Anda di halaman 1dari 14

DIARE KRONIK PADA ANAK

PENDAHULUAN
Diare masih merupakan salah satu penyebab utama morbiditas dan mortalitas anak
di negara berkembang. Mortalitas tersebut dapat disebabkan oleh dehidrasi atau akibat
lingkaran sebab akibat dari diare-malnutrisi. Bayi dan anak sangat berisiko karena
kebutuhan cairan yang lebih besar, daya tahan tubuh yang kurang, dan rentan terhadap
agen fekal-organ.1
Diare pada anak diperkirakan menyebabkan 5.000.000 kematian tiap tahun di
negara berkembang. Di Amerika Serikat, kasus diare berjumlah 10% dari total kasus
rawat jalan.2 Di Indonesia diperkirakan terdapat sekitar 200-400 kejadian diare di
antara 1.000 penduduk tiap tahunnya. Dengan demikian dapat diperkirakan terdapat 60
juta kejadian diare setiap tahun. Sebagian besar dari penderita ini (60-80%) adalah anak
berusia <5 tahun. Diperkirakan bahwa setiap anak pada kelompok usia ini rata-rata
mengalami lebih dari satu kali kejadian setiap tahunnya, sebagian dari padanya (1-2%)
akan jatuh dalam keadaan dehidrasi dan 50-60% akan meninggal bila tidak segera
mendapatkan pertolongan.1 Berdasarkan profil kesehatan Indonesia 2003, penyakit
diare menempati urutan kelima dari 10 penyakit utama pada pasien rawat jalan di
rumah sakit dan menempati urutan pertama pada pasien rawat inap di rumah sakit.3
Sebagian besar penyakit diare bersifat akut yang biasanya berlangsung selama 3-5
hari, tetapi 5-15% kejadian diare berlangsung selama 14 hari atau lebih dan
menyebabkan 1/3 1/2 atau lebih kematian.4 Angka kematian akibat diare kronik di
Indonesia mencapai 23-62%, di luar negeri mencapai 45%, dan WHO melaporkan
sebanyak 35-56%. Kasus diare kronik walaupun lebih jarang dibandingkan diare akut
tetapi penting karena penatalaksanaannya sulit, sering sulit menentukan penyebabnya
dan memerlukan pemeriksaan khusus, merupakan 40-50% dari total hari perawatan
penderita diare, menyebabkan gangguan pertumbuhan dan kehilangan berat badan tiga
kali lebih banyak daripada diare akut, dan mempunyai risiko kematian yang tinggi. 5
Pada sari kepustakaan ini akan dibahas tentang definisi, etiologi, klasifikasi,
patogenesis, diagnosis, penatalaksanaan, dan komplikasi diare kronis pada anak.

