Anda di halaman 1dari 34

Tatalaksana Pembedahan

Pada TB Abdominal :
Penelitian Retrospektif di
India
Disusun oleh :
LESTARI
111001157
Pembimbing
Dr. Erina outry, Sp.B(K)BD

abstrak
Latar belakang
TB abdominal merupakan diagnostik dan
terapeutik yang masih menjadi hambatan di
negara-negara yang terbatas sumber daya.
Presentasi
klinisnya
jelas
merupakan
penghalang untuk diagnosis dini.
Penelitian ini bertujuan untuk menyoroti
peran operasi untuk penegakan diagnosis
dan pengobatan TB abdominal.

Latar belakang
TBC, terutama di negara-negara berkembang adalah
masalah kesehatan utama, dan menyebabkan morbiditas
dan kematian yang signifikan. Negara-negara ini
memiliki masalah kemiskinan, kepadatan penduduk, dan
sanitasi yang buruk.
Prevalensi populasi adalah orang dengan tingkat
pengetahuan yang rendah dan kekurangan gizi.
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menyatakan keadaan
darurat global berupa penyakit menular yang paling
penting di dunia.
Di India, tuberkulosis masih dianggap sebagai penyakit
sosial, yang mencerminkan standar hidup di masyarakat.

Menurut WHO dilaporkan pada tahun 2013,


diperkirakan 8,6 juta kejadian TB per tahun secara
global, dan India memiliki TB terbesar di dunia
dengan jumlah kasus sekitar 26% dari kasus TB
dunia, diikuti oleh China dan Afrika Selatan.
Paru-paru adalah tempat yang paling umum
terjadinya infeksi.
Namun TBC dapat mempengaruhi setiap bagian dari
tubuh. Sekitar seperdelapan dari total kasus TB
adalah ekstra-pulmonal.
Diperkirakan di India TB ekstra-paru merupakan 1520% dari semua kasus TB pada pasien yang beresiko
terinfeksi dan pada pasien dengan HIV positif
kejadian ini meningkat menjadi 50%.

TBC abdominal termasuk kelainan dari


gastrointestinal, peritoneum, kelenjar getah
bening, dan organ padat lainnya.
rute infeksi bisa menjadi hematogen
menyebar dari fokus paru primer yang
nantinya mengaktifkan kembali infeksi atau
terjadinya tuberkulosis milier, baik dari
sputum atau dari susu yang terinfeksi,
menyebar melalui limfatik dari nodus yang
terinfeksi,
atau
dengan
penyebaran
langsung dari organ terdekat.

Tuberkulosis intestinal ada di salah satu dari tiga


bentuk utama kelainan intestinal yaitu ulseratif,
hipertrofi atau ulcerohypertrophic, dan striktur.
Keterlibatan peritoneum ada dalam empat bentuk :
asites, loculated (encysted), plastik (fibrous) dan
purulen.
Kelenjar
getah
bening
mesenterika
dan
retroperitonium terdiri dari nodul TBC abdominal.
Kelenjar getah bening dapat mengalami kalsifikasi.
Dalam organ padat seperti hati dan limpa,
umumnya
ditemukan
beberapa
lesi
fokal
granulomatosa.

Umumnya penyakit
berjalan kronis dengan
gejala non-spesifik demam (40-70%), nyeri (8095%), diare (11-20%), sembelit, penurunan
berat badan (40-90%), anoreksia dan malaise.
Komplikasi sekunder seperti ileus obstruksi total
ataupun parsial karena pembentukan massa di
daerah ileosekal atau striktur di usus halus, dan
perforasi usus yang menyebabkan peritonitis
terutama ileum terminal.

Biasanya dikonfirmasi setelah laparotomi atau


laparoskopi, dan pemeriksaan histopatologi.
Untuk kasus-kasus yang didiagnosis dengan
tuberkulosis abdominal di awal, tentu saja
gejala klinis akan menjadi minimal, dan
pengobatan utamanya berupa konservatif
dengan terapi anti-TB.
Terapi
bedah
dipertimbangkan
untuk
komplikasi seperti obstruksi usus dan
perforasi usus dengan peritonitis.
Tujuan operasi terutama untuk menghapus
fokus penyakit dan mengobati efek mekanik
yang menyebabkan morbiditas.

