PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Systemic Lupus Erythematous (SLE) adalah suatu keadaan fatal yang
merupakan gangguan autoimun kronis dengan prevalensi yang berkisar antara 20150 kasus per 100.000 orang. Penelitian menunjukkan SLE 10 kali lebih sering
pada wanita dibanding pria dan 2 hingga 3 kali lebih sering pada orang afrikaamerika dan amerika latin dibanding orang kaukasia. SLE merupakan gangguan
autoimun yang paling sering terjadi pada wanita pada usia reproduktif.
Eksaserbasi SLE terjadi pada 20-30 % pasien hamil dengan SLE. Flares atau
gejala eksaserbasi SLE jarang ditemui pada kehamilan dan biasanya dapat dengan
mudah diatasi. Tanpa adanya laporan literatur pasti yang mendukung para
reumatologis meyakini flare rate pada kehamilan hanya berkisar 0,06-0,136 per
pasien per bulan. Flare dapat muncul kapan saja pada tiap trimester.
SLE pada kehamilan meningkatkan resiko aborsi spontan, kematian janin
dalam kandungan (KJDK), preeklamsi, intrauterine growth restriction (IUGR)
dan kelahiran prematur. Prognosis untuk ibu ataupun janin akan baik jika SLE
tidak kambuh dalam 6 bulan sebelum kehamilan dan ketika fungsi ginjal ibu
dalam batas normal atau mendekati normal. Kesehatan ibu dan perkembangan
janin harus dimonitor secara teratur pada masa kehamilan.
1.2 Tujuan Pembahasan
Tujuan pembuatan laporan kasus ini adalah untuk memenuhi salah satu
tugas kepaniteraan klinik senior di departemen Obstetri dan Ginekologi RSU dr.
Pirngadi Medan, serta meningkatkan pemahaman mengenai SLE pada kehamilan.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Abortus
2.1.1 Pengertian Abortus
Abortus dapat dibagi atas dua golongan yaitu abortus spontan dan abortus
provokatus. Abortus spontan adalah abortus yang terjadi tanpa tindakan mekanis
dan disebabkan oleh faktor-faktor alamiah. Abortus provokatus adalah abortus
yang terjadi akibat tindakan atau disengaja, baik dengan memakai obat-obatan
maupun alat-alat1.
Abortus adalah berakhirnya kehamilan sebelum janin dapat hidup di dunia
luar, tanpa mempersoalkan penyebabnya. Bayi baru mungkin hidup di dunia luar
bila berat badannya telah mencapai lebih daripada 500 gram atau umur kehamilan
lebih daripada 20 minggu2. Abortus spontan merujuk kepada keguguran pada
kehamilan kurang dari 20 minggu tanpa adanya tindakan medis atau tindakan
bedah untuk mengakhiri kehamilan3.
Abortus
spontan
adalah
merupakan
mekanisme
alamiah
yang
Persen9,10.
Berbagai penyakit infeksi, penyakit kronis, kelainan endokrin, kekurangan
nutrisi, alkohol, tembakau, deformitas uterus ataupun serviks, kesamaan dan
ketidaksamaan immunologik kedua orang tua dan trauma emosional maupun fisik
dapat menyebabkan abortus, meskipun bukti korelasi tersebut tidak selalu
meyakinkan. Isolasi Mycoplasma hominis dan Ureaplasma urelyticum dari traktus
genitalis beberapa wanita yang mengalami abortus, mengarahkan pada hipotesis
bahwa infeksi mycoplasma yang mengenai traktus genitalis, merupakan
abortifasient. Pada kehamilan lanjut, persalinan prematur dapat ditimbulkan oleh
penyakit sistemik yang berat pada ibu. Hipertensi jarang menyebabkan abortus,
tetapi dapat mengakibatkan kematian janin dan persalinan prematur. Abortus
sering disebabkan, mungkin tanpa alasan yang adekuat, kekurangan sekresi
progesteron yang pertama oleh korpus luteum dan kemudian oleh trofoblast.
Karena progesteron mempertahankan desidua, defisiensi relatif secara teoritis
mengganggu nutrisi konseptus dan dengan demikian mengakibatkan kematian.
