Anda di halaman 1dari 7

1.1.

Systemic Lupus Erythematous (SLE)


2.1.1 Definisi

SLE merupakan penyakit radang multisistem yang sebabnya belum diketahui, dengan
perjalanan penyakit yang mungkin akut dan fulminan atau kronik remisi dan eksaserbasi. SLE
merupakan prototipe dari penyakit autoimun sistemik dimana autoantibodi dibentuk melawan
sel tubuhnya sendiri. Karakteristik primer peyakit ini berupa kelemahan, nyeri sendi, dan traum
berulang pada pembuluh darah. SLE melibatkan hampir semua organ, namun paling sering
mengenai kulit, sendi, darah, membran serosa, jantung dan ginjal.3

2.1.2 Etiologi

Hingga kini penyebab SLE belum diketahui dengan jelas. Namun diperkirakan berkaitan
erat dengan beberapa faktor, antara lain autoimun, kelainan genetik, faktor lingkungan, obatobatan
Autoimun :
Mekanisme primer SLE adalah autoimunitas, suatu proses kompleks dimana sistem imun
pasien menyerang selnya sendiri. Pada SLE, sel-T menganggap sel tubuhnya sendiri sebagai
antigen asing dan berusaha mengeluarkannya dari tubuh. Diantara kejadian tersebut terjadi
stimulasi limfosit sel B untuk menghasilkan antibodi, suatu molekul yang dibentuk untuk
menyerang antigen spesifik. Ketika antibodi tersebut menyerang sel tubuhnya sendiri, maka
disebut autoantibodi. Sel B menghasilkan sitokin. Sitokin tertentu disebut interleukin, seperti IL
10 dan IL 6, memegang peranan penting dalam SLE yaitu dengan mengatur sekresi autoantibodi
oleh sel B.4
Pada sebagian besar pasien SLE, antinuklear antibodi (ANA) adalah antibodi spesifik
yang menyerang nukleus dan DNA sel yang sehat. Terdapat dua tipe ANA, yaitu anti-doule
stranded DNA (anti-ds DNA) yang memegang peranan penting pada proses autoimun dan antiSm antibodies yang hanya spesifik untuk pasien SLE. Dengan antigen yang spesifik, ANA
membentuk kompleks imun yang beredar dalam sirkulasi sehingga pengaturan sistem imun pada

SLE terganggu yaitu berupa gangguan klirens kompleks imun besar yang larut, gangguan
pemrosesan kompleks imun dalam hati, dan penurunan uptake kompleks imun oleh ginjal.
Sehingga menyebabkan terbentuknya

deposit kompleks imun di luar sistem fagosit

mononuklear. Kompleks ini akan mengendap pada berbagai macam organ dan menyebabkan
terjadinya fiksasi komplemen pada organ tersebut dan aktivasinya menghasilkan substansi yang
menyebabkan radang. Reaksi radang inilah yang menyebabkan keluhan pada organ yang
bersangkutan.4,5
Sekitar setengah dari pasien SLE memiliki antibodi antifosfolipid. Antibodi ini
menyerang fosfolipid, suatu kumpulan lemak pada membran sel. Antifosfolipid meningkatkan
resiko menggumpalnya darah, dan mungkin berperan dalam penyempitan pembuluh darah serta
rendahnya jumlah hitung darah.5
Antibodi tersebut termasuk lupus antikoagulan (LAC) dan antibodi antikardiolipin
(ACAs). Mungkin berupa golongan IgG, IgM, IgA yang berdiri sendiri-sendiri ataupun
kombinasi. Sekalipun dapat ditemukan pada orang normal, namun mereka juga dihubungkan
dengan sindrom antibodi antifosfolipid, dengan gambaran berupa trombosis arteri dan/atau vena
berulang, trombositopenia, kehilangan janin-terutama kelahiran mati, pada pertengahan kedua
kehamilan. Sindrom ini dapat terjadi sendirian atau bersamaan dengan SLE atau gangguan
autoimun lainnya.5
Genetik
Faktor genetik memegang peranan penting dalam kerentanan dan ekspresi penyakit.
Sekitar 10-20% pasien SLE memiliki kerabat dekat yang juga menderita SLE. Saudara kembar
identik sekitar 25-70% (setiap pasien memiliki manifestasi klinik yang berbeda) sedangkan nonidentik 2-9%. Jika seorang ibu menderita SLE maka kemungkinan anak perempuannya untuk
menderita penyakit yang sama adalah 1:40 sedangkan anak laki-laki 1:25. Penelitian terakhir
menunjukkan adanya peran dari gen-gen yang mengkode unsur-unsur sistem imun. Kaitan
dengan haptolip MHC tertentu, terutama HLA-DR 2 dan HLA-DR3 serta komplemen (C1q , C1r ,
C1s , C4 dan C2) telah terbukti.5
Suatu penelitian menemukan adanya kelainan pada 4 gen yang mengatur apoptosis, suatu
proses alami pengrusakan sel. Penelitian lain menyebutkan bahwa terdapat beberapa kelainan

