Anda di halaman 1dari 35

BAB I

PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Systemic Lupus Erythematous (SLE) adalah suatu keadaan fatal yang
merupakan gangguan autoimun kronis dengan prevalensi yang berkisar antara 20150 kasus per 100.000 orang. Penelitian menunjukkan SLE 10 kali lebih sering
pada wanita dibanding pria dan 2 hingga 3 kali lebih sering pada orang afrikaamerika dan amerika latin dibanding orang kaukasia. SLE merupakan gangguan
autoimun yang paling sering terjadi pada wanita pada usia reproduktif.
Eksaserbasi SLE terjadi pada 20-30 % pasien hamil dengan SLE. Flares atau
gejala eksaserbasi SLE jarang ditemui pada kehamilan dan biasanya dapat dengan
mudah diatasi. Tanpa adanya laporan literatur pasti yang mendukung para
reumatologis meyakini flare rate pada kehamilan hanya berkisar 0,06-0,136 per
pasien per bulan. Flare dapat muncul kapan saja pada tiap trimester.
SLE pada kehamilan meningkatkan resiko aborsi spontan, kematian janin
dalam kandungan (KJDK), preeklamsi, intrauterine growth restriction (IUGR)
dan kelahiran prematur. Prognosis untuk ibu ataupun janin akan baik jika SLE
tidak kambuh dalam 6 bulan sebelum kehamilan dan ketika fungsi ginjal ibu
dalam batas normal atau mendekati normal. Kesehatan ibu dan perkembangan
janin harus dimonitor secara teratur pada masa kehamilan.
1.2 Tujuan Pembahasan
Tujuan pembuatan laporan kasus ini adalah untuk memenuhi salah satu
tugas kepaniteraan klinik senior di departemen Obstetri dan Ginekologi RSU dr.
Pirngadi Medan, serta meningkatkan pemahaman mengenai SLE pada kehamilan.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Abortus
2.1.1 Pengertian Abortus
Abortus dapat dibagi atas dua golongan yaitu abortus spontan dan abortus
provokatus. Abortus spontan adalah abortus yang terjadi tanpa tindakan mekanis
dan disebabkan oleh faktor-faktor alamiah. Abortus provokatus adalah abortus
yang terjadi akibat tindakan atau disengaja, baik dengan memakai obat-obatan
maupun alat-alat1.
Abortus adalah berakhirnya kehamilan sebelum janin dapat hidup di dunia
luar, tanpa mempersoalkan penyebabnya. Bayi baru mungkin hidup di dunia luar
bila berat badannya telah mencapai lebih daripada 500 gram atau umur kehamilan
lebih daripada 20 minggu2. Abortus spontan merujuk kepada keguguran pada
kehamilan kurang dari 20 minggu tanpa adanya tindakan medis atau tindakan
bedah untuk mengakhiri kehamilan3.
Abortus

spontan

adalah

merupakan

mekanisme

alamiah

yang

menyebabkan terhentinya proses kehamilan sebelum berumur 28 minggu.


Penyebabnya dapat oleh karena penyakit yang diderita si ibu ataupun sebab-sebab
lain yang pada umumnya berhubungan dengan kelainan pada sistem reproduksi4.
2.1.2 Klasifikasi Abortus
Klasifikasi abortus menurut Sastrawinata et al. adalah seperti berikut5 :
i. Abortus spontan adalah keluarnya hasil konsepsi tanpa intervensi medis maupun
mekanis.
ii. Abortus buatan, Abortus provokatus (disengaja, digugurkan), yaitu:
a. Abortus buatan menurut kaidah ilmu (Abortus provocatus artificialis atau
abortus therapeuticus). Indikasi abortus untuk kepentingan ibu, misalnya :
penyakit jantung, hipertensi esential, dan karsinoma serviks. Keputusan
ini ditentukan oleh tim ahli yang

terdiri dari dokter ahli kebidanan,

penyakit dalam dan psikiatri, atau psikolog.

b. Abortus buatan kriminal (Abortus provocatus criminalis) adalah


pengguguran kehamilan tanpa alasan medis yang sah atau oleh orang yang
tidak berwenang dan dilarang oleh hukum.
2.1.3 Etiologi Abortus
Secara umum, terdapat tiga faktor yang boleh menyebabkan abortus
spontan yaitu faktor fetus, faktor ibu sebagai penyebab abortus dan faktor
paternal. Lebih dari 80 persen abortus terjadi pada 12 minggu pertama kehamilan,
dan kira-kira setengah dari kasus abortus ini diakibatkan oleh anomali kromosom.
Setelah melewati trimester pertama, tingkat aborsi dan peluang terjadinya anomali
kromosom berkurang6.
Faktor Fetus
Berdasarkan hasil studi sitogenetika yang dilakukan di seluruh dunia,
sekitar 50 hingga 60 persen dari abortus spontan yang terjadi pada trimester
pertama mempunyai kelainan kariotipe. Kelainan pada kromosom ini adalah
seperti autosomal trisomy, monosomy X dan polyploidy7.
Abnormalitas kromosom adalah hal yang utama pada embrio dan janin
yang mengalami abortus spontan, serta merupakan sebagian besar dari kegagalan
kehamilan dini. Kelainan dalam jumlah kromosom lebih sering dijumpai daripada
kelainan struktur kromosom. Abnormalitas kromosom secara struktural dapat
diturunkan oleh salah satu dari kedua orang tuanya yang menjadi pembawa
abnormalitas tersebut6.
Faktor-faktor Ibu Sebagai Penyebab Abortus
Menurut Sotiriadis et al., ibu hamil yang mempunyai riwayat keguguran
memiliki risiko yang tinggi untuk terjadi keguguran pada kehamilan seterusnya
terutama pada ibu yang berusia lebih tua8.
Pada wanita hamil yang mempunyai riwayat keguguran tiga kali berturut
turut, risiko untuk terjadinya abortus pada kehamilan seterusnya adalah sebesar 50

Persen9,10.
Berbagai penyakit infeksi, penyakit kronis, kelainan endokrin, kekurangan
nutrisi, alkohol, tembakau, deformitas uterus ataupun serviks, kesamaan dan
ketidaksamaan immunologik kedua orang tua dan trauma emosional maupun fisik
dapat menyebabkan abortus, meskipun bukti korelasi tersebut tidak selalu
meyakinkan. Isolasi Mycoplasma hominis dan Ureaplasma urelyticum dari traktus
genitalis beberapa wanita yang mengalami abortus, mengarahkan pada hipotesis
bahwa infeksi mycoplasma yang mengenai traktus genitalis, merupakan
abortifasient. Pada kehamilan lanjut, persalinan prematur dapat ditimbulkan oleh
penyakit sistemik yang berat pada ibu. Hipertensi jarang menyebabkan abortus,
tetapi dapat mengakibatkan kematian janin dan persalinan prematur. Abortus
sering disebabkan, mungkin tanpa alasan yang adekuat, kekurangan sekresi
progesteron yang pertama oleh korpus luteum dan kemudian oleh trofoblast.
Karena progesteron mempertahankan desidua, defisiensi relatif secara teoritis
mengganggu nutrisi konseptus dan dengan demikian mengakibatkan kematian.
Pada saat ini, tampak bahwa hanya malnutrisi umum yang berat merupakan
predisposisi meningkatnya kemungkinan abortus. Wanita yang merokok diketahui
lebih sering mengalami abortus spontan daripada wanita yang tidak merokok.
Alkohol dinyatakan meningkatkan resiko abortus spontan, meskipun hanya
digunakan dalam jumlah sedang6.
Kira-kira 10 persen hingga 15 persen wanita hamil yang mengalami
keguguran berulang mempunyai kelainan pada rahim seperti septum parsial atau
lengkap. Anomali ini dapat menyebabkan keguguran melalui implantasi yang
tidak sempurna karena vaskularisasi abnormal, distensi uterus, perkembangan
plasenta yang abnormal dan peningkatan kontraktilitas uterus11.
Faktor Paternal
Translokasi kromosom dalam sperma dapat menyebabkan zigote
mempunyai terlalu sedikit atau terlalu banyak bahan kromosom, sehingga
mengakibatkan abortus6.

