Anda di halaman 1dari 24

Majalah

Vol. VIII, No. 11/I/P3DI/Juni/2016

Kajian Singkat terhadap Isu Aktual dan Strategis

KONTROVERSI ANCAMAN HUKUMAN KEBIRI


DALAM PERPPU NO. 1 TAHUN 2016
Sulasi Rongiyati*)

Abstrak
Penetapan Perppu No. 1 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua Undang-Undang
Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak (Perppu No. 1 Tahun 2016) menjadi
polemik di masyarakat. Masyarakat menghendaki peraturan perundang-undangan
yang lebih tegas dan dapat menimbulkan efek jera sehingga dapat menanggulangi
kasus kekerasan seksual terhadap anak. Namun pemberlakuan pemberatan ancaman
pidana yang diatur dalam Perppu No. 1 Tahun 2016, khususnya mengenai hukuman
mati dan kebiri mendapat reaksi penolakan karena dianggap melanggar HAM. Secara
prosedural Perppu No. 1 Tahun 2016 telah memenuhi persyaratan pembentukannya,
namun secara materi muatan Perppu tersebut tidak memiliki dasar hukum yang
kuat. DPR perlu mempertimbangkan substansi Perppu untuk memutuskan menerima
atau menolak Perppu dengan mempertimbangkan konsekuensi hukumnya. Untuk
menjembatani pengaturan pidana yang lebih berat bagi pelaku kekerasan seksual
terhadap anak, DPR dan Pemerintah dapat segera membahas RUU Pencegahan
Kekerasan Seksual dan merevisi UU Perlindungan Anak melalui prosedur perubahan
undang-undang yang biasa.

Pendahuluan

kembang anak, serta mengganggu rasa


kenyamanan, ketenteraman, keamanan, dan
ketertiban masyarakat. Namun, sanksi pidana
yang dijatuhkan bagi pelaku kekerasan
seksual terhadap anak melalui UndangUndang Nomor 23 Tahun 2002 tentang
Perlindungan Anak (UU Perlindungan
Anak) belum mampu mencegah terjadinya
kekerasan seksual terhadap anak dan belum
memberikan efek jera bagi para pelaku
kekerasan seksual terhadap anak, sehingga
Presiden merasa perlu menetapkan Perppu
No. 1 Tahun 2016.

Penetapan Perppu No. 1 Tahun 2016


atau yang oleh kalangan media disebut
dengan Perppu Kebiri, menuai kontroversi.
Perppu yang ditandatangani Presiden Joko
Widodo 25 Mei 2016 dan berlaku sejak
ditandatangani itu merupakan respons
Pemerintah atas merebaknya kasus kekerasan
seksual terhadap anak yang terjadi akhirakhir ini. Pemerintah berpandangan bahwa
kekerasan seksual terhadap anak semakin
meningkat secara signifikan sehingga
mengancam dan membahayakan jiwa anak,
merusak kehidupan pribadi dan tumbuh

*) Peneliti Madya Hukum Ekonomi pada Bidang Hukum, Pusat Penelitian, Badan Keahlian DPR RI.
E-mail: susidhan@yahoo.com
Info Singkat
2009, Pusat Penelitian
Badan Keahlian DPR RI
www.pengkajian.dpr.go.id
ISSN 2088-2351

-1-

Masyarakat memberi apresiasi terhadap


sikap Pemerintah yang dinilai tanggap terhadap
peristiwa yang terjadi di masyarakat. Namun,
substansi Perppu No.1 Tahun 2016 memicu
kontroversi, khususnya berkenaan dengan
dimuatnya ancaman pidana mati, pengumuman
identitas pelaku, tindakan kebiri kimia, dan
pemasangan alat pendeteksi keberadaan
(chip) terhadap pelaku kejahatan seksual
terhadap anak. Beberapa kalangan berpendapat
hukuman tersebut layak dikenakan kepada
pelaku kejahatan seksual terhadap anak, karena
penderitaan dan dampak yang dirasakan oleh
korban sangat besar. Sementara kalangan pegiat
hak asasi manusia (HAM) keberatan dengan
materi ancaman pidana di dalam Perppu
tersebut, khususnya mengenai pengenaan
ancaman pidana hukuman mati dan tindakan
kebiri kimia yang dianggap bertentangan
dengan HAM. Menurut Direktur Institut
Pemberdayaan Anak dan Perempuan Indonesia,
Ninik Rahayu, kebiri bukan solusi untuk
mengatasi kejahatan seksual. Bahkan dengan
alasan bertentangan dengan HAM, Direktur
Eksekutif Institute for Criminal Justice Reform
(ICJR), Supriyadi W Eddyono mengatakan
pihaknya tengah bersiap untuk melakukan uji
materi sambil menunggu pembahasan Perppu
No. 1 Tahun 2016 oleh Dewan Perwakilan
Rakyat (DPR). Penolakan juga dilakukan oleh
Ikatan Dokter Indonesia yang menganggap
tindakan kebiri bertentangan dengan kode etik
dokter dan lebih menyarankan tindakan yang
lebih efektif, yaitu rehabilitasi bagi pelaku.
Perppu merupakan salah satu produk
peraturan perundang-undangan yang dibuat
oleh Presiden dalam hal kegentingan yang
memaksa dan harus mendapatkan persetujuan
DPR. Tulisan ini akan mengkaji permasalahan
bagaimana konsekuensi yuridis pemberlakuan
Perppu No. 1 Tahun 2016, baik dari sisi
prosedur (secara formil) maupun substansi yang
diaturnya (secara materiil).

merupakan hak subjektif Presiden dalam


kondisi
ketatanegaraan
yang
abnormal
(noodverordeningrecht)
untuk
bertindak
cepat, tepat, dan terukur agar keselamatan
negara dapat terjamin. Namun, secara teoritis
perluasan pengertian mengenai kegentingan
yang memaksa harus dipertimbangkan secara
hati-hati karena jika dilakukan tanpa pembatasan
maka Perppu akan menjadi instrumen
kediktatoran dalam penyelenggaraan negara.
Melalui Putusan MK No. 138/PUUVII/2009, MK mengatur 3 syarat terpenuhinya
kegentingan yang memaksa yakni: (1) adanya
keadaan yaitu kebutuhan mendesak untuk
menyelesaikan masalah hukum secara cepat
berdasarkan undang-undang, (2) Undangundang yang dibutuhkan tersebut belum ada
sehingga terjadi kekosongan hukum atau ada
undang-undang tetapi tidak memadai, dan
(3) kekosongan hukum tersebut tidak dapat
diatasi dengan cara membuat undang-undang
secara prosedur biasa karena akan memerlukan
waktu yang cukup lama sedangkan keadaan
yang mendesak tersebut perlu kepastian untuk
diselesaikan.
Secara konstitusional Perppu yang
berlaku harus memperoleh persetujuan DPR.
Pasal 22 ayat (2) UUD Tahun 1945 berbunyi:
Peraturan Pemerintah itu harus mendapat
persetujuan DPR dalam persidangan yang
berikut. Peran DPR dalam hal ini sebatas
untuk menyetujui atau menolak Perppu,
tanpa mengubah substansi yang diatur dalam
Perppu. Untuk dapat memperoleh persetujuan
DPR, Presiden harus mampu menjelaskan
dan meyakinkan DPR bahwa Perppu tersebut
memang urgent dengan mempertimbangkan
syarat kegentingan memaksa. Dalam konsideran
menimbang yang kemudian dijelaskan dalam
Penjelasan Umum Perppu No. 1 Tahun 2016
digambarkan bahwa argumen untuk memenuhi
persyaratan adanya keadaan yaitu kebutuhan
mendesak untuk menyelesaikan masalah
hukum secara cepat berdasarkan UU adalah
anak merupakan generasi penerus bangsa
memiliki peran penting dalam pembangunan
nasional wajib mendapatkan perlindungan
dari negara. Kekerasan seksual terhadap anak
merupakan kejahatan serius yang semakin
meningkat dari waktu ke waktu dan secara
signifikan mengancam dan membahayakan
jiwa anak, merusak kehidupan pribadi dan
tumbuh kembang anak, serta mengganggu rasa
kenyamanan, ketentraman, keamanan, dan
ketertiban masyarakat.

Persyaratan Penetapan Perppu


Perppu merupakan jenis peraturan
perundang-undangan yang diatur dalam
konstitusi, yaitu Pasal 22 ayat (1) UndangUndang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945 (UUD 1945) yang menyebutkan
bahwa Dalam hal ihwal kegentingan yang
memaksa, Presiden berhak menetapkan
peraturan pemerintah sebagai pengganti
undang-undang. Menurut Bagir Manan,
ketentuan Pasal 22 ayat (1) UUD 1945
-2-

Fakta masih banyak terjadi kasus


kekerasan seksual terhadap anak membuktikan
bahwa meskipun UU Perlindungan Anak
telah mengatur sanksi pidana bagi pelaku
kekerasan seksual terhadap anak, namun pada
kenyataannya belum mampu memberikan
efek jera dan belum mampu mencegah secara
komprehensif terjadinya kekerasan seksual
terhadap anak. Dengan kata lain, sudah ada
undang-undang yang mengaturnya tetapi
belum memadai. Mengingat kasus kejahatan
seksual terhadap anak terus terjadi maka
sudah sangat mendesak kebutuhan pengaturan
sanksi pidana yang lebih berat dalam undangundang. Pada sisi lain, jika pengaturan tersebut
dilakukan dengan membuat atau merevisi UU
Perlindungan Anak melalui prosedur biasa
akan membutuhkan waktu pembahasan yang
relatif lama, sedangkan kejahatan tersebut terus
berlangsung, Pemerintah memutuskan untuk
membentuk Perppu No. 1 Tahun 2016. Dengan
memperhatikan pertimbangan-pertimbangan
tersebut, secara prosedural (formil) Perppu No.
1 Tahun 2016 telah memenuhi syarat.

