DAFTAR ISI
i
ii
iii
iv
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Pemilihan Judul
B. Pokok-pokok Permasalahan ...
C. Metode Penelitian ...
D. Kerangka Landasan Teori ..
E. Kerangka Konsepsional .
F. Sistematika Penulisan .
1
1
2
4
5
11
13
BAB II
15
B.
15
15
16
17
21
21
22
23
a. Pengertian Arbitrase
23
24
c. Jenis-JenisArbitrase .
25
26
e. Kewenangan Mengadili ..
30
4. Prinsip-Prinsip
C.
yang
Berkaitan
dengan
Kewenangan Mengadili
31
32
32
35
2
BAB III
37
38
40
42
A.
42
B.
54
C.
55
D.
62
62
64
DAFTAR PUSTAKA
72
72
72
74
Lampiran I
Contract Between The World Food Programme (WFP) And Yasmina-Regarding The
Implementation Of Community Development Project Under The OPSM Trust Fund During The
Period 1 Feruary 2005 to 30 June 2005 ....
Lampiran II
Panduan Teknis untuk Operasi Pasar Swadaya Masyarakat (OPSM) ...
Lampiran III
UNCITRAL Arbitration Rules
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Sudargo Gautama, Pengantar Hukum Perdata Internasional Indonesia, Binacipta, Bandung, 1987, hlm. 21.
Hukum yang dimaksud dalam konteks ini adalah hukum materil suatu negara tertentu sesuai dengan pilihan hukum
atau yang dirujuk sesuai dengan kaidah-kaidah HPI.
4
Selain dikenal adanya pilihan forum, di dalam suatu kontrak yang mengandung
unsur-unsur asing, dikenal pula pilihan hukum. Oleh karena itu, manakala terjadi
perselisihan antara para pihak, hukum yang akan dipergunakan adalah pilihan hukum yang
dipilih oleh para pihak.
Namun, adakalanya dalam suatu kontrak, para pihak tidak mengadakan pilihan
hukum. Untuk menjawab permasalahan tersebut, dapat digunakan bantuan titik-titik taut
penentu atau titik-titik taut sekunder yang penggunaannya tergantung pada teori yang
dianut oleh negara hakim yang bersangkutan.
Dalam salah satu klausula kontrak antara WFP dan Yasmina disebutkan bahwa
manakala terjadi perselisihan akan diselesaikan secara musyawarah antara kedua belah
pihak. Selain itu, disebutkan pula apabila cara tersebut tidak mendatangkan penyelesaian,
para pihak sepakat untuk menyelesaikannya melalui arbitrase dengan menggunakan
Arbitration Rules dari United Nations Commision on Internasional Trade Law 4. Dengan
demikian, ketentuan beracara arbitrase antara WFP dan Yasmina didasarkan pada
UNCITRAL Arbitration Rules.
Dipilihnya penyelesaian sengketa melalui arbitrase didasarkan pada pertimbangan
bahwa cara tersebut lebih menguntungkan kedua belah pihak, mengingat hubungan
kerjasama bersifat perdata dan merupakan hubungan antar lembaga. Selain itu,
dikarenakan WFP masih di bawah naungan PBB maka aturan arbitrase yang dipakai adalah
aturan arbitrase yang diakui oleh lembaga tersebut, yang dalam hal ini adalah UNCITRAL
Arbitration Rules.
Berkaitan dengan hal di atas, masih terdapat suatu pertanyaan tentang hukum
manakah yang akan dipergunakan manakala terjadi sengketa antara WFP dan Yasmina.
Dengan dipilihnya UNCITRAL Arbitration Rules sebagai rules dalam penyelesaian
sengketanya, maka jawaban pertanyaan di atas dapat kita telusuri dari ketentuan-ketentuan
hukum acara dalam UNCITRAL Arbitration Rules.
Pasal 33 paragrap (1) UNCITRAL Arbitration Rules disebutkan:
The arbitral tribunal shall apply the law designated by the parties as applicable to
the substance of the dispute. Failing such designation by the parties, the arbitral
tribunal shall apply the law determined by the conflict of laws rules which it
considers applicable.
Selanjutnya dalam Pasal 16 UNCITRAL Arbitration Rules sisebutkan:
Unless the parties have agreed upon the place where the arbitration is to be held,
such place shall be determined by the arbitral tribunal, having regard to the
circumstances of the arbitration.
Berdasarkan ketentuan tersebut, hukum yang dipergunakan oleh panitia arbitrase,
yang pertama-tama adalah hukum yang dikehendaki oleh para pihak sendiri dan apabila
pilihan hukum tersebut tidak ada, maka panitia arbitrase akan menggunakan hukum yang
ditentukan oleh kaidah-kaidah HPI yang dianggap harus diperlakukan oleh panitia
arbitrase. Selanjutnya, panitia arbitrase dapat menentapkan tempat arbitrase di dalam
wilayah negara yang sudah disepakati oleh para pihak dan dapat mendengar keterangan
saksi dan mengadakan pertemuan untuk berkonsultasi antara sesama anggota dimanapun
yang dianggap pantas dengan mempertimbangkan segala keadaan sekitar arbitrase.
Persoalannya, UNCITRAL sendiri tidak mendirikan lembaga arbitrase berkenaan
dengan rules itu, sehingga para pihak dapat memilih arbitrase ad hoc atau arbitrase
institusional untuk menyelesaikan sengketanya, yang dalam melaksanakan fungsinya akan
menggunakan UNCITRAL Arbitration Rules.5
Dengan latar belakang yang telah diuraikan diatas secara singkat, maka penulis
akan menyoroti klausula-klausula yang terdapat dalam Kontrak anrata WFP dan Yasmina
untuk mencari forum manakah yang berwenang dan hukum manakah yang berlaku
manakala timbul perselisihan antara WFP dan Yasmina.
B.
Pokok-Pokok Permasalahan
Berdasarkan uraian di atas, maka dapat dirumuskan pokok-pokok permasalahan,
sebagai berikut:
Ida Bagus Wyasa Putra, Aspek-Aspek Hukum Perdata Intemasional dalam Transaksi Bisnis Intemasional, Refika
Aditama, Bandung, 1997, hlm. 86.
6
1.
2.
Hukum manakah yang akan mengatur dan menyelesaikan apabila timbul persetisihan
dalam kontrak antara WFP dan Yasmina?
C.
Metode Penelitian
Metode Penelttian yang digunakan dalam penulisan paper ini adalah metode
sebagai berikut:
1.
Metode Pendekatan
Metode pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan yuridis
normatif, yaitu dengan mengkaji Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang
Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, UNCITRAL Arbitration Rules, pasalpasal dalam kontrak antara WFP dan Yasmina, kaidah-kaidah HPI dalam bidang
hukum kontrak dan hukum acara perdata internasional.
2.
Spesifikasi penelitian
Spesifikasi yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah berupa deskriptif analitis
yaitu untuk mendapatkan gambaran secara menyeluruh mengenai kaidah-kaidah
penyelesaian sengketa HPI dalam bidang hukum kontrak dan kaidah-kaidah hukum
acara perdata internasional.
3.
Tahap Penelitian
Penelitian ini dilakukan dengan penelitian kepustakaan yang dimaksudkan untuk
mendapatkan data sekunder, berupa bahan-bahan hukum, yaitu:
1)
2)
Bahan hukum sekunder, berupa kontrak antara WFP dan Yasmina, doktrin
para ahli yang berkaitan dengan bidang hukum kontrak dan, hukum acara
perdata internasional, buku atau bahan-bahan yang terkait mengenai kaidahkaidah HPI dalam bidang hukum kontrak dan hukum acara perdata
internasional, serta bahan lain dari situs-situs internet.
3)
Bahan hukum tersier, berupa kamus-kamus yang memberikan pengertianpengertian dasar yang menunjang.
4.
Alternatif
Penyelesaian
Sengketa
dan
ketentuan-ketentuan
UNCITRAL
Analisis Data
Metode yang digunakan untuk menganalisis data adalah metode yuridis
kualitatif, karena dari data yang diperoleh selanjutnya disusun secara sistematis,
selanjutnya dianalisa secara kualitatif untuk mencapai kejelasan masalah yang dibahas
tanpa mempergunakan rumus dan angka-angka.
D.
(Internationaal
privaatrecht
is
rechtstoepassingsrecht/Applicable
Sudargo Gautama, Hukum Perdata fnternasional Indonesia, Jilid III Bagian II (Buku 8). Alumni, Bandung, 2002,
hlm. 210.
10
Ibid.
11
Ibid.
12
13
Ibid.
10
Tentunya yang paling terjamin apabila gugatan diajukan di hadapan pengadilan di mana
pihak tergugat (dan benda-bendanya) berada.14
Selain itu, prinsip forum of conveniens pun perlu diperhatikan. Prinsip ini
mengemukakan bahwa forum yang berwenang harus menguntungkan tergugat. 15 Dalam hal
ini, penggugat tidak boleh menyulitkan tergugat dengan mengajukan gugatan di tempat
yang tidak mempunyai hubungan dengan perkara, sehingga tidak akan ada kesulitan dalam
pengumpulan bukti-bukti yang dibutuhkan.
Selain pemilihan forum pengadilan suatu negara tertentu, para pihak dapat memilih
arbitrase sebagai pilihan forumnya. Bilamana para pihak telah memilih forum arbitrase
baik melalui sistem factum de compromitendo16 maupun akta kompromis17, maka arbitrase
memiliki kewenangan atau kompetensi absolut untuk menyelesaikan perkaranya.
Berkaitan dengan kontrak antara WFP dan Yasmina, pada Article 10, disebutkan
bahwa manakala terjadi perselisihan akan diselesaikan secara musyawarah antara kedua
belah pihak. Apabila cara tersebut tidak mendatangkan penyelesaian, para pihak sepakat
untuk menyelesaikannya melalui arbitrase dengan menggunakan UNCITRAL Arbitration
Rules.
Dengan dipilihnya UNCITRAL Arbitration Rules sebagai rules, maka penyelesaian
sengketa ini akan memperhatikan ketentuan-ketentuan dari UNCITRAL Arbitration Rules
yang diklasifikasikan atas empat bagian, yaitu :
1.
2.
14
Ibid.
15
16
Sebelum terjadi sengketa diantara para pihak, telah dimasukkan atau dibuat klausula arbitrase di dalam kontrak
yang bersangkutan. Lihat Gunawan Widjaja dan Ahmad Yani. Hukum Arbitrase, Raja Grafindo Persada, Jakarta,
2001, hlm. 47.
17
Apabila di dalam suatu kontrak yang dibuat para pihak tidak terdapat klausula arbitrase, kemudian terjadi
sengketa atau perselisihan, dan mereka sepakat menyelesaikannya melalui arbitrase, maka kesempatan penyelesaian
sengketa melalui arbitrase harus dituangkan dalam perjanjian tersendiri. Lihat, Ibid, hlm. 48.
11
3.
4.
berkenaan dengan rules itu. Oleh karena itu, maka para pihak dapat memilih arbitrase ad
hoc atau lembaga arbitrase (arbitral institution) yang ada untuk membantu mereka dalam
menyelenggarakan arbitrase bersangkutan. Lembaga arbitrase ini dalam hal demikian akan
memakai kaedah-kaedahnya sendiri. Dengan demikian maka arbitrase yang dilakukan itu
akan merupakan suatu arbitrase ad hoc yang diatur oleh lembaga-lembaga arbitrase yang
sudah ada (administered ad hoc arbitration).18
Mengenai masalah tempat arbitrase, pada prinsipnya akan dilakukan di tempat yang
telah dimusepakati para pihak. Namun, apabila para pihak tidak mengadakan pilihan, maka
panitia arbitrase yang akan menentukan tempat itu dan dalam hal ini maka akan
diperhatikan segala keadaan sekitar arbitrase ini (circumstances of arbitration).19
Selain masalah forum manakah yang berwenang mengadili, timbul masalah lain
berkaitan dengan hukum (materiil) mana yang akan berlaku adalah hukum yang dipilih
sendiri oleh para pihak. Pilihan hukum dalam hukum perjanjian adalah kebebasan yang
diberikan kepada para pihak untuk memilih sendiri hukum yang hendak dipergunakan
untuk perjanjian mereka.20
Namun, dalam keadaan para pihak tidak mengadakan pilihan hukum, dapat
digunakan bantuan teori-teori HPI sesuai dengan yang dianut oleh negara hakim yang
bersangkutan.21
18
19
Rules :
(1) Unless the parties have agreed upon the place where the arbitration is to be held, such place shall be
determined by the arbitral tribunal, having regard to the circumstances of the arbitration.
(2) The arbitral tribunal may determine the locale of the arbitration within the country agreed upon the parties. It
may hear witnesses and hold meetings for consultation among its members at any place it deems appropriate,
having regard to the circumstances of the arbitration.