Pada saat ini, tampak bahwa hanya malnutrisi umum yang berat merupakan
predisposisi meningkatnya kemungkinan abortus. Wanita yang merokok diketahui
lebih sering mengalami abortus spontan daripada wanita yang tidak merokok.
Alkohol dinyatakan meningkatkan resiko abortus spontan, meskipun hanya
digunakan dalam jumlah sedang6.
Kira-kira 10 persen hingga 15 persen wanita hamil yang mengalami
keguguran berulang mempunyai kelainan pada rahim seperti septum parsial atau
lengkap. Anomali ini dapat menyebabkan keguguran melalui implantasi yang
tidak sempurna karena vaskularisasi abnormal, distensi uterus, perkembangan
plasenta yang abnormal dan peningkatan kontraktilitas uterus11.
Faktor Paternal
Translokasi kromosom dalam sperma dapat menyebabkan zigote
mempunyai terlalu sedikit atau terlalu banyak bahan kromosom, sehingga
mengakibatkan abortus6.
perdarahan ke dalam
Buah
kehamilan
terlepas
seluruhnya
atau
pada daerah
perdarahan per
sebagian
yang
diinterpretasikan sebagai benda asing dalam rongga rahim. Hal ini menyebabkan
kontraksi uterus dimulai, dan segera setelah itu terjadi pendorongan benda asing
itu keluar rongga rahim (ekspulsi). Perlu ditekankan bahwa pada abortus spontan,
kematian embrio biasanya terjadi paling lama dua minggu sebelum perdarahan.
Oleh karena itu, pengobatan untuk mempertahankan janin tidak layak dilakukan
jika telah terjadi perdarahan banyak karena abortus tidak dapat dihindari. Sebelum
minggu ke-10, hasil konsepsi biasanya dikeluarkan dengan lengkap. Hal ini
disebabkan sebelum minggu ke-10 vili korialis belum menanamkan diri dengan
erat ke dalam desidua hingga telur mudah terlepas keseluruhannya. Antara
minggu ke-10 hingga minggu ke-12 korion tumbuh dengan cepat dan hubungan
vili korialis dengan desidua makin erat hingga mulai saat tersebut sering sisa-sisa
korion (plasenta) tertinggal kalau terjadi abortus. Pengeluaran hasil konsepsi
didasarkan 4 cara:
i. Keluarnya kantong korion pada kehamilan yang sangat dini, meninggalkan sisa
desidua.
ii. Kantong amnion dan isinya (fetus) didorong keluar, meninggalkan korion dan
desidua.
iii. Pecahnya amnion terjadi dengan putusnya tali pusat dan pendorongan janin ke
luar, tetapi mempertahankan sisa amnion dan korion (hanya janin yang
dikeluarkan).
iv. Seluruh janin dan desidua yang melekat didorong keluar secara utuh. Kuretasi
diperlukan untuk membersihkan uterus dan mencegah perdarahan atau infeksi
lebih lanjut.
abortus
insipiens
(inevitable
abortion),
abortus
inkompletus
Selain itu, disfungsi tiroid, kesalahan korpus luteum dan kesalahan plasenta yaitu
tidak sanggupnya plasenta menghasilkan progesteron sesudah korpus luteum
atrofis juga merupakan etiologi dari abortus habitualis1.
2.1.5.6. Abortus Septik (Septic abortion)
Abortus septik adalah keguguran disertai infeksi berat dengan penyebaran
kuman atau toksinnya ke dalam peredaran darah atau peritoneum. Hal ini sering
ditemukan pada abortus inkompletus atau abortus buatan, terutama yang
kriminalis tanpa memperhatikan syarat-syarat asepsis dan antisepsis. Antara
bakteri yang dapat menyebabkan abortus septik adalah seperti Escherichia coli,
Enterobacter
aerogenes,
Proteus
vulgaris,
Hemolytic
streptococci
dan
Staphylococci1,5.