KUHP, pidana mati merupakan salah satu


pidana pokok yang diberlakukan dalam sistem
pemidanaan Indonesia. Pasal 10 huruf a KUHP
menyebutkan bahwa pidana pokok terdiri atas:
1) pidana mati; 2) pidana penjara; 3) pidana
kurungan; 4) pidana denda; 5) pidana tutupan.
Kedua, pidana kebiri kimia, pemasangan
alat deteksi elektronik, dan pengumuman
identitas pelaku sebagai pidana tambahan.
Jenis pidana tersebut tidak dikenal dalam
KUHP. Sebagaimana disebutkan dalam
Pasal 10 huruf b KUHP, pidana tambahan
meliputi 1) pencabutan hak-hak tertentu;
2) perampasan barang-barang tertentu; 3)
pengumuman putusan hakim. Jika ketiga
jenis pidana tambahan tersebut dikategorikan
sebagai pencabutan hak-hak tertentu maka
seharusnya norma Perppu menyebut dengan
tegas bahwa tindakan tersebut sebagai pidana
tambahan pencabutan hak-hak tertentu, berupa
pidana kebiri kimia, pemasangan alat deteksi
elektronik, dan pengumuman identitas.
Dengan demikian dapat dikatakan sanksi pidana
kebiri kimia, pemasangan alat deteksi elektronik
dan pengumuman identitas pelaku yang diatur
dalam Perppu No. 1 Tahun 2016 tidak memiliki
dasar hukum yang kuat karena tidak terdapat di
dalam KUHP.
Pelaksanaan pidana tambahan yang
dilakukan pasca-pelaksanaan pidana pokok
juga akan bertentangan dengan prinsip
pemasyarakatan warga binaan sebagaimana
diatur dalam UU No. 12 Tahun 1995
tentang Pemasyarakatan. Seperti diketahui,
pemasyarakatan sebagai bagian akhir dari
sistem pemidanaan bertujuan agar warga
binaan menyadari kesalahannya, memperbaiki
diri, dan tidak mengulangi tindak pidana
sehingga dapat diterima kembali oleh
lingkungan masyarakat, dapat aktif berperan
dalam pembangunan, dan dapat hidup secara
wajar sebagai warga yang baik dan bertanggung
jawab
Menurut
Alfin
Sulaiman,
pidana
tambahan tersebut sangat rentan jika
berhadapan dengan prinsip-prinsip konstitusi
karena meskipun Pasal 28J UUD 1945
memungkinkan dilakukannya pembatasan
HAM berdasarkan undang-undang, namun
pembatasan tersebut tetap harus dilakukan
dengan mempertimbangkan moral dan nilainilai agama.
Ketiga, ancaman pidana penjara dengan
pola minimum khusus dapat membatasi
kebebasan hakim untuk menjatuhkan pidana.

Substansi Perppu No. 1 Tahun 2016


Materi pokok yang diatur dalam
Perppu No. 1 Tahun 2016 adalah perubahan
terhadap ketentuan Pasal 81 dan Pasal 82
UU Perlindungan Anak, serta menambahkan
ketentuan baru yaitu Pasal 81A dan Pasal
82A UU Perlindungan Anak. Materi tersebut
berupa pemberatan ancaman pidana bagi
pelaku kejahatan seksual terhadap anak dengan
menambah pidana pokok berupa pidana
mati dan pidana seumur hidup, serta pidana
tambahan berupa pengumuman identitas
pelaku. Selain itu, Perppu juga menambahkan
ketentuan baru mengenai tindakan berupa
kebiri kimia, pemasangan alat pendeteksi
elektronik, dan rehabilitasi.
Beberapa permasalahan hukum yang
muncul sebagai konsekuensi pemberlakuan
Perppu No.1 Tahun 2016 antara lain:
pertama, pencantuman pidana mati akan
menimbulkan reaksi keras dunia internasional
yang menghendaki Indonesia menghilangkan
hukuman mati dalam sistem pemidanaannya,
karena dianggap melanggar HAM. Terlepas dari
penolakan pengenaan ancaman hukuman mati
yang digalang para penggiat HAM dan tekanan
negara lain, pemberatan ancaman hukuman
pokok bagi pelaku kejahatan seksual terhadap
anak, sah untuk diberlakukan dalam suatu
undang-undang. Hal ini karena berdasarkan
-3-

Dengan adanya ancaman pidana minimum


khusus (10 tahun penjara) maka Indonesia
secara implisit menyatakan bahwa kejahatan
seksual terhadap anak merupakan salah satu
kejahatan dengan tingkat ketercelaan yang
paling tinggi, sama seperti pelanggaran HAM
berat sebagaimana yang diatur dalam UU No.
26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM.
Menyitir pendapat Bentham, Alfin
Sulaiman mengatakan pejatuhan pidana
pada akhirnya tidak akan memiliki nilai
pembenaran apapun bila pidana itu sematamata dijatuhkan untuk sekadar menambah
lebih banyak penderitaan atau kerugian pada
masyarakat. Penerapan pidana kebiri kimia
serta pemasangan alat pendeteksi keberadaan
elektronik hanya akan menjadikan fenomena
kejahatan seksual terhadap anak dilihat secara
backward-looking dan sarat dengan semangat
retributif (pembalasan) terhadap pelaku. Hal
yang mendesak untuk dilakukan adalah mencari
pola dan sistem pembinaan yang komprehensif
sehingga dapat mengendalikan jiwa dan pikiran
(mens rea) manusia untuk dapat menghindari
penyaluran hasrat seksual secara amoral dan
melanggar ketentuan peraturan perundangundangan.

pidana minimum yang bertentangan dengan


prinsip kebebasan hakim dalam menjatuhkan
pidana bagi pelaku.
Terkait dengan hal tersebut, DPR
perlu
mempertimbangkan
secara
lebih
mendalam untuk menyetujui atau menolak
Pemberlakuan Perppu No.1 Tahun 2016
dengan
mempertimbangkan
konsekuensi
yuridis atas pemberlakuan substansi Perppu
yang menyimpang dari prinsip-prinsip dalam
sistem pemidanaan yang dianut KUHP dan
peraturan perundang-undangan terkait. Dalam
pembahasan Perppu, DPR hanya memiliki
kewenangan yang terbatas, yaitu hanya
menerima atau menolak, tanpa melakukan
perubahan. Beberapa langkah dapat dilakukan
oleh Pemerintah dan DPR jika Perppu No.1
Tahun 2016 ditolak DPR, antara lain dengan
segera melakukan pembahasan Rancangan
Undang-Undang
tentang
Pencegahan
Kekerasan Seksual yang telah disepakati
menjadi RUU Prioritas 2016 dalam Program
Legislasi
Nasional
(Prolegnas)
dengan
memikirkan solusi pidana yang tepat bagi
pelecehan seksual pada anak; dan 2) segera
melakukan revisi terhadap UU Perlindungan
Anak melalui prosedur perubahan undangundang yang biasa.

Penutup

Referensi

Reaksi Pemerintah atas maraknya kasus


pelecehan seksual terhadap anak dengan
menetapkan Perppu No.1 Tahun 2016 menjadi
kotroversi di masyarakat. Secara prosedural,
penetapan Perppu No.1 Tahun 2016 telah
memenuhi prosedur yang diatur oleh konstitusi
dan memenuhi syarat kegentingan memaksa
sesuai putusan MK. Penetapan Perppu No.1
Tahun 2016 karena Pemerintah berpendapat
kasus pelecehan seksual terhadap anak sudah
dalam tahap genting (darurat pelecehan seksual
terhadap anak), mengingat kasus-kasus tersebut
masih terus terjadi dan sangat membahayakan
masa depan anak sebagai aset bangsa. Undangundang yang ada belum mampu menimbulkan
efek jera bagi pelaku, sehingga diperlukan
segera pengaturan ancaman pidana yang
lebih berat dengan tujuan menimbulkan efek
jera bagi pelaku. Namun, secara substansial
pengaturan
pemberatan
sanksi
dan
penambahan jenis sanksi dalam Perppu No.1
Tahun 2016 berkorelasi dengan penerapan
sistem pemidanaan yang dianut Indonesia.
Dasar legalisasi pemberlakuan pidana kebiri
dan pemasangan alat elektronik tidak diatur
dalam KUHP. Demikian pula dengan penerapan