gen pada pasien SLE yang mendorong dibentuknya kompleks imun dan menyebabkan kerusakan
ginjal.5
Faktor lingkungan
Satu atau lebih faktor eksternal dapat memicu terjadinya respon autoimun pada seseorang
dengan kerentanan genetik. Pemicu SLE termasuk, flu, kelelahan, stres, kontrasepsi oral, bahan
kimia, sinar matahari dan beberapa obat-obatan.
Virus. Pemicu yang paling sering menyebabkan gangguan pada sel T adalah virus.
Beberapa penelitian menyebutkan adanya hubungan antara virus Epstein-Barr, cytomegalovirus
dan parvovirus-B19 dengan SLE. Penelitian lain menyebutkan adanya perbedaan tipe khusus
SLE bagian tiap-tiap virus, misalnya cytomegalovirus yang mempengaruhi pembuluh darah dan
menyebabkan fenomena Raynaud (kelainan darah), tapi tidak banyak mempengaruhi ginjal.6
Sinar matahari. Sinar ultraviolet (UV) sangat penting sebagai pemicu tejadinya SLE.
Ketika mengenai kulit, UV dapat mengubah struktur DNA dari sel di bawah kulit dan sistem
imun menganggap perubahan tersebut sebagai antigen asing dan memberikan respon autoimun.6
Drug-Induced Lupus. Terjadi setelah pasien menggunakan obat-obatan tertentu dan
mempunyai gejala yang sama dengan SLE. Karakteristik sindrom ini adalah radang
pleuroperikardial, demam, ruam dan artritis. Jarang terjadi nefritis dan gangguan SSP. Jika obatobatan tersebut dihentikan, maka dapat terjadi perbaikan manifestasi klinik dan dan hasil
laoratoium.6
Hormon. Secara umum estrogen meningkatkan produksi antibodi dan menimbulkan
flare sementara testosteron mengurangi produksi antibodi. Sitokin berhubungan langsung dengan
hormon sex. Wanita dengan SLE biasanya memiliki hormon androgen

yang rendah, dan

beberapa pria yang menderita SLE memiliki level androgen yang abnormal. Penelitian lain
menyebutkan bahwa hormon prolaktin dapat merangsang respon imun.6
2.1.3 Epidemiologi

Di Amerika Serikat hingga bulan Maret tahun 2000 terdapat 500.000 pasien telah
didiagnosa sebagai SLE. Prevalensi SLE di Amerika Serikat yaitu antara14,6/100.000-

50,8/100.000. Insiden bervariasi antara 1,8-1,6/100.000 per tahun. Insiden SLE bervariasi di
seluruh dunia. Eropa Utara telah melaporkan adanya SLE sebesar 40/100.000.2
Ras Afrika-Amerika tiga hingga empat kali lebih rentan terhadap SLE dibandingkan
wanita kulit putih. Ras Amerika latin dan Asia juga rentan terhadap penyakit ini.

