemisfer kiri.
Afasia paling sering muncul akibat stroke, cedera kepala, tumor otak, atau
penyakit degeneratif. Kerusakan ini terletak pada bagian otak yang mengatur
kemampuan berbahasa, yaitu area Broca dan area Wernicke.

Area Broca atau area 44 dan 45 Broadmann, bertanggung jawab atas


pelaksanaan motorik berbicara. Lesi pada area ini akan mengakibatkan kersulitan
dalam artikulasi tetapi penderita bisa memahami bahasa dan tulisan.
Area Wernicke atau area 41 dan 42 Broadmann, merupakan area sensorik
penerima untuk impuls pendengaran. Lesi pada area ini akan mengakibatkan
penurunan hebat kemampuan memahami serta mengerti suatu bahasa.
Secara umum afasia muncul akibat lesi pada kedua area pengaturan bahasa
di atas. Selain itu lesi pada area disekitarnya juga dapat menyebabkan afasia
transkortikal. Afasia juga dapat muncul akibat lesi pada fasikulus arkuatus, yaitu
penghubung antara area Broca dan area Wernicke.
2.4

Manifestasi Klinis
1.Afasia global.
Afasia global ialah bentuk afasia yang paling berat. Koadaan ini ditandai
oleh tidak adanya lagi bahasa spontan atau berkurang sekali dan menjadi beberapa
patah kata yang diucapkan secara stereotip (itu-itu saja, berulang), misalnya :
"iiya, iiya, iiya", atau: "baaah, baaaah, baaaaah" atau: "amaaang, amaaang,
amaaang". Komprehensi menghilang atau sangat terbatas, misalnya hanya
mengenal namanya saja atau satu atau dua patah kata. Repetisi (mengulangi) juga
sama berat gangguannya seperti bicara spontan. Membaca dan menulis juga
terganggu berat.
Afasia global disebabkan oleh lesi luas yang merusak sebagian besar atau
semua daerah bahasa. Penyebab lesi yang paling sering ialah oklusi arteri karotis
interna atau arteri serebri media pada pangkalnya. Kemungkinan
buruk.

Afasia

global

hampir

selalu

pulih

ialah

disertai hemiparese atau hemiplegia

yang menyebabkan invaliditas khronis yang parah.


2.Afasia Broca. Bentuk afasia ini sering kita lihat di klinik dan ditandai
oleh bicara yang tidak lancar, dan disartria, serta tampak melakukan upaya bila
berbicara. Pasien sering atau paling banyak mengucapkan kata-benda dan katakerja. Bicaranya bergaya telegram atau tanpa tata-bahasa (tanpa grammar).

Contoh:

"Saya....sembuh....rumah....kontrol....ya..kon..trol."

"Periksa...lagi...makan... banyak.."
Mengulang (repetisi) dan membaca kuat-kuat sama terganggunya
seperti berbicara spontan. Pemahaman auditif dan pemahaman membaca
tampaknya tidak terganggu, namun pemahaman kalimat dengan tatabahasa yang
kompleks sering terganggu (misalnya memahami kalimat: "Seandainya anda
berupaya untuk tidak gagal, bagaimana rencana anda untuk maksud ini").

Ciri klinik afasia Broca:

bicara tidak lancar

tampak sulit memulai bicara

kalimatnya pendek (5 kata atau kurang per kalimat)

pengulangan (repetisi) buruk

kemampuan menamai buruk

Kesalahan parafasia

Pemahaman lumayan (namun mengalami kesulitan memahami kalimat


yang sintaktis kompleks)

Gramatika bahasa kurang, tidak kompleks

Irama kalimat dan irama bicara terganggu


Menamai (naming) dapat menunjukkan jawaban yang parafasik. Lesi

yang menyebabkan afasia Broca mencakup daerah Brodmann 44 dan sekitarnya.