Komnas HAM Tolak Rancangan Perppu


Kebiri,
http://www.hukumonline.com/
berita/baca/, diakses tanggal 7 Juni 2016.
Kontroversi Perppu Kebiri, http://print.
kompas.com/, diakses 27 Mei 2016.
Perjalanan Panjang Perppu Kebiri, http://
www.hukumonline.com/berita/, diakses 30
Mei 2016.
Perppu Kebiri Perlu Segera Dikaji, http://
kanalhukum.id/, diakses 7 Juni 2016.
RUU Pencegahan Kekerasan Seksual Dibahas
Tahun ini, Kompas, 7 Juni 2016.
Alfin Sulaiman, Problematika Perpu Kebiri,
http://www.hukumonline.com/, diakses 7
Juni 2016.
Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945.
Undang-Undang No. 12 Tahun 1995 Tentang
Pemasyarakatan.
Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 Tentang
Perlindungan Anak.
Peraturan Pemerintah Pengganti UndangUndang No. 1 Tahun 2016 Tentang
Perubahan Kedua Undang-Undang No. 23
Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak.
-4-

Majalah

HUBUNGAN INTERNASIONAL

Vol. VIII, No. 11/I/P3DI/Juni/2016

Kajian Singkat terhadap Isu Aktual dan Strategis

INDONESIA DI TENGAH PENINGKATAN


KETEGANGAN DI LAUT CHINA SELATAN
Rizki Roza*)

Abstrak
Mahkamah Arbitrase Internasional akan mengeluarkan putusannya terkait gugatan
Filipina atas persoalan Laut China Selatan. China yang sejak awal menolak persoalan
ini ditangani lembaga internasional, menyatakan akan mengabaikan apapun putusan
yang dihasilkan. Sikap China ini menimbulkan kekhawatiran di antara negara-negara
yang bersengketa dan negara lainnya yang berkepentingan terhadap wilayah tersebut.
Militerisasi kawasan sengketa semakin meningkat. Indonesia harus mencermati
perkembangan ini dan menyusun respons yang tepat mengingat Indonesia juga
menyimpan potensi konflik di sekitar wilayah sengketa.

Pendahuluan

Indonesia harus mencermati perkembangan


ini dengan seksama. Apakah Indonesia
juga harus khawatir pada peningkatan
ketegangan di LCS? Bagaimana semestinya
respons yang diberikan Indonesia terhadap
perkembangan tersebut? Tulisan singkat
ini akan memberikan gambaran agar dapat
memahami kekhawatiran yang sedang
berkembang di kawasan dan dapat menjadi
pertimbangan bagaimana respons yang perlu
diambil Indonesia.

Perkembangan dalam beberapa pekan


terakhir mengenai persoalan sengketa
tumpang tindih klaim atas wilayah Laut
China Selatan (LCS) kembali menunjukkan
terjadinya
peningkatan
ketegangan.
Kondisi ini terutama terkait putusan yang
akan dikeluarkan The Permanent Court
of Arbitration (Mahkamah Arbitrase
Internasional/MAI)
dalam
beberapa
pekan
mendatang.
Sejumlah
negara
mengkhawatirkan sikap China yang sudah
menyatakan menolak terhadap apapun
putusan MAI atas gugatan unilateral
Filipina. Penolakan China tersebut diikuti
pula dengan peningkatan kehadirannya di
kawasan sengketa yang direspons dengan
tindakan serupa oleh negara lain. Sekalipun
bukan bagian dari negara yang bersengketa,

Gugatan Filipina
Merasa semua jalur diplomatik yang
digunakan untuk mencari solusi damai
sejak 1995 belum memberikan hasil, pada
2013 Pemerintah Filipina memutuskan
untuk mengajukan Beijing ke sebuah panel

*) Peneliti Muda Masalah-masalah Hubungan Internasional pada Bidang Hubungan Internasional, Pusat Penelitian, Badan Keahlian
DPR RI. E-mail: rizki.roza@dpr.go.id
Info Singkat
2009, Pusat Penelitian
Badan Keahlian DPR RI
www.pengkajian.dpr.go.id
ISSN 2088-2351

-5-

arbitrase internasional sesuai UNCLOS


1982. Filipina berusaha meminta PBB
menyatakan bahwa klaim China atas
sebagian kawasan LCS adalah ilegal.
China menolak langkah Filipina tersebut,
dan bertahan pada pendiriannya untuk
menyelesaikan perselisihan dengan beberapa
negara secara bilateral tanpa melibatkan
mediasi internasional.
MAI kemudian menerima gugatan
Filipina pada Oktober 2015 lalu. Keputusan
tersebut menggugurkan upaya China
yang menuntut kasus ini tidak ditangani
lembaga internasional. Dalam pandangan
China, tindakan MAI menerima gugatan
unilateral Filipina hanya akan memperkeruh
suasana, meningkatkan ketegangan di
antara kedua negara, mengganggu stabilitas
kawasan dan tatanan maritim internasional,
serta bertentangan dengan upaya untuk
menyelesaikan sengketa secara damai.
Putusan yang akan dihasilkan MAI
tidak hanya penting bagi negara yang
bersengketa, tetapi juga bagi banyak negara
lainnya di luar kawasan sengketa. Hal ini
terutama terkait sembilan garis putus-putus
yang tidak memiliki koordinat yang jelas.
Meskipun telah mempertahankan klaimnya
sejak lama, namun Beijing tidak pernah
memberikan kejelasan mengenai sembilan
garis putus-putus tersebut.
Indonesia termasuk negara yang
berkepentingan terhadap hasil putusan
MAI dan mendukung langkah Filipina ke
MAI. Pemerintah Indonesia mengirimkan
peninjau untuk mengikuti secara seksama
seluruh proses arbitrase. Menurut Arif
Havas
Oegroseno,
apapun
putusan
MAI terhadap gugatan Filipina akan
mempermudah negara-negara lain dalam
melaksanakan ketentuan UNCLOS 1982.
Putusan MAI dapat menjadi yurisprudensi
dalam proses perundingan perbatasan laut
antar-bangsa yang biasanya melibatkan
pulau-pulau kecil, karang, atau benda laut
lainnya. Putusan yang akan dikeluarkan oleh
MAI diyakini akan menentukan siapa negara
paling berhak atas 200 mil Zona Ekonomi
Eksklusif (ZEE) di sekitar Kepulauan
Spratly, tempat China dan Filipina
mengklaim mempunyai hak ZEE di perairan
tersebut. Jika putusan MAI menegaskan
bahwa pulau-pulau buatan tidak memiliki
ZEE maka China tidak memiliki landasan
hukum untuk mengklaim ZEE atas tujuh

pulau reklamasinya di dekat Kepulauan


Spratly. Klaim China atas sebagian besar
wilayah LCS melalui sembilan garis
putus-putus pun akan semakin lemah.
Hal ini lah yang dihindari China sejak
awal dan kini membuat mereka merasa
dipojokkan sehingga bereaksi keras dengan
meningkatkan kehadirannya di wilayah
sengketa.

Kekhawatiran menjelang Putusan


MAI
Sikap
China
yang
menolak
untuk mengakui apapun putusan MAI
menimbulkan kekhawatiran banyak pihak.
Persoalan ini menjadi pembicaraan di
berbagai forum internasional, di antaranya
menjadi salah satu agenda pembahasan
KTT G-7. Beijing kemudian menyampaikan
keberatannya atas pembahasan persoalan
LCS di forum G-7 dengan berpandangan
bahwa tidak semestinya forum tersebut
membahas sesuatu yang bukan urusannya.
Kekhawatiran juga mengemuka dalam
pertemuan Shangri-La Dialogue, beberapa
waktu lalu di Singapura. Pada forum
itu Menteri Pertahanan India misalnya,
mengatakan bahwa penolakan China atas
arbitrase dengan dalih mengharapkan dialog
bilateral hanyalah taktik guna memuluskan
kepentingan
ekonomi
China
untuk
mengurangi ketegangan di LCS.
Kekhawatiran yang berkembang tidak
dapat dipisahkan dari proyek reklamasi
yang dilakukan China sejak 18 bulan lalu
di wilayah sengketa. Pulau-pulau buatan
tersebut yang sebelumnya hanya berupa
gugusan karang yang tidak dapat dihuni,
kini dilengkapi banyak infrastruktur yang
mencakup dermaga, pos penjagaan, bahkan
memiliki landasan udara yang mampu
menampung
pesawat-pesawat
militer.
Pendaratan pesawat militer di salah satu
pulau buatannya dilakukan pertama kali
pada April lalu. Tindakan itu langsung
memicu perdebatan di kawasan. Selain itu,
pada bulan Mei, sebuah biro pemerintahan
China juga menyampaikan rencana untuk
menempatkan
satu
pangkalan
kapal
penyelamat di Kepulauan Spratly. Langkah
ini dipandang banyak pihak sebagai upaya
Beijing untuk memperkuat kehadirannya
di wilayah sengketa. Washington bahkan
menuduh China telah menempatkan rudal
permukaan ke udara di salah satu pulau.
-6-