Tetapi
bahkan
dengan
kemajuan
dalam
pencitraan medis, menegakkan diagnosa diawal
adalah hal yang sulit, dengan gejala klinis yang
menjadi tidak jelas dan ada yang tidak spesifik
untuk penegakkan diagnostik.
Dalam situasi seperti itu, operasi memainkan
peran penting dalam diagnosis dan pengobatan
TB abdominal.
Intervensi bedah adalah satu-satunya pilihan
terapi
untuk
pasien
dengan
komplikasi
tuberkulosis abdominal. Saat ini penelitian
bermaksud untuk menggambarkan demografi,
clinicopathological profil, berbagai pilihan bedah
dan berbagai hasil dalam pengelolaan TB
abdominal di pusat perawatan tersier besar di
India Tengah dan membandingkannya dengan
data yang diberikan dalam literatur.

METODE
Metode yang digunakan adalah retrospektif, penelitian
deskriptif yang dilakukan di Departemen Bedah,
People College of Medical Science & Research Centre,
Bhopal.
Persetujuan etis untuk melakukan studi ini diperoleh
dari rumah sakit yang berwenang.
Semua pasien tuberkulosis abdominal yang dioperasi
antara periode Agustus 2010 hingga Juli 2015 di
berbagai
unit
bedah
di
departemen
yang
dipertimbangkan untuk penelitian.
Dari sekian pasien, hanya kasus-kasus yang memiliki
histopatologi positif, atau temuan operatif, atau
keduanya
sesuai
dengan
diagnosis
TBC, yang dilibatkan dalam penelitian tersebut.

HASIL

72 kasus tuberkulosis abdominal dioperasikan selama masa


studi. Usia rata-rata adalah 30 tahun dengan laki-laki dan
perempuan rasionya 3: 2.
Tuberkulosis abdominal primer sebanyak 79,2%. TB intestinal
umumnya terjadi pada ileum dengan ileum terminal dan
didominasi dengan terlibatnya daerah ileo-sekum.
58% dari pasien membutuhkan operasi darurat.
Prosedur bedah yang dilakukan adalah : reseksi segmen
yang sakit termasuk hemicolectomy 32 (44,44%), pelepasan
band / adhesi 23 (31,9%), repair perforasi 11 (15,3%),
stricturoplasty 4 (5,5%), dll.
Komplikasi dan mortalitas masing-masing 33,3% dan 2,6%
Tidak ada pasien yang memiliki kebocoran intestinal pascaoperasi. Durasi rawat inap rata-rata di rumah sakit itu 14
hari

DISKUSI
Di negara-negara berkembang TB abdomen
adalah penyebab signifikan untuk morbiditas
dan mortalitas. Ini adalah salah satu masalah
kesehatan yang utama.
Sebanyak 72 kasus yang dimiliki dianalisis
dalam penelitian ini.
Perbandingan laki-laki dan perempuan adalah
3 : 2.
Hal ini sesuai dengan hasil penelitian dari
penulis lainnya. Namun dari beberapa penulis
yang telah dikutip dari penelitian didapatkan
dominasi perempuan.

Di negara-negara barat penyakit ini lebih umum


pada laki-laki, terutama terjadi pada populasi
yang bermigrasi ke Asia.
Dalam literatur, kita tidak bisa menemukan
alasan untuk perbedaan gender ini.
Usia rata-rata ditemukan menjadi 32,6 tahun,
yang berarti konsisten dengan usia 33 tahun,
seperti yang ditemukan oleh AD Wells di
penelitiannya dari 30 kasus.

Mayoritas (70%) dari pasien berasal dari keluarga


kelas sosial-ekonomi yang rendah.
Hal ini sesuai dengan penelitian terhadap pasien
yang serupa lainnya yang datang dari daerah
pedesaan yang memiliki kesadaran yang rendah
terhadap penyakit dan aksesibilitas untuk
perawatan kesehatan bedah. Dari populasi 68%
dalam penelitian ini termasuk dalam kategori
underweight (Klasifikasi BMI WHO).
TB abdominal secara signifikan mempengaruhi
gizi pasien. Pengaruh gizi lebih umum terjadi
pada kelompok perempuan (78%) dibandingkan
dengan laki-laki (61%).

Dalam studi RK Tandon, bukti biokimia


terjadinya malabsorpsi dilaporkan pada 75%
pasien dengan obstruksi usus dan di 40% dari
mereka yang tidak mengalami. Penyebab
malabsorpsi di TB intestinal ini menyebabkan
pertumbuhan bakteri yang berlebihan dalam
loop usus, dekonjugasi biliaer, dan berkurangnya
absorbs akibat adanya ulserasi, dan adanya
keterlibatan nodus limfatik.

