Bab Ii

Anda mungkin juga menyukai

Anda di halaman 1dari 9

BAB II

PEMBAHASAN
2.1 Daging dan Karkas
Daging merupakan salah satu bahan pangan bergizi tinggi yang sangat bermanfaat
bagi manusia terutama sebagai protein sumber hewani yang di butuhkan oleh tubuh.
Pada hewan potong, pH daging sesudah di sembelih berkisar antara 6,7 8.
Daging adalah bagian lunak pada hewan yang terbungkus kulit dan melekat pada
tulang yang menjadi bahan makanan. Daging tersusun sebagian besar dari jaringan
otot, ditambah dengan lemak yang melekat padanya, urat, serta tulang rawan.
Menurut SNI (2008), daging adalah bagian otot skeletal yang aman, layak dan lazim
dikonsumsi manusia, dapat berupa daging segar, daging.
Karkas adalah bagian dari hewan yang telah disembelih dikurangi kulit, kepala,
kaki, ekor darah dan jeroan. Secara umum, karkas sapi dapat dibagi beberpa bagian
yaitu : bagian bahu, bagian punggung, bagian dada perut, bagian belakan dan
bagian betis (Bahar, 2003).
Kepala dipotong diantara tulang ocipital (os occipitale) dengan tulang tengkuk
pertamam (atlas). Kaki depan dipotong diantara carpus dan metacarpus; kaki
belakang dipotong diantara tarsus dan metatarsus.

Jika diperlukan untuk

memisahkan ekor, maka paling banyak dua ruas tulang belakang coccygeal (caudalis)
terikut karkas (SNI, 1995).
2.3 Proses Termal
Perlakuan proses termal adalan metode yang digunakan untuk membunuh
mikroorganisme pembusuh dan mikroorganisme toksigenik di dalam daging atau
daging proses. Jumlah panas yang digunakan pada presevasi daging atau daging
proses ada dua macam, yaitu :

a. Pemanasan manasan sedang atau moderat yang menggunakan suhu 58 0C


sampai 75oC.
b. Pemanasan pada temperature tinggi yang biasanya lebh dari 100oC.
Terdapat beberapa jenis proses pemanasan yang umum diterapkan dalam
proses pengalengan pangan, seperti blansir, pasteurisasi, sterilisasi dan hotfilling.
Dari keempat proses pemanasan tersebut, blansir biasanya bagian dari proses
pengalengan sebelum dilakukan proses termal dan bertujuan bukan untuk proses
pengawetan.
a. Blanzir
Blanzir merupakan pemanasan awal pada bahan pangan menggunakan
suhu tinggi dalam waktu yang singkat ( Fennema, 1976 ). Proses balansir pada
daging degnan lama waktu 3 menit pada suhu 80

C dengan lama

penyimpanan selama 12 hari pada suhu refregensi (4 0C) menghasilkan kadar


protein, daya ikat air, dan pH yang masih dalam kisaran daging sapi segar
dengan jumlah bakteri yang masi lebih rendah dari batas maksimum jumlah
bakteri yang telah di tentukan sebagai daging sapi yang mutunya baik untuk
dikonsumsi (Rahmawaty, 2006).
b. Pasteurisasi
Proses pasteurisasi sedikit memperpanjang umur simpan produk pangan
dengan cara membunuh semua mikroorganisme patogen (penyebab
penyakit) dan sebagian besar mikroorganisme pembusuk, melalui proses
pemanasan. Karena tidak semua mikroorganisme pembusuk mati oleh proses
pasteurisasi, maka untuk memperpanjang umur simpannya daging yang telah
dipasteurisasi biasanya disimpan di refrigerasi (suhu rendah). Proses
pasteurisasi dapat dilakukan dengan beberapa cara, dengan cara tidak
kontinyu (batch) dan kontinyu.
c. Sterilisasi komersial