Indonesia di tengah Peningkatan


Ketegangan

Salah satu tindakan militerisasi yang


juga dikhawatirkan banyak pihak adalah
penerapan Air Defense Identification Zone
(ADIZ) di LCS, sebagaimana yang dilakukan
China di Laut China Timur (LCT) pada 2013
lalu. Jika hal itu terjadi di LCS maka jelas
akan meningkatkan ketegangan regional.
Setidaknya
Kementerian
Pertahanan
Taiwan sudah menyatakan tidak akan
mengakui pernyataan apapun mengenai
zona pertahanan udara China atas LCS.
Kementerian Pertahanan Taiwan sudah
menyampaikan
kepada
parlemennya
mengenai rencana penguatan militer di
wilayah sengketa.
Sementara Amerika Serikat (AS)
bersama
sejumlah
negara
menuding
China melakukan militerisasi wilayah
sengketa, demikian pula sebaliknya China
menganggap peningkatan patroli dan
pelatihan militer yang dilakukan AS di
perairan sengketa sebagai aksi militerisasi.
Pada Mei lalu, AS kembali mengirimkan
kapal perang USS William P. Lawrence
untuk melakukan patroli di kawasan LCS.
Tindakan ini memicu kemarahan China
karena kapal tersebut berlayar hingga
jarak 12 mil laut dari kepulauan Fiery
Cross yang diklaim China. Bagi AS, patroli
yang dilakukannya merupakan tindakan
pelindungan terhadap kebebasan pelayaran,
sementara bagi China patroli Angkatan Laut
AS di dekat pulau-pulau miliknya di LCS
merupakan tindakan provokatif.
Perkembangan
lain
yang
juga
tidak dapat diabaikan adalah keputusan
Washington
untuk
mencabut
seluruh
embargo penjualan senjata mematikan
terhadap Vietnam. Vietnam sebenarnya sudah
sejak lama meminta pencabutan embargo,
namun Washington selalu menolak dan
menggunakannya untuk menekan Vietnam
agar menegakkan HAM di negara tersebut.
Tekanan yang terus menerus dihadapi
Vietnam terkait sengketa LCS, tampaknya
menjadi pertimbangan Presiden Obama
untuk mencabut embargo dan membantu
Vietnam membangun kekuatan untuk
mempertahankan diri. Pasca-pencabutan
embargo,
Vietnam
dikabarkan
tengah
berusaha
meningkatkan
kemampuan
pertahanan dan keamanan maritimnya dengan
berencana membeli F-16 Fighting Falcon dan
pesawat patroli maritim P-3 Orion.

Indonesia bukan bagian dari negaranegara yang bersengketa di LCS. Dalam berbagai
kesempatan, Beijing telah menyampaikan bahwa
mereka tidak memiliki masalah mengenai
kedaulatan Indonesia atas Kepulauan
Natuna dan perairan di sekitar kepulauan
tersebut yang berdekatan dengan wilayah
LCS yang diklaim China. Namun kondisi
di lapangan tidak sepenuhnya berjalan
sesuai
pernyataan
Beijing
tersebut.
Indonesia dan China sudah beberapa kali
mengalami ketegangan di sekitar perairan
Natuna, terutama terkait persoalan wilayah
penangkapan ikan.
Ketegangan yang terjadi pada Maret
lalu antara Indonesia dan China misalnya,
cukup mengkhawatirkan. Ketegangan itu
dipicu oleh aksi kapal penjaga pantai China
di Laut Natuna. Kapal penjaga pantai
China mengganggu penegakan hukum di
laut yang sedang dilakukan kapal patroli
Kementerian Kelautan dan Perikanan, KP
Hiu 11. Menindaklanjuti kejadian tersebut,
Menteri Luar Negeri, Retno L.P.Marsudi,
memanggil Kuasa Usaha Kedutaan Besar
China di Jakarta dan menyampaikan
nota protes. Dalam nota protes tersebut
ditekankan tiga kesalahan yang dilakukan
kapal penjaga pantai China, yaitu kapal
penjaga pantai melanggar hak berdaulat
dan yurisdiksi Indonesia di wilayah ZEE
dan landas kontinen Indonesia; melanggar
penegakan hukum yang sedang dilakukan
aparat Indonesia; dan melanggar kedaulatan
laut teritorial Indonesia. Sikap Indonesia
tersebut direspons Kementerian Luar
Negeri China dengan bantahan bahwa
kapal penjaga pantainya tidak memasuki
wilayah perairan Indonesia. Juru Bicara
Kementerian Luar Negeri China menyatakan
bahwa kapal penjaga pantai datang untuk
menyelamatkan kapal nelayan China,
KM Kway Fey 10078 yang diserang kapal
bersenjata Indonesia. Menurutnya, kapal
nelayan China tersebut hanya melakukan
aktivitas penangkapan ikan seperti biasa
di tempat yang telah turun-temurun
dikunjungi.
Selanjutnya
China
kembali
menyampaikan protes pada Mei 2016 untuk
menyikapi penangkapan kapal nelayan
China Gu Bei Yu 27088 oleh KRI Oswald

-7-

Siahaan-354 yang diduga kuat sedang


melakukan aktivitas penangkapan ikan di
wilayah ZEE Indonesia di perairan Natuna.
Penangkapan itu direspons dengan protes
keras dari Kementerian Luar Negeri China.
Mereka berpandangan bahwa kapal tersebut
beroperasi secara sah di wilayah yang sah juga.
Dua insiden tersebut semestinya
sudah
cukup
untuk
mengingatkan
pemerintah
Indonesia
bahwa
kedua
negara juga menyimpan potensi-potensi
konflik di perairan sekitar wilayah LCS
yang dipersengketakan sejumlah negara.
Ketegangan yang berkembang di kawasan
LCS sangat mungkin akan memicu
terjadinya
kembali
insiden-insiden
serupa antara Indonesia dan China. China
yang sedang merasa terpojok menjelang
keluarnya putusan MAI, tampaknya telah
mendorong China untuk meningkatkan
kehadirannya
di
wilayah
sengketa.
Sementara di sisi lain, Indonesia juga
sedang berusaha meningkatkan kehadiran
kapal-kapal
patroli
untuk
mencegah
pencurian ikan oleh kapal-kapal asing di
perairan Indonesia. Kondisi inilah yang
mengharuskan Indonesia untuk berhati-hati
dalam menyeimbangkan upayanya menjaga
kekayaan laut dan kedaulatan territorial
dengan menjaga stabilitas kawasan.

perairan Kepulauan Natuna. Kondisi ini


menjadikan sikap Indonesia yang secara
konsisten mendorong negara-negara yang
bersengketa untuk menahan diri dan
mengedepankan cara-cara damai untuk
menyelesaikan sengketa, menjadi tidak
cukup memadai. Indonesia juga perlu
meningkatkan kehadiran patroli pengawasan
di wilayah perairan yang sering kali terjadi
pelanggaran kedaulatan. Peran Parlemen
menjadi sangat penting untuk memastikan
terlaksananya patroli pengawasan di wilayah
perairan, karena keterbatasan anggaran
selama ini selalu menjadi penghambat
aparat Indonesia untuk melaksanakan
patroli pengawasan di perairan perbatasan
Indonesia.

Referensi
Beijing Bantah Kapal Penjaga Pantai
China Masuk Wilayah RI, http://
internasional.kompas.com/
read/2016/03/21/21313861/Beijing.
Bantah.Kapal.Penjaga.Pantai.China.
Masuk.Wilayah.RI, diakses 7 Juni 2016.
Beijing
Memprotes
Indonesia
atas
Penangkapan 8 Nelayan China di
Natuna, http://internasional.kompas.
com/read/2016/05/31/09463021/
beijing.memprotes.indonesia.atas.
penangkapan.8.nelayan.china.di.natuna,
diakses 7 Juni 2016.
Indonesia Dukung Filipina Gugat China di
Arbitrase Internasional, http://www.
merdeka.com/dunia/indonesia-dukungfilipina-gugat-china-di-arbitraseinternasional.html, diakses 7 Juni 2016.
Koarmabar Sergap Kapal Nelayan China
di Perairan Natuna, http://nasional.
kompas.com/read/2016/05/28/20234741/
koarmabar.sergap.kapal.nelayan.china.
di.perairan.natuna, diakses 7 Juni 2016.
Taiwan Tidak Akan Akui Zona Pertahanan
Udara China, http://www.antaranews.
com/berita/565556/taiwan-tidak-akanakui-zona-pertahanan-udara-china
diakses 7 Juni 2016.
Vietnam Boleh Membeli F-16 dan P-3
Orion dari Amerika Serikat, http://
www.antaranews.com/berita/563393/
vietnam-boleh-membeli-f-16-dan-p-3orion-dari-amerika-serikat, diakses 7
Juni 2016.

