Anda di halaman 1dari 36

1

BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Perkembangan sektor publik di Indonesia paska reformasi adalah menguatnya tuntutan
akuntabilitas atas lembaga-lembaga publik, baik di pusat maupun daerah (Mardiasmo, 2002:1).
Transparansi dan akuntabilitas oleh lembaga-lembaga sektor publik menjadi suatu tuntutan yang
harus dipertanggungjawabkan kepada masyarakat. Perusahaan negara atau badan usaha milik
negara (BUMN) merupakan salah satu sektor publik yang tengah menjadi sorotan saat ini. BUMN
menghadapi beberapa tuntutan seperti tuntutan untuk memberikan bagian laba perusahaan kepada
pemerintah, tekanan yang semakin besar dari masyarakat untuk menghasilkan produk yang murah
dan berkualitas tinggi, tuntutan untuk berhadapan dengan orang-orang yang mencoba melakukan
korupsi, kolusi dan nepotisme serta tuntutan untuk ekonomis dan efisien agar menjadi entitas bisnis
yang

profesional.
Kecenderungan kecurangan akuntansi telah menarik banyak perhatian media dan menjadi

isu yang menonjol serta penting di mata pemain bisnis dunia. Kecurangan merupakan bentuk
penipuan yang sengaja dilakukan sehingga dapat menimbulkan kerugian tanpa disadari oleh pihak
yang dirugikan tersebut dan memberikan keuntungan bagi pelaku kecurangan (Alison, 2006).
Kecurangan umumnya terjadi karena tekanan untuk melakukan penyelewengan atau dorongan
untuk memanfaatkan kesempatan yang ada. Pada umumnya, kecurangan akuntansi berkaitan erat
dengan korupsi. Dalam korupsi tindakan yang lazim dilakukan di antaranya adalah memanipulasi
pencatatan, penghilangan dokumen, dan mark-up yang merugikan keuangan atau perekonomian
negara.
Kecurangan adalah serangkaian tindakan-tindakan tidak wajar dan ilegal yang sengaja
dilakukan untuk menipu, Kecurangan dilakukan oleh individu atau organisasi untuk mendapatkan
uang (Sawyer, 2006:339). Kecenderungan kecurangan akuntansi meliputi berbagai bentuk, seperti
tendensi untuk melakukan tindak korupsi, tendensi untuk penyalahgunaan aset, dan tendensi untuk
melakukan pelaporan keuangan yang menipu (Thoyibatun, 2009).
Menurut Sawyers (2005: 59) pengendalian internal adalah setiap tindakan yang diambil
manajemen untuk meningkatkan kemungkinan tercapainya tujuan dan sasaran yang ditetapkan.
Kalau pengendalian internal dirancang dan dilaksanakan dengan baik serta jika pegawai melakukan
tugasnya dengan baik, maka pengendalian internal dapat diandalkan untuk melindungi diri darifraud
(Tuannakotta 2010: 284). Menurut Wilopo (2006) efektifitas pengendalian internal mempengaruhi

2
terjadinya kecenderungan kecurangan akuntansi. Pengendalian internal merupakan suatu tindakan
atau aktivitas yang dilakukan manajemen untuk memastikan (secara memadai, bukan mutlak)
tercapainya tujuan dan sasaran organisasi. Dengan pengendalian internal yang efektif diharapkan
pemimpin berperilaku mencapai tujuan organisasi. Jadi dapat dikatakan bahwa dengan
pengendalian internal yang efektif akan mencegah terjadinya kecurangan akuntansi.
Moral berasal dari kata lain mores. Mores berasal dari kata mos yang berarti kesusilaan,
tabiat, atau kelakuan. Berarti moral dapat diartikan sebagai kesusilaan. Menurut Cressey dalam
Tuanakotta (2010: 109), untuk meneliti para pegawai yang mencuri uang perusahaan (emblezzers)
yang merupakan perbuatan kecurangan, ia mewawancarai 200 orang yang dipenjara karena fraud.
Cressey menemukan bahwa adanya Violation Of Ascribed Obligation, artinya melanggar suatu
pedoman kerja atau lebih dikenal dengan penyalahgunaan jabatan merupakan salah satu perbuatan
kecurangan yang disebabkan moral seseorang.
Tahapan perkembangan moral adalah ukuran dari tinggi rendahnya moral seseorang
berdasarkan perkembangan penalaran moralnya seperti yang diungkapkan dalam Wilopo (2006).
Teori ini berpandangan pada tingkatan penalaran moral. Semakin tinggi tahapan moralitas
manajemen (tahapan postkonvensional), semakin manajemen memperhatikan kepentingan yang
lebih luas dan universal daripada kepentingan perusahaan semata, terlebih kepentingan pribadinya.
Oleh

karenanya,

semakin

tinggi

moralitas

manajemen,

semakin

manajemen

berusaha

menghindarkan diri dari kecenderungan kecurangan akuntansi.


Kasus kecurangan akuntansi sangat merugikan negara serta membawa dampak yang buruk
bagi perkembangan iklim bisnis di Indonesia. Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Dahlan
Iskan mengaku telah mendapat laporan dari inspektorat terkait audit BPK yang menemukan
kerugian negara Rp2,5 triliun di lingkungan BUMN. Hasil dari pemeriksaan BPK semester I/2012,
Ketua Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) Hadi Poernomo menyebutkan, terdapat 63 kasus yang
terjadi di lingkungan perusahaan Badan Usaha Milik Negara (BUMN), Dengan potensi kerugian
negara yang diperkirakan mencapai Rp 2,5 triliun. (m.merdeka.com). Kasus kecenderungan
kecurangan akuntansi yang terjadi di Jakarta diantaranya adalah Kasus dugaan kecurangan
pembangunan PT Cipta Karya Bersama atau Grand Indonesia dalam kerja sama BOT (Build,
Operate, Transfer) dengan BUMN PT Hotel Indonesia Natour tahun 2016 (wartaekonomi.com).
Kasus lainnya adalah dugaan mantan Direktur Utama PT Kereta Api Indonesia (PT KAI)
terdakwa kasus dugaan korupsi pengelolaan dana investasi senilai Rp 100 miliar milik PT KAI ,
telah merugikan perusahaan dalam kasus penyertaan modal milik PT KAI kepada PT Optima
Kharya Capital Management (PT OKCM) dan PT Optima Kharya Mulia (PT OKM) sebesar Rp 100

3
miliar pada bulan oktober 2012 (tribunnews.com).
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah maka rumusan masalah dari penelitian ini adalah:
1. Apakah moralitas individu berpengaruh signifikan positif terhadap kecenderungan
kecurangan akuntansi.
2. Apakah pengendalian intern berpengaruh signifikan positif terhadap kecenderungan
kecurangan akuntansi.
1.3 Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk membuktikan secara empiris tentang:
1. Seberapa besar pengaruh moralitas individu terhadap kecenderungan kecurangan akuntansi
2. Seberapa besar pengaruh pengendalian internal terhadap kecenderungan kecurangan
akuntansi.
1.4 Manfaat Penelitian
1. Kegunaan praktis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memecahkan masalah tentang kecenderungan kecurangan
akuntansi dengan mengkaji secara empiris mengenai penerapan fungsi ilmu akuntansi pemerintahan
bagi pihak-pihak yang berkepentingan.
2. Manfaat pengembangan ilmu
Hasil penelitian ini diharapkan dapat mengembangkan ilmu akuntansi khususnya ilmu akuntansi
pemerintahan dengan mengkaji tentang moralitas individu dan pengendalian internal terhadap
kecenderungan kecurangan akuntansi.

4
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Teori yang relevan
2.1.1 Grand Theory
Jensen dan Meckling (1976) dalam Nilam Sanuari (2013) mendefinisikan bahwa hubungan
keagenan sebagai kontrak antara satu orang atau lebih yang bertindak sebagai prinsipal (yaitu
pemegang saham) yang menunjuk orang lain sebagai agen (yaitu manajer) untuk melakukan jasa
untuk kepentingan prinsipal termasuk mendelegasikan kekuasaan dalam pembuatan keputusan.
Manajer sebagai pengelola perusahaan lebih banyak mengetahui informasi internal dan prospek
perusahaan di masa yang akan datang dibandingkan pemilik (pemegang saham). Situasi ini akan
memicu munculnya suatu kondisi yang disebut sebagai asimetri informasi (information asymmetry).
Asimetri informasi merupakan suatu kondisi ketidakseimbangan dalam memperoleh informasi
antara pihak manajemen sebagai penyedia informasi (prepaper) dengan pihak pemegang saham
sebagai pengguna informasi (user). Scott (2000) menyatakan bahwa terdapat dua macam asimetri
informasi yaitu:
a) Adverse selection, yaitu bahwa para manajer serta orang-orang dalam lainnya biasanya
mengetahui lebih banyak tentang keadaan dan prospek perusahaan dibandingkan investor
pihak luar. Fakta yang mungkin dapat mempengaruhi keputusan yang akan diambil oleh
pemegang saham tersebut tidak disampaikan informasinya kepada pemegang saham.
b) Moral hazard, yaitu bahwa kegiatan yang dilakukan oleh seorang manajer tidak seluruhnya
diketahui oleh pemegang saham maupun pemberi 27 pinjaman sehingga manajer dapat
melakukan tindakan di luar pengetahuan pemegang saham yang melanggar kontrak dan
sebenarnya secara etika atau norma mungkin tidak layak dilakukan.
Adanya asimetri informasi memungkinkan adanya konflik yang terjadi antara principal dan
agent untuk saling mencoba memanfaatkan pihak lain untuk kepentingan sendiri dan selalu
berusaha untuk memaksimalkan fungsi utilitasnya tersebut. Pemilik perusahaan harus melakukan
pengawasan terhadap kinerja manajemen dengan sistem pengendalian yang efektif untuk
mengantisipasi tindakan menyimpang yang dapat dilakukan oleh pihak manajemen. Sistem
pengendalian tersebut diharapkan mampu mengurangi adanya perilaku menyimpang dalam sistem
pelaporan, termasuk adanya kecurangan akuntansi. Eisenhardt (1989) dalam Yulina Eliza (2015)
menjelaskan bahwa teori keagenan dilandasi oleh 3 (tiga) buah asumsi yaitu:

5
a) Asumsi tentang sifat manusia
Asumsi tentang sifat manusia menekankan bahwa manusia memiliki sifat untuk
mementingkan diri sendiri (self interest), memiliki keterbatasan rasionalitas (bounded
rationality), dan tidak menyukai risiko (risk aversion).
b) Asumsi tentang keorganisasian
Asumsi keorganisasian adalah adanya konflik antar anggota organisasi, efisiensi sebagai
kriteria produktivitas, dan adanya Asymmetric Information (AI) antara prinsipal dan agen.
c) Asumsi tentang informasi
Asumsi tentang informasi adalah bahwa informasi dipandang sebagai barang komoditi yang
bisa diperjualbelikan. Berdasarkan asumsi sifat dasar manusia tersebut menyebabkan bahwa
informasi yang dihasilkan manusia untuk manusia lain selalu dipertanyakan reliabilitasnya
dan dapat dipercaya tidaknya informasi yang disampaikan. Pola pertanggungjawaban
pengelolaan keuangan negara sejalan dengan teori keagenan (agency theory) yang
menciptakan hubungan keagenan. Jensen dan Meckling (1976), Brickley dan James (1987),
dan Shivdasani (1993) menjelaskan bahwa prinsipal dapat memecahkan permasalahan
agensi dengan mengeluarkan biaya monitoring.Hasil monitoring yang baik memerlukan
pengendalian internal perusahaan yang efektif. Manajemen perusahaan seharusnya
melaksanakan aturan akuntansi dengan benar agar dapat mengatasi permasalahan keagenan.
2.1.2 Kecurangan Akuntansi (Fraud)
Kegagalan pemerintah dalam mempertanggungjawabkan pengelolaan keuangan dapat
diakibatkan oleh beberapa hal antara lain penyimpangan kebijakan dan penyimpangan yang
diakibatkan oleh kecurangan (fraud). Penyimpangan kebijakan dilakukan oleh manajemen puncak
terutama untuk mencapai tujuan tertentu, dengan cara membuat kebijakan yang tidak sesuai dengan
peraturan yang berlaku. Sedangkan penyimpangan kecurangan (fraud) dapat dilakukan baik oleh
manajemen puncak maupun pegawai lainnya dengan untuk mendapatkan keuntungan, dengan cara
melakukan tindakan-tindakan kriminal seperti korupsi, kolusi, penipuan, dan lain sebagainya.
Michael J.Cormer menyatakan bahwa:
Fraud is any behavior by which one person gains or intends to gain a dishonest advantage over
another. A crime is an intentional act that violates the criminal law under which no legal excuse

6
applies and where there is a state to codify such laws and endorce penalties in response to their
breach. The distinction is important. Not all frauds are crims and the majority of crimes are not
frauds. Companies lose through frauds, but the police and other enforcement bodies can take action
only against crimes.
Dari pengertian kecurangan (fraud) menurut Michael J.cormer berkenaan dengan perilaku
dimana seseorang mengambil atau secara sengaja mengambil manfaat secara tidak jujur atas orang
lain. Kejahatan merupakan suatu tindakan yang disengaja yang melanggar undang-undang kriminal
yang secara hukum tidak boleh dilakukan dimana sebuah negara mengikuti hukum tersebut dan
memberikan hukuman atas pelanggaran yang dilakukan. Perusahaan menderita kerugian akibat
kecurangan, tetapi polisi dan badan penegak hukum lainnya bisa mengambil tindakan hanya
terhadapkejahatan.
Robert Cockerall (auditor Ernst & Young) dalam makalahnya "Forensic Accounting
fundamental : Introduction to the investigations" dinyatakan bahwa:
Lingkungan profil fraud mencakup beberapa hal yaitu motivasi, kesempatan, tujuan/objek fraud,
indikator, metode dan konsekuensi fraud. Motivasi dan kesempatan memiliki pengertian yang sama
dengan definisi sebelumnya. Tujuan/objek fraud adalah sarana yang digunakan untuk mencapai
motivasi kecurangan di atas. Indikator fraud mengandung pengertian adanya gejala-gejala yang
merujuk kepada pembuktian kecurangan. Metode fraud adalah cara-cara yang dilakukan untuk
melakukan kecurangan. Sedangkan konsekuensi fraud adalah dampak kecurangan yang terjadi pada
organisasi tersebut.
Menurut Sawyer (2006: 339) melakukan kejahatan dengan penipuan memiliki banyak istilah
antara lain disebutkecurangan (fraud), kejahatan kerah putih (white collar crime) dan penggelapan.
Kecurangan adalah serangkaian tindakantindakan tidak wajar dan ilegal yang sengaja dilakukan
untuk menipu, kecurangan dilakukan oleh individu atau organisasi untuk mendapatkan uang,
kekayaan atau jasa untuk menghindari pembayaran/kerugian jasa atau untuk mengamankan
keuntungan pribadi.
2.1.2.1 Fraud Triangle
Cressey (1953) dalam Lisia Gandhatama (2014) mengemukakan tiga penyebab fraud
sebagai berikut:
1. Tekanan (pressure)
Pressure (tekanan) memiliki berbagai arti, di antaranya keadaan di mana kita merasa
ditekan, kondisi yang berat saat kita menghadapi kesulitan. Dari dua arti di atas, dapat

7
dilihat bahwa pressure dapat menjadi motivasi bagi manusia dalam melakukan tindakan.
Pressure sendiri dapat memberikan dampak yang positif, pressure dapat membuat kita
meningkatkan perhatian dalam melakukan tindakan, meningkatkan ingatan dan kemampuan
untuk mengingat. Dengan kata lain, pressure dapat meningkatkan kinerja. Akan tetapi, di
lain pihak pressure dapat menjadi salah satu sumber dari munculnya fraud dan akhirnya
menjadi salah satu elemen dari fraud triangle.
2. Peluang (opportunity)
Peluang merupakan faktor yang paling mendasari terjadinya kecurangan. Peluang ini dapat
muncul kapan saja, sehingga pengawasan dan kontrol internal perusahaan sangat diperlukan
untuk

mengantisipasi

kemungkinan

adanya

peluang

seseorang

melakukan

kecurangan.seseorang yang tanpa tekanan sekalipun dapat melakukan kecurangan dengan


adanya peluang ini.
3. Rasionalisasi (rationalization)
Rasionalisasi merupakan salah satu faktor di mana pelaku kecurangan mencari-cari
pembenaran atas tindakannya, Pelaku fraud pada umumnya menganggap bahwa tidakan
yang dilakukan merupakan tindakan yang benar, sehingga apa yang dilakukan bukanlah
suatu tindak kecurangan.
Seperti yang kita ketahui kejahatan kerah putih atau white collar crime memiliki ciri khas
kurangnya perasaan atau ketidakpedulian pelaku yang berasal dari serangkaian alasan atau
rasionalisasi untuk membebaskan diri dari rasa bersalah yang timbul dari perilaku mereka yang
menyimpang (Dellaportas, 2013).
Pressure

Opportunity

Rationalization
Gambar 2.1
Fraud Triangle

Sumber : Assosiate of Certified Fraud Examiners

ACFE dalam Tuanakotta (2010) membagi fraud (kecurangan) dalam 3 (tiga) jenis atau
tipologi berdasarkan perbuatan, yaitu:
1. Kecurangan Laporan Keuangan (Fraudulent Statement)
Kecurangan Laporan keuangan dapat didefinisikan sebagai kecurangan yang dilakukan oleh
manajemen dalam bentuk salah saji material Laporan Keuangan yang merugikan investor
dan kreditor. Kecurangan ini dapat bersifat finansial atau kecurangan non finansial.
2. Penyimpangan atas Aset (Asset Misappropriation)
Asset misappropriation meliputi penyalahgunaan/pencurian aset atau harta perusahaan atau
pihak lain. Ini merupakan bentuk fraud yang paling mudah dideteksi karena sifatnya yang
tangible atau dapat diukur/dihitung (defined value).
3. Korupsi (Corruption)
Jenis fraud ini yang paling sulit dideteksi karena menyangkut kerja sama dengan pihak lain
seperti suap dan korupsi, di mana hal ini merupakan jenis yang terbanyak terjadi di negaranegara berkembang yang penegakan hukumnya lemah dan masih kurang kesadaran akan
tata kelola yang baik sehingga faktor integritasnya masih dipertanyakan. Fraud jenis ini
sering kali tidak dapat dideteksi karena para pihak yang bekerja sama menikmati
keuntungan (simbiosis mutualisme). Termasuk didalamnya adalah penyalahgunaan
wewenang/konflik kepentingan (conflict of interest), penyuapan (bribery), penerimaan yang
tidak sah/illegal (illegal gratuities) dan pemerasan secara ekonomi (economic extortion).
2.1.3 Moralitas Individu
Secara etimologis, kata moral berasal dari kata mos dalam bahasa Latin, bentuk jamaknya
mores, yang artinya adalah tata-cara atau adat-istiadat. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia
(1989: 592), moral diartikan sebagai akhlak, budi pekerti, atau susila. Secara terminologis, terdapat
berbagai rumusan pengertian moral, yang dari segi substantif materiilnya tidak ada perbedaan, akan
tetapi bentuk formalnya berbeda. Widjaja (1985: 154) menyatakan bahwa moral adalah ajaran baik
dan buruk tentang perbuatan dan kelakuan (akhlak).
Hurlock (1978) mengemukakan bahwa tingkah laku moral berarti tingkah laku yang sesuai
dengan kode moral kelompok sosial. Pengertian ini hampir sama dengan pendapat sebagian besar
ahli psikologi dalam menerangkan masalah moral. Penganut teori behaviorisme menyatakan bahwa
moralitas identik dengan konfonnitas terhadap aturan-aturan sosial. Nilai moral merupakan evaluasi
dari tindakan yang dianggap baik oleh anggota masyarakat tertentu. Dengan demikian jelas bahwa

9
pemahaman moral merupakan proses internalisasi dari norma budaya atau norma dari orangtua
(Setiono, 1993).