2.1.6 Diagnosa Abortus
Menurut WHO, setiap wanita pada usia reproduktif yang mengalami dua
daripada tiga gejala seperti di bawah harus dipikirkan kemungkinan terjadinya
abortus13:
1. Perdarahan pada vagina.
2. Nyeri pada abdomen bawah.
3. Riwayat amenorea.
Ultrasonografi penting dalam mengidentifikasi status kehamilan dan
memastikan bahwa suatu kehamilan adalah intrauterin. Apabila ultrasonografi
transvaginal menunjukkan sebuah rahim kosong dan tingkat serum hCG
kuantitatif lebih besar dari 1.800 mIU per mL (1.800 IU per L), kehamilan ektopik
harus dipikirkan. Ketika ultrasonografi transabdominal dilakukan, sebuah rahim
kosong harus menimbulkan kecurigaan kehamilan ektopik jika kadar hCG
kuantitatif lebih besar dari 3.500 mIU per mL (3.500 IU per L). Rahim yang
ditemukan kosong pada pemeriksaan USG dapat mengindikasikan suatu abortus
berulang pada pembuluh darah. SLE melibatkan hampir semua organ, namun
paling sering mengenai kulit, sendi, darah, membran serosa, jantung dan ginjal.
2.2.2 Etiologi
Hingga kini penyebab SLE belum diketahui dengan jelas. Namun
diperkirakan berkaitan erat dengan beberapa faktor, antara lain autoimun, kelainan
genetik, faktor lingkungan, obat-obatan.
Autoimun :
Mekanisme primer SLE adalah autoimunitas, suatu proses kompleks
dimana sistem imun pasien
tipe ANA, yaitu anti-doule stranded DNA (anti-ds DNA) yang memegang peranan
penting pada proses autoimun dan anti-Sm antibodies yang hanya spesifik untuk
pasien SLE. Dengan antigen yang spesifik, ANA membentuk kompleks imun
yang beredar dalam sirkulasi sehingga pengaturan sistem imun pada SLE
terganggu yaitu berupa gangguan klirens kompleks imun besar yang larut,
gangguan pemrosesan kompleks imun dalam hati, dan penurunan uptake
kompleks imun
deposit
serta
dan gangguan SSP. Jika obat-obatan tersebut dihentikan, maka dapat terjadi
perbaikan manifestasi klinik dan dan hasil laoratoium.
Hormon. Secara umum estrogen meningkatkan produksi antibodi dan
menimbulkan flare sementara testosteron mengurangi produksi antibodi. Sitokin
berhubungan langsung dengan hormon sex. Wanita dengan SLE biasanya
memiliki hormon androgen yang rendah, dan beberapa pria yang menderita SLE
memiliki level androgen yang abnormal. Penelitian lain menyebutkan bahwa
hormon prolaktin dapat merangsang respon imun.
2.2.3 Epidemiologi
Di Amerika Serikat hingga bulan Maret tahun 2000 terdapat 500.000
pasien telah didiagnosa sebagai SLE. Prevalensi SLE di Amerika Serikat yaitu
antara14,6/100.000-50,8/100.000. Insiden bervariasi antara 1,8-1,6/100.000 per
tahun. Insiden SLE bervariasi di seluruh dunia. Eropa Utara telah melaporkan
adanya SLE sebesar 40/100.000.
Ras Afrika-Amerika tiga hingga empat kali lebih rentan terhadap SLE
dibandingkan wanita kulit putih. Ras Amerika latin dan Asia juga rentan terhadap
penyakit ini. 3 Pada anak-anak prevalensi SLE antara 0/100.000 pada wanita kulit
putih di bawah usia 15 tahun sampai 31/100.000 pada wanita Asia usia 10-20
tahun. Insiden SLE pada usia 10-20 tahun bervariasi yaitu 4,4/100.000 pada
wanita kulit putih, 31/100.000 pada wanita Asia, 19,86/100.000 pada kulit hitam
dan 13/100.000 pada Amerika latin.
Beberapa data yang ada di Indonesia diperoleh dari 3 penelitian yang
berbeda di RS. Cipto Mangunkusumo Jakarta yaitu antara tahun 1969-1970
ditemukan 5 kasus, tahun 1972-1976 ditemukan 1 kasus, dan tahun 1988-1990
insiden rata-rata ialah 37,7/10.000 perawatan. Penelitian oleh Purwanto dkk di
Yokyakarta tahun 1983-1986 melaporkan insiden sebesar 10,1/10.000 perawatan.