20
Sudargo Gautama, op. cit, hal 5, lihat pula Subekti, Hukum Perjanjian, Alumni Bandung,1987, hlm. 11.
21
Ibid.
12
Dalam HPI terdapat beberapa teori dalam menentukan hukum mana yang berlaku
dalam suatu kontrak, yaitu :
1.
2.
3.
4.
22
Ridwan Khairandy, Nandang Sutrisno, dan Jawahir Thontowi, Pengantar Hukum Perdata Internasionai
Indonesia, Gama Media, Yogyakarta, 1999, hlm. 114.
23
24
Ibid.
25
forum manakah yang berwenang mengadili dan hukum negara manakah yang akan
dipergunakan manakala timbul perselisihan dalam kontrak antara WFP dan Yasmina,
bertitik tolak pada hal-hal yang telah diutarakan di atas.
E.
Kerangka Konsepsional
Berikut ini akan diuraikan konsep-konsep yang akan dipergunakan dalam penelitian
ini dengan tujuan menghindarkan perbedaan pengertian dan memperoleh pemahaman yang
sama. Istilah-istilah tersebut tersebut:
1.
HPI
Istilah HPI yang digunakan dalam paper ini mengacu pada istilah Private
International Law, International Private Law, Internationales Privaatrecht, Droit
International Prive, Dirritto Internazionale Privato.26 HPI didefinisikan sebagai
keseluruhan peraturan dan keputusan hukum yang menunjukkan stelsel hukum
manakah yang berlaku, atau apakah yang merupakan hukum, jika hubunganhubungan atau peristiwa-peristiwa antara warga (-warga) negara pada suatu waktu
tertentu memperlihatkan titik pertalian dengan stelsel-stelsel dan kaidah-kaidah
hukum dari 2 (dua) atau lebih negara, yang berbeda dalam lingkungan kuasa, tempat,
pribadi dan soal-soal.27 Dengan demikian, pengertian internasional bukan diartikan
sebagai law of nations, bukan hukum antar negara, tetapi internasional ini harus
diartikan sebagai ada unsur luar negerinya atau unsur asing (foreign element).28
2.
Pilihan Hukum
Pilihan hukum diartikan sebagai kebebasan yang diberikan kepada para pihak
untuk memilih sendiri hukum yang hendak dipergunakan untuk perjanjian mereka. 29
Tujuan penerapan pilihan hukum adalah perlakuan sama untuk kasus serupa, dan
26
27
28
29
Pilihan Forum
Pilihan forum ini dumaksudkan bahwa para pihak di dalam kontrak bersepakat
memilih forum atau lembaga yang akan menyelesaikan perselisihan yang mungkin
timbul diantara kedua belah pihak. Menurut Convention on the Choice of Court 1965,
pilihan forum terbuka untuk perkara perdata atau dagang yang mempunyai sifat
internasional. Pilihan forum dalam hal ini tidak berlaku bagi:30
1. status atau kewenangan orang atau hukum keluar, termasuk kewajiban atau hakhak pribadi atau finansial antara orang tua dan/ atau antara suami dan. istri;
2. permasalahan alimentasi yang tidak termasuk dalam butir a;
3. warisan;
4. kepailitan;
5. hak-hak atas benda tidak bergerak
4.
F.
Sistematika Penulisan
30
31
menentukan hukum yang berlaku (pilihan hukum, teori lex loci contractus, teori lex loci
solutionis, teori the proper law of the contract, dan teori the most characteristic
connection).
BAB IV KESIMPULAN DAN SARAN
Sebagai bab terakhir maka di dalamnya akan dirumuskan secara singkat, padat dan
jelas, hal-hal yang dapat disimpulkan dan juga saran dari hasil penelitian paper ini.
Kesimpulan ini akan menjawab pokok-pokok permasalahan dalam penelitian ini.
Selanjutnya akan disampaikan saran sebagai tindak lanjut dan perbaikan yang perlu
berdasarkan pembelajaran dari kasus yang diteliti.
17
BAB II
TINJAUAN UMUM TERHADAP KAIDAH HPI YANG TERKAIT DENGAN KONTRAK
YANG MENGANDUNG UNSUR-UNSUR ASING
A.
32
33
diartikan sebagai ada unsur luar negerinya atau unsur asing.34 Unsur-unsur inilah yang
menjadikan hubungan-hubungan tersebut menjadi internasional (obyeknyalah yang
internasional), sedangkan kaidah-kaidah HPI adalah hukum perdata nasional. Dengan
demikian, masing-masing negara yang ada di dunia ini memiliki HPI sendiri, sehingga
akan dikenal HPI Indonesia, HPI Jerman, HPI Inggris, HPI Belanda, dan sebagainya. 35
2. Ruang Lingkup HPI (HPI)
Menurut Sudargo Gautama, ruang lingkup HPI, yaitu :36
a. HPI = rechtstoepassingsrecht
HPI
hanya
terbatas
pada
masalah
hukum
yang
diberlakukan
35
36
Pemeriksaan
suatu
Perkara
HPI
37
Sunaryati Hartono, Pokok-Pokok Hukum Perdata Intemasional, Putra A. Bardin, Bandung, 2001, hlm. 13-14.
38
39
Sunaryati Hartono, op .cit, hlm. 81-82. Lihat juga Bayu Seto, op. cit, hlm. 9-14.
40
41
42
Lex fori adalah sistem hukum dari tempat dimana persoalan hukum diajukan sebagai perkara. Dengan kata lain,
lex fori adalah hukum dari forum tempat perkara diselesaikan. Lihat Bayu Seto, op.cit, hlm.10.
43
Kualifikasi fakta adalah proses kualifikasi yang dilakukan terhadap sekumpulan fakta di dalam sebuah peristiwa
hukum untuk ditetapkan menjadi satu atau lebih peristiwa atau masalah hukum (legal issues), sesuai dengan
klasifikasi kaidah-kaidah hukum yang berlaku di dalam suatu sistem hukum tertentu. Lihat Ibid, hlm. 47.
44
Kualifikasi hukum adalah penetapan tentang penggolongan/pembagian seluruh kaidah hukum di dalam sebuah
sistem hukum ke dalam pembidangan, pengelompokan, atau kategori hukum tertentu. Ibid, hlm.48.
22
tahap ini harus dicari titik-titik pertalian sekunder (TPS) yang dilakukan
berdasarkan lex fori, oleh karena sampat tahap ini belum ada sistem hukum lain
yang ditemukan. TPS adalah faktor-faktor atau sekumpulan fakta yang menentukan
hukum mana yang harus digunakan atau berlaku dalam suatu hubungan HPI. 45 IPS
seringkali disebut titik taut penentu, karena fungsinya akan menentukan hukum dari
tempat manakah yang akan digunakan (lex causae) dalam penyelesaian suatu
perkara.46 Dalam praktik, terkadang lex causae ini adalah lex fori juga, maka usaha
selanjutnya diteruskan menurut lex fori. Selain itu, terkadang lex causae ditentukan
oleh
tempat
ditandatanganinya
kontrak
(lex
loci
contractus),
tempat
sebagai
berikut:
"Masalah-masalah
hukum
yang
timbuldari
pelaksanaan suatu kontrak (ini adalah kategori perkara hasil kualifikasi) harus
diatur berdasarkan hukum dari tempat di mana kontrak itu dilaksanakan. Dengan
demikian, karena fakta dalam perkara menunjukkan bahwa tempat pelaksanaan
kontrak (pembangunan sanitasi umum dan pemberian dana) adalah di Indonesia,
maka hukum Indonesia-lah yang harus dianggap sebagai lex causae. Artinya,
kaidah-kaidah hukum perdata intern Indonesia-lah yang akan digunakan untuk
menyelesaikan perkara hukum yang sedang dihadapi.
d. Setelah lex causae diketahui, maka kualifikasi dan penentuan perkara HPI
selanjutnya dilakukan menurut lex causae. Dihubungkan dengan contoh di atas,
hakim akan memutus perkara tentang wanprestasi dalam pelaksanaan kontrak
dengan menggunakan kaidah-kaidah hukum di dalam Kitab Undang-Undang
Hukum Perdata Indonesia (KUH Perdata). Namun, apabila lex causae memberi
hasil yang :
1) Bertentangan dengan ketertiban umum lex fori, maka lex fori-lah yang berlaku;
atau
45
46
Forum yang Berwenang Menyelesaikan Perselislhan yang Timbul dalam Kontrak yang
Mengandung Unsur-Unsur Asing
Yurtsdiksi suatu forum di dalam HPI merupakan kekuasaan dan kewenangan suatu
forum untuk memeriksa dan menentukan suatu permasalahan yang dimintakan kepadanya
untuk diputuskan dalam setiap kasus yang melibatkan paling tidak satu elemen hukum
asing yang relevan.47
Untuk menjalankan yurisdiksi yang diakui secara internasional, suatu forum harus
mempunyai kaitan tertentu dengan para pihak atau harta kekayaan yang dipersengketakan. 48
Mengenai persoalan forum mana yang berhak untuk mengadili harus diperhatikan
masalah pilihan forum (forum pengadilan atau forum arbitrase), kewenangan mengadili dan
prinsip-prinsip yang berkaitan dengan kewenangan mengadili.
1. Pilihan Forum
Di dalam suatu kontrak internasional, selain dikenal adanya pilihan hukum
(choice of law) juga dikenal adanya pilihan forum (choice of forum). Pilihan forum ini
bermakna, bahwa para pihak di dalam kontrak bersepakat memilih forum atau lembaga
yang akan menyelesaikan perselisihan yang mungkin timbul diantara kedua belah
pihak.
Menurut Convention on the Choice of Court 1965, pilihan forum terbuka untuk
perkara perdata atau dagang yang mempunyai sifat internasional. Pilihan forum tidak
berlaku bagi:49
a. status atau kewenangan orang atau hukum keluar, termasuk kewajiban atau hak-hak
pribadi atau fmansial antara orang tua dan/ atau antara suami dan. istri;
47
Ridwan Khairandy, Nandang Sutrisno, dan Jawahif Thontowi, op.cit, hlm. 141.
48
Ibid.
49
50
Bandingkan dengan Ridwan Khairandy, Nandang Sutrisno, dan Jawahir Thontowi op.cit, hlm. 147.
51
Ibid.
52
Salim, H.S., Hukum Kontrak (Teori dan Teknik Penyusunan Kontrak), Sinar Grafika, Jakarta, 2005, hlm. 141.
54
Pactum de compromittendo
Dalam pactum de compromittendo, para pihak mengikat kesepakatan
akan menyelesaikan perselisihan melalui forum arbitrase sebelum terjadi
perselisihan yang nyata.
Bentuk klausula pactum de compromittendo ini diatur dalam Pasal 7
Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang tentang Arbitrase dan
Alternatif Penyelesaian Sengketa. Pasal tersebut berbunyi: Para pihak dapat
menyetujui suatu sengketa yang terjadi atau yang akan terjadi antara mereka
untuk diselesaikan melalui arbitrase.
Berdasarkan Pasal 7 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang
Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, cara pembuatan klausula
pactum de compromittendo ada dua cara, yaitu dengan mencantumkan klausula
arbitrase yang bersangkutan dalam perjanjian pokok atau dibuat terpisah dalam
akta tersendiri.
2)
Akta Kompromis
Dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan
Alternatif Penyelesaian Sengketa, akta kompromis diatur dalam Pasal 9 yang
berbunyi:
(1) Dalam hal para pihak memilih menyelesaikan sengketa melalui arbitrase
setelah sengketa terjadi, persetujuan mengenai hal tersebut harus dibuat
dalam suatu perjanjian tertulis yang ditandatangani oleh para pihak.
(2) Dalam hal para pihak tidak dapat menandatangani perjanjian tertulis
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), perjanjian tertulis tersebut harus
dibuat dalam bentuk akta notaris.
55
(3) Perjanjian tertulis sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) harus memuat:
a) masalah yang dipersengketakan;
b) nama lengkap dan tempat tinggal para pihak;
c) nama lengkap dan tempat tinggal arbiter atau rnajelis arbitrase;
d) tempat arbiter atau majelis arbitrase akan mengambil keputusan;
e) nama lengkap sekretaris;
f) jangka waktu penyelesaian sengketa;
g) pernyataan kesediaan arbiter; dan
h) pernyataan
kesediaan
para
pihak
yang
bersengketa untuk
56
Ibid, hlm.52-54.