2.1.3.1 Tingkatan Perkembangan Moral


Salah satu teori perkembangan moral yang banyak digunakan dalam penelitian etika adalah
model Kohlberg. Kohlberg (1969) dalam Gusti Ayu Ketut Rencana Dewi (2014) menyatakan bahwa
moral

berkembang

melalui

tiga

tahapan,

yaitu

tahapan

pre-conventional,

tahapan

conventional dan tahapan post-conventional. Welton et al. (1994) menyatakan bahwa kemampuan
individu dalam menyelesaikan dilema etika dipengaruhi oleh level penalaran moralnya. Hasil dari
beberapa studi yang dipaparkan dalam Liyanarachi (2009) menunjukkan bahwa level penalaran
moral individu mereka akan mempengaruhi perilaku etis mereka. Orang dengan level penalaran
moral yang rendah berperilaku berbeda dengan orang yang memiliki level penalaran moral yang
tinggi ketika menghadapi dilema etika. Semakin tinggi level penalaran 35 moral seseorang, maka
individu tersebut semakin mungkin untuk melakukan hal yang benar.
Individu akan melakukan suatu tindakan karena takut terhadap hukum/ peraturan yang ada
jika berada pada tahapan yang paling rendah (preconventional). Selain itu individu pada level moral
ini juga akan memandang kepentingan pribadinya sebagai hal yang utama dalam melakukan suatu
tindakan. Pada tahap kedua (conventional), individu akan mendasarkan tindakannya pada
persetujuan teman-teman dan keluarganya dan juga pada norma-norma yang ada di masyarakat.
Pada tahap tertinggi (post-conventional), individu mendasari tindakannya dengan memperhatikan
kepentingan orang lain dan berdasarkan tindakannya pada hukum-hukum universal.
Menurut Welton et al. (1994) dalam setiap stage Kohlberg, individu memiliki pandangan
sendiri mengenai versi hal yang benar menurutnya. Individu dalam stage 1 merasa bahwa hal yang
benar adalah apa yang menjadi kepentingan individu tersebut. Individu dalam stage 2 menganggap
bahwa hal yang benar adalah hasil dari pertukaran yang imbang, persetujuan maupun posisi tawar
yang imbang. Individu dalam stage 3 merasa bahwa hal yang benar adalah terkait dengan
pengharapan akan kepercayaan, loyalitas, dan respek dari teman-teman dan keluarganya. Individu
dalam stage 4 menganggap bahwa hal yang benar adalah dengan membuat kontribusi untuk
masyarakat, grup atau institusi. Individu dalam stage 5 dan stage 6 menganggap bahwa kebenaran
adalah mendasarkan diri pada prisip-prinsip etis, persamaan hak manusia dan harga diri sebagai
seorang makhluk hidup. Ringkasan mengenai tahapan moral model Kohlberg dipaparkan pada
Tabel 2.1.

10
Tabel 2.1
Tahapan Moral model Kohlberg
Tingkat

Tahap/Stage

1. Pre-conventional

1. Orientasi Kepatuhan dan Hukuman

Tidak adanya internalisasi terhadap nilai-nilai Pemahaman individu tentang baik dan buruk
moral. Penilaian tentang moral didasarkan pada ditentukan oleh otoritas. Kepatuhan terhadap
hadiah atau hukuman yang berasal dari luar aturan adalah untuk menghindari hukuman dari
dirinya

otoritas.
2. Orientasi minat pribadi
Perilaku yang benar didefinisikan dengan apa
yang paling diminatinya. Kurang menunjukkan
perhatian pada kebutuhan orang lain, hanya
sampai tahap bila kebutuhan itu juga berpengaruh
terhadap kebutuhannya sendiri.

2. Conventional

3.

Orientasi

keserasian

interpersonal

dan

Ada proses internalisasi, hanya masih sebagian konformitas


atau

sedang.

Penilaian

individu

sebagian Individu menyesuaikan diri dengan orang lain.

didasarkan oleh standar pribadi (internal) tapi Sesuatu yang dinilai baik apabila menyenangkan
ada juga yang berdasarkan standar orang lain untuk orang lain.
(orangtua).

4. Orientasi otoritas dan pemeliharaan aturan


sosial
untuk mematuhi hukum, keputusan, dan konvensi
sosial karena berguna dalam memelihara fungsi
dari masyarakat (ketertiban).

3. Post-conventional

5. Orientasi kontrol sosial-legalistik

Aturan dan institusi dari masyarakat tidak Ada semacam perjanjian antara dirinya dan
dipandang

sebagai

tujuan

akhir,

tetapi lingkungan sosial. Perbuatan dinilai baik apabila

diperlukan sebagai subjek. Individu menaati sesuai dengan perundangundangan yang berlaku.
aturan

sesuai

universal.

dengan

prinsipprinsip

etika 6. Orientasi kata hati Kebenaran


ditentukan oleh kata hati, sesuai dengan prinsipprinsip etika universal yang bersifat abstrak dan
penghormatan

terhadap

martabat

manusia.

11
Sumber : Erma Gunawan
2.1.4 Pengendalian Internal
Pengendalian Internal (Menurut Marshall B. Romney) adalah proses yang dijalankan untuk
menyediakan jaminan memadai bahwa tujuan-tujuan pengendalian berikut telah dicapai:

Mengamankan aset, mencegah atau mendeteksi perolehan, penggunaan,

atau penempatan

yang tidak sah.

Memberikan informasi yang akurat dan reliabel

Mendorong dan memperbaiki efesiensi operasional

Mematuhi hukum dan peraturan yang berlaku

Menyiapkan laporan keuangan yang sesuai dengan kriteria yang ditetapkan.

Mendorong ketaatan terhadap kebijakan majerial yang telah ditetapkan.

Mengelola catatan dengan detail yang baik untuk melaporkan aset perusahaan secara akurat
dan wajar.
Menurut Sawyers (2005: 59) pengendalian internal adalah setiap tindakan yang diambil

manajemen untuk meningkatkan kemungkinan tercapainya tujuan dan sasaran yang ditetapkan.
Pengendalian internal bersifat preventif (untuk mencegah terjadinya hal-hal yang tidak diinginkan),
detektif (untuk mendeteksi dan memperbaiki hal-hal yang tidak diinginkan yang telah terjadi), dan
direktif (untuk menyebabkan atau mengarahkan terjadinya hal-hal yang diinginkan).
Pengendalian internal adalah sebuah proses karena ia menyebar ke seluruh aktivitas
pengoprasian perusahaan dan merupakan bagian integral dari aktivitas manajemen. Pengendalian
memberikan jaminan memadai yaitu jaminan menyeluruh yang sulit dicapai dan terlalu mahal.
Selain itu, sistem pengendalian internal memiliki keterbatasan yang melekat, seperti kelemahan
terhadap kekeliruan dan kesalahan sederhana, pertimbangan dan pembuatan keputusan yang salah,
pengesampingan manajemen, dan kolusi.
Menurut COSO (2013:3) mendefisinikan pengendalian internal sebagai :
Internal control is a process, efected by an entity's board of directors,
management, an other personel, designed to provide reasonable assurance
regarding the achivement of objective relating to operations, reporting, and
compliance
Dapat diartikan bahwa pengendalian internal adalah proses, karena hal tersebut menembus
kegiatan operasional organisasi dan merupakan bagian internal dari kegiatan dasar manajemen.

12
Kerangka pengendalian Internal Committee of sponsoring Organizations (COSO) adalah
sebuah kerangka COSO yang menjelaskan pengendalian internal dan memberikan panduan untuk
mengevaluasi dan meningkatkan sistem pengendalian internal.
Menurut Peraturan Pemerintah No.60 Tahun 2008 mendefinisikan sistem pengendalian
internal sebagai:
Sistem Pengendalian Intern adalah proses yang integral pada tindakan dan kegiatan
yang dilakukan secara terus menerus oleh pimpinan dan seluruh pegawai untuk
memberikan keyakinan memadai atas tercapainya tujuan organisasi melalui kegiatan
yang efektif dan efisien, keandalan pelaporan keuangan, pengamanan aset negara
dan ketaatan terhadap peraturan perundang-undangan
Penerapan SPIP bersifat menyatu dan menjadi bagian integral dari kegiatan Instansi
Pemerintah. Ia bukan bagian terpisah dari kegiatan, ataupun ditambahkan ke dalam kegiatankegiatan yang telah disusun. Sebaliknya, SPIP berjalan bersama-sama dengan kegiatan lain dalam
satuan kerja instansi pemerintah. Sesuai dengan PP Nomor 60 Tahun 2008, Sistem Pengendalian
Intern Pemerintah terdiri dari lima unsur, yaitu:
Lingkungan pengendalian
PP Nomor 60/2008 mewajibkan Pimpinan Instansi Pemerintah untuk menciptakan dan
memelihara lingkungan pengendalian yang menimbulkan perilaku positif dan kondusif
untuk penerapan Sistem Pengendalian Intern dalam lingkungan kerjanya. Hal ini merupakan
komponen yang sangat penting dan menjadi unsur dasar di dalam SPIP. Kemampuan
pimpinan untuk menciptakan dan memelihara lingkungan kerja yang kondusif akan menjadi
motivasi kuat bagi para pegawai untuk memberikan yang terbaik dalam pelaksanaan
pekerjaannya. Sebaliknya, pimpinan yang tidak/kurang kompeten dalam menciptakan
lingkungan yang positif akan berpotensi mempengaruhi pegawai untuk melakukan hal-hal
negatif yang dapat merugikan instansinya. Untuk menciptakan lingkungan pengendalian
seperti dimaksud PP tersebut, pimpinan instansi dapat menerapkannya melalui:
a) Penegakan integritas dan nilai etika;
a) Komitmen terhadap kompetensi;
a) Kepemimpinan yang kondusif;
a) Pembentukan struktur organisasi yang sesuai dengan kebutuhan;
a) Pendelegasian wewenang dan tanggung jawab yang tepat;

