Anda di halaman 1dari 14

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Teori yang relevan


2.1.1 Grand Theory
Jensen dan Meckling (1976) mendefinisikan bahwa hubungan keagenan sebagai kontrak antara
satu orang atau lebih yang bertindak sebagai prinsipal (yaitu pemegang saham) yang menunjuk orang
lain sebagai agen (yaitu manajer) untuk melakukan jasa untuk kepentingan prinsipal termasuk
mendelegasikan kekuasaan dalam pembuatan keputusan. Manajer sebagai pengelola perusahaan lebih
banyak mengetahui informasi internal dan prospek perusahaan di masa yang akan datang dibandingkan
pemilik (pemegang saham). Situasi ini akan memicu munculnya suatu kondisi yang disebut sebagai
asimetri informasi (information asymmetry). Asimetri informasi merupakan suatu kondisi
ketidakseimbangan dalam memperoleh informasi antara pihak manajemen sebagai penyedia informasi
(prepaper) dengan pihak pemegang saham sebagai pengguna informasi (user). Scott (2000)
menyatakan bahwa terdapat dua macam asimetri informasi yaitu:
a) Adverse selection, yaitu bahwa para manajer serta orang-orang dalam lainnya biasanya
mengetahui lebih banyak tentang keadaan dan prospek perusahaan dibandingkan investor pihak
luar. Fakta yang mungkin dapat mempengaruhi keputusan yang akan diambil oleh pemegang
saham tersebut tidak disampaikan informasinya kepada pemegang saham.
b) Moral hazard, yaitu bahwa kegiatan yang dilakukan oleh seorang manajer tidak seluruhnya
diketahui oleh pemegang saham maupun pemberi 27 pinjaman sehingga manajer dapat
melakukan tindakan di luar pengetahuan pemegang saham yang melanggar kontrak dan
sebenarnya secara etika atau norma mungkin tidak layak dilakukan.
Adanya asimetri informasi memungkinkan adanya konflik yang terjadi antara principal dan
agent untuk saling mencoba memanfaatkan pihak lain untuk kepentingan sendiri dan selalu berusaha
untuk memaksimalkan fungsi utilitasnya tersebut. Pemilik perusahaan harus melakukan pengawasan
terhadap kinerja manajemen dengan sistem pengendalian yang efektif untuk mengantisipasi tindakan
menyimpang yang dapat dilakukan oleh pihak manajemen. Sistem pengendalian tersebut diharapkan
mampu mengurangi adanya perilaku menyimpang dalam sistem pelaporan, termasuk adanya
kecurangan akuntansi. Eisenhardt (1989) menjelaskan bahwa teori keagenan dilandasi oleh 3 (tiga)
buah asumsi yaitu:

a) Asumsi tentang sifat manusia


Asumsi tentang sifat manusia menekankan bahwa manusia memiliki sifat untuk
mementingkan diri sendiri (self interest), memiliki keterbatasan rasionalitas (bounded
rationality), dan tidak menyukai risiko (risk aversion)
b) Asumsi tentang keorganisasian
Asumsi keorganisasian adalah adanya konflik antar anggota organisasi, efisiensi sebagai
kriteria produktivitas, dan adanya Asymmetric Information (AI) antara prinsipal dan agen.
c) Asumsi tentang informasi
Asumsi tentang informasi adalah bahwa informasi dipandang sebagai barang komoditi yang bisa
diperjualbelikan. Berdasarkan asumsi sifat dasar manusia tersebut menyebabkan bahwa informasi
yang dihasilkan manusia untuk manusia lain selalu dipertanyakan reliabilitasnya dan dapat
dipercaya tidaknya informasi yang disampaikan. Pola pertanggungjawaban pengelolaan keuangan
negara sejalan dengan teori keagenan (agency theory) yang menciptakan hubungan keagenan.
Jensen dan Meckling (1976), Brickley dan James (1987), dan Shivdasani (1993) menjelaskan
bahwa prinsipal dapat memecahkan permasalahan agensi dengan mengeluarkan biaya
monitoring.Hasil monitoring yang baik memerlukan pengendalian internal perusahaan yang efektif.
Manajemen perusahaan seharusnya melaksanakan aturan akuntansi dengan benar agar dapat
mengatasi

permasalahan

keagenan.