Umumnya gejala yang timbul berupa sakit perut,


demam ringan, penurunan berat badan, anoreksia,
kebiasaan buang air besar terganggu, dan distensi
abdomen.
97,2%
pasien disertai dengan nyeri perut pada
penelitian kami, yang sebanding dengan studi SK
Bhansali dan A Mohammed yang melaporkan nyeri
perut sebagai gejala utama di 94% kasus.
Kurangnya kesadaran tentang penyakit ini, bisa terjadi
karena kurangnya informasi penyakit terhadap masingmasing pribadi, kurangnya aksesibilitas ke fasilitas
pelayanan kesehatan yang tepat dan gejala penyakit ini
yang kadang tidak terlalu signifikan.

Para pasien sering didiagnosis setelah terjadi


komplikasi, seperti obstruksi usus atau perforasi
usus dan peritonitis.
Dalam penelitian kami, populasi dengan sumber
daya miskin, kesulitan dalam awal diagnosis,
dan efektifitas rendah dalam hal merujuk pasien
dari daerah pinggiran, merupakan hal yang
menghambat penatalaksanaan ke rumah sakit.
Penelitian ini juga mendukung gejala klinis yang
serupa

Presentasi penyakit yang akut adalah alasan umum yang


pada
dasarnya
membawa
mereka
untuk
rawat inap dan pengobatan.
Semakin banyak jumlah presentasi akut dalam penelitian ini
adalah sesuai dengan studi di literatur.
Dalam studi A Mukhopadhyay, tuberkulosis abdominal
merupakan suatu persentase yang signifikan (10%) dari
semua kasus darurat dengan akut abdomen.
Mayoritas pasien dirawat dengan obstruksi usus dan
peritonitis.
Mereka semua menjalani laparotomi darurat.
Hal ini semakin mendukung pandangan keterlambatan
diagnosis TBC abdominal, sampai terjadinya komplikasi.

79% dari pasien dalam penelitian kami memiliki


TB abdominal primer.
Pengamatan serupa dalam penelitian lain
dilakukan dalam mengembangkan negara. 21%
dari pasien telah terinfeksi TB paru.
Hal ini sesuai dengan temuan dari para penulis
yang memiliki sekitar 15-25% dari kasus dengan
tuberkulosis abdominal dan memiliki TB paru
secara bersamaan.

Pemeriksaan
darah
menunjukkan
nilai-nilai
hemoglobin kurang dari 9.6mg / dl di 44% dari pasien.
Ini menguatkan temuan Serum penulis lainnya.
Albumin kurang dari 2,5 g / dl pada 70,8% pasien,
sugestif status gizi rendah.
Tidak ada pasien ditemukan dengan positif HIV,
namun ulasan literature menyebutkan kemungkinan
co-eksistensi di sekitar 10% dari kasus.
Dalam beberapa tahun terakhir berbagai molekul dan
teknik imunologi digunakan sebagai pendekatan baru
untuk diagnosis cepat TB abdominal.

Penggunaan Polymerase Chain Reaction (PCR), dan serum & peritoneal


ADA cairan tidak dilakukan di salah satu pasien. Biaya ADA dan PCR tes
menjadi penghalang utama yang membatasi penggunaannya, dan
ketersediaan juga terbatas hanya di pusat saja.
Diagnosis suspek TB abdominal adalah berdasarkan investigasi
radiologi.
Foto rontgen abdomen, USG abdomen, enteroclysis dan CT scan dari
perut berkontribusi sampai batas variabel dalam membuat diagnosa.
Foto rontgen dada menunjukkan bukti TB paru di 8,3% dari kasus, yang
dalam kontras sesuai dengan studi A Manohar dan N Machado, yang
menemukan tingkat positif di 40,8%. Ultrasonografi berguna untuk
temuan yang mendukung : penebalan terminal ileum & dinding sekum,
loculated ascites dengan cairan bebas, Interloop ascites yang
menunjukkan sliced bread sign, dan mesenterika lymphadenopathy.

Dalam penelitian abdominal ini sonografi dilakukan di


82% kasus yang terungkap dengan temuan yanghampir
mirip. Enteroclysis berguna untuk pemeriksaan.
Hal itu dilakukan pada 14% dari kasus.
Temuan dari enteroclysis yang: meningkatnya waktu
transit usus halus, beberapa striktur dengan dilatasi
segmental loop usus, dan anyaman dari loop usus.
CT Scan memberikan pencitraan yang lebih baik dari
usus dan struktur lainnya.
Kasus awal menunjukkan penebalan yang sirkumferen
secara simetris pada caecum dan ileum terminal.

