Anda di halaman 1dari 18

HUBUNGAN PENGETAHUAN GIZI IBU, PEMBERIAN ASI, MPASI,

PENGGUNAAN JAMBAN, KETERSEDIAAN AIR BERSIH, DAN STATUS GIZI


DENGAN KEJADIAN DIARE BALITA DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS
WOLOWA KABUPATERN BUTON

O L E H:
MUHAMMAD IHSANUDDIN
P00313014009

BADAN PEGEMBANGAN SDM KESEHATAN,


POLITEKNIK KESEHATAN KENDARI,
JURUSAN GIZI PROGRAM
DIPLOMA IV
2016

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Kematian anak pada kelompok umur 1 4 tahun terutam disebabkan
oleholeh penyakit infeksi dan parasit dengan proporsi sebebsar 44,7%, pernapasan
13%. Sedangkan pada kelompok umur 15 -34 tahun, penyakit infeksi dan parasit
menduduki peringkat pertama sebagai penyebab kematian yaitu sebesar 10980
penderita dnegan jumlah kematian 277. Di indonesia dilaporkan terdapat 1,6
sampai 2 kejadian diare per tahun pada balita sehingga secara keseluruhan
diperkirakan kejadian diare pada balita berkisar antara 40 juta setahun dengan
kematian sebanyak 200.000 400.000 balita. Pada survei tahun 2010 yang
dilakukan oleh Didjen P2ML di 10 provinsi di dapatkan hasil bahwa dar 18. 000
ruamah tangga yang di survey diambil sampel sebanyak 13.440 balita.
Penyakit diare merupakan penyebab kesakitan dan kematian di negara
berembang.diare tergolong sebagai penyakit berat dengan angka kematian tinggi
terutama terjadi pada bayi dan anak balita. Di negara berkembang, diare terjadi
lebih dari 12 kali per tahun dan hal ini yang menjadi penyebab kematian 15-34%
dari semua penyebab kematian (Aman 2004, dalam Zubit, et al, 2006). Sedangkan
Di dunia, sebanyak 6 juta anak meninggal setiap tahun karena diare, sebagaian data
tersebut terjadi di negara berkembang. (Datinkes 2011).
Di Bagian Ilmu Kesehatan Anak FKUI, diare diartikan sebagai buang air
besar yang tidak normal atau bentuk tinja yang encer dengan frekuensi lebih banyak
dari biasanya. Neonatus dinyatakan diare bila frekuensi buang air besar sudah lebih
dari 4 kali, sedangkan untuk bayi berumur lebih dari 1 bulan dan anak,
frekuensinya lebih dari 3 kali (Simatupang, 2004). Menurut WHO (2005) diare
dapat diklasifikasikan menjadi (1). Diare akut, yaitu diare yang berlangsung kurang
dari 14 hari., (2). Disentri, yaitu diare yang disertai dengan darah, (3). Diare persisten,
yaitu diare yang berlangsung lebih dari 14 hari. (4). Diare yang disertai dengan
malnutrisi berat (Simatupang, 2004).