2.1.2 Kecurangan Akuntansi (Fraud)


Kegagalan pemerintah dalam mempertanggungjawabkan pengelolaan keuangan dapat
diakibatkan oleh beberapa hal antara lain penyimpangan kebijakan dan penyimpangan yang
diakibatkan oleh kecurangan (fraud). Penyimpangan kebijakan dilakukan oleh manajemen puncak
terutama untuk mencapai tujuan tertentu, dengan cara membuat kebijakan yang tidak sesuai dengan
peraturan yang berlaku. Sedangkan penyimpangan kecurangan (fraud) dapat dilakukan baik oleh
manajemen puncak maupun pegawai lainnya dengan untuk mendapatkan keuntungan, dengan cara
melakukan tindakan-tindakan kriminal seperti korupsi, kolusi, penipuan, dan lain sebagainya.
Michael J.Cormer menyatakan bahwa:
Fraud is any behavior by which one person gains or intends to gain a dishonest advantage over
another. A crime is an intentional act that violates the criminal law under which no legal excuse

applies and where there is a state to codify such laws and endorce penalties in response to their
breach. The distinction is important. Not all frauds are crims and the majority of crimes are not frauds.
Companies lose through frauds, but the police and other enforcement bodies can take action only
against crimes.
Dari pengertian kecurangan (fraud) menurut Michael J.cormer berkenaan dengan perilaku
dimana seseorang mengambil atau secara sengaja mengambil manfaat secara tidak jujur atas orang lain.
Kejahatan merupakan suatu tindakan yang disengaja yang melanggar undang-undang kriminal yang
secara hukum tidak boleh dilakukan dimana sebuah negara mengikuti hukum tersebut dan memberikan
hukuman atas pelanggaran yang dilakukan. Perusahaan menderita kerugian akibat kecurangan, tetapi
polisi dan badan penegak hukum lainnya bisa mengambil tindakan hanya terhadap kejahatan.
Robert Cockerall (auditor Ernst & Young) dalam makalahnya "Forensic Accounting
fundamental : Introduction to the investigations" dinyatakan bahwa:
Lingkungan profil fraud mencakup beberapa hal yaitu motivasi, kesempatan, tujuan/objek fraud,
indikator, metode dan konsekuensi fraud. Motivasi dan kesempatan memiliki pengertian yang sama
dengan definisi sebelumnya. Tujuan/objek fraud adalah sarana yang digunakan untuk mencapai
motivasi kecurangan di atas. Indikator fraud mengandung pengertian adanya gejala-gejala yang
merujuk kepada pembuktian kecurangan. Metode fraud adalah cara-cara yang dilakukan untuk
melakukan kecurangan. Sedangkan konsekuensi fraud adalah dampak kecurangan yang terjadi pada
organisasi tersebut.
Menurut Sawyer (2006: 339) melakukan kejahatan dengan penipuan memiliki banyak istilah
antara lain disebutkecurangan (fraud), kejahatan kerah putih (white collar crime) dan penggelapan.
Kecurangan adalah serangkaian tindakantindakan tidak wajar dan ilegal yang sengaja dilakukan untuk
menipu, kecurangan dilakukan oleh individu atau organisasi untuk mendapatkan uang, kekayaan atau
jasa untuk menghindari pembayaran/kerugian jasa atau untuk mengamankan keuntungan pribadi.
2.1.2.1 Fraud Triangle
Cressey (1953) dalam Lisia Gandhatama (2014) mengemukakan tiga penyebab fraud sebagai
berikut:
1. Tekanan (pressure)
Pressure (tekanan) memiliki berbagai arti, di antaranya keadaan di mana kita merasa ditekan,
kondisi yang berat saat kita menghadapi kesulitan. Dari dua arti di atas, dapat dilihat bahwa