Penelitian di Medan oleh Tagiran antara tahun 1984-1986 mendapatkan insiden
sebesar 1,4/10.000 perawatan.
2.2.4
Gejala Klinis
Gejala klinis dan perjalanan penyakit SLE sangat bervariasi. Onset
penyakit dapat spontan atau didahului oleh faktor presipitasi. Setiap serangan
biasanya disertai dengan gejala umum yang jelas seperti demam, malaise,
kelemahan, nafsu makan berkurang, berat badan menurun, dan iritabilitas. Yang
paling menonjol adalah demam, kadang-kadang disertai menggigil. Banyak wanita
SLE menderita flare pada fase postovulasi dari siklus menstruasi, dan mengalami
resolusi ketika telah terjadi haid.
Muskuloskeletal
Gejala yang paling sering berupa artritis atau atralgia (53-95%) dan
biasanya mengawali gejala yang lain. Selain kelemahan dan edema dapat pula
terjadi efusi yang bersamaan dengan poliartritis yang bersifat simetris, nonerosif,
dan biasanya tanpa deformitas, bukan kontraktur atau ankilosis. Kaku pagi hari
jarang ditemukan. Adakalanya terdapat nodul reumatoid. Mungkin juga terdapat
nyeri otot dan miositis. 1 Paling sering mengenai interfalangeal proksimal (PIP)
dan metakarpofalangeal, pergelangan tangan, siku dan lutut.
Gejala mukokutan
Ruam kulit yang dianggap khas untuk SLE adalah ruam kulit berbentuk
kupu-kupu (butterfly rash) berupa eritema pada hidung dan kedua pipi (55-90%).
Pada bagian tubuh yang terpapar matahari dapat timbul ruam kulit yang terjadi
karena hipersensitivitas.
Lesi diskoid berkembang melalui 3 tahap yaitu eritema, hiperkeratosis dan
atrofi. Biasanya tampak sebagai bercak eritematosus yang meninggi, tertutup oleh
sisik keratin disertai penyumbatan folikel, dan jika telah berlangsung lama akan
terbentuk sikatriks.
Vaskulitis kulit dapat berupa memar yang dalam dan bisa menyebabkan
ulserasi serta perdarahan jika terjadi pada membran mukosa mulut, hidung, atau
vagina. Pada beberapa orang dapat terjadi livido retikularis, lesi ungu-kemerahan
pada jari-jari tangan dan kaki atau dekat kuku jari. Alopesia dapat pulih kembali
jika penyakit mengalami remisi. Kadang-kadang terdapat urtikaria yang tidak
dipengaruhi oleh kortikosteroid dan antihistamin. Biasanya hilang beberapa bulan
setelah penyakit tenang secara klinis dan serologis.
Ginjal
Sebanyak 70% pasien SLE akan mengalami kelainan ginjal. Pengendapan
komplek imun yang mungkin mengandung ds-DNA, bertanggung jawab atas
terjadinya kelainan ginjal. Bentuk in situ kompleks imun memungkinkan
pengikatan DNA ke membran basalis glomeruluis dan matriks ekstraseluler.
Dengan mikroskop elektron, kompleks imun akan tampak dalam pola kristalin di
daerah mesangeal, subendotelial atau subepitelial. IgG merupakan imunoglobulin
yang paling sering tampak diikuti oleh IgA dan IgM. Kadang-kadang tampak
IgG, IgA, IgM, C3, C4 dan C1q pada glomerulus yang sama (pola full house).
Sistem saraf
Gangguan neurologik mengenai 25% penderita SLE. Disfungsi mental
ringan merupakan gejala yang paling umum, namun dapat pula mengenai setiap
daerah otak, saraf spinal, atau sistem saraf. Beberapa gejala yang mungkin tampak
adalah seizure, psikosis, organic brain syndrome, dan sakit kepala. Pencitraan
otak menunjukkan adanya kerusakan serabut saraf dan mielin. Gejala yang
tampak berupa irritabilitas, kecemasan, depresi, serta gangguan ingatan dan
konsentrasi ringan.
