Anda di halaman 1dari 23

Laporan Spektrofotometri Infra Red

BAB I
PENDAHULUAN

1.1. Tujuan Percobaan :


Untuk mengetahui dan dapat melakukan suatu analisa senyawa dengan
menggunakan spektrofotometer infra merah sehingga diketahui gugus-gugus fungsi
dari senyawa tersebut.

1.2. Prinsip Percobaan :


Spektro infra red dapat digunakan untuk mempelajari sifat-sifat bahan,dimana
struktur zat yang diuji dapat diamati pada spektrofgram panjang gelombang vs
transmittansi

yang

sangat

spesifik

dan

merupakan sidik

jari

suatu

molekul.

Spektrogram zat yang diuji dibandingkan dengan spektrogram dari bahan yang sudah
diketahui spktranya.

1.3. Landasan Teori


1.3.1 AKTIVITAS ANTIOKSIDAN DAN ANTIBAKTERI DARI DERIVAT METILEKSTRAK ETANOL
DAUN GAMBIR (Uncaria gambir)
IRMA KRESNAWATY dan ACHMAD ZAINUDDIN
Balai Penelitian Bioteknologi Perkebunan Indonesia

Jl. Taman Kencana No. 1 Bogor 16151, E-mail : irma.kresnawati@ibriec.org


Jurusan Kimia, Universitas Padjadjaran Jl. Bandung-Sumedang Km 21 JatinangorSumedang
(Terima tgl. 21 - 10 - 2008 Terbit tgl. 2 - 11 - 2009)
ABSTRAK
Banyak tanaman yang dilaporkan memiliki kandungan senyawa bahan aktif antioksidan
dan antibakteri. Salah satu tanaman Indonesia yang memiliki aktivitas ini adalah gambir
(Uncaria gambir). Pada penelitian ini, ekstrak etanol daun gambir diubah menjadi derivat
metilnya untuk membuatnya lebih larut dalam lemak dan diamati pengaruh derivatisasi tersebut
terhadap aktivitas antioksidan di laboratorium kimia organik dan pengujian aktivitas antibakteri
di laboratorium mikrobiologi Universitas Padjadjaran. Penelitian ini dilaksanakan di laboratorium
Kimia Organik Jurusan Kimia dan laboratorium Mikrobiologi Jurusan Biologi Universitas
Padjadjaran dari bulan Desember 2004 - Juli 2005. Ekstrak gambir dimetilasi menggunakan
dimetil sulfat (DMS) dan dimurnikan menggunakan kromatografi kolom dengan pelarut
bergradien (kloroform : metanol = 99:1 ; 98:2 ; 95:5 ; 80:20 ; 70:30; dan 50:50 v/v) dan
kemudian menggunakan kloroform : metanol = 99 : 1 v/v. Aktivitas antioksidan menunjukkan
penurunan yang tampak dari peningkatan, yaitu : IC50 13,41 ppm untuk ekstrak etanol menjadi
121,81 ppm untuk hasil metilasi. Aktivitas antibakteri juga menunjukkan penurunan setelah
dimetilasi karena adanya penurunan diameter hambat pertumbuhan bakteri.
PENDAHULUAN
Beberapa tahun belakangan ini telah banyak dilakukan penelitian untuk menemukan
antioksidan dan antibakteri alami yang bersumber dari tanaman (ANDLAUER dan FRUST,
1998), khususnya tanaman-tanaman asli Indonesia. Berdasarkan penelitian yang telah
dilakukan pada sejumlah ekstrak tanaman yang biasa digunakan sebagai bumbu dan obat
tradisional, beberapa diantaranya berpotensi sebagai sumber antioksidan. Salah satu tanaman
tradisional yang diteliti adalah gambir (Uncaria gambir) yang memang sejak lama digunakan
masyarakat tradisional sebagai antiseptik dan obat sakit perut, serta sebagai salah satu ramuan
makan sirih (SARWEDI, 2001) yang merupakan indikasi kandungan antioksidan dan antibakteri
dalam tanaman tersebut. Sampai saat ini belum banyak penelitian yang mengupas tentang
aktivitas antioksidan dan antibakteri yang dimiliki oleh daun gambir. Aktivitas antioksidan yang
dimiliki oleh senyawa
metabolit sekunder tanaman sangat penting karena dapat berfungsi sebagai penangkap radikal
bebas yang dapat melindungi dari penyakit kardiovaskuler, oksidasi lipoprotein densitas rendah
(LDL) dan beberapa penyakit kanker lainnya (AKAGAWA dan SUYAMA, 2001). Selain itu juga
diketahui memiliki peran dalam mekanisme pertahanan terhadap mikroorganisme, serangga
dan herbivora.

BAHAN DAN METODE


Penelitian ini dilaksanakan di laboratorium Kimia Organik Jurusan Kimia dan
laboratorium Mikrobiologi Jurusan Biologi Universitas Padjadjaran dari bulan Desember 2004Juli 2005. Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah daun gambir (Uncaria gambir)
yang berasal dari Sumatera Barat. Bahan kimia yang digunakan antara lain : agar, 2,2- difenil-1pikrilhidrazil (DPPH), dimetil sulfat (DMS), etil asetat, kloroform, metanol, natrium klorida
fisiologis,

natrium

hidroksida

(NaOH),nutrient

broth.

Bakteri

uji

menggunakan

bakteri Escherichia coli sp. DanStaphylococcus aureus sp. koleksi Laboratorium Mikrobiologi
Universitas Padjadjaran. Daun gambir kering yang sudah dihaluskan diekstraksi menggunakan
metode soklet dan dimetilasi menggunakan dimetil sulfat (DMS) dan dilakukan isolasi,
pengujian aktivitas dan karakterisasi isolat (Gambar 1).
Metilasi Ekstrak Etanol Daun Gambir Menggunakan Dimetil Sulfat (DMS)
Sebanyak 12 g ekstrak etanol ditambahkan ke dalam larutan NaOH (5,2 g dalam 50 ml)
dalam labu dasar bulat (250 ml) yang dilengkapi dengan kondensor refluks dan corong tetes
pada bagian atas kondensor, serta memiliki bagian potongan V yang dangkal. Campuran
didinginkan selama 10 menit dan dimasukkan 12 ml DMS melalui corong tetes selama 15
menit. Larutan dikocok setiap kali penambahan, kemudian dipanaskan dengan refluks selama
15 menit. Setelah itu didinginkan dan dicuci dengan akuades sampai pH netral. Padatan hasil
metilasi dikeringkan dalam desikator. Padatan ini dilarutkan dalam etil asetat dan diambil fraksi
yang larut dalam etil asetat
Pengujian Aktivitas Antioksidan dengan Penangkapan Radikal Menggunakan 2,2-Difenil1-Pikrilhidrazil (DPPH)
Sebanyak 1 ml larutan DPPH 0,0010 M ditambahkan 4 ml larutan ekstrak (untuk kontrol
ekstrak digantikan metanol). Larutan dikocok sampai homogen dan dibiarkan selama 30 menit.
Kemudian absorbansinya diukur terhadap metanol pada panjang gelombang 517 nm
menggunakan spektrofotometer UV-Visible (BRANDWILLIAM et al., 1995). Nilai persentase
inhibisi yang diwakili oleh nilai IC50 dihitung dengan rumus sebagai berikut :