DEFINISI
Menurut WHO, diare yang berlangsung >14 hari dibagi menjadi diare kronik dan
diare persisten. Disebut diare kronik bila diare berlangsung >14 hari namun tidak
disebabkan oleh infeksi; sedangkan diare persisten adalah bila diare berlangsung >14
hari dan disebabkan oleh infeksi.5,6 Dalam beberapa literatur juga disebutkan istilahistilah lain yang termasuk diare kronik antara lain protracted diarrhea, diare
intraktabel, prolonged diarrhea, dan chronic non spesific diarrhea. Protracted diarrhea
adalah diare yang berlangsung >14 hari dengan tinja cair dan frekuensi 4 kali per hari.
Diare intraktabel adalah diare yang timbul berulang kali dalam waktu singkat misalnya
1-3 bulan. Prolonged diarrhea adalah diare yang berlangsung >7 hari. Chronic non
spesific diarrhea adalah diare yang berlangsung >3 minggu tetapi tidak disertai
gangguan pertumbuhan dan tidak disertai tanda-tanda infeksi maupun malabsorpsi. 5
Untuk memudahkan pembahasan dalam sari kepustakaan ini dipakai istilah diare
kronik yang mencakup semua keadaan tersebut.
FAKTOR RISIKO & ETIOLOGI
Beberapa faktor risiko diare kronik antara lain malnutrisi, pemberian ASI <1 bulan,
pemberian antibiotik, infeksi campuran, adanya darah dalam tinja, pneumonia, dan
dehidrasi berat, pendidikan ibu, riwayat diare sebelumnya dalam tiga bulan terakhir
sebelum diopname, defisiensi seng, dan berat badan lahir rendah.7 Sebuah studi
retrospektif selama 5 tahun di Filipina tentang diare kronik pada bayi dan anak
menemukan bahwa subjek yang diberi susu formula lebih banyak yang mengalami
diare kronik yaitu sebanyak 46% berbanding 15% ASI dan 39% campuran ASI dan
susu formula. Hal ini disebabkan oleh kurangnya faktor-faktor imun yang terkandung
dalam susu formula dibandingkan ASI sebagai proteksi terhadap infeksi usus.8 Secara
epidemiologi, faktor risiko utama diare kronik adalah malnutrisi. Anak dengan
malnutrisi berat bila menderita diare kronik akan meningkatkan risiko mortalitas 17
kali lipat dibandingkan malnutrisi ringan. Autopsi verbal di Bangladesh pada anak yang
meninggal akibat diare menemukan 50% penderita termasuk malnutrisi.9
Diare kronik dapat disebabkan oleh berbagai faktor, namun sering tidak ditemukan
penyebab spesifiknya.10 Diare kronik pada masa bayi dapat disebabkan oleh sindrom

malabsorpsi pasca gastroenteritis, intoleransi susu sapi/protein kedelai, defisiensi


disakaridase sekunder, atau fibrosis kistik. Pada masa kanak-kanak, etiologi diare
kronik antara lain diare kronik non spesifik, defisiensi disakaridase sekunder, giardiasis,
sindrom malabsorpsi gastroenteritis, penyakit celiac (gluten-sensitive enteropathy), atau
fibrosis kistik. Pada masa adolesen, etiologi diare kronik antara lain irritable bowel
syndrome, inflammatory bowel disease, giardiasis, ataupun intoleransi laktosa.2
Sindrom malabsorpsi pasca gastroenteritis adalah gangguan penyerapan makanan
akibat episode gastroenteritis yang panjang dan menurunnya asupan energi.
Inflammatory bowel disease seperti kolitis ulseratif, penyakit Chron, dan kolitis
mikroskopik dapat menyebabkan perubahan integritas mukosa usus sehingga terjadi
penurunan absorpsi air dan elektrolit melalui saluran cerna.2 Diare pada irritable bowel
syndrome ditandai dengan adanya konstipasi, nyeri abdomen, passase mucus dan rasa
tidak sempurna dalam defaksi. Pada beberapa pasien dijumpai konstipasi dengan
kejang perut yang berkurang dengan diare, kemungkinan disebabkan kelainan motilitas
intestinal. Diare terjadi akibat pengaruh fekal atau obstruksi tumor dengan
melimpahnya cairan kolon diantara feses atau obstruksi.11
Diare kronik non spesifik merupakan penyebab paling sering pada anak yang
sedang tumbuh. Usia rata-rata penderita 6-20 bulan. Diare terjadi 3-6 kali per hari
(tidak pada saat tidur) berupa diare berlendir. Diare makin parah bila diet rendah
karbohidrat/lemak dan selama stres dan infeksi. Diare tersebut biasanya sembuh sendiri
pada saat anak mencapai usia 3 tahun (biasanya bersamaan dengan toilet training).
Tidak ada penyebab organik ditemukan. Kemungkinan penyebabnya adalah kelainan
absorpsi asam empedu di ileum terminal, absopsi karbohidrat inkomplit, dan kelainan
fungsi motorik. Sering ditemukan adanya riwayat keluarga atau penyakit usus
fungsional. Pada pemeriksaan feses tidak ditemukan darah, leukosit, lemak, parasit, dan
bakteri patogen.12
Penyakit celiac (gluten-sensitive enteropathy) adalah penyakit malabsorpsi
herediter yang disebabkan oleh ketidakmampuan mentoleransi gluten secara permanen.
Gliadin (suatu protein tertentu) menyebabkan atrofi berat mukosa usus halus. Insidensi
penyakit ini tinggi di negara Irlandia.13