Sterilisasi komersial adalah pemanasan pada suhu di atas 100 derajat


Celcius, umumnya sekitar 121,1 derajat Celcius dengan menggunakan uap
air selama waktu tertentu dengan tujuan untuk memusnahkan spora bakteri
patogen termasuk spora bakteri Clostridium botulinum. Pemanasan
sterilisasi komersial sering dilakukan pada bahan pangan yang sifatnya tidak
asam atau lebih dikenal dengan bahan pangan berasam rendah. Bahan
pangan berasam rendah memiliki pH > 4,5, misalnya seluruh bahan pangan
hewani seperti daging, susu, telur dan ikan serta sayuran seperti buncis dan
jagung. Dengan demikian, sterilisasi komersial ini hanya digunakan untuk
mengolah bahan pangan berasam rendah di dalam kaleng, seperti kornet,
sosis dan sayuran dalam kaleng.
d. Hot filling
Hot-filling adalah teknik proses termal yang banyak diterapkan untuk
produk pangan berbentuk cair, seperti saus, jam, dan sambal. Dari segi
tujuan proses, hot-filling banyak dilakukan untuk produk pangan yang
memiliki pH rendah (pangan asam/diasamkan) untuk tujuan pasteurisasi.
Pengertian hot-filling adalah melakukan pengemasan bahan dalam kondisi
panas setelah proses pasteurisasi ke dalam kemasan steril (misalnya botol
atau gelas jar), lalu ditutup rapat (hermetis) dan didinginkan. Biasanya
proses hot-filling dikombinasikan dengan teknik pengawetan lain, misalnya
penambahan gula, garam, bahan pengawet atau pendinginan. Di antara
produk pangan yang dapat diproses dengan hot-filling adalah saus, sambal,
jem, dsb.
Tujuan utama dari proses pengolahan dengan suhu tinggi ini adalah untuk
memperpanjang daya awet produk pangan yang mudah rusak dan meningkatkan
keamanannya selama disimpan dalam jangka waktu tertentu. Proses pengolahan
dengan suhu tinggi telah diaplikasikan dalam makanan kaleng dan dapat
mempertahankan daya awet produk pangan hingga 6 bulan atau lebih.

2.3 Ketahanan Mikroba Terhadap Panas


Salah satu faktor yang mempengaruhi pertumbuhan mikroorganisme adalah
temperatur. Sebagian besar mikroorganisme tumbuh baik pada suhu 25-45 o C. Namun
ada beberapa jenis mikroba yang tumbuh dengan baik pada suhu tinggi dan suhu
rendah. Setiap organisme memiliki suhu optimum pertumbuhan, waktu regenerasi
akan meningkat pada setiap kenaikan atau penurunan suhu dari suhu optimum.
Kontrol suhu merupakan salah satu metode pengawetan makanan yang paling utama
dalam penghambatan mikroba. Suhu tinggi akan menyebabkan kematian mikroba,
sedangkan suhu rendah akan meningkatkan waktu regenerasi dan memperlambat
pertumbuhan sel mikroba.
Berdasarkan suhu optimum pertumbuhannya mikroorganisme dibedakan menjadi:
a. Psikrotropik: suhu optimum 14-20oC, tetapi dapat tumbuh lambat pada suhu
refrigerator (4oC). Kelompok mikroorganisme ini yang penting pada makanan kaleng adalah Clostridium botulinum tipe E dan strain non-proteolitik
tipe B dan F.
b. Psikrofilik :
c. Mesofilik: suhu optimum 30-37oC. Suhu ini merupakan suhu normal gudang.
Clostridium botulinum merupakan salah satu contoh mikroorganisme
kelompok ini.
d. Termofilik: suhu optimum kebanyakan termofilik pada suhu 45-60 oC. Jika
spora bakteri tidak dapat bergerminasi dan tidak tumbuh di bawah suhu 50 oC,
bakteri tersebut disebut obligat termofil. Jika tumbuh pada kisaran suhu 5066oC atau pada suhu yang lebih rendah (38oC), bakteri ini disebut fakultatif
termofilik. Beberapa obligat termofil dapat tumbuh pada suhu 77 oC dan
bakteri ini sangat resisten terhadap pemanasan (121 oC selama 60 menit).
Bakteri termofilik tidak memproduksi toksin selama pertumbuhannya pada

makanan. Contoh bakteri dari kelompok ini adalah Bacillus stearothermophilus.

