Diare Kronik PD AnaK
Diare Kronik PD AnaK
PENDAHULUAN
Diare masih merupakan salah satu penyebab utama morbiditas dan mortalitas anak
di negara berkembang. Mortalitas tersebut dapat disebabkan oleh dehidrasi atau akibat
lingkaran sebab akibat dari diare-malnutrisi. Bayi dan anak sangat berisiko karena
kebutuhan cairan yang lebih besar, daya tahan tubuh yang kurang, dan rentan terhadap
agen fekal-organ.1
Diare pada anak diperkirakan menyebabkan 5.000.000 kematian tiap tahun di
negara berkembang. Di Amerika Serikat, kasus diare berjumlah 10% dari total kasus
rawat jalan.2 Di Indonesia diperkirakan terdapat sekitar 200-400 kejadian diare di
antara 1.000 penduduk tiap tahunnya. Dengan demikian dapat diperkirakan terdapat 60
juta kejadian diare setiap tahun. Sebagian besar dari penderita ini (60-80%) adalah anak
berusia <5 tahun. Diperkirakan bahwa setiap anak pada kelompok usia ini rata-rata
mengalami lebih dari satu kali kejadian setiap tahunnya, sebagian dari padanya (1-2%)
akan jatuh dalam keadaan dehidrasi dan 50-60% akan meninggal bila tidak segera
mendapatkan pertolongan.1 Berdasarkan profil kesehatan Indonesia 2003, penyakit
diare menempati urutan kelima dari 10 penyakit utama pada pasien rawat jalan di
rumah sakit dan menempati urutan pertama pada pasien rawat inap di rumah sakit.3
Sebagian besar penyakit diare bersifat akut yang biasanya berlangsung selama 3-5
hari, tetapi 5-15% kejadian diare berlangsung selama 14 hari atau lebih dan
menyebabkan 1/3 1/2 atau lebih kematian.4 Angka kematian akibat diare kronik di
Indonesia mencapai 23-62%, di luar negeri mencapai 45%, dan WHO melaporkan
sebanyak 35-56%. Kasus diare kronik walaupun lebih jarang dibandingkan diare akut
tetapi penting karena penatalaksanaannya sulit, sering sulit menentukan penyebabnya
dan memerlukan pemeriksaan khusus, merupakan 40-50% dari total hari perawatan
penderita diare, menyebabkan gangguan pertumbuhan dan kehilangan berat badan tiga
kali lebih banyak daripada diare akut, dan mempunyai risiko kematian yang tinggi. 5
Pada sari kepustakaan ini akan dibahas tentang definisi, etiologi, klasifikasi,
patogenesis, diagnosis, penatalaksanaan, dan komplikasi diare kronis pada anak.
DEFINISI
Menurut WHO, diare yang berlangsung >14 hari dibagi menjadi diare kronik dan
diare persisten. Disebut diare kronik bila diare berlangsung >14 hari namun tidak
disebabkan oleh infeksi; sedangkan diare persisten adalah bila diare berlangsung >14
hari dan disebabkan oleh infeksi.5,6 Dalam beberapa literatur juga disebutkan istilahistilah lain yang termasuk diare kronik antara lain protracted diarrhea, diare
intraktabel, prolonged diarrhea, dan chronic non spesific diarrhea. Protracted diarrhea
adalah diare yang berlangsung >14 hari dengan tinja cair dan frekuensi 4 kali per hari.
Diare intraktabel adalah diare yang timbul berulang kali dalam waktu singkat misalnya
1-3 bulan. Prolonged diarrhea adalah diare yang berlangsung >7 hari. Chronic non
spesific diarrhea adalah diare yang berlangsung >3 minggu tetapi tidak disertai
gangguan pertumbuhan dan tidak disertai tanda-tanda infeksi maupun malabsorpsi. 5
Untuk memudahkan pembahasan dalam sari kepustakaan ini dipakai istilah diare
kronik yang mencakup semua keadaan tersebut.