PATOGENESIS
Patogenesis terjadinya proses diare kronik sangat kompleks dan multipel. 7
Patogenesis utama pada diare kronik adalah kerusakan mukosa usus,5 yang
menyebabkan gangguan digesti dan transportasi nutrien melalui mukosa. Faktor
penting lainnya adalah faktor intraluminal yang menyebabkan gangguan proses digesti
saja misalnya akibat gangguan pankreas, hati, dan membran brush border enterosit.
Biasanya kedua faktor tersebut terjadi bersamaan sebagai penyebab diare kronik. 2 Pada
tahap awal kerusakan mukosa usus disebabkan oleh etiologi diare akut yang tidak
mendapat penanganan dengan baik.5,7 Akhirnya berbagai faktor melalui interaksi timbal
balik mengakibatkan lingkaran setan. Keadaan ini tidak hanya menyebabkan perbaikan
kerusakan mukosa tidak efektif tetapi juga menimbulkan kerusakan mukosa yang lebih
berat dengan segala komplikasinya.5
Enteropatogen misalnya infeksi bakteri/infestasi parasit yang sudah resisten
terhadap antibiotik/anti parasit, disertai overgrowth bakteri non-patogen seperti
Pseudomonas, Klebsiella, Streptococcus, Staphylococcus, dan sebagainya akan
memprovokasi timbulnya lesi di mukosa usus. Kerusakan epitel usus menyebabkan
kekurangan enzim laktase dan protease yang mengakibatkan maldigesti dan
malabsorpsi karbohidrat dan protein. Pada tahap lanjut, setelah terjadi malnutrisi,
terjadi atrofi mukosa lambung, usus halus disertai penumpulan vili, dan kerusakan
hepar dan pankreas yang mengakibatkan terjadinya maldigesti dan malabsorpsi seluruh
nutrien. Makanan yang tidak dicerna dengan baik akan meningkatkan tekanan koloid
osmotik dalam lumen usus sehingga terjadilah diare osmotik. Overgrowth bakteri yang
terjadi mengakibatkan dekonjugasi dan dehidroksilasi asam empedu. Dekonjugasi dan
dehidroksilasi asam empedu merupakan zat toksik terhadap epitel usus dan
menyebabkan gangguan pembentukan ATP-ase yang sangat penting sebagai sumber
energi dalam absorpsi makanan.5,7
Usus merupakan organ utama untuk pertahanan tubuh. Defisiensi sekretori IgA
(SigA) dan cell mediated immunity akan menyebabkan individu tidak mampu
mengatasi infeksi bakteri/virus/jamur atau infestasi parasit dalam usus, akibatnya
kuman akan berkembang biak dengan leluasa, terjadi overgrowth dengan akibat lebih
lanjut berupa diare kronik dan malabsorpsi makanan yang lebih berat.5 Secara skematis
patogenesis diare kronik dapat dilihat pada Gambar 1.

Infeksi & overgrowth bakteri

Defisiensi imun

Kerusakan epitel usus

Laktase

Protease

Malnutrisi

Hepar
Atrofi mukosa lambung & vili usus
Dekonjugasi & dehidroksilasi asam empeduGastrin, HCl, pepsin, sekretin