pressure dapat menjadi motivasi bagi manusia dalam melakukan tindakan. Pressure sendiri
dapat memberikan dampak yang positif, pressure dapat membuat kita meningkatkan perhatian
dalam melakukan tindakan, meningkatkan ingatan dan kemampuan untuk mengingat. Dengan
kata lain, pressure dapat meningkatkan kinerja. Akan tetapi, di lain pihak pressure dapat
menjadi salah satu sumber dari munculnya fraud dan akhirnya menjadi salah satu elemen dari
fraud triangle.
2. Peluang (opportunity)
Peluang merupakan faktor yang paling mendasari terjadinya kecurangan. Peluang ini dapat
muncul kapan saja, sehingga pengawasan dan kontrol internal perusahaan sangat diperlukan
untuk

mengantisipasi

kemungkinan

adanya

peluang

seseorang

melakukan

kecurangan.seseorang yang tanpa tekanan sekalipun dapat melakukan kecurangan dengan


adanya peluang ini.
3. Rasionalisasi (rationalization)
Rasionalisasi merupakan salah satu faktor di mana pelaku kecurangan mencari-cari pembenaran
atas tindakannya, Pelaku fraud pada umumnya menganggap bahwa tidakan yang dilakukan
merupakan tindakan yang benar, sehingga apa yang dilakukan bukanlah suatu tindak
kecurangan.
Seperti yang kita ketahui kejahatan kerah putih atau white collar crime memiliki ciri khas
kurangnya perasaan atau ketidakpedulian pelaku yang berasal dari serangkaian alasan atau rasionalisasi
untuk membebaskan diri dari rasa bersalah yang timbul dari perilaku mereka yang menyimpang
(Dellaportas, 2013).
Pressure

Opportunity

Rationalization
Gambar 2.1
Fraud Triangle

Sumber : Assosiate of Certified Fraud Examiners

ACFE dalam Tuanakotta (2010) membagi fraud (kecurangan) dalam 3 (tiga) jenis atau tipologi
berdasarkan perbuatan, yaitu:
1. Kecurangan Laporan Keuangan (Fraudulent Statement)
Kecurangan Laporan keuangan dapat didefinisikan sebagai kecurangan yang dilakukan oleh
manajemen dalam bentuk salah saji material Laporan Keuangan yang merugikan investor dan
kreditor. Kecurangan ini dapat bersifat finansial atau kecurangan non finansial.
2. Penyimpangan atas Aset (Asset Misappropriation)
Asset misappropriation meliputi penyalahgunaan/pencurian aset atau harta perusahaan atau
pihak lain. Ini merupakan bentuk fraud yang paling mudah dideteksi karena sifatnya yang
tangible atau dapat diukur/dihitung (defined value).
3. Korupsi (Corruption)
Jenis fraud ini yang paling sulit dideteksi karena menyangkut kerja sama dengan pihak lain
seperti suap dan korupsi, di mana hal ini merupakan jenis yang terbanyak terjadi di negaranegara berkembang yang penegakan hukumnya lemah dan masih kurang kesadaran akan tata
kelola yang baik sehingga faktor integritasnya masih dipertanyakan. Fraud jenis ini sering kali
tidak dapat dideteksi karena para pihak yang bekerja sama menikmati keuntungan (simbiosis
mutualisme). Termasuk didalamnya adalah penyalahgunaan wewenang/konflik kepentingan
(conflict of interest), penyuapan (bribery), penerimaan yang tidak sah/illegal (illegal gratuities)
dan pemerasan secara ekonomi (economic extortion).
2.1.3 Moralitas Individu
Secara etimologis, kata moral berasal dari kata mos dalam bahasa Latin, bentuk jamaknya
mores, yang artinya adalah tata-cara atau adat-istiadat. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (1989:
592), moral diartikan sebagai akhlak, budi pekerti, atau susila. Secara terminologis, terdapat berbagai
rumusan pengertian moral, yang dari segi substantif materiilnya tidak ada perbedaan, akan tetapi
bentuk formalnya berbeda. Widjaja (1985: 154) menyatakan bahwa moral adalah ajaran baik dan buruk
tentang perbuatan dan kelakuan (akhlak).
Hurlock (1978) mengemukakan bahwa tingkah laku moral berarti tingkah laku yang sesuai
dengan kode moral kelompok sosial. Pengertian ini hampir sama dengan pendapat sebagian besar ahli
psikologi dalam menerangkan masalah moral. Penganut teori behaviorisme menyatakan bahwa
moralitas identik dengan konfonnitas terhadap aturan-aturan sosial. Nilai moral merupakan evaluasi
dari tindakan yang dianggap baik oleh anggota masyarakat tertentu. Dengan demikian jelas bahwa