Dari nilai persen inhibisi sebagai absis (x) dan konsentrasi ekstrak sebagai ordinat (y) maka
dengan metode LR (linear regression) diperoleh persamaan garis dan ditentukan konsentrasi
saat persen inhibisi 50% (IC50)
Pengujian Aktivitas Antibakteri dengan Penentuan Diameter Hambat
Sebanyak 19 ml agar steril yang tersuspensi bakteri dimasukkan ke dalam cawan petri
yang sudah berisi silinder sumuran yang kemudian diisi dengan ekstrak dengan konsentrasi

200, 400, 600, dan 800 ppm. Lalu diinkubasi selama 18-24 jam pada suhu 370C. Setelah lewat
masa inkubasi diameter hambat yang terbentuk berupa daerah bening diukur sebagai
parameter untuk menentukan besarnya aktivitas antibakteri (KURNIASIH, 2000).

Gambar 1. Babgian alir penelitian


HASIL DAN PEMBAHASAN
Metilasi dengan Menggunakan Dimetil Sulfat (DMS)
Gambir diperoleh dari daerah Sumatera Barat yang merupakan sentra produksi gambir.
Daun gambir kering diekstraksi menggunakan pelarut etanol dengan metode soklet dan
dimetilasi menggunakan dimetil sulfat (DMS). Hasil metilasi terdiri dari dua fase, yaitu : padatan
dan cairan. Fase cairan diduga terdiri dari etanol yang digunakan sebagai pelarut dan sisa
NaOH ataupun DMS yang tidak bereaksi, sedangkan padatan berisi hasil metilasi, yaitu derivat
metil ekstrak etanol daun gambir.

Senyawa ini mengendap karena perbedaan kelarutan setelah termetilasi. Senyawa ini
menjadi gugus eter yang lebih nonpolar dibanding gugus alkohol sebelumnya. Ekstrak etanol
dan hasil metilasinya dibandingkan kandungannya
menggunakan kromatografi lapis tipis (Gambar 2). Dari hasil pemisahan tersebut terlihat bahwa
noda hasil metilasi bersifat lebih nonpolar karena adanya tambahan 1 atom karbon dibanding
ekstrak etanol awal (Gambar 2). Adanya perbedaan kepolaran dan wujud fisik dari keduanya,
mengasumsikan bahwa telah terjadi metilasi pada ekstrak etanol daun gambir.

Gambar 2. Noda KLT ekstrak etanol (kiri) dan hasil metilasi (kanan) dengan eluen
butanol : air : CH3COOH = 5:4:1
Uji Aktivitas Antioksidan Menggunakan Metode Penangkapan Radikal DPPH dan
Aktivitas Antibakteri
Pengujian aktivitas antioksidan pada ekstrak etanol dan senyawa hasil metilasi dapat
dilihat pada Gambar 3. Dari gambar terlihat adanya peningkatan nilai IC50, dari ekstrak kasar
yang awalnya hanya 13,41 ppm (a), menjadi 121,81 ppm (b) untuk ekstrak yang telah
termetilasi. Hal tersebut menunjukkan bahwa pengubahan atom -H menjadi gugus metil (-CH3)
melalui reaksi metilasi telah menurunkan aktivitas antioksidan, yang disebabkan pengurangan
atom -H yang merupakan sumber proton untuk penangkapan radikal bebas. Aktivitas
antioksidan meningkat seiring dengan penambahan jumlah -OH selama jumlah - OH 2-5, tapi
jika jumlah -OH lebih dari 6 maka akan terjadi penurunan aktivitas antioksidan (MIKAMO et al.,
2000).

Gambar 3. Aktivitas antioksidan ekstrak etanol (a) dan hasil metilasi daun gambir (b).
Pengujian

aktivitas

antibakteri

dilakukan

dengan

mengukur

diameter

hambat

pertanaman bakteri oleh senyawa isolat. Dari data uji pendahuluan diperoleh rentang
konsentrasi yang menunjukkan penghambatan yang signifikan, yaitu pada rentang 100-1.000
ppm. Sehingga dilakukan pengukuran diameter hambat pada rentang tersebut yaitu pada
konsentrasi 200, 400, 600, dan 800 ppm
(Tabel 1). Dari hasil uji antibakteri diketahui ekstrak memiliki aktivitas antibakteri dalam berbagai
konsentrasi uji terlihat dari terbentuknya zona bening daerah yang ditumbuhi bakteri.
Berdasarkan hasil analisis diperoleh bahwa konsentrasi ekstrak etanol daun gambir
berpengaruh pada diameter hambat pertanaman bakteri baik E. coli dan S.aureus (berbeda
nyata dengan signifikansi 5% dengan nilai P = 0,000). Sedangkan konsentrasi hasil metilasi
tidak menunjukan perbedaan signifikan (P = 0,067) yang berarti tidak ada pengaruh konsentrasi
pada diameter hambat pertanaman bakteri. Dan hasil analisis korelasi, antara konsentrasi
ekstrak etanol daun gambir dan daya hambat pertanaman, menunjukkan korelasi yang sangat
kuat (nilai r = 0,888), sehingga jika konsentrasi ditingkatkan akan meningkatkan nilai daya
hambat pertanaman bakteri.
Isolasi Senyawa Aktif Antioksidan Hasil Metilasi Ekstrak Etanol Daun Gambir

Proses isolasi dan pemurnian dilakukan menggunakan metode kromatografi padat cair
dengan berdasarkan proses perbedaan kelarutan senyawa tersebut pada fase diam dan eluen
yang digunakan. Pemisahan senyawa pada kromatografi kolom I berdasarkan warna noda yang
dibagi menjadi empat noda utama yaitu noda A, B, C dan D. Dari keempat senyawa tersebut
diuji aktivitas antioksidannya. Karena keempatnya memiliki aktivitas antioksidan, maka dipilih
noda yang jumlahnya paling banyak untuk memudahkan pengerjaan selanjutnya dan
menunjukkan pemisahan yang lebih baik dibanding noda-noda yang lain, yaitu noda A ( Gambar
4).

