Anda di halaman 1dari 5

MENGGALI (KEMBALI) PANCASILA 1 JUNI

Dewa Putu Adi Wibawa


1 Juni 2015
Radjiman Wedioningrat, Ketua BPUPKI bertanya: "Apakah dasar dari
negara Indonesia merdeka?" Sukarno, seperti biasanya, menjawab tegas:
"Pancasila!". Terminologi yang dengan sangat puitis ia sebutkan telah lahir
dari usulan seorang teman ahli bahasa (Mohammad Yamin?). Seperti
tercatat dalam teks pidatonya dan risalah sidang BPUPKI, Sukarno
mengklaim pidato yang dibacakannya pada 1 Juni 1945 dihadapan seluruh
peserta sidang adalah jawaban tunggal atas pertanyaan ketua BPUPKI
mengenai dasar negara. Klaim tersebut dikonfirmasi kebenarannya
melalui riset mendalam yang dilakukan oleh RM AB Kusuma, seorang
pakar sejarah hukum tata negara Universitas Indonesia. Berbeda dengan
anggapan selama ini, Soepomo dan Yamin telah terlebih dahulu memberi
jawaban sebelum Sukarno mengutarakan gagasan Pancasila-nya. Setelah
memeriksa notulensi dan berbagai dokumen persidangan, AB Kusuma
berkesimpulan ada banyak tokoh selain dua tokoh di atas yang berpidato
dan tidak satu pun, selain Sukarno, yang menyinggung prihal dasar
negara. Kesimpulan tersebut menyudahi kontroversi penetapan 1 Juni
sebagai hari lahirnya Pancasila yang lebih dipicu oleh proyek
desukarnoisasi pada masa rezim Orde Baru berkuasa.
Signifikansi penyematan 1 Juni pada istilah Pancasila dalam judul tulisan
ini tidak terletak pada niatan untuk melibatkan diri dalam polemik di atas.
Ulasan tentangnya (Pancasila 1 Juni) bukan pula bagian dari skenario
problematisasi atas rumusan Pancasila dalam pembukaan konstitusi.
Justeru sebaliknya, ini adalah tindak lanjut dari usaha menemukan
kembali spirit yang tertanam dibalik perumusan Pancasila. Menemukan
kembali spirit Pancasila identik dengan ikhtiar menemukan jawaban atas
persoalan bangsa dengan meneladani posisi dan cara para bapak bangsa
menjawab persoalan bangsa pada masanya. Dengan kata lain diskursus
Pancasila 1 Juni ditujukan mengembalikan vitalitas Pancasila dalam
menanggapi tantangan kebangsaan.
Sejak awal kelahirannya, Pancasila telah dimaksudkan sebagai dasar dari
negara Indonesia merdeka (BK menyebutnya dengan istilah Philosofische
grondslag). Untuk mengerti Pancasila, karenanya, terlebih dahulu perlu
mengetahui apa itu negara-merdeka. Dalam pidato 1 Juni tidak dijumpai
pengertian negara baik secara eksplisit maupun implisit. Baru kemudian
setelah beberapa tahun pasca proklamasi dalam sebuah kesempatan
kursus Pancasila, BK mengajukan sebuah definisi, di mana ia mengartikan
negara sebagai organisasi kekuasaan (baca Sukarno: 1959). Sebuah
pengertian yang diabsorbsi dari teori Marx. Meski demikian, BK
berpandangan beda. Bagi BK, yang terpengaruh konsep negara
kekeluargaan dari Soepomo, negara tidak disusun berdasarkan semangat

