<-3 dan/atau dengan tanda-tanda klinis (marasmus, kwarshiorkor, dan marasmuskwarshiorkor) (Menkes, 2008). Terjadinya gizi buruk pada balita antara lain karena
kurangnya asupan gizi dan serangan penyakit infeksi. Faktor penyebab tidak langsung adalah
rendahnya daya beli dan ketidaktersediaan pangan yang bergizi dan keterbatasan pengetahuan
tentang pangan yang bergizi terutama untuk ibu dan anak balita.
Gizi buruk pada anak masih menjadi masalah gizi dan kesehatan masyarakat di
Indonesia. Jumlah balita gizi buruk dan gizi kurang berdasarkan Riskesdas 2013 menurut
ketiga indeks BB/U, TB/U, dan BB/TB masih sebesar 19,6% (dibandingkan target RPJMN
sebesar 15% pada tahun 2014) dan terjadi peningkatan dibandingkan tahun 2007 sebesar
18,4% dan tahun 2010 sebesar 17,9%. Berdasarkan hasil Laporan Komunikasi Data Gizi dan
KIA Terintegrasi Tahun 2013, diperkirakan masih ada 4,5 juta balita dengan gizi buruk dan
gizi kurang yang belum terdeteksi dan mungkin tersembunyi akibat banyaknya balita yang
tidak ditimbang, yaitu sekitar 12 juta balita. Keadaan ini berpengaruh kepada masih tingginya
angka kematian bayi. Menurut WHO, lebih dari 50% kematian bayi dan anak terkait dengan
gizi kurang dan gizi buruk, oleh karena itu masalah gizi perlu ditangani secara cepat dan
tepat.
Upaya mengatasi prevalensi balita gizi buruk dilakukan antara lain melalui: (1)
Penanggulangan kurang energy protein (KEP), anemia gizi besi, gangguan akibat kurang
yodium, kurang vitamin A, dan kekurangan zat gizi mikro lainnya; (2) pemberdayaan
masyarakat untuk pencapaian keluarga sadar gizi; (3) pemberian subsidi pangan bagi
penduduk miskin; (4) peningkatan partisipasi masyarakat melalui revitalisasi pelayanan
Posyandu; dan (5) pelayanan gizi bagi ibu hamil (berupa tablet besi) dan balita (berupa
makanan pendamping ASI) dari keluarga miskin. Balita usia 2-5 tahun termasuk dalam
kelompok rentan atau rawan gizi (Widodo, 2009). Jika pada usia ini status gizi tidak dikelola
dengan baik, maka dikemudian hari mungkin akan terjadi gangguan status gizi buruk dan
akan sulit terwujudnya perbaikan kualitas sumber daya manusia. Oleh karena itu, pada masa
balita usia 2-5 tahun harus mendapatkan perhatian yang lebih dari orang tua terhadap
kesehatannya, terutama dalam pemberian makanan yang bergizi (Soetjiningsih, 2008).
Puskesmas sebagai unit pelaksana teknis dinas kesehatan kabupaten atau kota yang
bertanggung jawab menyelenggarakan pembangunan kesehatan di suatu wilayah kerja.
Puskesmas berperan menyelenggarakan sebagian dari tugas teknis operasional dinas
kesehatan kabupaten atau kota dan merupakan unit pelaksana tingkat pertama serta ujung