13
a) Penyusunan dan penerapan kebijakan yang sehat tentang pembinaan sumber daya
manusia;
a) Perwujudan peran aparat pengawasan intern pemerintah yang efektif; dan
a) Hubungan kerja yang baik dengan Instansi Pemerintah terkait.
Penilaian risiko
Penilaian risiko merupakan suatu proses pengidentifikasian dan penganalisaan risiko-risiko
yang relevan dalam rangka pencapaian tujuan entitas dan penentuan reaksi yang tepat
terhadap risiko yang timbul akibat perubahan (Djasoerah:2010). Ini berarti bahwa penilaian
risiko dimulai dari penetapan tujuan dan berakhir dengan penentuan reaksi terhadap risiko.
Oleh karena itu, pimpinan instansi pemerintah melakukan penilaian resiko melalui beberapa
tahap, yaitu:
a. Menetapkan tujuan instansi dengan cara memuat pernyataan dan arahan yang spesifik,
terukur, dapat dicapai, realistis, dan terikat waktu.
b. Menetapkan tujuan pada tingkatan kegiatan berdasarkan pada tujuan dan rencana
strategis Instansi Pemerintah.
c. Melakukan identifikasi risiko untuk mengenali risiko dari faktor eksternal dan faktor
internal dengan menggunakan metodologi yang sesuai untuk tujuan Instansi Pemerintah
dan tujuan pada tingkatan kegiatan secara komprehensif.
d. Melakukan analisa risiko untuk menentukan dampak dari risiko yang telah diidentifikasi
terhadap pencapaian tujuan Instansi Pemerintah.
Selanjutnya, pimpinan instansi menerapkan prinsip kehati-hatian dalam menentukan tingkat
risiko yang dapat diterima. Dalam mempertimbangkan risiko, pimpinan Instansi Pemerintah
mengambil keputusan setelah dengan cermat menganalisis risiko terkait dan menentukan bagaimana
risiko tersebut diminimalkan (Penjelasan Pasal 7).

a) Kegiatan pengendalian
Pimpinan Instansi Pemerintah wajib menyelenggarakan kegiatan pengendalian sesuai
dengan ukuran, kompleksitas, dan sifat dari tugas dan fungsi Instansi Pemerintah yang
bersangkutan. Yang dimaksud dengan kegiatan pengendalian adalah tindakan yang
diperlukan untuk mengatasi risiko serta penetapan dan pelaksanaan kebijakan dan prosedur
untuk memastikan bahwa tindakan mengatasi risiko telah dilaksanakan secara efektif.

14
Kegiatan pengendalian dilaksanakan dalam bentuk:
a. Review atas kinerja Instansi Pemerintah yang bersangkutan;
b. Pembinaan sumber daya manusia;
c. Pengendalian atas pengelolaan sistem informasi
d. Pengendalian fisik atas aset;
e. Penetapan dan reviu atas indikator dan ukuran kinerja;
f. Pemisahan fungsi;
g. Otorisasi atas transaksi dan kejadian yang penting;
h. Pencatatan yang akurat dan tepat waktu atas transaksi dan kejadian;
i. Pembatasan akses atas sumber daya dan pencatatannya;
j. Akuntabilitas terhadap sumber daya dan pencatatannya; dan
k. Dokumentasi yang baik atas Sistem Pengendalian Intern serta transaksi dan kejadian
penting.
4. Informasi dan komunikasi
Informasi yang ada di dalam organisasi diidentifikasi, dicatat dan dikomunikasikan dalam
bentuk dan waktu yang tepat dengan cara yang efektif. Ini dilaksanakan mulai dari pimpinan
hingga ke seluruh pegawai yang ada di instansi pemerintah. Dengan mengkomunikasikan
informasi secara efektif, maka akan tercipta pengertian yang sama di seluruh tingkat
organisasi. Ini akan menghindarkan terjadinya kesalahpahaman (misunderstanding) maupun
distorsi informasi sehingga pelaksanaan tugas dan fungsi organisasi akan efektif untuk
mencapai tujuan yang telah ditetapkan.
Untuk melakukan komunikasi efektif, maka pimpinan instansi:
a. Menyediakan dan memanfaatkan berbagai bentuk dan sarana komunikasi; dan
b. Mengelola, mengembangkan, dan memperbarui sistem informasi secara terus menerus.
5. Pemantauan pengendalian intern
Untuk memastikan apakah SPIP dijalankan dengan baik oleh suatu instansi pemerintah,
maka perlu dilakukan pemantauan. Pemantauan akan menilai kualitas kinerja dari waktu ke
waktu dan memastikan bahwa rekomendasi hasil audit dan reviu lainnya dapat segera
ditindaklanjuti. Pemantauan dilakukan melalui tiga cara, yaitu:
a. Pemantauan berkelanjutan, diselenggarakan melalui kegiatan pengelolaan rutin,
supervisi, pembandingan, rekonsiliasi, dan tindakan lain yang terkait dalam pelaksanaan
tugas

15
b. Evaluasi terpisah diselenggarakan melalui penilaian sendiri, reviu, dan pengujian
efektivitas Sistem Pengendalian Intern
c. Tindak lanjut rekomendasi hasil audit dan reviu lainnya harus segera diselesaikan dan
dilaksanakan sesuai dengan mekanisme penyelesaian rekomendasi hasil audit dan reviu
lainnya yang ditetapkan.
2.2 Penelitian Terdahulu
Nilam (2013) melakukan penelitian mengenai pengaruh sistem pengendalian internal,
kesesuaian kompensasi, dan moralitas manajemen terhadap kecenderungan kecurangan akuntansi
pada kantor BUMN di kota Padang yang diukur dengan variabel bebas: sistem pengendalian
internal, kesesuaian kompensasi, dan moralitas manajemen terhadap kecenderungan kecurangan
akuntansi sebagai variabel independen.
Hasil penelitian Nilam ini menunjukkan sistem pengendalian internal berpengaruh
signifikan negatif terhadap kecenderungan kecurangan akuntansi dalam pada BUMN di kota
Padang, kesesuaian kompensasi berpengaruh signifikan negatif terhadap kecenderungan kecurangan
akuntansi pada BUMN di kota Padang, dan moralitas manajemen berpengaruh signifikan negatif
terhadap kecenderungan kecurangan akuntansi pada BUMN di kota Padang.
Made dan Nyoman (2014) melakukan penelitian mengenai pengaruh moralitas individu,
asimetri informasi dan efektivitas pengendalian internal terhadap kecenderungan kecurangan
akuntansi pada Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) Kabupaten Buleleng, memperoleh hasil secara
parsial bahwa moralitas individu, asimetri informasi, dan efektivitas pengendalian internal
berpengaruh signifikan terhadap kecenderungan kecurangan akuntansi (fraud). Dan secara simultan
dapat diketahui bahwa moralitas individu, asimetri informasi dan efektivitas pengendalian internal
berpengaruh signifikan terhadap kecenderungan kecurangan akuntansi (fraud) pada BUMD
Kabupaten Buleleng.
Yulina Eliza (2015) melakukan penelitian mengenai pengaruh moralitas individu dan
pengendalian internal terhadap kecenderungan kecurangan akuntansi pada SKPD kota Padang,
memperoleh hasil moralitas individu berpengaruh negatif dan signifikan terhadap Tingkat
Kecenderungan Kecurangan Akuntansi pada SKPD kota Padang. Pengaruh ini bersifat negatif
artinya semakin baik moralitas individu maka tingkat kecurangan akuntansi semakin berkurang.
Sistem Pengendalian Intern menunjukkan bahwa sistem pengendalian intern memberikan pengaruh
negatif dan signifikan terhadap tingkat kecenderungan kecurangan akutansi SKPD kota Padang.
Pengaruh ini bersifat negatif artinya semakin efektif sistem Pengendalian Intern maka Tingkat

16
Kenderungan Kecurangan Akutansi semakin berkurang.
2.3 Kerangka Penelitian
Penelitian ini akan menganalisis apakah terdapat perbedaan kecenderungan melakukan
kecurangan akuntansi antara individu yang memiliki level penalaran moral tinggi dan level
penalaran moral rendah dalam kondisi terdapat elemen pengendalian internal dan tidak terdapat
elemen pengendalian internal. Konsep Variabel independen 1. Moralitas Individu (Level Moral
Tinggi dan Rendah) 2. Pengendalian Internal (ada dan tidak ada elemen pengendalian internal)
Variabel

Dependen

KecuranganAkuntansi.