Kardiovaskuler
Kelainan jantung dapat berupa perikarditis ringan sampai berat (efusi
perikard), iskemia miokard dan endokarditis verukosa (Libman Sacks). Keadaan
tersebut dapat menimbulkan nyeri dan arithmia.
Paru
Efusi pleura , dan pleuritis dapat terjadi pada SLE. Diagnosis pneumonitis
lupus baru dapat ditegakkan jika faktor-faktor lain telah disingirkan seperti
infeksi, virus jamur, tuberkulosis. Gejalanya berupa takipnea, batuk, dan demam.
Hemoptisis menandakan terjadinya pulmonary hemorrhage. Nyeri dada dan
pernapasan pendek sering tejadi bersama gangguan tersebut.
Saluran pencernaan
Sekitar 45% pasien SLE menderita masalah gastrointestinal, termasuk
nausea, kehilangan berat badan, nyeri abdomen ringan, dan diare. Radang traktus
intestinal jarang terjadi yaitu sekitar 5% pasien dan menyebabkan kram akut,
muntah, diare, dan walaupun jarang, perforasi usus. Retensi cairan dan
pembengkakan dapat menyebabkan terjadinya obstruksi intestinal.
Mata
Peradangan pembuluh darah pada mata dapat mengurangi suplai darah ke
retina, sehingga menyebabkan degenerasi sel saraf dan resiko terjadinya
perdarahan retina. Gejala yang paing umum adalah cotton-wool-like spots pada
retina. Sekitar 5% pasien mengalami kebutaan sementara yang terjadi secara tibatiba. Kelainan lain berupa konjungtivitis, edema periorbital, perdarahan
subkonjungtival, uveitis dan adanya badan sitoid di retina.
2.2.5 Diagnosis
Diagnosis SLE dibuat jika memenuhi paling sedikit 4 diantara 11
manifestasi berikut (kriteria dari the American Rheumatism Association) :
1. Eritema fasial (butterfly rash)
2. Lesi diskoid
3. Fotosensitivitas
4. Oral ulcers
5. Arthritis
6. Serositis (pleuritis or perikarditis)
7. Gangguan ginjal (persistent proteinuria (> 0,5 g/hari) atau cellular casts)
8. Gangguan neurologi (seizures atau psykhosis)
9. Gangguan hematologi (anemia hemolitik, leukopenia (<4000/uL) atau
limfopenia pada 2 atau lebih pemeriksaan, trombositopenia)
10. Gangguan Immunologi (preparat sel LE positif, jumlah anti-DNA atau
anti-Sm abnormal, tes VDRL sifilis positif palsu)
11. Abnormal ANA titer
2.3 SLE dan Kehamilan
2.3.1 Efek SLE pada Kehamilan
2.3.1.1. Fetal / Neonatal
Pasien hamil dengan SLE menunjukkan rata-rata kelahiran hidup yang
lebih rendah dibanding populasi secara umum dan SLE aktif pada masa
kehamilan berhubungan dengan foetal outcome yang buruk. Sebuah penelitian
terbaru menunjukkan sekitar 23,4 % kehamilan tidak berhasil. Komplikasi fetal
yang terjadi berupa aborsi spontan (16 %), intrauterine growth retardation (12,7
%) dan stillbirth (3,6 %). Diantara kelahiran hidup rata-rata lahir prematur
mencapai 39,4 % dan kematian neonatal mencapai 2,5 %.
2.3.1.2. Maternal
Komplikasi maternal dari pasien SLE pada masa kehamilan meliputi
hipertensi, lupus flare, lupus nephritis dan preeklamsia, atau komplikasi yang
lebih buruk seperti eklamsia, sindrom HELLP, stroke dan kematian maternal.
Sebuah penelitian metaanalisis memaparkan presentasi kejadian lupus flare (25,6
%), hipertensi (16,3 %), lupus nephritis (16,1 %) dan preeklamsia (7,6 %).
2.3.2. Penanganan
utama
ditimbulkannya.
memberikan istirahat pada jiwa dan raga, perlindungan dari sinar matahari
(bahkan yang melalui jendela), nutrisi yang sehat, terapi pencegahan infeksi,
menghindari semua alergen dan faktor-faktor yang dapat memperberat penyakit.
