Anda di halaman 1dari 11

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Definisi
Tetanus didefinisikan sebagai suatu penyakit infeksi akut yang disebabkan
oleh toksin tetanus yang dihasilkan oleh bakteri Clostridium tetani dan
mengakibatkan gejala defisit neurologis, seperti kejang tonik.3,6
2.2. Epidemiologi
Tetanus ditemukan diseluruh dunia,terjadi secara sporadis atau secara
"outbreak" dalam skala yang kecil. Saat ini dinegara-negara maju sudah jarang
ditemukan, sedangkan di negara agraris dimana kontak dengan kotoran hewan
masih dimungkinkan, tetanus masih sering ditemukan. Pada dewasa, laki-laki
lebih sering dari pada wanita, yaitu 2,5:1, kebayakan pada usia produktif.6
2.3. Etiologi
Tetanus disebabkan oleh bakteri basilus Gram (+), yaitu Clostridium
tetani. C. tetatni merupakan bakteri yang berhabitat di tanah dan dapat juga
ditemukan pada kotoran hewan dan manusia.4 C. tetani hidup pada lingkungan
yang anaerob obligat. Bakteri ini berspora dan motil. Spora yang dihasilkan oleh
C.tetani dapat dihancurkan dengan proses pemanasan pada suhu 120 oC selama 15
menit.
Bakteri C.tetani menghasilkan toksin berupa exotoxin. Exotoxin yang
dihasilkan inilah yang kemudian menimbulkan manifestasi klinis pada penyakit
tetanus. DNA dari toksin tersebut dapat ditemukan pada plasmid. Ditemukannya
bakterium tidak mengindikasikan bahwa seseorang terinfeksi, karena tidak semua
bakteri C.tetani memiliki plasmid.5
2.4. Klasifikasi10
2.4.1. Tetanus tipe generalisata

Bentuk ini yang paling banyak dikenal. Sering menyebabkan komplikasi


yang tidak dikenal beberapa tetanus lokal oleh karena gejala timbul secara diamdiam. Trismus merupakan gejala utama yang sering dijumpai (50%), yang
disebabkan oleh kekakuan otot-otot masseter, bersamaan dengan kekakuan otot
leher yang menyebabkan terjadinya kaku kuduk dan kesulitan menelan. Gejala
lain berupa Risus Sardonicus (Sardonic grin) yakni spasme otot-otot muka,
opistotonus ( kekakuan otot punggung), kejang dinding perut. Spasme dari laring
dan otot-otot pernafasan bisa menimbulkan sumbatan saluran nafas, sianose
asfiksia. Bisa terjadi disuria dan retensi urine,kompressi fraktur dan pendarahan
didalam otot. Kenaikan temperatur biasanya hanya sedikit, tetapi begitupun bisa
mencapai 40oC. Bila dijumpai hipertermi ataupun hipotermi, tekanan darah tidak
stabil dan dijumpai takikardia.
2.4.2. Tetanus tipe lokasisata
Pada lokal tetanus dijumpai adanya kontraksi otot yang persisten, pada
daerah tempat dimana luka terjadi (agonis, antagonis, dan fixator). Hal inilah
merupakan tanda dari tetanus lokal. Kontraksi otot tersebut biasanya ringan, bisa
bertahan dalam beberapa bulan tanpa progressif dan biasanya menghilang secara
bertahap.
2.4.3. Neotal tetanus
Biasanya disebabkan infeksi C. tetani, yang masuk melalui tali pusat
sewaktu proses pertolongan persalinan. Spora yang masuk disebabkan oleh proses
pertolongan persalinan yang tidak steril, baik oleh penggunaan alat yang telah
terkontaminasi spora C.tetani, maupun penggunaan obat-obatan untuk tali pusat
yang telah terkontaminasi.
2.5. Patogenesis
Tetanus disebabkan neurotoksin (tetanospasmin) dari bakteri Gram positif
anaerob, Clostridium tetani, dengan mula-mula 1 hingga 2 minggu setelah
inokulasi bentuk spora ke dalam tubuh yang mengalami cedera/luka (masa