Menurut Departemen Kesehatan RI (2003), insidensi diare di Indonesia


pada tahun 2000 adalah 301 per 1000 penduduk untuk semua golongan umur dan
1,5 episode setiap tahunnya untuk golongan umur balita. Cause Specific Death
Rate (CSDR) diare golongan umur balita adalah sekitar 4 per 1000 balita. Kejadian
diare pada anak laki-laki hampir sama dengan anak perempuan. Penyakit ini
ditularkan secara fecal-oral melalui makanan dan minuman yang tercemar. Di
negara yang sedang berkembang, insiden yang tinggi dari penyakit diare
merupakan kombinasi dari sumber air yang tercemar, kekurangan protein dan kalori
yang menyebabkan turunnya daya tahan tubuh (Suharyono, 2003). Hingga saat ini,
enyakit diare masih merupakan masalah kesehatan masyarakat di negara
berkembang seperti di Indonesia, karena morbiditas dan mortalitas-nya yang masih
tinggi. Survei morbiditas yang dilakukan oleh Subdit Diare, Departemen Kesehatan
dari tahun 2000 s/d 2010 terlihat kecenderungan insidens naik. Pada tahun 2000 IR
penyakit Diare 301/ 1000 penduduk, tahun 2003 naik menjadi 374 /1000 penduduk,
tahun 2006 naik menjadi 423 /1000 penduduk dan tahun 2010 menjadi 411/1000
penduduk. (Datinkes 2011).
Diare dapat terjadi karena berbaai sebab, penularannya melalui makanan
dan minuman yang tercemar oleh kuman. Salah stu penyebab terjadinya diare
adalah karena peradangan usus, seperti kolera, disentri, bakteri, dan virus.(yosna
dkk 2011). Selain itu, faktor lain yang dapat menyebabkan terjadinya diare adalah
faktor lingkungan, gizi, pendidikan, sosial ekonomi dan perilaku masyarakat.
Faktor lingkungan merupakan salah satu penyebab diare yaitu kebersihan
lingkungan dan perorangan seperti kebersihan air yang digunakan untuk susu dan
makanan.Faktor gizi seperti tidak diberikannya makanan tambahan meskipun anak
telah berusia 4-6 bulan (Soegeng Soegijanto, 2009).
Berdasarkan hasil penelitian diperoleh gambaran bahwa sebagian besar anak
usia 6-59 bulan yang berada di wilayah kerja puskesmas wolowa kabupaten Buton,
balita yang menderita diare sebanyak 53%, sedangan sebesar 44% tidak menderita
diare. Hal ini juga membuat kejadian diare di puskesmas wolowa kabupaten Buton
sudah menjadi urutan ke 4 dalam 10 penyakit terbesar di puskesmas tersebut.
(Anjani dkk. 2014).

Maka dari gambaran diates penulis tertarik unruk menenliti Hubungan


Pengetahuan Gizi Ibu, pemberian ASI, MPASI, Penggunaan Jamban, Ketersediaan
Air Bersih, dan Status Gizi dengan Kejadian Diare Balita di Wilayah Kerja
Puskesmas Wolowa Kabupatern Buton.
B. Rumusan Masalah
1. Apakah ada hubungsn pengetahuan gizi ibu dengan kejadian diare balta di
wilayah kerja puskesmas Wolowa kabupaten Buton?
2. Apakah ada Hubungan pemberian ASI Ekslusif dengan kejadian diare balita di
wilyah kerja puskeksmas Wolowa kabupaten Buton?
3. Apakah ada Hubungan ketersediaan air bersih dengan kejadian diare balitadi
wilrh kerja puskesmas Wolowa kabupaten Buton?
4. Apakah ada Hubungan penggunaan jamban dengan kejadian diare balita di
wilayah kerja puskesmas Wolowa kabupaten Buton?
5. Apakah ada hubungan status gizi balita dengn kejadian diare balita di wilyah
krja puskesmas Wolowa kabupaten Buton?
C. Tujuan penelitian
1. Tujuan Umum
Tujuan penelitian ini secara umum adalah untukl mengetahui Hubungan
Pengetahuan Gizi Ibu, pemberian ASI, Ekslusif, ketersediaan air bersih,
Penggunaan Jamban, dan Status Gizi dengan Kejadian Diare Balita di Wilayah
Kerja Puskesmas Wolowa Kabupatern Buton.
2. Tujuan khusus
Secara khusus tujuan penelitian ini untuk mengetahui:
1. hubungan pengetahuan gizi ibu dengn kejadian diare balaita di wlayah
kerja puskesmas Wolowa kabupaten Buton.
2. Hubungan pemberian ASI Ekslusif dengan kejadian diare balita di
wilyah kerja puskeksmas Wolowa kabupaten Buton.
3. Hubungan ketersediaan air bersih dengan kejadian diare balitadi wilrh
kerja puskesmas Wolowa kabupaten Buton.
4. Hubungan penggunaan jamban dengan kejadian diare balita di wilayah
kerja puskesmas Wolowa kabupaten Buton.

