TINJAUAN PUSTAKA
permasalahan
keagenan.
applies and where there is a state to codify such laws and endorce penalties in response to their
breach. The distinction is important. Not all frauds are crims and the majority of crimes are not frauds.
Companies lose through frauds, but the police and other enforcement bodies can take action only
against crimes.
Dari pengertian kecurangan (fraud) menurut Michael J.cormer berkenaan dengan perilaku
dimana seseorang mengambil atau secara sengaja mengambil manfaat secara tidak jujur atas orang lain.
Kejahatan merupakan suatu tindakan yang disengaja yang melanggar undang-undang kriminal yang
secara hukum tidak boleh dilakukan dimana sebuah negara mengikuti hukum tersebut dan memberikan
hukuman atas pelanggaran yang dilakukan. Perusahaan menderita kerugian akibat kecurangan, tetapi
polisi dan badan penegak hukum lainnya bisa mengambil tindakan hanya terhadap kejahatan.
Robert Cockerall (auditor Ernst & Young) dalam makalahnya "Forensic Accounting
fundamental : Introduction to the investigations" dinyatakan bahwa:
Lingkungan profil fraud mencakup beberapa hal yaitu motivasi, kesempatan, tujuan/objek fraud,
indikator, metode dan konsekuensi fraud. Motivasi dan kesempatan memiliki pengertian yang sama
dengan definisi sebelumnya. Tujuan/objek fraud adalah sarana yang digunakan untuk mencapai
motivasi kecurangan di atas. Indikator fraud mengandung pengertian adanya gejala-gejala yang
merujuk kepada pembuktian kecurangan. Metode fraud adalah cara-cara yang dilakukan untuk
melakukan kecurangan. Sedangkan konsekuensi fraud adalah dampak kecurangan yang terjadi pada
organisasi tersebut.
Menurut Sawyer (2006: 339) melakukan kejahatan dengan penipuan memiliki banyak istilah
antara lain disebutkecurangan (fraud), kejahatan kerah putih (white collar crime) dan penggelapan.
Kecurangan adalah serangkaian tindakantindakan tidak wajar dan ilegal yang sengaja dilakukan untuk
menipu, kecurangan dilakukan oleh individu atau organisasi untuk mendapatkan uang, kekayaan atau
jasa untuk menghindari pembayaran/kerugian jasa atau untuk mengamankan keuntungan pribadi.
2.1.2.1 Fraud Triangle
Cressey (1953) dalam Lisia Gandhatama (2014) mengemukakan tiga penyebab fraud sebagai
berikut:
1. Tekanan (pressure)
Pressure (tekanan) memiliki berbagai arti, di antaranya keadaan di mana kita merasa ditekan,
kondisi yang berat saat kita menghadapi kesulitan. Dari dua arti di atas, dapat dilihat bahwa
pressure dapat menjadi motivasi bagi manusia dalam melakukan tindakan. Pressure sendiri
dapat memberikan dampak yang positif, pressure dapat membuat kita meningkatkan perhatian
dalam melakukan tindakan, meningkatkan ingatan dan kemampuan untuk mengingat. Dengan
kata lain, pressure dapat meningkatkan kinerja. Akan tetapi, di lain pihak pressure dapat
menjadi salah satu sumber dari munculnya fraud dan akhirnya menjadi salah satu elemen dari
fraud triangle.
2. Peluang (opportunity)
Peluang merupakan faktor yang paling mendasari terjadinya kecurangan. Peluang ini dapat
muncul kapan saja, sehingga pengawasan dan kontrol internal perusahaan sangat diperlukan
untuk
mengantisipasi
kemungkinan
adanya
peluang
seseorang
melakukan
Opportunity
Rationalization
Gambar 2.1
Fraud Triangle
ACFE dalam Tuanakotta (2010) membagi fraud (kecurangan) dalam 3 (tiga) jenis atau tipologi
berdasarkan perbuatan, yaitu:
1. Kecurangan Laporan Keuangan (Fraudulent Statement)
Kecurangan Laporan keuangan dapat didefinisikan sebagai kecurangan yang dilakukan oleh
manajemen dalam bentuk salah saji material Laporan Keuangan yang merugikan investor dan
kreditor. Kecurangan ini dapat bersifat finansial atau kecurangan non finansial.