28
2) Arbitrase institusional
Arbitrase institusional merupakan lembaga atau badan arbitrase yang
sifatnya permanen. Karena sering juga disebut permanent arbitration
sebagaimana dalam Pasal 1 ayat (2) Konvensi New York 1958, arbitrase ini
disedikan oleh organisasi tertentu dan sengaja didirikan untuk menampung
perselisihan yang timbul dari perjanjian. Selain itu, arbitrase institusional ini
sudah ada sebelum sengketa timbul yang berbeda dengan arbitrase ad hoc yang
baru dibentuk setelah perselisihan timbul.
d. UNCITRAL Arbitration Rules
UNCITRAL Arbitration Rules merupakan suatu set kaidah-kaidah yang
mengatur apa yang dinamakan ad hoc arbitration, Arbitrase secara ad hoc ini adalah
arbitrase yang tidak diselenggarakan oleh suatu atau melatui suatu badan lembaga
arbitrase tertentu (institutional abitration). Para pihak dapat menunjuk kepada
kaidah-kaidah UNCITRAL Arbitration Rules ini dengan cara memasukkan
Arbitration Clause di dalam kontrak mereka. Arbitration clause ini menyatakan
secara tegas bahwa semua sengketa yang akan timbul dari atau berkenaan dengan
kontrak mereka ini akan diselesaikan secara final dan mengikat dengan cara
arbitrase sesuai dengan ketentuan-ketentuan UNCITRAL Arbitration Rules.57
Kaidah-kaidah ini bersifat optional di dalam arbitrase ad hoc. Artinya
bahwa para pihak tidak diwajibkan untuk memakainya. Mereka dapat memilih
untuk memakainya atau tidak.
Mengingat UNCITRAL sendiri tidak mendirikan lembaga arbitrase, maka
para pihak dapat memilih ad hoc arbitration atau memilih lembaga arbitrase yang
ada untuk membantu mereka dalam menyelenggarakan arbitrase bersangkutan.
Lembaga
arbitrase
ini
dalam
hal
demikian akan
memakai
kaedah-
kaedahnya sendiri. Dengan demikian maka arbitrase yang dilakukan itu akan
merupakan suatu ad hoc arbitration yang diatur oleh lembaga-lembaga arbitrase
57
58
Ibid.
30
3)
Proses
Pemeriksaan
(arbitral
proceeding),
Pasal
15-30
UNCITRAL
Arbitration Rules;
Pada prinsipnya akan diterima tempat yang telah dimufakati oleh para
pihak sebagai tempat untuk melaksanakan arbitrase.
Dalam hal para pihak tidak menentukan tempat arbitrase, tempat itu
akan ditentukan oleh panitia arbitrase dengan memperhatikan segala keadaan
sekitar arbitrase (circumstances of the arbitration). Mengenai bahasa yang
akan digunakan akan ditentukan oleh arbiter setelah pengangkatannya. Selain
itu, dalam section ini pun diatur mengenai isi dari surat gugatan, yang meliputi:
a. nama dan alamat dari para pihak (the name and addresses of the parties),
b. fakta-fakta yang
mendukung
klaim
bersangkutan
(a statement of
59
60
62
Ibid.
34
C. Hukum
yang
Unsur Asing
Kontrak adalah persetujuan di antara 2 (dua) atau lebih orang yang berisi sebuah janji
atau janji-janji yang bertimbal balik yang diakui berdasarkan hukum, atau yang
pelaksanannya diakui sebagai suatu kewajiban hukum.65
Dalam HPI, persoalan bidang hukum kontrak pada dasarnya berkisar pada penentuan
hukum yang harus berlaku atas masalah-masalah yang timbul dari suatu kontrak. Oleh karena
itu, terdapat beberapa teori dalam menentukan hukum manakah yang berlaku dalam suatu
kontrak, yaitu pilihan hukum (choice of law), teori lex loci contractus, teori lex loci
solutionis, teori the proper law of contract, dan teori the most characteristic connection.
1. Pilihan hukum
Setiap orang pada dasarnya memiliki kebebasan untuk mengikatkan diri pada
perjanjian (asas kebebasan berkontrak, freedom to contract, atau party autonomy). Dalam
perkembangannya kebebasan para pihak untuk berkontrak ini dimanifestasikan pula
63
Ibid.
64
65
dalam kebebasan untuk menentukan hukum yang berlaku untuk mengatur kontrak yang
mereka buat (freedom to choose the applicable law).66
Bila dalam suatu kontrak, terdapat klausula pilihan hukum, maka hukum yang
berlaku bagi kontrak tersebut adalah hukum sebagaimana yang ditunjuk dalam kontrak
tersebut, karena apa yang telah disepakati oleh kedua belah pihak tadi berlaku sebagai
undang-undang bagi mereka yang membuatnya.67
Pada dasarnya para pihak bebas untuk melakukan pilihan hukum dengan
mengingat beberapa pembatasan sebagai berikut:68
a. Pilihan hukum hanya dibenarkan dalam bidang hukum kontrak. Dalam bidang hukum
kekeluargaan tidak dapat diadakan pilihan hukum, karena bidang hukum ini tidak
dipandang sebagai suatu wirtschaftseinheit demi kepentingan seluruh masyarakat dan
keluarga.
b. Pilihan hukum tidak boleh mengenai hukum yang bersifat memaksa.
Pilihan hukum tidak boleh diadakan untuk perjanjian-perjanjian pacht,
perjanjian sewa benda tidak bergerak, perjanjian yang dilangsungkan di bursa-bursa,
dan perjanjian kerja, karena perjanjian-perjanjian di bidang-bidang tersebut bersifat
ordeningsvoorschriften yang diadakan oleh pemerintah untuk mengatur hukum
perdata dengan ciri-ciri hukum publik.
c. Pilihan hukum tidak boleh menjelma menjadi penyelundupan hukum.
Pilihan hukum tidak boleh diadakan bila dalam kontrak tersebut terdapat titik
pertalian lain yang jauh lebih kuat dari pada pilihan hukum. Pilihan hukum ini hanya
dapat made with a bonafide intention, tidak ada khusus memilih suatu tempat tertentu
untuk maksud menyelundupkan peraturan-peraturan lain, karenanya harus not
fictitious, based on a normal relation dan harus memperlihatkan adanya a natural
and vital connection, a substantial connection antara kontrak dan hukum yang dipilih.
66
67
Ridwan Khairandy, Nandang Sutrisno, dan Jawahir Thontowi, op. cit, hlm. 108.
68
Pilihan hukum itu sendiri dapat dilakukan dengan beberapa cara, yaitu:69
a. Pilihan hukum secara tegas
Pada pilihan hukum secara tegas ini para pihak yang mengadakan kontrak
secara tegas dan jelas menentukan hukum negara mana yang mereka pilih. Hal
tersebut biasanya muncul dalam klausula governing law atau applicable law yang
misalnya berbunyi; this contract will be governed by the laws of the Republic of
Indonesia.
b. Pilihan hukum secara diam-diam
Di samping pilihan hukum secara tegas, para pihak dapat juga memilih hukum
secara diam-diam (stilzwijgend, implied, tacitly). Untuk mengetahui adanya pilihan
hukum tertentu yang dinyatakan secara diam-diam, bisa disimpulkan dari maksud
atau ketentuan-ketentuan, dan fakta-fakta yang terdapat dalam kontrak. Misalnya :
jika para pihak memilih domisili pada Kantor Pengadilan Negeri di negara X, maka
dapat disimpulkan bahwa para pihak secara diam-diam menghendaki berlakunya
hukum negara X.
Keberatan terhadap pilihan hukum secara diam-diam ini adalah jika sang
hakim hendak melihat adanya suatu pilihan yang sebenarnya tidak ada (fictief). Oleh
karena itu, hakim hanya menekankan kepada kemauan para pihak yang diduga
(vermoedelijke partijwil) dan yang dikedepankan adalah kemauan para pihak yang
fiktif.
c. Pilihan hukum secara dianggap
Pilihan hukum secara dianggap ini hanya merupakan preasumption iuris, suatu
rechtsvermoeden. Maksudnya, hakim menerima telah terjadi suatu pilihan
berdasarkan dugaan-dugaan hukum belaka. Pada pilihan hukum yang demikian ini
tidak dapat dibuktikan menurut saluran yang ada. Dugaan hakim merupakan
69
pegangan yang dipandang cukup untuk mempertahankan bahwa para pihak benarbenar telah menghendaki berlakunya suatu sistem hukum tertentu.
d. Pilihan hukum secara hipotesis
Dalam pilihan hukum secara hipotesis hakim bekerja dengan fiksi : seandainya
para pihak telah memikirkan hukum yang dipergunakan, hukum manakah yang
dipilih mereka dengan cara sebaik-baiknya. Jadi, sebenarnya tidak ada pilihan hukum
dari para pihak, justru hakim-lah yang memilih hukum tersebut.
2. Teori Lex Loci Contractus
Menurut teori klasik lex loci contractus, hukum yang berlaku bagi suatu kontrak
internasional adalah hukum di tempat perjanjian atau kontrak itu dibuat, diciptakan,
dilahirkan.70 Dengan demikian hukum yang berlaku adalah hukum di tempat perjanjian
atau kontrak itu ditandatangani.
Penerapan teori ini memang sangat cocok pada zamannya di mana dulu biasanya
para pihak yang mengadakan kontrak berada pada tempat yang sama, para pihak
langsung bertemu muka.71 Di masa modern ini tampaknya sudah tidak memadai lagi,
terutama bila dikaitkan dengan kontrak-kontrak yang diadakan antara pihak-pihak yang
tidak berhadapan satu sama lain (intrerabsentes). Hal ini disebabkan semakin banyak
kontrak yang dibuat dengan bantuan sarana komunikasi modern seperti telex, telegram,
facsimile, sehingga penentuan locus contractus menjadi sulit dilakukan.72
Dalam keadaan demikian sulit-kiranya untuk menentukan hukum negara mana
yang berlaku bagi kontrak itu, karena setiap Negara menganut
berbeda dalam menentukan lex locin contractus, yaitu :
70
71
72
73
pandangan
yang
73
38
74
mungkin
hanya
accidental
dan
sama sekali
irrelevant,untuk pemilihan hukum yang harus dipakai, sama tidak berartinya seperti
tempat-tempat lain yang tersangkut pada kontrak bersangkutan. Misalnya seorang
handelsreiziger (traveling salesman) telah dipekerjakan untuk melakukan perlawatanperlawatan dinasnya ke berbagai negara.78
75
76
77
78
Ibid.
40
80
81
b. bahwa para persero dari Firma Jacobs & Moerman terdiri dari orang-orang Belanda;
c. bahwa perjanjian ini terjadi karena korespondensi yang sebagian dilakukan di
Nederland dan sebagian lagi di London, tetapi dilangsungkan dalam bahasa Belanda;
d. bahwa karena objek perjanjian adalah barang-barang Belanda, yang diproduksi di
Nederland, dan juga telah dibeli di Belanda oleh pihak Van der Horst, untuk
kemudian mengirimkannya kepada Firma Jacobs & Moerman untuk dijualkan
kembali, maka pelaksanaan dari perjanjian ini untuk sebagian besar telah berlangsung
di Nederland.
Dari contoh kasus di atas, hukum Belanda-lah yang dianggap berlaku karena
semua faktor-faktor di atas menunjukkan kepada pemakaian dari hukum Belanda. Oleh
karena itu, hukum yang berlaku bagi sebuah kontrak yang tidak ada pilihan hukumnya
menurut the proper law of contract adalah hukum dari suatu negara di mana suatu
kontrak mempunyai hubungan yang paling erat dan nyata dengan kontrak tersebut. Hal
ini berarti bahwa hakim harus memperhatikan semua unsur-unsur atau faktcr-faktor
subyektif dan obyektif dalam kontrak yang bersangkutan guna mengetahui titik berat
(zwaart-punt) kontrak yang bersangkutan.82
Namun kelemahan teori ini menurut Sudargo Gautama adalah bahwa sebelum
suatu perkara terjadi diajukan ke pengadilan, sukar sekali menentukan terlebih dahulu
hukum mana yang berlaku bagi kontrak tersebut, sebab hakim harus menyelidiki dulu
segala titik taut dan keadaan di sekitar kontrak yang bersangkutan untuk menentukan
hukum negara mana yang berlaku bagi kontrak tersebut.83
5. Teori The Most Characteristic Connection
Menurut Rabbel apabila para pihak dalam suatu kontrak internasional tidak
menentukan sendiri pilihan hukumnya, maka akan berlaku hukum dari negara di mana
kontrak yang bersangkutan memperlihatkan the most characteristic connection.84
82
83
Ibid.
84
Dalam teori ini kewajiban untuk melakukan suatu prestasi yang paling
karakteristik merupakan tolak ukur penentuan hukum yang akan mengatur perjanjian itu.