5. Hubungan status gizi balita dengn kejadian diare balita di wilyah krja
puskesmas Wolowa kabupaten Buton.
D. Manfaat Penelitian
A. Pemerintah
Diharapkan, penelitian ini dapat menjadi informasi yang berguna dalam
membantu menetapkan program kerja dalam bidang kesehatan, khusussnya
kesehatan anak dan balita dalam upaya menurunkan kejadian diare utamanya di
wilyah kerja puskesma Molowa kabupaten Buton.
B. Bagi Masyarakat
Diharapkan, penelitian ini dapat menjadi informai penting bagi masyarakat
untuk lebih memperhatikann kebersihan diri sendiri dan lingkungan, sehingga
terhindar dari penyakit diare khususnya di wilayah kerja puskesmas Molowa
kabupaten Buton.
C. IPTEK
Sebagai sumber informasi baru serta dapat dijadika sebagai sumber
pustaka.
D. Peneliti
Sebagai sarana unuk menetapkan ilmu dan teori yang diperoeh saat kuliah,
dan untuk memperkaya wawasan serta pengalamnan dalam bidang penelitian.

E. Rumusan Masalah
1. Ada hubungsn pengetahuan gizi ibu dengan kejadian diare balta di wilayah kerja
puskesmas Wolowa kabupaten Buton.
2. Ada Hubungan pemberian ASI Ekslusif dengan kejadian diare balita di wilyah
kerja puskeksmas Wolowa kabupaten Buton.
3. Ada Hubungan ketersediaan air bersih dengan kejadian diare balitadi wilrh kerja
puskesmas Wolowa kabupaten Buton.
4. Ada Hubungan penggunaan jamban dengan kejadian diare balita di wilayah
kerja puskesmas Wolowa kabupaten Buton.
5

5. Ada hubungan status gizi balita dengn kejadian diare balita di wilyah krja
puskesmas Wolowa kabupaten Buton.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Diare
Diare adalah suatu penyakit yang ditandai perubahan bentuk konsistensi
tinja yang lembek sampai cair dan ertambahnya frekuensi BAB yaitu 3 kali atau
kebih dalam sehari yang mungkin dapat disertai dengan muntah, atau tinja yang
berdarah. ( Simatupang, 2004).
B. Epidemiologi
Diare akut merupakan masalah umum ditemukan diseluruh dunia. Di
Amerika Serikat keluhan diare menempati peringkat ketiga dari daftar keluhan
pasien pada ruang praktek dokter, sementara di beberapa rumah sakit di Indonesia
data menunjukkan diare akut karena infeksi terdapat peringkat pertama s/d ke
empat pasien dewasa yang datang berobat ke rumah sakit.
Di negara maju diperkirakan insiden sekitar 0,5-2 episode/orang/tahun
sedangkan di negara berkembang lebih dari itu. Di USA dengan penduduk sekitar
200 juta diperkirakan 99 juta episode diare akut pada dewasa terjadi setiap
tahunnya.5 WHO memperkirakan ada sekitar 4 miliar kasus diare akut setiap tahun
dengan mortalitas 3-4 juta pertahun
Bila angka itu diterapkan di Indonesia, setiap tahun sekitar 100 juta episode
iare pada orang dewasa per tahun.Dari laporan surveilan terpadu tahun 1989 jumlah
kasus diare didapatkan 13,3 % di Puskesmas, di rumah sakit didapat 0,45% pada
penderita rawat inap dan 0,05 % pasien rawat jalan. Penyebab utama disentri di
Indonesia adalah Shigella, Salmonela, Campylobacter jejuni, Escherichia coli, dan
Entamoeba histolytica. Disentri berat umumnya disebabkan oleh Shigella
dysentery, kadang-kadang dapat juga disebabkan oleh Shigella flexneri, Salmonella
dan Enteroinvasive E.coli (EIEC)
Beberapa faktor epidemiologis penting dipandang untuk mendekati pasien
diare akut yang disebabkan oleh infeksi. Makanan atau minuman terkontaminasi,
berpergian, penggunaan antibiotik, HIV positif atau AIDS, merupakan petunjuk
penting dalam mengidentifikasi pasien beresiko tinggi untuk diare infeksi.
7