Lesi yang mengakibatkan afasia Broca biasanya melibatkan operkulum frontal
(area Brodmann 45 dan 44) dan massa alba frontal dalam (tidak melibatkan

korteks motorik bawah dan massa alba paraventrikular tengah). Selain itu, ada
pasien dengan lesi dikorteks peri-rolandik, terutama daerah Brodmann 4; ada pula
yang terganggu di daerah peri-rolandik dengan kerusakan massa alba yang
ekstensif.
Ada pakar yang menyatakan bahwa bila kerusakan terjadi hanya di
area Broca di korteks, tanpa melibatkan jaringan di sekitarnya, maka tidak akan
terjadi afasia.
Penderita afasia Broca sering mengalami perubahan emosional. seperti
frustasi dan depresi. Apakah hal ini disebabkan oleh gangguan berbahasanya
atau merupakan gejala yang menyertai lesi di lobus frontal kiri belum dapat
dipastikan.
Pemulihan terhadap berbahasa (prognosis) umumnya lebih baik
daripada afasia global. Karena pemahaman relatif baik, pasien dapat lebih baik
beradaptasi dengan keadaannya.
3.Afasia Wernicke.
Pada kelainan ini pemahaman bahasa terganggu. Di klinik, pasien afasia
Wernicke ditandai oleh ketidakmampuan memahami bahasa lisan, dan bila ia
menjawab iapun tidak mampu mengetahui apakah jawabannya salah. la tidak
mampu memahami kata yahg diucapkannya, dan tidak mampu mengetahui kata
yang diucapkannya, apakah benar atau salah. Maka terjadilah kalimat yang isinya
kosong, berisi parafasia, dan neologisme. Misalnya menjawab pertanyaan:
Bagaimana keadaan ibu sekarang ? Pasien mungkin menjawab: "Anal saya lalu
sana sakit tanding tak berabir".
Pengulangan (repetisi) terganggu berat. Menamai (naming) umumnya
parafasik. Membaca dan menulis juga terganggu berat.

Gambaran klinik afasia Wernicke:

Keluaran afasik yang lancar


6

Panjang kalimat normal

Artikulasi baik

Prosodi baik

Anomia (tidak dapat menamai)

Parafasia fonemik dan semantik

Komprehensi auditif dan membaca buruk

Repetisi terganggu

Menulis lancar tapi isinya "kosong"


Penderita afasia jenis Wernicke ada yang menderita hemiparese, ada

pula yang tidak. Penderita yang tanpa hemiparese, karena kelainannya hanya atau
terutama pada berbahasa, yaitu bicara yang kacau disertai banyak parafasia, dan
neologisme, bisa-bisa disangka menderita psikosis.
Lesi yang menyebabkan afasia jenis Wernicke terletak di daerah
bahasa bagian posterior. Semakin berat defek dalam komprehensi auditif, semakin
besar kemungkinan lesi mencakup bagian posterior dari girus temporal superior.
Bila pemahaman kata tunggal terpelihara, namun kata kompleks terganggu, lesi
cenderung mengenai daerah lobus parietal, ketimbang lobus temporal superior.
Afasia jenis Wernicke dapat juga dijumpai pada lesi subkortikal yang merusak
isthmus temporal memblokir signal aferen inferior ke korteks temporal.
Penderita

dengan

defisit

komprehensi

yang

berat,

pronosis

penyembuhannya buruk, walaupun diberikan terapi bicara yang intensif. Afasia


konduksi. Ini merupakan gangguan berbahasa yang lancar (fluent) yang ditandai
oleh gangguan yang berat pada repetisi, kesulitan dalam membaca kuat-kuat
(namun pemahaman dalam membaca baik), gangguan dalam menulis, parafasia

yang jelas, namun umumnya pemahaman bahasa lisan terpelihara. Anomianya


berat.
Terputusnya hubungan antara area Wernicke dan Broca diduga
menyebabkan manifestasi klinik kelainan ini. Terlibatnya girus supramarginal
diimplikasikan pada beberapa pasien. Sering lesi ada di massa alba subkortikal dalam di korteks parietal inferior, dan mengenai fasikulus arkuatus yang
menghubungkan korteks temporal dan frontal.
4.Afasia transkortikal.
Afasia transkortikal ditandai oleh repetisi bahasa lisan yang baik
(terpelihara), namun fungsi bahasa lainnya terganggu. Ada pasien yang
mengalami kesulitan dalam memproduksi bahasa, namun komprehensinya
lumayan.
Ada

