dalam gerejanya. Akan tetapi Umar menolak tawaran tersebut. Alasan penolakannya bukan karena tidak
boleh melakukan salat di dalam gereja tetapi karena Umar takut kalau perbuatannya itu menjadi presden
buruk bagi generasi sesudahnya dengan mengubah gereja menjadi Mesjid. Ali bin Abi Thalib juga
dilaporkan telah memberikan perlakuan yang sama seperti perlakuan Nabi kepada kelompok nonMuslim. Ali bahkan pernah mendeklarasikannya secara demonstratif sambil mengatakan bahwa darah
serta agama kelompok dzimmy adalah seperti darah dan agama kita sendiri. (Attabani, 1995:66)
Memang Nabi pernah mengusir sekelompok orang Yahudi dari Madinah. Namun pengusiran tersebut
secara politik dapat dibenarkan. Orang-orang Yahudi mulai menampakkan kebencian serta sikap iri
kepada kaum Muslimin yang telah berhasil gemilang dalam perang Badar. Mereka meremehkan Nabi
dengan mengatakan bahwa orang-orang yang telah dikalahkan kelompok Muslim saat perang Badar
bukanlah musuh yang sesungguhnya. Mereka adalah kelompok yang tidak memiliki skill dan taktik
berperang. Bahkan salah seorang kepala suku Banu Qaynuqa menyatakan secara terang-terangan dan
mengancam Nabi dengan mengatakan anda baru akan mendapatkan musuh yang sebenarnya jika
anda berperang melawan kami. (al-Umari, 1991:123)
Alasan lain mengapa Nabi melakukan pengusiran terhadap kelompok Yahudi adalah karena Nabi
mendapatkan bukti-bukti bahwa kelompok Yahudilah yang melakukan berbagai upaya untuk membunuh
Nabi dan menghabisi kelompok Muslim dari Madinah. Banyak orang Yahudi yang bertindak sebagai
spionase untuk kelompok Kafir Quraish Mekkah. Kejadian perang Khandaq jelas sekali disebabkan oleh
ulah kelompok Yahudi untuk menghancurkan kelompok Muslim dengan menggunakan tangan-tangan
Kafir Quraish Mekkah. Karena ini dianggap sebagai pengkhianatan terhadap Konstitusi Madinah yang
telah disepakati bersama, maka Nabi marah dan mengusir kelompok Yahudi keluar dari Madinah.
Permasalahan lain yang ada dalam kamus politik Islam adalah tentang konsep Dzimmy. Dzimmy
merupakan salah satu bentuk institusi politik Islam yang dibangun oleh Nabi 14 abad yang lalu pada saat
beliau berhasil mendirikan negara Madinah. Di Madinah, Nabi tidak hanya memainkan peran kenabian
akan tetapi berperan sebagai negarawan yang sangat piawai. Karena pendirian ini dilakukan oleh Nabi,
banyak para ulama yang masih menganggap bahwa keberadaannya masih memiliki kekuatan mengikat.
Semua kebijakan Nabi tentang politik masih diyakini sebagai model ideal untuk suatu pemerintahan
negara Islam.
Memandang tradisi atau sunnah Nabi sebagai model ideal memang tidak salah, dan bahkan hal ini
didukung oleh al-Quran sendiri (33:21). Namun mengingat permasalahan politik yang dihadapi oleh
umat Islam dewasa ini jauh berbeda dengan yang dihadapi Nabi, maka perlu ada perubahan
paradigmatik dalam mensikapi sunnah Nabi. Dalam kaitannya dengan kebijakan politik, makna
substantif harus lebih mendapatkan tempat daripada makna formalnya. Inilah yang dimaksudkan oleh
Fazlurrahman dengan pendekatan moral ideal, yakni suatu pendekatan yang menekankan pada
aspek cita-cita moral karena inilah yang menjadi substansi dari segala kebijakan Nabi yang berkaitan
dengan sosial kemasyarakatan, termasuk kebijakan politik.
Perubahan paradigmatik, harus juga dilakukan terhadap klaim-klaim Islam yang normatif-historis.