C. Etiologi
Infeksi non-invasif.
Stafilococcus aureus
Keracunan makanan karena stafilokokkus disebabkan asupan makanan
yang mengandung toksin stafilokokkus, yang terdapat pada makanan yang
tidak tepat cara pengawetannya. Enterotoksin stafilokokus stabil terhadap
panas.
Gejala terjadi dalam waktu 1 6 jam setelah asupan makanan
terkontaminasi. Sekitar 75 % pasien mengalami mual, muntah, dan nyeri
abdomen, yang kemudian diikuti diare sebanyak 68 %. Demam sangat jarang
terjadi. Lekositosis perifer jarang terjadi, dan sel darah putih tidak terdapat pada
pulasan feses. Masa berlangsungnya penyakit kurang dari 24 jam.
Diagnosis ditegakkan dengan biakan S. aureus dari makanan yang
terkontaminasi, atau dari kotoran dan muntahan pasien. Terapi dengan hidrasi
oral dan antiemetik. Tidak ada peranan antibiotik dalam mengeradikasi
stafilokokus dari makanan yang ditelan.
Bacillus cereus
B. cereus adalah bakteri batang gram positip, aerobik, membentuk spora.
Enterotoksin dari B. cereus menyebabkan gejala muntah dan diare, dengan
gejala muntah lebih dominan.
Gejala dapat ditemukan pada 1 6 jam setelah asupan makanan
terkontaminasi, dan masa berlangsungnya penyakit kurang dari 24 jam. Gejala
akut mual, muntah, dan nyeri abdomen, yang seringkali berakhir setelah 10
jam. Gejala diare terjadi pada 8 16 jam setelah asupan makanan
terkontaminasi dengan gejala diare cair dan kejang abdomen. Mual dan muntah
jarang terjadi. Terapi dengan rehidrasi oral dan antiemetik.
Clostridium perfringens
C perfringens adalah bakteri batang gram positip, anaerob, membentuk
spora. Bakteri ini sering menyebabkan keracunan makanan akibat dari
enterotoksin dan biasanya sembuh sendiri . Gejala berlangsung setelah 8 24
8

jam setelah asupan produk-produk daging yang terkontaminasi, diare cair dan
nyeri epigastrium, kemudian diikuti dengan mual, dan muntah. Demam jarang
terjadi. Gejala ini akan berakhir dalam waktu 24 jam.
Pemeriksaan mikrobiologis bahan makanan dengan isolasi lebih dari 10 5
organisma per gram makanan, menegakkan diagnosa keracunan makanan C
perfringens

Pulasan

cairan

fekal

menunjukkan

tidak

adanya

sel

polimorfonuklear, pemeriksaan laboratorium lainnya tidak diperlukan. Terapi


dengan rehidrasi oral dan antiemetik.
Vibrio cholerae
V cholerae adalah bakteri batang gram-negatif, berbentuk koma dan
menyebabkan diare yang menimbulkan dehidrasi berat, kematian dapat terjadi
setelah 3 4 jam pada pasien yang tidak dirawat. Toksin kolera dapat
mempengaruhi transport cairan pada usus halus dengan meningkatkan cAMP,
sekresi, dan menghambat absorpsi cairan. Penyebaran kolera dari makanan dan
air yang terkontaminasi.
Gejala awal adalah distensi abdomen dan muntah, yang secara cepat
menjadi diare berat, diare seperti air cucian beras. Pasien kekurangan elektrolit
dan volume darah. Demam ringan dapat terjadi.
Kimia darah terjadi penurunan elektrolit dan cairan dan harus segera
digantikan yang sesuai. Kalium dan bikarbonat hilang dalam jumlah yang
signifikan, dan penggantian yang tepat harus diperhatikan. Biakan feses dapat
ditemukan V.cholerae.
Target utama terapi adalah penggantian cairan dan elektrolit yang agresif.
Kebanyakan kasus dapat diterapi dengan cairan oral. Kasus yang parah
memerlukan cairan intravena.
Antibiotik dapat mengurangi volume dan masa berlangsungnya diare.
Tetrasiklin 500 mg tiga kali sehari selama 3 hari, atau doksisiklin 300 mg
sebagai dosis tunggal, merupakan pilihan pengobatan. Perbaikan yang agresif
pada kehilangan cairan menurunkan angka kematian ( biasanya < 1 %). Vaksin
kolera oral memberikan efikasi lebih tinggi dibandingkan dengan vaksin
parenteral.