2.1.4 Patogenesis Abortus


Menurut Sastrawinata et al.5, kebanyakan abortus spontan terjadi segera
setelah kematian janin yang kemudian diikuti dengan

perdarahan ke dalam

desidua basalis, lalu terjadi perubahan-perubahan nekrotik


implantasi, infiltrasi sel-sel peradangan akut, dan akhirnya
vaginam.

Buah

kehamilan

terlepas

seluruhnya

atau

pada daerah
perdarahan per
sebagian

yang

diinterpretasikan sebagai benda asing dalam rongga rahim. Hal ini menyebabkan
kontraksi uterus dimulai, dan segera setelah itu terjadi pendorongan benda asing
itu keluar rongga rahim (ekspulsi). Perlu ditekankan bahwa pada abortus spontan,
kematian embrio biasanya terjadi paling lama dua minggu sebelum perdarahan.
Oleh karena itu, pengobatan untuk mempertahankan janin tidak layak dilakukan
jika telah terjadi perdarahan banyak karena abortus tidak dapat dihindari. Sebelum
minggu ke-10, hasil konsepsi biasanya dikeluarkan dengan lengkap. Hal ini
disebabkan sebelum minggu ke-10 vili korialis belum menanamkan diri dengan
erat ke dalam desidua hingga telur mudah terlepas keseluruhannya. Antara
minggu ke-10 hingga minggu ke-12 korion tumbuh dengan cepat dan hubungan
vili korialis dengan desidua makin erat hingga mulai saat tersebut sering sisa-sisa
korion (plasenta) tertinggal kalau terjadi abortus. Pengeluaran hasil konsepsi
didasarkan 4 cara:
i. Keluarnya kantong korion pada kehamilan yang sangat dini, meninggalkan sisa
desidua.
ii. Kantong amnion dan isinya (fetus) didorong keluar, meninggalkan korion dan
desidua.
iii. Pecahnya amnion terjadi dengan putusnya tali pusat dan pendorongan janin ke
luar, tetapi mempertahankan sisa amnion dan korion (hanya janin yang
dikeluarkan).
iv. Seluruh janin dan desidua yang melekat didorong keluar secara utuh. Kuretasi
diperlukan untuk membersihkan uterus dan mencegah perdarahan atau infeksi
lebih lanjut.

2.1.5 Gambaran Klinis Abortus


Aspek klinis abortus spontan dibagi menjadi abortus iminens (threatened
abortion),

abortus

insipiens

(inevitable

abortion),

abortus

inkompletus

(incomplete abortion) atau abortus kompletus (complete abortion), abortus


tertunda (missed abortion), abortus habitualis (recurrent abortion), dan abortus
septik (septic abortion)3,6.
2.1.5.1. Abortus Iminens (Threatened abortion)
Vagina bercak atau perdarahan yang lebih berat umumnya terjadi selama
kehamilan awal dan dapat berlangsung selama beberapa hari atau minggu serta
dapat mempengaruhi satu dari empat atau lima wanita hamil. Secara keseluruhan,
sekitar setengah dari kehamilan ini akan berakhir dengan abortus6.
Abortus iminens didiagnosa bila seseorang wanita hamil kurang daripada
20 minggu mengeluarkan darah sedikit pada vagina. Perdarahan dapat berlanjut
beberapa hari atau dapat berulang, dapat pula disertai sedikit nyeri perut bawah
atau nyeri punggung bawah seperti saat menstruasi. Polip serviks, ulserasi vagina,
karsinoma serviks, kehamilan ektopik, dan kelainan trofoblast harus dibedakan
dari abortus iminens karena dapat memberikan perdarahan pada vagina.
Pemeriksaan spekulum dapat membedakan polip, ulserasi vagina atau karsinoma
serviks, sedangkan kelainan lain membutuhkan pemeriksaan ultrasonografi5.
2.1.5.2. Abortus Insipiens (Inevitable abortion)
Abortus insipiens didiagnosis apabila pada wanita hamil ditemukan
perdarahan banyak, kadang-kadang keluar gumpalan darah yang disertai nyeri
karena kontraksi rahim kuat dan ditemukan adanya dilatasi serviks sehingga jari
pemeriksa dapat masuk dan ketuban dapat teraba. Kadang-kadang perdarahan
dapat menyebabkan kematian bagi ibu dan jaringan yang tertinggal dapat
menyebabkan infeksi sehingga evakuasi harus segera dilakukan. Janin biasanya
sudah mati dan mempertahankan kehamilan pada keadaan ini merupakan
kontraindikasi5.

2.1.5.3. Abortus Inkompletus atau Abortus Kompletus


Abortus inkompletus didiagnosis apabila sebagian dari hasil konsepsi telah
lahir atau teraba pada vagina, tetapi sebagian tertinggal (biasanya jaringan
plasenta). Perdarahan biasanya terus berlangsung, banyak, dan membahayakan
ibu. Sering serviks tetap terbuka karena masih ada benda di dalam rahim yang
dianggap sebagai benda asing (corpus alienum). Oleh karena itu, uterus akan
berusaha mengeluarkannya dengan mengadakan kontraksi sehingga ibu
merasakan nyeri, namun tidak sehebat pada abortus insipiens. Jika hasil konsepsi
lahir dengan lengkap, maka disebut abortus komplet. Pada keadaan ini kuretasi
tidak perlu dilakukan. Pada abortus kompletus, perdarahan segera berkurang
setelah isi rahim dikeluarkan dan selambat-lambatnya dalam 10 hari perdarahan
berhenti sama sekali karena dalam masa ini luka rahim telah sembuh dan
epitelisasi telah selesai. Serviks juga dengan segera menutup kembali. Kalau 10
hari setelah abortus masih ada perdarahan juga, abortus inkompletus atau
endometritis pasca abortus harus dipikirkan5.
2.1.5.4. Abortus Tertunda (Missed abortion)
Abortus tertunda adalah keadaan dimana janin sudah mati, tetapi tetap
berada dalam rahim dan tidak dikeluarkan selama 2 bulan atau lebih. Pada abortus
tertunda akan dijimpai amenorea, yaitu perdarahan sedikit-sedikit yang berulang
pada permulaannya, serta selama observasi fundus tidak bertambah tinggi,
malahan tambah rendah. Pada pemeriksaan dalam, serviks tertutup dan ada darah
sedikit1.
2.1.5.5. Abortus Habitualis (Recurrent abortion)
Anomali kromosom parental, gangguan trombofilik pada ibu hamil, dan
kelainan struktural uterus merupakan penyebab langsung pada abortus
habitualis5,12. Menurut Mochtar,abortus habitualis merupakan abortus yang terjadi
tiga kali berturut-turut atau lebih. Etiologi abortus ini adalah kelainan dari ovum
atau spermatozoa, dimana sekiranya terjadi pembuahan, hasilnya adalah patologis.