Gambar 4. Noda KLT keempat noda hasil kromatografi kolom menggunakan penyemprot
DPPH, dengan eluen (1) CHCl3 : MeOH = 8:2 dan (2) CHCl3 : MeOH = 95:5 v/v, keempat noda
menunjukkan keaktifan antioksidan dengan DPPH. Noda A memberikan pemisahan yang lebih
baik
Pengujian dengan FT-IR
Dari data Gambar 7 terlihat bahwa struktur isolat 1 mengandung beberapa gugus
sebagai berikut : gugus OH (puncak yang lebar dan tajam pada bilangan gelombang 3445 cm1), cincin aromatik (bilangan gelombang 3010 cm-1), regang CH- alifatik simetri dan simetri
(bilangan gelombang 2927 dan 2855 cm-1) , karbonil C=O (bilangan gelombang 1738 cm-1),
C=C (bilangan gelombang 1634 cm-1), dan adanya regang C-O (bilangan gelombang 1170 cm1). Dari hasil interpretasi ini diduga isolat 1 merupakan senyawa golongan polifenol dan
didukung oleh uji fitokimianya dimana isolat 1 memberikan warna hijau saat ditambahkan
FeCl3.
Dari hasil analisis FT-IR diperoleh bahwa isolat 2 memiliki gugus -OH yang jauh lebih
sedikit daripada isolat I dan serapan isolat II pada 1100-1200 cm-1 yang menandakan gugus CO lebih banyak pada isolat 2 dibanding isolat 1. Disamping itu intensitas serapan Chalifatik
pada isolat II jauh lebih tinggi dibanding isolat 1, yang menandakan gugus -CH3 (hasil metilasi)
yang lebih banyak dibanding isolat 1. Hal ini dapat menjadi dasar dugaan bahwa isolat 2 lebih
mengalami metilasi daripada isolat 1, dasar ini juga diperoleh dari perbedaan kelarutan yang
cukup signifikan antara keduanya.

Gambar 7. Spektrum inframerah isolat 1 (atas) dan 2 (bawah)

I.

KESIMPULAN
Ekstrak etanol daun gambir yang termetilasi menunjukkan aktivitas antioksidan dan
antibakteri yang lebih kecil dibandingkan sebelum dimetilasi. Melalui kromatografi kolom
diperoleh dua isolat dengan perbedaan warna, kelarutan dan aktivitas antioksidan dan
antibakterinya. Dari hasil spektrofotometer UV-Visible dan inframerah diduga senyawa kedua
isolat tersebut adalah golongan fenolik. Isolat 1 memiliki aktivitas antioksidan dan antibakteri
yang lebih tinggi dibandingkan isolat 2.
DAFTAR PUSTAKA

AKAGAWA, M. and K. SUYAMA. 2001. Amine oxidase lie activity of flavonoid. Europe Jurnal
Biochemryist. 268, 1953-1963.
ANDLAUER,W. and P. FRUST. 1998. Antioxidative power of phytochemical with special references
to cereals. Cereals Food World. 4(5): 356-360
COWAN, M.M. 1999. Plants product as antimicrobial agent. Journal of American Society for
Microbiology. 12(4): 564-582.

DARMAWAN, A. dan N. ARTANTI. 2006. Isolasi dan identifikasi senyawa aktif antioksidan dari
ekstrak air daun benalu (Dendrophthoe pentandra L. Miq.) yang tumbuh pada cemara
(Casuari sp.). Widyariset 9(3):43-51.
HALL, C. 2001. Sources of natural antioxidant : oilseeds, nuts, cereals, legumes, animal product and
microbial sources. J. Pokorny, N. Yanishlieva & M. Gordon. Antioxidant in Food. Woodhead
Publishing Limited. New York.
HERMAWAN, J. 2004. Keaktifan Antioksidan Derivat Asetil Ekstrak Etanol Daun Gambir pada
Sistem Lipid Tembaga (II) Asetat. Skripsi. Universitas Padjadjaran.
KURNIASIH, R. 2000. Uji Antibakteri dan Uji Antijamur. Laporan Kerja Praktek. Universitas
Padjadjaran. (Tidak dipublikasikan).
MENDOZA, L., M. WILKENS, and A. URZUA. 1997. Antimicrobial study of the resinous exudates
of diterpenoids and flavonoid isolated from some Chilean Pseudognaphalium (Asteraceae).
Jurnal Ethnopharmacology. 58: 85-88.
MIKAMO, E., Y. OKADA., A. SEMMA., Y. OTTO, and I.
MORIMOTO. 2000. Studies on structural correlationship in antioxidant activity (2). Tokyo..
SARWEDI, E. 2001. Gambir. Teknologi tepat guna agrobisnis kecil Sumatra Barat.
http\\ www.kompas/gambir.

1.3.2. Spektrofotometry
Spektrofotometri merupakan suatu metoda analisa yang didasarkan pada pengukuran
serapan sinar monokromatis oleh suatu lajur larutan berwarna pada panjang gelombamg
spesifik

dengan

menggunakan

monokromator

prisma

atau

kisi

difraksi

dengan

detektor fototube.
Spektrofotometer adalah alat untuk mengukur transmitan atau absorban suatu sampel
sebagai fungsi panjang gelombang. Sedangkan pengukuran menggunakan spektrofotometer
ini, metoda yang digunakan sering disebut dengan spektrofotometri.

Spektrofotometri dapat

dianggap sebagai perluasan suatu pemeriksaan visual dengan studi yang lebih mendalam dari
absorbsi energi. Absorbsi radiasi oleh suatu sampel diukur pada berbagai panjang
gelombangdan dialirkan oleh suatu perkam untuk menghasilkan spektrum tertentu yang khas
untuk komponen yang berbeda.

1.3.3. Spektrofotometri Infra Merah

Spektrofotometri Infra Red atau Infra Merah meruakan suatu metode yang mengamati
interaksi molekul dengan radiasi elektromagnetik yang berada pada daerah panjang gelombang
0,75 1.000 m atau pada Bilangan Gelombang 13.000 10 cm -1. Radiasi elektromagnetik
dikemukakan pertama kali oleh James Clark Maxwell, yang menyatakan bahwa cahaya secara
fisis merupakan gelombang elektromagnetik, artinya mempunyai vektor listrik dan vektor
magnetik yang keduanya saling tegak lurus dengan arah rambatan.
Gambaran berkas radiasi elektromagnetik diperlihatkan pada Gambar 1 berikut :

Gambar 1: berkas radiasi elektromagnetik

Tabel 1 : Pembagian Gelombang Elektromagnetik

Gambar 2 : Pembagian Gelombang Elektromagnetik


Saat ini telah dikenal berbagai macam gelombang elektromagnetik dengan rentang
panjang gelombang tertentu. Spektrum elektromagnetik merupakan kumpulan spektrum dari
berbagai panjang gelombang. Berdasarkan pembagian daerah panjang gelombang pada Tabel
1 dan Gambar 2, sinar infra merah dibagi atas tiga daerah, yaitu:
a)

Daerah Infra Merah dekat.

b)

Daerah Infra Merah pertengahan.

c)

Daerah infra merah jauh..

