Anda di halaman 1dari 26

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Pengobatan Tradisional


2.1.1

Definisi Pengobatan Tradisional

Pengobatan tradisional adalah pengobatan atau perawatan dengan cara, obat dan
pengobatannya yang mengacu kepada pengalaman, keterampilan turun temurun, dan
atau pendidikan atau pelatihan, dan diterapkan sesuai dengan norma yang berlaku
dalam masyarakat (Kemenkes RI, 2003). Berdasarkan pengobatannya, pelayanan
pengobatan tradisional terbagi menjadi dua jenis yaitu pelayanan kesehatan
tradisional yang menggunakan ketrampilan dan ramuan (Direktorat Jenderal Bina
Gizi dan KIA, 2012)
2.1.2 Pengobat Tradisional
Pengobat tradisional (Battra) adalah orang yang melakukan pengobatan dan
atau perawatan dengan cara, obat, dan pengobatnya yang mengacu pada pengalaman,
keterampilan turun temurun, dan atau pendidikan/pelatihan dan diterapkan sesuai
dengan norma yang berlaku. Klasifikasi dan jenis pengobatan tradisional menurut
Kemenkes RI (2003):
a. Battra Pijat Urut adalah seseorang yang melakukan pelayanan pengobatan
dan/atau perawatan dengan cara mengurut/memijat bagian atau seluruh
tubuh. Tujuannya untuk penyegaran relaksasi otot hilangkan capai, juga
untuk mengatasi gangguan kesehatan atau menyembuhkan suatu keluhan
atau penyakit. Pemijatan ini dapat dilakukan dengan menggunakan jari
tangan, telapak tangan, siku, lutut, tumit atau dibantu alat tertentu antara lain
pijat yang dilakukan oleh dukun/tukang pijat, pijat tunanetra, dan sebagainya.
9

10

b. Battra Patah Tulang adalah seseorang yang memberikan pelayanan


pengobatan dan/atau perawatan patah tulang dengan cara tradisional.Disebut
Dukun Potong (Madura), Sangkal Putung (Jawa), Sandro Pauru (Sulawesi
Selatan).
c. Battra Sunat adalah seseorang yang memberikan pelayanan sunat
(sirkumsisi) secara tradisional. Battra sunat menggunakan istilah berbeda
seperti Bong Supit (Yogya), Bengkong (Jawa Barat). Asal ketrampilan
umumnya diperoleh secara turun temurun.
d. Battra Dukun Bayi adalah seseorang yang memberikan pertolongan
persalinan ibu sekaligus memberikan perawatan kepada bayi dan ibu sesudah
melahirkan selama 40 hari. Jawa Barat disebut Paraji, dukun Rembi
(Madura), Balian Manak (Bali), Sandro Pammana (SulawesiSelatan), Sandro
Bersalin (Sulawesi Tengah), Suhu Batui di Aceh.
e. Battra Pijat Refleksi adalah seseorang yang melakukan pelayanan
pengobatan dengan cara pijat dengan jari tangan atau alat bantu lainnya pada
zona-zona refleksi terutama pada telapak kaki dan/atau tangan.
f. Akupresuris adalah seseorang yang melakukan pelayanan pengobatan dengan
pemijatan pada titik-titik akupunktur dengan menggunakan ujung jari
dan/atau alat bantu lainnya kecuali jarum.
g. Akupunkturis adalah seseorang yang melakukan pelayanan pengobatan
dengan perangsangan pada titik-titik akupunktur dengan cara menusukkan
jarum dan sarana lain seperti elektro akupunktur.
h. Chiropractor adalah seseorang yang melakukan pengobatan kiropraksi
(Chiropractie) dengan cara teknik khusus untuk gangguan otot dan
persendian.

11

i. Battra lainnya yang metodenya sejenis


2.1.3 Balian
1. Definisi Balian
Battra bali merupakan salah satu Battra yang biasa disebut Battra paranormal
atau Battra ramuan, karena dalam pelaksanaannya Battra bali ini juga
menggunakan ramuan dan menggunakan kekuatan supranatural. Balian adalah
sebutan untuk pengobat tradisional di Bali, yaitu orang yang mempunyai
kemampuan untuk mengobati orang sakit. Kemampuan Balian diperoleh dengan
berbagai cara, dilihat berdasarkan tujuan dan pengetahuan yang dimiliki balian
(Idward 2013).
2. Jenis balian menurut Idward ( 2013):
a. Berdasarkan tujuan
Ada dua jenis balian, yaitu Balian Panengen (baik) dan Balian Pangiwa (jahat).
1) Balian Penengen adalah balian yang tujuannya mengobati orang yang
sakit sehingga menjadi sembuh. Balian ini sering pula disebut Balian
Ngardi Ayu (dukun kebaikan). Balian ini pada umumnya bersifat ramah,
terbuka, penuh wibawa dan suka menolong. Siapapun akan ditolongnya
tidak membedakan apakah dia orang baik atau orang jahat, orang yang
miskin atau kaya semua dilayani sesuai dengan penyakit yang
dideritanya.
2) Balian Pengiwa adalah balian yang tujuannya membuat orang yang sehat
menjadi sakit dan orang yang sakit bertambah menjadi sakit, bahkan
sampai meninggal. Itulah sebabnya balian tipe ini sering disebut balian
aji wegig, dukun yang menjalankan kekuatan membencanai orang lain,
berbuat jahil, usil, terhadap orang lain. Balian jenis ini amat sukar