Karena kesuburan pasien SLE tidak terganggu dan waktu konsepsi sangat
berhubungan dengan
yang penting untuk penanganan pasien SLE. Tampaknya kondom dan diafragma
merupakan alat kontrasepsi teraman, walaupun kurang efektif. Penggunaan IUD
sebaiknya dihindari karena pasien SLE mempunyai resiko infeksi yang lebih
besar.
Pada gagal ginjal terminal lupus nefritis dapat ditanggulangi dengan cukup
baik oleh dialisis dan transplantasi ginjal.
Kehamilan harus dihindarkan jika penyakit aktif atau jika pasien sedang
mendapat pengobatan dengan obat imunosupresif.
Seperti disebutkan
trimester ketiga. Pada setiap kunjungan harus selalu ditanyakan tentang tanda dan
gejala aktifnya SLE. Darah dan urin sebaiknya diperiksa juga.
Obat-obat antirematik dengan kehamilan
Meskipun belum ada penelitian acak yang membandingkan pemberian
prednison pada wanita hamil namun glukokortioid biasanya digunakan pada
pengobatan SLE pada kehamilan. Pada umumnya dosis yang digunakan kurang
lebih sama dengan penderita yang tidak hamil. Meskipun telah ditemukan
meningkatnya kejadian celah palatum pada binatang percobaan, tetapi efek
teratogeniknya pada manusia sangat rendah. Demikian juga efek supresi pada
ginjal neonatus sangatlah rendah. Salah satu alasan yang menyebabkan pemberian
prednison cukup aman adalah didapatkannya
11--oldehidrogenase pada
plasenta. Enzim ini akan mengubah prednison menjadi 11- ketoform yang tidak
aktif, dan hanya 10 % yang aktif dan dapat mencapai janin. Efek glukokortikoid
pada ibu diantaranya adalah penambahan berat badan, striae, acne, hirsutism,
supresi imun, osteonekrosis, dan ulkus saluran pencernaan. Kemudian pemberian
glukokortikoid pada kehamilan juga dapat menyebabkan intoleransi glukosa.
Dengan demikian pasien yang diberikan glukokortikoid harus dilakukan skrining
untuk mencegah diabetes gestasional. Glukokotikoid juga menyebabkan retensi
air dan natruim yang mungkin menyebabkan hipertensi yang secara tidak
langsung dapat menyebabkan pertumbuhan janin terganggu. Penelitian terbaru
mengatakan pemberian glukokortikoid hanya diberikan bila diperlukan untuk
mengatasi gejala-gejala yang ditimbulkan oleh SLE.
Pemberian beberapa obat imunosupresi yang lain seperti azathiopirine,
methotrexate dan cyclophospamide sebaiknya tidak diberikan pada kehamilan
dengan SLE, dikarenakan efek teratogeniknya pada manusia. Kecuali pada
keadaan tertentu pada SLE yang sangat berat misalkan pada
Progressive
proliferative glomerulonefritis
Pemberian obat anti malaria pada Kehamilan dengan SLE seperate
kloroquin dan hydroxychloroquin dapat menimbulkan kelainan kongenital yang
dilahirkan dari ibu-ibu yang minum obat anti malaria ternyata normal.
NSAID adalah analgesik yang biasa diberikan pada penderita kehamilan
dengan SLE tetapi, malangnya obat ini dapat menyebabkan kelainan yang cukup
serius.
Indometasin dilaporkan
mendapatkan terapi kortikosteroid dalam dosis yang besar, secara teoritis jumlah
kortikosteroid per kgBB yang mungkin diterima janin melalui ASI patut
dikhawatirkan, namun jumlah prednisolon yang disekresikan melalui ASI sangat
kecil sehingga kami rasa kekhawatiran tersebut hanya bersifat teoritis.
SLE merupakan penyakit radang multisistem yang sebabnya belum
diketahui, dengan perjalanan penyakit yang mungkin akut dan fulminan atau
kronik remisi dan eksaserbasi. SLE merupakan prototipe dari penyakit autoimun
sistemik dimana autoantibodi dibentuk melawan sel tubuhnya sendiri.
