Anda di halaman 1dari 2

BALIAN: CERMINKAN AGAMA RAKYAT DI BALI

Oleh Agung Paramita


Ketika peran daya nalar manusia sudah mulai tak bisa memenuhi keinginan, ketajaman akal
sudah mulai tumpul dalam memecahkan masalahmaka kecendrungan untuk mendapatkannya
hanya ada di dunia magis. Kebiasaan meluasang pada saman, cenayang, dan jero dasaran
secara tidak langsung menjadi kredo yang tidak bisa punah di tengah gencatan arus jaman,
sebaliknya justru kebiasaan itu menjadi sebuah kebutuhan yang setara dengan kebutuhan
primer.
Mandra, seorang petani miskin yang dekat dengan klenik, setiap ada masalah ia tak kunjung
datang ke seorang sulinggih, dokter medis, melainkan lebih plong bila datang ke para Balian,
jero dasaran. Kali ini Mandra menemukan masalah yang paling berat semasa hidupnya,
anaknya sakit keras. Ketidakmungkinan Mandra mendapat biaya yang besar untuk
menyembuhkan anaknya membuatnya memilih jalan pintas, irit biaya, sekali komat-kamit
langsung sembuh. Tidak berpikir lama lagi Mandra berangkat mengunjungi salah satu balian
yang bisa dikatakan kondang di desanya, Pica namanya. Ratu jero balian, punapiang
mangkin pianak titiang sane banget sayangang tiang, sakitne nenten dados ubadin niki, napi
sane ngeranayang sapunike? ungkap Mandra setelah bertatap muka dengan balian itu.
Kemudian Pica memberikan solusi kepada Mandra, ia memberitahu agar Mandra membuat
sesajen besar di penunggu karang rumah kalau ingin anaknya selamat. Sejenis caru Bhuta
Yadnya, caru agung, karena anaknya sedang diganggu oleh beberapa penunggu di rumahnya.
Itu semua karena anaknya melakukan kesalahan, dan bukan karena penyakit yang diungkap
medis.
Mendengar penjelasan balian, Mandra langsung berangkat pulang dan menyediakan sesajen
itu. Berupa caru agung, caru mancawarna, dalam aspek yadnya agama Hindu ini termasuk
Bhuta Yadnya, yang dipersembahkan kepada penyeneng karang seperti ungkap Pica. Hal ini
menunjukkan betapa balian, jero dasaran, dan para saman di Bali sangat berperan dalam
aspek keagamaan di Bali, terutama aspek ritualistik. Kisah Mandra, ternyata anaknya tak
kunjung sembuh, karena secara medis anaknya mengalami gangguan hati yang tidak ada
hubungannya dengan penyeneng karang, itu karena Mandra tidak memakai wiweka, wikrama
(akal sehat), dan terlalu terlarut dalam dunia klenik. Namun, tidak dipungkiri itu merupakan

salah satu warisan animisme yang masih mewarnai kehidupan sosial-religi masyarakat Bali,
termasuk Mandra.
Menjalankan ajaran agama terkadang lebih didominasi oleh keterangan para saman, bukan
teks-teks suci, apalagi para pendeta yang notabene sebagai media utama keberagamaan. Ini
cenderung membuat agama Hindu Bali sering dikatakan menganut agama rakyat, yang
informasi agama dan ritual tidak hanya didapat dalam doktrin agama, melainkan juga didapat
oleh para balian, jero dasaran, dan para saman, yang selalu dekat dengan dunia ilusif,
pembisik imaji, yang sangat jauh dari nalar manusia. Inilah kenapa manusia Bali masih
memikul kepercayaan itu, disakralisasi sebagai salah satu sisi atau aspek keberagamaan
masyarakat yang cenderung dekat dengan ritualistik-magis, warisan nenek moyang katanya.

Anda mungkin juga menyukai