pemahaman moral merupakan proses internalisasi dari norma budaya atau norma dari orangtua
(Setiono, 1993).
2.1.3.1 Tingkatan Perkembangan Moral
Salah satu teori perkembangan moral yang banyak digunakan dalam penelitian etika adalah
model Kohlberg. Kohlberg (1969) dalam Gusti Ayu Ketut Rencana Dewi (2014) menyatakan bahwa
moral

berkembang

melalui

tiga

tahapan,

yaitu

tahapan

pre-conventional,

tahapan

conventional dan tahapan post-conventional. Welton et al. (1994) menyatakan bahwa kemampuan
individu dalam menyelesaikan dilema etika dipengaruhi oleh level penalaran moralnya. Hasil dari
beberapa studi yang dipaparkan dalam Liyanarachi (2009) menunjukkan bahwa level penalaran moral
individu mereka akan mempengaruhi perilaku etis mereka. Orang dengan level penalaran moral yang
rendah berperilaku berbeda dengan orang yang memiliki level penalaran moral yang tinggi ketika
menghadapi dilema etika. Semakin tinggi level penalaran 35 moral seseorang, maka individu tersebut
semakin mungkin untuk melakukan hal yang benar.
Individu akan melakukan suatu tindakan karena takut terhadap hukum/ peraturan yang ada jika
berada pada tahapan yang paling rendah (preconventional). Selain itu individu pada level moral ini juga
akan memandang kepentingan pribadinya sebagai hal yang utama dalam melakukan suatu tindakan.
Pada tahap kedua (conventional), individu akan mendasarkan tindakannya pada persetujuan temanteman dan keluarganya dan juga pada norma-norma yang ada di masyarakat. Pada tahap tertinggi
(post-conventional), individu mendasari tindakannya dengan memperhatikan kepentingan orang lain
dan berdasarkan tindakannya pada hukum-hukum universal.
Menurut Welton et al. (1994) dalam setiap stage Kohlberg, individu memiliki pandangan
sendiri mengenai versi hal yang benar menurutnya. Individu dalam stage 1 merasa bahwa hal yang
benar adalah apa yang menjadi kepentingan individu tersebut. Individu dalam stage 2 menganggap
bahwa hal yang benar adalah hasil dari pertukaran yang imbang, persetujuan maupun posisi tawar yang
imbang. Individu dalam stage 3 merasa bahwa hal yang benar adalah terkait dengan pengharapan akan
kepercayaan, loyalitas, dan respek dari teman-teman dan keluarganya. Individu dalam stage 4
menganggap bahwa hal yang benar adalah dengan membuat kontribusi untuk masyarakat, grup atau
institusi. Individu dalam stage 5 dan stage 6 menganggap bahwa kebenaran adalah mendasarkan diri
pada prisip-prinsip etis, persamaan hak manusia dan harga diri sebagai seorang makhluk hidup.
Ringkasan mengenai tahapan moral model Kohlberg dipaparkan pada Tabel 2.1.

Tingkat

Tahap/Stage

1. Pre-conventional

1. Orientasi Kepatuhan dan Hukuman

Tidak adanya internalisasi terhadap nilai-nilai Pemahaman individu tentang baik dan buruk
moral. Penilaian tentang moral didasarkan pada ditentukan oleh otoritas. Kepatuhan terhadap
hadiah atau hukuman yang berasal dari luar aturan adalah untuk menghindari hukuman dari
dirinya

otoritas.
2. Orientasi minat pribadi
Perilaku yang benar didefinisikan dengan apa
yang paling diminatinya. Kurang menunjukkan
perhatian pada kebutuhan orang lain, hanya
sampai tahap bila kebutuhan itu juga berpengaruh
terhadap kebutuhannya sendiri.

2. Conventional

3.