perjuangan klas (meski ia menerima teori perjuangan klas), melainkan


atas kemanunggalan seluruh unsur rakyat Indonesia sebagai bangsa
dengan negara, negara untuk semua (baca Muhammad Yamin: 1959).
Pun, berdirinya negara Indonesia dipandang sebagai tahap maju atas
proses perjuangan rakyat Indonesia menentang praktik eksploitasi,
setelah sebelumnya (pra kemerdekaan) rakyat Indonesia mempergunakan
partai politik sebagai alat perjuangannya.
Berkenaan dengan penggunaan istilah merdeka, mengacu pada kerangka
berpikir tentang negara di atas, merdeka dapat didefinisikan sebagai
syarat prakondisional terealisasinya tujuan dari negara. Diafirmasi oleh BK
di dalam artikel berjudul Mencapai Indonesia Merdeka menggunakan
metafora jembatan emas untuk menggambarkan kedudukan strategis
dari kemerdekaan - atas belenggu imperialisme kapital dalam rupa
kolonialisme- menuju cita-cita tertinggi bangsa. Penekanan pada
merdeka sebagai predikat,
mengisyaratkan bahwa materi muatan
Pancasila mengandung nilai-nilai dari satu bangsa yang merdeka. Atau
dengan kata lain, antithese atas apa yang disebut sebagai ideologi kaum
penjajah (imperialisme kolonial). Sehingga, memberi petunjuk tentang
karakteristik dan kedudukan Pancasila dalam proses berbangsa dan
bernegara.
Pandangan tersebut di atas, mengimplikasikan kelahiran dua entitas
elementer dari negara yang kemudian oleh BK ditetapkan sebagai kriteria
sesuatu dapat dinamakan dasar negara. Kedua elemen tersebut yaitu
elemen persatuan dan elemen statik (fundamen universal atau alas
persatuan) sekaligus dinamik (arah perjuangan). Apa yang dimaksud
dengan cakupan entitas elementer negara dalam konteks ini bukan lain
adalah Pancasila. Sehingga, Pancasila dapat dimengerti sebagai dasar
pemersatu sekaligus landasan persatuan dan arah dari perjuangan dari
bangsa (menggunakan negara sebagai alatnya) yang telah merdeka.
Sebagai pemersatu, Pancasila sudah seharusnya merupakan cerminan
dari kenyataan historis bangsa Indonesia, atau dalam bahasa BK bahwa
Pancasila bukan buah pemikirannya melainkan hasil penggalian atas bumi
sejarah bangsa Indonesia (lihat Sukarno: 1959, hlm. 26).
Kedudukan dan karakteristik Pancasila yang demikian lebih lanjut dijabar
ke dalam lima sila. Dengan kata lain, nilai-nilai dan arah perjuangan
bangsa Indonesia termanifestasi ke dalam sila-sila Pancasila. Tidak
mengherankan bila, sebagai penjabaran dari kerangka pemikiran di atas,
apa yang diajukan BK sebagai sila pertama adalah prihal kebangsaan. Ia
memilih bangsa, bukan klas sosial tertentu, meski pun konsepsi
Marhaenisme-nya berintikan pada teori perjuangan klas, karena
kebangsaan memiliki kapasitas yang memadai untuk mewadahi
persatuan, selain pula bersifat independen terhadap perbedaan agama
dan etnis. Namun aspek materiil yang melatari pilihan tersebut tidak
bukan adalah ancaman dari apa yang disebut BK sebagai Nekolim (upaya
menjajah kembali Indonesia oleh pihak luar). Prikemanusiaan kemudian
dipilih sebagai sila kedua untuk memberi arah dan mengimbangi prinsip

kebangsaan. Prinsip kemanusiaan tidak mengenal sekat agama, ideologi,


klas sosial dan bahkan bangsa. Namun, mengacu pada definisi negara,
konsep kemanusiaan yang dimaksud tidak buta realitas, itu lah mengapa
BK mengidentifikasinya sebagai internasionalisme. Dua sila pertama ini
lantas digabung dalam sebuah rumusan dialektis dengan nama sosionasionalisme, yaitu nasionalisme kemanusiaan yang berpijak pada
kenyataan masyarakat dan mengacu pada solidaritas perjuangan
internasional dalam rangka menghilangkan penindasan antar bangsa dan
manusia atas manusia lainnya.
Di lapangan politik, dalam konteks pengambilan keputusan, prinsip
persatuan
harus
ditopang
oleh
demokrasi
kolektif
berbasis
permusyawaratan. Merujuk pada teori yang dikembangkan Hatta,
gagasan demokrasi dipercaya telah terselenggara selama berabad-abad
di desa-desa nusantara dan bertahan hingga saat ini setelah melewati
rezim feodalistis (kerajaan), kolonialisme dan kapitalisme kronii. Senada
dengan Hatta, konsep demokrasi yang diintroduksi BK berangkat dari
pengalaman historis bangsa Indonesia yang membuatnya terbedakan
dari demokrasi tipikal barat, sebuah konsep demokrasi yang menjadi
bulan-bulanan kritik kedua pemimpin itu. Pada kesempatan ini lah, BK
mengkritik sistem kapitalisme sebagai biang persoalan kesejahteraan di
mana demokrasi barat beserta variannya (individualisme) adalah ideologi
politiknya.BK
berpandangan
bahwa
demokrasi
(parlementeire
democratie), sebagai lawan dari fasisme dan kritik atas feodalisme,
adalah ideologi politik dari kapitalisme im aufstieg (kapitalisme yang
sedang pasang) (Sukarno: 1959, hlm. 114). Demokrasi barat berintikan
prinsip individualisme dan memberi penekanan berlebih pada aspek
politik semata. Revolusi Perancis dianggap sebagai momentum kelahiran
konsep demokrasi barat, sekaligus pula pertanda kemenangan politik klas
borjuis Perancis (penguatan kapitalisme). Dalam konteks kritik semacam
itu, prinsip demokrasi atau mufakat selanjutnya oleh BK digandengkan
dengan cita-cita kesejahteraan sosial. Ia menyebutnya dengan sosiodemokrasi, demokrasi sosial yang berorientasi tidak hanya pada aspekaspek politik anggota bangsa tapi lebih dari itu semua menjunjung
kesejahteraan ekonomi rakyat setinggi-tingginya.
Oleh sebab Pancasila adalah hasil galian dari sejarah bangsa Indonesia,
maka dasar filosofis dari negara Indonesia merdeka tidak dapat abai pada
fakta kesadaran berketuhanan bangsa Indonesia. Alhasil Pancasila
memuat prinsip ketuhanan sebagai salah satu silanya. Namun, apa yang
disebut dengan sila ketuhanan dalam konteks ini tidak menunjuk pada
konsep teologi tertentu seperti monotheisme atau lainnya, meski Piagam
Jakarta menggunakan istilah Esa (diambil dari bahasa Ende yang berarti
satu). Hal ini diterangkan baik dalam pidato 1 Juni maupun berbagai
kursus Pancasila, sila ketuhanan adalah bentuk pernyataan bahwa bangsa
Indonesia adalah bangsa bertuhan dan hendaknya pemujaan atas Tuhan
dikembalikan pada masing-masing agama. Memaksakan konsep teologi
tertentu sama saja berarti membatalkan karakter dan kedudukan
Pancasila sebagai dasar pemersatu bangsa.