Dari pembagian daerah spektrum elektromagnetik tersebut diatas, daerah panjang


gelombang yang digunakan pada alat spektrofotometer infra merah adalah pada daerah infra
merah pertengahan, yaitu pada panjang gelombang 2,5 50 m atau pada bilangan
gelombang 4.000 200 cm-1. Satuan yang sering digunakan dalam spektrofotometri infra merah
adalah Bilangan Gelombang (
) atau disebut juga sebagai Kaiser.

Spektrofotometer Inframerah Transformasi Fourier


Pada dasarnya Spektrofotometer Fourier Transform Infra Red (disingkat FTIR) adalah
sama

dengan

Spektrofotometer

Infra

Red

disperse,

yang

membedakannya

adalah

pengembangan pada sistim optiknya sebelum berkas sinar infra merah melewati contoh. Dasar
pemikiran dari Spektrofotometer Fourier Transform Infra Red adalah dari persamaan
gelombang yang dirumuskan oleh Jean Baptiste Joseph Fourier (1768-1830) seorang ahli
matematika dari Perancis.
Dari deret Fourier tersebut intensitas gelombang dapat digambarkan sebagai daerah
waktu atau daerah frekwensi. Perubahan gambaran intensitas gelobang radiasi elektromagnetik
dari daerah waktu ke daerah frekwensi atau sebaliknya disebut Transformasi Fourier (Fourier
Transform).
Selanjutnya pada sistim optik peralatan instrumen Fourier Transform Infra Red dipakai
dasar daerah waktu yang non dispersif. Sebagai contoh aplikasi pemakaian gelombang radiasi
elektromagnetik yang berdasarkan daerah waktu adalah interferometer yang dikemukakan oleh
Albert Abraham Michelson (Jerman, 1831).

Cara Kerja Alat Spektrofotometer Fourier Transform Infra Red


Sistim optik Spektrofotometer Fourier Transform Infra Red seperti pada gambar
disamping ini dilengkapi dengan cermin yang bergerak tegak lurus dan cermin yang diam.
Dengan demikian radiasi infra merah akan menimbulkan perbedaan jarak yang ditempuh
menuju cermin yang bergerak ( M ) dan jarak cermin yang diam ( F ). Perbedaan jarak tempuh
radiasi tersebut adalah 2 yang selanjutnya disebut sebagai retardasi ( ). Hubungan antara
intensitas radiasi IR yang diterima detektor terhadap retardasi disebut sebagai interferogram.
Sedangkan sistim optik dari Spektrofotometer Infra Red yang didasarkan atas bekerjanya
interferometer disebut sebagai sistim optik Fourier Transform Infra Red.
Pada sistim optik Fourier Transform Infra Red digunakan radiasi LASER (Light
Amplification by Stimulated Emmission of Radiation) yang berfungsi sebagai radiasi yang
diinterferensikan dengan radiasi infra merah agar sinyal radiasi infra merah yang diterima oleh
detektor secara utuh dan lebih baik.

Detektor yang digunakan dalam Spektrofotometer Fourier Transform Infra Red adalah
Tetra Glycerine Sulphate (disingkat TGS) atau Mercury Cadmium Telluride (disingkat MCT).
Detektor MCT lebih banyak digunakan karena memiliki beberapa kelebihan dibandingkan
detektor TGS, yaitu memberikan respon yang lebih baik pada frekwensi modulasi tinggi, lebih
sensitif, lebih cepat, tidak dipengaruhi oleh temperatur, sangat selektif terhadap energi vibrasi
yang diterima dari radiasi infra merah.

Cara Kerja Alat Spektrofotometer Fourier Transform Infra Red


Sistim optik Spektrofotometer Fourier Transform Infra Red seperti pada gambar
disamping ini dilengkapi dengan cermin yang bergerak tegak lurus dan cermin yang diam.
Dengan demikian radiasi infra merah akan menimbulkan perbedaan jarak yang ditempuh
menuju cermin yang bergerak ( M ) dan jarak cermin yang diam ( F ). Perbedaan jarak tempuh
radiasi tersebut adalah 2 yang selanjutnya disebut sebagai retardasi ( ). Hubungan antara
intensitas radiasi IR yang diterima detektor terhadap retardasi disebut sebagai interferogram.
Sedangkan sistim optik dari Spektrofotometer Infra Red yang didasarkan atas bekerjanya
interferometer disebut sebagai sistim optik Fourier Transform Infra Red.
Pada sistim optik Fourier Transform Infra Red digunakan radiasi LASER (Light
Amplification by Stimulated Emmission of Radiation) yang berfungsi sebagai radiasi yang
diinterferensikan dengan radiasi infra merah agar sinyal radiasi infra merah yang diterima oleh
detektor secara utuh dan lebih baik.
Detektor yang digunakan dalam Spektrofotometer Fourier Transform Infra Red adalah
Tetra Glycerine Sulphate (disingkat TGS) atau Mercury Cadmium Telluride (disingkat MCT).
Detektor MCT lebih banyak digunakan karena memiliki beberapa kelebihan dibandingkan
detektor TGS, yaitu memberikan respon yang lebih baik pada frekwensi modulasi tinggi, lebih
sensitif, lebih cepat, tidak dipengaruhi oleh temperatur, sangat selektif terhadap energi vibrasi
yang diterima dari radiasi infra merah.
Interaksi Sinar Infra Merah Dengan Molekul

Bila ikatan bergetar, maka energi vibrasi secara terus menerus dan secara periodik
berubah dari energi kinetik ke energi potensial dan sebaiknya. Jumlah energi total adalah
sebanding dengan frekwensi vibrasi dan tetapan gaya ( k ) dari pegas dan massa ( m1 dan m2 )
dari dua atom yang terikat. Energi yang dimiliki oleh sinar infra merah hanya cukup kuat untuk
mengadakan perubahan vibrasi.