Orientasi

keserasian

interpersonal

dan

Ada proses internalisasi, hanya masih sebagian konformitas


atau

sedang.

Penilaian

individu

sebagian Individu menyesuaikan diri dengan orang lain.

didasarkan oleh standar pribadi (internal) tapi Sesuatu yang dinilai baik apabila menyenangkan
ada juga yang berdasarkan standar orang lain untuk orang lain.
(orangtua).

4. Orientasi otoritas dan pemeliharaan aturan


sosial
untuk mematuhi hukum, keputusan, dan konvensi
sosial karena berguna dalam memelihara fungsi
dari masyarakat (ketertiban).

3. Post-conventional

5. Orientasi kontrol sosial-legalistik

Aturan dan institusi dari masyarakat tidak Ada semacam perjanjian antara dirinya dan
dipandang

sebagai

tujuan

akhir,

tetapi lingkungan sosial. Perbuatan dinilai baik apabila

diperlukan sebagai subjek. Individu menaati sesuai dengan perundangundangan yang berlaku.
aturan

sesuai

dengan

universal.

prinsipprinsip

etika 6. Orientasi kata hati Kebenaran


ditentukan oleh kata hati, sesuai dengan prinsipprinsip etika universal yang bersifat abstrak dan
penghormatan

Sumber : Erma Gunawan

terhadap

martabat

manusia.

2.1.4 Pengendalian Internal


Pengendalian Internal (Menurut Marshall B. Romney) adalah proses yang dijalankan untuk
menyediakan jaminan memadai bahwa tujuan-tujuan pengendalian berikut telah dicapai:

Mengamankan aset, mencegah atau mendeteksi perolehan, penggunaan, atau penempatan yang
tidak sah.

Memberikan informasi yang akurat dan reliabel

Mendorong dan memperbaiki efesiensi operasional

Mematuhi hukum dan peraturan yang berlaku

Menyiapkan laporan keuangan yang sesuai dengan kriteria yang ditetapkan.

Mendorong ketaatan terhadap kebijakan majerial yang telah ditetapkan.

Mengelola catatan dengan detail yang baik untuk melaporkan aset perusahaan secara akurat dan
wajar.
Menurut Sawyers (2005: 59) pengendalian internal adalah setiap tindakan yang diambil

manajemen untuk meningkatkan kemungkinan tercapainya tujuan dan sasaran yang ditetapkan.
Pengendalian internal bersifat preventif (untuk mencegah terjadinya hal-hal yang tidak diinginkan),
detektif (untuk mendeteksi dan memperbaiki hal-hal yang tidak diinginkan yang telah terjadi), dan
direktif (untuk menyebabkan atau mengarahkan terjadinya hal-hal yang diinginkan).
Pengendalian internal adalah sebuah proses karena ia menyebar ke seluruh aktivitas
pengoprasian perusahaan dan merupakan bagian integral dari aktivitas manajemen. Pengendalian
memberikan jaminan memadai yaitu jaminan menyeluruh yang sulit dicapai dan terlalu mahal. Selain
itu, sistem pengendalian internal memiliki keterbatasan yang melekat, seperti kelemahan terhadap
kekeliruan dan kesalahan sederhana, pertimbangan dan pembuatan keputusan yang salah,
pengesampingan manajemen, dan kolusi.
Menurut COSO (2013:3) mendefisinikan pengendalian internal sebagai :
Internal control is a process, efected by an entity's board of directors,
management, an other personel, designed to provide reasonable assurance
regarding the achivement of objective relating to operations, reporting, and
compliance
Dapat diartikan bahwa pengendalian internal adalah proses, karena hal tersebut menembus
kegiatan operasional organisasi dan merupakan bagian internal dari kegiatan dasar manajemen.