Penutup
Persoalan LCS telah menjadi sumber
ketegangan di kawasan selama beberapa
dekade terakhir, tidak hanya antara negaranegara yang bersengketa tetapi juga dengan
negara lainnya yang memiliki kepentingan
terhadap kawasan tersebut. Ketegangan
yang awalnya hanya antara China dan
Filipina akibat gugatan yang diajukan
Filipina ke MAI, nyatanya saat ini meluas
karena China yang merasa semakin terpojok
menjelang keluarnya putusan MAI. Kondisi
ini mendorong China untuk meningkatkan
kehadiran kekuatannya di wilayah sengketa
dan direspons pula dengan tindakan serupa
oleh sejumlah negara.
Meskipun Indonesia bukan bagian dari
negara yang bersengketa, beberapa insiden
yang terjadi belakangan ini semestinya
menjadi
peringatan
bagi
pemerintah
Indonesia bahwa Indonesia dan China
juga menyimpan potensi konflik yang
membutuhkan penyelesaian di sekitar

-8-

Majalah

KESEJAHTERAAN SOSIAL

Vol. VIII, No. 11/I/P3DI/Juni/2016

Kajian Singkat terhadap Isu Aktual dan Strategis

WACANA WARGA NEGARA ASING MENJADI


REKTOR DI PERGURUAN TINGGI NEGERI
Hartini Retnaningsih*)

Abstrak
Wacana Menteri Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi mengenai perekrutan rektor asing
untuk memimpin perguruan tinggi negeri (PTN) di Indonesia banyak mendapatkan respons
negatif, terutama dari kalangan anggota DPR dan pengamat. Kehadiran rektor warga
negara asing di PTN dapat mengganggu birokasi pendidikan Indonesia, memberikan ruang
bagi nilai-nilai asing yang mungkin bertentangan dengan prinsip-prinsip nasionalisme,
bahkan menghina kualitas sumber daya manusia dalam negeri. Oleh karena itu, wacana ini
perlu dipertimbangkan untuk ditolak karena bertentangan dengan peraturan perundangundangan yang berlaku. Alih-alih mengambil tenaga asing, pemerintah perlu memfokuskan
pada penguatan kualitas tenaga dalam negeri dan menjadikan PTN sebagai institusi
perubahan yang menumbuhkembangkan rasa nasionalisme di kalangan generasi muda.

Pendahuluan
Pada awal Juni 2016 muncul wacana
Pemerintah untuk merekrut warga negara
asing (WNA) menjadi rektor perguruan
tinggi
negeri
(PTN)
di
Indonesia.
Tujuannya untuk meningkatkan kualitas
PTN Indonesia di kelas dunia, seperti
yang dilakukan oleh China, Singapura,
dan Arab Saudi, dengan pendidikan
tingginya. Dengan cara tersebut, perguruan
tinggi di Arab Saudi yang dulunya tidak
diperhitungkan, saat ini sudah masuk
peringkat 200 dunia. Menurut Menteri
Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi
(Menristek Dikti), M. Nasir, presiden
mengarahkan agar pendidikan tinggi
Indonesia mampu bersaing di kelas dunia.

Wacana perekrutan rektor WNA


untuk
PTN
ini
banyak
mendapat
tanggapan negatif dari berbagai pihak.
Ada kekhawatiran masuknya rektor WNA
ke PTN akan merusak nasionalisme
dan mengganggu birokrasi pendidikan
milik Pemerintah Indonesia. Selain itu,
juga menimbulkan pertanyaan tentang
kompetensi sumber daya manusia (SDM)
dalam negeri. Pendidikan tinggi memang
terkait dengan masa depan bangsa dan
negara Indonesia, karena PTN merupakan
institusi milik negara, dan bukan milik
privat/swasta, sehingga dalam kegiatan
operasional sehari-hari mengacu pada
birokrasi pemerintah. Oleh karena itu,

*) Peneliti Madya Studi Kemasyarakatan Kepakaran Analisis Dampak Sosial dan Evaluasi Program pada Bidang Kesejahteraan Sosial,
Pusat Penelitian, Badan Keahlian DPR RI. Email: hartiniretnaning@yahoo.com
Info Singkat
2009, Pusat Penelitian
Badan Keahlian DPR RI
www.pengkajian.dpr.go.id
ISSN 2088-2351

-9-

tinggi di dunia, yang berujung


pada kegagalan. Banyak pimpinan
perguruan tinggi di Amerika yang
harus kecewa karena perguruan tinggi
yang dipimpinnya tetap tertinggal
jauh di belakang Harvard meski telah
meniru langkah Harvard University.
Hal ini terjadi karena banyak tradisi
Harvard yang tidak tertransferkan
ketika
peniruan
dilakukan;
(2)
Wacana Menristek Dikti tersebut
tidak sejalan dengan revolusi mental
yang didengungkan Joko Widodo saat
kampanye. Merekrut rektor WNA berarti
mempersilakan
visi
kepemimpinan
dan pandangan hidup yang dianut
sang rektor bekerja. Padahal, dalam hal
mengelola negara dan aset-asetnya, para
founding fathers telah mengajarkan
bahwa kita hanya akan meniru teknik
(cara) namun tidak menjiplak tata nilai
atau pandangan hidup.

wacana perekrutan WNA untuk menjadi


rektor PTN di Indonesia menjadi isu yang
menarik perhatian dan perlu disikapi secara
tegas oleh DPR RI.

Kritik Wacana Rektor Warga Negara


Asing
Hampir
sebagian
besar
opini
mengkritik wacana Pemerintah untuk
merekrut rektor asing (WNA), dan nyaris
tidak
terlihat
dukungan
masyarakat
terhadap wacana Pemerintah tersebut.
Beberapa kritik yang bermunculan, antara
lain dari:
a. Elviana, Anggota Komisi X DPR RI, yang
menyatakan bahwa rektor-rektor PTN
di Indonesia memiliki kualitas dan tak
kalah dengan orang asing. Menurutnya
memimpin perguruan tinggi tak sebatas
mentransfer kemampuan, tetapi lebih
pada bagaimana memahami kondisi
PTN-nya.
b. Popong Otje Djundjungan, Anggota
Komisi X DPR RI, menyebutkan bahwa
merekrut WNA menjadi rektor PTN
akan menghina harga diri pemerintah
sendiri.
c. Dadang Rusdiana, Anggota Komisi X
DPR RI, berpendapat bahwa sesuatu
yang berbau asing itu belum tentu
baik. Yang dibutuhkan saat ini adalah
bagaimana
Pemerintah
mendorong
para
dosen
untuk
meningkatkan
kinerjanya. Selain itu Pemerintah
juga perlu meningkatkan sarana dan
prasarana kampus, pembenahan sistem
seleksi masuk perguruan tinggi dan
kemampuan manajerial rektor, dan
pengendalian oleh Kemenristek Dikti
yang lebih intensif.
d. Doni Koesoema, pengamat pendidikan,
menegaskan bahwa tidak ada dasar dan
alasan yang kuat untuk merekrut orang
asing guna mengurus PTN. Seharusnya
PTN memberdayakan bangsa dan orang
Indonesia.
e. Karim Suryadi, Dosen Universitas
Pendidikan Indonesia, menekankan
perlunya pemikiran matang untuk
mewujudkan
rencana
perekrutan
rektor asing di PTN karena 2 alasan:
(1) Langkah pengembangan perguruan
tinggi dengan melakukan imitasi
seringkali dipahami sebagai inovasi. Hal
ini banyak dilakukan oleh perguruan

Berbagai kritik tersebut menunjukkan


kepekaan yang tinggi terhadap masalah
pendidikan tinggi di Indonesia, khususnya
PTN. Dalam era global sekarang ini,
memang perkembangan ilmu pengetahuan
dan teknologi dapat menyentuh setiap
aspek kehidupan, dan dapat memengaruhi
berbagai tata cara kehidupan manusia
di berbagai belahan dunia. Namun,
untuk menjadi warga negara yang baik,
memang
diperlukan
kecerdasan
kita
untuk menanggapi setiap informasi dan
gagasan berbau asing yang masuk ke
ranah kehidupan kita, termasuk wacana
rektor WNA di PTN. Sebagai warga negara
Indonesia yang bervisi ke depan untuk
kejayaan NKRI, tentu kita harus bisa menilai
dan menyikapi serta mengambil keputusan
tentang siapa yang layak memimpin PTN.