Selain itu, disfungsi tiroid, kesalahan korpus luteum dan kesalahan plasenta yaitu
tidak sanggupnya plasenta menghasilkan progesteron sesudah korpus luteum
atrofis juga merupakan etiologi dari abortus habitualis1.
2.1.5.6. Abortus Septik (Septic abortion)
Abortus septik adalah keguguran disertai infeksi berat dengan penyebaran
kuman atau toksinnya ke dalam peredaran darah atau peritoneum. Hal ini sering
ditemukan pada abortus inkompletus atau abortus buatan, terutama yang
kriminalis tanpa memperhatikan syarat-syarat asepsis dan antisepsis. Antara
bakteri yang dapat menyebabkan abortus septik adalah seperti Escherichia coli,
Enterobacter

aerogenes,

Proteus

vulgaris,

Hemolytic

streptococci

dan

Staphylococci1,5.
2.1.6 Diagnosa Abortus
Menurut WHO, setiap wanita pada usia reproduktif yang mengalami dua
daripada tiga gejala seperti di bawah harus dipikirkan kemungkinan terjadinya
abortus13:
1. Perdarahan pada vagina.
2. Nyeri pada abdomen bawah.
3. Riwayat amenorea.
Ultrasonografi penting dalam mengidentifikasi status kehamilan dan
memastikan bahwa suatu kehamilan adalah intrauterin. Apabila ultrasonografi
transvaginal menunjukkan sebuah rahim kosong dan tingkat serum hCG
kuantitatif lebih besar dari 1.800 mIU per mL (1.800 IU per L), kehamilan ektopik
harus dipikirkan. Ketika ultrasonografi transabdominal dilakukan, sebuah rahim
kosong harus menimbulkan kecurigaan kehamilan ektopik jika kadar hCG
kuantitatif lebih besar dari 3.500 mIU per mL (3.500 IU per L). Rahim yang
ditemukan kosong pada pemeriksaan USG dapat mengindikasikan suatu abortus

kompletus, tetapi diagnosis tidak definitif sehingga kehamilan ektopik


disingkirkan3,14.
Diagnosa abortus menurut gambaran klinis adalah seperti berikut6:
i. Abortus Iminens (Threatened abortion)
a. Anamnesis perdarahan sedikit dari jalan lahir dan nyeri perut tidak
ada atau ringan.
b. Pemeriksaan dalam fluksus ada (sedikit), ostium uteri tertutup, dan
besar uterus sesuai dengan umur kehamilan.
c. Pemeriksaan penunjang hasil USG.
ii. Abortus Insipiens (Inevitable abortion)
a. Anamnesis perdarahan dari jalan lahir disertai nyeri / kontraksi rahim.
b. Pemeriksaan dalam ostium terbuka, buah kehamilan masih dalam
rahim, dan ketuban utuh (mungkin menonjol).
iii. Abortus Inkompletus atau abortus kompletus
a. Anamnesis perdarahan dari jalan lahir (biasanya banyak), nyeri
kontraksi rahim ada, dan bila perdarahan banyak dapat terjadi syok.
b. Pemeriksaan dalam ostium uteri terbuka, teraba sisa jaringan buah
kehamilan.
iv. Abortus Tertunda (Missed abortion)
a. Anamnesis - perdarahan bisa ada atau tidak.
b. Pemeriksaan obstetri fundus uteri lebih kecil dari umur kehamilan dan
bunyi jantung janin tidak ada.
c. Pemeriksaan penunjang USG, laboratorium (Hb, trombosit, fibrinogen,
waktu perdarahan, waktu pembekuan dan waktu protrombin).

Diagnosa abortus habitualis (recurrent abortion) dan abortus septik (septic


abortion) menurut adalah seperti berikut1:

i. Abortus Habitualis (Recurrent abortion)


a. Histerosalfingografi untuk mengetahui ada tidaknya mioma uterus
submukosa dan anomali kongenital.
b. BMR dan kadar yodium darah diukur untuk mengetahui apakah ada atau
tidak gangguan glandula thyroidea.
ii. Abortus Septik (Septic abortion)
a. Adanya abortus : amenore, perdarahan, keluar jaringan yang telah
ditolong di luar rumah sakit.
b. Pemeriksaan : kanalis servikalis terbuka, teraba jaringan, perdarahan
dan sebagainya.
c. Tanda-tanda infeksi alat genital : demam, nadi cepat, perdarahan, nyeri
tekan dan leukositosis.
d. Pada abortus septik : kelihatan sakit berat, panas tinggi, menggigil, nadi
kecil dan cepat, tekanan darah turun sampai syok.
2.1.7 Penatalaksanaan Abortus
Pada abortus insipiens dan abortus inkompletus, bila ada tanda-tanda syok
maka diatasi dulu dengan pemberian cairan dan transfusi darah. Kemudian,
jaringan dikeluarkan secepat mungkin dengan metode digital dan kuretase.
Setelah itu, beri obat-obat uterotonika dan antibiotika. Pada keadaan abortus
kompletus dimana seluruh hasil konsepsi dikeluarkan (desidua dan fetus),
sehingga rongga rahim kosong, terapi yang diberikan hanya uterotonika. Untuk
abortus tertunda, obat diberi dengan maksud agar terjadi his sehingga fetus dan
desidua dapat dikeluarkan, kalau tidak berhasil, dilatasi dan kuretase dilakukan.
Histerotomia anterior juga dapat dilakukan dan pada penderita, diberikan tonika
dan antibiotika. Pengobatan pada kelainan endometrium pada abortus habitualis
lebih besar hasilnya jika dilakukan sebelum ada konsepsi daripada sesudahnya.
Merokok dan minum alkohol sebaiknya dikurangi atau dihentikan. Pada serviks
inkompeten, terapinya adalah operatif yaitu operasi Shirodkar atau McDonald1.

2.2 Systemic Lupus Erythematous (SLE)


2.2.1 Definisi
SLE merupakan penyakit radang multisistem yang sebabnya belum
diketahui, dengan perjalanan penyakit yang mungkin akut dan fulminan atau
kronik remisi dan eksaserbasi. SLE merupakan prototipe dari penyakit autoimun
sistemik dimana autoantibodi dibentuk melawan sel tubuhnya sendiri.
Karakteristik

primer peyakit ini berupa kelemahan, nyeri sendi, dan traum

berulang pada pembuluh darah. SLE melibatkan hampir semua organ, namun
paling sering mengenai kulit, sendi, darah, membran serosa, jantung dan ginjal.
2.2.2 Etiologi
Hingga kini penyebab SLE belum diketahui dengan jelas. Namun
diperkirakan berkaitan erat dengan beberapa faktor, antara lain autoimun, kelainan
genetik, faktor lingkungan, obat-obatan.
Autoimun :
Mekanisme primer SLE adalah autoimunitas, suatu proses kompleks
dimana sistem imun pasien

menyerang selnya sendiri. Pada SLE, sel-T

menganggap sel tubuhnya sendiri sebagai antigen asing dan berusaha


mengeluarkannya dari tubuh. Diantara kejadian tersebut terjadi stimulasi limfosit
sel B untuk menghasilkan antibodi, suatu molekul yang dibentuk untuk
menyerang antigen spesifik. Ketika antibodi tersebut menyerang sel tubuhnya
sendiri, maka disebut autoantibodi. Sel B menghasilkan sitokin. Sitokin tertentu
disebut interleukin, seperti IL 10 dan IL 6, memegang peranan penting dalam SLE
yaitu dengan mengatur sekresi autoantibodi oleh sel B.
Pada sebagian besar pasien SLE, antinuklear antibodi (ANA) adalah
antibodi spesifik yang menyerang nukleus dan DNA sel yang sehat. Terdapat dua

tipe ANA, yaitu anti-doule stranded DNA (anti-ds DNA) yang memegang peranan
penting pada proses autoimun dan anti-Sm antibodies yang hanya spesifik untuk
pasien SLE. Dengan antigen yang spesifik, ANA membentuk kompleks imun
yang beredar dalam sirkulasi sehingga pengaturan sistem imun pada SLE
terganggu yaitu berupa gangguan klirens kompleks imun besar yang larut,
gangguan pemrosesan kompleks imun dalam hati, dan penurunan uptake
kompleks imun