ATP-ase

Pankreas
Pankreozimin & polipeptida
pankreas

Maldigesti/ malabsorpsi nutrien Sekresi & motilitas

Tekanan koloid osmotik

Absorpsi protein asing

Alergi Sensitisasi

DIARE KRONIK

Gambar 1. Patogenesis Diare Kronik


Dikutip dari: Suraatmaja5

PENDEKATAN DIAGNOSTIK
Pendekatan diagnostik pasien dengan diare kronik dibagi menjadi empat langkah.
Penting sekali memastikan apakah pasien benar-benar menderita diare kronis ataukah
mengalami enkopresis yang diinterpretasi salah sebagai diare akibat sekunder dari
pengeluaran feses secara konstan. Langkah-langkah pendekatan diagnostik diare kronis
adalah sebagai berikut:2
1. Anamnesis, pemeriksaan fisik, pemeriksaan feses, dan pemeriksaan darah.
Anamnesis pada diare kronik sangat penting bukan saja untuk mengetahui
lamanya diare tetapi juga untuk mengungkap etiologi diare kronik, derajat beratnya
malabsorpsi, menemukan penyakit yang mendasari terjadinya diare kronik,
menentukan derajat malnutrisi, dan failure to thrive.5 Status nutrisi penderita harus
diidentifikasi melalui anamnesis makanan dalam tiga hari terakhir.10 Hal-hal yang
perlu ditanyakan antara lain onset dan durasi diare; gambaran feses dan faktorfaktor yang memperberat/memperingan; kualitas feses (warna, bau, konsistensi,
volume, adanya darah/lendir/makanan yang tidak dicerna); adanya demam atau
gejala-gejala lain yang berhubungan; riwayat gastroenteritis, konstipasi, riwayat
pneumonia sebelum onset diare kronik; riwayat perjalanan atau paparan infeksi;
riwayat pengobatan; atau riwayat keluarga.13 Penderita juga dianamnesis tentang
jumlah dan jenis cairan yang diminum setiap hari. Diare non spesifik kronik perlu
dicurigai pada penderita yang banyak minum cairan berkarbonat atau jus buahbuahan >150 mL/kg/24 jam dan tidak disertai gangguan pertumbuhan dan
parameter tinggi badan.2
Pada pemeriksaan fisik perlu dievaluasi status hidrasi penderita, berat badan,
tinggi badan, indikator pertumbuhan; kulit apakah disertai edema, ikterus, pucat,
rash kemerahan, jari tabuh; paru-paru apakah disertai mengi atau crackles;
abdomen apakah nyeri, adanya massa (feses, abses, tumor, organomegali); dan
rektum apakah disertai tanda-tanda penyakit perianal, prolaps rekti, hirschprung,
atau konstipasi.13

Pemeriksaan feses merupakan langkah penting dalam investigasi diare kronik.


Bagian feses yang paling penting untuk diperiksa adalah cairan yang terkandung
dalam feses. Spesimen feses harus disimpan dalam kulkas sebelum dilakukan
pemeriksaan. Untuk pemeriksaan kultur feses dianjurkan menggunakan spesimen
feses segar. Adanya darah dalam pemeriksaan makroskopis feses menandakan
inflamasi kolon. Warna feses sangat penting dianalisis kecuali disertai darah. Occult
testing bermanfaat untuk mengetahui adanya perdarahan mikroskopik.

Pada

pemeriksaan mikroskopik juga perlu diperiksa adanya leukosit, telur/parasit seperti


Giardia, amuba, atau kriptosporidia. Pemeriksaan darah seperti darah lengkap,
LED, elektrolit, ureum, kreatinin, dan sebagainya juga termasuk evaluasi langkah
pertama.2
2. Sweat chloride test, deteksi malabsorpsi lemak, elektrolit feses, osmolalitas feses;
pemeriksaan phenophthalein, magnesium sulfat, fosfat feses; breath hydrogen test.
Sweat chloride test bermanfaat untuk menyingkirkan fibrosis kistik.
Pengumpulan feses selama 72 jam merupakan syarat untuk mengetahui adanya
malabsorpsi lemak bila sweat chloride test negatif. Pemeriksaan phenophthalein,
magnesium sulfat, dan fosfat berguna untuk mengetahui apakah diare akibat
penggunaan yang salah laksatif (diare factitia).2
Breath hydrogen test berguna untuk menentukan malabsorpsi karbohidrat.
Breath hydrogen test untuk glukosa atau laktulosa bermanfaat untuk diagnosis
pertumbuhan bakteri.2 Hidrogen dihasilkan dari fermentasi bakteri dari karbohidrat;
hidrogen akan meningkat pada pertumbuhan bakteri dan intolerans laktosa. Breath
hydrogen test akan mencapai puncaknya dua jam setelah pertumbuhan bakteri dan
3-6 jam pada pasien dengan defisiensi laktasa atau insufisiensi pankreas.
Membedakan defisiensi laktasa dan insufisiensi pancreas adalah dengan pemberian
enzim pancreas; metode ini akan menurunkan breath hydrogen.11
3. Endoskopi, biopsi usus halus, sigmoidoskopi atau kolonoskopi dengan biopsi,
barium.
4. Pemeriksaan neurohormonal dan neurotransmital seperti vasoactive intestinal
polypeptide, gastrin, sekretin, dan 5-hydroxyindoleacetic.
PENATALAKSANAAN