Pada penyakit yang lebih lanjut didapatkan penebalan


dinding, adheren loop, pembesaran KGB dan penebalan
mesenterika yang dapat terjadi secara bersamaan
membentuk suatu massa jaringan lunak yang berpusat
di sekitar ileocaecall junction.
CT scan juga dapat menunjukkan adanya ulserasi atau
nodularitas dalam ileum terminal, bersamaan dengan
munculnya penyempitan dan dilatasi proksimal.
Komplikasi perforasi, abses, dan obstruksi juga terlihat.
Namun, biaya adalah faktor pembatas utama.
Dalam tinjauan ini hanya 8,3% dari pasien yang dapat
menjalani CT scan abdomen karena biaya yang tinggi.
Hal ini sesuai dengan literatur yang ada.

Diagnosis pasti tuberkulosis abdominal dibuat jika


menunjukkan adanya granuloma TB di jaringan yang
diangkat melalui pembedahan.
Dalam
penelitian kami, histopatologi adalah dasar
diagnosis di 82% dari pasien.
Granuloma yang khas dengan kaseasi sentral terlihat di
25% pasien. R Khan telah melaporkan hasil biopsi yang
sama.
Pasien yang tersisa memiliki temuan operasi yang
mendukung kearah tuberkulosis abdominal. Semua pasien
menunjukkan positif respon terhadap terapi anti-TBC.
Laparoskopi diagnostik adalah alat yang berguna untuk
mendiagnosa tuberkulosis abdominal pada pasien dengan
gejala kronis.

Dalam tinjauan laparoskopi ini dilakukan di 8,3% dari


pasien. Ini telah menghasilkan temuan positif dan
diagnosis TB peritoneal.
Temuan laparoskopi berupa cairan asites, penebalan
peritoneum dengan atau tanpa tuberkel (multiple, putih
kekuningan, tuberkel tersebar diseluruh peritoneum), dan
jaringan fibrosis yang melekat pada peritoneum.
Omentum, hati dan limpa juga dapat dipenuhi oleh
tuberkel. DK Bhargava mempelajari 87 pasien dengan
asites protein tinggi, dari 38 pasien didiagnosis
tuberculosis.
Mereka menunjukkan penampilan klinis secara visual
yang lebih membantu (95% akurat) dibandingkan dengan
hasil histopatologi, kultur dan inokulasi (sensitivitas
masing-masing 82,3 dan 37,5%).

Tuberkulosis dapat mempengaruhi setiap bagian dari saluran


gastrointestinal, termasuk kelenjar sistem pencernaan yang
terkait, kelenjar getah bening dan peritoneum.
Dalam penelitian kami paling sering terjadi di usus halus
dibagian ileum terminal dan daerah ileocaecal.
Hal ini terlihat di 2/3 dari pasien dalam penelitian ini, diikuti
oleh tuberculosis peritoneal.
Obstruksi usus adalah bentuk yang paling umum dari
presentasi, diikuti oleh perforasi. Ini sesuai dengan penelitian
lainnya.
Dominan terjadi pada ileum dan ileocaecum disebabkan karena
banyaknya jaringan limfoid di daerah ini dan menjadi bagian
terminal dari usus halus yang berperan untuk proses
pencernaan dan absorbs makanan.
Peyer patch memiliki sel M, yang fagosit terhadap basil kuman
BCG. Hepar dan kandung empedu jarang terinfeksi oleh TB.

Kasus dalam penelitian kami memiliki daerah fokus


granuloma TBC di hepar dan TBC ulseratif kronis akibat
batu empedu.
TB hepar seperti yang dijelaskan dalam literatur terjadi
dalam dua bentuk: bentuk lokal atau milier.
Bentuk lokal, baik fokal atau nodular granuloma yang
mengarah ke pembentukan massa/abses; atau tubular
yang melibatkan sistem saluran empedu.
Pada tahun 1908, Simmonds mengumpulkan kasus
tuberkulosis dari kandung empedu; ia menggambarkan
dua jenis, tipe ulseratif kronis dengan atau tanpa batu
empedu, dan bentuk akut yang terkait dengan TB milier.
Sebagian besar pasien membutuhkan operasi darurat.