pula

pasien

yang

produksi

bahasanya

lancar,

namun

komprehensinya buruk. Pasien dengan afasia motorik transkortikal mampu


mengulang (repetisi), memahami dan membaca, namun dalam bicara -spontan
terbatas, seperti pasien dengan afasia Broca. Sebaliknya, pasien dengan afasia
sensorik transkortikal dapat mengulang (repetisi) dengan baik, namun tidak
memahami apa yang didengarnya atau yang diulanginya. Bicara spontannya dan
menamai lancar, tetapi parafasik seperti afasia jenis Wernicke. Sesekali ada pasien
yang menderita kombinasi dari afasia transkortikal motorik dan sensorik. Pasien
ini mampu mengulangi kalimat yang panjang, juga dalam bahasa asing, dengan
tepat. Mudah mencetuskan repetisi pada pasien ini, dan mereka cenderung
menjadi ekholalia (mengulang apa yang didengarnya).
Gambaran klinik afasia sensorik transkortikal:

Keluaran (output) lancar (fluent)

Pemahaman buruk

Repetisi baik

Ekholalia

Komprehensi auditif dan membaca terganggu

Defisit motorik dan sensorik jarang dijumpai

Didapatkan defisit lapangan pandang di sebelah kanan.

Gambaran klinik afasia motorik transkortikal:

Keluaran tidak lancar (non fluent)

Pemahaman (komprehensi) baik

Repetisi baik

Inisiasi ot/fpunerlambat

Ungkapan-ungkapan singkat

Parafasia semantik

Ekholalia

Gambaran klinik afasia transkortikal campuran:

Tidak lancar (nonfluent)

Komprehensi buruk

Repetisi baik

Ekholalia mencolok
Afasia transkortikal disebabkan oleh lesi yang luas, berupa infark

berbentuk bulan sabit, di dalam zona perbatasan antara pembuluh darah serebral

mayor (misalnya di lobus frontal antara daerah arteri serebri anterior dan media).
Afasia transkortikal motorik terlihat pada lesi di perbatasan anterior yang
menyerupai huruf C terbalik (gambar 9-1). Lesi ini tidak mengenai atau tidak
melibatkan korteks temporal superior dan frontal inferior (area 22 dan 44 dan
lingkungan sekitar) dan korteks peri sylvian parietal. Korteks peri sylvian yang
utuh ini dibutuhkan untuk kemampuan mengulang yang baik.
Penyebab yang paling sering dari afasia transkortikal ialah:

Anoksia sekunder terhadap sirkulasi darah yang menurun, seperti yang


dijumpai pada henti-jantung (cardiac arrest).

Oklusi atau stenosis berat arteri karotis.

Anoksia oleh keracunan karbon monoksida.

Demensia.

5.Afasia anomik.
Ada pasien afasia yang defek berbahasanya berupa kesulitan dalam
menemukan kata dan tidak mampu menamai benda yang dihadapkan kepadanya.
Keadaan ini disebut sebagai afasia anomik, nominal atau amnestik. Berbicara
spontan biasanya lancar dan kaya dengan gramatika, namun sering tertegun
mencari kata dan terdapat parafasia mengenai nama objek.
Gambaran klinik alasia anomik:

Keluaran lancar

Komprehensi baik

Repetisi baik

Gangguan (defisit) dalam menemukan kata.