Escherichia coli patogen


E. coli patogen adalah penyebab utama diare pada pelancong. Mekanisme
patogen yang melalui enterotoksin dan invasi mukosa. Ada beberapa agen
penting, yaitu :
1 Enterotoxigenic E. coli (ETEC).
2 Enterophatogenic E. coli (EPEC).
3 Enteroadherent E. coli (EAEC).
4 Enterohemorrhagic E. coli (EHEC)
5 Enteroinvasive E. Coli (EIHEC)
Kebanyakan pasien dengan ETEC, EPEC, atau EAEC mengalami gejala
ringan yang terdiri dari diare cair, mual, dan kejang abdomen. Diare berat
jarang terjadi, dimana pasien melakukan BAB lima kali atau kurang dalam
waktu 24 jam. Lamanya penyakit ini rata-rata 5 hari. Demam timbul pada
kurang dari 1/3 pasien. Feses berlendir tetapi sangat jarang terdapat sel darah
merah atau sel darah putih. Lekositosis sangat jarang terjadi. ETEC, EAEC, dan
EPEC merupakan penyakit self limited, dengan tidak ada gejala sisa.
Pemeriksaan laboratorium tidak ada yang spesifik untuk E coli, lekosit
feses jarang ditemui, kultur feses negatif dan tidak ada lekositosis. EPEC dan
EHEC dapat diisolasi dari kultur, dan pemeriksaan aglutinasi latex khusus
untuk EHEC tipe O157.
Terapi dengan memberikan rehidrasi yang adekuat. Antidiare dihindari
pada penyakit yang parah. ETEC berespon baik terhadap trimetoprimsulfametoksazole atau kuinolon yang diberikan selama 3 hari. Pemberian
antimikroba belum diketahui akan mempersingkat penyakit pada diare EPEC
dan diare EAEC. Antibiotik harus dihindari pada diare yang berhubungan
dengan EHEC.

Infeksi Invasif
Shigella

10

Shigella adalah penyakit yang ditularkan melalui makanan atau air.


Organisme Shigella menyebabkan disentri basiler dan menghasilkan respons
inflamasi pada kolon melalui enterotoksin dan invasi bakteri.
Secara klasik, Shigellosis timbul dengan gejala adanya nyeri abdomen,
demam, BAB berdarah, dan feses berlendir. Gejala awal terdiri dari demam,
nyeri abdomen, dan diare cair tanpa darah, kemudian feses berdarah setelah 3
5 hari kemudian. Lamanya gejala rata-rata pada orang dewasa adalah 7 hari,
pada kasus yang lebih parah menetap selama 3 4 minggu. Shigellosis kronis
dapat menyerupai kolitis ulseratif, dan status karier kronis dapat terjadi.
Manifestasi ekstraintestinal Shigellosis dapat terjadi, termasuk gejala
pernapasan, gejala neurologis seperti meningismus, dan Hemolytic Uremic
Syndrome. Artritis oligoartikular asimetris dapat terjadi hingga 3 minggu sejak
terjadinya disentri.
Pulasan cairan feses menunjukkan polimorfonuklear dan sel darah merah.
Kultur feses dapat digunakan untuk isolasi dan identifikasi dan sensitivitas
antibiotik.
Terapi dengan rehidrasi yang adekuat secara oral atau intravena,
tergantung dari keparahan penyakit. Derivat opiat harus dihindari. Terapi
antimikroba diberikan untuk mempersingkat berlangsungnya penyakit dan
penyebaran bakteri. Trimetoprim-sulfametoksazole atau fluoroquinolon dua
kali sehari selama 3 hari merupakan antibiotik yang dianjurkan. Salmonella
nontyphoid
Salmonella nontipoid adalah penyebab utama keracunan makanan di
Amerika Serikat. Salmonella enteriditis dan Salmonella typhimurium
merupakan penyebab. Awal penyakit dengan gejala demam, menggigil, dan
diare, diikuti dengan mual, muntah, dan kejang abdomen. Occult blood jarang
terjadi. Lamanya berlangsung biasanya kurang dari 7 hari.
Pulasan kotoran menunjukkan sel darah merah dan sel darah putih se.
Kultur darah positip pada 5 10 % pasien kasus dan sering ditemukan pada
pasien terinfeksi HIV.