Moralitas Individu
Kecenderungan
Kecurangan
Akuntansi
Pengendalian Internal

Gambar tersebut merupakan kerangka penelitian

dan sebagai alur pemikiran dalam menguji

hipotesis
2.4 Pengulangan Hipotesis
2.4.1 Pengaruh Moralitas Individu terhadap Kecenderungan Kecurangan Akuntansi
Moralitas individu akan mempengaruhi kecenderungan seseorang melakukan kecurangan
akuntansi. Artinya, semakin tinggi tahapan moralitas individu, semakin individu memperhatikan
kepentingan yang luas dan universal daripada kepentingan organisasinya, apalagi untuk
kepentingan individual. Oleh sebab itu, semakin tinggi moralitas seseorang, maka ia akan berusaha
untuk menghindarkan diri dari tindak kecenderungan kecurangan akuntansi, sehingga hipotesis
penelitian ini adalah:
H1 : Moralitas individu berpengaruh signifikan positif terhadap kecenderungan kecurangan
akuntansi

17
2.4.2 Pengaruh Pengendalian Internal terhadap Kecenderungan Kecurangan Akuntansi
Pada umumnya,

pengendalian internal merupakan kontrol yang dilakukan oleh pihak

internal suatu organisasi yang berguna untuk memberikan keyakinan yang memadai tentang
pencapaian tujuan organisasi yang berupa efektifitas, efisiensi dan keandalan pelaporan keuangan,
sehingga hipotesis penelitian ini adalah:
H2 : Pengendalian internal berperanguh signifikan positif terhadap kecenderungan kecurangan
akuntansi

BAB III
METODE PENELITIAN
3.1 Desain Penelitian
Penelitian ini adalah penelitian deskriptif yang dilakukan untuk mengetahui dan menjadi
mampu menjelaskan karakteristik variabel yang diteliti dengan menggunakan pendekatan
kualititatif yaitu untuk membuktikan hubungan sebab-akibat antara variabel terhadap obyek yang
diteliti. Yang mana penelitian ini membuktikan hubungan antara variabel independen yaitu
moralitas individu dan pengendalian internal mempengaruhi kecenderungan kecurangan akuntansi

18
pada kantor BUMN kota Jakarta.
3.2 Definisi Operasional Variabel
Penelitian ini dilakukan untuk membuktikan secara empiris antara moralitas individu dan
pengendalian internal terhadap kecenderungan kecurangan akuntansi. Terdapat dua variabel
independen dalam penelitian ini yaitu moralitas individu dan pengendalian internal. Variabel
dependen dalam penelitian ini adalah kecenderungan kecurangan akuntansi.
3.2.1 Moralitas Individu (X1)
Moralitas individu adalah ajaran baik dan buruk tentang perbuatan dan kelakuan (akhlak).
Tingkah laku moral berarti tingkah laku yang sesuai dengan kode moral kelompok sosial. Moralitas
identik dengan konformitas terhadap aturan-aturan sosial. Nilai moral merupakan evaluasi dari
tindakan yang dianggap baik oleh anggota masyarakat tertentu.
Untuk mengukur variabel moralitas terdapat dua indikator yaitu:
1. Motivasi intrinsik
2. Motivasi ekstrinsik
3.2.2 Pengendalian Internal (X2)
Pengendalian internal yaitu suatu proses yang dipengaruhi oleh sumber daya manusia dan
teknologi informasi yang di rancang untuk mencapai tujuan dari organisasi. Pengendalian intern
berperan penting untuk mencegah dan mendeteksi penggelapan (fraud) dan melindungi sarana
organisasi seperti pengamanan aset organisasi.
Untuk mengukur variabel pengendalian internal terdapat tiga indikator yaitu:
1. Lingkungan pengendalian
2. Penilaian risiko
3. Kegiatan pengendalian
18
3.2.3 Kecurangan Akuntansi (Y)
Kecurangan akuntansi adalah suatu tindakan dimana terjadi penyimpangan yang tidak sesuai
dengan peraturan atau ketentuan yang berlaku dan dilakukan oleh manajemen puncak maupun
pegawai untuk kepentingan pribadinya serta mendapatkan keuntungan dengan cara bertindak
kriminal.
Untuk mengukur variabel kecurangan akuntansi terdapat tiga indikator yaitu:

19
a. Kecurangan laporan keuangan
b. Penyimpangan atas aset
c. Korupsi
Tabel 3.1
Indikator dan Skala pengukuran variabel
No

Variabel

Indikator

Skala Pengukuran

- Motivasi intrinsik
1

Moralitas Individul

Ordinal

- Motivasi ekstrinsik

(X1)

Diukur dengan skala


likert 5 poin
-Lingkungan

Ordinal

Pengendalian Internal pengendalian


(X2)

- Penilaian risiko

Diukur dengan skala

-Kegiatan pengendalian
-Kecurangan
3

Kecurangan Akuntansi
(Y)

laporan

keuangan
-Penyimpangan

atas

aset

likert 5 poin
Ordinal
Diukur dengan skala
likert 5 poin

-Korupsi
STS

TS

RR

SS

Sangat Tidak

Tidak Setuju

Ragu-Ragu

Setuju

Sangat Setuju

Setuju
1
3.3 Jenis dan Sumber Data
Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data primer. Data primer adalah data
yang diperoleh langsung dari sumbernya / responden. Sumber data dalam penelitian ini diperoleh
langsung dari kantor BUMN yang terdapat di Kota Jakarta melalui responden pimpinan atau kepala
cabang dan staf akuntansi. Data ini diisi melalui pertanyaan yang bersifat terbuka/tertutup yang
terteradalamkuesioner.
3.4 Metode Pengumpulan Data
Dalam penelitian ini metode pengumpulan data untuk memperoleh informasi yang relevan,
peneliti memakai dua metode yaitu:

20
1. Kuesioner (Angket)
Peneliti memperoleh data berkaitan dengan fenomena yang sedang diteliti melalui kuesioner atau
angket berupa pertanyaan tertulis bersifat terbuka maupun tertutup yang ditujukan kepada para
responden diperoleh langsung dari lapangan tempat penelitian dan menyebarkan melalui internet
jika berbeda wilayah.
2. Dokumen
Peneliti memperoleh data melalui dokumen tertulis maupun elektronik dari lembaga/institusi.
Dokumen diperlukan untuk mendukung kelengkapan data yang dibutuhkan yaitu diperoleh dari
buku, jurnal, skripsi , tesis dan internet sesuai dengan judul penelitian.
3.5 Populasi dan Sampel Penelitian
Populasi dari penelitian ini adalah semua pihak yang memiliki wewenang dan tanggung
jawab untuk menyusun laporan keuangan dan laporan pertanggung jawaban di Pemerintah Kota
Jakarta.
Sampel penelitian ini adalah karyawan yang bekerja pada Pemerintah Kota Jakarta
khususnya pada bidang Pengelolaan Keuangan dan Aset yang dimiliki oleh BUMN kota Jakarta.
Sampel

ini dipilih karena berhubungan dengan keuangan, pembuatan laporan keuangan dan

laporan pertanggung jawaban laporan keuangan BUMN kota Jakarta. Teknik pengambilan sampel
yang digunakan dalam penelitian ini adalah total sampling. Total sampling adalah pengambilan
sampel dimana jumlah populasi yang kurang dari 100 seluruh populasi dijadikan sampel penelitian
(Sugiyono:2011) . Anggota sampel yang diambil dari penelitian ini adalah 50 responden.

3.6 Teknik Analisis Data


3.6.1 Analisis Statistik Deskriptif
Peneliti menggunakan statistik deskriptif untuk menggambarkan karakteristik variabel penelitian
dan daftar demografi dari responden. Statistik deskriptif memberikan gambaran atau deskripsi suatu
data yang dilihat dari rata-rata (mean), standar deviasi, varian, masimum, minimum, modus, sum,
range. (Ghozali: 2011).
3.6.2 Uji Validitas dan Realibilitas Data
Sebelum pengambilan data dilakukan, terlebih dahulu melakukan pengujian validitas dan reabilitas
pertanyaan yang digunakan.

21
1. Uji Validitas
Uji Validitas digunakan untuk mengetahui sah atau tidaknya suatu kuesioner (Ghozali:2011). Suatu
kuesioner dikatakan valid jika pertanyaan kuesioner dapat mengungkapkan kecederungan
kecurangan akuntansi pada BUMN Kota Jakarta. Isian kuesioner dapat diterima jika jawaban
responden konsisten dalam menjawab seluruh pertanyaan yang tertera. Teknik yang di gunakan
dalam uji validitas dengan cara mengkolerasikan masing-masing skor item dengan skor total. Itemitem pertanyaan yang berkolerasi signifikan dengan skor total menunjukkan item-item tersebut
mampu mengungkap bahwa data tersebut valid. Untuk mengetahui kriteria penilaian uji validitas,
dilakukan dengan membandingkan r hitung dengan r tabel, maka dapat menarik keputusan :
Apabila r hitung > r tabel dan bernilai positif maka dapat disimpulkan bahwa
kuesioner tersebut valid
Apabila r hitung < r tabel maka dapat disimpulkan bahwa kuesioner tersebut tidak
valid
Uji Reliabilitas
Uji Reabilitas adalah uji yang dilakukan dimana suatu indeks menunjukkan sejauh mana hasil
pengukuran dapat dipercaya, (Saifuddin Anwar, 2000). Hasil pengukuran dapat dikatakan reliabel
jika dalam beberapa kali pelaksanaan pengukuran terdapat subjek yang sama diperoleh hasil yang
relatif sama dan konsisten. Cara melakukan Uji Reliabilitas dengan dalam penelitian ini
menggunakan metode koefisien Cronbach Alpha. Dasar pengambilan keputusan dalam Uji
Reliabilitas adalah :
a) Apabila nilai alpha > r tabel maka item-item angket yang digunakan dinyatakan reliabel atau
kosisten.
b) Apabila nilai alpha < r tabel maka item-item angket yang digunakan dinyatakan tidak
reliabel atau tidak konsisten.
3.6.2 Uji Asumsi Klasik
Uji asumsi klasik digunakan untuk mengetahui apakah analisis regresi linier berganda dari
penelitian ini terbebas dari asumsi klasik. Asumsi klasik dalam penelitian ini adalah: Uji
Normalitas, Uji Multikolinearitas, Uji Heteroskedastisitas.
1. Uji Normalitas
Menurut Imam Ghozali (2011) uji normalitas bertujuan untuk menguji apakah model regresi
memiliki distribusi normal, bila asumsi ini dilanggar maka uji statistik menjadi tidak valid
untuk jumlah sampel yang kecil. Uji normalitas data dilakukan dengan uji KolmogorovSmirnov. Suatu data dikatakan berdistribusi normal apabila:

22
a) Jika nilai Asymp. Sig. (2-tailed) 0,05 data berdistribusi normal.
b) Jika nilai Asymp. Sig. (2-tailed) < 0,05 data tidak berdistribusi normal.
c) Uji Multikolinearitas
Menurut Imam Ghozali (2011) uji multikolinearitas bertujuan untuk menguji apakah model
regresi ditemukan adanya kolerasi antar variabel bebas (independen). Model regresi yang baik tidak
terjadi kolerasi diantara variabel independen. Untuk mendeteksi ada atau tidaknya multikolinearitas
di dalam model regresi pada penelitian ini menggunakan besaran VIF (Varians Inflation Factor) dan
Tolerance, untuk mendeteksi multikolinearitas adalah sebagai berikut:
Besaran VIF dan Tolerence
Mempunyai nilai VIF +/- 1
Mempunyai angka Tolerance +/- 1
Atau Tolerance = 1/VIF dan VIF = 1/Tolerance
Nilai cutoff umumnya dipakai untuk menunjukkan adanya multikolinearitas adalah
nilai VIF > 5 dipastikan terjadi multikolinearitas.
2. Uji Heteroskedastisitas
Menurut Imam Ghozali (2011) uji heteroskedastisitas bertujuan untuk menguji apakah
model regresi terjadi ketidaksamaan variance dari residual satu pengamatan ke pengamatan
lain. Apabila variance dari residual satu pengamatan ke pengamatan lain tetap, maka disebut
Homoskedastisitas. Uji heteroskedastisitas dalam regresi ini menggunakan scatter plot
dengan menggunakan SPSS. Scatter plot merupakan sebuah grafik yang diplot poin atau titik
yang menunjukan hubungan antara dua pasang data.

3.6.3 Analisis Regresi Linear Berganda


Metode analisis regresi linear berganda bertujuan untuk mengetahui hubungan antara
variabel dependel dengan variabel independen. Dalam penelitian ini, uji analisis regresi linear
berganda digunakan untuk menguji hubungan antara Moralitas Individu (X1) dan Pengendalian
Internal (X2) terhadap Kecenderungan Kecurangan Akuntansi (Y). Dengan persamaan regresi
bergandanya adalah:
Y = + b X + b X + e
Keterangan :
Y = Kecederungan Kecurangan Akuntansi
= konstanta

23
b = koefisien regresi linier X
X = Moralitas individu
X = Pengendalian internal
e = error
3.6.4 Pengujian Hipotesis
1. Koefisien Determinasi (R )
Nilai koefisien determinasi (adjusted R-square) menunjukkan prosentase seluruh pengaruh
variabel independen terhadap variabel dependen.. Nilai R berbeda antara nol sampai dengan
satu. Semakin mendekati angka satu maka variabel bebas hampir memberikan semua
informasi untuk memprediksi variabel terikat yang merupakan indikator yang menunjukkan
semakin kuatnya kemampuan menjelaskan perubahan variabel bebas terhadap variabel
terikat.
2. Uji Simultan ( Uji F)
Uji F atau uji simultan digunakan untuk menguji pengaruh variabel independen secara
bersama-sama terhadap variabel dependen dari suatu persamaan regresi dengan
menggunakan hipotesis statistik (Santoso, 2004: 168). Untuk melakukan pengujian
terhadap variabel tersebut berpengaruh secara simultan yaitu dengan kriteria:

Apabila F hitung > F tabel, maka variabel independen berpengaruh terhadap varibel
dependen.

Apabila F hitung < F tabel, maka variabel independen tidak berpengaruh terhadap
variabel dependen.

Uji simultan juga dapat dilihat dari nilai probabilitas terhadap signifikansi 5% atau 0,05
yaitu dengan kriteria:

Apabila nilai probabilitas < 0,05 maka terdapat pengaruh yang signifikan secara
bersama-sama antara variabel bebas dan variabel terikat.

Apabila nilai probabilitas > 0,05 maka tidak dapat pengaruh yang signifikan secara
bersama-sama antara variabel bebas dan variabel terikat.

3. Uji Parsial (Uji t)


Pengujian hipotesis secara parsial, dapat diuji dengan menggunakan rumus uji t. Pengujian tstatistik bertujuan untuk menguji ada atau tidaknya pengaruh masing-masing variabel
independen (X) terhadap variabel (Y). Uji t pada dasarnya menunjukkan seberapa jauh
pengaruh satu variabel penjelas/independen secara individual dalam menerangkan variabel

24
independen. (Ghozali 2011: 84). Untuk melakukan pengujian terhadap variabel tersebut
berpengaruh secara parsial yaitu dengan kriteria:

Apabila t hitung > t tabel, maka variabel independen berpengaruh terhadap variabel
dependen.

Apabila t hitung < t tabel, maka variabel independen tidak berpengaruh terhadap
variabel dependen.

Uji parsial juga dapat dilihat dari nilai probabilitas terhadap signifikansi 5% atau 0,05 yaitu
dengan kriteria:

Apabila nilai probabilitas < 0,05 maka terdapat pengaruh antara variabel dependen
dengan variabel independen secara parsial.

Apabila nilai probabilitas > 0,05 maka tidak dapat pengaruh yang signifikan
terhadap variabel dependen dengan variabel independen.

BAB IV
ANALISIS HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Data Penelitian
4.1.1 Distribusi Responden
Pengumpulan data pada penelitian ini menggunakan data primer yaitu dengan menyebarkan
kuesioner yang disebarkan kepada mahasiswa. Peneliti menggunakan google form untuk
menyebarkan kuesioner kepada para responden. Kuesioner yang disebarkan kepada
responden sebanyak 60 kuesioner (100%) tetapi hanya 43 (71,67%) kuesioner yang dapat
dijadikan data penelitian dan sebanyak 17 (28,33%) kuesioner tidak diisi dengan lengkap

25
sehingga data tersebut tidak dapat di olah. Jadi, peneliti hanya memakai 43 data responden
yang selanjutnya akan diolah ke dalam SPSS.
Tabel 4.1
Pengembalian Kuesioner
Keterangan

Jumlah

Persentase

Kuesioner yang disebar

60

100

Kuesioner yang tidak diisi

Kuesioner yang tidak diisi lengkap

17

28,33

Kuesioner yang digunakan


Sumber: data primer yang diolah

43

71,67

4.2 Data Demografi


Data demografi menjelaskan 43 orang yang menjadi responden dalam penelitian ini
berdasarkan karakteristik profil respondennya. Karakteristik profil reponden terdiri dari jenis
kelamin, usia, tingkat pendidikan, dan masa kerja.
Berikut ini adalah tabel 4.1.2 menunjukkan profil responden berdasarkan karakteristiknya
yang berpartisipasi dalam penelitian ini:

Tabel 4.2
25
Profil Responden
Keterangan

Jumlah
Laki-laki

Perempuan

2030 tahun

13

30

31-40 tahun

41-50 tahun

> 50 tahun

SMA

D3

Usia

Tingkat Pendidikan

26
S1

12

27

S2

S3

Lainnya

< 5 tahun

11

25

5-10 tahun

> 10 tahun
Sumber: data primer yang diolah

Masa Kerja

Berdasarkan tabel 4.1.2 dilihat dari karakteristik jenis kelamin yaitu dari usia responden,
dalam penelitian ini jumlah responden laki-laki yang berusia 20-30 tahun sebanyak 13 responden,
sedangkan jumlah yang paling banyak menjadi responden dalam penelitian ini yakni perempuan
sebanyak 30 responden. Dilihat dari karakteristik jenis kelamin berdasarkan tingkat pendidikan
untuk laki-laki pada tingkat pendidikan yakni SMA berjumlah 0 responden dan untuk perempuan
yakni 1 responden, untuk tingkat D3 baik laki-laki maupun perempuan yaitu sebanyak 0 responden,
pada tingkat S1 jumlah responden laki-laki sebanyak 12 responden, sedangkan jumlah responden
perempuan sebanyak 37 responden dan pada tingkat S2 jumlah responden laki-laki dan perempuan
yaitu sebanyak masing-masing 1 responden, untuk tingkat S3 terdapat 1 responden yang berjenis
kelamin perempuan. Dalam penelitian ini, masa kerja responden bervariasi diantaranya sebanyak 11
responden berjenis kelamin laki-laki kurang dari 5 tahun sedangkan sebanyak 25 responden berjenis
kelamin perempuan kurang dari 5 tahun, untuk masa kerja dari 5-10 tahun yang paling banyak diisi
oleh perempuan yakni 4 responden untuk laki-laki sebanyak 1 responden. Dan responden yang
memiliki masa kerja lebih dari 10 tahun baik dari laki-laki maupun perempuan yaitu sebanyak 1
responden.
Distribusi frekuensi penelitian yaitu penyajian data yang telah digolongkan dalam kelaskelas menurut urutan tingkatannya beserta jumlah individu pada masing-masing kelas, dengan kata
lain distribusi adalah upaya mengolah data mentah menjadi data matang dengan cara menggunakan
penggolongan berdasarkan kategori-kategori tertentu. Dalam penelitian ini dijabarkan kategorikategori penelitian seperti: jumlah individu, nilai mean, nilai modus, standar deviasi, nilai minimum
dan nilai maksimum. Nilai mean yaitu suatu ukuran untuk mengetahui rata-rata dari jumlah seluruh
data dengan membagi jumlah data dan banyaknya data. Nilai modus adalah nilai yang paling sering
muncul dari keseluruhan data, standar deviasi adalah cara untuk mengukur bagaimana nilai-nilai
data tersebar atau akar kuadrat dari varian, nilai minimum adalah nilai terkecil dari suatu data dan
nilai maksimum adalah nilai tertinggi dari suatu data. Berdasarkan tabel 4.2 nilai N menunjukkan

27
banyaknya data kuisioner yang akan diolah sebanyak 43 kuesioner.
Tabel 4.2.1
Hasil Distribusi Frekuensi Penelitian
Keterang

Missing

Mean

Mode

an

Std.