Dalam setiap kontrak dapat dilihat pihak mana yang melakukan prestasi yang paling
karakteristik dan hukum dari pihak yang melakukan prestasi yang paling karakteristik
inilah yang dianggap sebagai hukum yang harus dipergunakan. Dalam Kamus Besar
Bahasa Indonesia, yang dimaksud dengan karakteristik adalah mempunyai sifat khas
sesuai dengan perwatakan tertentu85, sedangkan dalam buku HPI Indonesia (Jilid III
Bagian 2 Buku ke-8), Sudargo Gautama mengemukakan bahwa karakteristik dapat
berarti typis atau funksional86. Dalam hal ini dilihat bagaimana fungsi dari kontrak yang
bersangkutan, dan dengan sistem hukum manakah kontrak ini dilihat secara fungsional,
sehingga tidak hanya melihat kepada faktor tempat dilakukannya prestasi saja. Selain itu,
karakteristik juga dapat berarti prestasi yang paling berat87, yang berarti prestasi pihak
manakah yang dianggap paling berat. Bahkan, prestasi yang karakteristik dapat berarti
prestasi spesifik88, yaitu prestasi yang bersifat khusus atau khas, jadi adanya hubungan
yang khusus atau khas antara prestasi yang dilakukan dengan tempat prestasi dilakukan.
Seianjutnya, karakteristik pun juga dapat berarti prestasi yang paling kuat89 untuk
menguasai kontrak bersangkutan.
Contoh pemakaian teori the most characteristic connection dapat dilihat dari
putusan Cour de1 Appel de Paris (1955) dalam perkara Societe Jansen di Rorbach
(Saarland) v. Societe Heurtey di Paris:90
Dalam perkara ini, pihak Jansen mengadakan perjanjian jual beli perkakasperkakas industri (apparaten, appareils) dengan pihak Heurtey. Namun, pada praktiknya
muncul persoalan berkaitan dengan perjanjian jual beli tersebut. Dalam putusannya, Cou
d' Appel de Paris menganggap hukum Jerman-lah yang berlaku, dengan pertimbangan
85
Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta,
1990, hlm. 389.
86
87
88
89
Ibid.
90
bahwa karena para pihak tidak mengadakan pilihan hukum, maka harus dilihat faktor
objektif dan keadaan sekitar kontrak. Hubungan yang penting untuk diperhatikan adalah
antara tempat bersangkutan dan pelaksanaan prestasi yang paling karakteristik, yang
dalam hal ini adalah kewajiban untuk menyerahkan perkakas-perkakas industri
(apparaten, appareils) tersebut. Oleh karena itu, hukum yang harus diutamakan adalah
hukum dari negara dimana dilaksanakan kewajiban penyerahan ini, yaitu di Rohrbach
(Jerman) sebagai tempat kedudukan penjual. Menurut Sudargo Gautama, teori the most
charactersitic connection ini mempunyai beberapa kelebihan, yaitu dengan adanya
prinsip prestasi yang paling karaktersitik dapat secara pasti ditentukan terlebih dahulu
untuk setiap kontrak, juga sebelum kontrak diadakan hukum mana yang akan dipakai
untuk kontrak yang bersangkutan.91
Beberapa contoh dari titik-titik taut yang dapat dianggap sebagai karakteristik
untuk perjanjian tertentu, antara lain: letaknya benda untuk perjanjian-perjanjian
berkenaan dengan benda-benda tak bergerak, tempat pelaksanaan dari suatu kontrak
kerja, kontrak perwakilan dagang atau kontrak pengangkutan, jika harus dilaksanakan
dalam negara tertentu.92
91
92
BAB III
ANALISIS TERHADAP KONTRAK ANTARA WFP DAN YASMINA
94
Berdasarkan ketentuan pasal ini, tujuan dibuatnya kontrak ini adalah untuk
mengatur masalah permodalan bagi pembiayaan pelaksanaan CDP, pelaporan, dan
pertanggungjawaban Yasmina sebagai partner WFP.
3. Jangka Waktu, Saat Dimulai dan Berakhirnya Kontrak
Pelaksanaan kontrak tidak boleh melebihi waktu lima bulan dari saat pembayaran
angsuran pertama. Ini akan dilaksanakan mulai dari tanggal 1 FebrUNCITRAL
Arbitration Rulesi 2005 sampai dengan 30 Juni 2005 kecuali jika ditentukan lain oleh
para pihak sesuai dengan kesepakatan. Kontrak ini dapat diakhiri oleh kedua belah pihak
30 hari setelah adanya pemberitahuan tertulis95.
Berdasarkan ketentuan pasal ini, pembangunan sanitasi umum tersebut tidak dapat
melebihi waktu lima bulan dari saat pemberian angsuran pertama, yang akan
dilaksanakan mulai dari tanggal 1 Februari 2005 sampai dengan 30 Juni 2005, kecuali
jika ditentukan lain oleh para pihak sesuai dengan kesepakatan. Selain itu, ketentuan
pasal ini juga menyebutkan bahwa kontrak ini dapat diakhiri oleh kedua belah pihak,
yaitu 30 hari setelah adanya pemberitahuan tertulis.
4. Penerima
Penerima adalah masyarakat miskin di RT04 dan RT05 -RW04, Desa Teluk
Pinang, Ciawi, Bogor96. Berdasarkan ketentuan pasal ini, pembangunan sanitasi umum
tersebut ditujukan bagi masyarakat miskin di RT04 dan RT05 -RW04, Desa Teluk
Pinang, Ciawi, Bogor, yang merupakan target sasaran CDP.
5. Persetujuan Permodalan97
(1) Partner mengajukan proposal pembiayaan untuk CDP.
(2) WFP telah menilai proposal tersebut dan melakukan evaluasi awal di wilayah tempat
masyarakat tersebut tinggal pada bulan Juli 2004.
95
96
97
(3) Komite Pekerja, yang terdiri dari WFP dan Bappenas, telah meninjau proposal,
berdasarkan penilaian WFP. Proposal tersebut sudah diserahkan oleh WFP Country
Director untuk Ketua Komite Penanggung Jawab OPSM untuk pemberian bantuan
dana.
Ketentuan Pasal 5 di atas mengatur masalah mekanisme persetujuan pertnodalan.
Dalam hal ini Yasmina harus mengajukan proposal pembiayaan CDP kepada Komite
Pekerja (yang terdiri dari WFP dan Bappenas). Selanjutnya, proposal tersebut dinilai
berdasarkan hasil evaluasi WFP pada bulan Juli 2004 di RT04 dan RT05 - RW04, Desa
Teluk Pinang, Ciawi, Bogor, yang merupakan lokasi pelaksanaan proyek. Setelah
disetujui, proposal tersebut diserahkan oleh Country Director WFP kepada Ketua Komite
Penanggung Jawab OPSM untuk mendapatkan pembiayaan peiaksanaan proyek.
6. Kewajiban Partner98
Selama berlangsungnya kontrak ini dan sesuai dengan proposal CDP yang telah
disetujui, partner diwajibkan untuk :
(1) melaksanakan CDP sesuai dengan jangka waktu dan ruang lingkup yang telah
disepakati. 50% dari hasil CDP harus memberikan manfaat dan dikelola oleh wanita;
(2) dalam dua minggu setelah proyek disetujui, harus menyerahkan laporan penggunaan
anggaran secara terperinci;
(3) dalam 30 hari setelah proyek disetujui, harus dibentuk Komite CDP, yang terdiri dari
perwakilan masyarakat dan partner untuk mengawasi pelaksanaan proyek. Komite
ini harus terdiri dari 50% wanita;
(4) harus berkonsultasi secara teratur dengan Komite CDP untuk mengetahui kemajuan
dalam pelaksanaan pembangunan dan masalah yang ditemukan di lapangan;
(5) menjamin kepemilikan dari fasilitas tersebut (sesuai dengan Provision of Public
Sanitation facilities for Poor People in RT04 and RT05 - RW04, Village of Teluk
Pinang, Ciawi Sub-district, Bogor District). Dalam hal ini adalah masyarakat RT04
98
dan RT05 - RW04 Desa Teluk Pinang yang telah diketahui tidak mempunyai
struktur sanitasi umum yang pantas. Masyarakat bersangkutan akan bertanggung
jawab dalam merawat dan memelihara fasilitas tersebut. Pemindahan kepemilikan99
akan dilakukan secara tertulis kepada Komite CDP.
(6) menjamin pemeliharaan dari Fasilitas Sanitasi Umum untuk Masyarakat Miskin di
RT04 dan RT05 - RW04, Desa Teluk Pinang, Ciawi, Bogor oleh anggota
masyarakat (sebagian besar wanita).
(7) memantau kemajuan proyek secara berkala;
(8) laporan keuangan dilakukan tiap bulan, sebelum diturunkan angsuran baru dan tiga
bulan setelah proyek selesai; laporan narasi sebelum diturunkan angsuran baru , dan
tiga bulan setelah proyek selesai yang berisi kemajuan dari pelaksanaan proyek sejak
saat dimulai hingga selesai (lihat Annex III);
(9) melengkapi semua dokumen keuangan dalam setiap transaksi keuangan;
(10) memberikan akses kepada WFP dan Pemerintah Indonesia atau pihak yang
ditunjuknya untuk datang ke tempat lokasi, penentuan bahan-bahan dan laporan
setiap saat;
(11) jika terdapat masalah teknis harus meminta petunjuk bantuan teknis pada
WFP/Pemerintah
Indonesia
untuk
semua
persoalan
proyek;
mengenai
99
Pembangunan sanitasi umum tersebut dibangun di atas tanah salah satu anggota masyarakat yang dengan sukarela
menghibahkan tanahnya demi kepentingan umum tersebut. Dengan demikian. kepemilikan tanah tersebut beralih
dari penghibah kepada masyarakat RT04 dan RT05 - RW04, Desa Teluk Pinang, Ciawi, Bogor.
48
104727-093 Citibank, NA, Citibank Tower, Jl. Jenderal Sudirman Kav. 54-55,
Jakarta 12910, Indonesia
(15) masyarakat atau NGO memberikan kontribusi sebesar Rp.30,150,000.- dari seluruh
anggaran belanja;
(16) tanggung jawab penuh terhadap tindakan dan kelalaian dari para anggotanya.
Anggota dari partner bukan sebagai anggota staf atau pekerja dari PBB dan bagianbagiannya.
WFP
tidak
menanggung
segala
biaya
apabila
terjadi
sakit,
ketidakmampuan, kematian atau efek dari bahaya yang mungkin diderita oleh para
pekerja partner, apakah berhubungan dengan proyek atau tidak, atau kehilangan atau
kerusakan barang-barang kepunyaan partner, mitiknya pribadi atau pihak ketiga;
(17) member) informasi kepada penerima dan masyarakat umum bahwa sumber
pembiayaan proyek diberikan WFP dan Pemerintah Indonesia;
(18) pertanggungjawaban teknis100 untuk semua aktivitas dalam proyek CDP. Dalam
pelaksanaan proyek, partner harus mengikuti semua aktivitas yang tertulis secara
detail dalam proposal, bahkan juga harus mengikuti prosedur standar dan teknis
umum. Beton, konstruksi bahan mentah, proses perawatan yang mengikuti standar
teknis harus tersedia dan tepat guna;
(19) menerapkan manajemen terbuka dalam seluruh pelaksanaan proyek. Berkenaan
dengan koordinasi, logistik, program kerja, proses teknis, laporan, penyediaan
barang, kapasitas teknis para pekerja partner yang harus sesuai dengan spesifikasi
proyek CDP (Pasal 6 Kontrak antara WFP dan Yasmina).
Ketentuan Pasal 6 mengatur mengenai kewajiban-kewajiban yang harus
dilaksanakan Yasmina sebagai partner WFP dalam pelaksanaan proyek pembuatan
sanitasi umum. Berdasarkan ketentuan Pasal 6 ayat (1), Yasmina harus melaksanakan
CDP sesuai dengan apa yang tercantum di dalam kontrak. Pasal ini juga mengharuskan
agar CDP memberikan manfaat serta dikelola oleh 50 % wanita. Diutamakannya wanita
100
Pertanggungjawaban teknis adalah tanggung jawab yang berkaitan langsung dengan proses pernbangunan
sanitasi umum, misalnya saja mengenai masalah konstruksi bangunan.
49
sebagai penerima manfaat dan pengelola, karena sudah rnerupakan misi bagi Yasmina
dan WFP untuk memberdayakan wanita menjadi sumber daya manusia (SDM) yang
bermakna
bagi
diri,
keluarga
dan
masyarakat.
Selain
itu,
sebagai
bentuk
pertanggungjawaban Yasmina atas bantuan dana yang diberikan WFP, pihak tersebut
diharuskan untuk:
a. memberikan
laporan
mengenai
penggunaan
waktu dua minggu setelah proposal proyek disetujui (Pasal 6 ayat (2));
b. memberikan laporan keuangan setiap bulan, sebelum diturunkan angsuran baru dan
tiga bulan setelah proyek selesai (Pasal 6 ayat (8));
c. memberikan laporan narasi, untuk mengetahui kemajuan pelaksanaan proyek dari saat
dimulainya hingga selesai, yang diserahkan sebelum diturunkan angsuran baru dan
tiga bulan setelah proyek terselesaikan (Pasal 6 ayat (8));
d. melengkapi semua dokumen keuangan dalam setiap transaksi keuangan (Pasal
6 ayat (9);
e. menyimpan data masuk dan keluarnya dana berkenaan dengan pelaksanaan proyek
(Pasal 6 ayat (12)); Bentuk pelaporan yang disebutkan di atas, dimaksudkan agar
Yasmina dapat memastikan bahwa sumber keuangan dikelola dengan layak, dan ada
kontrol yang memadai atas sumber keuangan tersebut untuk menjaganya dari
kemungkinan salah penggunaan.