12

dilacak, pekerjaannya penuh rahasia, tertutup dan misterius. Sering pula


balian ini mengganggu balian penengen pada waktu pengobati orang
sakit sehingga tidak sembuh-sembuh, jahil dan usil (Idward, 2013)
b. Berdasarkan pengetahuan
Berdasarkan pengetahuan balian terbagi dalam 4 jenis balian menurut
Idward ( 2013) yaitu balian Kapican, Katakson, Usadha dan Campuran.
1) Balian kapican adalah balian yang mendapat keahlian karena memperoleh
suatu pica atau benda bertuah dan berkhasiat yang dapat dipergunakan
untuk menyembuhkan orang sakit. Mungkin benda-benda tersebut didapat
dari fiirasat baik berupa mimpi atau petunjuk yang lainnya. Pica ini dapat
berupa batu permata, lempengan logam, keris, cincin, kalung, tulang dan
benda lainnya.
2) Balian katakson (tetakson) adalah balian yang mendapat keahlian melalui
taksu, roh atau kekuatan gaib yang memiliki kecerdasan, mukzijat ke
dalam dirinya. Taksu adalah kekuatan gaib yang masuk kedalam diri
seseorang dan mempengaruhi orang tersebut, baik cara berpikir, berbicara
maupun tingkah lakukanya. Karena kemasukan taksu inilah orang tersebut
mampu untuk mengobati orang yang sakit.
3) Balian usada adalah seseorang dengan sadar belajar tentang ilmu
pengobatan, baik melalui guru waktra, belajar pada balian, maupun belajar
sendiri melalui lontar usada dan belajar dengan benar cara mendiagnosis
ataupun osmosis pasien. Balian golongan ini tidak terbatas hanya
mempergunakan ramuan obat dari tumbuhan saja, tetapi termasuk balian
patah tulang, pijat, lulur, urut, melahirkan.

13

4) Balian Campuran, pada umumnya campuran antara balian katakson


maupun balian kapican yang mempelajari usada. Dengan demikian balian
katakson maupun kapican kemampuannya tidak hanya mengandalkan
taksu atau pica, tetapi juga memberikan ramuan obat-obatan berdasarkan
lontar usada. Balian jenis ini dapat disebut balian katakson usada atau
balian kapican usada, juga dikenal dengan istilah balian ngiring pekayunan
atau menjadi tapakan Widhi atau tapakan dewa.
3. Dharma Sesana Balian.
Seluruh balian di Bali bekerja berdasarkan Dharma Sasana Balian, dimana :
a. Semua rahasia dari orang yang sakit harus disimpan, tidak boleh
disebarluaskan atau dibicarakan dengan orang lain.
b. Hidup para balian harus suci dan bersih, terlepas dari sifat loba, sombong dan
asusila. Didalam lontar tutur bhagawan iwa sempurna ditegaskan bahwa,
seorang balian tidak boleh berlaku sombong, harus bertingkah laku yang baik
sesuai dengan dharma, serta semua nafsu hendaknya ditahan didalam hati.
c. Seorang balian tidak boleh was-was, ragu-ragu, apalagi malu-malu dalam hati
harus teguh dan mantap serta penuh keyakinan pada apa yang dikerjakan.
Tidak goyah terhadap segala hambatan, rintangan, gangguan, dan godaan
yang datang dari dalam diri sendiri, yang mengakibatkan gagalnya usaha yang
sedang ditempuh. Tidak akan mundur sebelum berhasil mendapatkan apa
yang sedang dihayati, apa yang diinginkan yaitu kesembuhan dari orang yang
sakit.
Seorang balian tidak boleh pamrih. Semua pengobatan berlangsung dengan
tulus ikhlas tanpa pamrih. Sebab semua balian yang benar-benar balian di Bali tahu

14

akan akibat dari kelobaan akan sesantun dan materi lainnya. Para balian harus tahu
akan hak dan kewajibannya, rendah hati tidak sombong, membatasi diri terhadap apa
yang dapat dilakukannya, menghormati kehidupan manusia, karena didalam raga
sarira atau tubuh manusia, bersemayam Sang Hyang Atma, Sang Hyang Bayu
Pramana karena beliu dapat mengutuk balian yang melanggar dharma sesana.Dan
bila terkutuk kesaktian atau kesidiannya dalam hal mengobati orang sakit dapat
menurun dan luntur. Dan yang lebih parah lagi ia akan menerima kutuk dari Sang
Hyang Budha Kecapi sehingga hidupnya akan menderita, termasuk anak cucunya.
Ketahuilah adanya tata cara menjadi balian jangan disalah artikan atau
disalahgunakan, memang sangat berbahaya menjadi balian. Barang siapa
berkehendak menjadi balian sakti mawisesa, tidak dikalahkan oleh kesaktian mantra
dapat menjalankan semua pengobatan, dapat mengobati segala penyakit dan tenung.
Maka, hendaklah selalu astiti bhakti ring Ida Batara Tiga, khususnya ring Ida Batara
Dalem, Desa dan Puseh. Sebagai jalan untuk memohon kesaktiannya, Ida I Ratu
Nyoman Sakti Pengadangan, yang merupakan pepatih bersama saudara-saudaranya
yang lain. Ida I ratu Nyoman sakti Pengadangan adalah dewan balian sejagat, wajib
dibuat pelinggih penyawangan biasa dalam bentuk kamar suci, dibuatkan daksina
linggih, ditempatkan pada pelangkiran. (Liputan : Survey Pijat Tradisional Indonesia,
Bali Juli 2013) (Idward, Juli 2013)
2.1.4

Obat Tradisional

Obat tradisional adalah bahan atau ramuan bahan yang berupa bahan
tumbuhan, bahan hewan, bahan mineral, sediaan sarian (galenik) , atau campuran
dari bahan tersebut yang secara turun temurun telah digunakan untuk pengobatan,
dan dapat diterapkan sesuai dengan norma yang berlaku di masyarakat ( PP RI
2014). Pelayanan kesehatan tradisional merupakan potensi besar karena dekat

15

dengan masyarakat, mudah diperoleh dan relatif murah daripada obat modern.
Pengetahuan tentang obat tradisional dan pemanfaatan tanaman obat merupakan usul
penting dalam meningkatkan kemampuan individu dan keluarga untuk memperoleh
hidup sehat (Zulkifli, 2004)
2.1.5 Peraturan Tentang Pengobat Tradisional Bali (Balian)
Penyelenggaraan tentang pengobatan tradisional di Indonesia diatur dalam
Keputusan