inkubasi). Penyakit ini merupakan 1 dari 4 penyakit penting yang manifestasi


klinis utamanya adalah hasil dari pengaruh kekuatan eksotoksin (tetanus, gas
ganggren, dipteri, botulisme).1 Tempat masuknya kuman penyakit ini bisa berupa
luka yang dalam yang berhubungan dengan kerusakan jaringan lokal, tertanamnya
benda asing atau sepsis dengan kontaminasi tanah, lecet yang dangkal dan kecil
atau luka geser yang terkontaminasi tanah, trauma pada jari tangan atau jari kaki
yang berhubungan dengan patah tulang jari dan luka pada pembedahan dan
pemotonga tali pusat yang tidak steril.
Pada keadaan anaerobik, spora bakteri ini akan bergerminasi menjadi sel
vegetatif bila dalam lingkungan yang anaerob, dengan tekanan oksigen jaringan
yang rendah. Selanjutnya, toksin akan diproduksi dan menyebar ke seluruh bagian
tubuh melalui peredaran darah dan sistem limpa. Toksin tersebut akan beraktivitas
pada tempat-tempat tertentu seperti pusat sistem saraf termasuk otak. Gejala klinis
timbul

sebagai

dampak

eksotoksin

pada

sinaps

ganglion

spinal

dan

neuromuscular junction serta syaraf autonom.6 Toksin dari tempat luka menyebar
ke motor endplate dan setelah masuk lewat ganglioside dijalarkan secara
intraaxonal ke dalam sel saraf tepi, kemudian ke kornu anterior sumsum tulang
belakang. Akhirnya menyebar ke SSP. Gejala klinis yang ditimbulakan dari
eksotoksin terhadap susunan saraf tepi dan pusat tersebut adalah dengan memblok
pelepasan dari neurotransmiter sehingga terjadi kontraksi otot yang tidak
terkontrol/ eksitasi terus menerus dan spasme. Neuron ini menjadi tidak mampu
untuk

melepaskan

neurotransmitter.

Neuron,

yang

melepaskan

gamma

aminobutyric acid (GABA) dan glisin, neurotransmitter inhibitor utama, sangat


sensitif terhadap tetanospasmin, menyebabkan kegagalan penghambatan refleks
respon motorik terhadap rangsangan sensoris. Kekakuan mulai pada tempat
masuknya kuman atau pada otot masseter (trismus), pada saat toxin masuk ke
sumsum tulang belakang terjadi kekakuan yang berat, pada extremitas, otot-otot
bergari pada dada, perut dan mulai timbul kejang. Bilamana toksin mencapai
korteks serebri, menderita akan mulai mengalami kejang umum yang spontan.
Karakteristik dari spasme tetani ialah menyebabkan kontraksi umum kejang otot
agonis dan antagonis. Racun atau neurotoksin ini pertama kali menyerang saraf