Pada anak-

anak prevalensi SLE antara 0/100.000 pada wanita kulit putih di bawah usia 15 tahun sampai
31/100.000 pada wanita Asia usia 10-20 tahun. Insiden SLE pada usia 10-20 tahun bervariasi
yaitu 4,4/100.000 pada wanita kulit putih, 31/100.000 pada wanita Asia, 19,86/100.000 pada
kulit hitam dan 13/100.000 pada Amerika latin.3
Beberapa data yang ada di Indonesia diperoleh dari 3 penelitian yang berbeda di RS.
Cipto Mangunkusumo Jakarta yaitu antara tahun 1969-1970 ditemukan 5 kasus, tahun 19721976 ditemukan 1 kasus, dan tahun 1988-1990 insiden rata-rata ialah 37,7/10.000 perawatan.
Penelitian oleh Purwanto dkk di Yokyakarta tahun 1983-1986 melaporkan insiden sebesar
10,1/10.000 perawatan. Penelitian di Medan oleh Tagiran antara tahun 1984-1986 mendapatkan
insiden sebesar 1,4/10.000 perawatan.3

2.1.4 Gejala Klinis

Gejala klinis dan perjalanan penyakit SLE sangat bervariasi. Onset penyakit dapat
spontan atau didahului oleh faktor presipitasi. Setiap serangan biasanya disertai dengan gejala
umum yang jelas seperti demam, malaise, kelemahan, nafsu makan berkurang, berat badan
menurun, dan iritabilitas. Yang paling menonjol adalah demam, kadang-kadang disertai
menggigil. Banyak wanita SLE menderita flare pada fase postovulasi dari siklus menstruasi, dan
mengalami resolusi ketika telah terjadi haid.6
Muskuloskeletal
Gejala yang paling sering berupa artritis atau atralgia (53-95%) dan biasanya mengawali
gejala yang lain. Selain kelemahan dan edema dapat pula terjadi efusi yang bersamaan dengan
poliartritis yang bersifat simetris, nonerosif, dan biasanya tanpa deformitas , bukan kontraktur
atau ankilosis. Kaku pagi hari jarang ditemukan. Adakalanya terdapat nodul reumatoid. Mungkin

juga terdapat nyeri otot dan miositis. 1 Paling sering mengenai interfalangeal proksimal (PIP) dan
metakarpofalangeal, pergelangan tangan, siku dan lutut.7
Gejala mukokutan
Ruam kulit yang dianggap khas untuk SLE adalah ruam kulit berbentuk kupu-kupu
(butterfly rash) berupa eritema pada hidung dan kedua pipi (55-90%). Pada bagian tubuh yang
terpapar matahari dapat timbul ruam kulit yang terjadi karena hipersensitivitas.7
Lesi diskoid berkembang melalui 3 tahap yaitu eritema, hiperkeratosis dan atrofi.
Biasanya tampak sebagai bercak eritematosus yang meninggi, tertutup oleh sisik keratin disertai
penyumbatan folikel, dan jika telah berlangsung lama akan terbentuk sikatriks.7
Vaskulitis kulit dapat berupa memar yang dalam dan bisa menyebabkan ulserasi serta
perdarahan jika terjadi pada membran mukosa mulut, hidung, atau vagina. Pada beberapa orang
dapat terjadi livido retikularis, lesi ungu-kemerahan pada jari-jari tangan dan kaki atau dekat
kuku jari. Alopesia dapat pulih kembali jika penyakit mengalami remisi. Kadang-kadang
terdapat urtikaria yang tidak dipengaruhi oleh kortikosteroid dan antihistamin. Biasanya hilang
beberapa bulan setelah penyakit tenang secara klinis dan serologis.7
Ginjal
Sebanyak 70% pasien SLE akan mengalami kelainan ginjal. Pengendapan komplek imun
yang mungkin mengandung

ds-DNA, bertanggung jawab

atas terjadinya kelainan ginjal.