Menteri

Kesehatan

Republik

Indonesia

Nomor

1076/MENKES/SK/VII/2003. Tujuan pengaturan penyelenggaraannya adalah


membina upaya pengobatan tradisional, memberi perlindungan kepada masyarakat,
dan inventarisasi jumlah pengobat tradisional, jenis dan cara pengobatannya.
Semua pengobat tradisional yang menjalankan pekerjaan pengobatan
tradisional wajib mendaftarkan diri kepada Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota
setempat untuk memperoleh STPT dan SIPT. SIPT dan STPT diterbitkan oleh
Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota berdasarkan permohonan yang diajukan
oleh pengobat tradisional, berlaku hanya untuk satu lokasi selama lima tahun dan
dapat diperpanjang selama memenuhi persyaratan sebagai pengobat tradisional.
Kelengkapan pendaftaran untuk memperoleh STPT adalah:
a. Biodata pengobat tradisional
b. Foto copy kartu tanda penduduk
c. Surat keterangan Kepala Desa/ Lurah tempat melakukan pekerjaan sebagai
pengobat tradisional/balian.
d. Rekomendasi

dari

asosiasi

atau

organisasi

tradisional/balian.
e. Surat pengantar dari Puskesmas setempat
f. Pas foto ukuran 4x6 cm sebanyak 2 lembar

profesi

dibidang

pengobat

16

Pengobat tradisional yang metodenya

telah memenuhi persyaratan,

penapisan, pengkajian, penelitian, dan pengujian serta terbukti aman dan bermanfaat
bagi kesehatan dapat diberikan SIPT oleh Kepala Dinas Kesehatan setempat di
lokasi pengobat tradisional melakukan pekerjaan pengobatan. Kelengkapan
permohonan SIPT adalah:
a. Biodata pengobat tradisional
b. Foto copy kartu tanda penduduk
c. Surat keterangan Kepala Desa/ Lurah tempat melakukan pekerjaan sebagai
pengobat tradisional/balian.
d. Peta lokasi usaha dan denah ruangan.
e. Rekomendasi

dari

asosiasi

atau

organisasi

profesi

dibidang

pengobat

tradisional/balian.
f. Foto copy sertifikat atau ijazah pengobat tradisional /balian
g. Surat pengantar dari Puskesmas setempat
h. Pas foto ukuran 4x6 cm sebanyak 2 lembar
2.1.6 Pembinaan dan Pengawasan Pengobat Tradisional/Balian
Pembinaan dan pengawasan pengobat tradisional/balian diarahkan untuk
meningkatkan mutu, manfaat, dan keamanan pengobatan tradisional yang dilakukan
oleh Dinas Kesehatan Kabupaten/ Kota, Puskesmas atau unit pelaksana teknis yang
ditugasi berdasarkan pola pembinaan sebagai berikut:
a. Pola Toleransi yaitu terhadap semua jenis pengobatan tradisional yang diakui
keberadaannya di masyarakat, pembinaannya diarahkan pada limitasi efek
samping

17

b. Pola Integrasi yaitu pembinaan terhadap pengobatan tradisional yang secara


rasional terbukti aman bermanfaat, dan mempunyai kesesuaian dengan hakekat
ilmu kedokteran dan merupakan bagian integrasi pelayanan kesehatan.
c. Pola Tersendiri yaitu pembinaan pengobatan tradisional yang secara rasioanal
terbukti aman bermanfaat dan dapat dipertanggungjawabkan , memiliki kaidah
tersendiri, dan dapat berkembang secara tersendiri.
Dalam pembinaan dan pengawasan terhadap tenaga pengobat tradisional peran
dinas kesehatan dan puskesmas adalah sebagai berikut (Hulwan, 2010):
1. Peran Dinas Kesehatan
a. Memberikan STPT/SIPT kepada Battra
b. Koordinator pembinaan dan pengawasan pelayanan kesehatan tradisional
tingkat kabupaten/kota :
a). Pembinaan dan pengawasan tenaga kesehatan alternative komplementer
b). Pembinaan dan pengawasan Battra
c. Membina, mengembangkan, pemanfaatan TOGA dan selfcare secara tradisional
d. Pencatatan atau pengumpulan data dan pelaporan
2. Peran Puskesmas
a. Pengumpulan data pelayanan kesehatan tradisional di wilayahnya
b. Pembinaan dan pengawasan langsung Battra
c. Menyelenggarakan pelayanan tradisional alternative komplementer sesuai
kebutuhan dan ketersediaan tenaga
d. Memberikan surat pengantar Battra untuk pengurusan STPT dan SIPT
e. Mengirimkan laporan secara berkala ke Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota

18

2.1.7 Perkembangan Pengobatan Tradisional di Indonesia


Perkembangan dunia kedokteran modern saat ini memang tumbuh sangat
pesat. Segela jenis penemuan baru dalam dunia medis sudah bisa mengobati banyak
macam penyakit, yang sebelumnya tidak bisa disembuhkan. Selain itu, dukungan
peralatan canggih dengan teknologi terkini, juga membuat pelayanan kesehatan
semakin baik dan mampu memberikan solusi terbaik bagi pasien. Meskipun
demikian, masih banyak masyarakat yang mempercayai pengobatan alternatif di
Indonesia.
Masyarakat yang dahulu memilih sistem pengobatan modern untuk
mengobati penyakitnya, saat ini mulai ada kecenderungan untuk beralih
menggunakan pengobatan tradisional kembali, baik pengobatan tradisional melalui
ramuan/jamu, maupun pengobatan tradisional dengan ketrampilan. Rasionalitas
memilih pengobatan tradisional disebabkan oleh banyak faktor. Terdapat beberapa
faktor

yang mempengaruhi masyarakat

lebih memilih pengobatan tradisional

dibandingkan pengobatan modern, yaitu faktor sugesti, pelayanan

yang cepat,

efektif dan murah (Lifawati ,2015). Pengobatan tradisional telah berkembang pesat
di seluruh dunia. Berdasarkan data WHO tahun 2002, 75% penduduk Perancis
menggunakan pengobatn alternative, 95% Rumah Sakit di China memiliki Klinik
pengobatan tradisional dan 70% penduduk India menggunakan pengobatan
tradisional, di Belanda 64%, di Inggris 74%. Presentasi penduduk yang
menggunakan pengobatan alternative komplementer di Canada 70%, Amerika 42 %
dan Belgia 38% (WHO, 2002 dalam Supriadi, 2014)
Di Indonesia menurut data Kemenkes tahun 2013 cakupan pengobatan
kesehatan sudah mencakup 53,6 % Kabupaten /Kota dari 416 Kabupten/Kota di