oleh ginjal. Sehingga menyebabkan terbentuknya

deposit

kompleks imun di luar sistem fagosit mononuklear. Kompleks ini akan


mengendap pada berbagai macam organ dan menyebabkan terjadinya fiksasi
komplemen pada organ tersebut dan aktivasinya menghasilkan substansi yang
menyebabkan radang. Reaksi radang inilah yang menyebabkan keluhan pada
organ yang bersangkutan.
Sekitar setengah dari pasien SLE memiliki antibodi antifosfolipid.
Antibodi ini menyerang fosfolipid, suatu kumpulan lemak pada membran sel.
Antifosfolipid meningkatkan resiko menggumpalnya darah, dan mungkin
berperan dalam penyempitan pembuluh darah serta rendahnya jumlah hitung
darah.
Antibodi tersebut termasuk lupus antikoagulan (LAC) dan antibodi
antikardiolipin (ACAs). Mungkin berupa golongan IgG, IgM, IgA yang berdiri
sendiri-sendiri ataupun kombinasi. Sekalipun dapat ditemukan pada orang normal,
namun mereka juga dihubungkan dengan sindrom antibodi antifosfolipid, dengan
gambaran berupa trombosis arteri dan/atau vena berulang, trombositopenia,
kehilangan janin-terutama kelahiran mati, pada pertengahan kedua kehamilan.
Sindrom ini dapat terjadi sendirian atau bersamaan dengan SLE atau gangguan
autoimun lainnya.
Genetik
Faktor genetik memegang peranan penting dalam kerentanan dan ekspresi
penyakit. Sekitar 10-20% pasien SLE memiliki kerabat dekat yang juga menderita
SLE. Saudara kembar identik sekitar 25-70% (setiap pasien memiliki manifestasi
klinik yang berbeda) sedangkan non-identik 2-9%. Jika seorang ibu menderita

SLE maka kemungkinan anak perempuannya untuk menderita penyakit yang


sama adalah 1:40 sedangkan anak laki-laki 1:25. Penelitian terakhir menunjukkan
adanya peran dari gen-gen yang mengkode unsur-unsur sistem imun. Kaitan
dengan

haptolip MHC tertentu, terutama HLA-DR 2 dan HLA-DR3

serta

komplemen (C1q , C1r , C1s , C4 dan C2) telah terbukti.


Suatu penelitian menemukan adanya kelainan pada 4 gen yang mengatur
apoptosis, suatu proses alami pengrusakan sel. Penelitian lain menyebutkan
bahwa terdapat beberapa kelainan gen pada pasien SLE yang mendorong
dibentuknya kompleks imun dan menyebabkan kerusakan ginjal.
Faktor lingkungan
Satu atau lebih faktor eksternal dapat memicu terjadinya respon autoimun
pada seseorang dengan kerentanan genetik. Pemicu SLE termasuk, flu, kelelahan,
stres, kontrasepsi oral, bahan kimia, sinar matahari dan beberapa obat-obatan.
Virus. Pemicu yang paling sering menyebabkan gangguan pada sel T
adalah virus. Beberapa penelitian menyebutkan adanya hubungan antara virus
Epstein-Barr, cytomegalovirus dan parvovirus-B19 dengan SLE. Penelitian lain
menyebutkan adanya perbedaan tipe khusus SLE bagian tiap-tiap virus, misalnya
cytomegalovirus yang mempengaruhi pembuluh darah dan menyebabkan
fenomena Raynaud (kelainan darah), tapi tidak banyak mempengaruhi ginjal.
Sinar matahari. Sinar ultraviolet (UV) sangat penting sebagai pemicu
tejadinya SLE. Ketika mengenai kulit, UV dapat mengubah struktur DNA dari sel
di bawah kulit dan sistem imun menganggap perubahan tersebut sebagai antigen
asing dan memberikan respon autoimun.
Drug-Induced Lupus. Terjadi setelah pasien menggunakan obat-obatan
tertentu dan mempunyai gejala yang sama dengan SLE. Karakteristik sindrom ini
adalah radang pleuroperikardial, demam, ruam dan artritis. Jarang terjadi nefritis

dan gangguan SSP. Jika obat-obatan tersebut dihentikan, maka dapat terjadi
perbaikan manifestasi klinik dan dan hasil laoratoium.
Hormon. Secara umum estrogen meningkatkan produksi antibodi dan
menimbulkan flare sementara testosteron mengurangi produksi antibodi. Sitokin
berhubungan langsung dengan hormon sex. Wanita dengan SLE biasanya
memiliki hormon androgen yang rendah, dan beberapa pria yang menderita SLE
memiliki level androgen yang abnormal. Penelitian lain menyebutkan bahwa
hormon prolaktin dapat merangsang respon imun.
2.2.3 Epidemiologi
Di Amerika Serikat hingga bulan Maret tahun 2000 terdapat 500.000
pasien telah didiagnosa sebagai SLE. Prevalensi SLE di Amerika Serikat yaitu
antara14,6/100.000-50,8/100.000. Insiden bervariasi antara 1,8-1,6/100.000 per
tahun. Insiden SLE bervariasi di seluruh dunia. Eropa Utara telah melaporkan
adanya SLE sebesar 40/100.000.
Ras Afrika-Amerika tiga hingga empat kali lebih rentan terhadap SLE
dibandingkan wanita kulit putih. Ras Amerika latin dan Asia juga rentan terhadap
penyakit ini. 3 Pada anak-anak prevalensi SLE antara 0/100.000 pada wanita kulit
putih di bawah usia 15 tahun sampai 31/100.000 pada wanita Asia usia 10-20
tahun. Insiden SLE pada usia 10-20 tahun bervariasi yaitu 4,4/100.000 pada
wanita kulit putih, 31/100.000 pada wanita Asia, 19,86/100.000 pada kulit hitam
dan 13/100.000 pada Amerika latin.
Beberapa data yang ada di Indonesia diperoleh dari 3 penelitian yang
berbeda di RS. Cipto Mangunkusumo Jakarta yaitu antara tahun 1969-1970
ditemukan 5 kasus, tahun 1972-1976 ditemukan 1 kasus, dan tahun 1988-1990
insiden rata-rata ialah 37,7/10.000 perawatan. Penelitian oleh Purwanto dkk di
Yokyakarta tahun 1983-1986 melaporkan insiden sebesar 10,1/10.000 perawatan.
Penelitian di Medan oleh Tagiran antara tahun 1984-1986 mendapatkan insiden
sebesar 1,4/10.000 perawatan.

2.2.4
Gejala Klinis
Gejala klinis dan perjalanan penyakit SLE sangat bervariasi. Onset
penyakit dapat spontan atau didahului oleh faktor presipitasi. Setiap serangan
biasanya disertai dengan gejala umum yang jelas seperti demam, malaise,
kelemahan, nafsu makan berkurang, berat badan menurun, dan iritabilitas. Yang
paling menonjol adalah demam, kadang-kadang disertai menggigil. Banyak wanita
SLE menderita flare pada fase postovulasi dari siklus menstruasi, dan mengalami
resolusi ketika telah terjadi haid.
Muskuloskeletal
Gejala yang paling sering berupa artritis atau atralgia (53-95%) dan
biasanya mengawali gejala yang lain. Selain kelemahan dan edema dapat pula
terjadi efusi yang bersamaan dengan poliartritis yang bersifat simetris, nonerosif,
dan biasanya tanpa deformitas, bukan kontraktur atau ankilosis. Kaku pagi hari
jarang ditemukan. Adakalanya terdapat nodul reumatoid. Mungkin juga terdapat
nyeri otot dan miositis. 1 Paling sering mengenai interfalangeal proksimal (PIP)
dan metakarpofalangeal, pergelangan tangan, siku dan lutut.
Gejala mukokutan
Ruam kulit yang dianggap khas untuk SLE adalah ruam kulit berbentuk
kupu-kupu (butterfly rash) berupa eritema pada hidung dan kedua pipi (55-90%).
Pada bagian tubuh yang terpapar matahari dapat timbul ruam kulit yang terjadi
karena hipersensitivitas.
Lesi diskoid berkembang melalui 3 tahap yaitu eritema, hiperkeratosis dan
atrofi. Biasanya tampak sebagai bercak eritematosus yang meninggi, tertutup oleh
sisik keratin disertai penyumbatan folikel, dan jika telah berlangsung lama akan
terbentuk sikatriks.