Menurut BK, kelima sila dan penggabungannya (trisila) di atas dapat


diperas kembali menjadi apa yang disebutnya sebagai ekasila, yaitu
gotong royong. Nampak sekali dalam alur berpikir ini adanya kehendak
bahwa negara Indonesia merdeka dilandasi oleh konsepsi gotong royong
dan membuang jauh-jauh alam pemikiran individualisme berserta seluruh
variannya. Hal ini terkonfirmasi pada konsistensi BK pada posisi kritis
terhadap hal-ikhwal individualisme baik dalam rupa kapitalisme sebagai
corak produksi maupun ideologinya (liberalisme). Melalui semangat ini,
Usaha menggali kembali Pancasila 1 Juni pun mengantarkan penulis pada
perjumpaan dengan spirit Pancasila, yakni sebagai dasar pemersatu
sekaligus arah perjuangan bangsa dalam menentang beragam bentuk
penindasan beserta ideologi pendukungnya (yang dipercaya berakar pada
konsep individualisme serta kapitalisme dan ideologi liberalismenya,
untuk ini silakan pemikiran-pemikiran BK yang tertuang dalam berbagai
artikel, teks pidato maupun argumentasi yang disampaikannya dalam
banyak kesempatan perdebatan pada siding BPUPKI. Istilah perjuangan
dalam konteks ini mewakili dua pengertian; pertama, realisasi tujuan
bernegara dan berbangsa hanya mungkin dicapai melalui proses
perjuangan; kedua, dalam kondisi kekinian, mencapai tujuan tersebut
mensyaratkan perjuangan tanpa ampun atas seluruh kelemahan (susunan
internal masyarakat Indonesia yang tipikal kapitalistik) dan hambatan
(faktor luar dalam rupa agresi imperialisme neoliberal).
Penulis mendasarkan pandangan di atas pada konsep negara sebagai
organisasi kekuasaan sekaligus alat perjuangan sebagaimana telah
dikemukakan di atas. Implikasinya, raison detre dari negara, menurut
pemahaman ini, adalah keniscayaannya untuk berjuang menentang
penghisapan manusia atas manusia dan bangsa atas bangsa. Di samping
itu pula, melalui tinjauan konseptual atas rumusan kriteria dasar negara
(Pancasila
sebagai
arah
perjuangan
dan
wadah
pemersatu),
mengisyaratkan bentuk serta metode perjuangan yang dikehendaki
Pancasila. Dalam konteks ini lah, wacana persatuan nasional sebagai
bentuk dan metode perjuangan dalam menghadapi tiap-tiap tantangan
kebangsaan memperoleh pendasaran filosofisnya.
Pada akhirnya, sebagaimana di atas, seluruh usaha penyusunan tulisan ini
tidak mengandaikan adanya Pancasila yang lain. Penulis dalam hal ini
sangat sadar bahwa keseluruhan sila yang termuat dalam pembukaan
konstitusi bukan lain adalah hasil adaptasi pula dari Pancasila 1 Juni, yang
karenanya, secara mendasar tidak bertentangan satu sama lain.
Perbedaan hanya terletak pada rumusan redaksional keduanya. Meski
demikian, perbedaan ini memicu distorsi atas makna Pancasila terlebih
bila pembacaan dilakukan abai akan konteks kesejarahan. Karena itu,
usaha ini berada pada posisi mengantisipasi kemunculan tendensi
formalisme (hafal teks abai makna) yang dapat berakibat fatal pada
dijadikannya Pancasila semacam benda koleksi museum perjuangan
tempo dulu. Menggali kembali Pancasila 1 Juni berarti membangun
alternatif tafsir atas apa yang telah diusahakan sejauh ini, sehingga,

mampu membuka ruang kontekstualisasi dan mengembalikan vitalitas


gagasan Pancasila dalam menanggapi tantangan kebangsaan.

Anda mungkin juga menyukai