Anda di halaman 1dari 3

Aji Pengiwa Di Bali - Dunia Mistik Dan Gaib

Oleh Adang Suprapto

D unia Mistik Dan Gaib


Hampir sebagian besar di antara kita pernah mendatangi praktik Jero balian atau dukun, baik
untuk tujuan penyembuhan suatu penyakit, menanyakan sesuatu yang niskala, mencari
perlindungan diri, penangkal agar tidak terserang orang secara gaib, bahkan untuk mendapatkan
penglaris. Apapun tujuan kita mendatangi jero balian, dan apa pun kemampuan jero balian,
tampaknya tidak mudah bagi kita untuk menghindari kepercayaan dunia niskala, yang kita
terjemahkan secara sederhana dan sempit, yakni dunia mistik dan gaib.

Dalam kepercayaan permanen itu, suatu penyakit atau


musibah selalu dikaitkan dengan gejala ketidak-harmonisan hubungan kita dengan sesama dan
alam gaib yang menyebabkan timbulnya suatu penyakit dan musibah, karena itu kita
memerlukan bantuan pihak lain, yang dianggap memahami dan dapat mengendalikan kekuatan
gaib yang mengganggu kesehatan dan ketentraman hidup kita. Kekuatan gaib itu menyebabkan
penyakit dan mendatangkan musibah.
Dalam kehidupan sehari-hari pun kita tidak dapat menggunakan nalar secara penuh, walaupun
tingkat pendidikan masyarakat umumnya telah mencapai tingkat yang dapat dianggap telah
menjauhi dunia gaib dan mistik dalam artinya yang negatif itu, lalu seharusnya menggunakan
nalar atau akal sehat dalam mengambil suatu keputusan atau tindakan. Dalam mendampingi
anggota keluarga yang sakit juga tidak mudah berpikir dan bertindak secara nalar dalam
memperoleh solusi yang tepat agar si sakit dapat disembuhkan secara medis, karena memang
seharusnya demikian tindakan orang modern. Akan tetapi, sekalipun anggota keluarga kita
terkena kanker stadium empat dan para dokter ahli telah menyatakan sangat kecil
kemungkinannya sembuh, harapan masih ditumpukkan kepada sang balian.
Bahkan, sejak gejala-gejala kanker itu muncul kita memilih dan ketetapan hati untuk membawa
si sakti ke balian, tidak ke dokter ahli atau rumah sakit. Meskipun diagnosis secara medis
menyatakan gejala-gejala demikian mengarah ke kanker, masih saja kita beranggapan bahwa
penyakit yang dasyat itu merupakan hasil pekerjaan seseorang yang tidak menyukai keluarga
kita. Biasanya, yang dituduh melakukan serangan gaib itu adalah keluarga dekat sesumbahan
(keluarga satu kawitan atau satu leluhur), bukan orang lain. Akibatnya, keluarga yang
anggotanya menderita penyakit parah itu, mengalami penderitaan yang berlipat ganda, menderita

karena harus mengurus keluarga yang sakit dan tidak ada tanda-tanda akan sembuh, juga
menderita, sakit hati, bahkan dendam karena harus bermusuhan dengan keluarga sesumbahan
atau satu leluhur.
Sumber yang menyediakan sarana untuk menyakiti orang lain itu, adalah balian ngiwa.
Dikatakan ngiwa karena balian itu bertindak sebagai ahli yang mampu mengobati penyakit
niskala semacam itu, namun juga membantu dan menyediakan sarana bagi orang yang ingin
menyakiti saudara atau orang lain, yang tidak disukainya. Dengan kata lain, balian itu dipradugai
menempuh jalur kanan, tetapi juga menempuh jalur kiri (kiwa = kiri, hitam; jahat), yang memang
terlanjur dipisahkan secara dikotomis. Pertanyaan kemudian muncul benarkah ada balian yang
ngiwa seperti itu? Sebagai orang memahami dunia gaib, demikian pula tingkah polah balian
ngiwa yang tidak mudah dimengerti secara nalar untuk kemudian ditarik sebuah kesimpulan
untuk membenarkan atau menganggap praktik-praktik semacam itu tidak ada.
Tumbal Dan Pekakas
Pemahaman tradisional kita mengenai penyakit berkaitan dengan penyembuhan (obat) dan
balian. Pada umumnya, lontar usada mengelompokkan penyakit menjadi tiga jenis, yakni
penyakit panes (panas), nyem (dingin) dan sebbaa (panas dingin). Sejajar dengan itu, obat pun
dikelompokkan dalam tiga macam, yakni ada obat yang berkhasiat anget (hangat), tis (sejuk) dan
dumelada (sedang). Kesejajaran antara jenis penyakit dan tiga macam obat tersebut agaknya
berhubungan pula dengan fungsi dan kesaktian Bhatara Brahma, Wisnu, dan Iswara. Ketiga
dewa itu diberi wewenang oleh Dewa Siwa untuk melaksanakan pengobatan sesuai dengan sifat
masing-masing penyakti dan khasiat obat, Dewa Brahma diberi tugas dan wewenang untuk
mengadakan penyakit panes dan obat yang berkhasiat anget, Dewa Wisnu bertugas untuk
mengadakan penyakit nyem dan obat yang berkhasiat tis, dan Dewa Iswara mengadakan
penyakit sebbaa dan bahan obat yang berkhasiat dumelada.