Panjang gelombang atau bilangan gelombang dan kecepatan cahaya dihubungkan


dengan frekwensi melalui bersamaan berikut : Energi yang timbul juga berbanding lurus dengan
frekwesi dan digambarkan dengan persamaan Max Plank :
E = Energi, Joule
h = Tetapan Plank ; 6,6262 x 10-34 J.s
c = Kecepatan cahaya ; 3,0 x 1010 cm/detik
n = indeks bias (dalam keadaan vakum harga n = 1)

= panjang gelombang ; cm
= frekwensi ; Hertz
Dalam spektroskopi infra merah panjang gelombang dan bilangan gelombang adalah
nilai yang digunakan untuk menunjukkan posisi dalam spektrum serapan. Panjang gelombang
biasanya diukur dalam mikron atau mikro meter ( m ).
Sedangkan bilangan gelombang adalah frekwensi dibagi dengan kecepatan
cahaya, yaitu kebalikan dari panjang gelombang dalam satuan cm -1. Persamaan dari hubungan
kedua hal tersebut diatas adalah :
c = kecepatan cahaya : 3,0 x 1010 cm/detik
k = tetapan gaya atau kuat ikat, dyne/cm

= massa tereduksi
m = massa atom, gram
Metode spektroskopi inframerah merupakan suatu metode yang meliputi teknik serapan
(absorption), teknik emisi (emission), teknik fluoresensi (fluorescence). Komponen medan
listrikyang banyak berperan dalam spektroskopi umumnya hanya komponen medan listrik
seperti dalam fenomena transmisi, pemantulan, pembiasan, dan penyerapan. Penemuan infra
merah ditemukan pertama kali oleh William Herschel pada tahun 1800. Penelitian selanjutnya
diteruskan

olehYoung, Beer, Lambert dan Julius melakukan

berbagai

penelitian

dengan

menggunakan spektroskopi inframerah. Pada tahun 1892 Julius menemukan dan membuktikan
adanya hubungan antara struktur molekul dengan inframerah dengan ditemukannya gugus
metil dalam suatu molekul akan memberikan serapan karakteristik yang tidak dipengaruhi oleh
susunan

molekulnya.

Penyerapan

gelombang

elektromagnetik

dapat

menyebabkan

terjadinya eksitasitingkat-tingkat energi dalam molekul. Dapat berupa eksitasi elektronik, vibrasi,

atau rotasi. Rumus yang digunakan untuk menghitung besarnya energi yang diserap oleh ikatan

pada gugus fungsi adalah:


E = h. = h.C / = h.C / v

E = energi yang diserap

h = tetapan Planck = 6,626 x 10-34 Joule.det

v = frekuensi

C = kecepatan cahaya = 2,998 x 108 m/det

= panjang gelombang

= bilangan gelombang
Dasar Spektroskopi Infra Merah dikemukakan oleh Hooke dan didasarkan atas senyawa
yang terdiri atas dua atom atau diatom yang digambarkan dengan dua buah bola yang saling
terikat oleh pegas seperti tampak pada gambar disamping ini. Jika pegas direntangkan atau
ditekan pada jarak keseimbangan tersebut maka energi potensial dari sistim tersebut akan naik.
Setiap senyawa pada keadaan tertentu telah mempunyai tiga macam gerak, yaitu :
1.

Gerak Translasi, yaitu perpindahan dari satu titik ke titik lain.

2.

Gerak Rotasi, yaitu berputar pada porosnya, dan

3.

Gerak Vibrasi, yaitu bergetar pada tempatnya..


Metode Spektroskopi inframerah ini dapat digunakan untuk mengidentifikasi suatu

senyawa yang belum diketahui,karena spektrum yang dihasilkan spesifik untuk senyawa
tersebut. Metode ini banyak digunakan karena:
a. Cepat dan relatif murah
b. Dapat digunakan untuk mengidentifikasi gugus fungsional dalam molekul
c. Spektrum inframerah yang dihasilkan oleh suatu senyawa adalah khas dan oleh karena itu
dapat menyajikan sebuah fingerprint (sidik jari) untuk senyawa tersebut.
Tabel . Serapan Khas Beberapa Gugus fungsi
Gugus

Jenis Senyawa

Daerah Serapan (cm-1)

C-H

Alkana

2850-2960, 1350-1470

C-H

Alkena

3020-3080, 675-870

C-H

Aromatic

3000-3100, 675-870

C-H

alkuna

3300

C=C

alkena

1640-1680

C=C

aromatik (cincin)

1500-1600

C-O

Alcohol, eter, asam karboksilat, ester

1080-1300

C=O

aldehida, keton, asam karboksilat, ester

1690-1760

O-H

alkohol, fenol(monomer)

3610-3640

O-H

alkohol, fenol (ikatan H)

2000-3600 (lebar)

O-H

asam karboksilat

3000-3600 (lebar)

N-H

Amina

3310-3500

C-N

Amina

1180-1360

-NO2

Nitro

1515-1560, 1345-1385
Jenis Vibrasi Molekul

Ada dua jenis vibrasi yaitu:


1. Vibrasi ulur (Stretching Vibration), yaitu vibrasi yang mengakibatkan perubahan
panjang ikatan suatu ikatan

2. Vibrasi tekuk (Bending Vibrations), yaitu vibrasi yang mengakibatkan perubahan sudut
ikatan antara dua ikatan

Vibrasi tekuk itu sendiri dibagi lagi menjadi empat:


1. Scissoring

2. Rocking

3. Wagging

4. Twisting
Perubahan Energi Vibrasi
Atom-atom di dalam molekul tidak dalam keadaan diam, tetapi biasanya terjadi peristiwa
vibrasi. Hal ini bergantung pada atom-atom dan kekuatan ikatan yang menghubungkannya.
Vibrasi molekul sangat khas untuk suatu molekul tertentu dan biasanya disebut vibrasi finger
print. Vibrasi molekul dapat digolongkan atas dua golongan besar, yaitu :
1.

Vibrasi Regangan (Streching)

2.

Vibrasi Bengkokan (Bending)


Vibrasi Regangan (Streching)
Dalam vibrasi ini atom bergerak terus sepanjang ikatan yang menghubungkannya

sehingga akan terjadi perubahan jarak antara keduanya, walaupun sudut ikatan tidak berubah.
Vibrasi regangan ada dua macam, yaitu:
1.

Regangan Simetri, unit struktur bergerak bersamaan dan searah dalam satu bidang

datar.
2.

Regangan Asimetri, unit struktur bergerak bersamaan dan tidak searah tetapi masih

dalam satu bidang datar.


Vibrasi Bengkokan (Bending)

Jika sistim tiga atom merupakan bagian dari sebuah molekul yang lebih besar, maka
dapat menimbulkan vibrasi bengkokan atau vibrasi deformasi yang mempengaruhi osilasi atom
atau molekul secara keseluruhan. Vibrasi bengkokan ini terbagi menjadi empat jenis, yaitu :
1.

Vibrasi Goyangan (Rocking), unit struktur bergerak mengayun asimetri tetapi masih

dalam bidang datar.