19

Indonesia. Dan menurut Hasil Survey social ekonomi nasional/Susenas 2007


menunjukkan penduduk Indonesia yang mengeluh sakit dalam waktu kurun satu
bulan ada sebanyak 30,90%, dari penduduk yang mengeluh sakit 65,01% memilih
pengobatan sendiri menggunakan obat dan atau obat tradisional. Ada sebanyak
82,28% penduduk yang menggunakan obat untuk pengobatan sendiri. Dari seluruh
penduduk yang memiliki keluhan kesehatan selama sebulan penuh dan memutuskan
untuk berobat jalan sebagian besar berada di provinsi Bali yaitu 55,04% yang diikuti
oleh Sumatra Barat 50,75% dan DKI Jakarta sebesar 50,71 %. Sedangkan daerah
dengan persentase terendah adalah Sulawesi Tenggara sebesar 28,03%, Kalimantan
Tengah sebesar 28,10% dan Maluku sebesar 31,97%. Persentase penduduk yang
mengobati diri sendiri selama sebulan penuh di Provinsi Lampung adalah 21,3%
(Susenas, 2007 dalam Kristiani,2013)
Hasil penelitian Reni Kutsyana (2012) menyebutkan bahwa per hari
pengguna/pengunjung Poliklinik Desa Ibul Barat

mencapai 4 sampai 5 orang.

Sedangkan pengguna jasa dukun masih terbilang lebih meningkat, dalam satu hari
terkadang di satu dukun tersebut mencapai 6 pengunjung dengan berbagai keluhan
yang ada.
Sejak tahun 2009, Menteri Kesehatan telah memasukan pengobatan
tradisional, alternative dan komplementer sebagai bagian dari subsistem upaya
kesehatan dan telah masuk dalam rencana strategis kementerian kesehatan 20102014 berupa peningkatan penelitian, pengembangan dan pemanfaatan obat
tradisional Indonesia. Namun, pada kenyataannya belum banyak penerapan
pengobatan tradisional di unit pelayanan kesehatan walaupun pemerintah telah
mendorong pemanfaatannya dalam perlindungannya melalui Peraturan Menteri

20

Kesehatan nomor 1109/Menkes/IX/2007 tentang Penyelenggaraan Pengobatan


Komplementer-Alternatif di fasilitas kesehatan.
2.2 Peran
Peran adalah serangkaian perilaku yang diharapkan pada seseorang sesuai
dengan posisi sosial yang diberikan baik secara formal maupun secara informal
(Dermawan, 2013). Menurut Taylor, Peplau dan Sears (2009 : hal. 43) peran adalah
informative, meringkas banyak informasi untuk berbagai macam situasi, peran lebih
menonjol dari sifat. Menurut Friedman (1998), peran didasarkan pada preskripsi
(ketentuan) dan harapan peran yang menerangkan apa yang individu-individu harus
lakukan dalam suatu situasi tertentu agar dapat memenuhi harapan-harapan mereka
sendiri atau harapan orang lain menyangkut peran-peran tersebut.
Ada dua jenis perilaku yang diharapkan dalam suatu pekerjaan, yaitu (1)
role perception: yaitu persepsi seseorang mengenai cara orang itu diharapkan
berperilaku; atau dengan kata lain adalah pemahaman atau kesadaran mengenai pola
perilaku atau fungsi yang diharapkan dari orang tersebut, dan (2) role expectation:
yaitu cara orang lain menerima perilaku seseorang dalam situasi tertentu (Friedman,
1998).
Scott et al. (dalam Dermawan, 2013) menyebutkan lima aspek penting dari
peran, yaitu:
a. Peran itu bersifat impersonal: posisi peran itu sendiri akan menentukan
harapannya, bukan individunya.
b. Peran itu berkaitan dengan perilaku kerja (task behavior) yaitu, perilaku yang
diharapkan dalam suatu pekerjaan tertentu.
c. Peran itu sulit dikendalikan (role clarity dan role ambiguity)

21

d. Peran itu dapat dipelajari dengan cepat dan dapat menghasilkan beberapa
perubahan perilaku utama.
e. Peran dan pekerjaan (jobs) itu tidaklah sama seseorang yang melakukan satu
pekerjaan bisa saja memainkan beberapa peran.
Peran merupakan aspek dinamis dari suatu kedudukan, dengan kata lain
seorang yang melaksanakan hak-hak dan kewajibannya artinya apabila seseorang
melaksanakan hak dan kewajibannya sesuai dengan kedudukannya, maka dia telah
menjalankan suatu peran. Suatu peran setidaknya mencakup tiga hal berikut :
a. Peran meliputi norma-norma yang dihubungkan dengan posisi atau tempat
seseorang dalam masyarakat
b. Peran merupakan suatu konsep perihal apa yang dapat dilakukan oleh individu
dalam masyarakat sebagai organisasi
c. Peran juga dapat dikatakan sebagai perilaku individu yang penting bagi struktur
sosial.
Davis (dalam Ritzer, 2013) mendefinisikan peran sosial sebagai suatu gaya
seseorang dalam melaksanakan kedudukannya secara nyata. Gaya fungsional yang
menonjol melebihi rata-rata disebut karisma.