11

Terapi pada Salmonella nonthypoid tanpa komplikasi dengan hidrasi


adekuat. Penggunaan antibiotik rutin tidak disarankan, karena dapat
meningkatan resistensi bakteri. Antibiotik diberikan jika terjadi komplikasi
salmonellosis, usia ekstrem ( bayi dan berusia > 50 tahun), immunodefisiensi,
tanda atau gejala sepsis, atau infeksi fokal (osteomilitis, abses). Pilihan
antibiotik adalah trimetoprim-sulfametoksazole atau fluoroquinolone seperti
ciprofloxacin atau norfloxacin oral 2 kali sehari selama 5 7 hari atau
Sephalosporin generasi ketiga secara intravena pada pasien yang tidak dapat
diberi oral.
Salmonella typhi
Salmonella typhi dan Salmonella paratyphi adalah penyebab demam
tiphoid.

Demam

tiphoid

dikarakteristikkan

dengan

demam

panjang,

splenomegali, delirium, nyeri abdomen, dan manifestasi sistemik lainnya.


Penyakit tiphoid adalah suatu penyakit sistemik dan memberikan gejala primer
yang berhubungan dengan traktus gastrointestinal. Sumber organisme ini
biasanya adalah makanan terkontaminasi.
Setelah

bakterimia,

organisma

ini

bersarang

pada

sistem

retikuloendotelial, menyebabkan hiperplasia, pada lymph nodes dan Peyer


pacthes di dalam usus halus. Pembesaran yang progresif dan ulserasi dapat
menyebabkan perforasi usus halus atau perdarahan gastrointestinal.
Bentuk klasik demam tiphoid selama 4 minggu. Masa inkubasi 7-14 hari.
Minggu pertama terjadi demam tinggi, sakit kepala, nyeri abdomen, dan
perbedaan peningkatan temperatur dengan denyut nadi. 50 % pasien dengan
defekasi normal. Pada minggu kedua terjadi splenomegali dan timbul rash.
Pada minggu ketiga timbul penurunan kesadaran dan peningkatan toksemia,
keterlibatan usus halus terjadi pada minggu ini dengan diare kebiru-biruan dan
berpotensi untuk terjadinya ferforasi. Pada minggu ke empat terjadi perbaikan
klinis.
Diagnosa ditegakkan dengan isolasi organisme. Kultur darah positif pada
90% pasien pada minggu pertama timbulnya gejala klinis. Kultur feses positif
pada minggu kedua dan ketiga.

