Transcultural Nursing adalah suatu keilmuwan budaya pada proses belajar dan praktek keperawatan yang fokus memandang perbedaan dan kesamaan diantara budaya dengan menghargai asuhan, sehat dan sakit didasarkan pada nilai budaya manusia, kepercayaan dan tindakan, dan ilmu ini digunakan untuk memberikan asuhan keperawatan khususnya budaya atau keutuhan budaya kepada manusia (Leininger, 2002). Konsep Transcultural Nursing Keperawatan transkultural adalah ilmu dan kiat yang humanis yang difokuskan pada prilaku individu atau kelompok, serta proses untuk mempertahankan atau meningkatkan perilaku sehat dan perilaku sakit secara fisik dan psikokultural sesuai latar belakang budaya. (Leininger, 2002). Konsep Utama Transcultural Nursing: Care : perawat memberikan bimbingan dukungan kepada klien à untuk meningkatkan kondisi klien. Caring : tindakan mendukung, berbentuk aksi atau tindakan. Culture : perawat mempelajari, saling share/berbagi pemahaman tentang kepercayaan dan budaya klien. Cultural care : kemampuan kognitif untuk mengetahui nilai, norma/ kepercayaan.
Nilai kultur : keputusan/kelayakan untuk bertindak.
Perbedaan kultur : berupa variasi-variasi pola nilai yang ada di masyarakat mengenai keperawatan. Cultural care university : hal-hal umum dalam sistem nilai, norma dan budaya. Etnosentris : keyakinan ide, nilai, norma, kepercayaan lebih tinggi dari yang lain. Cultural Imposion : kecenderungan tenaga kesehatan memaksakan kepercayaan kepada klien. Peran dan Fungsi Transkultural Budaya mempunyai pengaruh luas terhadap kehidupan individu . Oleh sebab itu , penting bagi perawat mengenal latar belakang budaya orang yang dirawat ( Pasien ) . Misalnya kebiasaan hidup sehari – hari , seperti tidur , makan , kebersihan diri , pekerjaan , pergaulan social , praktik kesehatan , pendidikan anak ekspresi perasaan , hubungan kekeluargaaan , peranan masing – masing orang menurut umur . Kultur juga terbagi dalam sub – kultur. Subkultur adalah kelompok pada suatu kultur yang tidak seluruhnya mengaanut pandangan keompok kultur yang lebih besar atau memberi makna yang berbeda . Kebiasaan hidup juga saling berkaitan dengan kebiasaan cultural. Nilai – nilai budaya Timur , menyebabkan sulitnya wanita yang hamil mendapat pelayanan dari dokter pria . Dalam beberapa setting , lebih mudah menerima pelayanan kesehatan pre-natal dari dokter wanita dan bidan . Hal ini menunjukkan bahwa budaya Timur masih kental dengan hal – hal yang dianggap tabu. Dalam tahun – tahun terakhir ini , makin ditekankan pentingknya pengaruh kultur terhadap pelayanan perawatan . Perawatan Transkultural merupakan bidang yang relative baru ; ia berfokus pada studi perbandingan nilai – nilai dan praktik budaya tentang kesehatan dan hubungannya dengan perawatannya . Leininger ( 1991 ) mengatakan bahwa transcultural nursing merupakan suatu area kajian ilmiah yang berkaitan dengan perbedaan maupun kesamaan nilai – nilai budaya ( nilai budaya yang berbeda ras , yang mempengaruhi pada seseorang perawat saat melakukan asuhan keperawatan kepada pasien. Perawatan transkultural adalah berkaitan dengan praktik budaya yang ditujukan untuk pemujaan dan pengobatan rakyat (tradisional) . Caring practices adalah kegiatan perlindungan dan bantuan yang berkaitan dengan kesehatan. Menurut Dr. Madelini Leininger , studi praktik pelayanan kesehatan transkultural adalah berfungsi untuk meningkatkan pemahaman atas tingkah laku manusia dalam kaitan dengan kesehatannya . Dengan mengidentifikasi praktik kesehatan dalam berbagai budaya ( kultur ) , baik di masa lampau maupun zaman sekarang akan terkumpul persamaan – persamaan . Lininger berpendapat , kombinasi pengetahuan tentang pola praktik transkultural dengan kemajuan teknologi dapat menyebabkan makin sempurnanya pelayanan perawatan dan kesehatan orang banyak dan berbagai kultur.