2.

Vibrasi Guntingan (Scissoring), unit struktur bergerak mengayun simetri dan masih

dalam bidang datar.


3.

Vibrasi Kibasan (Wagging), unit struktur bergerak mengibas keluar dari bidang datar.

4.

Vibrasi

Pelintiran

(Twisting),

unit

struktur

berputar

mengelilingi

ikatan

yang

menghubungkan dengan molekul induk dan berada di dalam bidang datar.


Penggunaan dan Aplikasi
Spektroskopi inframerah biasanya digunakan untuk penelitian dan digunakan dalam
industri yang sederhana dengan teknik yang sederhana dan untuk mengontrol kualitas. Alat
spektroskopi inframerah cukup kecil dan mudah dibawa kemana-mana dan kapanpun dapat
digunakan. Dengan meningkatnya teknologi komputer memberikan hasil yang lebih baik.
Spektroskopi inframerah mempunyai ketepatan yang tinggi pada aplikasi kimia organik dan
anorganik.

Spektroskopi

inframerah

juga

sukses

kegunaannya

dalam semikonduktormikroelektronik: untuk contoh, spektroskopi inframerah dapat digunakan


untu semikonduktor seperti silikon, gallium arsenida, gallium nitrida, zinc selenida, silikon
amorp, silikon nitrida, dan sebagainya.
Efek isotop
Isotop yang berbeda memberikan bilangan gelombang yang berbeda pada spektroskopi
inframerah. Seperti contoh frekuensi regangan O-O memberikan nilai 832 dan 788 cm
16

16

18

18

-1

untuk

( O- O) dan ( O- O) melalui hubungan O-O sebagai sebuah spring, bilangan gelombang,


dapat dihitung:

dimana k nilai konstan untuk ikatan, dan massa tereduksi untuk sistem A-B

(mi massa dari atom i).


Massa reduksi untuk 16O-16O dan 18O-18O dapat diperkirakan antara 8 dan 9. Sehingga

Daerah Identifikasi

Vibrasi yang digunakan untuk identifikasi adalah vibrasi bengkokan, khususnya


goyangan (rocking), yaitu yang berada di daerah bilangan gelombang 2000 400 cm-1. Karena
di daerah antara 4000 2000 cm-1 merupakan daerah yang khusus yang berguna untuk
identifkasi gugus fungsional. Daerah ini menunjukkan absorbsi yang disebabkan oleh vibrasi
regangan. Sedangkan daerah antara 2000 400 cm-1 seringkali sangat rumit, karena vibrasi
regangan maupun bengkokan mengakibatkan absorbsi pada daerah tersebut.
Dalam daerah 2000 400 cm-1 tiap senyawa organik mempunyai absorbsi yang unik,
sehingga daerah tersebut sering juga disebut sebagai daerah sidik jari (fingerprint region).
Meskipun pada daerah 4000 2000 cm-1 menunjukkan absorbsi yang sama, pada daerah
2000400 cm-1 juga harus menunjukkan pola yang sama sehingga dapat disimpulkan bahwa
dua senyawa adalah sama.

Penafsiran Spektrum Inframerah


Untuk penafsiran spektrum inframerah tidak ada aturan kaku, namun syarat-syarat
tertentu yang harus dipenuhi sebagai upaya untuk menafsirkan suatu
spektrum adalah
1.

Spektrum harus terselesaikan dan intensitas cukup memadai

2.

Spektrum diperoleh dari senyawa murni

3.

Spektrofotometer harus dikalibrasi sehingga pita yang teramati sesuai dengan frekuensi atau
panjang gelombangnya. Kalibrasi dapat dilakukan dengan menggunakan standar yang dapat
diandalkan, seperti polistirena film.

4.

Metode persiapan sampel harus ditentukan. Jika dalam bentuk larutan, maka konsentrasi
larutan dan ketebalan sel harus ditunjukkan.
Penyerapan sinar uv-vis dibatasi pd sejumlah gugus fungsional/gugus kromofor (gugus
dengan ikatan tidak jenuh) yang mengandung electron valensi dengan tingkat eksitasi yang
rendah. Dengan melibatkan 3 jenis electron yaitu : sigma, phi dan non bonding electron.
Kromofor-kromofor organic seperti karbonil, alken, azo, nitrat dan karboksil mampu menyerap
sinar ultraviolet dan sinar tampak. Panjang gelombang maksimalnya dapat berubah sesuai
dengan pelarut yang digunakan. Auksokrom adalah gugus fungsional yang mempunyai
elekron bebas, seperti hidroksil, metoksi dan amina. Terikatnya gugus auksokrom pada gugus
kromofor akan mengakibatkan pergeseran pita absorpsi menuju ke panjang gelombang yang
lebih besar (bathokromik) yang disertai dengan peningkatan intensitas (hyperkromik).
Komponen dari suatu spektrofotometer berkas tunggal :
1.

Suatu sumber energy cahaya yang berkesinambungan yang meliputi daerah spectrum

dimana instrument itu dirancang untuk beroperasi.

2.

Suatu monokromator, yakni suatu piranti untuk mengecilkan pita sempit panjang-

panjang gelombang dari spectrum lebar yang dipancarkan oleh sumber cahaya.
3.

Suatu wadah sampel (kuvet)

4.

Suatu detector, yang berupa transduser yang mengubah energy cahaya menjadi suatu

isyarat listrik.
5.

Suatu pengganda (amplifier), dan rangkaian yang berkaitan membuat isyarat listrik itu

memadai untuk di baca.


6.

Suatu system baca (piranti pembaca) yang memperagakan besarnya isyarat listrik,

menyatakan dalam bentuk % Transmitan (% T) maupun Adsorbansi (A).