Penatalaksanaan diare kronik terutama difokuskan pada penyakit yang


mendasarinya. Menurut Suraatmaja,5 penatalaksanaan diare kronik meliputi tiga
langkah sebagai berikut:
1. Rehidrasi enteral/parenteral
a. Tanpa malnutrisi
Penderita diare kronik yang mengalami dehidrasi ringan/sedang tetap
diupayakan memberikan terapi rehidrasi oral, bila perlu cairan diberikan melalui
pipa nasogastrik sampai anak bisa minum per oral secara adekuat. Oralit efektif
untuk sebagian besar penderita diare kronik. Pada sebagian kecil penderita
mungkin terjadi gangguan absorpsi monosakarida (glukosa) sehingga diare
menjadi berat. Pada kasus demikian perlu dilakukan rehidrasi intravena. Cara
pemberian rehidrasi intravena sama dengan pemberian pada diare akut.
b. Dengan malnutrisi
Cairan yang diberikan adalah resomal, bila perlu dengan sonde. Infus hanya
diberikan dalam keadaan dehidrasi berat/syok dan muntah yang tidak
terkendali. Cairan infus yang digunakan untuk penderita diare kronik dengan
malnutrisi adalah DG 10% (banyak mengandung kalium). Pantau ketat untuk
mencegah kelebihan cairan dengan perhatian khusus pada tanda-tanda edema
dan produksi urin.
2. Terapi nutrisi
Tujuan terapi nutrisi pada penderita diare kronik adalah agar pertumbuhan dan
perkembangan tetap berlangsung optimal. Nutrisi sedapat mungkin diberikan per
oral karena lebih murah, efek samping minimal, dan rehabilitasi mukosa jauh lebih
cepat dan sempurna bila diberikan nutrisi intraluminal. Nutrisi yang diberikan harus
lengkap,

berkualitas

tinggi,

dan

mudah

dicerna

mengingat

adanya

maldigesti/malabsorpsi yang kemungkinan dialami penderita. Makanan yang


diberikan sedikit-sedikit tapi sering. Nutrisi yang diberikan adalah:
a. Nutrisi enteral
Pada bayi yang mendapat ASI harus dilanjutkan. Bila tidak ada ASI, beri susu
formula rendah/bebas laktosa. Bila dengan susu formula rendah/bebas laktosa
tidak ada perbaikan, berikan susu formula khusus seperti Pepti Junior,
Nutramigen, Pregestemil, dan lain-lain. Pada anak-anak, makanan diberikan
bertahan dimulai dari makanan cair, lunak, lalu makanan biasa sesuai dengan
umur.

b. Nutrisi parenteral total (total parenteral nutrition = TPN)