tepi terpendek yang berasal dari system saraf kranial, dengan gejala awal distorsi
wajah dan punggung serta kekakuan dari otot leher.
Tetanospasmin pada system saraf otonom juga verpengaruh, sehingga
terjadi gangguan pernapasan, metabolism, hemodinamika, hormonal, saluran
cerna, saluran kemih, dan neuromuscular. Spasme larynx, hipertensi, gangguan
irama janjung, hiperflexi, hyperhidrosis merupakan penyulit akibat gangguan
saraf ototnom, yang dulu jarang karena penderita sudah meninggal sebelum gejala
timbul.4,5 Dengan penggunaan diazepam dosis tinggi dan pernapasan mekanik,
kejang dapat diatasi namun gangguan saraf otonom harus dikenali dan di kelola
dengan teliti.
Tetanospasmin adalah toksin yang menyebabkan spasme, bekerja pada
beberapa level dari susunan syaraf pusat, dengan cara :
Toksin menghalangi neuromuscular transmission dengan cara menghambat
pelepasan acethyl-choline dari terminal nerve di otot.
Karakteristik spasme dari tetanus terjadi karena toksin mengganggu fungsi dari
refleks synaptik di spinal cord.
Kejang pada tetanus, mungkin disebabkan pengikatan dari toksin oleh cerebral
ganglioside.
Beberapa penderita mengalami gangguan dari Autonomik Nervous System
(ANS ) dengan gejala : berkeringat, hipertensi yang fluktuasi, periodisiti
takikhardia, aritmia jantung, peninggian cathecholamine dalam urine.
Timbulnya kegagalan mekanisme inhibisi yang normal, yang menyebabkan
meningkatnya aktifitas dari neuron yang mensarafi otot masetter sehingga terjadi
trismus. Oleh karena otot masetter adalah otot yang paling sensitif terhadap toksin
tetanus tersebut. Stimuli terhadap afferen tidak hanya menimbulkan kontraksi
yang kuat, tetapi juga dihilangkannya kontraksi agonis dan antagonis sehingga
timbul spasme otot yang khas .
Ada dua hipotesis tentang cara bekerjanya toksin, yaitu1,11:
1. Toksin diabsorbsi pada ujung syaraf motorik dari melalui sumbu silindrik
dibawa kekornu anterior susunan syaraf pusat

2. Toksin diabsorbsi oleh susunan limfatik, masuk kedalam sirkulasi darah arteri
kemudian masuk kedalam susunan syaraf pusat.
Akibat dari tetanus adalah rigid paralysis (kehilangan kemampuan untuk
bergerak) pada voluntary muscles (otot yang geraknya dapat dikontrol), sering
disebut lockjaw karena biasanya pertama kali muncul pada otot rahang dan wajah.
Kematian biasanya disebabkan oleh kegagalan pernafasan dan rasio kematian
sangatlah tinggi.

2.6. Manifestasi Klinis


Gejala klinis tetanus sering muncul setelah didahului oleh riwayat luka.
Kontaminasi luka oleh tanah, pupuk, atau besi berkarat dapat menyebabkan
tetanus. Tetanus juga dapat terjadi sebagai hasil komplikasi dari luka bakar, ulser,
gangrene, luka gigitan ular, infeksi telinga tengah, aborsi, proses kelahiran, injeksi
intramuskular, dan operasi.
Terdapat triad gejala klinis dari tetanus, yaitu rigiditas, spasme otot, dan
kasus berat, disfungsi autonom. Kaku pada leher, nyeri tenggorok, dan kesulitan
membuka mulut sering muncul sebagai gejala awal.8 Spasme dari otot masseter
dapat menyebabkan trismus atau lockjaw. Spasme kemudian secara progresif
mengenai otot wajah dan menyebabkan ekspresi wajah yang tipikal, risus
sardonicus, dan spasme pada otot menelan menyebabkan klinis sulit disfagia
(Gambar 2.1). Rigiditas pada trunkus akan menyebab manifestasi klinis berupa
opistotonus dan gangguan pernapasan oleh berkurangnya compliance dinding
dada (Gambar 2.2).
Pada tetanus tipe generalisata, spasme mengenai seluruh otot tubuh.
Spasme dan rigiditas pertama sekali muncul pada otot kepala dan leher kemudian
menyebar secara progresif ke daerah kaudal.
Tetanus lokal sering muncul pada keadaan dimana infeksi toksin terjadi
pada daerah yang lebih perifer. Spasme dan rigiditas pada tetanus lokal terjadi
hanya pada daerah tertentu dari tubuh. Angka kematian pada tetanus tipe ini lebih
rendah.9