Peran sosial sebagai konsep

menunjukkan apa yang dilakukan seseorang, sedangkan status sosial sebagai konsep
menjelaskan apa dia itu. Dengan kata lain peran adalah suatu konsep fungsional
yang menjelaskan fungsi (tugas) seseorang, dan dibuat atas dasar tugas yang nyata
dilakukan seseorang. Status sosial sebagai konsep dibentuk oleh masyarakat atas
dasar sistem budaya yang dimiliki masyarakat itu. Seseorang diberi tempat untuk
duduk di masyarakat, yang tinggi rendahnya ditentukan oleh masyarakat berdasar
sejumlah kriteria nilai sosio-budaya. Salindeho (dalam Dermawan, 2013)

22

mengatakan bahwa Peran adalah seseorang menduduki suatu jabatan dalam suatu
hirarki suatu sistem dengan kekuasaan dan hak-hak, dan melakukan beberapa
fungsi sebagai tanggapan terhadap harapan-harapan para anggota dan dirinya
sendiri.
Menurut Taylor, Peplau, Sears (2009; hal. 41), dalam mengkaji bagaimana orang
membentuk kesan orang lain, ada baiknya kita mengingat enam prinsip umum dan
sederhana :
a. Orang membentuk kesan tentang orang lain dengan cepat berdasarkan
informasi minimal dan kemudian menyebut ciri-ciri umum dari orang lain
b. Orang memberi perhatian khusus pada ciri yang paling menonjol dari
seseorang, bukan memerhatikan seluruh ciri seseorang. Kita memerhatikan
seluruh ciri seseorang. Kita memerhatikan kualitas yang membuat orang
berbeda atau aneh
c. Dalam memproses informasi tentang orang lain kita akan memberi makna
yang koheren pada perilaku mereka. Kita, sampai tingkat tertentu,
menggunakan konteks perilaku orang lain untuk menyimpulkan makna
perilaku mereka, bukan menginterpretasikan perilaku secara terpisah
d. Kita menata persepsi kita dengan mengorganisasikan atau mengelompokkan
stimuli. Alih-alih melihat setiap orang sebagai individu tersendiri, kita
cenderung mmandang orang sebagai anggota suatu kelompok orang
misalnya ; orang yang mengenakan baju putih kita anggap sebagai dokter,
meski mereka bukan dokter
e. Kita menggunakan struktur kognitif kita untuk memahami perilaku orang
lain. Untuk mengidentifikasi seseorang sebagai seorang pengobat tradisional

23

kita menggunakan informasi pengobat tradisional secara umum bukan


menarik kesimpulan dari atribut pengobat tradisional tersebut dan makna
perilakunya
f. Kebutuhan pihak yang memahami dan tujuan personal juga akan
memengaruhi bagaimana seseorang memandang orang lain. Misalnya, kesan
seseorang yang baru ditemui sekali akan berbeda dengan kesan terhadap
teman akrab atau saudara.
Peran pengobat tradisional/Balian dalam mempraktikkan pengobatan tradisional di
masyarakat terdiri dari beberapa aspek diantaranya :
1. Seorang Battra mampu memberikan kesan yang baik dalam memberikan
pelayanan kepada pasiennya
2. Seorang Battra mampu mendiagnosis dan menjelaskan penyakit dari pasien
sesuai dengan paradigma Battra yang dikuasainya
3. Seorang Battra mampu memberikan apa yang dibutuhkan pasiennya selama
dalam perawatan
4. Seorang Battra konsisten dalam memberikan pelayanan kepada pasiennya
misalnya selalu siap dan siaga saat dibutuhkan oleh pasiennya
Seorang Battra selalu berpedoman pada aturan Battra dalam hal ini seorang
Battra bali berpedoman Dharma Sesana Balian
2.3 Persepsi, Harapan, dan Konformitas Peran
2.3.1 Persepsi
Persepsi adalah kemampuan otak dalam menerjemahkan stimulus atau proses
untuk menerjemahkan stimulus yang masuk ke dalam alat indera manusia dan
terdapat perbedaan sudut pandang dalam penginderaan dimana ada yang

24

mempersepsikan sesuatu itu baik atau persepsi yang positif maupun persepsi negatif
yang akan mempengaruhi tindakan manusia yang tampak atau nyata (Sugihartono,
2007:8). Agar terjadinya suatu persepsi memerlukan beberapa persayaratan
diantaranya (Sunaryo, 2004: 98) :
a. Adanya objek yang dipersepsi
b. Adanya perhatian yang merupakan langkah pertama sebagai suatu persiapan
dalam mengadakan persepsi.
c. Adanya alat indera/reseptor yaitu alat untuk menerima stimulus
Saraf sensoris sebagai alat untuk meneruskan stimulus ke otak, yang kemudian
sebagai alat untuk mengadakan respon.
2.3.2 Harapan
Harapan adalah keseluruhan dari kemampuan yang dimiliki individu untuk
menghasilkan jalur mencapai tujuan yang diinginkan, bersamaan dengan motivasi
yang dimiliki untuk menggunakan jalur jalur tersebut dan harapan didasarkan pada
harapan positif dalam mencapai tujuan (Snyder dalam Carr, 2004).
Snyder (dalam Carr, 2004) mengkonsepkan harapan ke dalam dua komponen,
yaitu kemampuan untuk merencanakan jalur untuk mencapai tujuan yang diinginkan
dan agency atau motivasi untuk menggunakan jalur tersebut. Harapan merupakan
keseluruhan dari kedua komponen tersebut. Berdasarkan konsep ini, harapan akan
menjadi lebih kuat jika harapan ini disertai dengan adanya tujuan yang bernilai yang
memiliki kemungkinan untuk dapat dicapai.
Berdasarkan penelitian ini, harapan yang dimaksud adalah harapan dari Battra
dalam meningkatkan pelayanan kesehatannya kepada pasien. Harapan tersebut dapat