Bagaimana cara menentukan khasiat obat itu belum

ditemukan jawabannya di dalam lontar usada. Lontar tarupramana hanya menyebutkan berbagai
jenis tanaman yang berkhasiat anget, tis, dan dumalada, tanpa mengulas bagaimaan cara
mengetahui khasiat yang dikandung tanaman tersebut. Misalnya, daun paya, babakan atau kulit
pohon belimbing, babakan pohon tanjung dan sebagainya, memiliki khasiat anget. Tanaman yang
berkhasiat tis, antara lain getah awar-awar, akar dan buah belego, akar dan daun kayu manis dan
sebagainya, sedangkan tanaman yang berkhasiat dumalada antara lain akar delima, akar kenanga,
getah kenari, daun sembung.
Jenis penyakit dan khasiat obat yang disediakan alam di atas masih tergolong cara pengobatan
yang normatif sesuai dengan petunjuk lontar usada. Akan tetapi, kadang-kadang sang balian juga
memberikan bahan obat brupa rerajahan atau benda-benda yang diberi rerajahan dan mantramantra kepada pasiennya. Di samping jenis-jenis obat tersebut, ada juga penangkal gering,
berupa tumbal dan pekakas. Tumbal adalah sebuah istilah yang berkonotasi kiri (kiwa) dalam
masyarakat Bali, padahal ia merupakan penangkal penyakit atau hal buruk lainnya, berbentuk
rerajahan dengan aksara wijaksara, dan modre yang ditulis di atas lempengan logam, pecahan
periuk tanah, daun lontar, kain, kertas atau benda keras lainnya. Benda yang telah dirajah ini
dibungkus dengan kain putih, atau dimasukkan ke dalam periuk tanah kecil, disertai banten dan
mantra, lalu ditanam di pekarangan rumah, atau di tempat lainnya. Sebagian masyarakat Bali
percaya dengan menanam tumbal di pekarangan rumah atau di tempat tertentu, berarti menanam
kekuatan magis religius, sehingga diharapkan semua penyakit dan kekuatan atau orang yang
berniat jahat tidak akan berani memasuki pekarangan rumah.
Sementara itu, pekakas adalah sebuah jimat berupa lempengan logam kecil, daun lontar, kain
atau benda lainnya, yang diberi rerajahan disertai mantra kemudian dibungkus dengan kain putih,
ditempatkan di ikat pinggang, kalung atau tempat lainnya, yang selalu dibawa kemanapun pergi,
terutama ketika keluar rumah. Pekakas biasanya ditaruh di tempat yang tersembunyi agar tidak
mudah dilihat orang atau mampu melindungi pemakainya dari marabahaya. Akan tetapi, orang
yang mempelajari pengiwa umumnya mengtahui kalau seseorang menggunakan pekakas dan
selalu timbul niatnya untuk mencobanya. Karena itu, disarankan untuk tidak menggunakan
pekakas, kecuali menggunakan aura gunan awak dan berpikir jernih untuk menangkal
serangan kekuatan jahat.
Tidak mudah untuk mengklaim apakah balian yang menggunakan sarana tumbal dan pekakas
sekalipun atas permintaan sang pasien tergolong balian ngiwa? Jawabannya mungkin ya, apabila
balian itu juga melayani pembelian sarana untuk menyakiti dan menyerang orang lain dengan
kekuatan jahat itu.
http://www.parissweethome.com/bali/cultural_my.php?id=24

Anda mungkin juga menyukai