FAKTOR RISIKO & ETIOLOGI
Beberapa faktor risiko diare kronik antara lain malnutrisi, pemberian ASI <1 bulan,
pemberian antibiotik, infeksi campuran, adanya darah dalam tinja, pneumonia, dan
dehidrasi berat, pendidikan ibu, riwayat diare sebelumnya dalam tiga bulan terakhir
sebelum diopname, defisiensi seng, dan berat badan lahir rendah.7 Sebuah studi
retrospektif selama 5 tahun di Filipina tentang diare kronik pada bayi dan anak
menemukan bahwa subjek yang diberi susu formula lebih banyak yang mengalami
diare kronik yaitu sebanyak 46% berbanding 15% ASI dan 39% campuran ASI dan
susu formula. Hal ini disebabkan oleh kurangnya faktor-faktor imun yang terkandung
dalam susu formula dibandingkan ASI sebagai proteksi terhadap infeksi usus.8 Secara
epidemiologi, faktor risiko utama diare kronik adalah malnutrisi. Anak dengan
malnutrisi berat bila menderita diare kronik akan meningkatkan risiko mortalitas 17
kali lipat dibandingkan malnutrisi ringan. Autopsi verbal di Bangladesh pada anak yang
meninggal akibat diare menemukan 50% penderita termasuk malnutrisi.9
Diare kronik dapat disebabkan oleh berbagai faktor, namun sering tidak ditemukan
penyebab spesifiknya.10 Diare kronik pada masa bayi dapat disebabkan oleh sindrom
PATOGENESIS
Patogenesis terjadinya proses diare kronik sangat kompleks dan multipel. 7
Patogenesis utama pada diare kronik adalah kerusakan mukosa usus,5 yang
menyebabkan gangguan digesti dan transportasi nutrien melalui mukosa. Faktor
penting lainnya adalah faktor intraluminal yang menyebabkan gangguan proses digesti
saja misalnya akibat gangguan pankreas, hati, dan membran brush border enterosit.
Biasanya kedua faktor tersebut terjadi bersamaan sebagai penyebab diare kronik. 2 Pada
tahap awal kerusakan mukosa usus disebabkan oleh etiologi diare akut yang tidak
mendapat penanganan dengan baik.5,7 Akhirnya berbagai faktor melalui interaksi timbal
balik mengakibatkan lingkaran setan. Keadaan ini tidak hanya menyebabkan perbaikan
kerusakan mukosa tidak efektif tetapi juga menimbulkan kerusakan mukosa yang lebih
berat dengan segala komplikasinya.5
Enteropatogen misalnya infeksi bakteri/infestasi parasit yang sudah resisten
terhadap antibiotik/anti parasit, disertai overgrowth bakteri non-patogen seperti
Pseudomonas, Klebsiella, Streptococcus, Staphylococcus, dan sebagainya akan
memprovokasi timbulnya lesi di mukosa usus. Kerusakan epitel usus menyebabkan
kekurangan enzim laktase dan protease yang mengakibatkan maldigesti dan
malabsorpsi karbohidrat dan protein. Pada tahap lanjut, setelah terjadi malnutrisi,
terjadi atrofi mukosa lambung, usus halus disertai penumpulan vili, dan kerusakan
hepar dan pankreas yang mengakibatkan terjadinya maldigesti dan malabsorpsi seluruh
nutrien. Makanan yang tidak dicerna dengan baik akan meningkatkan tekanan koloid
osmotik dalam lumen usus sehingga terjadilah diare osmotik. Overgrowth bakteri yang
terjadi mengakibatkan dekonjugasi dan dehidroksilasi asam empedu. Dekonjugasi dan
dehidroksilasi asam empedu merupakan zat toksik terhadap epitel usus dan
menyebabkan gangguan pembentukan ATP-ase yang sangat penting sebagai sumber
energi dalam absorpsi makanan.5,7
Usus merupakan organ utama untuk pertahanan tubuh. Defisiensi sekretori IgA
(SigA) dan cell mediated immunity akan menyebabkan individu tidak mampu
mengatasi infeksi bakteri/virus/jamur atau infestasi parasit dalam usus, akibatnya
kuman akan berkembang biak dengan leluasa, terjadi overgrowth dengan akibat lebih
lanjut berupa diare kronik dan malabsorpsi makanan yang lebih berat.5 Secara skematis
patogenesis diare kronik dapat dilihat pada Gambar 1.