25

ditujukan kepda institusi pengampu seperti misalnya Puskesmas, Pemerintah


Kabupaten maupun instansi terkait yang ada diatasnya
2.3.3 Konformitas
Meyers (2005) mengartikan konformitas adalah A Change in behaviore or
belief to accond with other.Konformitas adalah perubahan prilaku atau keyakinan
agar sama dengan orang lain.Franzoi (2003) mendefinisikan konformitas adalah
kemampuan mempersepsikan tekanan kelompok dengan jalan meniru prilaku dan
keyakinan orang lain yang ada di kelompok tersebut.
a. Faktor yang mempengaruhi Konformitas Menurut Meyers (2005) faktor yang
mempengaruhi individu untuk konformitas adalah :
1) Group size
Semakin besar jumlah kelompok maka semakin besar pula pengaruhnya
terhadap kelompok.
2) Cohession
Perasaan yang dimilki oleh anggota kelompok dimana mereka merasa ada
ketertarikan dengan kelompok.
3) Status
Dalam sebuah kelompok bila seseorang memiliki status yang tinggi
cenderung akan memiliki pengaruh yang lebih besar
4) Public response
Ketika seseorag disuruh menjawab secara langsung pertanyaan dihadapan
public individu akan cenderung lebih conform, dripada individu tersebut
diminta menjawab dalam bentuk tulisan

26

b. Dasar pembentuka konformitas


Menurut Meyer (2005) terdapat dua dasar pembentukan konformitas yaitu :
1) Pengaruh normative
Penyesuaian diri dengan keinginan atau harapan orang lain untuk
mendapatkan penerimaan
2) Pengaruh informasional
Adanya penyesuaian atau keinginan individu untuk memiliki pemikiran
yang sama sebagai akibat adanya pengaruh menerima pendapat maupun
asumsi pemikiran kelompok dan beranggapan bahwa informasi kelompok
lebih kaya daripada informasi pribadi
2.3.4 Faktor faktor yang Mempengaruhi Pasien dalam Memilih Pelayanan
Pengobatan Tradisional
Pengobatan tradisional sudah diberikan oleh leluhur sejak dahulu secara turun
menurun mulai dari pengobatan herbal, orang pintar atau orang yang diangap mampu
dan dipandang masyarakat, serta bedasarkan nilai agama. Ada beberapa faktor
mengapa masyarakat lebih memilih pengobatan alternatif atau tradisional sebagai
pengobatan untuk menyembuhkan penyakit diantaranya (Foster dan Anderson dalam
FPUP, 2016):
1. Faktor Sosial : dimana faktor ini melibatkan interaksi sosial yang kemudian
diberikan sugesti-sugesti atau suatu pandangan atau pengaruh oleh seseorang
sehingga masyarakat tersebut mengikuti pandangan/pengaruh tersebut tanpa
harus berpikir lama.
2. Faktor ekonomi : faktor ini sangat berperan besar dalam penerimaan atau
penolakan suatu pengobatan karna faktor ini sebagai pemerkuat presepsi

27

masyarakat bahwa pengobatan tradisional membutuhkan sedikit tenaga,


biaya, dan waktu
3. Faktor budaya : budaya merupakan suatu pikiran, adat-istidadat, kepercayaan,
yang menjadi kebiasaan masyarakat. Nilai-nilai budaya ini mempengaruhi
pembentukan suatu individu. Semua kebudayaan memiliki cara-cara
pengobatan sesuai dengan kepercayaan pada suku bangsanya dalam hal ini
suku bangsa sangat mendominasi pertimbangan untuk menolak atau
menerima yang didasari pada kecocokan suku bangsa yang di anut. Beberapa
kebudayaan melibatkan metode ilmiah atau melibatkan kekuatan supranatural
dan supernatural tergantung bagaimana kepercayaan dari suku bangsa sang
pasien.
4. Faktor psikologis : peranan sakit merupakan suatu kondisi yang tidak
menyenangkan, karena itu berbagai cara akan dijalani oleh pasien dalam
rangka mencari kesembuhan maupun meringankan beban sakitnya, termasuk
datang kepelayanan pengobatan alternatif
5. Faktor kejenuhan terhadap pelayanan : faktor ini disebabkan akan kejenuhan
sang penderita dalam proses pengobatan membuat sang penderita memilih
jalur

alternatif

pengobatan

lain

yang

dapat

mempercepat

proses

penyembuhannya.
6. Faktor manfaat dan keberhasilan : keberhasilan dan efektifitas dari
pengobatan alternatif menjadi alasan yang sangat berpengaruh terhadap
pemilihan pengobatan alternatif.
7. Faktor pengetahuan : sebagian besar pengetahuan manusia diperoleh melalui
alat indera atau pikiran yang merupakan hal yang sangat penting untuk
terbentuknya tindakan seseorang.

28

2.4 Penelitian Terdahulu


1.

Ardiyasa (2007) dalam penelitiannya yang berjudul Balian dalam Pengobatan


Tradisional Bali (Kajian Teologi Hindu). Dalam penelitiannya menjelaskan
bahwa balian merupakan salah satu pengobatan tradsional kuno. Balian di Bali
dipengaruhi oleh perkembangan agama Hindu hal ini terbukti dengan adanya
berbagai macam upacara yang digunakan dalam melakukan pengobatan
tersebut. Jenis balian dapat dibedakan menjadi 2 (dua) yaitu balianusada dan
balian

ketakson.

Balian

usada

adalah

balian

yang

pada

dasarnya

mengutamakan penggunaan pengetahuan mengenai teknik pengobatan dan


jenis-jenis obat-obatan dan balian ketakson pada umumnya adalah balian yang
minta bantuan roh-roh halus, dewa, gamang, pitara, bhuta bebai dan
sebagainya dengan jalan membiarkan dirinya dimasuki, atau dipengaruhi
sehingga tampaknya seperti orang trance atau setengah trance serta bisa
menangkap firasat atau petunjuk dari roh atau kekuatan gaib dari luar itu.
Balian dalam teologi Hindu terdiri dari mantra-mantra Hindu, karena
didalamnya disebutkan tentang dewa-dewa dan mantra yajna. Disamping itu
balian

juga

menggunakan

aksara

dalam

pengobatan

yang

biasanya

menggunakan aksara yang terdapat di diri manusia, kemudian disatukan dengan


aksara alam semesta, sehingga kebahagiaan dapat tercapai.
2.