TPN adalah suatu teknik memberikan nutrisi yang diperlukan tubuh melalui
intravena. Nutrisi yang diberikan terdiri dari air, elektrolit, asam amino, emulsi
lemak, mineral, vitamin, dan trace elements. TPN diberikan pada penderita
yang tidak dapat mentoleran atau menyerap zat makanan yang diberikan per
oral. Bila diberikan dengan benar TPN sangat bermanfaat bahkan dapat
menyelamatkan jiwa penderita.
3. Medikamentosa
a. Antibiotika
Antibiotika pada umumnya tidak dianjurkan bahkan berbahaya karena dapat
mengubah atau menimbulkan overgrowth flora usus sehingga diare bertambah
berat. Jika diperlukan, berikan sesuai dengan hasil biakan dan tes resistensi.
Pengalaman selama 25 tahun di Brazil menunjukkan bahwa penggunaan
antibiotik dan/atau obat-obat

lain secara rutin pada diare kronik (diare

persisten) tidak bermanfaat untuk mengontrol diare.7


b. Obat antidiare
Pemberian obat-obat anti diare seperti difenoksilat, loperamide dan obat
pengeras tinja seperti kaolin, pektin, arang aktif, attapulgit, smectite; tidak
dianjurkan. Obat-obatan tersebut berbahaya karena memberikan kesan sembuh
palsu dan dapat mempengaruhi motilitas usus yang justru menghambat
pengeluaran bakteri bersama tinja sehingga memberi kesempatan pada bakteri
untuk berada lebih lama dan berkembang biak dalam usus.
c. Kolestiramin dan bismut sub salisilat
Kolestiramin (anion exchange resin) dan bismut sub salisilat mengikat asam
empedu yang toksis terhadap usus menjadi kompleks yang tidak larut dan
dikeluarkan bersama tinja sehingga stimulasi pada usus hilang. Dosis 4-20 gram
cukup efektif dalam mengurangi jumlah tinja.
d. Mikronutrien
Berbagai mikronutrien seperti vitamin A, B12, asam folat, dan seng sangat
berguna untuk regenerasi mukosa dan reaksi imunologis. Penelitian yang
memperlakukan pasien dengan pemberian makanan tertentu dan beberapa
mikronutrien lain seperti vitamin A, thiamin, riboflavin, vitamin B6, B12, asam
folat, niasin, asam panthotenat, vitamin C, D, E, zat besi, seng, tembaga, dan
selenium menunjukkan bahwa penambahan berat badan lebih cepat daripada
kelompok kontrol.

Seng memegang peran penting untuk melindungi integritas sel membran


dan mungkin berguna untuk melindunginya dari perlukaan yang diakibatkan
oleh radikal bebas. Pada diare kronik kadar seng berkurang dengan bertambah
beratnya penyakit sehingga pemberian seng dapat memperbaiki status seng
penderita. Suplemen seng juga baik dalam rehabilitasi nutrisi untuk
meningkatkan berat badan anak dengan diare kronik.
Defisiensi vitamin A juga merupakan faktor risiko berkembangnya diare
kronik. Penelitian pada beberapa kasus mendapatkan bahwa pemberian vitamin
A dapat mengurangi risiko diare. Vitamin A dapat memperbaiki pertumbuhan
anak dengan HIV dan malaria serta menurunkan risiko stunting dalam
hubungannya dengan diare persisten.
Menurut Ghishan,2 penatalaksanaan diare kronik mengutamakan perbaikan status
nutrisi untuk memperbaiki atau mempertahankan pertumbuhan dan perkembangan
yang optimal seperti yang disajikan dalam Gambar 2.Diare kronik
Berat badan
Feses berlemak

Berat & tinggi badan normal,


status nutrisi normal, feses tidak berlemak

Diare kronik non spesifik

Malabsorpsi karbohidrat

Malabsorpsi

Tes diagnostik untuk menentukan etiologi


Asupan jus buah-buahan
Asupan
minuman berkarbonat
Asupan

lemak

Terapi spesifik
Kurangi asupan jusKurangi
buah-buahan
asupan cairan 90 Tingkatkan
mL/kg/24 jam
asupan lemak 35-40%

Intoleransi laktosa

Intoleransi sukrosa

Asupan laktosa

Asupan sukrosa

Perbaikan (-)

Perbaikan (-)