2. Penyimpangan atas Aset (Asset Misappropriation)
Asset misappropriation meliputi penyalahgunaan/pencurian aset atau harta perusahaan atau
pihak lain. Ini merupakan bentuk fraud yang paling mudah dideteksi karena sifatnya yang
tangible atau dapat diukur/dihitung (defined value).
3. Korupsi (Corruption)
Jenis fraud ini yang paling sulit dideteksi karena menyangkut kerja sama dengan pihak lain
seperti suap dan korupsi, di mana hal ini merupakan jenis yang terbanyak terjadi di negaranegara berkembang yang penegakan hukumnya lemah dan masih kurang kesadaran akan tata
kelola yang baik sehingga faktor integritasnya masih dipertanyakan. Fraud jenis ini sering kali
tidak dapat dideteksi karena para pihak yang bekerja sama menikmati keuntungan (simbiosis
mutualisme). Termasuk didalamnya adalah penyalahgunaan wewenang/konflik kepentingan
(conflict of interest), penyuapan (bribery), penerimaan yang tidak sah/illegal (illegal gratuities)
dan pemerasan secara ekonomi (economic extortion).
2.1.3 Moralitas Individu
Secara etimologis, kata moral berasal dari kata mos dalam bahasa Latin, bentuk jamaknya
mores, yang artinya adalah tata-cara atau adat-istiadat. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (1989:
592), moral diartikan sebagai akhlak, budi pekerti, atau susila. Secara terminologis, terdapat berbagai
rumusan pengertian moral, yang dari segi substantif materiilnya tidak ada perbedaan, akan tetapi
bentuk formalnya berbeda. Widjaja (1985: 154) menyatakan bahwa moral adalah ajaran baik dan buruk
tentang perbuatan dan kelakuan (akhlak).
Hurlock (1978) mengemukakan bahwa tingkah laku moral berarti tingkah laku yang sesuai
dengan kode moral kelompok sosial. Pengertian ini hampir sama dengan pendapat sebagian besar ahli
psikologi dalam menerangkan masalah moral. Penganut teori behaviorisme menyatakan bahwa
moralitas identik dengan konfonnitas terhadap aturan-aturan sosial. Nilai moral merupakan evaluasi
dari tindakan yang dianggap baik oleh anggota masyarakat tertentu. Dengan demikian jelas bahwa
pemahaman moral merupakan proses internalisasi dari norma budaya atau norma dari orangtua
(Setiono, 1993).
2.1.3.1 Tingkatan Perkembangan Moral
Salah satu teori perkembangan moral yang banyak digunakan dalam penelitian etika adalah
model Kohlberg. Kohlberg (1969) dalam Gusti Ayu Ketut Rencana Dewi (2014) menyatakan bahwa
moral
berkembang
melalui
tiga
tahapan,
yaitu
tahapan
pre-conventional,
tahapan
conventional dan tahapan post-conventional. Welton et al. (1994) menyatakan bahwa kemampuan
individu dalam menyelesaikan dilema etika dipengaruhi oleh level penalaran moralnya. Hasil dari
beberapa studi yang dipaparkan dalam Liyanarachi (2009) menunjukkan bahwa level penalaran moral
individu mereka akan mempengaruhi perilaku etis mereka. Orang dengan level penalaran moral yang
rendah berperilaku berbeda dengan orang yang memiliki level penalaran moral yang tinggi ketika
menghadapi dilema etika. Semakin tinggi level penalaran 35 moral seseorang, maka individu tersebut
semakin mungkin untuk melakukan hal yang benar.