Pertentangan dengan Regulasi


Dalam
meningkatkan
kualitas
perguruan tinggi memang perlu dilakukan
berbagai
cara
yang
efektif
seperti
meningkatkan kualitas SDM pengelola
PTN, meningkatkan fasilitas, sarana dan
prasarana perguruan tinggi, peningkatan
kesejahteraan dosen dan staf perguruan
tinggi, dan sebagainya. Selain itu, perlu
dilihat regulasi mengenai perguruan tinggi
yang mengatur bahwa rektor PTN adalah
dosen PTN yang diberi tugas tambahan
- 10 -

untuk
memimpin
perguruan
tinggi.
Mengingat rektor PTN adalah dosen PTN,
maka secara jelas dapat dipahami bahwa
rektor yang dimaksud adalah Warga
Negara Indonesia (WNI) dan bukan WNA.
Permenristek Dikti No. 1 Tahun 2016
tentang Perubahan atas Peraturan Menristek
Dikti Nomor 1 Tahun 2015 tentang
Pengangkatan dan Pemberhentian Rektor/
Ketua/Direktur pada Perguruan Tinggi
Negeri, Pasal 4 huruf a menyebutkan bahwa
persyaratan untuk menjadi Rektor/Ketua/
Direktur PTN adalah Pegawai Negeri Sipil
(PNS) yang memiliki pengalaman jabatan
sebagai dosen dengan jenjang akademik
sebagai berikut: (1) bagi calon Rektor
universitas/institut paling rendah Lektor
Kepala; atau (2) bagi calon Ketua sekolah
tinggi
dan politeknik/akademik paling
rendah Lektor.
Dengan demikian, secara logis dapat
dipahami bahwa Rektor/Ketua/Direktur
PTN haruslah orang Indonesia asli (WNI),
karena tidak mungkin orang asing (WNA)
diangkat menjadi PNS di Indonesia. Oleh
karena itu, jika Menristek Dikti ingin
merekrut WNA menjadi Rektor/Ketua/
Direktur PTN, maka hal itu bertentangan
dengan regulasi yang ada. Wacana ini
merupakan wacana yang berbahaya bagi
negara, karena birokrasi pendidikan milik
negara akan diintervensi oleh WNA. Jika
WNA menduduki posisi Rektor/Ketua/
Direktur PTN maka bukan tidak mungkin
akan terjadi penyusupan nilai-nilai asing
yang tidak relevan dengan nilai-nilai
budaya kita. Selain itu, duduknya WNA
menjadi Rektor/Ketua/Direktur PTN juga
memungkinkan terjadinya berbagai hal yang
mengancam keselamatan data birokrasi
NKRI yang dapat berakibat fatal bagi
kelangsungan Indonesia ke depan.
Berdasarkan Pasal 5 UU No. 12
Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi,
tujuan pendidikan tinggi adalah: (1)
berkembangnya potensi mahasiswa agar
menjadi manusia yang beriman dan
bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa
dan berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap,
kreatif, mandiri, terampil, kompeten, dan
berbudaya untuk kepentingan bangsa; (2)
dihasilkannya lulusan yang menguasai
cabang ilmu pengetahuan dan atau teknologi
untuk memenuhi kerpentingan nasional
dan daya saing bangsa; (3) dihasilkannya

Ilmu Pengetahuan dan Teknologi yang


mempraktikkan dan menerapkan nilai
humaniora agar bermanfaat bagi kemajuan
bangsa, serta kemajuan peradaban dan
kesejahteraan umat manusia; dan (4)
terwujudnya pengabdian kepada masyarakat
berbasis penalaran dan karya penelitian
yang
bermanfaat
dalam
memajukan
kesejahteraan umum dan mencerdaskan
kehidupan bangsa.
Untuk mencapai tujuan pendidikan
tinggi tersebut, diperlukan Rektor/Ketua/
Direktur yang berkualitas tinggi, yang
mampu memimpin PTN untuk menciptakan
SDM-SDM Indonesia yang unggul dan
mampu bersaing di setiap kancah kehidupan
demi
kepentingan
Indonesia.
Peran
pimpinan (Rektor/Ketua/Direktur) yang
berkualitas tinggi sangat dibutuhkan untuk
mengarahkan PTN agar mencapai performa
maksimal. Rektor/Ketua/Direktur bertugas
memimpin penyelenggaraan perguruan
tinggi yang mencakup proses pembelajaran,
tenaga pengajar, SDM pendukung, fasilitas,
sarana, dan prasarana pendidikan tinggi.
Mengenai wacana tentang perekrutan
WNA untuk menduduki posisi rektor PTN,
Pemerintah
perlu
mempertimbangkan
kembali secara cermat. Pemerintah justru
harus berupaya meningkatkan kualitas
PTN ke depan dengan mengedepankan rasa
nasionalisme dan tetap mempertahankan
harga
diri
atau
martabat
bangsa.
Nasionalisme dan harga diri atau martabat
bangsa
sangat
penting
ditanamkan
di setiap relung hati mahasiswa, agar
mereka kelak menjadi orang yang berilmu
pengetahuan dan mampu menerapkan ilmu
pengetahuannya tersebut untuk kepentingan
bangsa dan negaranya. Dengan demikian,
PTN adalah lembaga yang ikut menegakkan
kedaulatan dan kejayaan Indonesia.
Dalam hal ini DPR RI perlu mengambil
sikap yang tegas, agar PTN tetap dikelola
oleh Rektor/Ketua/Direktur dari dalam
negeri, yaitu Dosen PTN berstatus PNS yang
memiliki kualifikasi profesi yang handal
untuk memimpin perguruan tinggi. Wacana
perekrutan rektor WNA harus dihentikan.

Penutup
Wacana
Menristek
Dikti
untuk
merekrut WNA menjadi rektor PTN perlu
dicermati dan menjadi perhatian DPR RI.
Meskipun hal itu masih merupakan wacana,
- 11 -

namun sebaiknya DPR RI mempersiapkan


sikap yang jelas dan tegas terhadap masalah
ini. Berdasarkan regulasi yang ada, rektor
PTN adalah Dosen PNS, yang sudah pasti
berarti orang Indonesia asli (bukan WNA).
Selain itu, DPR RI perlu terus mengingatkan
bahwa PTN adalah lembaga milik negara
(bukan privat/swasta) sehingga pengelolaan
dan kepemimpinan sepenuhnya harus
dilakukan oleh orang Indonesia sendiri
dan bukan orang asing. Perlu diskusi yang
mendalam dan harmonisasi pendapat antara
DPR RI dan Pemerintah tentang hal ini, agar
PTN tetap dikelola dan dipimpin oleh WNI
dan bukan WNA, apapun alasannya.

Perlu
Regulasi
Pemerintah,
Jangan
Sekedar Asal Pungut Rektor Asing,
http://nasional.sindonews.com/
read/1114211/144/perlu-regulasipemerintah-jangan-sekadar-asalpungut-rektor-asing-1465119562,
diakses 6 Juni 2016.
Pemerintah Diminta Timbang Untung
Rugi Impor Rektor, http://nasional.
sindonews.com/read/1114084/144/
pemerintah-diminta-timbang-untungrugi-impor-rektor-1465052453, diakses
6 Juni 2016.
Pertanyakan Wacana Rekrut Orang Asing
jadi Rektor PTN, http://www.menit.
co/2016/06/06/komisi-x-pertanyakanwacana-rekrut-orang-asing-jadi-rektorptn.html, diakses 7 Juni 2016.
Orang Asing Diwacanakan Isi Jabatan
Rektor PTN, http://news.okezone.com/
read/2016/06/02/65/1404891/orangasing-diwacanakan-isi-jabatan-rektorptn, diakses 7 Juni 2016
Tak Ada Jaminan Rektor Asing Bisa
Dongkrak Mutu PTN, http://nasional.
sindonews.com/read/1113941/144/
tak-ada-jaminan-rektor-asing-bisadongkrak-mutu-ptn-1464973219,
Diakses 7 Juni 2016.
Peraturan
Menteri
Riset,
Teknologi
dan Pendidikan Tinggi No. 1 Tahun
2015
tentang
Pengangkatan
dan
Pemberhentian Rektor/Ketua/Direktur
pada Perguruan Tinggi Negeri.
Peraturan Menteri Riset, Teknologi dan
Pendidikan Tinggi No. 1 Tahun 2016
tentang Perubahan atas Peraturan
Menteri Riset, Teknologi dan Pendidikan
Tinggi No. 1 Tahun 2015 tentang
Pengangkatan
dan
Pemberhentian
Rektor/Ketua/Direktur pada Perguruan
Tinggi Negeri.
Undang-Undang No. 12 Tahun 2012 tentang
Pendidikan Tinggi.

Referensi
DPR Nilai Wacana Impor Rektor Aneh
dan Cerminkan Mental Inlander,
http://nasional.sindonews.com/
read/1114354/144/dpr-nilai-wacanaimpor-rektor-aneh-dan-cerminkanmental-inlander-1465187203, diakses 6
Juni 2016.
Impor
Rektor
Asing
Sama
Saja
Menggadaikan
PTN,
http://www.
tribunnews.com/nasional/2016/06/07/
impor-rektor-asing-sama-sajamenggadaikan-ptn, diakses 7 Juni 2016.
Impor Rektor No, Dosen dari Luar Negeri
Yes,
http://nasional.sindonews.com/
read/1114103/144/impor-rektor-nodosen-dari-luar-negeri-yes-1465057039,
diakses, 7 Juni 2016.
Ini Akibatnya Jika Pemerintah Merekrut
Rektor
Asing,
http://www.
pedidikanindonesia.com/2016/06/iniakibatnya-jika-pemerintah-merektut.
html, diakses 7 Juni 2016.
Pemerintah Akan Rekrut Orang Asing
jadi Rektor PTN, http://nasional.
sindonews.com/read/1113574/144/
pemerintah-akan-rekrut-orang-asingjadi-rektor-ptn-1464874290, diakses 6
Juni 2016.