Menurut ketentuan Pasal 6 ayat (13), sumber daya program dan keuangan yang
dialokasikan harus digunakan secara optimal. Dana yang tidak digunakan harus
dikirimkan kepada rekening trust OPSM dalam waktu 30 hari setelah berakhirnya proyek
(Pasal 6 ayat (14)).
Selanjutnya, sebagai bentuk pengawasan dalam pelaksanaan proyek, Yasmina
diharuskan untuk :
a. memantau kemajuan proyek secara berkala (Pasal 6 ayat (7));
b. membentuk Komite CDP, yang berasal dari perwakilan masyarakat dan pihak
50
Yasmina, yang terdiri dari 50% wanita (Pasal 6 ayat (3)). Komite CDP tersebut akan
memberikan bantuan konsultasi kepada Yasmina untuk mengetahui kemajuan dalam
pelaksanaan proyek dan penanganan masalah-masalah yang ditemukan di lapangan
(Pasal 6 ayat(4));
c. memberikan kewenangan adanya campur tangan dari WFP dan Pemerintah Indonesia
untuk turut memberikan pengawasan pelaksanaan proyek (Pasal 6 ayat (10)). Dalam
hal ini, pihak WFP dan Pemerintah Indonesia akan membantu dalam memberikan
petunjuk teknis untuk semua permasalahan proyek,
Manajemen terbuka berarti Yasmina harus menerapkan pengelolaan yang transparan dalam seluruh pelaksanaan
proyek yang meliputi koordinasi, logistik, program kerja, proses teknis, laporan, penyediaan barang dan kapasitas
teknis para pekerja Yasmina, sehlngga setiap pihak dapat mengetahui tanggung jawabnya masing-masing dan
diketahui oleh masing-masing pihak lainnya.
51
penyediaan barang, dan kapasitas teknis para pekerja Yasmina (Pasal 6 ayat(19)).
Bahkan, Yasmina pun juga harus mengusahakan dana sebesar Rp Rp.30,150,000.dari total anggaran belanja untuk membiayai pembangunan sanitasi umum tersebut (Pasal
15). Selanjutnya, berdasarkan Pasal 6 ayat (17), Yasmina harus memberikan informasi
kepada masyarakat penerima bahwa pembuatan sanitasi umum tersebut didanai oleh
WFP dan Pemerintah Indonesia.
7. Kewajiban WFP
Selama berlakunya Kontrak ini, WFP diharuskan untuk :
(1) menyediakan dana sebesar Rp.149,296,000.- dalam tiga angsuran Tahap I:
Rp.44,789,000.- , Tahap II: Rp.89,578,000.- dan Tahap III: Rp.14,929,000.- untuk
kemajuan pelaksanaan proyek sesuai dengan proposal CDP dan/atau persetujuan
bersama;
(2) menunjuk staf WFP untuk memberikan saran teknis dan pelatihan, seperlunya,
dalam semua aspek dari perancangan proyek, pelaksanaan, pengoperasian dan
manajemen keuangan dan laporan. Bila WFP menganggap bahwa partner tidak
bekerja secara memuaskan dalam pelaksanaan proyek dan/atau dalam penggunaan
dana, WFP mempunyai kewenangan untuk menghentikan partner dan menuntut
pengembalian dana proyek yang belum digunakan;
(3) Pemerintah Indonesia harus terus diinformasikan mengenai kemajuan dan hasil dari
proyek (Pasal 7 Kontrak antara WFP dan Yasmina). Ketentuan Pasal 7 ini mengatur
mengenai kewajiban WFP sebagai pihak yang menyalurkan bantuan dana bagi
pelaksanaan CDP kepada Yasmina, yaitu :
e. menyalurkan dana sebesar Rp. 149,296,000 dalam tiga kali angsuran, yaitu pada
tahap I : Rp.44,789,000,- , tahap II : 89,578,000,-, tahap III: Rp.14,929,000,(Pasal 7 ayat (1));
f. menyediakan staf yang memenuhi syarat untuk memberikan petunjuk dan
pelatihan terhadap pihak-pihak yang terlibat dalam pelaksanaan proyek. Bahkan,
52
(5) Jika partner tidak menggunakan dana sesuai dengan proposal proyek yang telah
disetujui setelah dua kali peringatan, WFP dan GOI dapat mengambil langkah
hukum melalui pihak yang berwenang. Partner harus mematuhi setiap keputusan
hukum yang dihasilkan (Pasal 8 Kontrak antara WFP dan Yasmina)
Ketentuan Pasal 8 mengatur mengenai ketentuan umum yang meliputi:
a. Akuntansi (accounting)
Akuntasi meliputi pengelolaan dan penggunaan dana yang akan diatur
berdasarkan peraturan keuangan, petunjuk administratif dan petunjuk lain yang
dapat digunakan.
b. Pemeriksaan (auditing)
Sebagai bagian dari tanggung jawabnya, maka WFP akan melakukan
pemeriksaan terhadap dana yang digunakan untuk CDP melalui kunjungan
lapangan, pertemuan rutin, audit lingkup terbatas, pengecekan dokumentasi yang
mendukung atau cara lainnya.
c. Revisi
Selama pelaksanaan program dimungkinkan terjadi perubahan dan modifikasi
terhadap kontrak ini yang dapat dibuat sesuai dengan kesepakatan bersama secara
tertulis.
d. Pelaksanaan petunjuk (implementation of guidelines/metodology)
Pelaksanaan CDP ini akan dipandu oleh petunjuk-petunjuk yang dilampirkan
dalam Annex I. WFP dan GOI mempunyai kewenangan untuk memperbaharui
setiap petunjuk tersebut dan akan selalu diinformasikan kepada Yasmina.
e. Proses hukum (legal proceedings)
Proses hukum dapat dilakukan, apabila telah dilakukan dua kali peringatan
dalam hal Yasmina tidak menggunakan dana sesuai dengan proposal proyek yang
54
telah disetujui.
9. Kejadian Tak Terduga (force majeure)
Jika sewaktu-waktu selama berlakunya kontrak ini, setiap pihak menjadi tidak
mungkin untuk melaksanakan kewajibannya dengan alasan force majeure, maka pihak
tersebut harus memberitahukan secara tertulis tentang adanya force majeure tersebut,
selanjutnya pihak lainnya memberikan pemberitahuan yang membebastugaskan dari
kewajiban selama force majeure berlangsung102.
Klausula force majeure ini dimaksudkan sebagai langkah untuk melakukan
antisipasi yang ditempuh para pihak yang membuat perjanjian, terhadap kejadian yang
mungkin timbul di kemudian hari dan berakibat langsung terhadap pelaksanaan
perjanjian. Oleh karena itu, klausula tersebut dicantumkan guna melindungi para pihak
apabila bagian dari kontrak atau kewajiban yang disebut prestasi, tidak bisa dipenuhi
karena sebab-sebab yang berada di luar kekuasaan para pihak (act of God) dan tidak bisa
dihindarkan dengan melakukan tindakan yang sepantasnya. Dalam ketentuan Pasal 9
disebutkan bahwa salah satu pihak diharuskan membuat pemberitahuan tertulis tentang
adanya force majeure yang menghambatnya untuk melakukan kewajiban, dan pihak
lainnya memberikan pemberitahuan yang membebastugaskan dari kewajiban selama
force majeure berlangsung.
10. Klausula Arbitrase103
Apabila timbul sengketa atas Kontrak ini, maka akan diselesaikan dengan cara
musyawarah, tetapi apabila tidak bisa maka akan diselesaikan melalui arbitrase dengan
menggunakan UNCITRAL Arbitration Rules. Para pihak diminta untuk menunjuk
arbiternya masing-masing, yang kemudian apabila salah satu pihak belum juga menunjuk
arbiternya paling lama setelah 14 hari sejak pihak lain menunjuk arbiternya, maka arbiter
102
103
Klausula arbitrase merupakan dasar hukum bagi kewenangan forum arbitrase guna menerima dan menyelesaikan
sengketa. Dengan adanya klausula arbitrase ini, maka meniadakan hak para pihak untuk mengajukan penyelesaian
sengketa ke forun Pengadilan Negeri. Lihat Gunawan Widjaja dan Ahmad Yani, op.cit., hlm. 43-51.
55
tersebut akan menjadi arbiter tunggal yang keputusannya mengikat kedua belah pihak.104
Ketentuan Pasal 10 mengatur mengenai penyelesaian sengketa. Menurut pasal ini,
manakala terjadi sengketa, pertama-tama akan diselesaikan dengan cara musyawarah.
Hal ini sangat wajar untuk ditempatkan sebagai suatu penyelesaian yang didahulukan,
mengingat kontrak ini dibuat dalam suatu keadaan atau kondisi dengan masing-masing
pihak dalam keadaan puas, yang diakhiri dengan penandatanganan kontrak. Selain itu,
pasal ini juga menyebutkan apabila dengan cara musyawarah tidak mendatangkan
penyelesaian, maka akan diselesaikan melalui arbitrase dengan menggunakan
UNCITRAL Arbitration Rules. Pencantuman klausula arbitrase dalam kontrak ini
dimaksudkan bahwa para pihak telah menentukan atau memilih arbitrase dan proses
penyelesaian yang akan digunakan apabila ternyata timbul sengketa di kemudian hari.
11. Klausula Kekebalan105
(1) Dalam perjanjian ini tidak ada yang menyatakan melepaskan tuntutan oleh WFP,
sebagai bagian dari PBB atas setiap hak istimewa atau kekebalan yang dinikmati
mereka atau penundukan terhadap yurisdiksi pengadilan pada suatu negara terhadap
semua persengketaan yang timbul dalam perjanjian.
(2) Baik WFP
maupun
partner pelaksana
memikul
kehilangan atau hutang yang timbul dari aktivitas di bawah perjanjian ini106.
Berdasarkan ketentuan Pasal 11, dengan berlangsungnya kontrak, WFP tidak
kebal atas yurisdiksi pengadilan pada suatu negara terhadap semua persengketaan yang
timbul dalam perjanjian. Selain itu, baik WFP maupun partner memikul setiap tanggung
104
105
Tidak semua pihak dapat digugat di hadapan hakim perdata dari suatu Negara. Adapun pihak-pihak yang
mempunyai kekebalan (immunity) adalah Negara yang berdaulat, orang-orang yang berstatus diplomatik, duta-duta
dan anggota stafhya serta keluarga mereka. Lihat Sudargo Gautama, op. cit, ...Buku ke-8, hlm. 237-239. Lihat juga
Pasal 105 ayat (2) Piagam PBB, bahwa "wakil-wakil anggota PBB dan pejabat-pejabat Organisasi ini memperoleh
hak-hak istimewa dan kekebalan-kekebalan yang sama yang diperlukan untuk melaksanakan secara bebas tugastugasnya yang bertalian dengan Organisasi ini". Oleh karena itu, dengan adanya klausula kekebalan dalam kontrak
antara WFF dan Yasmina, menunjukkan bahwa staf WFP menyatakan tunduk di bawah kompetensi pengadilan
dalam suatu negara. Oleh karena itu, staf WFP tidak kebal atas yurisdiksi pengadilan dalam suatu negara terhadap
semua persengketaan yang timbul dalam kontrak.
106
jawab terhadap setiap tuntutan terhadap kerusakan, kematian, kerugian, kehilangan atau
hutang yang timbul dari aktivitas di bawah perjanjian ini.
57
4. Bahasa
Kontrak berisi beberapa hal yang berkekuatan mengikat, seperti perintah,
keharusan, larangan, janji, kebolehan dan batas-batasnya. Batas-batas tersebut dibuat
dengan menggunakan bahasa sebagai mediumnya, yang harus dibuat setepat mungkin,
sedemikian rupa sehingga tidak bisa ditafsirkan ke kiri atau ke kanan, serta tidak
menimbulkan ambiguitas atau keraguan akan maksudnya. Adapun bahasa yang
dipergunakan dalam kontrak ini adalah Bahasa Inggris.
C. Forum yang Berwenang Menyelesaikan Perselisihan yang Mungkin Timbul dalam Kontrak
antara WFP dan Yasmina adalah Arbitrase
Dalam pelaksanaan suatu kontrak kerja sama internasional ada kemungkinan berakhir
dengan perselisihan hukum antara para pihak yang terkait di dalamnya. Oleh karena itu,
pada umumnya dalam setiap kontrak dicantumkan klausula yang mengatur bagaimana
sengketa yang terjadi di antara mereka itu akan diselesaikan.