Angka kematian pada tetanus neonatorum di dunia adalah lebih dari 50%,
tetapi jarang dijumpai pada negara maju. Gejala klinis muncul seminggu setelah
kelahiran berupa kesulitan makan, muntah, dan kejang. Spasme yang terjadi sama
dengan tipe generalisata. Rendahnya tingkat higienitas pada umbilikal merupakan
penyebab utama pada tetanus tipe ini, akan tetapi hal ini dapat dicegah dengan
vaksinasi oleh ibu sejak kehamilan (Gambar 2.2; 2.3).
Tetanus juga dapat mempengaruhi pada pusat saraf simpatis. Hal ini
menimbulkan gejala klinis berupa takikardia dan hipertensi yang diakibatkan oleh
vasokonstriksi. Efek autonomik lainnya berupa salivasi yang berlebih dan
peningkatan sekresi bronkial. Hipotensi, bradikardi, dan asistol dapat dijumpai
pada peningkatan fungsi vagal yang diakibatkan oleh tergangunya sistem
parasimpatis.10
Tingkat keparahan tetanus berdasarkan manifestasi klinis8:
Grade Manifestasi Klinis
I
Mild: trismus (ringan-sedang), tidak ada gangguan respirasi, spasme (-),
II

disfagia (-).
Moderate: trismus (sedang), rigiditas (+), spasme (ringan-sedang),

III

RR>30kali/menit, disfagia ringan.


Severe: trismus (berat), spastisitas

IV

RR>40kali/menit, disfagia berat, HR > 120 kali/menit.


Very severe: Gejala grade III dan gangguan autonomik pada sistem

generalisata,

spasme

lama,

kardiovaskular, hipertensi dan takikardia, hipotensi dan bradikardia.

Gambar 2.1 Risus sardonicus

Gambar 2.2 Opistotonus severe pada tetanus neonatorum

Gambar 2.3 Spasme Fleksi Legan pada Tetanus Neonatorus


2.7. Diagnosa
Diagnosis tetanus berdasarkan atas pemeriksaan klinis, pemeriksaan darah
dan cairan cerebrospinal normal, berupa :
1.Gejala klinik - Kejang tetanic, trismus, disfagia, risus sardonicus.
2. Adanya luka yang mendahuluinya. Riwayat ini kadang dilupakan oleh
pasien.
3. Kultur: C. tetani (+),basil tetanus ditemukan hanya pada sekitar 30%
kultur anaerob dari luka yang dicurigai.
4. Lab : SGOT, CPK meninggi serta dijumpai myoglobinuria.

2.8. Penatalaksanaan
Perawatan luka : Pada luka yang dicurigai harus dilakukan debridement
yang baik sekaligus mengangkat kuman yang menghasilkan toksin.
ANTITOXIN DAN ANTIBIOTIK
Human anti tetanus gamma-glubumin 3000-10.000 unit, diberikan secara
intra muskuler dan dapat diulang bila diperlukan. Tetanus anti toksin tidak akan
menetralisir toksin yang sudah terikat pada susunan saraf pusat, tetapi hanya
menetralisir toksin yang masih beredar. Bila TIGH tidak tersedia maka diberikan
ATS dengan dosis 100.000 - 200.000 unit diberikan 50.000 unit intramuscular dan
50.000 intravena pada hari pertama, kemudian 60.000 unit dan 40.000 unit
intramuskuler masing-masing pada hari kedua dan ketiga. Setelah penderita
sembuh, sebelum keluar rumah sakit harus diberikan immunisasi aktif dengan
toksoid, oleh karena seseorang yang sudah sembuh dari tetanus tidak memiliki
kekebalan.
Antibiotika : Kuman tetanus pada umumnya sensitif terhadap penicillin,
oleh karena clostridium tetani berada pada daerah anaerob dimana perfusi jaringan
jelek, maka diperlukan antibiotika dosis tinggi untuk memcapai daerah tersebut.
Akan tetapi dengan adanya infeksi campuran dengan kuman-kuman penghasil
betalaktamase maka pinicillin menjadi kurang efektif. Akhir-akhir ini diketahui
bahwa Metronidazol dapat mencegah tetanus dan terbukti lebih efektif dibanding
dengan penicillin. Alternatif lain bila penderita tidak tahan terhadap penicillin,
juga boleh diberikan tetracyiclin.
Bahwa toxin adalah masih ada pada saat gejala pertama dari timbul gejala.
Oleh karena itu maka diberi antitoxin. Untuk mencegah penyebaran infeksi
pyogenik, sisi dari trauma haruslah di eksisi luas dengan "minimal handling" dari
jaringan dan luka dibiarkan terbuka.
CAIRAN NUTRISI