Karakteristik
berulang pada pembuluh darah. SLE melibatkan hampir semua organ, namun
paling sering mengenai kulit, sendi, darah, membran serosa, jantung dan ginjal.
BAB IV
LAPORAN KASUS
ANAMNESA PRIBADI
Nama
: Ny. S
Umur
: 23 tahun
Agama
: Islam
Pekerjaan
Pendidikan
: SMA
Suku/ Bangsa
: Batak/ Indonesia
Alamat
Tanggal masuk
: 27 Februari 2016
Pukul
: 19.00 WIB
ANAMNESA PENYAKIT
Ny.S, 23 tahun, G2P0A1, Bataknese, Islam, SMA, ibu rumah tangga i/d Tn. P, 24
tahun, Bataknese, Islam, SMA, wiraswasta, datang dengan :
Keluhan Utama
Telaah
: SLE (?)
: (-)
Riwayat haid:
HPHT
: ? 10 2015
TTP
: ? 7 2016
ANC
: Sp.OG 2x
Riwayat kehamilan/persalinan:
1. Abortus, 4 bulan yang lalu.
2. Hamil ini
PEMERIKSAAN FISIK
Status Presens
Sensorium
: Compos mentis
Anemis
: (+)
TD
: 120/80 mmHg
Ikterus
: (-)
HR
: 86 x/i
Sianosis
: (-)
RR
: 16 x/i
Dispnoe
: (-)
Temp
: 37 C
Edema
: (-)
Status Generalisata
Kepala
Leher
Toraks
Abdomen
Ekstremitas
: Superior
Inferior
Status Obstetrikus
Abdomen
: Membesar asimetris
DJJ
: 144x/i
P/V
: (+)
Miksi
: (+)
Status Ginekologis
Inspekulo
VT
: serviks tertutup
ST
USG TAS
JT, AH
FM (+), FHR (+)
BPD : 31,6 mm
FL : 17,1 mm
AC : 9,7 cm
Plasenta posterior
LABORATORIUM:
Hb
: 5,4 gr/dl
N= 12-16/gr/dl
Leukosit
: 5060/mm3
N= 4000-11000/uL
Hematokrit
: 15,9 %
N= 36,0-48,0/%
Trombosit
: 85000/mm3
N= 150.000-400.000/IU
Na
: 121 mmol/dl
N= 136-155 mmol/dl
: 4,3 mmol/dl
N= 3,5-5,5 mmol/dl
Cl
: 108 mmol/dl
N= 95-103 mmol/dl
Ureum
: 70 mmol/dl
N= 10-50 mmol/dl
Kreatinin
: 0,67 mmol/dl
N= 0,6-1,2 mmol/dl
Uric Acid
: 16 mmol/dl
N= 3,5-7 mmol/dl
DIAGNOSA SEMENTARA:
Abortus iminens + Suspek Sistemik Lupus Eritematosus pada Kehamilan
RENCANA:
-
FOLLOW UP :
27 Pebruari 2016
S
: demam (+), bercak darah dari kemaluan (+), nyeri sendi (+)
: Sensorium : CM
Anemis
: +/+
TD
: 120/80 mmHg
Ikterik
:-
HR
: 86 x/i
Sianosis
:-
RR
: 16 x/i
Dispnoe
:-
Temp
: 37,8C
Edema
:-
Status Lokalisata :
Wajah
Abdomen
TFU
P/V
: (+)
L/O
:-
BAK
BAB
: bercak darah dari kemaluan (+), nyeri sendi (+), malaise (+)
: Sensorium : CM
Anemis
: +/+
TD
: 120/80 mmHg
Ikterik
:-
HR
: 104 x/i
Sianosis
:-
RR
: 20 x/i
Dispnoe
:-
Temp
: 36,2C
Edema
:-
Status Lokalisata :
Wajah
Abdomen
TFU
P/V
: (+)
L/O
:-
BAK
BAB
R/ Transfusi PRC 3 kantong, cek DL post transfusi, test ANA dan ds DNA
29 Pebruari 2016
S
: bercak darah dari kemaluan (+), nyeri sendi (+), malaise (+), demam (+)
: Sensorium : CM
Anemis
: +/+
TD
: 120/60 mmHg
Ikterik
:-
HR
: 84 x/i
Sianosis
:-
RR
: 20 x/i
Dispnoe
:-
Temp
: 39,3C
Edema
:-
Status Lokalisata :
Wajah
Abdomen
TFU
P/V
: (+)
L/O
:-
BAK
BAB
R/ USG konfirmasi