12

Perforasi dan perdarahan gastrointestinal dapat terjadi selama jangka


waktu penyakit. Kolesistitis jarang terjadi, namun infeksi kronis kandung
empedu dapat menjadi karier dari pasien yang telah sembuh dari penyakit akut.
Pilihan obat adalah klorampenikol 500 mg 4 kali sehari selama 2 minggu.
Jika terjadi resistensi, penekanan sumsum tulang, sering kambuh dan karier
disarankan sepalosporin generasi ketiga dan flourokinolon. Sepalosforin
generasi ketiga menunjukkan effikasi sangat baik melawan S. Thypi dan harus
diberikan IV selama 7-10 hari, Kuinolon seperti ciprofloksasin 500 mg 2 kali
sehari selama 14 hari, telah menunjukkan efikasi yang tinggi dan status karier
yang rendah. Vaksin thipoid oral (ty21a) dan parenteral (Vi) direkomendasikan
jika pergi ke daerah endemik.
Campylobakter
Spesies Campylobakter ditemukan pada manusia C. Jejuni dan C. Fetus,
sering ditemukan pada pasien immunocompromised.. Patogenesis dari penyakit
toksin dan invasi pada mukosa. Manifestasi klinis infeksi Campylobakter
sangat bervariasi, dari asimtomatis sampai sindroma disentri. Masa inkubasi
selama 24 -72 jam setelah organisme masuk. Diare dan demam timbul pada
90% pasien, dan nyeri abdomen dan feses berdarah hingga 50-70%. Gejala lain
yang mungkin timbul adalah demam, mual, muntah dan malaise. Masa
berlangsungnya penyakit ini 7 hari.
Pulasan feses menunjukkan lekosit dan sel darah merah. Kultur feses
dapat ditemukan adanya Kampilobakter. Kampilobakter sensitif terhadap
eritromisin dan quinolon, namun pemakaian antibiotik masih kontroversi.
Antibiotik diindikasikan untuk pasien yang berat atau pasien yang nyata-nyata
terkena sindroma disentri. Jika terapi antibiotik diberikan, eritromisin 500 mg 2
kali sehari secara oral selama 5 hari cukup efektif. Seperti penyakit diare
lainnya, penggantian cairan dan elektrolit merupakan terapi utama.
Vibrio non-kolera
Spesies Vibrio non-kolera telah dihubungkan dengan mewabahnya
gastroenteritis. V parahemolitikus, non-01 V. kolera dan V. mimikus telah

13

dihubungkan dengan konsumsi kerang mentah. Diare terjadi individual,


berakhir kurang 5 hari. Diagnosa ditegakkan dengan membuat kultur feses yang
memerlukan media khusus. Terapi dengan koreksi elektrolit dan cairan.
Antibiotik tidak memperpendek berlangsungnya penyakit. Namun pasien
dengan diare parah atau diare lama, direkomendasikan menggunakan
tetrasiklin.
Yersinia
Spesies Yersinia adalah kokobasil, gram-negatif. Diklasifikasikan sesuai
dengan antigen somatik (O) dan flagellar (H). Organisme tersebut menginvasi
epitel usus. Yersinia menghasilkan enterotoksin labil. Terminal ileum
merupakan daerah yang paling sering terlibat, walaupun kolon dapat juga
terinvasi.
Penampilan klinis biasanya terdiri dari diare dan nyeri abdomen, yang
dapat diikuti dengan artralgia dan ruam (eritrema nodosum atau eritema
multiforme). Feses berdarah dan demam jarang terjadi. Pasien terjadi adenitis,
mual, muntah dan ulserasi pada mulut. Diagnosis ditegakkan dari kultur feses.
Penyakit biasanya sembuh sendiri berakhir dalam 1-3 minggu. Terapi dengan
hidrasi adekuat. Antibiotik tidak diperlukan, namun dapat dipertimbangkan
pada penyakit yang parah atau bekterimia. Kombinasi Aminoglikosid dan
Kuinolon nampaknya dapat menjadi terapi empirik pada sepsis.
Enterohemoragik E Coli (Subtipe 0157)
EHEC telah dikenal sejak terjadi wabah kolitis hemoragik. Wabah ini
terjadi akibat makanan yang terkontaminasi. Kebanyakan kasus terjadi 7-10
hari setelah asupan makanan atau air terkontaminasi. EHEC dapat merupakan
penyebab utama diare infeksius. Subtipe 0157 : H7 dapat dihubungkan dengan
perkembangan Hemolytic Uremic Syndrom (HUS). Centers for Disease
Control (CDC) telah meneliti bahwa E Coli 0157 dipandang sebagai penyebab
diare berdarah akut atau HUS. EHEC non-invasif tetapi menghasilkan toksin
shiga, yang menyebabkan kerusakan endotel, hemolisis mikroangiopatik, dan

14

kerusakan ginjal. Awal dari penyakit dengan gejala diare sedang hingga berat
(hingga 10-12 kali perhari).