Individu akan melakukan suatu tindakan karena takut terhadap hukum/ peraturan yang ada jika
berada pada tahapan yang paling rendah (preconventional). Selain itu individu pada level moral ini juga
akan memandang kepentingan pribadinya sebagai hal yang utama dalam melakukan suatu tindakan.
Pada tahap kedua (conventional), individu akan mendasarkan tindakannya pada persetujuan temanteman dan keluarganya dan juga pada norma-norma yang ada di masyarakat. Pada tahap tertinggi
(post-conventional), individu mendasari tindakannya dengan memperhatikan kepentingan orang lain
dan berdasarkan tindakannya pada hukum-hukum universal.
Menurut Welton et al. (1994) dalam setiap stage Kohlberg, individu memiliki pandangan
sendiri mengenai versi hal yang benar menurutnya. Individu dalam stage 1 merasa bahwa hal yang
benar adalah apa yang menjadi kepentingan individu tersebut. Individu dalam stage 2 menganggap
bahwa hal yang benar adalah hasil dari pertukaran yang imbang, persetujuan maupun posisi tawar yang
imbang. Individu dalam stage 3 merasa bahwa hal yang benar adalah terkait dengan pengharapan akan
kepercayaan, loyalitas, dan respek dari teman-teman dan keluarganya. Individu dalam stage 4
menganggap bahwa hal yang benar adalah dengan membuat kontribusi untuk masyarakat, grup atau
institusi. Individu dalam stage 5 dan stage 6 menganggap bahwa kebenaran adalah mendasarkan diri
pada prisip-prinsip etis, persamaan hak manusia dan harga diri sebagai seorang makhluk hidup.
Ringkasan mengenai tahapan moral model Kohlberg dipaparkan pada Tabel 2.1.
Tingkat
Tahap/Stage
1. Pre-conventional
Tidak adanya internalisasi terhadap nilai-nilai Pemahaman individu tentang baik dan buruk
moral. Penilaian tentang moral didasarkan pada ditentukan oleh otoritas. Kepatuhan terhadap
hadiah atau hukuman yang berasal dari luar aturan adalah untuk menghindari hukuman dari
dirinya
otoritas.
2. Orientasi minat pribadi
Perilaku yang benar didefinisikan dengan apa
yang paling diminatinya. Kurang menunjukkan
perhatian pada kebutuhan orang lain, hanya
sampai tahap bila kebutuhan itu juga berpengaruh
terhadap kebutuhannya sendiri.
2. Conventional
3.
Orientasi
keserasian
interpersonal
dan
sedang.
Penilaian
individu
didasarkan oleh standar pribadi (internal) tapi Sesuatu yang dinilai baik apabila menyenangkan
ada juga yang berdasarkan standar orang lain untuk orang lain.
(orangtua).
3. Post-conventional
Aturan dan institusi dari masyarakat tidak Ada semacam perjanjian antara dirinya dan
dipandang
sebagai
tujuan
akhir,
diperlukan sebagai subjek. Individu menaati sesuai dengan perundangundangan yang berlaku.
aturan
sesuai
dengan
universal.
prinsipprinsip
terhadap
martabat
manusia.
Mengamankan aset, mencegah atau mendeteksi perolehan, penggunaan, atau penempatan yang
tidak sah.
Mengelola catatan dengan detail yang baik untuk melaporkan aset perusahaan secara akurat dan
wajar.
Menurut Sawyers (2005: 59) pengendalian internal adalah setiap tindakan yang diambil
manajemen untuk meningkatkan kemungkinan tercapainya tujuan dan sasaran yang ditetapkan.
Pengendalian internal bersifat preventif (untuk mencegah terjadinya hal-hal yang tidak diinginkan),
detektif (untuk mendeteksi dan memperbaiki hal-hal yang tidak diinginkan yang telah terjadi), dan
direktif (untuk menyebabkan atau mengarahkan terjadinya hal-hal yang diinginkan).