PROSEDUR KERJA
2.1 Alat dan Bahan
a. Alat-alat yang digunakan
Pada penelitian ini adalah alat-alat gelas yang lazim digunakan dilaboratorium
, desikator, pengaduk megnetik, neraca analitis, penangas air, labu hisap Buchner, vakum
desikator, spektrofotometer ultraungu-tampak merek Hitachi model 50/20,spektrometer IR dan
Melting point.
b. Bahan-bahan yang digunakan
CuCl .2HO p.a Merek, MnCl p.a Merek,akuades, akuabides, 1,5 diphenyl carbazone,
p.a Merek, aniline p.a Merek, asam asetat ( pH = 6 ) dan etanol.
2.2. Prosedur Penelitian
Pembuatan Larutan
Larutan yang akan dibuat pada penelitian ini adalah : larutan dari ligan-ligan 1,5difenilkarbazone dan analine serta larutan dari ion-ion logam yang akan digunakan.yaitu: ion
logam dari mangan dan copper. Adapun pelarut yang digunakan untuk membuat larutan adalah
aquabidest dan etanol.
Sintesis Senyawa Kompleks
a. Sintesis Ligan Basa Schiff
Ligan

basa

Schiff

disintesi

dengan

mencampur

1,5-

difenilkarbazone dan aniline dengan perbandingan mol 1:1 sebanyak 2,4026 gr (1x10-2 mol)
1,5-difenilkarbazone dalam 10 mL etanol dicampur dengan 0,92 mL (1x10-2

mol) anilin

dalam 10 mL etanol. Campuran yang terbentuk dilarutkan kembali ke dalam 20 mL


etanol kemudian diaduk menggunakan pengaduk magnet.Sambil direfluks selama 2 jam pada

suhu 75-800. Setelah 2 jam basa Schiff yang terbentuk dengan penyaring vakum.Kemudian
dikeringkan pada temperatur

ruang dalam desikator. Setelah kering ditimbang sampai

diperoleh berat konstan.


b. Sintesis Senyawa Kompleks Ion Logam Mn(II) dan Ion Logam Cu(II) dengan

Ligan

Basa Schiff
Sintesis kompleks Cu(II) dengan ligan basa Schiff dilakukan dengan mencampur ligan
basa Schiff dan ion logam Cu(II) dengan perbandingan mol 1:1. Kemudian campuran diaduk
dengan pengaduk magnetik sambil direfluks selama 2 jam pada suhu 75-800C, lalu hasil reaksi
disaring. Setelah itu, hasil residu dicuci dengan aquabidest beberapa kali untuk mendapatkan
kompleks

yang

murni.Kristal kemudian dikeringkan dalam vakum

desikator pada temperatur ruang dan setelah itu ditimbang beratnya sampai diperoleh berat
konstan. Prosedur yang sama dilakukan terhadap ion logam Mn(II).
c. Rekristalisasi
Untuk tujuan analisis dan karakterisasi, maka kristal yang diperoleh dari hasil sintesis
dilakukan rekristalisasi yaitu dengan melarutkan kristal senyawa kompleks ke dalam 5 mL
H2SO4(p), lalu diaduk dengan stirrer. Sambil diaduk, ke dalamnya ditambahkan secara
perlahan-lahan aquabidest sebanyak 250 mL, maka akan terbentuk kembali kristal dari
senyawa kompleks, disaring.Kristal yang diperoleh dicuci dengan aquabidest berulang kali
untuk mendapatkan kristal murni,kemudian dikeringkan pada temperature ruang.Hasil Kristal
yang diperoleh ditimbang dan selanjutnya kristal dapat digunakan untuk menentukan
keperluan analisis.
Karakterisasi Senyawa Kompleks
a. Prosentasi Hasil
Hasil sintesis kering ditimbang serta dibandingkan hasilnya secara teori.
b. Karakterisasi Struktur Kristal dan Sifat-sifat Spektroskopi
Karakterisasi struktur dan penentuan spektra dilakukan pada larutan ligan basa
Schiff (L) dan senyawa kompleks [ML] pada konsentrasi, temperatur dan waktu tertentu.Adapun
pengukuran spektra bertujuan untuk melihat

perbedaan antara larutan-larutan tersebut

ditinjau dari absorbansinya. Pengukuran dilakukanm dengan menggunakan spektrafotometer


berkas

ganda,

alat

diatur daerah

panjang

gelombang

() untuk mendapatkan max, kecepatan scanning serta absorbansinya.


HASIL DAN PEMBAHASAN
2.2.1. Sintesis Senyawa Kompleks dari Logam Cu(II) Dengan Ligan Basa

Schiff dari 1,5

Dimetylkarbazona dan Anilin.


Ligan basa Schiff dibuat dari reaksi 1,5 Dimetylkarbazona ditambah anilin dalam pelarut
etanol,

lalu direfluks selama 1 jam, kemudian hasilnya dicuci dan dikeringkan dalam desikat
or. Hasil yang diperoleh sebanyak
3,14 gr. Kemudian ligan ditambah CuCl

.H

O dengan memvariasikan

perbandingan

mol

antara ion logam Cu(II) dengan ligan disertai dengan penambahan asam asetat pH 6. Setiap
variasi mol

diukur panjang

gelombang

spektrofotometer UV-Vis, kemudian hasil yang

maksimum dengan
diperoleh

mengunakan

ditentukan perbandingan

stoikhiometrinya melalui absorbansinya. Dengan cara yang sama dilakukan untuk ion logam
Mn(II) hasilnya diperoleh sebanyak 2,27 gram.
Dari hasil pengukuran diperoleh untuk ligan basa Schiff (L) maks=312,2 nm
dan panjang gelombang maks masing-masing untuk perbandingan stoikiometri ion logam Cu(II)
dengan ligan basa Schiff ( M2 - L ) 1:1 maks = 328 nm; untuk ion logam Cu(II): ligan basa
Schiff (M2 - L ) 1:2 maks = 327,6 nm; untuk ion logam Cu(II) : ligan basa Schiff

(M2 - L )

1:3 maks = 328,3 nm. Serta perbandingan stoikiometri ion logam Mn(II) : ligan basa
Schiff( M1 - L ) 1:1

maks = 323,3 nm; untuk ion logam Mn(II) : ligan basa Schiff

( M1 - L )

1:2 maks = 322,3 nm ( data terlampir) .


Dari

hasil

perbandingan mol

melalui

maks

yang

diperoleh maka perbandingan stoikiometri diperoleh1:1 baik untuk sintesis ion Mn(II) maupun
Ion Cu(II) terhadap ligan.
2. 2.2 Sintesis Kompleks Ligan Basa Schiff dengan Ion logam ( M-L)
Melalui perbandingan mol yang diperoleh pada variasi mol ion logan Mn(II)
maupun ion logam

Cu(II) dengan basa Schiff (M

-L dan M L) ,

yaitu perbandingan ion logam basa Schiff 1 : 1 dilakukan sintesis kompleks ion
logam

dengan

basa

Schiff.

Dari

hasil

Sintesis

kompleks

Schiff diperoleh persentase hasil sebesar 75% dan hasil Sintesis


basaSchiff

diperoleh

persentase

Cu(II)

komples

basa
Mn(II)

hasil sebesar 70%.

Hasil Sintesis kompleks dikarakterisasi dengan menentukan TL, analisis spektrofotometer UVVis dan analisis spektrometer inframerah.
2.2. 3. Hasil Penentuan Titik Lebur
Dari hasil pengukuran TL dengan menggunakan melting point diperoleh T.L
untuk ligan basa Schiff (L) 157-158 0C , kompleks Mn(II)-basa 0C, kompleks Mn(II)basa Schiff (M

-L) 158-159

0C,

kompleks
Cu (II)-basa 1
1610C.