10

Banyak tempat lesi di hemisfer dominan yang dapat menyebabkan


afasia anomik, dengan demikian nilai lokalisasi jenis afasia ini terbatas. Anomia
dapat demikian ringannya sehingga hampir tidak terdeteksi pada percakapan biasa
atau dapat pula demikian beratnya sehingga keluaran spontan tidak lancar dan
isinya kosong. Prognosis untuk penyembuhan bergantung kepada beratnya defek
inisial. Karena output bahasa relatif terpelihara dan komprehensi lumayan utuh,
pasien demikian dapat menyesuaikan diri dengan lebih baik daripada jenis afasia
lain yang lebih berat.
Afasia dapat juga terjadi oleh lesi subkortikal, bukan oleh lesi kortikal
saja. Lesi di talamus, putamen-kaudatus, atau di kapsula interna, misalnya oleh
perdarahan atau infark, dapat menyebabkan afasia anomik. Mekanisme terjadinya
afasia dalam hal ini belum jelas, mungkin antara lain oleh berubahnya input ke
serta fungsi korteks di sekitarnya.

Beberapa bentuk afasia mayor :


Bentuk
Afasia
Ekspresi
(Broca)

Ekspresi

Komprehen
si verbal

Tak
lancar

Relatif
terpelihara

Repetisi

Menamai

Kompreh
ensi
membaca

Terganggu

Terganggu

Bervariasi

Menulis

Terganggu

Lesi
Frontal Inferior
posterior

11

Reseptif

Lancar

Terganggu

Terganggu

Terganggu

Terganggu

Terganggu

Temporal
Superior
Posterior (Area
Wernicke)

Global

Tak
lancar

Terganggu

Terganggu

Terganggu

Terganggu

Terganggu

Fronto temporal

Konduksi

Lancar

Relatif
terpelihara

Terganggu

Terganggu

Bervariasi

Terganggu

Fasikulus
arkualtus, girus
supramarginal

Nominal

Lancar

Relatif
terpelihara

Terpelihara

Terganggu

Bervariasi

Bervariasi

Girus angular,
temporal
superior
posterior

Transkortikal
motor

Tak
lancar

Relatif
terpelihara

Terpelihara

Terganggu

Bervariasi

Terganggu

Peri
sylvian
anterior

Transkortikal
sensorik

Lancar

Terganggu

Terpelihara

Terganggu

Terganggu

Terganggu

PerisylvianPoste
rior

(Wermicke)

2.5 Diagnosis Banding


- Afasia transkortikal. Afasia transkortikal ditandai oleh repetisi bahasa lisan
yang baik (terpelihara), namun fungsi bahasa lainnya terganggu. Pasien dengan
afasia motorik transkortikal mampu mengulang (repetisi), memahami dan
membaca. Namun dalam bicara spontan terbatas, seperti pasien dengan afasia
Broca.9
Ciri klinik afasia motorik transkortikal:9

Keluaran tidak lancar (nonfluent)

Pemahaman (komprehensi) baik

Repetisi baik

Inisiasi output terlambat

Ungkapan-ungkapan singkat

Parafasia semantik

Ekholalia
12

Disartria. Disartria adalah gangguan artikulasi yang disebabkan oleh gangguan


sistem saraf pusat yang secara langsung mengontrol aktivitas otototot yang
berperan dalam proses artikulasi dalam pembentukan suara pengucapan.10
Gejala klinik disartria:

Gangguan pengucapan kata secara jelas dan tegas

Bicara pelo, cadel

Kesulitan menggerakkan palatum, kidah dan bibir sewaktu artikulasi

Gramatika (tata bahasa), komprehensi dan pemilihan kata tidak


terganggu9

Mutisme. Mutisme merupakan gangguan jiwa berupa tiba-tiba tidak bisa


berbicara. Ada dua macam mutisme, yaitu tidak dapat bicara dengan keras dan
tidak dapat berbicara sama sekali. Mutisme bukan disebabkan oleh kerusakan alat
percakapan seperti pita suara atau tenggorokan, tetapi biasanya akibat dari
tekanan.11
Gejala klinik mutisme:

2.6

Apatis

Ketidakmampuan berbicara dalam situasi tertentu

Kecemasan

Perasaan malu

Penarikan diri dari lingkungan sosial

Kurang responsif

Kekakuan

Sensitivitas terhadap suara keras

Penatalaksanaan
Penatalaksanaan afasia terlebih dahulu didasarkan pada penyebabnya,

misalnya stroke, perdarahan akut, tumor otak, dan sebagainya.