Vaskulitis kulit dapat berupa memar yang dalam dan bisa menyebabkan
ulserasi serta perdarahan jika terjadi pada membran mukosa mulut, hidung, atau
vagina. Pada beberapa orang dapat terjadi livido retikularis, lesi ungu-kemerahan
pada jari-jari tangan dan kaki atau dekat kuku jari. Alopesia dapat pulih kembali
jika penyakit mengalami remisi. Kadang-kadang terdapat urtikaria yang tidak
dipengaruhi oleh kortikosteroid dan antihistamin. Biasanya hilang beberapa bulan
setelah penyakit tenang secara klinis dan serologis.
Ginjal
Sebanyak 70% pasien SLE akan mengalami kelainan ginjal. Pengendapan
komplek imun yang mungkin mengandung ds-DNA, bertanggung jawab atas
terjadinya kelainan ginjal. Bentuk in situ kompleks imun memungkinkan
pengikatan DNA ke membran basalis glomeruluis dan matriks ekstraseluler.
Dengan mikroskop elektron, kompleks imun akan tampak dalam pola kristalin di
daerah mesangeal, subendotelial atau subepitelial. IgG merupakan imunoglobulin
yang paling sering tampak diikuti oleh IgA dan IgM. Kadang-kadang tampak
IgG, IgA, IgM, C3, C4 dan C1q pada glomerulus yang sama (pola full house).
Sistem saraf
Gangguan neurologik mengenai 25% penderita SLE. Disfungsi mental
ringan merupakan gejala yang paling umum, namun dapat pula mengenai setiap
daerah otak, saraf spinal, atau sistem saraf. Beberapa gejala yang mungkin tampak
adalah seizure, psikosis, organic brain syndrome, dan sakit kepala. Pencitraan
otak menunjukkan adanya kerusakan serabut saraf dan mielin. Gejala yang
tampak berupa irritabilitas, kecemasan, depresi, serta gangguan ingatan dan
konsentrasi ringan.
Kardiovaskuler
Kelainan jantung dapat berupa perikarditis ringan sampai berat (efusi
perikard), iskemia miokard dan endokarditis verukosa (Libman Sacks). Keadaan
tersebut dapat menimbulkan nyeri dan arithmia.

Paru
Efusi pleura , dan pleuritis dapat terjadi pada SLE. Diagnosis pneumonitis
lupus baru dapat ditegakkan jika faktor-faktor lain telah disingirkan seperti
infeksi, virus jamur, tuberkulosis. Gejalanya berupa takipnea, batuk, dan demam.
Hemoptisis menandakan terjadinya pulmonary hemorrhage. Nyeri dada dan
pernapasan pendek sering tejadi bersama gangguan tersebut.
Saluran pencernaan
Sekitar 45% pasien SLE menderita masalah gastrointestinal, termasuk
nausea, kehilangan berat badan, nyeri abdomen ringan, dan diare. Radang traktus
intestinal jarang terjadi yaitu sekitar 5% pasien dan menyebabkan kram akut,
muntah, diare, dan walaupun jarang, perforasi usus. Retensi cairan dan
pembengkakan dapat menyebabkan terjadinya obstruksi intestinal.
Mata
Peradangan pembuluh darah pada mata dapat mengurangi suplai darah ke
retina, sehingga menyebabkan degenerasi sel saraf dan resiko terjadinya
perdarahan retina. Gejala yang paing umum adalah cotton-wool-like spots pada
retina. Sekitar 5% pasien mengalami kebutaan sementara yang terjadi secara tibatiba. Kelainan lain berupa konjungtivitis, edema periorbital, perdarahan
subkonjungtival, uveitis dan adanya badan sitoid di retina.
2.2.5 Diagnosis
Diagnosis SLE dibuat jika memenuhi paling sedikit 4 diantara 11
manifestasi berikut (kriteria dari the American Rheumatism Association) :
1. Eritema fasial (butterfly rash)
2. Lesi diskoid
3. Fotosensitivitas
4. Oral ulcers

5. Arthritis
6. Serositis (pleuritis or perikarditis)
7. Gangguan ginjal (persistent proteinuria (> 0,5 g/hari) atau cellular casts)
8. Gangguan neurologi (seizures atau psykhosis)
9. Gangguan hematologi (anemia hemolitik, leukopenia (<4000/uL) atau
limfopenia pada 2 atau lebih pemeriksaan, trombositopenia)
10. Gangguan Immunologi (preparat sel LE positif, jumlah anti-DNA atau
anti-Sm abnormal, tes VDRL sifilis positif palsu)
11. Abnormal ANA titer
2.3 SLE dan Kehamilan
2.3.1 Efek SLE pada Kehamilan
2.3.1.1. Fetal / Neonatal
Pasien hamil dengan SLE menunjukkan rata-rata kelahiran hidup yang
lebih rendah dibanding populasi secara umum dan SLE aktif pada masa
kehamilan berhubungan dengan foetal outcome yang buruk. Sebuah penelitian
terbaru menunjukkan sekitar 23,4 % kehamilan tidak berhasil. Komplikasi fetal
yang terjadi berupa aborsi spontan (16 %), intrauterine growth retardation (12,7
%) dan stillbirth (3,6 %). Diantara kelahiran hidup rata-rata lahir prematur
mencapai 39,4 % dan kematian neonatal mencapai 2,5 %.
2.3.1.2. Maternal
Komplikasi maternal dari pasien SLE pada masa kehamilan meliputi
hipertensi, lupus flare, lupus nephritis dan preeklamsia, atau komplikasi yang
lebih buruk seperti eklamsia, sindrom HELLP, stroke dan kematian maternal.
Sebuah penelitian metaanalisis memaparkan presentasi kejadian lupus flare (25,6
%), hipertensi (16,3 %), lupus nephritis (16,1 %) dan preeklamsia (7,6 %).
2.3.2. Penanganan

Hingga kini SLE belum dapat disembuhkan dengan sempurna. Namun,


pengobatan yang tepat dapat menekan gejala klinis dan komplikasi yang mungkin
terjadi, mengatasi fase akut dan dengan demikian dapat memperpanjang remisi
dan survival rate.
Penatalaksanaan SLE sesuai dengan gejala yang
Penatalaksanan

utama

ditimbulkannya.

adalah menciptakan suatu lingkungan yang dapat

memberikan istirahat pada jiwa dan raga, perlindungan dari sinar matahari
(bahkan yang melalui jendela), nutrisi yang sehat, terapi pencegahan infeksi,
menghindari semua alergen dan faktor-faktor yang dapat memperberat penyakit.
Karena kesuburan pasien SLE tidak terganggu dan waktu konsepsi sangat
berhubungan dengan

aktivitas penyakit, maka kontrasepsi merupakan bagian

yang penting untuk penanganan pasien SLE. Tampaknya kondom dan diafragma
merupakan alat kontrasepsi teraman, walaupun kurang efektif. Penggunaan IUD
sebaiknya dihindari karena pasien SLE mempunyai resiko infeksi yang lebih
besar.
Pada gagal ginjal terminal lupus nefritis dapat ditanggulangi dengan cukup
baik oleh dialisis dan transplantasi ginjal.
Kehamilan harus dihindarkan jika penyakit aktif atau jika pasien sedang
mendapat pengobatan dengan obat imunosupresif.