Defisiensi imun
Laktase
Protease
Malnutrisi
Hepar
Atrofi mukosa lambung & vili usus
Dekonjugasi & dehidroksilasi asam empeduGastrin, HCl, pepsin, sekretin
ATP-ase
Pankreas
Pankreozimin & polipeptida
pankreas
Alergi Sensitisasi
DIARE KRONIK
PENDEKATAN DIAGNOSTIK
Pendekatan diagnostik pasien dengan diare kronik dibagi menjadi empat langkah.
Penting sekali memastikan apakah pasien benar-benar menderita diare kronis ataukah
mengalami enkopresis yang diinterpretasi salah sebagai diare akibat sekunder dari
pengeluaran feses secara konstan. Langkah-langkah pendekatan diagnostik diare kronis
adalah sebagai berikut:2
1. Anamnesis, pemeriksaan fisik, pemeriksaan feses, dan pemeriksaan darah.
Anamnesis pada diare kronik sangat penting bukan saja untuk mengetahui
lamanya diare tetapi juga untuk mengungkap etiologi diare kronik, derajat beratnya
malabsorpsi, menemukan penyakit yang mendasari terjadinya diare kronik,
menentukan derajat malnutrisi, dan failure to thrive.5 Status nutrisi penderita harus
diidentifikasi melalui anamnesis makanan dalam tiga hari terakhir.10 Hal-hal yang
perlu ditanyakan antara lain onset dan durasi diare; gambaran feses dan faktorfaktor yang memperberat/memperingan; kualitas feses (warna, bau, konsistensi,
volume, adanya darah/lendir/makanan yang tidak dicerna); adanya demam atau
gejala-gejala lain yang berhubungan; riwayat gastroenteritis, konstipasi, riwayat
pneumonia sebelum onset diare kronik; riwayat perjalanan atau paparan infeksi;
riwayat pengobatan; atau riwayat keluarga.13 Penderita juga dianamnesis tentang
jumlah dan jenis cairan yang diminum setiap hari. Diare non spesifik kronik perlu
dicurigai pada penderita yang banyak minum cairan berkarbonat atau jus buahbuahan >150 mL/kg/24 jam dan tidak disertai gangguan pertumbuhan dan
parameter tinggi badan.2
Pada pemeriksaan fisik perlu dievaluasi status hidrasi penderita, berat badan,
tinggi badan, indikator pertumbuhan; kulit apakah disertai edema, ikterus, pucat,
rash kemerahan, jari tabuh; paru-paru apakah disertai mengi atau crackles;
abdomen apakah nyeri, adanya massa (feses, abses, tumor, organomegali); dan
rektum apakah disertai tanda-tanda penyakit perianal, prolaps rekti, hirschprung,
atau konstipasi.13
Pada
berkualitas
tinggi,
dan
mudah
dicerna
mengingat
adanya
Malabsorpsi karbohidrat
Malabsorpsi
lemak
Terapi spesifik
Kurangi asupan jusKurangi
buah-buahan
asupan cairan 90 Tingkatkan
mL/kg/24 jam
asupan lemak 35-40%
Intoleransi laktosa
Intoleransi sukrosa
Asupan laktosa
Asupan sukrosa
Perbaikan (-)
Perbaikan (-)
10
Diet bebas laktosa
KESIMPULAN
Diare kronik, walaupun lebih jarang dibandingkan diare akut, tetap penting karena
penatalaksanaannya sulit dan mortalitasnya tinggi. Diare kronik dapat disebabkan oleh
berbagai faktor, namun sering tidak ditemukan penyebab spesifiknya. Patogenesis
terjadinya proses diare kronik sangat kompleks dan multipel, faktor mukosa dan
intraluminal sering terjadi bersamaan sebagai penyebab diare kronik. Pendekatan
11
diagnostik pasien dengan diare kronik dibagi menjadi empat langkah, penting sekali
memastikan apakah pasien benar-benar menderita diare kronis atau bukan.