Dermawan (2013) dalam penelitiannya yang berjudul Peran Battra dalam


Pengobatan tradisional pada Komunitas Dayak di kecamatan Lumbis
Kabupaten Nunukan. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pandangan
(persepsi) dan harapan (ekspektasi) masyarakat terhadap profesi Battra, untuk
mengetahui realitas peran yang dijalankan oleh Battra secara individu kepada
masyarakat dan mengetahui kesesuaian (konformitas) atau ketidaksesuaian

29

(diskonformitas) antara harapan (ekspetasi) dengan realitas berjalannya peran


Battra. Penelitian ini menggunakan jenis penelitian deskritif kualitatif, dengan
sumber data primer dan data sekunder. Metode pengumpulan data primer
menggunakan wawancara mendalam terhadap delapan orang pasien yang terdiri
dari enam orang pasien yang pernah dan sering menggunakan pengobatan
tradisional dan dua orang pasien sekaligus wakil kepala adat besar dan ketua
dewan adat dayak agabag dan lima orang Battra. Jumlah informan ditetapkan
berdasarkan tehnik Purposive sampling. Sedangkan data sekunder meliputi
laporan tentang profil Kecamatan Lubis tahun 2012. Hasil penelitian ini
menunjukkan bahwa pengobatan tradisional masih mendapat tempat disamping
pengobatan modern. Pada prinsipnya profesi Battra dianggap membantu dan
masih sangat dibutuhkan. Informan memiliki harapan agar Battra tetap
melakukan pengobatan selain itu informan berharap agar pemerintah dapat
memberikan bantuan kepada profesi Battra berupa pandangan (tunjangan) agar
Battra dapat lebih fokus terhadap profesi sebagai pengobat tradisional. Juga
diharapkan pembinaan kepada Battra untuk meningkatkan pengetahuan Battra
tentang pengobatan tradisional. Selain itu informan berharap agar tenaga
pengobatan medis dapat mendukung peran Battra melaui praktik pengobatan di
pemukiman yang jauh dari puskesmas induk. Realitas peran yang dijalankan
oleh Battra kepada kepada pasien selaku individu yang menjadi informan sudah
sesuai dengan harapan. Informan merasa puas dengan pelayanan Battra,
informan merasa dilayani dengan baik. Hubungan antara Battra dengan
masyarakat atau sebaliknya seperti keluarga, tidak ada tarif khusus dari Battra
yang ditetapkan kepada pasien ketika berobat, semua atas dasar kerelaan hati

30

dan keikhlasan pasien untuk memberikan imbalan. Dampaknya hubungan


antara Battra dan pasien semakin baik dan semakin intens.
3.

Pemuda (2009) dalam penelitiannya berjudul Perlindungan hukum bagi


konsumen pemanfaatan jasa pengobatan tradisional ( Studi kasus kelalaian
pelaku usaha pembasaran alat vital pria di menteng) penelitian ini bertujuan
untuk membahas mengenai perlindungan hokum bagi konsumen pemanfaat jasa
pengobatan tradisional dengan studi kusus terhadap kelalaian pelaku usaha
praktik pembesaran alat vital yang berasa di menteng. Dengan meninjau pada
permasalahan mengenai pengaturan pelayanan pengobatan tradisional di
indonesia, tanggung jawab pengobat tradisional ditinjau dari Undang-Undang
perlindungan Konsumen, dan upaya hukum yang dapat dilakukan oleh
konsumen yang dirugikan oleh pengobat tradisional . Metode penelitian yang
dilakukan adalah penelitian Hukum normatif dengan desain penelitian deskritif.
Hasil penelitian ini menyarankan bahwa perlu dibentuk peraturan/UndangUndang khusus yang mengatur mengenai pengobatan tradisional , dilakuakan
pengawasan secara berkala dan berkelanjutan yang dilakukan oleh pemerintah
pusat berkoordinasi dengan pemerintah daerah terhadap tempat-tempat praktik
pengobatan tradisional, kemudian melakukan koordinasi yang baik antara
pihak-pihak

berwenang

dalam

hal

penyelesaian

suatu

kasus/perkara,

melakuakan sosialisasi kepada masyarakyat melalui media-media cetak dan


televisi terhadap lembaga penyelesaian sengketa konsumen.
4.

Rahmawati (2009) dalam penelitiannya yang berjudul Pengobatan Tradisional


Patah Tulang Guru Singa penelitian ini bertujuan untuk mengetahui proses
pengobatan di pengobatan patah tulang Guru Singa,mengetahui latar belakang
pasien memilih pengobatan Patah Tulang Guru Singa dan mengetahui interaksi

31

yang terjadi antara pengobatan , pasien dan keluarga pasien di pengobatan patah
tulang Guru Singa. Penelitian ini menggunakan pendekatan Kualitatif dengan
tehnik pengumpulan data wawancara dan pengamatan. Hasil penelitian ini
menjelaskan bahwa proses pengobatan patah tulang di Guru Singa adalah
dengan cara mereposisi, mengistirahatkan hingga tulang menyatu, setelah itu
terapi terhadap bagian tubuh yang di reposisi,pengobatan ini menggunakan
minyak Guru Singa untuk pengobatan dari luar tubuh Pasien, sup sumsum
untuk pengobatan dari dalam tubuh , serta pantangan makanan dan minuman
yang mengandung unsur dingin, daging babi dan daging anjing. Latar belakang
pasien yang berobat ke GS atas kemauannya sendiri berdasarkan tingkatan
sarana pengobatan yang dimilikinya , sedangkan latar belakang pasien berobat
ke GS atas kemauan orang lain atau menyandang dana berdasarkan ketidak
mampuan pasien tersebut setelah terjadi kecelakaan . sikap pengobat yang
ramah adanya perasaan senasib diantara pasien dan keluarga pasien rawat inap
menimbulkan rasa kekeluargaan di antara pengobat , pasien dan keluarga pasien
di Guru Singa.
5.