Seperti disebutkan

sebelumnya angka abortus, kelahiran mati, partus prematurus, dan preeklampsia


meningkat pada SLE dengan kehamilan. Terutama apabila terjadi kelainan ginjal
dan hipertensi, maka prognosis menjadi sangat buruk. Abortus buatan dapat
dipertimbangkan. Jika pasien demikian dalam jalannya kehamilan menunjukkan
gejala-gejala azotemia, maka kehamilan harus diakhiri. Dan kehamilan tidak
dianjurkan bagi SLE dengan komplikasi ginjal.
Prenatal care
Penderita SLE dengan kehamilan sebaiknya harus kontrol kehamilannya
setiap dua minggu pada trimeester pertama dan kedua dan sekali seminggu pada

trimester ketiga. Pada setiap kunjungan harus selalu ditanyakan tentang tanda dan
gejala aktifnya SLE. Darah dan urin sebaiknya diperiksa juga.
Obat-obat antirematik dengan kehamilan
Meskipun belum ada penelitian acak yang membandingkan pemberian
prednison pada wanita hamil namun glukokortioid biasanya digunakan pada
pengobatan SLE pada kehamilan. Pada umumnya dosis yang digunakan kurang
lebih sama dengan penderita yang tidak hamil. Meskipun telah ditemukan
meningkatnya kejadian celah palatum pada binatang percobaan, tetapi efek
teratogeniknya pada manusia sangat rendah. Demikian juga efek supresi pada
ginjal neonatus sangatlah rendah. Salah satu alasan yang menyebabkan pemberian
prednison cukup aman adalah didapatkannya

11--oldehidrogenase pada

plasenta. Enzim ini akan mengubah prednison menjadi 11- ketoform yang tidak
aktif, dan hanya 10 % yang aktif dan dapat mencapai janin. Efek glukokortikoid
pada ibu diantaranya adalah penambahan berat badan, striae, acne, hirsutism,
supresi imun, osteonekrosis, dan ulkus saluran pencernaan. Kemudian pemberian
glukokortikoid pada kehamilan juga dapat menyebabkan intoleransi glukosa.
Dengan demikian pasien yang diberikan glukokortikoid harus dilakukan skrining
untuk mencegah diabetes gestasional. Glukokotikoid juga menyebabkan retensi
air dan natruim yang mungkin menyebabkan hipertensi yang secara tidak
langsung dapat menyebabkan pertumbuhan janin terganggu. Penelitian terbaru
mengatakan pemberian glukokortikoid hanya diberikan bila diperlukan untuk
mengatasi gejala-gejala yang ditimbulkan oleh SLE.
Pemberian beberapa obat imunosupresi yang lain seperti azathiopirine,
methotrexate dan cyclophospamide sebaiknya tidak diberikan pada kehamilan
dengan SLE, dikarenakan efek teratogeniknya pada manusia. Kecuali pada
keadaan tertentu pada SLE yang sangat berat misalkan pada

Progressive

proliferative glomerulonefritis
Pemberian obat anti malaria pada Kehamilan dengan SLE seperate
kloroquin dan hydroxychloroquin dapat menimbulkan kelainan kongenital yang

cukup berat, dikarenakan ototoksisitasnya.

Akan tetapi banyak bayi yang

dilahirkan dari ibu-ibu yang minum obat anti malaria ternyata normal.
NSAID adalah analgesik yang biasa diberikan pada penderita kehamilan
dengan SLE tetapi, malangnya obat ini dapat menyebabkan kelainan yang cukup
serius.

Yaitu dapat menyebabkan kelainan faktor pembekuan darah pada

fetoneonatal. Pemberian aspirin dua minggu sebelum partus dapat menyebabkan


perdarahan intrakranial pada bayi-bayi prematur.

Indometasin dilaporkan

berhubungan dengan kontriksi pada duktus arteriosus. Yang mana bisa


menyebabkan trombosis arteri pulmonalis, hipertrofi pembuluh-pembuluh darah
pulmo, gangguan oksigenasi dan gagal jantung. NSAID juga berhubungan dengan
menurunnya produksi uruin dan oligohidramnion dan insufisiensi ginjal.
Asetaminophen dan codein bisa dipakai sebagai analgesi pada wanita hamil
dengan SLE.
Penanganan obstetrik.
Tujuan utama dari kunjungan antenatal pada kehamilan dengan SLE
terutama setelah umur kehamilan > 20 minggu adalah deteksi hipertensi dan
proteinuria. Karena risiko terjadinya insufisiensi uteroplasenter . Dilakukan
pemeriksaan USG setiap 4 6 minggu mulai usia kehamilan 18 -20 minggu.
Dilakukan NST mulai umur kehamilan 32 minggu setiap minggu dan pengukuran
cairan amnion. Juga ibunya disuruh menghitung gerakan janin setiap hari. USG
dan pemeriksaan kesejahteraan janin harus dilakukan lebih sering bila didapatkan
SLE yang aktif, hipertensi, proteinurin, gangguan pertumbuhan janin, dan bila
didapatkan sindroma antifosfolipid.
SLE dapat eksaserbasi pada persalinan dan mungkin membutuhkan
pemberian steroid sesegera mungkin. Sebaiknya pemberian glukokortikoid dosis
tinggi yaitu hidrokortison 110 mg/IV tiap 8 jam diberikan pada waktu persalinan
dan seksio sesarea pada semua pasien yang mendapatkan pemberian steroid yang
menahun.Hal ini untuk menghinadarkan terjadinya insufisiensi adreanal yang
berat. Diberikan hidrokortison secara intravena 100 mg tiap 8 jam. Kemudian

penanganan neonatus yang adekuat diperlukan setelah persalinan berkaitan


dengan neonatal heart block dan manifestasi SLE lainnya.
Disarankan agar ibu yang dirawat dengan SLE untuk menyusui bayinya
jika memungkinkan karena keuntungan bagi ibu dan janin jauh lebih besar dari
kerugiannya. Jika janin

lahir dengan berat badan rendah (BBRL) dan ibu

mendapatkan terapi kortikosteroid dalam dosis yang besar, secara teoritis jumlah
kortikosteroid per kgBB yang mungkin diterima janin melalui ASI patut
dikhawatirkan, namun jumlah prednisolon yang disekresikan melalui ASI sangat
kecil sehingga kami rasa kekhawatiran tersebut hanya bersifat teoritis.
SLE merupakan penyakit radang multisistem yang sebabnya belum
diketahui, dengan perjalanan penyakit yang mungkin akut dan fulminan atau
kronik remisi dan eksaserbasi. SLE merupakan prototipe dari penyakit autoimun
sistemik dimana autoantibodi dibentuk melawan sel tubuhnya sendiri.
Karakteristik

primer peyakit ini berupa kelemahan, nyeri sendi, dan traum

berulang pada pembuluh darah. SLE melibatkan hampir semua organ, namun
paling sering mengenai kulit, sendi, darah, membran serosa, jantung dan ginjal.
BAB IV
LAPORAN KASUS
ANAMNESA PRIBADI
Nama

: Ny. S

Umur

: 23 tahun

Agama

: Islam

Pekerjaan

: Ibu Rumah Tangga

Pendidikan

: SMA

Suku/ Bangsa

: Batak/ Indonesia

Alamat

: Lingkungan Labuhan Kota Pinang

Tanggal masuk

: 27 Februari 2016

Pukul

: 19.00 WIB

ANAMNESA PENYAKIT
Ny.S, 23 tahun, G2P0A1, Bataknese, Islam, SMA, ibu rumah tangga i/d Tn. P, 24
tahun, Bataknese, Islam, SMA, wiraswasta, datang dengan :
Keluhan Utama

: keluar darah dari kemaluan

Telaah

: hal ini dialami os sejak sekitar sebulan yang lalu.


Awalnya darah berupa bercak-bercak yang semakin lama
semakin buruk sampai sehari sebelum os datang ke RS.
Riwayat penggunaan pembalut 2-3x ganti/hari selama
seminggu terakhir, gumpalan darah (-), keluarnya jaringan
(-). Riwayat keluar air-air, dan riwayat keluarnya darah
dari kemaluan sebelumnya juga disangkal oleh os.
Riwayat abortus (+) 4 bulan yang lalu. Riwayat demam
(+), os juga mengeluhkan munculnya ruam berwarna
kemerahan pada wajahnya sejak 1 bulan yang lalu, dan
sendi-sendi tangan dan kakinya juga terasa sakit sejak 1
bulan yang lalu. Sebelumnya os sudah berobat ke dokter
spesialis kulit dan didiagnosa dengan SLE. BAK (+), BAB
(+) normal.