Minimum Maximum

Deviasi

Jenis

43

1,7

0,47

Usia

43

Tingkat

43

3,05

0,49

43

1,21

0,51

Kelamin

Pendidika
n
Masa

Kerja
Sumber: data primer yang diolah
Dari hasil distribusi frekuensi penelitian dilihat berdasarkan nilai rata-rata (mean) tertinggi
adalah tingkat pendidikan sebesar 3,05, untuk nilai yang sering muncul (mode) yakni jenis kelamin,
jika dilihat berdasarkan standar deviasi yang tertinggi adalah masa kerja sebesar (0,51) dan untuk
nilai minimum.
4.3 Uji Kualitas Data
Uji kualitas data dapat dilihat dengan melakukan uji validitas dan uji reliabilitas. Uji
validitas adalah pengujian yang dilakukan terhadap item-item pertanyaan pada kuesioner dan
pengujian ini memberikan penilaian terhadap item-item yang dinyatakan valid. Dikatakan valid jika
memiliki skor signifikansi diatas 0,60 dan item pertanyaan memiliki dukungan yang sangat kuat
dalam mewakili masing-masing variabel. Uji reliabilitas yaitu pengujian yang dilakukan untuk
menguji konsistensi jawaban para responden, jika dikatakan reliabel memiliki skor signifikansi
diatas 0,50 serta jika diuji secara berulang kali jawaban dari responden tidak akan berubah secara
ekstrimdan akan tetap stabil.
1. Uji validitas
Uji validitas digunakan untuk menunjukkan sejauh mana alat ukur yang digunakan dalam
suatu mengukur apa yang mau diukur. Pengujian validitas secara keseluruhan dilakukan
dengan kriteria:
a) Jika signifikansi KMO > 0,6 maka data tersebut dikatakan valid
b) Jika signifikansi KMO < 0,6 maka data tersebut dikatakan tidak valid

28
Tabel 4.3
Hasil Uji Validitas
Variabel

Factor Analysis

Keputusan

Kecenderungan

43

0,85

Valid

43

0,68

Valid

43

0,74

Valid

Kecurangan Akuntansi
(Y)
Moralitas Individu
(X1)
Pengendalian Internal
(X2)
Sumber: data primer yang diolah

Hasil Uji validitas dilihat pada tabel 4.3 untuk variabel dependen Kecenderungan
kecurangan akuntansi (Y) dengan 14 item pertanyaan dinyatakan dengan nilai KaiserMeyer-Olkin Measure of Sampling Adequacy sebesar 0,848 maka data tersebut dinyatakan
valid, sedangkan untuk variabel Independen Moralitas Individu (X1) dengan 6 item
pertanyaan dinyatakan dengan nilai Kaiser-Meyer-Olkin Measure of Sampling Adequacy
sebesar 0,676 maka data tersebut dinyatakan valid dan variabel Pengendalian Internal (X2)
dengan 20 item pernyataan dinyatakan dengan nilai Kaiser-Meyer-Olkin Measure of
Sampling Adequacy sebesar 0,742 maka data tersebut dinyatakan valid. Dengan demikian,
dapat disimpulkan bahwa semua variabel dependen maupun variabel independen dinyatakan
valid, artinya seluruh variabel lolos uji validitas dan tidak ada satu pun item pertanyaan yang
dihilangkan dari masing-masing variabel sehingga seluruh item pertanyaan memiliki
dukungan yang kuat dalam mewakili seluruh variabel.
4. Uji Reliabilitas
Uji reliabilitas digunakan untuk mengukur konsistensi jawaban dari responden dan apakah
konsistensi tersebut memiliki nilai yang ekstrim pada suatu item pertanyaan serta pada
pengujian ini, seluruh item pertanyaan harus lolos pada uji validitas. Kriteria pengujian
dilakukan dengan menggunakan pengujian Cronbach Alpha. Suatu data dikatakan reliabel
apabila:

Jika Cronbach Alpha (CA) > 0,6 maka dikatakan reliabel

Jika Cronbach Alpha (CA) < 0,6 maka dikatakan tidak reliabel

29
Tabel 4.3.1
Hasil Uji Reliabilitas
Variabel

Cronbach's Alpha

Keputusan

43

0,88

Reliabel

Moralitas Individu (X1)

43

0,65

Reliabel

Pengendalian Internal (X2)


Sumber: data primer yang diolah

43

0,85

Reliabel

Kecederungan Kecurangan
Akuntansi (Y)

Hasil uji reliabilitas dilihat pada tabel 4.4 berdasarkan nilai cronbach's alpha setiap variabel.
Untuk variabel kecederungan kecurangan akuntansi (Y) memiliki nilai cronbach's alpha
sebesar 0,878 artinya data tersebut dikatakan reliabel , untuk variabel moralitas individu
(X1) memiliki nilai cronbach's alpha sebesar 0,645 artinya data tersebut reliabel dan nilai
pada variabel ini lebih kecil dari variabel kecenderungan kecurangan akuntansi dan
pengendalian internal, peneliti tidak menghapus item pernyataan karena data item
pertanyaan jumlahnya sangat sedikit hanya berjumlah 6 item pertanyaan. Pada variabel
pengendalian internal memiliki nilai cronbach's alpha 0,845 artinya data tersebut reliabel.
4.4 Analisis Regresi Linear Berganda
Analisis regresi linear berganda digunakan untuk melihat pengaruh dari sejumlah variabel
indepeden yaitu moralitas individu dan pengendalian terhadap variabel dependen yaitu
kecenderungan kecurangan akuntansi. Peneliti menggunakan program SPSS 22.0 version for
windows untuk melakukan uji analisis linear berganda, maka hasil uji analisis regresi linear
berganda dapat dilihat pada tabel 4.6
Tabel 4.4
Uji Analisis Regresi Linear Berganda
Coefficients
Model
1 (Constant)
moralitas.individu

Unstandardized

Standardized

Coefficients
B
Std. Error
1,234
,851
,652
,185

Coefficients
Beta
,528

Collinearity
t

Sig.

1,450
3,520

,155
,001

Statistics
Tolerance
VIF
,836

1,196

-,141
,239
-,088
-,590
,559
,836
1,196
internal.control
a. Dependent Variable: Fraud.accounting
Dilihat dari tabel 4.6 berdasarkan hasil uji regresi linear berganda diperoleh output sebagai
berikut:
Konstanta ()

= 1,234

30
Koefisien regresi variabel moralitas individual (b)

= 0,652

Koefisien regresi variabel pengendalian internal (b) = -0,141


Dari output yang dihasilkan, maka diperoleh persamaan regresi linear berganda sebagai
berikut:
Y = 1.234 + 0.652X + (-0.141)X + e
Dimana:
Y = Kecenderungan Kecurangan Akuntansi (Y)
X = Moralitas Individual
X = Pengendalian Internal
e = error
Berdasarkan hasil uji regresi linear di atas maka dapat dilihat bahwa nilai konstanta pada
persamaan tersebut bernilai positif sebesar 1,234 yang memiliki arti bahwa jika variabel moralitas
individu dan pengendalian internal sama dengan 0 maka tingkat kecenderungan kecurangan
akuntansi semakin meningkat. Nilai b menunjukkan perubahan variabel dependen (Y) jika variabel
independen (X) berubah satuan, dengan asumsi bahwa variabel independen yang lain tetap. Jika
dilihat dari persamaan regresi linear berganda , koefisien variabel b dimana untuk variabel moralitas
individu (X1) sebesar 0,652 yaitu bernilai positif yang berarti bahwa variabel moralitas individu
berpengaruh positif terhadap tingkat kecenderungan kecurangan akuntansi. Untuk variabel
pengendalian internal (X2) yang sebesar -0.141 yang memiliki nilai negatif berarti bahwa variabel
pengendalian internal tidak mempengaruhi tingkat kecenderungan kecurangan akuntansi, jika
pengendalian internal semakin meningkat maka tingkat kecenderungan kecurangan akuntansi
semakin menurun.
1) Koefiesien Determinasi
Koefisien determinasi digunakan untuk mencari seberapa besar variasi variabel independen
dapat menjelaskan secara keseluruhan variasi variabel independen dan dapat menginformasikan
baik atau tidaknya model regresi yang terestimasi, atau dengan kata lain angka tersebut dapat
mengukur seberapa dekatkah garis regresi yang terestimasi dengan data sesungguhnya. Hasil uji
koefiesien determinasi dapat dilihat melalui nilai R square pada tabel berikut ini:
Tabel 4.4.1
Hasil Uji Koefiesien Determinasi
Model

R Square

Adjusted R Square

,499a

,249

,211

Std. Error of
the Estimate
,66327

Durbin-Watson
1,783

31
a. Predictors: (Constant), internal.control, moralitas.individu
b. Dependent Variable: Fraud.accounting
Sumber: output SPSS 22.0
Hasil pengujian koefiesien determinasi diperoleh nilai R square sebesar 0.249. Hal ini
menunjukkan bahwa sebesar 24.9% variabel kecederungan kecurangan akuntansi dapat dijelaskan
oleh variabel moralitas individu dan pengendalian internal. Berarti bahwa kemampuan variabel
independen sangat terbatas untuk menjelaskan variabel dependen. Sebesar 75.1% variabel
kecenderungan kecurangan akuntansi dijelaskan oleh variabel-variabel lain yang tidak dimasukkan
kedalam model penelitian ini.
Uji Simultan (Uji F)
Uji simultan atau disebut juga uji F bertujuan untuk mengetahui apakah variabel bebas (X) secara
bersama-sama atau secara serempak (simultan) berpengaruh terhadap variabel terikat (Y). Kriteria
pengujian dilakukan dengan melihat besarnya nilai signifikansi. Suatu data dikatakan berpengaruh
secara signifikan apabila:
a) Jika nilai Sig. < 0,05 maka variabel bebas (X) berpengaruh signifikan terhadap variabel
terikat (Y).
b) Jika nilai Sig. > 0,05 maka variabel bebas (X) tidak berpengaruh signifikan terhadap
variabel terikat (Y). Hasil uji simultan dapat dilihat sebagai berikut:
Tabel 4.4.2
Hasil Uji Simultan
ANOVAa
Model
1 (Regression
Residual

Sum of
Squares
5,819
17,597

df

Mean Square

Sig.