10
Diet bebas laktosa

Diet bebas sukrosa

Gambar 2. Algoritma Tatalaksana Diare Kronik


Dikutip dari: Ghishan2

KESIMPULAN
Diare kronik, walaupun lebih jarang dibandingkan diare akut, tetap penting karena
penatalaksanaannya sulit dan mortalitasnya tinggi. Diare kronik dapat disebabkan oleh
berbagai faktor, namun sering tidak ditemukan penyebab spesifiknya. Patogenesis
terjadinya proses diare kronik sangat kompleks dan multipel, faktor mukosa dan
intraluminal sering terjadi bersamaan sebagai penyebab diare kronik. Pendekatan

11

diagnostik pasien dengan diare kronik dibagi menjadi empat langkah, penting sekali
memastikan apakah pasien benar-benar menderita diare kronis atau bukan.
Penatalaksanaan diare kronik terutama difokuskan pada penyakit yang mendasarinya.

DAFTAR PUSTAKA
1. Soeparto P. Sumbangan dan peran kaum professional dalam mendukung program
penyakit saluran cerna di era otonomi. Kumpulan Makalah Kongres Nasional II
Badan Koordinasi Gastroenterologi Anak Indonesia. 2003. h. 17-27.
2. Ghishan FK. Chronic Diarrhea. Dalam: Behrman RE, Kliegman RM, Jenson HB,
penyunting. Nelson textbook of pediatrics. Edisi ke-18. Philadelpia: Saunders;

12

2008. h. 1621-6.
3. Maarij NFN. Identifikasi drug related problems (DRPs) dalam pengobatan diare
pada anak di instalasi rawat inap rumah sakit umum daerah wonogiri tahun 2007.
(diunduh 21 September 2010). Tersedia dari: http://etd.eprints.ums.ac.id.
4. Widaya IW, Gandi. Konsistensi pelaksanaan program serta morbiditas dan
mortalitas diare di era otonomi dan krisis. Kumpulan Makalah Kongres Nasional II
Badan Koordinasi Gastroenterologi Anak Indonesia. 2003. h. 45-54.
5. Suraatmaja S. Gastroenterologi anak. Lab/SMF Ilmu Kesehatan Anak FK
UNUD/RS Sanglah Denpasar: Sagung Seto. 2005.
6. Basu S, Chatterjee M, Ganguly S, Chandra PK. Effect of Lactobacillus
rhamnosus GG in persistent diarrhea in Indian children: A andomized controlled
trial. J Clin Gastroenterol. 2007;41:756-60.
7. Andrade JAB, Murcira C, Neto UF. Persistent diarrhea. Jurnal de Pediatrica.
2000;76:S119-24.
8. Doria RD, Abad MM, Bello J, Reyes RR, Costibolo ES. Chronic diarrhea in
infancy and childhood: a five year retrospective study. Phil J Microbiol Infect
Dis.1985;14:65-75.
9. Bhutta ZA, Ghishan F, Lindley K, Memon IA, Mittal S, Rhoads JM. Persistent
and chronic diarrhea and malabsorption: working group report of the second
world congress of pediatric gastroenterology, hepatology, and nutrition. Journal
of Pediatric Gastroenterology and Nutrition. 2004:39:S711-6.
10. Pediatric Associates of Plano. Chronic Diarrhea. 2007 (diunduh 21 September
2010). Tersedia dari: http://www.planopeds.com.
11. Sutadi SM. Diare kronik. 2003 (diunduh 21 September 2010). Tersedia dari:
http://library.usu.ac.id.
12. Sondheimer JM, Sundaram S. Gastrointestinal tract: chronic diarrhea. Dalam: Hay
WW, Levin MJ, Sondheimer JM, Deterding RR, penyunting. Current diagnosis &
treatment. Edisi ke-19. New York: McGraw Hill. 2009. h. 594-6.
13. Baldassano R. Chronic diarrhea. Dalam: Schwartz MW, penyunting. Clinical
handbook of pediatrics. Edisi ke-3. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins.
2003.h.262-7

13

Anda mungkin juga menyukai