Bakteri

termofilik,

seperti

Bacillus

stearothermophilus

menyebabkan busuk asam (flat sour) pada makanan kaleng berasam rendah
dan B. coagulans pada makanan kaleng asam. Bakteri termofil lainnya, yaitu
Clostridium thermosaccha-rolyticum menyebabkan penggembungan kaleng
karena memproduksi CO2 dan H2. Kebusukan sulfida disebabkan oleh
Clostridium nigridicans.
e. Hyperthermofilik : Mikroba thermofil yang dapat tumbuh pada suhu diatas 80
o

Pada umumnya semakin tinggi suhu pertumbuhan bakteri, resistensi terhadap


pemanasan semakin tinggi. Dengan demikian bakteri thermofil lebih resisten terhadap
pemanasan daripada bakteri mesofil. Pemanasan yang digunakan untuk membunuh
spora mesofil mungkin saja tidak cukup untuk mencegah terjadinya kebusukan oleh
spora thermofil, kecuali jika makanan tersebut disimpan pada suhu di bawah
thermofil. Untuk produk-produk makanan, seperti kacang polong, jagung, makanan
bayi dan daging yang beresiko busuk karena thermofil, para pengolah makanan harus
ekstra hati-hati dalam mencegah terjadinya kebusukan karena germinasi dan
pertumbuhan spora thermofil. Bahan-bahan yang digunakan seperti gula, tepung dan
rempah-rempah harus terbebas dari spora thermofil.
Bakteri thermofil juga dapat tumbuh pada peralatan yang kontak langsung dengan
makanan, sehingga makanan harus dipertahankan pada suhu 77oC atau lebih tinggi
lagi untuk mencegah pertumbuhan thermofil. Selain itu, produk harus segera
didinginkan sampai suhu di bawah 41oC setelah sterilisasi dan menyimpan produk ini
di bawah suhu 35oC. Bacillus stearothermophilus, B. thermoacidurans, dan C.
thermosaccarolyticum merupakan anggota kelompok bakteri termofilik (50-55 oC)
yang lebih tahan panas dibanding C. botulinum. Dalam proses pengalengan, bakteri
ini tidak menjadi target proses, karena suhu penyimpanan makanan kaleng umumnya
di bawah suhu 30oC.

Proses sterilisasi makanan kaleng umumnya tidak membunuh bakteri thermofilik.


Apabila proses pendinginan setelah proses sterilisasi terlalu lambat atau produk
disimpan pada suhu penyimpanan di atas normal dimana bakteri thermofilik dapat
tumbuh, maka makanan kaleng dapat rusak oleh bakteri thermofilik.
Adamun mekanisme pertahanan mikroba thermofilik terhadap suhu panas ekstrim :
a. Terbentuknya Hapanoid
b. Terbentuknya spora
c. Terbentuknya Heat-shock Protein (Hsp)
2.3 Pengeringan dan Metode Pengeringan Daging
Pengeringan adalah suatu proses pemindahan panas dan uap air secara simultan
yang memerlukan energi untuk menguapkan kandungan air yang dipindahkan dari
permukaan bahan yang dikeringkan oleh media pengering yang biasanya berupa
panas (Taib G, dkk, 1987).
Metode pengawetan bahan degan cara pengeringan sudah dikenal sejak dulu.
Tujuan dasar daripengeringan adalah untuk mengurangi kadar air bahan dengan cara
pemanasan atau termal sampai ketingkat tertentu sehingga kerusakan akibat mikroba
dan reaksi kimia dapat diminmalisasi dengan menjaga kualitas produk kering bahan
tersebut.
Proses pengeringan merupakan suatu proses akhir dari suatu deretan operasi
proses dan setelah pengeringan bahan siap untuk disimpan atau dijual. Berdasarkan
atas proses kontak antara media pengering dengan bahan yang akan dikeringkan,
pengeringan dapat dibedakan menjadi dua yaitu :
a. Pengeringan langsung (direct drying)
Pada proses ini bahan yang dikeringkan berhubungan langsung dengan udara
yang dipanaskan.