Penatalaksanaan diare kronik terutama difokuskan pada penyakit yang mendasarinya.
DAFTAR PUSTAKA
1. Soeparto P. Sumbangan dan peran kaum professional dalam mendukung program
penyakit saluran cerna di era otonomi. Kumpulan Makalah Kongres Nasional II
Badan Koordinasi Gastroenterologi Anak Indonesia. 2003. h. 17-27.
2. Ghishan FK. Chronic Diarrhea. Dalam: Behrman RE, Kliegman RM, Jenson HB,
penyunting. Nelson textbook of pediatrics. Edisi ke-18. Philadelpia: Saunders;
12
2008. h. 1621-6.
3. Maarij NFN. Identifikasi drug related problems (DRPs) dalam pengobatan diare
pada anak di instalasi rawat inap rumah sakit umum daerah wonogiri tahun 2007.
(diunduh 21 September 2010). Tersedia dari: http://etd.eprints.ums.ac.id.
4. Widaya IW, Gandi. Konsistensi pelaksanaan program serta morbiditas dan
mortalitas diare di era otonomi dan krisis. Kumpulan Makalah Kongres Nasional II
Badan Koordinasi Gastroenterologi Anak Indonesia. 2003. h. 45-54.
5. Suraatmaja S. Gastroenterologi anak. Lab/SMF Ilmu Kesehatan Anak FK
UNUD/RS Sanglah Denpasar: Sagung Seto. 2005.
6. Basu S, Chatterjee M, Ganguly S, Chandra PK. Effect of Lactobacillus
rhamnosus GG in persistent diarrhea in Indian children: A andomized controlled
trial. J Clin Gastroenterol. 2007;41:756-60.
7. Andrade JAB, Murcira C, Neto UF. Persistent diarrhea. Jurnal de Pediatrica.
2000;76:S119-24.
8. Doria RD, Abad MM, Bello J, Reyes RR, Costibolo ES. Chronic diarrhea in
infancy and childhood: a five year retrospective study. Phil J Microbiol Infect
Dis.1985;14:65-75.
9. Bhutta ZA, Ghishan F, Lindley K, Memon IA, Mittal S, Rhoads JM. Persistent
and chronic diarrhea and malabsorption: working group report of the second
world congress of pediatric gastroenterology, hepatology, and nutrition. Journal
of Pediatric Gastroenterology and Nutrition. 2004:39:S711-6.
10. Pediatric Associates of Plano. Chronic Diarrhea. 2007 (diunduh 21 September
2010). Tersedia dari: http://www.planopeds.com.
11. Sutadi SM. Diare kronik. 2003 (diunduh 21 September 2010). Tersedia dari:
http://library.usu.ac.id.
12. Sondheimer JM, Sundaram S. Gastrointestinal tract: chronic diarrhea. Dalam: Hay
WW, Levin MJ, Sondheimer JM, Deterding RR, penyunting. Current diagnosis &
treatment. Edisi ke-19. New York: McGraw Hill. 2009. h. 594-6.
13. Baldassano R. Chronic diarrhea. Dalam: Schwartz MW, penyunting. Clinical
handbook of pediatrics. Edisi ke-3. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins.
2003.h.262-7
13