Kerangka pengendalian Internal Committee of sponsoring Organizations (COSO) adalah sebuah


kerangka COSO yang menjelaskan pengendalian internal dan memberikan panduan untuk
mengevaluasi dan meningkatkan sistem pengendalian internal.
Menurut Peraturan Pemerintah No.60 Tahun 2008 mendefinisikan sistem pengendalian internal
sebagai:
Sistem Pengendalian Intern adalah proses yang integral pada tindakan dan kegiatan
yang dilakukan secara terus menerus oleh pimpinan dan seluruh pegawai untuk
memberikan keyakinan memadai atas tercapainya tujuan organisasi melalui kegiatan
yang efektif dan efisien, keandalan pelaporan keuangan, pengamanan aset negara
dan ketaatan terhadap peraturan perundang-undangan
Penerapan SPIP bersifat menyatu dan menjadi bagian integral dari kegiatan Instansi Pemerintah.
Ia bukan bagian terpisah dari kegiatan, ataupun ditambahkan ke dalam kegiatan-kegiatan yang telah
disusun. Sebaliknya, SPIP berjalan bersama-sama dengan kegiatan lain dalam satuan kerja instansi
pemerintah. Sesuai dengan PP Nomor 60 Tahun 2008, Sistem Pengendalian Intern Pemerintah terdiri
dari lima unsur, yaitu:
1. Lingkungan pengendalian
PP Nomor 60/2008 mewajibkan Pimpinan Instansi Pemerintah untuk menciptakan dan
memelihara lingkungan pengendalian yang menimbulkan perilaku positif dan kondusif untuk
penerapan Sistem Pengendalian Intern dalam lingkungan kerjanya. Hal ini merupakan
komponen yang sangat penting dan menjadi unsur dasar di dalam SPIP. Kemampuan pimpinan
untuk menciptakan dan memelihara lingkungan kerja yang kondusif akan menjadi motivasi kuat
bagi para pegawai untuk memberikan yang terbaik dalam pelaksanaan pekerjaannya.
Sebaliknya, pimpinan yang tidak/kurang kompeten dalam menciptakan lingkungan yang positif
akan berpotensi mempengaruhi pegawai untuk melakukan hal-hal negatif yang dapat merugikan
instansinya. Untuk menciptakan lingkungan pengendalian seperti dimaksud PP tersebut,
pimpinan instansi dapat menerapkannya melalui:
a) Penegakan integritas dan nilai etika;
b) Komitmen terhadap kompetensi;
c) Kepemimpinan yang kondusif;
d) Pembentukan struktur organisasi yang sesuai dengan kebutuhan;
e) Pendelegasian wewenang dan tanggung jawab yang tepat;
f) Penyusunan dan penerapan kebijakan yang sehat tentang pembinaan sumber daya manusia;

g) Perwujudan peran aparat pengawasan intern pemerintah yang efektif; dan


h) Hubungan kerja yang baik dengan Instansi Pemerintah terkait.
2. Penilaian risiko
Penilaian risiko merupakan suatu proses pengidentifikasian dan penganalisaan risiko-risiko
yang relevan dalam rangka pencapaian tujuan entitas dan penentuan reaksi yang tepat terhadap
risiko yang timbul akibat perubahan (Djasoerah:2010). Ini berarti bahwa penilaian risiko
dimulai dari penetapan tujuan dan berakhir dengan penentuan reaksi terhadap risiko.
Oleh karena itu, pimpinan instansi pemerintah melakukan penilaian resiko melalui beberapa
tahap, yaitu:
a. Menetapkan tujuan instansi dengan cara memuat pernyataan dan arahan yang spesifik,
terukur, dapat dicapai, realistis, dan terikat waktu.
b. Menetapkan tujuan pada tingkatan kegiatan berdasarkan pada tujuan dan rencana strategis
Instansi Pemerintah.
c. Melakukan identifikasi risiko untuk mengenali risiko dari faktor eksternal dan faktor
internal dengan menggunakan metodologi yang sesuai untuk tujuan Instansi Pemerintah dan
tujuan pada tingkatan kegiatan secara komprehensif.
d. Melakukan analisa risiko untuk menentukan dampak dari risiko yang telah diidentifikasi
terhadap pencapaian tujuan Instansi Pemerintah.
Selanjutnya, pimpinan instansi menerapkan prinsip kehati-hatian dalam menentukan tingkat
risiko yang dapat diterima. Dalam mempertimbangkan risiko, pimpinan Instansi Pemerintah
mengambil keputusan setelah dengan cermat menganalisis risiko terkait dan menentukan bagaimana
risiko tersebut diminimalkan (Penjelasan Pasal 7).
3. Kegiatan pengendalian
Pimpinan Instansi Pemerintah wajib menyelenggarakan kegiatan pengendalian sesuai dengan
ukuran, kompleksitas, dan sifat dari tugas dan fungsi Instansi Pemerintah yang bersangkutan.
Yang dimaksud dengan kegiatan pengendalian adalah tindakan yang diperlukan untuk
mengatasi risiko serta penetapan dan pelaksanaan kebijakan dan prosedur untuk memastikan
bahwa tindakan mengatasi risiko telah dilaksanakan secara efektif.
Kegiatan pengendalian dilaksanakan dalam bentuk:
a. Review atas kinerja Instansi Pemerintah yang bersangkutan;
b. Pembinaan sumber daya manusia;