Cara penyelesaian sengketa yang dicantumkan para pihak dalam kontrak beraneka
ragam. Secara konvensional, penyelesaian sengketa biasanya dilakukan secara litigasi atau
penyelesaian sengketa di muka pengadilan. Pada perkembangannya dalam praktik ditemui
suatu kontrak yang mencantumkan penyelesaian sengketa pada suatu badan arbitrase.
Ketentuan mengenai penyelesaian sengketa dalam suatu kontrak dimaksudkan untuk
menunjukkan forum atau lembaga yang berwenang dalam menyelesaikan sengketa yang
timbul. Oleh karena itu, untuk menentukan berwenang tidaknya suatu forum atau lembaga
dalam mengadili suatu perkara dapat dilakukan dengan meneliti klausula pilihan forum yang
terdapat dalam kontrak yang bersangkutan.
Apabila dalam suatu kontrak terdapat klausula pilihan forum yang menunjuk pada
suatu badan arbitrase, maka badan arbitrase tersebut memiSiki kompetensi absolut107 untuk
107
Wewenang mutlak adalah menyangkut pembagian kekuasaan antar badan-badan peradilan. Wewenang mutlak
menjawab pertanyaan : badan peradilan macam apa yang berwenang untuk mengadili sengketa ini. Lihat
Retnowulan Sutantio dan Iskandar Oeripkartawinata, Hukum Acara Perdata dalam Teori dan Praktek, Mandar
58
menyelesaikan perkaranya.
Status badan arbitrase sebagai forum yang memiliki kewenangan absolut dalam
menyelesaikan dan memutus sengketa tercantum dalam Pasal II ayat (3) Konvensi New York
Tahun 1958 tentang Pengakuan dan Pelaksanaan Putusan Arbitrase Luar Negeri
yang
berbunyi:
"The court of a Contracting State, when seized of an action in a matter in respect of
which the parties have made an agreement within the meaning of this Article, shall, at
the request of one of the parties, refer the parties to arbitration, unless it finds that
the said agreements is null and void, in operative or in capable of being performed108.
Ketentuan diatas mempunyai pengertian bahwa apabila perjanjian arbitrase telah
dibuat, maka pengadilan harus menolak dan tidak campur tangan dalam suatu penyelesaian
sengketa yang telah ditetapkan melalui arbitrase, kecuali perjanjian arbitrase tersebut
dibatalkan atau batal demi hukum. Hal ini sejalan dengan Pasal 3 Undang-Undang Nomor 30
Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif
bahwa "Pengadilan Negeri tidak berwenang untuk mengadili sengketa para pihak yang telah
terikat dalam perjanjian arbitrase".
Dengan adanya klausula arbitrase dalam suatu kontrak, meniadakan hak para pihak
untuk mengajukan penyelesaian sengketa kepada Pengadilan Negeri. Dalam hal ini
Pengadilan Negeri harus menolak dan tidak akan ikut campur tangan dalam suatu
penyelesaian sengketa yang telah ditetapkan melalui arbitrase. Bilamana sengketa itu tetap
diajukan kepada Pengadilan Negeri, hakim harus menyatakan dirinya tidak berwenang.
Mahkamah Agung Republik Indonesia sudah mengakui hal tersebut. Dalam berbagai
perkara yang telah diputuskan, dapat dilihat bahwa pengadilan di Indonesia menghormati
adanya klausula arbitrase. Sebagai contoh adalah putusan Mahkamah Agung No.
2924K/Sip/1981 tentang
Utama PT Balapan Jaya. Dalam tingkat Pengadilan Negeri dan Pengaditan Tinggi, pihak PT
Maju, Bandung, 1997,hlm.11.
Balapan Jaya telah memenangkan perkaranya dan klausula arbitrase tidak dihiraukan. Namun
pada tingkat terakhir oleh Mahkamah Agung telah dinyatakan sebaliknya, bahwa dengan
adanya klausuia arbitrase, maka pengadilan harus menyatakan diri tidak berwenang untuk
memeriksa lebih lanjut perkara tersebut109.
Demikian halnya dengan kontrak antara WFP dan Yasmina. Pasal 10 kontrak tersebut
mengatur cara penyelesaian sengketa sebagai berikut:
Any dispute arising from this Contract which is not settled by amicable discussion
between parties shall be referred, upon agreement by the parties, to a single
arbitrator or, in default of agreement, to two arbitrators to be appointed in
accordance with the arbitration rules of The United nations Commission on
International Trade Law. If one party fails to appoint an arbitrator for 14 (fourteen)
clear days after the other party, having appointed its arbitrator, has served the party
making default with notice to make appointment, the party who has appointed an
arbitrator may appoint that arbitrator to act as sole arbitrator in reference and
his/her decision shall be binding an both parties as if he/she has been appointed by
consent.
109 Sudargo Gautama, Aneka Hukum Arbitrase (ke arah hukum arbitrase Indonesia yang barn), Citra Aditya Bakti,
Bandung, 1996, hlm. 15-16.
60
Berdasarkan ketentuan Pasal 10 tersebut, manakala terjadi sengketa antara WFP dan
Yasmina, pertama-tama akan diselesaikan dengan cara musyawarah. Cara musyawarah ini
dinilai efektif karena sifatnya yang sederhana, informal dan langsung. Dalam hal ini para
pihak yang bersengketa mengadakan suatu perundingan untuk mencari penyelesaian
sengketa melalui dialog tanpa melibatkan pihak ketiga. Oleh karena itu, cara tersebut selaiu
dijadikan sebagai langkah awal untuk menyelesaikan sengketa.
Segi positif dari musyawarah ini adalah sebagai berikut :110
1. Para pihak sendiri yang melakukan perundingan (musyawarah) secara langsung dengan
pihak lainnya;
2. Para pihak memiliki kebebasan untuk menentukan bagaimana penyelesaian secara
musyawarah ini dilakukan menurut kesepakatan mereka;
3. Para pihak mengawasi atau memantau secara langsung prosedur penyelesaiannya;
4. Musyawarah menghindari perhatian dan tekanan publik;
5. Dalam musyawarah, para pihak berupaya mencari penyelesaian yang dapat diterima dan
memuaskan para pihak, sehingga tidak ada pihak yang menang dan kalah, tetapi
diupayakan kedua belah pihak menang.
Dalam praktik, penyelesaian sengketa dengan cara musyawarah menemukan kesulitan
manakala para pihak bersikeras dengan pendiriannya, sehingga sengketa yang timbul tidak
dapat terpecahkan,bahkan mungkin semakin meruncing. Selain itu, tertutupnya keikutsertaan
pihak ketiga untuk menyelesaikan sengketa, mengakibatkan musyawarah tidak akan berjalan
seimbang karena adanya salah satu pihak yang mempunyai posisi yang lebih lemah.
Untuk mengantisipasi ketemahan yang ada pada penyelesaikan sengketa dengan cara
musyawarah, maka dalam kalimat terakhir Pasal 10 Kontrak antara WPF dan Yasmina
disebutkan pula bahwa sengketa akan diselesaikan meialui arbitrase dengan menggunakan
UNCITRAL Arbitration Rules.
Menurut Sudargo Gautama, karena UNCITRAL tidak mendirikan lembaga arbitrase,
110
Huala Adolf, Hukum Penyelesaian Sengketa Intemasional, Sinar Grafika, Bandung, 2004, hlm. 27.
61
maka para pihak dapat mengadakan suatu arbitrase ad hoc (arbitrase volunteer), yaitu
arbitrase yang tidak diselengarakan oleh suatu atau melalui suatu lembaga arbitrase tertentu
(institutional arbitration). Arbitrase pertama
tertentu sampai sengketa itu diputuskan. Dalam hal ini arbitrase ad hoc tersebut akan
menggunakan UNCITRAL Arbitration Rules sebagai hukum acara dalam menyelesaikan
sengketa111.
Berkaitan dengan hal di atas, masih terdapat suatu pertanyaan mengenai dimanakah
arbitrase ad hoc tersebut dapat diselenggarakan. Dalam hal ini mengacu pada ketentuan Pasal
16 ayat (1) dan (2) UNCITRAL Arbitration Rules yang mengatur tentang tempat arbitrase
sebagai berikut:
1. Kecuali para pihak menentukan lain, panitia arbitrase akan menetapkan tempat arbitrase
dengan memperhatikan segala keadaan sekitar arbitrase ini112.
2. Panitia arbitrase dapat menetapkan tempat arbitrase di dalam wilayah negara yang sudah
disepakati oleh para pihak. Panitia arbitrase dapat mendengar keterangan saksi dan
mengadakan pertemuan untuk berkonsultasi antara sesama anggota dimanapun yang
dianggap pantas dengan mempertimbangkan segala keadaan sekitar arbitrase ini113.
Berdasarkan ketentuan Pasal 16 ayat (1) dan (2) UNCITRAL Arbitration Rules, maka
pada prinsipnya arbitrase ad hoc tersebut dilakukan di tempat yang telah dimufakati para
pihak. Misalnya saja WFP dan Yasmina sepakat untuk menyelenggarakan arbitrase ad hoc
tersebut di Indonesia. Namun, apabila WFP dan Yasmina tidak mengadakan pilihan
mengenai tempat penyelenggaraannya, maka panitia arbitrase yang akan menentukan tempat
itu dan dalam hal ini maka akan diperhatikan segala keadaan sekitar arbitrase ini
(circumstances of the arbitration).
111
112
Article 16 Paragraph 1 UAR : Unless the parties have agreed upon the place where the arbitration is to be held,
such place shall be determined by the arbitral tribunal, having regard to the circumstances of the arbitration.
113
Article 16 Paragraph 2 UAR : The arbitral tribunal may determine the locale of the arbitration within the
country agreed upon the parties. It may hear witnesses and hold meetings for consultation among its members at
any place it deems appropriate, having regard to the circumstances of the arbitration.
62
Hal-hal yang dapat menjadi bahan pertimbangan panitia arbitrase tersebut adalah
segala situasi dan kondisi dari persoalan yang ersangkutan, termasuk juga persoalan yang
praktis bagi para pihak, yaitu kepraktisan dalam hal pengumpulan bukti dan pemeriksaan
saksi-saksi. Dalam hal ini panitia arbitrase akan memperhatikan tempat dimana kontrak
dilaksanakan dan tempat dimana para pihak mempunyai tempat usaha mereka sehari-hari.
Pembuatan sanitasi umum tersebut dilaksanakan di RT 04 dan RT 05-RW 04, Desa Teluk
Pinang, Ciawi, Bogor. Bahkan, Yasmina menjalankan kegiatan usahanya di Bogor,
Indonesia, dan WFP pun mempunyai kantor perwakilan di Jakarta, Indonesia. Oleh karena
itu, lebih wajar untuk memilih tempat arbitrase di Indonesia daripada negara lain mengingat
lebih mudahnya memperoleh pembuktian dan pemeriksaan saksi-saksi di tempat ini.
Dalam hal arbitrase ad hoc tersebut diselenggarakan di suatu tempat yang mempunyai
hukum acara mengenai prosedur arbitrase, dan di dalamnya terdapat ketentuan-ketentuan
yang bersifat memaksa, maka hukum acara dari negara bersangkutan-lah yang akan berlaku
jika bertentangan dengan UNCITRAL Arbitration Rules. Hal ini dapat dilihat pada Pasal 1
ayat (2) UNCITRAL Arbitration Rules, yang berbunyi sebagai berikut:
Article 1 paragraph 2 (Scope of Application) These Rules shall govern the arbitration
except that where any of these Rules is in conflict with a provision of the law
applicable to the arbitration from which the parties cannot derogate, that provision
shall prevail.
Selain itu, WFP dan Yasmina pun dapat memilih salah satu lembaga arbitrase (arbitral
institution) yang ada untuk membantu mereka alam menyelenggarakan arbitrase
bersangkutan.114 Misalnya saja dengan meminta bantuan pada Badan Arbitrase Nasional
Indonesia (BANI), Dalam hal ini lembaga arbitrase tersebut akan memakai UNCITRAL
Arbitration Rules dan tidak memakai kaidah-kaidahnya sendiri. Dengan demikian maka
arbitrase yang dilakukan itu akan merupakan suatu ad hoc arbitration yang diatur oleh
lembaga-lembaga arbitrase yang sudah ada (administered ad hoc arbitration).115
Menurut R. Subekti, pada waktu menyusun prosedur arbitrase BANI telah dipakai
114
115
Ibid.
63
pula berbagai bagian dari pada UNCITRAL Arbitration Rules.116 Dengan kata lain,
ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam BANI telah mengadopsi UNCITRAL Arbitration
Rules. Oleh karena itu, tidak akan terjadi pertentangan antara prosedur yang diatur dalam
BANI dan UNCITRAL Arbitration Rules.