Pengendalian internal adalah sebuah proses karena ia menyebar ke seluruh aktivitas
pengoprasian perusahaan dan merupakan bagian integral dari aktivitas manajemen. Pengendalian
memberikan jaminan memadai yaitu jaminan menyeluruh yang sulit dicapai dan terlalu mahal. Selain
itu, sistem pengendalian internal memiliki keterbatasan yang melekat, seperti kelemahan terhadap
kekeliruan dan kesalahan sederhana, pertimbangan dan pembuatan keputusan yang salah,
pengesampingan manajemen, dan kolusi.
Menurut COSO (2013:3) mendefisinikan pengendalian internal sebagai :
Internal control is a process, efected by an entity's board of directors,
management, an other personel, designed to provide reasonable assurance
regarding the achivement of objective relating to operations, reporting, and
compliance
Dapat diartikan bahwa pengendalian internal adalah proses, karena hal tersebut menembus
kegiatan operasional organisasi dan merupakan bagian internal dari kegiatan dasar manajemen.
c. Tindak lanjut rekomendasi hasil audit dan reviu lainnya harus segera diselesaikan dan
dilaksanakan sesuai dengan mekanisme penyelesaian rekomendasi hasil audit dan reviu
lainnya yang ditetapkan.
2.2 Penelitian Terdahulu
Nilam (2013) melakukan penelitian mengenai pengaruh sistem pengendalian internal,
kesesuaian kompensasi, dan moralitas manajemen terhadap kecenderungan kecurangan akuntansi pada
kantor BUMN di kota Padang yang diukur dengan variabel bebas: sistem pengendalian internal,
kesesuaian kompensasi, dan moralitas manajemen terhadap kecenderungan kecurangan akuntansi
sebagai variabel independen.
Hasil penelitian Nilam ini menunjukkan sistem pengendalian internal berpengaruh signifikan
negatif terhadap kecenderungan kecurangan akuntansi dalam pada BUMN di kota Padang, kesesuaian
kompensasi berpengaruh signifikan negatif terhadap kecenderungan kecurangan akuntansi pada
BUMN di kota Padang, dan
bersifat negatif artinya semakin efektif sistem Pengendalian Intern maka Tingkat Kenderungan
Kecurangan Akutansi semakin berkurang.
2.3 Kerangka Penelitian
Penelitian ini akan menganalisis apakah terdapat perbedaan kecenderungan melakukan
kecurangan akuntansi antara individu yang memiliki level penalaran moral tinggi dan level penalaran
moral rendah dalam kondisi terdapat elemen pengendalian internal dan tidak terdapat elemen
pengendalian internal. Konsep Variabel independen 1. Moralitas Individu (Level Moral Tinggi dan
Rendah) 2. Pengendalian Internal (ada dan tidak ada elemen pengendalian internal) Variabel Dependen
KecuranganAkuntansi.
Moralitas Individu
Kecenderungan
Kecurangan
Akuntansi
Pengendalian Internal
Gambar tersebut merupakan kerangka penelitian dan sebagai alur pemikiran dalam menguji hipotesis
2.4 Pengulangan Hipotesis
2.4.1 Pengaruh Moralitas Individu terhadap Kecenderungan Kecurangan Akuntansi
Moralitas individu akan mempengaruhi kecenderungan seseorang melakukan kecurangan
akuntansi. Artinya, semakin tinggi tahapan moralitas individu, semakin individu memperhatikan
kepentingan yang luas dan universal daripada kepentingan organisasinya, apalagi untuk kepentingan
individual. Oleh sebab itu, semakin tinggi moralitas seseorang, maka ia akan berusaha untuk
menghindarkan diri dari tindak kecenderungan kecurangan akuntansi, sehingga hipotesis penelitian ini
adalah:
H1 : Moralitas individu berpengaruh signifikan positif terhadap kecenderungan kecurangan akuntansi