Riwayat Penyakit Terdahulu

: SLE (?)

Riwayat Pemakaian Obat

: (-)

Riwayat haid:
HPHT

: ? 10 2015

TTP

: ? 7 2016

ANC

: Sp.OG 2x

Riwayat kehamilan/persalinan:
1. Abortus, 4 bulan yang lalu.
2. Hamil ini
PEMERIKSAAN FISIK
Status Presens
Sensorium

: Compos mentis

Anemis

: (+)

TD

: 120/80 mmHg

Ikterus

: (-)

HR

: 86 x/i

Sianosis

: (-)

RR

: 16 x/i

Dispnoe

: (-)

Temp

: 37 C

Edema

: (-)

Status Generalisata
Kepala

: Mata: RC (+/+), konjungtiva palpebra inferior pucat (+/+),


ikterik (-); malar rash (+) di wajah

Leher

: Pembesaran KGB (-), pembesaran kel. tiroid (-)

Toraks

: SP: vesikuler, ST: (-)

Abdomen

: Soepel, peristaltik (+) normal, hepar/lien tidak teraba

Ekstremitas

: Superior

: Edema (-), Sianosis (-)

Inferior

: Edema (-), Sianosis (-)

Status Obstetrikus
Abdomen

: Membesar asimetris

Tinggi Fundus Uteri

: 2 jari di atas simfisis pubis (14 cm)

DJJ

: 144x/i

P/V

: (+)

Miksi

: (+)

Status Ginekologis
Inspekulo

: tampak darah di OUE, setelah dibersihkan: kesan tidak aktif.


Lividae (+)

VT

: serviks tertutup

ST

: lendir darah (+)

USG TAS
JT, AH
FM (+), FHR (+)

BPD : 31,6 mm

FL : 17,1 mm

AC : 9,7 cm

Plasenta posterior

EFW : 139 gram


Kesan : IUP (15-16) minggu + AH

LABORATORIUM:
Hb

: 5,4 gr/dl

N= 12-16/gr/dl

Leukosit

: 5060/mm3

N= 4000-11000/uL

Hematokrit

: 15,9 %

N= 36,0-48,0/%

Trombosit

: 85000/mm3

N= 150.000-400.000/IU

Na

: 121 mmol/dl

N= 136-155 mmol/dl

: 4,3 mmol/dl

N= 3,5-5,5 mmol/dl

Cl

: 108 mmol/dl

N= 95-103 mmol/dl

Ureum

: 70 mmol/dl

N= 10-50 mmol/dl

Kreatinin

: 0,67 mmol/dl

N= 0,6-1,2 mmol/dl

Uric Acid

: 16 mmol/dl

N= 3,5-7 mmol/dl

DIAGNOSA SEMENTARA:
Abortus iminens + Suspek Sistemik Lupus Eritematosus pada Kehamilan

RENCANA:
-

Cek darah lengkap, HST, RFT, KGD ad random


Transfusi PRC 3 kantong
Konsul Departemen Penyakit Dalam

Jawaban konsul penyakit dalam (28 Februari 2016 pkl. 09.00):


Diagnosa sementara : SLE pada kehamilan + anemia e.c perdarahan + abortus
iminens + hponatremia
Terapi
: Transfusi PRC 3 kantong
IVFD NaCl 0,9% 20 gtt/i
Terapi lebih lanjut diberikan setelah konfirmasi ANA test dan anti ds DNA

FOLLOW UP :
27 Pebruari 2016
S

: demam (+), bercak darah dari kemaluan (+), nyeri sendi (+)

: Sensorium : CM

Anemis

: +/+

TD

: 120/80 mmHg

Ikterik

:-

HR

: 86 x/i

Sianosis

:-

RR

: 16 x/i

Dispnoe

:-

Temp

: 37,8C

Edema

:-

Status Lokalisata :
Wajah

: malar rash (+)

Abdomen

: Soepel (+) , peristaltik (+) normal

TFU

: 2 jari di atas simfisis pubis

P/V

: (+)

L/O

:-

BAK

: (+) , via kateter, UOP 50cc/jam

BAB

: (-), flatus (+)

: abortus iminens + SLE pada kehamilan

: - IVFD NaCl 0,9% 20gtt/i


- Paracetamol 3x500 mg (k/p)
- Asam Folat 1x1
- Duvaston 2x1
- Nifedipine 3x10 mg

R/ Transfusi PRC 3 kantong, cek DL post transfusi


28 Pebruari 2016
S

: bercak darah dari kemaluan (+), nyeri sendi (+), malaise (+)

: Sensorium : CM

Anemis

: +/+

TD

: 120/80 mmHg

Ikterik

:-

HR

: 104 x/i

Sianosis

:-

RR

: 20 x/i

Dispnoe

:-

Temp

: 36,2C

Edema

:-

Status Lokalisata :
Wajah

: malar rash (+)

Abdomen

: Soepel (+) , peristaltik (+) normal

TFU

: 2 jari di atas simfisis pubis

P/V

: (+)

L/O

:-

BAK

: (+) , via kateter, UOP 50cc/jam

BAB

: (-), flatus (+)

: abortus iminens + SLE pada kehamilan

: - IVFD NaCl 0,9% 20gtt/i


- Paracetamol 3x500 mg (k/p)
- Asam Folat 1x1
- Premaston 2x1
- Nifedipine 3x10 mg

R/ Transfusi PRC 3 kantong, cek DL post transfusi, test ANA dan ds DNA

29 Pebruari 2016
S

: bercak darah dari kemaluan (+), nyeri sendi (+), malaise (+), demam (+)

: Sensorium : CM

Anemis

: +/+

TD

: 120/60 mmHg

Ikterik

:-

HR

: 84 x/i

Sianosis

:-

RR

: 20 x/i

Dispnoe

:-

Temp

: 39,3C

Edema

:-

Status Lokalisata :
Wajah

: malar rash (+)

Abdomen

: Soepel (+) , peristaltik (+) normal

TFU

: 2 jari di atas simfisis pubis

P/V

: (+)

L/O

:-

BAK

: (+) , via kateter, UOP 50cc/jam

BAB

: (-), flatus (+)

: abortus iminens + SLE pada kehamilan

: - IVFD NaCl 0,9% 20gtt/i


- Paracetamol 3x500 mg (k/p)
- Asam Folat 1x1
- Premaston 2x1
- Nifedipine 3x10 mg

R/ USG konfirmasi

30 Pebruari 2016
S

: bercak darah dari kemaluan (+), nyeri sendi (+), malaise (+)

: Sensorium : CM

Anemis

: +/+

TD

: 110/60 mmHg

Ikterik

:-

HR

: 90 x/i

Sianosis

:-

RR

: 20 x/i

Dispnoe

:-

Temp

: 37,6C

Edema

:-

Status Lokalisata :
Wajah

: malar rash (+)

Abdomen

: Soepel (+) , peristaltik (+) normal

TFU

: 2 jari di atas simfisis pubis

P/V

: (+)

L/O

:-

BAK

: (+) , via kateter, UOP 50cc/jam

BAB

: (-), flatus (+)

: abortus iminens + SLE pada kehamilan

: - IVFD NaCl 0,9% 20gtt/i


- Paracetamol 3x500 mg (k/p)
- Asam Folat 1x1
- Premaston 2x1
- Nifedipine 3x10 mg
Pasien PAPS
CLINICAL SUMMARY

Ny. S, 23 tahun, G2P0A1, datang dengan keluhan keluar darah dari


kemaluan sejak sebulan yang lalu dan betambah berat. Selain itu os juga
mengeluhkan munculnya ruam kemerahan pada wajahnya dan nyeri pada sendi
tangan dan kakinya sejak sebulan ini juga. Hasil USG menunjukkan kesan KDR
(15-16) minggu + anak hidup. Hasil laboratorium darah menunjukkan anemia,
trombositopenia, hiponatremia, dan peningkatan ureum. Diagnosa pasien
sementara adalah abortus iminens + SLE pada kehamilan, lalu dikonsul ke
departemen penyakit dalam. Pasien diberi terapi IVFD NaCl 0,9% 20gtt/I,
Paracetamol 3x500 mg (kalau demam saja), Asam Folat 1x1, Premaston 2x1, dan
Nifedipine 3x10 mg. Direncanakan pemberian transfusi PRC 3 kantong, cek darah
lengkap, dan USG konfirmasi, namun pasien PAPS pada tanggal 30 Pebruari
2016.