Dipilihnya penyelesaian sengketa melalui badan arbitrase yang akan menggunakan
UNCITRAL Arbitration Rules, didasarkan pada pertimbangan bahwa pilihan forum atau
lembaga tersebut lebih menguntungkan kedua belah pihak, antara lain berkenaan dengan sifat
arbitrase yang privat dan tertutup.117
Menurut penulis, sifat rahasia arbitrase dapat melindungi WFP dan Yasmina akibat
penyingkapan informasi kepada umum. Dengan demikian, baik WFP maupun Yasmina akan
terlindung dari publisitas yang merugikan dan akibat-akibat lainnya, seperti kehilangan
reputasi dan pemicu bagi tuntutan-tuntutan lain, yang dalam proses ajudikasi publik dapat
mengakibatkan pemeriksaan sengketa secara terbuka.
Selain itu, menurut penulis dipilihnya forum arbitrase karena WFP dan Yasmina
memiliki kepercayaan yang lebih besar pada keahlian arbiter mengenai permasalahan yang
dipersengketakan dibandingkan dengan menyerahkannya kepada pengadilan. Dalam hal ini,
WFP dan Yasmina dapat mengangkat atau menunjuk arbiter atau suatu panel arbitrase yang
memiliki keahlian terhadap pokok permasalahan yang dipersengketan.
Pertimbangan lainnya menurut penulis adalah karena WFP masih di bawah naungan
PBB maka hukum acara arbitrase yang dipakai adalah aturan arbitrase yang diakui oleh
lembaga tersebut, yang dalam hal ini adalah UNCITRAL Arbitration Rules.
116
Ibid.
117
Sengketa-sengketa yang diadili melalui jalan arbitrase tidak demikian umum sifatnya seperti perkara-perkara di
muka pengadilan yang dapat diketahui semua orang. Di pengadilan, perkara-perkara perdata dapat diikuti oleh
orang-orang luar karena proses pemeriksaan perkara di pengadilan berasaskan terbuka untuk umum, dan keputusankeputusan yang diucapkan dilakukan dalam sidang terbuka dengan kemungkinan adanya reportase di dalam harianharian serta publikasi-publikasi mass media. Di dalam pemeriksaan persengketaan dalam forum arbitrase tidak
demikian. Dalam hal ini suasana dan keadaan para pihak hanya diketahui panitia arbitrase. Selain itu, pertimbanganpertimbangan para arbiter sifatnya confidential (rahasia) dan lazim tidak diumumkan secara lengkap dalam suratsurat kabar atau pers seperti halnya dengan keputusan-keputusan pengadilan. Lihat Sudargo Gautama, op.cit.
Arbitrase Dagang Intemasional, hlm.2.
64
D. Hukum yang Berlaku untuk Mengatur dan Menyelesaikan Perselisihan yang Mungkin
Timbul dalam Kontrak antara WFP dan Yasmina Ditentukan oleh Forum Arbitrase
Seperti telah disinggung pada bagian sebelumnya, WFP dan Yasmina telah
mengadakan suatu pilihan forum kepada arbitrase sebagai forum yang berwenang untuk
mengadili sengketa yang mungkin timbul diantara mereka. Sedangkan hukum acara yang
digunakan adalah UNCITRAL Arbitration Rules. Lantas hukum materil mana yang akan
digunakan dalam penyelesaian sengketa tersebut? ketentuan Pasal 33 ayat (1) UNCITRAL
Arbitration Rules menyatakan bahwa:
The arbitral tribunal shall apply the law designated by the parties as applicable to
the substance of the dispute. Failing such designation by the parties, the arbitral
tribunal shall apply the law determined by the conflict of laws rules which it
considers applicable.
Jadi tentang hukum yang dipergunakan oleh panitia arbitrase adalah hukum yang
dikehendaki oleh para pihak sendiri. Dan dalam hal pilihan hukum tersebut tidak ada, maka
panitia arbitrase akan menggunakan hukum yang ditentukan oleh kaidah-kaidah HPI yang
dianggap harus diperlakukan.
Dari ketentuan Pasal 33 ayat (1) tersebut, dapat dikatakan bahwa pertama-tama
panitia arbitrase akan memberlakukan hukum yang telah dipilih sendiri oleh para pihak (pilihan hukum). Dalam hal ini para pihak mempunyai otonomi atau kebebasan untuk
menentukan sendiri hukum mana yang berlaku untuk arbitrase mereka itu.
Menurut Sudargo Gautama, biasanya pilihan hukum yang dilakukan oleh para pihak
tersebut dicantumkan dalam kontrak yang bersangkutan. Misalnya saja terdapat klausula
yang mencantumkan bahwa : "Hukum yang berlaku untuk perjanjian ini adalah hukum
Indonesia". Jika hal ini terjadi, maka manakala timbul sengketa, para arbiter akan
menggunakan hukum Indonesia dan tidak dapat memakai hukum lain selain hukum
Indonesia yang telah dipilih oleh para pihak.118
118
Sudargo Gautama, Perkembangan Arbitrase Dagang Internasional di Indonesia, Eresco, Bandung, 1989,
hlm. 41.
65
Jadi, dalam pilihan hukum yang dinyatakan secara tegas, pilihan hukum dinyatakan
dengan kata-kata yang menyatakan pilihan hukum tertentu dalam kontrak tersebut Bilamana
hakim mengadili perkara kontrak-kontrak internasional, maka dalam menentukan hukum
mana yang harus berlaku dalam kontrak tersebut, hakim akan menggunakan pilihan hukum
sebagai titik taut penentunya.
Selanjutnya dalam kalimat terakhir Pasal 33 ayat (1) disebutkan bahwa apabila tidak
ada pilihan hukum oleh para pihak, maka panitia arbitrase akan menggunakan hukum yang
telah ditentukan oleh kaidah-kaidah HPI yang dianggap berlaku oleh para arbiter ini. Dengan
demikian HPI memegang peranan yang penting di dalam menentukan hukum yang harus
berlaku dalam sengketa yang telah diajukan di hadapan badan arbitrase bersangkutan.
Berkaitan dengan kontrak antara WFP dan Yasmina, para pihak tersebut tidak
mencantumkan pilihan hukum dalam salah satu klausula ontraknya, maka panitia arbitrase
akan memperhatikan katdah-kaidah HPI dalam menentukan hukum yang harus berlaku itu.
Hal pertama yang harus diperhatikan oleh panitia arbitrase adalah titik taut penentu
atau TPS yang terdapat pada hubungan hukum antara WFP dan Yasmina.
Menurut Sudargo Gautama, TPS adalah faktor-faktor atau sekumpulan fakta yang
menentukan hukum mana yang harus digunakan atau berlaku dalam suatu hubungan HPI.119
TPS seringkali disebut titik taut penentu, karena fungsinya akan menentukan hukum dari
tempat manakah yang akan digunakan sebagai the applicable law dalam penyelesaian suatu
perkara.120
Selanjutnya, TPS yang terdapat dalam hubungan hukum antara WFP dan Yasmina
tersebut menurut teori-teori HPI dapat digunakan untuk menentukan hukum yang berlaku,
yaitu teori lex loci contractus, lex loci solutionis, the proper law of the contract dan the most
characteristic connection.
1. Teori Lex Loci Contractus
Berdasarkan teori lex loci contractus, hukum yang berlaku bagi suatu kontrak
119
120
internasional adalah hukum di tempat perjanjian atau kontrak itu dibuat, diciptakan,
dilahirkan.121 Jadi, menurut teori ini, hukum yang berlaku bagi suatu kontrak
internasional adalah hukum di tempat perjanjian atau kontrak itu ditandatangani oleh para
pihak, karena pada saat itulah terbentuk kesepakatan, sehingga kontrak tersebut mengikat
kedua belah pihak. Dengan demikian, jika dianut teori lex loci contractus, maka hukum
yang berlaku apabila terjadi sengketa antara WFP dan Yasmina adalah hukum Indonesia,
karena kontrak ini ditandatangani oleh para pihak pada tanggal 18 Januari 2005 di
Indonesia.
2. Teori Lex Loci Solutionis
Sebagai variasi terhadap teori lex loci contractus dikemukakan pula adanya teori
lex loci solutionis. Menurut teori ini, maka sangatlah penting place of performance dari
suatu kontrak.122 Jadi, menurut teori ini hukum yang berlaku bagi suatu kontrak adalah
tempat di mana kontrak tersebut dilaksanakan. Dengan kata lain, tempat dimana para
pihak melakukan prestasinya masing-masing.
Dilihat dari prestasi Yasmina yang harus membangun sanitasi umum di RT 04 dan
RT 05-RW 04, Desa Teluk Pinang, Ciawi, Bogor, Indonesia, maka jika dianut teori lex
loci solutionis, hukum Indonesia-lah yang berlaku.
Apabila dilihat dari prestasi WFP yang harus memberikan bantuan dana bagi
pembangunan sanitasi umum, maka hukum Indonesia pula yang dianggap berlaku,
karena WFP memberikan bantuan dana melalui transfer antar bank yang dilakukan di
Indonesia, yaitu dari Citibank (Jakarta) ke Bank Syariah Mandiri (cabang Bogor).
Jika dilihat dari prestasi masing-masing pihak menunjukkan bahwa hukum
Indonesia-lah yang berlaku, akan tetapi penerapan teori lex loci solutionis ini tidak dapat
disangkal membawa kesulitan. Hal ini dikarenakan harus dapat ditentukan terlebih
dahulu tempat dilaksanakannya prestasi dari masing-masing pihak. Dengan kata lain, jika
akan menerapkan teori ini, maka prestasi masing-masing pihak harus dipecah-pecah
121
122
sedemikian rupa sehingga tunduk pada berbagai sistem hukum yang berbeda. Seandainya
saja, tempat dilaksanakannya prestasi pihak Yasmina dan WFP jatuh di negara yang
berbeda, maka apakah hukum dari tiap negara, dimana prestasi masing-masing pihak
dilaksanakan harus semua dipakai. Jika memang hukum dari tiap negara tersebut harus
dipakai, tentu saja akan menyulitkan pengadilan untuk menyelesaikan perkara. Dengan
demikian, teori lex loci solutionis ini kurang memberikan jalan keluar yang memuaskan,
terutama bila diterapkan pada kontrak-kontrak yang masing-masing pihaknya harus
melaksanakan prestasi di berbagai negara yang berbeda.
3. Teori The Proper Law
Menurut Morris, the proper law suatu kontrak adalah sistem hukum yang
dikehendaki oleh para pihak, atau jika kehendak itu tidak dinyatakan dengan tegas atau
tidak dapat diketahui dari keadaan sekitarnya, maka proper law bagi kontrak tersebut
adalah sistem hukum yang mempunyai kaitan yang paling erat dan nyata dengan
transaksi yang terjadi.123 Hal yang serupa dikatakan oleh Lord Atkin bahwa:124
"The legal principles which are to guide an English Court on the question of the proper
law are now well settled. It is the law which the parties intended to apply. Their intention
will be ascertained by the intention expressed in the contract if any, which will be
conclusive. If no intention be expressed, the intention will be presumed by the court from
the terms of the contract and the relevant surrounding circumstances".
Berdasarkan perumusan yang dikemukakan oleh Lord Atkin tersebut, maka
proper law dalam kontrak adalah hukum yang dikehendaki oleh para pihak (intention of
the parties). Kehendak tersebut dapat terlihat jika dinyatakan dengan tegas dalam
kontrak, jika kehendak tersebut tidak dinyatakan dengan tegas, maka kehendak tersebut
akan diduga oleh pengadilan dari ketentuan-ketentuan dalam kontrak dan suasana paling
berkaitan yang melingkupi kontrak.
Cara yang harus ditempuh adalah dengan mendasarkannya pada the grouping of
the various elements of the contract as they reflected in its formation and its terms. Jadi,
diperhatikan seluruh bentuk dan isi serta keadaan-keadaan sekitar pembentukan kontrak
123
124
bersangkutan, sehingga akan dapat ditentukan unsur-unsur manakah yang terpenting (pre
dominant).125
Menurut Sudargo Gautama, dalam hal ini suatu kontrak akan dilokalisir. Suatu
kontrak karena sifatnya yang abstrak memang akan sukar untuk dilokalisir, akan tetapi
kontrak ini akan menyentuh dan mempunyai hubungan dengan berbagai negara dan
sudah pasti salah satu negara bersangkutan akan disentuhnya lebih erat dari pada yang
lain, dan inilah yang merupakan negara yang hukumnya harus dipergunakan. 126
Jika dikaitkan dengan kontrak antara WFP dan Yasmina, maka dalam hal ini akan
dianalisis sifat-sifat para pihak yang membuat kontrak, segala incidents pada waktu
pembentukannya, pada istilah-istilah yang dipergunakan, dan pada tujuan yang hendak
dicapai. Dengan demikian ditemukan suatu factual weight dan disinilah terletak centre of
gravity dari kontrak yang bersangkutan127, yang penerapannya sebagai berikut: a. Bahwa Yasmina merupakan badan hukum yang didirikan berdasarkan hukum
Indonesia dan berkedudukan di Indonesia. Dengan demikian status hukum Yasmina
adalah badan hukum Indonesia.
b. WFP merupakan salah satu badan PBB yang bergerak dalam bidang pemberian
bantuan pangan yang bermarkas besar di Roma, ttalia dan memiliki beberapa kantor
perwakilan, yang salah satunya di Jakarta, Indonesia.
c. bahwa kontrak kerja sama ini terjadi karena korespondensi yang sebagian dilakukan
di Jakarta, Indonesia, tetapi dilangsungkan dalam bahasa Inggris dan bahasa
Indonesia;
d. bahwa prestasi pihak Yasmina adalah membuat sanitasi umum di RT 04 dan RT 05RW 04, Desa Teluk Pinang, Ciawi, Bogor, Indonesia, maka pelaksanaan dari prestasi
ini telah berlangsung di Bogor, Indonesia. Selain itu, pihak Yasmina juga harus
mengumpulkan dana sebesar Rp 30,150,000.- yang dilakukan di Indonesia, untuk
125
Ibid, hlm.23.