b. Pengeringan tidak langsung (indirect drying)


Udara panas berhubungan dengan bahan yang dikeringkan melalui perantara,
umumnya berupa dinding-dinding atau tempat meletakkan bahan. Bahan akan
kontak dengan panas secara konduksi.
Terdapat dua metode pengeringan, yaitu:
a. Sun drying
Yaitu proses pengeringan dengan menggunakan panas matahari.
Keuntungan metode ini adalah energi panas didapat secara gratis karena
langsung dari panas sinar matahari. Kerugian metode ini adalah suhu dan
waktu pengeringan tidak dapat diatur serta kebersihan bahan pangan yang
dikeringkan tidak terjamin.
b. Artificial drying
Yaitu proses pengeringan dengan menggunakan panas yang berasal dari
suatu mesin pengering. Keuntungan metode ini adalah suhu dan waktu
pengeringan dapat diatur serta kebersihan bahan pangan lebih terjamin.
Kerugiannya adalah membutuhkan biaya lebih banyak karena mesin
pengering memerlukan listrik untuk menghasilkan panas.
Artificial drying dapat dibagi menjadi:

Cabinet dryer

Vacuum dryer

Spray dryer

Freeze dryer

Faktor-faktor yang memengaruhi kecepatan pengeringan antara lain:


1. sifat fisik dan kimiawi bahan pangan
2. bentuk alat dan media perantara pengering
3. sifat fisik lingkungan alat pengering
4. karakteristik alat pengering.
Tujuan dari pengeringan yaitu menghambat atau mencegah terjadinya kerusakan,
mempertahankan mutu, menghindarkan terjadinya keracunan sehingga dapat
mempermudah penanganan dan penyimpanan.
Proses pengeringan barangkali lebih tepat bila disebut sebagai usaha untuk
menghambat kerusakan karena lambat atau cepat bahan yang kering (diawetkan) akan
menglami kerusakan juga. Daging yang dikeringkan (dendeng) akan bertahan selama
1-3 bulan. Bahan yang awet mempunyai nilai dan harga yang lebih tinggi karena
risiko terjadinya kerusakan lebih kecil.
Bahan yang kering meskipun mengalami perubahan-perubahan tetapi terjadinya
sangat lambat sehingga seolah-olah tidak mengalami perubahan. Karena tidak
mengalami perubahan, maka bahan yang mula-mula bermutu baik akan tetap baik
selama jangka waktu tertentu.
Terjadinya kerusakan oleh beberapa mikroba dapat menyebabkan pembusukan
bahan yang didahului terjadinya produksi racun atau toksin. Bahan yang telah
mengandung racun tersebut dapat membahayakan kesehatan konsumen.
Bahan yang kering lebih mudah cara penanganannya, karena sortasi tidak perlu
dilakukan serta kemungkinan penularan atau kontaminasi dapat diperkecil. Daging
yang telah mengalami proses pengeringan akan tahan terhadap pengaruh kondisikondisi luar yang dapat merusak bahan tersebut sehingga dalam penyimpanannya

akan lebih mudah karena kondisi penyimpanannya juga tidak sukar. Setelah
dikeringkan, daging (dendeng) akan menjadi bentuk yang lebih praktis dan ringkas.

Anda mungkin juga menyukai