Tidak ada penanganan atau terapi untuk afasia yang benar-benar efektif
dan terbukti mengobati. Saat ini, penanganan yang paling efektif untuk mengobati
afasia adalah dengan melakukan terapi wicara/bina wicara.
13

Prinsip umum dari terapi wicara adalah:

Terlepas dari jenis terapi afasia yang digunakan, hasilnya akan lebih baik
jika intensitas terapi ditingkatkan. Dengan kata lain, hasil terapi akan lebih
baik jika pasien melakukan beberapa sesi terapi selama beberapa hari
dibandingkan dengan melakukan banyak sesi terapi dalam sehari dengan
jumlah hari yang lebih banyak pula.

Efektivitas terapi afasia akan meningkat jika terapis menggunakan


berbagai bentuk stimulus sensori. Sebagai contoh, stimulus audio dalam
bentuk musik, dan stimulus visual dalam bentuk gambar-gambar, serta
lukisan. Jenis stimulus ini sebaiknya digunakan secara rutin selama
mengikuti sesi terapi afasia.

Peningkatan kesulitan dalam praktek latihan tes berbahasa selama


mengikuti sesi terapi akan memberikan hasil yang lebih baik.

Berikut merupakan beberapa bentuk terapi afasia yang paling sering digunakan:
Terapi kognitif linguistik.
Bentuk terapi ini menekankan pada komponen-komponen emosional bahasa.
Sebagai

contoh,

beberapa

latihan

akan

mengharuskan

pasien

untuk

menginterpretasikan karakteristik dari suara dengan nada emosi yang berbedabeda. Ada juga yang meminta pasien mendeskripsikan arti kata seperti kata
"gembira." Latihan-latihan seperti ini akan membantu pasien mempraktekkan
kemampuan komprehensif sementara tetap fokus pada pemahaman komponen
emosi dari bahasa.
Program stimulus.
Jenis terapi ini menggunakan berbagai modalitas sensori. Termasuk gambargambar dan musik. Program ini diperkenalkan denngan tingkat kesukaran yang
meningkat dari tingkat yang mudah ke tingkat yang sulit.
Stimulation-Fascilitation Therapy.
Jenis terapi afasia ini lebih fokus pada semantik (arti) dan sintaksis (sususan
kalimat) dari bahasa. Stimulus utama yang digunakan selama terapi adalah

14

stimulus audio. Prinsip terapi ini yaitu, peningkatan kemampuan berbahasa akan
lebih baik jika dilakukan dengan pengulangan.
Terapi kelompok (group therapy).
Dalam terapi ini, pasien disediakan konteks sosial untuk mempraktekkan
kemampuan berkomunikasi yang telah mereka pelajari selama sesi pribadi. Selain
itu, mereka juga akan mendapatkan umpan balik dari para terapis dan pasien
lainnya. Hal ini bisa juga dilakukan dengan anggota keluarga. Efeknya akan sama
sekaligus juga mempererat komunikasi pasien dengan orang-orang tercinta
mereka.
PACE (Promoting Aphasic's Communicative Effectiveness).
Ini merupakan bentuk terapi pragmatik yang paling terkenal. Jenis terapi afasia ini
bertujuan meningkatkan kemampuan berkomunikasi dengan menggunakan
percakapan sebagai alatnya. Dalam terapi ini, pasien akan terlibat percakapan
dengan terapis. Untuk menstimulus komunikasi yang spontan, jenis terapi ini akan
menggunakan lukisan-lukisan, gambar, serta benda-benda visual. Benda-benda ini
akan digunakan oleh pasien sebagai sumber ide untuk dikomunikasikan dalam
percakapan. Pasien dan terapi secara bergiliran akan menyampaikan ide-ide
mereka.
Transcranial Magnetic Stimulation (TMS).
Terapi ini dilakukan dengan mendekatkan magnet langsung ke area otak yang
diduga menghambat pemulihan kemampuan berbahasa setelah stroke. Dengan
menekan fungsi dari bagian otak tersebut, maka pemulihan diharapakan akan
semakin cepat. Beberapa studi telah menunjukkan hasil yang menggembirakan.
Tetapi, masih diperlukan studi yang lebih besar untuk membuktikan efektivitas
terapi ini.
2.7 PROGNOSIS
Prognosa hidup untuk pendertia afasia tergantung pada penyebab afasia.
Suatu tumor otak dapat dihubungkan dengan angka harapan hidup yang kecil,