Bentuk in situ kompleks imun memungkinkan pengikatan DNA ke membran basalis glomeruluis
dan matriks ekstraseluler. Dengan mikroskop elektron, kompleks imun akan tampak dalam pola
kristalin di daerah mesangeal, subendotelial atau subepitelial. IgG merupakan imunoglobulin
yang paling sering tampak diikuti oleh IgA dan IgM. Kadang-kadang tampak IgG, IgA, IgM,
C3, C4 dan C1q pada glomerulus yang sama (pola full house).8

Sistem saraf
Gangguan neurologik

mengenai 25% penderita SLE. Disfungsi mental ringan

merupakan gejala yang paling umum, namun dapat pula mengenai setiap daerah otak, saraf

spinal, atau sistem saraf. Beberapa gejala yang mungkin tampak adalah seizure, psikosis, organic
brain syndrome, dan sakit kepala. Pencitraan otak menunjukkan adanya kerusakan serabut saraf
dan mielin. Gejala yang tampak berupa irritabilitas, kecemasan, depresi, serta gangguan ingatan
dan konsentrasi ringan.8
Kardiovaskuler
Kelainan jantung dapat berupa perikarditis ringan sampai berat (efusi perikard), iskemia
miokard dan endokarditis verukosa (Libman Sacks). Keadaan tersebut dapat menimbulkan nyeri
dan arithmia.8
Paru
Efusi pleura , dan pleuritis dapat terjadi pada SLE. Diagnosis pneumonitis lupus baru
dapat ditegakkan jika faktor-faktor lain telah disingirkan seperti infeksi, virus jamur,
tuberkulosis. Gejalanya berupa takipnea, batuk, dan demam. Hemoptisis menandakan terjadinya
pulmonary hemorhage. Nyeri dada dan pernapasan pendek sering tejadi bersama gangguan
tersebut.7,8
Saluran pencernaan
Sekitar 45% pasien SLE menderita masalah gastrointestinal, termasuk nausea, kehilangan
berat badan, nyeri abdomen ringan, dan diare. Radang traktus intestinal jarang terjadi yaitu
sekitar 5% pasien dan menyebabkan kram akut, muntah, diare, dan walaupun jarang, perforasi
usus. Retensi cairan dan pembengkakan dapat menyebabkan terjadinya obstruksi intestinal.7,8
Mata
Peradangan pembuluh darah pada mata dapat mengurangi suplai darah ke retina,
sehingga menyebabkan degenerasi sel saraf dan resiko terjadinya perdarahan retina. Gejala yang
paing umum adalah cotton-wool-like spots pada retina. Sekitar 5% pasien mengalami kebutaan
sementara yang terjadi secara tiba-tiba. Kelainan lain berupa konjungtivitis, edema periorbital,
perdarahan subkonjungtival, uveitis dan adanya badan sitoid di retina.7,8

2.1.5 Diagnosis

Diagnosis SLE dibuat jika memenuhi paling sedikit 4 diantara 11 manifestasi berikut
(kriteria dari the American Rheumatism Association) :

Eritema fasial (butterfly rash)

Lesi diskoid

Fotosensitivitas

Oral ulcers

Arthritis

Serositis (pleuritis or perikarditis)

Gangguan ginjal (persistent proteinuria (> 0,5 g/hari) atau cellular casts)

Gangguan neurologi (seizures atau psykhosis)

Gangguan hematologi (anemia hemolitik, leukopenia (<4000/uL) atau limfopenia pada 2


atau lebih pemeriksaan, trombositopenia)

Gangguan Immunologi (preparat sel LE positif, jumlah anti-DNA atau anti-Sm


abnormal, tes VDRL sifilis positif palsu)

Abnormal ANA titer.9

Anda mungkin juga menyukai