- 12 -

Majalah

EKONOMI DAN KEBIJAKAN PUBLIK

Vol. VIII, No. 11/I/P3DI/Juni/2016

Kajian Singkat terhadap Isu Aktual dan Strategis

RAPBN-P TAHUN ANGGARAN 2016


T. Ade Surya*)

Abstrak

Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Perubahan Tahun Anggaran 2016
(RAPBN-P 2016) telah secara resmi diajukan pemerintah ke DPR. Dalam pokok-pokok
RAPBN-P 2016 tersebut, pemerintah mengusulkan perubahan terhadap beberapa asumsi
dasar ekonomi makro (asumsi makro) serta pemotongan atas pendapatan dan belanja
negara. Hal ini dilakukan untuk menyesuaikan dengan perkembangan dan perubahan pada
beberapa indikator ekonomi makro. Namun demikian, pemerintah juga harus realistis dalam
mengusulkan perubahan asumsi makro serta pendapatan dan belanja negara dalam postur
anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN) tersebut. Alasannya, perubahan postur
APBN dapat memberikan dampak yang besar bagi pemerintah dalam mengelola sektor
perekonomian nasional. Oleh karena itu, penting bagi DPR untuk terus mengawal program
dan kebijakan pemerintah dalam mencapai target-target yang terdapat dalam APBN-P 2016.

Pendahuluan
Pada awal bulan ini, pemerintah
telah mengajukan Rancangan Anggaran
Pendapatan
dan
Belanja
Negara
Perubahan
untuk
Tahun
Anggaran
2016 (RAPBN-P 2016) ke DPR RI untuk
dilakukan pembahasan bersama. Dalam
pokok-pokok RAPBN-P 2016 tersebut,
pemerintah
mengusulkan
perubahan
beberapa proyeksi asumsi dasar ekonomi
makro (asumsi makro) yang meliputi
nilai tukar rupiah, inflasi, asumsi harga
minyak mentah Indonesia (Indonesian
Crude Price / ICP), lifting minyak, dan
lifting gas. Usulan perubahan beberapa
proyeksi asumsi makro tersebut diajukan
karena memperhatikan perkembangan
ekonomi
global
dan
perekonomian

domestik. Perkembangan ekonomi terkini


menunjukkan bahwa situasi perekonomian
global masih terjadi pelambatan dan
cukup berisiko, khususnya terkait dengan
pelambatan
ekonomi
yang
dialami
Tiongkok, normalisasi kebijakan The
Federal Reserve (The Fed), dan fluktuasi
harga minyak mentah dunia. Sementara
itu, kondisi perekonomian domestik
juga tidak begitu baik karena turut
terpengaruh dari pelambatan ekonomi
global yang menyebabkan tingkat investasi
dan kemampuan daya beli masyarakat
menurun. Di samping perubahan proyeksi
asumsi makro, dalam RAPBN-P 2016
pemerintah juga mengusulkan perubahan
atas pendapatan dan belanja negara.

*) Peneliti Muda Kebijakan Publik pada Bidang Ekonomi dan Kebijakan Publik, Pusat Penelitian, Badan Keahlian DPR RI.
Email: teuku.surya@dpr.go.id
Info Singkat
2009, Pusat Penelitian
Badan Keahlian DPR RI
www.pengkajian.dpr.go.id
ISSN 2088-2351

- 13 -

perekonomian secara global. Realitas yang


ada sampai dengan pertengahan tahun 2016
ini, walaupun rupiah cenderung sedikit
menguat tetapi faktor-faktor lainnya relatif
masih buruk dan berisiko. Harga minyak
mentah dunia yang dalam beberapa hari
terakhir mampu menembus angka US$50
per barel masih sangat berpotensi untuk
turun lagi. Nilai ekspor Indonesia periode
Januari - April 2016 menurun sebesar 13,63
persen dibanding periode yang sama tahun
lalu, dan konsumsi rumah tangga yang
walaupun pada triwulan I 2016 tumbuh
sebesar 4,94 persen tetapi belum kembali
ke tren di atas 5 persen. Sementara untuk
kondisi perekonomian global, seperti yang
telah dijelaskan sebelumnya, kondisinya
masih belum pulih dari pelambatan dan
memberikan dampak yang cukup terasa bagi
perekonomian nasional.
Terkait dengan perubahan proyeksi
asumsi makro, pemerintah mengemukakan
bahwa menguatnya rupiah terhadap dolar
AS dan fluktuasi harga minyak mentah
dunia menjadi penyebab perubahan proyeksi
inflasi yang sebelumnya berada di level 4,7
persen, berubah menjadi 4 persen pada
RAPBN-P 2016. Sedangkan untuk nilai
tukar rupiah, karena adanya penguatan
rupiah terhadap dolar AS, maka pemerintah
memproyeksikan nilai tukar rupiah menjadi
Rp13.500 per USD yang sebelumnya
berada pada angka Rp13.900 per USD.
Penguatan nilai tukar rupiah secara otomatis
menyebabkan asumsi harga minyak mentah
Indonesia berubah turun dan pemerintah
memperkirakan berada pada kisaran ratarata USD35 per barel. Untuk lifting minyak
dan gas, pemerintah memproyeksikan hanya
mencapai 810 ribu barel minyak dan 1.115
ribu barel setara minyak per hari, lebih
rendah dari asumsi pada APBN 2016.
Sementara untuk target pencapaian
tingkat pertumbuhan ekonomi tahun ini,
pemerintah tidak mengusulkan perubahan
karena tetap yakin dapat mencapai target
di angka 5,3 persen seperti yang ditetapkan
dalam APBN 2016. Pertimbangannya antara
lain karena investasi akan mulai meningkat
dan konsumsi rumah tangga sebagai basis
pertumbuhan
ekonomi
diperkirakan
membaik pada tiga triwulan akhir sejalan
dengan penyerapan belanja yang optimal,
walaupun dalam triwulan pertama tahun
2016 ini pertumbuhan ekonomi nasional

Menyoroti usulan perubahan dalam


RAPBN-P 2016 yang harus disesuaikan
dengan
perkembangan
perekonomian
terkini, Kepala Pusat Studi Ekonomi dan
Kebijakan Publik Universitas Gadjah
Mada Yogyakarta, A. Tony Prasetiantono,
mengemukakan bahwa perekonomian tahun
2016 ini memang lebih sulit dari perkiraan
semula. Tiongkok sebagai salah satu mitra
dagang utama Indonesia masih dalam
tren pelambatan pertumbuhan ekonomi.
Ditambah lagi dengan adanya risiko suku
bunga di Amerika Serikat (AS) yang akan
naik, sektor riil yang lesu, permintaan kredit
melemah, dan kredit macet yang meningkat.
Risiko terbesar jika pertumbuhan ekonomi
meleset di bawah target adalah melemahnya
daya serap tenaga kerja yang tentunya
memiliki multiplier effect. Hal senada
juga dikemukakan oleh Ketua Program
Studi Ekonomi Pembangunan Universitas
Atma Jaya Jakarta, YB Suhartoko, yang
menyatakan pertumbuhan ekonomi tahun
ini menghadapi sejumlah risiko. Dari sisi
eksternal, rencana The Fed, menaikkan
suku bunga memicu kembali ketidakpastian
pada perekonomian global. Jika The
Fed menaikkan suku bunga maka akan
berdampak adanya aliran modal menuju
ke AS, akibatnya rupiah akan melemah.
Sedangkan dari sisi moneter domestik,
keinginan pemerintah menurunkan suku
bunga komersial di bawah 10 persen belum
juga terealisasi sampai sekarang, sebab
sisi suplai dan permintaan sama-sama
menunggu.
Terkait dengan usulan perubahan
dalam pokok-pokok RAPBN-P 2016, saat ini
sedang dilakukan proses pembahasan antara
pemerintah dengan DPR RI melalui Komisi
XI dan Badan Anggaran. Penulis tertarik
untuk membahas mengenai perubahan
asumsi makro dan dampak perubahan
atas pendapatan dan belanja negara yang
diajukan pemerintah dalam RAPBN-P 2016.

Perubahan Asumsi Makro dalam


RAPBN-P 2016
Dalam menentukan perlu tidaknya
dilakukan perubahan proyeksi asumsi
makro, pemerintah harus melihat dan
mempertimbangkan
banyak
faktor,
yang antara lain meliputi kinerja ekspor,
konsumsi rumah tangga, penguatan rupiah,
harga minyak mentah dunia, serta kondisi
- 14 -

Tabel 1. Perubahan Proyeksi Asumsi Dasar Ekonomi Makro


Asumsi Makro

APBN-P 2015

APBN 2016

RAPBN-P 2016

Pertumbuhan Ekonomi (%)

5,7

5,3

5,3

Inflasi (%, yoy)

5,0

4,7

4,0

Suku Bunga SPN Tiga Bulan (%)

6,2

5,5

5,5

12.500,-

13.900,-

13.500,-

Harga Minyak Mentah (USD/barel)

60

50

35

Lifting Minyak (ribu barel/hari)

825

830

810

Lifting Gas (MBOEPD)

1.221

1.155

1.115

Nilai Tukar (Rp/USD)

Sumber: Nota Keuangan APBN-P 2015, APBN 2016, dan RAPBN-P 2016.