Karakteristik Penilitian;
Diare

Tidak Diare

Kosistensi tinja Cair,. 3 kali sehai


Konsistensi tinja Tidak Cair, 3
kali sehari

Metode dan Instrumen;


Metode
Instrumen

:
:

Angket
Kuesioner

B. Pengetahuan Gizi
Pengetahuan gizi merupakan pengetahuan mengenai peran makanan, zat
yang dimakan, serta sumber zat gizi sehingga tidak menyebabkan penyakit
(Nototmodjo, 2005).
Kriteria Objektif
Baik
Sedang
Kurang

:
:
:

> 80%
60 80%
< 60%

:
:

Angket
Kuesioner

Metode dan Insrumen


Metode
Instrummen

C. Pemberian ASI Ekslusif


Pemberian ASI Eklusif adalah pemberian ASI tanpa makanan dan minuman
pendamping (termasuk air jeruk dan air gula) yang di,ulai sejak bayi baru lahir
sampai dengan usia enam bulan. (Sulistyawati 2009).
Kriteria Objektif

ASI Ekslusif

Bukan ASI Ekslusif

Jika pemberian ASI saja selama 6 bulan


pertama kelahiran, tanpa pemberian
makanan tambahan (makanan formula,
susu cair, dan teh).
Jika diberiakan makanan tambahan
(makan formula, susu, dan teh) selain

15

ASI selama 6 bulan pertama kelahiran.


Metode dan Instrumen;
Metode
Instrumen

: Angket
: Kuesinoer

D. Ketersediaan Air Bersih


Keterseiaan air bersih adalah tersedianya air yang memenuhi persyaratan
dari kualitas fisik, kimia, biologi, dan radologis, sehingga apabila dikonsumsi, tidak
menimbulkan efek samping (Permenkes No. 416/Menkes/PER/IX/1990)
Kriteria Objektif

Air
Bersih

Air Tidak Bersih

Jernih, tidak bau, tidak mengandung


bakteri tinja, senyawa kimia (Pb,
Kapur,
Belerang),
dan
tidak
mengandung senyawa radio aktif (
, , dan ).

Tidak Jernih, bau, mengandung bakteri


tinja, senyawa kimia (Pb, Kapur,
Belerang), dan mengandung senyawa
radio aktif ( , , dan ).

:
:

Observasi
Afar Cross Check

.
Metode dan Instrumen
Metode
Instrumen

E. Penggunaan Jamban
Adalah penggunaan berbagai jenis tempat pembuangan air besar yang setiap
hari digunakan oleh keluarga termasuk balita, untuk membuang tinja (sumber, tesis
syabarni 2002).
Kriteria Objektif
Mudah dibersihkan, tidak berbau, cukup
penerangan, tersedia air dan alat pembersih
Tidak mudah dibersihkan, berbau, tidak
cukup penerangan, tidak tersedia air dan

Jamban Sehat
Jamban Tidak Sehat

16

alat pembersih
Metode dan Instrumen
Metode
Instrumen

:
:

Angket
Kuesioner

F. Status Gizi
Status gizi adalah keadaan tubuh sebagai akibat konsumsi makanan dan
penggunaan zat-zat gizi dan dibedakan status gizi buruk, Kurang, dan Baik.
(Almatsier, 2005)
Kriteria Objektif
Gizi Lebih
Gizi Baik
Gizi Kurang
Gizi Buruk

:
:
:
:

> + 2SD
+2SD - < -2SD
-3 SD - -2SD
< -3 SD

Metode dan Instrumen


Metode
Instrumen

:
:

Antropometri
Timbangan Dacin

17

Krangka Pemikiran

Faktor Lingkungan

Faktor
sosiodemograf

Faktor perilaku

Penggunaan
jamban

Tingkat
pendidikan

Pembuangan
tinja

Penggunaan air
yang telah
tercemar

Usia ibu

Pemberian ASI
Ekslusif

Ketersediaan
air bersih

Pekerjaan ibu

Kebiasaan
mencuci tangan

Pebgetahuan
gizi ibu

Pengolahan
pangan

Variabel diteliti
Variabel tidak
diteliti

18

Status gizi

Anda mungkin juga menyukai