126
Ibid.
127
Ibid, hlrn.32.
129
dan Yasmina dan kewajiban-kewajiban WFP yang diatur dalam Pasal 7 Kontrak antara
WFP dan Yasmina.
Ketentuan Pasal 6 Kontrak antara WFP dan Yasmina mengatur mengenai
kewajiban-kewajiban yang harus dilaksanakan Yasmina sebagai partner WFP dalam
pelaksanaan proyek pembuatan sanitasi umum. Dalam hal ini, Yasmina yang
diamanatkan untuk mengemban pelaksanaan proyek harus bertanggung jawab atas
bantuan dana yang diberikan WFP, dengan menggunakan dana tersebut untuk pembuatan
sanitasi umum sesuai dengan apa yang tercantum dalam kontrak.
Untuk menjaga agar dana tersebut dikelola dengan layak dan jauh dari
kemungkinan salah penggunaan, maka Yasmina mempunyai kewajiban untuk
memberikan laporan mengenai penggunaan anggaran secara terperinci dalam waktu dua
minggu setelah proposal proyek disetujui (Pasal 6 ayat (2)); memberikan laporan
keuangan setiap bulan, sebelum diturunkan angsuran baru dan tiga bulan setelah proyek
selesai (Pasal 6 ayat (8)); memberikan laporan narasi, untuk mengetahui kemajuan
pelaksanaan proyek dari saat dimulainya hingga selesai, yang diserahkan sebelum
diturunkan angsuran baru dan tiga bulan setelah proyek terselesaikan (Pasal 6 ayat (8)};
melengkapi semua dokumen keuangan dalam setiap transaksi keuangan (Pasal 6 ayat (9);
dan menyimpan data masuk dan keluarnya dana berkenaan dengan pelaksanaan proyek
(Pasal 6 ayat (12));
. Selain itu, menurut ketentuan Pasal 6 ayat (13), Yasmina harus menggunakan
sumber daya program dan keuangan secara optimal. Oleh karena itu, dana yang tidak
digunakan harus dikirimkan kepada rekening trust OPSM dalam waktu 30 hari setelah
berakhirnya proyek (Pasal 6 ayat (14)).
Selanjutnya, sebagai bentuk pengawasan dalam pelaksanaan proyek, Yasmina
harus memantau kemajuan proyek secara berkata (Pasal 6 ayat (7)). Yasmina pun
diharuskan membentuk Komite CDP, yang berasal dari perwakilan masyarakat dan pihak
Yasmina, yang terdiri dari 50% wanita (Pasal 6 ayat (3)). Komite CDP tersebut akan
memberikan bantuan konsultasi kepada Yasmina untuk mengetahui kemajuan dalam
pelaksanaan proyek dan penanganan masalah-masalah yang ditemukan di lapangan
(Pasal 6 ayat (4)). Bahkan, Yasmina pun diwajibkan untuk memberikan kewenangan
71
kepada WFP dan GOI untuk ikut dalam memberikan pengawasan pelaksanaan proyek
(Pasal 6 ayat (10)). Pihak WFP dan GOI akan membantu dalam memberikan petunjuk
teknis untuk semua permasalahan proyek, konsultasi dan hal-hal lain yang dibutuhkan
(Pasal 6 ayat (11).
Berdasarkan ketentuan Pasal 6 ayat (5), bahwa Yasmina harus memastikan
kepemilikan dari fasilitas sanitasi umum adalah milik masyarakat di RT04 dan RT05RW04, Desa Teluk Pinang, Ciawi, Bogor. Fasilitas tersebut harus dirawat dan dipelihara
oleh masyarakat bersangkutan dengan sebagian besar dilakukan oleh wanita (Pasat 6 ayat
(6)).
Menurut ketentuan Pasal 6 ayat (18), anggota Yasmina yang terlibat dalam
pelaksanaan proyek bukan merupakan bagian dari staf atau pekerja PBB. Oleh karena itu,
WFP tidak bertanggung jawab apabila terjadi hal-hal yang menimpa anggota Yasmina
baik yang berhubungan atau tidak berhubungan dengan pelaksanaan proyek. Dengan
demikian, Yasmina harus bertanggung jawab penuh terhadap semua tindakan dan
kelalalaian dari para anggotanya.
Selatn itu, bentuk pertanggungjawaban Yasmina lainnya adalah memberikan
pertanggungjawaban' teknis untuk semua kegiatan dalam CDP. Dalam hal ini
pelaksanaan proyek harus mengikuti semua kegiatan yang secara detail tertulis dalam
proposal dan sesuai dengan prosedur standar dan teknis umum (Pasal 6 ayat (18)).
Selanjutnya, Yasmina pun harus menerapkan manajemen terbuka dalam seluruh
pelaksanaan proyek, yang berkenaan dengan koordinasi, logistik, program kerja, proses
teknis, laporan, penyediaan barang, dan kapasitas teknis para pekerja Yasmina (Pasal 6
ayat (19)). Bahkan, Yasmina pun juga harus mengusahakan daha sebesar Rp
Rp.30,150,000.- dari total anggaran belanja untuk membiayai proyek tersebut (Pasal 15).
Jika dibandingkan dengan kewajiban WFP dalam Pasal 7 Kontrak antara WFP
dan Yasmina, pihak WFP hanya sebatas menunjuk staf WFP untuk memberikan saran
teknis dan pelatihan, menginformasikan pada GOI mengenai kemajuan proyek dan
memberikan dana sebesar Rp.149,296,000.- untuk pembanguan -sanitasi umum tersebut.
Bahkan ketersediaan dana tersebut diperoleh dari hasil penjualan beras dengan harga
murah sebesar Rp 1000/kg (netto) yang dilakukan WFP dengan perantara Yasmina.
72
Dalam hal ini, hasil penjualan beras tersebut kemudian ditransfer pihak Yasmina ke
rekening trust fund OPSM sebesar Rp 760/kg, yang selanjutnya oleh WFP dialokasikan
untuk pembangunan sanitasi umum tersebut.
Berdasarkan kewajiban-kewajiban yang harus ditaksanakan oleh WFP dan
Yasmina datam pasal-pasal dalam Kontrak antara WFP dan Yasmina diatas, dapat dilihat
bahwa kewajiban Yasmina merupakan kewajiban yang paling karakteristik. Dalam
Kamus Besar Bahasa Indonesia, yang dimaksud dengan karakteristik adalah mempunyai
sifat khas sesuai dengan perwatakan tertentu130, sedangkan dalam buku HPI Indonesia
(Jilid III Bagian 2 Buku ke-8), Sudargo Gautama mengemukakan bahwa karakteristik
dapat berarti typis atau funktional131. Dalam hal ini dilihat dari segi fungsi kontrak yang
bersangkutan, dan dengan sistem hukum manakah kontrak ini dilihat secara fungsional,
sehingga tidak hanya melihat kepada faktor tempat dilakukannya prestasi saja. Selain itu,
karakteristik juga dapat berarti prestasi yang paling berat 132, yang berarti prestasi pihak
manakah yang dianggap paling berat. Bahkan, prestasi yang karakteristik dapat berarti
prestasi spesifik133, yaitu prestasi yang bersifat khusus atau khas, jadi adanya hubungan
yang khusus atau khas antara prestasi yang dilakukan dengan tempat prestasi dilakukan.
Selanjutnya, karakteristik pun juga dapat berarti prestasi yang paling kuat134 untuk
menguasai kontrak bersangkutan.
Berkaitan dengan hal di atas, prestasi pihak Yasmina merupakan prestasi yang
typis, funksional, berat, spesifik dan kuat untuk mewujudkan pembangunan sanitasi
umum di RT04 dan RT 05-RW 04, Desa Teluk Pinang, Ciawi, Bogor, Indonesia. Hal
tersebut dapat dilihat dari kewajiban-kewajiban yang dilakukan oleh pihak Yasmina,
mulai dari menjadi perantara WFP dalam melakukan penjualan beras dengan harga
murah sebesar Rp 1000/kg, mengusahakan tambahan dana sebesar Rp. 30,150,000.untuk kelangsungan proyek, sampai melakukan pembangunan sanitasi umum tersebut.
Selain itu, pihak Yasmina pun juga harus melakukan kewajiban-kewajiban lainnya
seperti memberikan laporan-laporan, melakukan konsultasi, memastikan pemeliharaan
130
131
132
133
134
Ibid
73
135
BABV
KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
1.
2.
Hukum yang berlaku untuk mengatur dan menyelesaikan perselisihan yang mungkin
timbul antara WFP dan Yasmina adalah hukum Indonesia. Berdasarkan UNCITRAL
Arbitration Rules (hukum acara yang telah dipilih para pihak), dalam hal para pihak
tidak mengadakan pilihan hukum, maka penentuan pilihan hukum yang ditentukan oleh
kaidah-kaidah HPI yang dianggap harus diberlakukan. Dari analisis Teori-teori HPI
tersebut, yaitu teori lex loci contractus, teori lex loci solutionis, teori the proper law of
the contract, dan teori the most characteristic connection, penulis cenderung memilih
dipergunakanya teori the most characen'stic connection dikarenakan kelebihankelebihan yang dimilikinya.
B. Saran
1. Dalam Kontrak antara -WFP dan Yasmina, terdapat klausula arbitrase.
Klausula
arbitrase tersebut menunjukkan bahwa para pihak telah mengadakan pilihan forum
terhadap arbitrase sebagai yang berwenang dalam menyelesaikan perselisihan yang
mungkin timbul diantara para pihak.
Klausula
arbitrase
tersebut
seharusnya
secara tegas;
75
76
DAFTAR PUSTAKA
BUKU :
Bayu Seto, Dasar-Dasar HPI, Citra Adttya Bakti, Bandung, 2002. Gunawan Widjaja dan Ahmad
Yani, Hukum Arbitrase, RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2001.
Huala Adolf, Hukum Penyeiesaian Sengketa internasional, Sinar Grafika, Bandung, 2004. Ida
Bagus Wyasa Putra, Aspek-Aspek HPI dalam Transaksi Bisnis Internasional, Refika Aditama,
Bandung, 1997.
Perserikatan Bangsa-Bangsa, Pengertian Dasar tentang Perserikatan Bangsa-Bangsa.
R. Tresna, KomentarHIR, Pradnya Paramita, Jakarta, 2000. Retnowulan Sutantio dan Iskandar
Oeripkartawinata,
Hukum Acara Perdata dalam Teori dan Praktek, Mandar Maju, Bandung,
1997.
Ridwan Khairandy, Nandang Sutrisno, dan Jawahir Thontowi, Pengantar HPI Indonesia, Gama
Media, Yogyakarta, 1999. Salim, H.S., Hukum Kontrak (Teori dan Teknik Penyusunan
Kontrak), Sinar Grafika, Jakarta, 2005.
Sudargo Gautama, Pengantar HPI Indonesia, Binacipta, Bandung, 1987.
_________, Hukum Perdata Internasional Indonesia, Jilid III Bagian II (Buku 8), Alumni,
Bandung, 2002.
_________, Arbitrase Dagang Internasional, Alumni, Bandung, 1986.
_________, Aneka Hukum Arbitrase (ke arah hukum arbitrase Indonesia yang baru), Citra
Aditya Bakti, Bandung, 1996.
_________, Perkembangan Arbitrase Dagang Internasional di Indonesia, Eresco, Bandung.
Sunaryati Hartono, Pokok-Pokok HPI, Putra A. Bardin, Bandung, 2001.
77
PERUNDANG-UNDANGAN :
Undang-Undang Nomor 30 tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa.
Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa.
SUMBER-SUMBER LAIN :
Kamus :
Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai
Pustaka, Jakarta, 1990.
INTERNET:
History
the
World
Food
Programme:
The
First
41
Years,
tersedia
di
WWW:http://www.wfp.org/aboutwfp/introduction/index.asp?section= 1&subsection-1.
WFP's
Partner:
United
Front
Against
Global
Hunger,
tersedia
di
WWW:
78