10

Protein yang sedang, calori yang banyak diberikan tiap hari. Pada kasus
yang ringan, boleh intake oral. Biasanya pasien dengan trismuspun diberi cairan
biasanya dengan sedotan. Pada kasus yang berat dan sedang, nasogastrik atau I.V
dapat diberikan.
KONTROL KEJANG
Sejak perkenalan paralisis dan intermittent positive pressure ventilation
(IPPV) mortalitas tetanus yang berat turun sampai kurang dari 4% pada dewasa
dan 20% pada neonatus. (4). Terapi seperti itu hanya dapat dilakukan pada unut
dengan ratio staff: pasien yang tinggi. Pada negara yang belum berkrmbang
mortalitas pada dewasa mungkin dibawah 20% apabila keinginan merawat dan
sedasi adaquat.
SEDASI
Sebagian besar pasien ditemukan bahwa tetanus dan pengobatannya
merupakan siksaan yang menakutkan dan sangat menyakitkan. Sebagai
konsekwensinya, mereka harus menerima sedasi sebanyak yang aman yang dapat
diberikan. Bagaimanapun obat-obat yang menyebabkan depresi pernafasan dan
cardiovasculer harus dihindari. Opium dan dan barbiturat merupakan kontra
indikasi. Paraldehhyde masih tetap merupakan preparat yang biasanya banyak
digunakan, dalam dosis diatas
12 ml setiap 4 jam dengan menggunakan nasogastric tube (pengenceran) 1:10)
atau dengan intramuskular. 10-20 mg diazepam setiap 4-6 jam atau 100-200 mg
cholorpromazine setiap 4 jam juga dapat diberikan meskipun sydrom dari
simpatik dapat sering terjadi.

2.9. Prognosis
Prognosis dari Tetanus dapat dinilai dengan tabel PHILLIPS SCORE
1.Masa inkubasi

< 2 hari
2-5 hari
6-8 hari

Score
5
4
3
11

11-14 hari
2
>15 hari
1
2. Tempat infeksi
Umbilikus
5
kepala/leher
4
badan
3
extremitas atas proximal
3
extremitas bawah proximal
3
extremitas atas distal
2
axtremitas bawah distal
2
tidak diketahui
1
3. Imunisasi
Belum pernah
10
Mungkin pernah
8
Pernah > 10 tahun yang lalu
4
Pernah < 10 tahun yang lalu
2
Imunisasi lengkap
0
4. Faktor penyerta
Trauma yang mengancam jiwa
10
Trauma berat
8
Trauma sedang
4
Trauma ringan
2
A.S.A derajat 1
1
FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PROGNOSE PENYAKIT
5. Derajat spasme
Epitotonus
6
Reflek spasme umum
4
Spasme terbatas
3
Spastistas umum
2
Trismus
1
6. Frekuensi spase
Spontan >3x/15 menit
5
spontan <3x/15 menit
4
kadang-kadang spontan
3
<6x/12 jam
0
7. Suhu badan
>38.9 derajat
10
38,3-38,8
8
37,2-37,7
2
36,7-37,1
0
8.Pernapasan
Trakeostomi
10
Henti napas tiap konpulasi
8
Henti napas, kadang-kadang tiap 4
konvulsi
Henti
napas,
hanya
selama 2
konvulasi
0
12

Normal
Interpretasi:

<10:RINGAN, dapat sembuh sepontan

10-14: SEDANG, harus selamat dengan perawatan standar yang layak

15-23: BERAT, harapan hidup tergantung pada kwalitas pengobatan.

> 24 : SANGAT BERAT, umumnya berakhir dengan kematian.

13

Anda mungkin juga menyukai