2.5. Contoh-contoh aplikasi traskultural nursing pada beberapa masalah kesehatan
3. Aplikasi transkultural pada gangguan kesehatan mental
Berbagai tingkahlaku luar biasa yang dianggap oleh psikiater barat sebagai penyakit jiwa ditemukan secara luas pada berbagai masyarakat non-barat. Adanya variasi yang luas dari kelompok sindroma dan nama-nama untuk menyebutkannya dalam berbagai masyarakat dunia, Barat maupun non-Barat, telah mendorong para ilmuwan mengenai tingkahlaku untuk menyatakan bahwa penyakit jiwa adalah suatu ‘mitos’, suatu fenomena sosiologis, suatu hasil dari angota-anggota masyarakat yang ‘beres’ yang merasa bahwa mereka membutuhkan sarana untuk menjelaskan, memberi sanksi dan mengendalikan tingkahlaku sesama mereka yang menyimpang atau yang berbahaya, tingkahlaku yang kadang-kadang hanya berbeda dengan tingkahlaku mereka sendiri. Penyakit jiwa tidak hanya merupakan ‘mitos’, juga bukan semata-semata suatu masalah sosial belaka. Memang benar-benar ada gangguan dalam pikiran, erasaan dan tingkahlaku yang membutuhkan pengaturan pengobatan.(Edgerton 1969 : 70). Nampaknya, sejumlah besar penyakit jiwa non-barat lebih dijelaskan secara personalistik daripada naturalistik. Sebagaimana halnya dengan generalisasi, selalu ada hal-hal yang tidak dapat dimasukkan secara tepat ke dalam skema besar tersebut. Kepercayaan yang tersebar luas bahwa pengalaman-pengalaman emosional yang kuat seperti iri, takut, sedih, malu, dapat mengakibatkan penyakit, tidaklah tepat untuk diletakkan di dalam salah satu dari dua kategori besar tersebut. Mungkin dapat dikatakan bahwa tergantung situasi dan kondisi, kepercayaan- kepercayaan tersebut boleh dikatakan cocok untuk dikelompokkan ke dalam salah satu kategori. Misalnya, susto, penyakit yang disebabkan oleh ketakutan, tersebar luas di Amerika Latin dan merupakan angan-angan. Seseorang mungkin menjadi takut karena bertemu dengan hantu, roh, setan, atau karena hal-hal yang sepele, seperti jatuh di air sehingga takut akan mati tenggelam. Apabila agen-nya berniat jahat, etiologinya sudah tentu bersifat personalistik. Namun, kejadian-kejadian tersebut sering merupakan suatu kebetulan atau kecelakaan belaka bukan karena tindakan yang disengaja. Dalam ketakutan akan kematian karena tenggelam, tidak terdapat agen-agen apapun. Kepercayaan-kepercayaan yang sudah dijelaskan di atas menimbulkan pemikiran- pemikiran untuk melakukan berbagai pengobatan jika sudah terkena agen. Kebanyakan pengobatan yang dilakukan yaitu mendatangi dukun-dukun atau tabib-tabib yang sudah dipercaya penuh. Terlebih lagi untuk pengobatan gangguan mental, hampir seluruh masyarakat desa mendatangi dukun-dukun karena mereka percaya bahwa masalah gangguan jiwa/mental disebabkan oleh gangguan ruh jahat. Dukun-dukun biasanya melakukan pengobatan dengan cara mengambil dedaunan yang dianggap sakral, lalu menyapukannya ke seluruh tubuh pasien. Ada juga yang melakukan pengobatan dengan cara menyuruh pihak keluarga pasien untuk membawa sesajen seperti, berbagai macam bunga atau binatang ternak. Para ahli antropologi menaruh perhatian pada ciri-ciri psikologis shaman. Shaman adalah seorang yang tidak stabil dan sering mengalami delusi, dan mungkin ia adalah seorang wadam atau homoseksual.namun apabila ketidakstabilan jiwanya secara budaya diarahkan pada bentuk-bentuk konstruktif, maka individu tersebut dibedakan dari orang-orang lain yang mungkin menunjukkan tingkahlaku serupa, namun digolongkan sebagai abnormal oleh para warga masyarakatnya dan merupakan subyek dari upacara-upacara penyembuhan. Dalam pengobatan, shaman biasanya berada dalam keadaan kesurupan (tidak sadar), dimana mereka berhubungan dengan roh pembinanya untuk mendiagnosis penyakit. para penganut paham kebudayaan relativisme yang ekstrim menggunakan contoh shamanisme sebagai hambatan utama dalam arguentasi mereka bahwa apa yang disebut penyakit jiwa adalah sesuatu yang bersifat kebudayaan. Dalam banyak masyarakat non-Barat, orang yang menunjukkan tingkahlaku abnormal tetapi tidak bersifat galak maka sering diberi kebebasan gerak dalam masyarakat mereka, kebutuhan mereka dipenuhi oleh anggota keluarga mereka. Namun, jika mereka mengganggu, mereka akan dibawa ke sutu temapt di semak-semak untuk ikuci di kamrnya. Sebuah pintu khusus (2 x 2 kaki) dibuat dalam rumah, cukup untuk meyodorkan makanan saja bagi mereka dan sebuah pintu keluar untuk keluar masuk komunitinya. Usaha-usaha untuk membandingkan tipe-tipe gangguan jiwa secara lintas-budaya umumnya tidak berhasil, sebagian disebabkan oleh kesulitan-kesulitan pada tahapan penelitian untuk membongkar apa yang diperkirakan sebagai gejala primer dari gejala sekunder. Misalnya, gejala-gejala primer yaitu yang menjadi dasar bagi depresi. Muncul lebih dulu dan merupakan inti dari gangguan. Gejala-gejala sekunder dilihat sebagai reaksi individu terhadap penyakitya ; gejala-gejala tersebut berkembang karena ia berusaha untuk menyesuaikan diri dengan tingkahlakunya yang berubah (Murphy, Wittkower, dan Chance 1970 : 476). Sumber : http://dediprasetya.blogspot.co.id/2013/12/