2
40

2,910
,440

6,614

,003b

23,416
42
Total)
a. Dependent Variable: Fraud.accounting
b. Predictors: (Constant), internal.control, moralitas.individu
Sumber: output SPSS 22.0
Dari tabel diatas, dapat dilihat bahwa hasil nilai dimana F hitung sebesar 6.614 dengan
tingkat signifikansi dibawah 0.05 yaitu sebasar 0.003. Dengan demikian, dapat disimpulkan
bahwa variabel moralitas individu (X1) dan pengendalian internal (X2) jika diuji secara
bersama-sama atau serempak berpengaruh signifikan terhadap kecederungan kecurangan
akuntansi (Y).

32
2. Uji Parsial
Uji parsial yaitu untuk menguji bagaimana pengaruh masing-masing variabel independen
yaitu moralitas individu dan pengendalian internal terhadap variabel dependen yaitu
kecederungan kecurangan akuntansi. Hasil uji statistik dapat dilihat pada tabel berikut ini:

Tabel 4.4.3
Hasil Uji Parsial
Coefficients

Model

Unstandardized

Standardized

Coefficients
B Std. Error
1,234
,851
,652
,185

Coefficients
Beta

Collinearity
t

Sig.

,528

1,450
3,520

,155
,001

,836

1,196

-,141
,239
internal.control
a. Dependent Variable: Fraud.accounting
Hipotesis:

-,088

-,590

,559

,836

1,196

H0

parsial

1 (Constant)
moralitas.individu

variabel

independen

secara

tidak

Statistics
Tolerance
VIF

berpengaruh

signifikan

negatif

terhadap variabel dependen.


H1

variabel

independen

secara

parsial

berpengaruh

signifikan

negatif

terhadap

variabel dependen.
Berdasarkan hasil output diatas maka hasil pengujian hipotesis pengaruh moralitas individu
dan pengendalian internal terhadap kecenderungan kecurangan akuntansi adalah sebagai berikut:
a) Pengaruh Moralitas Individu terhadap Kecederungan Kecurangan Akuntansi
Dari hasil output pada uji parsial diketahui bahwa nilai t hitung sebesar 3.520 dengan tingkat
signifikansi 0.001. karena tingkat signifikansi kurang dari 0.05 maka keputusannya adalah
Ho ditolak dan H diterima. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa moralitas individu
berpengaruh signifikan terhadap kecenderungan kecurangan akuntansi.
b) Pengaruh Pengendalian Internal terhadap Kecederungan Kecurangan Akuntansi

33
Dari hasil output pada uji parsial diketahui bahwa nilai t hitung sebesar -0.590 dengan
tingkat signifikansi 0.559 karena tingkat signifikansi lebih besar dari 0.05 maka
keputusannya H ditolak dan Ho diterima. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa
pengendalian internal tidak berpengaruh signifikan terhadap kecederungan kecurangan
akuntansi.

4.5 Pembahasan
4.5.1 Pengaruh Moralitas Individu terhadap Kecederungan Kecurangan Akuntansi
Secara garis besar, level penalaran moral individu mereka akan mempengaruhi perilaku etis
mereka. Artinya, semakin tinggi tahapan moralitas individu, semakin individu memperhatikan
kepentingan yang luas dan universal daripada kepentingan organisasinya, apalagi untuk
kepentingan individual. Orang dengan level penalaran moral yang rendah berperilaku berbeda
dengan orang yang memiliki level penalaran moral yang tinggi ketika menghadapi dilema etika.
Berdasarkan pengujian hipotesis yang dilakukan, dapat disimpulkan bahwa variabel moralitas
individu berpengaruh signifikan negatif terhadap kecenderungan kecurangan akuntansi. Hasil
penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan Yulina Eliza (2015) yang menyatakan
bahwa moralitas individu berpengaruh signifikan negatif terhadap kecenderungan kecurangan
akuntansi.
4.5.2 Pengaruh Pengendalian Internal terhadap Kecederungan Kecurangan Akuntansi
Pengendalian intern berperan penting untuk mencegah dan mendeteksi penggelapan (fraud)
dan melindungi sarana organisasi seperti pengamanan aset organisasi. Semakin tinggi efektivitas
pengendalian internal perusahaan maka semakin sedikit tingkat kecederungan kecurangan
akuntansi. Berdasarkan pengujian hipotesis yang dilakukan, dapat disimpulkan bahwa variabel
pengendalian internal tidak berpengaruh signifikan negatif terhadap kecenderungan kecurangan
akuntansi. Hasil penelitian ini tidak sejalan dengan penelitian yang dilakukan Yulina Eliza (2015)
yang menyatakan bahwa pengendalian internal berpengaruh signifikan negatif terhadap
kecenderungan kecurangan akuntansi.

34

BAB V
SIMPULAN DAN SARAN

5.1 Simpulan
Berdasarkan hasil pengujian , analisis data serta pembahasannya mengenai Pengaruh Moralitas
Individu dan Pengendalian Internal terhadap Kecederungan Kecurangan Akuntansi, maka dapat
disimpulkan bahwa:
1. Moralitas Individu berpengaruh signifikan negatif terhadap kecederungan kecurangan
Akuntansi pada BUMN kota Jakarta. Pengaruh tersebut bersifat negatif artinya semakin baik
moralitas seseorang maka tingkat kecederungan kecurangan akuntansi semakin berkurang.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa hipotesis yang menyatakan moralitas individu
berpengaruh negatif terhadap kecenderungan kecurangan akuntansi dapat diterima.
2. Pengendalian Internal tidak berpengaruh signifikan negatif terhadap Kecederungan
Kecurangan Akuntansi pada BUMN kota Jakarta. Pengaruh tersebut bersifat negatif artinya
semakin baik efektifitas pengendalian internal pada BUMN kota Jakarta , maka semakin
sedikit tingkat kecederungan kecurangan akuntansi. Dengan demikian dapat disimpulkan
bahwa hipotesis yang menyatakan pengendalian internal tidak berpengaruh negatif terhadap
kecederungan kecurangan akuntansi dapat diterima.
5.2 Keterbatasan
Dalam penelitian ini, peneliti mempunyai keterbatasan dalam melalukan penelitian. Keterbatasan
diungkapkan sebagai berikut:

35
1. Kurangnya responden dalam penelitian ini mempengaruhi hasil dari pengujian antara
variabel independen dan variabel dependen sehingga hasilnya tidak akurat untuk
mendapatkan gambaran yang lebih nyata dari setiap item pertanyaan yang mewakili setiap
variabel.
2. Peneliti kurang memperhatikan karakteristik sampel yang mewakili seluruh populasi yang
35 ini sehingga hasil yang diharapkan kurang
bersedia menjadi responden dalam penelitian
maksimal.
3. Pada saat pengisian kuesioner responden tidak didampingi, sehingga kemungkinan besar
responden tidak dapat memahami pertanyaan-pertanyaan yang ada dalam kuesioner akan
memberikan jawaban yang kurang sesuai.
5.3 Implikasi
1. Bagi Pemerintah dan Institusi
Bagi pihak Pemerintah Kota Jakarta, Hasil analisis dan hipotesis dua variabel independen
yaitu moralitas individu dan pengendalian internal dan satu variabel dependen yaitu
kecenderungan kecurangan akuntansi teruji secara meyakinkan. Hal tersebut akan
memberikan implikasi terhadap pemerintah dan bagi institusi sehingga penelitian ini
diharapkan dapat membantu dalam membentuk kepribadian seseorang dan efektivitas
pengendalian internal demi meminimalkan tidak kecenderungan kecurangan akuntansi.
2. Bagi Akademis
Secara akademis diharapkan hasil penelitian ini dapat dijadikan sebagai bahan kajian bagi
pihak BUMN dalam mengungkapkan tindak kecurangan akuntansi khususnya yang pada
bagian keuangan serta bagian audit internal perusahaan dan pihak internal control
perusahaan sebagaimana harus menjalankan sesuai peraturan demi efektivitas dalam
perusahaan tersebut. Pihak BUMN dapat menindaklanjuti secara mendalam demi
kelangsungan instansi tersebut.

36
5.4 Saran
Berdasarkan hasil pembahasan dan kesimpulan, maka peneliti memberikan saran sebagai berikut:
1. Disarankan untuk menambah jumlah responden dan mempertimbangkan seluruh kriteria
dari para responden agar didapat gambaran yang lebih nyata untuk memperkuat setiap item
pertanyaan yang mewakili setiap variabel.
2. Sebaiknya melengkapi teknik pengumpulan data dengan terjun langsung ke lapangan untuk
memperoleh sumber secara langsung dengan cara mewawancarai seluruh responden.
3. Dari model penelitian yang digunakan, diketahui bahwa variabel penelitian yang digunakan
terbatas dalam menjelaskan pengaruhnya terhadap kecenderungan kecurangan akuntansi
(Fraud.accounting). Ada variabel lain yang tidak diteliti dalam model penelitian ini, seperti
Locus

of

Control,

Kesesuaian

Kompensasi,

dan

Asimetri

Informasi.

Anda mungkin juga menyukai