Berbagai prosedur bedah yang dilakukan adalah:


reseksi segmental dari segmen yang sakit termasuk
Hemi-kolektomi, pembebasan band dan perlengketan,
repair perforasi, stricturoplasty, exteriorization dari
perforasi loop dan kolesistektomi.
Hemi-kolektomi dilakukan untuk kasus dengan adanya
massa atau striktur ileo-sekum.
Reseksi
segmental
usus
halus
usus
dengan
anastomosis primer dilakukan pada kasus dengan
beberapa striktur ileum atau penyempitan loop.
Eksisi dari segmen yang sakit dengan striktur
terdapat
risiko
rendah
terjadinya
pembentukan
kebocoran dan fi stula.

.Pada peritonitis dengan sepsis berat, ileostomy


sementara dilakukan setelah reseksi usus yang sakit
atau exteriorization sederhana dari bagian yang
berlubang, sehingga menghindari anastomosis primer.
Di penelitian ini beberapa kasus telah menjalani
stricturoplasty.
Hal ini berbeda dengan penelitian yang
dilakukan
oleh M Akbar di mana stricturoplasty adalah prosedur
bedah umum.
Kasus dengan penutupan stoma setelah optimum
recovery (8-12 minggu).
Terapi anti-TBC diberikan kepada semua pasien pasca
operasi.


Komplikasi pasca operasi terjadi pada 33,3%
penderita. infeksi luka operasi adalah komplikasi
yang paling umum.
Hal ini sama dengan temuan peneliti lainnya.
Pasien pasca-operasi tidak memerlukan anastomosis
kebocoran (fistula) begitu juga dengan perbaikan
usus primer.
Komplikasi pada paru diterapi dengan antibiotik yang
tepat dan fisioterapi thorak intensif.
Satu pasien memerlukan drainase karena mengalami
efusi pleura berulang.


Semua pasien pulih kecuali satu pasien, yang mengalami
komplikasi gagal napas tipe II dengan MODS sekunder
severe sepsis dan meninggal.
Ada tiga kasus kehamilan. Dua yang pertama memiliki
peritonitis perforasi dan dilakukan laparotomy darurat :
reseksi segmental dan ileostomy dilakukan dalam kedua
kasus. Kedua pasien ini mengalami aborsi spontan dan tentu
saja pasca operasi dengan sepsis berat. Satu dari mereka
meninggal karena MODS. Kasus ketiga mengalami obstruksi
usus akut yang tidak begitu parah. Pasien ini ditingkatkan
pada manajemen konservatif; hamil 38 minggu dilakukan
operasi caesar elektif dan menjalani operasi pelepasan band
dan adhesiolisis untuk ileus daerah di ileum terminal.


Secara keseluruhan angka kematian pasca operasi
adalah 2,6% dalam penelitian kami yang
sebanding dengan yang dijelaskan oleh penulis
lainnya. Secara keseluruhan rata-rata durasi rawat
inap di rumah sakit adalah 14 hari yang sama
dengan temuan penulis lainnya. Penelitian bersifat
retrospektif, memiliki keterbatasan, tetapi tidak
mengganggu tujuan penelitian. Selain itu, tes PCR
tidak dilakukan karena biaya yang tinggi dan
ketersediaan alat yang terbatas hanya di pusat
saja.

KESIMPULAN

TB abdominal tetap menjadi diagnostik yang rumit,


memiliki beragam gejala klinis, dan tidak ada tes
laboratorium yang khusus.
Diagnosis
dini
adalah
faktor
kunci
dalam
menghindari komplikasi sistemik dan lokal dari
tuberkulosis intestinal.
Oleh karena itu tingginya indeks kecurigaan klinis
diperlukan.
Laparoscopy bisa berfungsi sebagai alat diagnostik
yang penting, serta sarana untuk mendapatkan
cairan dan jaringan untuk tes konfirmasi lebih lanjut.

Identifikasi gejala dan tanda-tanda di pelayanan


tingkat primer dan rujukan yang tepat waktu dapat
menyelamatkan banyak nyawa.
Untuk pasien dalam keadaan darurat, pembedahan
darurat
diperlukan untuk menghindari ancaman komplikasi.
Sebuah prosedur definitif dalam bentuk reseksi
segmen yang sakit dan anastomosis primer adalah
pilihan yang aman dan bypass lesi obstruktif sebagian
besar telah diadopsi.
Tapi pada peritonitis prosedur dua tahap dengan
ileostomy sementara adalah pilihan yang lebih baik.
Penggunaan antitubercular sebagai terapi yang

Anda mungkin juga menyukai