BAB V
ANALISA KASUS
Menurut

WHO

College

of

dan

The

American

Obstetricians

and

Pada pasien ini datang dengan usia


kehamilan 24 26 minggu dengan berat

Gynecologists yang disebut kematian badan 775 gram.


janin adalah janin yang mati dalam rahim
dengan berat badan 500 gram atau lebih
atau kematian janin pada kehamilan 20
minggu atau lebih.
Faktor risiko pada pasien ini tidak
Kematian janin dapat disebabkan oleh
faktor maternal, fetal, atau kelahiran
patologik plasenta. Faktor maternal antara
lain adalah: Post term (> 42 minggu),
diabetes

mellitus

sistemik

lupus

hipertensi,

tidak

terkontrol,

eritematosus,

preeklampsia,

infeksi,

eklampsia,

hemoglobinopati, umur ibu tua, penyakit


rhesus,

ruptura

uteri,

antifosfolipid

sindrom, hipotensi akut ibu, kematian


ibu. Faktor fetal antara lain: Hamil
kembar,

hamil

tumbuh

terlambat,

kelainan kongenital, kelainan genetik,


infeksi. Faktor plasental antara lain:
Kelainan tali pusat, lepasnya plasenta,
ketuban
Sedangkan

pecah

dini,

faktor

vasa

risiko

previa.
terjadinya

kematian janin intrauterin meningkat


pada usia ibu >40 tahun, pada ibu infertil,

diketahui, apakah berasal dari faktor


maternal,

fetal,

atau

plasenta.

Dari anamnesis, pasien mengeluhkan


keluar lendir darah dari kemaluan,
riwayat

mules-mules

seperti

mau

melahirkan dan gerakan janin yang


berkurang sejak lima hari lalu.

hemokonsentrasi pada ibu, riwayat bayi


dengan berat badan lahir rendah, infeksi
ibu (ureplasma urealitikum, kegemukan,
dan ayah berusia lanjut.
Kemampuan

mengidentifikasi

denyut Hasil USG-TAS pada pasien ini: Janin

jantung janin pada kunjungan ANC tunggal, Presentasi kepala, Spalding sign
(Antenatal Care) setelah usia gestasi 12 (+), Fetal Movement (-), Fetal Heart Rate
minggu dapat menjadi dasar diagnosis. (-), BPD: 62,1 mm, FL: 40,6 mm, AC:
Saat ini USG merupakan baku emas 20,6

mm,

EFW:

721

gram.

untuk mengkonfirmasi KJDK dengan Kesan : IUP (24 26) minggu + KJDK
mendokumentasikan

tidak

adanya

aktivitas jantung janin setelah usia gestasi


6 minggu.
Pada prinsipnya, setiap kematian janin Pada

pasien

dalam rahim harus diupayakan untuk pervaginam

ini
dan

secepatnya dilahirkan karena kematian persalinan baik.


janin akan menyebabkan desidua plasenta
menjadi

rusak

menghasilkan
tromboplastin

yang

selanjutnya

tromboplastin
akan

masuk

lalu
kedalam

peredaran darah ibu sehingga terjadi


pembekuan intravaskuler (yang dimulai
dari

endotel

pembuluh

darah

oleh

trombosit) kemudian terjadi pembekuan


darah yang meluas atau yang disebut
Disseminated intravascular coagulation
(DIC)

dan

seterusnya

akan

terjadi

hipofibrinogenemia. Pilihan utama adalah


secara per vaginam.

dilakukan
keadaan

ibu

partus
post

PERMASALAHAN:
1. Faktor apa yang menjadi penyebab kematian janin dalam kandungan pada
pasien ini?
2. Sebagai dokter umum, apabila menemukan kasus seperti ini ditingkat
puskesmas apa yang harus dilakukan dan sampai mana kompetensi dokter
umum dalam menangani kasus kematian janin dalam kandungan?

DAFTAR PUSTAKA
1. Mochtar, R., 1998. Abortus dan Kelainan dalam Tua Kehamilan. In Lutan,
D., ed.Sinopsis Obstetri: Obstetri Fisiologi, Obstetri Patologi. 2nd ed.
Jakarta:Penerbit Buku Kedokteran, 209-15.
2. Sastrawinata, S., Martaadisoebrata, D., and Wirakusumah, F.F., 2005.
Obstetri Patologi Ilmu Kesehatan Reproduksi. 2nd ed. Jakarta: Penerbit
Buku Kedokteran EGC.
3. Griebel, C.P., Halvorsen, J., Golemon, T.B., and Day, A.A., 2005.
Management of Spontaneous Abortion. American Family Physician 72
(7): 1243-1250.
4. Syafruddin, SH, MH, 2003. Abortus Provocatus dan Hukum. Available
from:http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/1552/1/pidsyafruddin6.pdf.[Accessed March 2011].
5. Sastrawinata, S., Martaadisoebrata, D., and Wirakusumah, F.F., 2005.
Obstetri Patologi Ilmu Kesehatan Reproduksi. 2nd ed. Jakarta: Penerbit
Buku Kedokteran EGC.
6. Cunningham, F.G., Leveno, K.J., Bloom, S.L., Hauth, J.C., Gilstrap III, L.,
and Wenstrom, K.D., 2005. Williams Obstetrics. 22nd ed. United States of
America: The McGraw-Hill Companies, Inc.

7. Lebedev, I.N., Ostroverkhova, N.V., Nikitina, T.V., Sukhanova, N.N., and


Nazarenko, S.A., 2004. Features of Chromosomal Abnormalities In
Spontaneous Abortion Cell Culture Failures Detected by Interphase FISH
Analysis. European Journal of Human Genetics 12: 513-520.
8. Sotiriadis, A., Papatheodorou, S., and Makrydimas, G., 2004. Threatened
Miscarriage: Evaluation and Management. British Medical Journal 329:
152-155.
9. Kleinhaus, K., Perrin, M., Friedlander, Y., Paltiel, O., Malaspina, D., and
Harlap,S., 2006. Paternal Age and Spontaneous Abortion. American
College of Obstetricians and Gynecologist 108 (2): 369-377.
10. Berek, J.S., 2007. Early Pregnancy Loss and Ectopic Pregnancy. In
Rinehart,R.D., ed. Berek & Novak's Gynecology. Philadelphia: Lippincott
Williams & Wilkins, 601-04.
11. Kiwi, R., 2006. Recurrent Pregnancy Loss: Evaluation and Discussion of
the Causes and Their Management. Cleveland Clinic Journal of Medicine
73 (10):913-921.
12. Jauniaux, E., Farquharson, R.G., Christiansen, O.B., and Exalto, N., 2006.
Evidence-based Guidelines for the Investigation and Medical Treatment of
Recurrent Miscarriage. Human Reproduction 21 (9): 2216-2222.
13. World Health Organization, GENEVA, 1994. Clinical Management of
Abortion Complications: A Practical Guide. Maternal Health and Safe
Motherhood Programme, Division of Family Health.
14. Puscheck, E.E., 2010. Early Pregnancy Loss Workup, Medscape
Reference.Available from: http://emedicine.medscape.com/article/266317workup#a0720. [Accessed April 2011].

Anda mungkin juga menyukai