c. Pengendalian atas pengelolaan sistem informasi


d. Pengendalian fisik atas aset;
e. Penetapan dan reviu atas indikator dan ukuran kinerja;
f. Pemisahan fungsi;
g. Otorisasi atas transaksi dan kejadian yang penting;
h. Pencatatan yang akurat dan tepat waktu atas transaksi dan kejadian;
i. Pembatasan akses atas sumber daya dan pencatatannya;
j. Akuntabilitas terhadap sumber daya dan pencatatannya; dan
k. Dokumentasi yang baik atas Sistem Pengendalian Intern serta transaksi dan kejadian
penting.
4. Informasi dan komunikasi
Informasi yang ada di dalam organisasi diidentifikasi, dicatat dan dikomunikasikan dalam
bentuk dan waktu yang tepat dengan cara yang efektif. Ini dilaksanakan mulai dari pimpinan
hingga ke seluruh pegawai yang ada di instansi pemerintah. Dengan mengkomunikasikan
informasi secara efektif, maka akan tercipta pengertian yang sama di seluruh tingkat organisasi.
Ini akan menghindarkan terjadinya kesalahpahaman (misunderstanding) maupun distorsi
informasi sehingga pelaksanaan tugas dan fungsi organisasi akan efektif untuk mencapai tujuan
yang telah ditetapkan.
Untuk melakukan komunikasi efektif, maka pimpinan instansi:
a. Menyediakan dan memanfaatkan berbagai bentuk dan sarana komunikasi; dan
b. Mengelola, mengembangkan, dan memperbarui sistem informasi secara terus menerus.
5. Pemantauan pengendalian intern
Untuk memastikan apakah SPIP dijalankan dengan baik oleh suatu instansi pemerintah, maka
perlu dilakukan pemantauan. Pemantauan akan menilai kualitas kinerja dari waktu ke waktu
dan memastikan bahwa rekomendasi hasil audit dan reviu lainnya dapat segera ditindaklanjuti.
Pemantauan dilakukan melalui tiga cara, yaitu:
a. Pemantauan berkelanjutan, diselenggarakan melalui kegiatan pengelolaan rutin, supervisi,
pembandingan, rekonsiliasi, dan tindakan lain yang terkait dalam pelaksanaan tugas
b. Evaluasi terpisah diselenggarakan melalui penilaian sendiri, reviu, dan pengujian efektivitas
Sistem Pengendalian Intern

c. Tindak lanjut rekomendasi hasil audit dan reviu lainnya harus segera diselesaikan dan
dilaksanakan sesuai dengan mekanisme penyelesaian rekomendasi hasil audit dan reviu
lainnya yang ditetapkan.
2.2 Penelitian Terdahulu
Nilam (2013) melakukan penelitian mengenai pengaruh sistem pengendalian internal,
kesesuaian kompensasi, dan moralitas manajemen terhadap kecenderungan kecurangan akuntansi pada
kantor BUMN di kota Padang yang diukur dengan variabel bebas: sistem pengendalian internal,
kesesuaian kompensasi, dan moralitas manajemen terhadap kecenderungan kecurangan akuntansi
sebagai variabel independen.
Hasil penelitian Nilam ini menunjukkan sistem pengendalian internal berpengaruh signifikan
negatif terhadap kecenderungan kecurangan akuntansi dalam pada BUMN di kota Padang, kesesuaian
kompensasi berpengaruh signifikan negatif terhadap kecenderungan kecurangan akuntansi pada
BUMN di kota Padang, dan

moralitas manajemen berpengaruh signifikan negatif terhadap

kecenderungan kecurangan akuntansi pada BUMN di kota Padang.