Schiff

(M2-L)

160-

4. Analisis Struktur Kristal dan Sifat-sifat Spektroskopi


Data spektra elektronik dari basa Schiff dan kompleksnya menunjukkan punc
ak-puncak utama pada 312,2 nm untuk L, 322 nm untuk kompleks Mn+2 L; 328 nm untuk
Cu+2 L
Signifikan terpengaruh oleh pengkelatan dimana pita ini bergeser ke panjang
gelombang

yang

lebih panjang

sekitar

14 16

nm

sebanding dengan penambahan intensitasnya.Pergeseran ini berkaitan dengan sumbangan


pasangan elektron dari nitrogen basa Schiff kepada ion logam (N- M) baik untuk ion Cu+2
maupun
Melalui data inframerah dari hasil sintesis basa Schiff antara anilin dengan 1,5
dimetylkarbazona menunjukkan beberapa pita serapan yang karakteristik yakni gugus amin (N-H ) pada 3250-3500 cm gugus karbonil

(-C=O )

pada 1690 - 1760 cm , gugus Ar-H pada 3300-2900 cm dan gugus C-N pada 1446 1492
cm-1

serta

tidak

memiliki

kaitan

terhadap

pita

serapan

dengan

logam

kelat

yaitu ditandai dengan adanya gugus imino.

Hal ini dibuktikan dengan hasil karakterisasi pita


fungsi dominan

yang

berperan

dalam

membentuk

serap
donor

M-L

gugus

pasangan

elektron

seperti tertera pada gambar 4 dan 6 dimana gugus imino dari ligan mengalami p
enurunan

intensitas

pada

daerah

3000-3250

secara

drastis

setelah

diinteraksikanterhadap M

Sedangkan

gugus-

gugus lainnya tidak mengalami perubahan yang signifikan hal ini ditunjukkan dengan
munculnya pita pada daerah serapan yang sama.
BAB IV
KESIMPULAN DAN SARAN
6.1 Kesimpulan
Dari hasil penelitian yang telah dilasksanakan, maka dapat disimpulkan bahwa:
1.

Perbandingan mol antara ion logam Cu(II) dan Mn(II) dengan ligan basa Schiff adalah 1 : 1
serta kompleks yang terbentuk adalah pita serapan dengan logam kelat yaitu ditan
dai dengan adanya gugus imino

2.

Hasil

analisis

struktur

kristal

dari

data-data

spektra

elektronik

uv-vis pada

-L menunjukkan adanya pergeseran pita serapan yang signifikan terjadi pada transisi gugus

* imino (-NH-) dari

. dimana pita ini bergeser ke panjang gelombang yang lebih panjang sekitar 14
16 nm sebanding dengan penambahan intensitasnya.
3.

Pergeseran
ini berkaitan dengan sumbangan pasangan elektron dari nitrogen basa Schiff

kepad

a ion logam (N-M) baik untuk ion Cu+2 maupun ion Mn+2.
4.

Hal diatas didukung dengan data analisis inframerah yang karakteristik yakni gugus amin -1 (N-H ) pada 3250-3500 cm serta, dimana gugus imino dari ligan mengalami penurunan
intensitas pada daerah 3000-3250 secara drastis setelah diinteraksikan terhadap M.
Sedangkan gugus-gugus lainnya tidak mengalami perubahan yang signifikan.

5.

Berdasarkan perbedaan jari-jari ion logam

antara

ion Mn(II) dan ion Cu(II) untuk

perbandingan stoikiometri tidak berpengaruh dalam membentuk kompleks kelat dengan basa
Schiff. Untuk data inframerah ion Cu(II) L mengalami perubahan pita serapan yang sangat
signifikan di daerah 3000-3500 cm-1 pada gugus imino sedangkan untuk ion Mn(II)-L tidak
terlalu mengalami perubahan yang berarti.
6.2 Saran
Bebarapa saran yang perlu dikemukakan untuk penyempurnaan penelitian ini
adalah sebagai
berikut: untuk kompleks ion logam Cu(II) ligan basa Schiff

perlu diteliti lebih la

njut pada mekanisme reaksi kompleks serta analisis struktur yang lebih lengkap agar dapat
ditindak lanjuti
sesuai dengan peruntukannya sebagai bahan untuk analisis dibidang biologi dan klinik.

DAFTAR PUSTAKA
Angelici, R. J.,1997, Synthesis and Technique in Inorganik Chemistry,
W.B. Saunder Copany, Philadelphia.
Campos-Ferdinandes, Cristian, S.,et al. 2003 Synthsis, X-Ray Studies and Magnetic Properties
of Dinuclear Ni(II) dan Cu(II) Complexxes Bridged By Azo-2,2-bipyridine Ligand. J. Of
Chemistry. German. Vol. 934. hal. 988-994
Cotton. F.

A. and

Wilkinson. 1989. Kimia

Anorgank

Dasar.

Penerjemah

S.

Suharto.

UI Press. Jakarta. 665 hlm


Dan. Li., L., Rongzhen, Q. Zhiyu, S. Xuhua, F, Xiaolong, C. Jiwen. 2001. Synthesis and Crystal Strukture
of Cu(I) mixed-Ligand Complex [(Cu(dpa)(PPh ) ] CH CNCHCl J. CJL .,Vol 3 NO 9,HAL 46-50.
Funahashi, Y.,K, Nakaya.,S. Hinota, dan O Yamauchi, 2000. Tetrahedral Distortion in Copper(II) Complx of
(-)-Spartein and Its Affect on the Oxigen Adduct Formation. J, Chem Lett, Vol, 1172-1173.
Huheey, J. E., E.A. Keiter, 1993. Inorganic Chemistry: Principles of Structure and Reactivity,
fourth Edition. Harper Collins Publishers. USA.964 hlm + Appendix
Raman, N. S Ravichandran, et al. 2004. Copper(II), Cobalt(II), Nickel(II), and Zink(II), and Vo(II)
Schiff base Derived from o-phenildiamine and accetacetanilide. J. Chemistry from
Departement of Chemistry VHSN College, India. Vol. 116, hal: 215-219.
Zipora, S, Sintesis Ligan Campuran Bidentat dengan ion Logam Cu(II), karakterisasi Magnet
dan Indentifikasi

Struktur

kompleks

secara difraksi sinar-X Prosiding Seminar

nal Kimia LP Unila 2004.


Diposkan oleh Sidieli Zega di 03.09
Kirimkan Ini lewat EmailBlogThis!Berbagi ke TwitterBerbagi ke FacebookBagikan ke Pinterest

Nasio

Anda mungkin juga menyukai