30 Pebruari 2016
S
: bercak darah dari kemaluan (+), nyeri sendi (+), malaise (+)
: Sensorium : CM
Anemis
: +/+
TD
: 110/60 mmHg
Ikterik
:-
HR
: 90 x/i
Sianosis
:-
RR
: 20 x/i
Dispnoe
:-
Temp
: 37,6C
Edema
:-
Status Lokalisata :
Wajah
Abdomen
TFU
P/V
: (+)
L/O
:-
BAK
BAB
BAB V
ANALISA KASUS
Menurut
WHO
College
of
dan
The
American
Obstetricians
and
mellitus
sistemik
lupus
hipertensi,
tidak
terkontrol,
eritematosus,
preeklampsia,
infeksi,
eklampsia,
ruptura
uteri,
antifosfolipid
hamil
tumbuh
terlambat,
pecah
dini,
faktor
vasa
risiko
previa.
terjadinya
fetal,
atau
plasenta.
mules-mules
seperti
mau
mengidentifikasi
jantung janin pada kunjungan ANC tunggal, Presentasi kepala, Spalding sign
(Antenatal Care) setelah usia gestasi 12 (+), Fetal Movement (-), Fetal Heart Rate
minggu dapat menjadi dasar diagnosis. (-), BPD: 62,1 mm, FL: 40,6 mm, AC:
Saat ini USG merupakan baku emas 20,6
mm,
EFW:
721
gram.
untuk mengkonfirmasi KJDK dengan Kesan : IUP (24 26) minggu + KJDK
mendokumentasikan
tidak
adanya
pasien
ini
dan
rusak
menghasilkan
tromboplastin
yang
selanjutnya
tromboplastin
akan
masuk
lalu
kedalam
endotel
pembuluh
darah
oleh
dan
seterusnya
akan
terjadi
dilakukan
keadaan
ibu
partus
post
PERMASALAHAN:
1. Faktor apa yang menjadi penyebab kematian janin dalam kandungan pada
pasien ini?
2. Sebagai dokter umum, apabila menemukan kasus seperti ini ditingkat
puskesmas apa yang harus dilakukan dan sampai mana kompetensi dokter
umum dalam menangani kasus kematian janin dalam kandungan?
DAFTAR PUSTAKA
1. Mochtar, R., 1998. Abortus dan Kelainan dalam Tua Kehamilan. In Lutan,
D., ed.Sinopsis Obstetri: Obstetri Fisiologi, Obstetri Patologi. 2nd ed.
Jakarta:Penerbit Buku Kedokteran, 209-15.
2. Sastrawinata, S., Martaadisoebrata, D., and Wirakusumah, F.F., 2005.
Obstetri Patologi Ilmu Kesehatan Reproduksi. 2nd ed. Jakarta: Penerbit
Buku Kedokteran EGC.
3. Griebel, C.P., Halvorsen, J., Golemon, T.B., and Day, A.A., 2005.
Management of Spontaneous Abortion. American Family Physician 72
(7): 1243-1250.
4. Syafruddin, SH, MH, 2003. Abortus Provocatus dan Hukum. Available
from:http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/1552/1/pidsyafruddin6.pdf.[Accessed March 2011].
5. Sastrawinata, S., Martaadisoebrata, D., and Wirakusumah, F.F., 2005.
Obstetri Patologi Ilmu Kesehatan Reproduksi. 2nd ed. Jakarta: Penerbit
Buku Kedokteran EGC.
6. Cunningham, F.G., Leveno, K.J., Bloom, S.L., Hauth, J.C., Gilstrap III, L.,
and Wenstrom, K.D., 2005. Williams Obstetrics. 22nd ed. United States of
America: The McGraw-Hill Companies, Inc.