Dewi, (2014) dalam penelitiannya yang berjudul Evaluasi Program


Pengobatan Tradisional di UPT.Puskesmas Mengwi II Tahun2014. Penelitian
ini bertujuan untuk mengevaluasi sub program Battra pada program pengobatan
tradisional di UPT.Puskesmas Mengwi II yang mencakup input, proses dan
output.

Penelitian

ini

bersifat

deskriptifdengan

pendekatan

kualitatif.

Pengumpulan data menggunakan wawancata mendalam kepada 11 responden.


Analisis dilakukan dengan analisis tematik sedangkan metode validasi data
dilakukan dengan triangulasi. Penelitian menunjukkan ketersediaan input
program dari segi sumber daya manusia sudah cukup namun ditemukan

32

pengetahuan tenaga yang masih kurang mengenai program pengobatan


tradisional. Dari segi ketersediaan biaya operasional, program ini belum
didukung oleh pendanaan khusus. Untuk sarana dan prasarana belum optimal
sedangkan dari segi sasaran, masih mencakup pengobat tradisional yang ada di
wilayah kerja Puskesmas dan belum mencakup masyarakat. Proses pelaksanaan
program dari perspektif pengelola program yaitu perencanaan sub program
Battra

sudah

dibuat

sesuai

dengan

pedoman

perencanaan

tingkat

puskesmas.untuk pergerakan dan pelaksanaan sudah dilakukan sesuai dengan


rencana pelaksanaan kegiatan yang sudah dibuat serta dalam pengawasan,
pemantauan dan penilaian sudah dilakukan secara rutin. Dari perspektif
pengobat tradisional, pembinaan dan kunjungan dari puskesmas belum
terlaksana dengan rutin dan optimal. Kurangnya SIPT atau STPT yang dimiliki
oleh pengobat tradisional disebabkan oleh rendahnya minat untuk memiliki
SIPT atau STPT dan kurangnya pengetahuan dan informasi tentang persyaratan
pembuatan surat ijin tersebut. Sedangkan dari perspektif masyarakat puskesmas
juga perlu memberikan pembinaan dari segi sarana dan prasarana yang
digunakan dalam praktik pengobatan tradisional, pengawasan dari puskesmas
dirasakan penting oleh masyarakat agar dapat menjaga pengobat tradisional dari
tindak krimina dan kesalahan dalam memberikan pengobatan sehingga
masyarakat merasa lebih aman untuk mengakses layanan pengobatan
tradisional tersebut.
6.

Pahandayani, Ambarwati dan Hariyadi (2014) dalam penelitiannya yang


berjudul Faktor-faktor yang Berhubungan dengan Pemilihan Pengobatan
Alternatif Jamu Pada Pasien Diabetes Melitus di Rumah Riset Jamu Hortus
Medicus Tawangmangu. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui faktor-

33

faktor yang berhubungan dengan pasien DM memilih pengobatan alternative


jamu di Rumah Riset Jamu Hortus Medicus. Penelitian ini merupakan
penelitian analisis observasional dengan pendekatan cross sectional. Populasi
penelitian ini sebanyak 365 orang. Pengambilan sampel dengan accidental
sampling sebanyak 49 orang. Uji statistic menggunakan Chi Square dengan
taraf signifikan =0,05. Hasil penelitian menunjukkan bahwa ada hubungan
pengetahuan (p=0,005), sikap (p=0,001), dukungan keluarga (p=0,008) dengan
pemilihan pengobatan alternatif jamu di RRJHM dan tidak ada hubungan jarak
berobat (p=1,000) dengan pemilihan pengobatan alternatif jamu di RRJHM
7.

Effendi (2013) dalam penelitiannya yang berjudul Pemanfaatan Sistem


Pengobatan Tradisional (Battra) di Puskesmas (Studi Deskriptif Mengenai
Intensitas Kunjungan dan Efektifitas Sistem Pengobatan Tradisional (Battra) di
Puskesmas

Gundih

Surabaya),

mendeskripsikan

pemanfaatan

sistem

pengobatan tradisional yang dilakukan oleh masyarakat, faktor-faktor yang


melatarbelakangi masyarakat menggunakan pelayanan pengobatan tradisional
yang disediakan oleh puskesmas, efektifitas dari pengobatan tradisional
tersebut. Untuk menjawab permasalahan menggunakan teori Marx Weber,
Talcot Parsosn yang didukung pula dengan teori mengenai sosiologi kesehatan,
yaitu Suchman, serta J.Young. Penelitian ini merupakan tipe kuantitatif yang
menggunakan metode penarikan sampel dengan teknik purposive sampling.
Penelitian dilakukan di Puskesmas Gundih, Kota Surabaya dengan sampel 50
responden. Teknik pengumpulan data yang digunakan, yaitu Pertama data
primer diperoleh melalui wawancara terstruktur dengan menggunakan
kuesioner. Kedua, data sekunder diperoleh dari sumber kedua atau sumber yang
dibutuhkan. Analisis data yang digunakan, yaitu analisis univariat dan bivariat

34

agar menghasilkan analisis yang lebih bervariasi. Hasil temuan menunjukkan


bahwa pemanfaatan pengobatan tradisional yang dilakukan masyarakat yaitu
untuk berobat, terapi untuk memulihkan kesehatannya. Faktor yang
melatarbelakangi masyarakat menggunakan pelayanan pengobatan tradisional
yang disediakan di puskesmas dikarenakan obatnya berasal dari herbal dan
teknik pengobatannya alami, sehingga efek sampingnya kecil, biaya pengobatan
lebih murah daripada pengobatan modern dan pengobatan tradisional yang
disediakan oleh swasta. Efektifitas dari pengobatan tradisonal yang dirasakan
oleh masyarakat yaitu penyakit yang di derita sembuh dan cocok dengan obat
yang diberikan oleh pengobatan tradisional yang disediakan oleh puskesmas.

Anda mungkin juga menyukai