Made dan Nyoman (2014) melakukan penelitian mengenai pengaruh moralitas individu,
asimetri informasi dan efektivitas pengendalian internal terhadap kecenderungan kecurangan akuntansi
pada Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) Kabupaten Buleleng, memperoleh hasil secara parsial
bahwa moralitas individu, asimetri informasi, dan efektivitas pengendalian internal berpengaruh
signifikan terhadap kecenderungan kecurangan akuntansi (fraud). Dan secara simultan dapat diketahui
bahwa moralitas individu, asimetri informasi dan efektivitas pengendalian internal berpengaruh
signifikan terhadap kecenderungan kecurangan akuntansi (fraud) pada BUMD Kabupaten Buleleng.
Yulina Eliza (2015) melakukan penelitian mengenai pengaruh moralitas individu dan
pengendalian internal terhadap kecenderungan kecurangan akuntansi pada SKPD kota Padang,
memperoleh hasil moralitas individu berpengaruh negatif dan signifikan terhadap Tingkat
Kecenderungan Kecurangan Akuntansi pada SKPD kota Padang. Pengaruh ini bersifat negatif artinya
semakin baik moralitas individu maka tingkat kecurangan akuntansi semakin berkurang. Sistem
Pengendalian Intern menunjukkan bahwa sistem pengendalian intern memberikan pengaruh negatif dan
signifikan terhadap tingkat kecenderungan kecurangan akutansi SKPD kota Padang. Pengaruh ini

bersifat negatif artinya semakin efektif sistem Pengendalian Intern maka Tingkat Kenderungan
Kecurangan Akutansi semakin berkurang.
2.3 Kerangka Penelitian
Penelitian ini akan menganalisis apakah terdapat perbedaan kecenderungan melakukan
kecurangan akuntansi antara individu yang memiliki level penalaran moral tinggi dan level penalaran
moral rendah dalam kondisi terdapat elemen pengendalian internal dan tidak terdapat elemen
pengendalian internal. Konsep Variabel independen 1. Moralitas Individu (Level Moral Tinggi dan
Rendah) 2. Pengendalian Internal (ada dan tidak ada elemen pengendalian internal) Variabel Dependen
KecuranganAkuntansi.

Moralitas Individu
Kecenderungan
Kecurangan
Akuntansi
Pengendalian Internal

Gambar tersebut merupakan kerangka penelitian dan sebagai alur pemikiran dalam menguji hipotesis
2.4 Pengulangan Hipotesis
2.4.1 Pengaruh Moralitas Individu terhadap Kecenderungan Kecurangan Akuntansi
Moralitas individu akan mempengaruhi kecenderungan seseorang melakukan kecurangan
akuntansi. Artinya, semakin tinggi tahapan moralitas individu, semakin individu memperhatikan
kepentingan yang luas dan universal daripada kepentingan organisasinya, apalagi untuk kepentingan
individual. Oleh sebab itu, semakin tinggi moralitas seseorang, maka ia akan berusaha untuk
menghindarkan diri dari tindak kecenderungan kecurangan akuntansi, sehingga hipotesis penelitian ini
adalah:
H1 : Moralitas individu berpengaruh signifikan positif terhadap kecenderungan kecurangan akuntansi

2.4.2 Pengaruh Pengendalian Internal terhadap Kecenderungan Kecurangan Akuntansi


Pada umumnya, pengendalian internal merupakan kontrol yang dilakukan oleh pihak internal
suatu organisasi yang berguna untuk memberikan keyakinan yang memadai tentang pencapaian tujuan
organisasi yang berupa efektifitas, efisiensi dan keandalan pelaporan keuangan, sehingga hipotesis
penelitian ini adalah:
H2 : Pengendalian internal berperanguh signifikan positif terhadap kecenderungan kecurangan
akuntansi

Anda mungkin juga menyukai