Misalnya, klaim bahwa Islam adalah agama dan negara (al-Islam din wa dawla) harus dipahami
dari konteks historisnya. Istilah dawla yang di klaim oleh beberapa ahli politik Islam sudah barang
tentu berbeda baik bentuk maupun substansinya dengan istilah state dalam pengertian sekarang. Istilah
state atau lebih tepatnya nation state merupakan produk Barat modern yang pada awalnya
dimunculkan sebagai reaksi terhadap bentuk-bentuk pemerintahan teokratik.
Dalam era globalisasi, tidak satupun kelompok masyarakat yang dapat berdiri sendiri tanpa berinteraksi
dengan kelompok masyarakat lainnya dan akibatnya tidak satu pun sistem nilai yang tidak terpengaruh
oleh sistem nilai lainnya. Istilah-istilah seperti masyarakat global, etika global nampaknya sudah
menjadi suatu kenyataan yang pengaruhnya tidak bisa dihindari. Islam yang perlu dikembangkan bukan
Islam yang berwatak eksklusif tapi yang inklusif dan transformatif. Untuk itu, agar Islam tidak
mengalami pengucilan dari masyarakat dunia, reformulasi serta redefinisi konsep-konsep keislaman
termasuk konsep-konsep politik Islam menjadi suatu keharusan.
Sebagaimana dijelaskan di atas, konsep state di mana Muslim hidup di dalamnya dewasa ini,
merupakan produk Barat modern. Hal ini tentu saja membawa akibat inkompatibilitas konsep-konsep
serta institusi-institusi politik Islam yang dibangun pada awal-awal sejarah Islam. Konsep dzimmy
misalnya, jelas tidak akan kompatibel jika dipasang dalam konsep negara yang ada sekarang ini,
namun makna substantifnya masih sangat mungkin, bahkan harus diaplikasikan. Makna substantif ini
bisa berarti perlindungan hak-hak kelompok lemah oleh kelompok yang kuat. Dalam konteks negara
modern, gagasan perlindungan ini bisa diwujudkan dalam bentuk prosedur konstitusional yang adil dan
demokratis. Istilah kuat, dengan demikian, tidak merujuk kepada mayoritas tetapi merujuk pada
sebuah konstitusi yang adil dan mendapatkan affirmasi dari keseluruhan body politics.
Tuntutan modernitas memang harus membuat kita berpikir lebih realistis namun dengan tidak
mengorbankan prinsip. Banyaknya umat Islam di berbagai negara Eriopa maupun Amerika juga harus
disikapi secara realistis pula. Karena itu tidak fair jika umat Islam dalam posisi mayoritas di suatu
negara mencoba untuk tetap menggunakan paradigma lama sementara posisi Muslim di negara-negara
Barat mendapatkan kewarga-negaraan penuh. Itulah karenanya memelihara bentuk institusi dzimmy di
negara dengan mayoritas penduduk Muslim merupakan suatu yang naif (Rauf, 1988:83). Bahkan jika
dirasa menyinggung rasa serta keyakinan keagamaan orang lain bisa saja konsep dzimmy sebagai
sebuah bentuk institusi politik itu ditinggalkan, mengingat kandungan shariah konsep tersebut tidak
mengikat (Saif, 1995:128).
Pemeliharaan konsep dzimmy sebagai sebuah institusi politik Islam dalam bentuk formalnya akan
sangat membatasi ruang gerak umat Islam dalam berperan serta menjadi pemeran politik dunia. Oleh
karena itu, meskipun konsep dzimmy pada dasarnya merupakan institusi politik pemerintahan Islam
untuk mewujudkan keadilan bagi kalangan minoritas, untuk masa sekarang nampaknya sudah tidak
relevan lagi. Disamping mengandung implikasi politik yang berbau pejoratif, khusus untuk negara
Indonesia, prosedur konstitusional yang mendapatkan affirmasi dari seluruh body politics menunjukkan
bahwa negara ini di bangun di atas kebersamaan. Pada hal konsep dzimmy jelas dibangun di atas logika
politik dimana prinsip group-ownership of state masih sangat mendominasi percaturan politik Islam.
elsaonline.com Islam dan Perlindungan Hak Minoritas.htm