15

sedangkan afasia dengan stroke minor mungkin memiliki prognosis yang sangat
baik. Prognosis hidup ditentukan oleh penyebab afasia tersebut.
Prognosis kesembuhan kemampuan berbahasa bervariasi, tergantung pada ukuran
lesi dan umur serta keadaan umum pasien. Secara umum, pasien dengan tanda
klinis yang lebih ringan memiliki kemungkinan sembuh yang lebih baik. Afasia
Broca secara fungsional memiliki prognosis yang lebih baik daripada afasia
Wernicke. Terakhir, afasia akibat penyakit yang tidak dapat atau sulit
disembuhkan, misalnya tumor otak, memiliki tingkat prognosis yang buruk

BAB III
PENUTUP

16

KESIMPULAN
Proses bicara melibatkan dua stadium utama aktivitas mental: (1)
membentuk buah pikiran untuk diekspresikan dan memilih kata-kata yang akan
digunakan, kemudian (2) mengatur motorik vokalisasi dan kerja yang nyata dari
vokalisasi itu sendiri. Pembentukan buah pikiran dan bahkah pemilihan kata-kata
merupakan fungsi area asosiasi sensorik otak. Sekali lagi, area Wemicke pada
bagian posterior girus temporalis superior merupakan hal yang paling penting
untuk kemampuan ini. Oleh karena itu, penderita yang mengalami afasia
Wernicke atau afasia global tak mampu memformulasikan buah pikirannya untuk
dikomunikasikan. Atau, bila lesinya tak begitu parah, maka penderita masih
mampu memfontiulasikan pikirannya namun tak mampu menyusun kata-kata
yang sesuai secara berurutan dan bersama-sama untuk mengekspresikan
pikirannya. Seringkali, penderita fasih berkata-kata namun kata-kata yang
dikeluarkannya tidak beraturan.
Afasia Motorik Akibat Hilangnya Area Broca. Kadang-kadang,
penderita mampu menentukan apa yang ingin dikatakannya, dan mampu
bervokalisasi, namun tak dapat mengatur sistem vokalnya untuk menghasilkan
kata-kata selain suara ribut. Efek ini, disebut afasia motorik, disebabkan oleh
kerusakan pada area bicara Broca, yang terletak di regio prefrontal dan fasial
premotorik korteks kira-kira 95 persen kelainannya di hemisfer. Oleh karena itu,
pola keterampilan motorik yang dipakai untuk mengatur laring, bibir, mulut,
sistem respirasi, dan otot-otot lainnya yang dipakai untuk bicara dimulai dari
daerah ini.

DAFTAR PUSTAKA
1. .

Lumbantobing, S.M., Neurologi klinik pemeriksaan fisik dan mental,Jakarta :


Balai penerbit fakultas kedokteran UI, 2012

17

2.

Kirshner HS, Jacobs DH. eMedicine Neurology Specialities: Aphasia. 2009.


[Update 25 Agustus 2013, cited: 28 april 2016]. Available at:
http://emedicine.medscape.com/article/1135944-print.

Ginsberg Lionel, Neurologi Lecture Notes, Jakarta : Penerbit Erlangga, edisi ke


delapan, 2007

18

Anda mungkin juga menyukai