Perubahan Pendapatan dan


Belanja Negara RAPBN-P 2016

tercatat hanya sebesar 4,92 persen,


meleset dari angka pertumbuhan yang
diharapkan. Pertimbangan investasi akan
segera meningkat karena mulai banyaknya
proyek-proyek infrastruktur yang berjalan.
Sedangkan untuk peningkatan konsumsi
rumah tangga antara lain karena didukung
dengan adanya gaji ke-13 dan tunjangan hari
raya yang akan segera cair di pertengahan
tahun,
serta
komitmen
pemerintah
untuk menjaga laju inflasi. Namun angka
pertumbuhan ekonomi sebesar 5,3 persen
ini masih dianggap terlalu optimistis
jika
dibandingkan
dengan
perkiraan
beberapa lembaga dunia. World Bank
memproyeksikan pertumbuhan ekonomi
Indonesia di tahun 2016 berada pada
angka 5,1 persen, sedangkan International
Monetary
Fund
(IMF)
memprediksi
pertumbuhan ekonomi Indonesia berada
pada angka yang lebih rendah, yaitu hanya
mencapai 4,9 persen. Perbandingan asumsi
makro dalam APBN-P 2015 dan APBN 2016
dengan usulan perubahan asumsi makro
yang diajukan pemerintah pada RAPBN-P
2016 dapat dilihat pada Tabel 1.
Poin penting dalam usulan perubahan
proyeksi asumsi makro ini adalah pemerintah
tidak boleh terlalu optimis maupun pesimis
dalam menentukan asumsi makro. Ada
2 hal, pertama, jika pemerintah terlalu
optimis maka potensi kegagalan untuk
mencapai target asumsi makro menjadi besar.
Padahal ketika pemerintah tidak mampu
mencapai target asumsi makro tersebut akan
muncul konsekuensi yang harus dihadapi,
seperti meningkatnya pengangguran dan
kemiskinan. Kedua, jika pemerintah terlalu
pesimis maka kepercayaan masyarakat
dan investor terhadap pemerintah akan
berkurang, karena pemerintah dianggap
tidak mampu dan tidak mempunyai kapasitas
mengelola sektor ekonomi.

Dalam pokok-pokok RAPBN-P 2016,


pemerintah menurunkan target pendapatan
negara sebesar Rp88 triliun, yaitu dari
Rp1.822,5 triliun pada APBN 2016 menjadi
Rp1.734,5 triliun pada RAPBN-P 2016.
Pemerintah memotong target dari semua jenis
pendapatan yang secara tradisional menjadi
penyumbang terbesar. Untuk penerimaan
negara bukan pajak (PNBP), targetnya
dipotong Rp68,4 triliun, yaitu dari Rp273,8
triliun menjadi 205,4 triliun. PNBP sumber
daya alam migas diturunkan Rp50,2 triliun
sehingga menjadi Rp28,4 triliun. Sedangkan
PNBP nonmigas diturunkan Rp24,4 triliun
sehingga menjadi Rp21,8 triliun. Hal yang sama
terjadi pada penerimaan perpajakan. Pajak
Pertambahan Nilai (PPN), targetnya dipotong
Rp97,5 triliun, yaitu dari Rp571,7 triliun menjadi
Rp474,2 triliun. Target Pajak Penghasilan (PPh)
migas dipotong Rp17,1 triliun, yaitu dari Rp41,4
triliun menjadi Rp24,3 triliun. Akan tetapi,
pada saat yang sama pemerintah meningkatkan
target PPh nonmigas senilai Rp103,7 triliun,
yaitu dari Rp715,8 triliun menjadi Rp819,5
triliun. Menurut pemerintah, kenaikan PPh
nonmigas didorong oleh uang tebusan program
pengampunan pajak (tax amnesty) yang
asumsinya menyumbang Rp165 triliun.
Sementara
itu,
pemerintah
juga
memotong anggaran belanja sebesar Rp47,9
triliun, yaitu dari Rp2095,7 triliun pada
APBN 2016 menjadi Rp2.047,8 triliun pada
RAPBN-P 2016. Target belanja pemerintah
tersebut berasal dari belanja pemerintah pusat
sebesar Rp1.289,5 triliun serta transfer ke
daerah dan dana desa sebesar Rp758,3 triliun.
Selain itu, pemerintah juga mengajukan usulan
perubahan target defisit anggaran yang semula
Rp273,2 triliun atau 2,15 persen dari Produk
Domestik Bruto (PDB) menjadi Rp313,3 triliun
atau 2,48 persen dari PDB.
- 15 -

Referensi

Dalam usulan perubahan pendapatan


dan belanja negara ini, yang perlu
digarisbawahi adalah hampir semuanya
sumber-sumber penerimaan mengalami
pemotongan, kecuali untuk PPh nonmigas
yang mengandalkan tax amnesty. Hal ini
harus menjadi perhatian tersendiri oleh
pemerintah, karena dengan melakukan
pemotongan terhadap APBN, sebenarnya
memberikan sinyal buruk kepada pasar
dan
investor.
Kemudian
pemerintah
juga perlu berhati-hati agar tidak hanya
mengandalkan tax amnesty dalam mencapai
target penerimaan pajak, karena terkait
kebijakan tax amnesty ini masih belum ada
kejelasan dan asumsi pencapaiannya juga
terlalu optimis. Selain itu, hal lain yang perlu
menjadi perhatian adalah pengurangan
belanja negara. Diharapkan belanja negara
yang dikurangi oleh pemerintah adalah
yang termasuk dalam belanja rutin, bukan
belanja modal sebagai upaya efisiensi
anggaran. Sehingga misi pemerintah untuk
terus melakukan pembangunan demi
meningkatkan kesejahteraan rakyat dapat
terlaksana.

APBN-P Pangkas Belanja Negara Rp 47


Triliun, Harian Ekonomi Neraca, 6
Juni 2016.
BI: Laju Konsumsi Rumah Tangga
Membaik
di
Triwulan
II,
https://bisnis.tempo.co/read/
news/2016/05/05/087768643/bi-lajukonsumsi-rumah-tangga-membaik-ditriwulan-ii, diakses 12 Juni 2016.
Ini Revisi Asumsi Makro dalam RAPBN-P
2016,
http://bisnis.liputan6.com/
read/2477781/ini-revisi-asumsi-makrodalam-rapbnp-2016, diakses 9 Juni
2016.
Kebijakan Fiskal Agresif, Harian Ekonomi
Neraca, 7 Juni 2016.
Kinerja Ekspor Nasional April Turun
3,07%,
http://surabaya.bisnis.com/
read/20160516/8/88817/kinerjaekspor-nasional-april-turun-307,
diakses 12 Juni 2016.
Pertumbuhan 5,1-5,2 Persen, Kompas, 7
Juni 2016.
RAPBN-P 2016, Kompas, 4 Juni 2016.
Target Pembangunan Diturunkan Lagi,
Kompas, 3 Juni 2016.
Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2015
tentang Anggaran Pendapatan dan
Belanja Negara Tahun Anggaran 2016.

Penutup
Usulan perubahan postur anggaran
dalam pokok-pokok RAPBN-P 2016 perlu
dicermati lebih jauh terutama terkait
perubahan asumsi proyeksi makro dan
perubahan
pendapatan
dan
belanja
negara. Dalam menentukan asumsi makro,
pemerintah
diharapkan
tidak
terlalu
optimis maupun pesimis, yang terpenting
asumsi
tersebut
berdasarkan
telaah
terhadap perkembangan perekonomian
terkini dan prediksi ke depan. Sementara
untuk perubahan pendapatan dan belanja
negara yang sebagian besar merupakan
pemotongan, pemerintah diharapkan dapat
mencapai target penerimaan agar defisit
tidak melebar dan dapat melakukan efisiensi
dalam pengurangan belanja negara.
Peran DPR RI sangat penting dalam
menetapkan APBN-P 2016, terutama dengan
memberikan masukan-masukan kepada
pemerintah dan memberikan persetujuan
pada saat pembahasan RUU APBN-P 2016.
Selanjutnya, DPR RI harus terus mengawal
program dan kebijakan pemerintah dalam
mencapai target-target yang terdapat dalam
APBN-P 2016.

- 16 -

Majalah

PEMERINTAHAN DALAM NEGERI

Vol. VIII, No. 11/I/P3DI/Juni/2016

Kajian Singkat terhadap Isu Aktual dan Strategis

PENGAJUAN PASANGAN CALON MELALUI


JALUR PARPOL DALAM PILKADA
Prayudi*)

Abstrak
Substansi pengajuan pasangan calon di dalam RUU tentang Perubahan Kedua Atas UndangUndang Nomor 1 Tahun 2015 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti UndangUndang Nomor 1 Tahun 2014 Tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, Dan Walikota Menjadi
Undang Undang (revisi RUU Pilkada 2016) melalui jalur parpol belum sebanding dengan
tuntutan demokrasi partisipatif. Pola klasik nominasi yang masih digunakan dikhawatirkan
memicu konflik internal berkepanjangan dan sentralisasi organisasinya yang berlawanan
dengan tuntutan otonomi lokal pemerintahan. Sebaliknya, pola itu dapat memelihara
prasangka berlebihan bagi sekedar orientasi kekuasaan dan mengembalikan modal calon.
Untuk itu, langkah pembenahan internal partai menyambut pilkada di masa mendatang juga
harus dibarengi komitmen revisi UU Partai Politik yang sejalan dengan langkah desentralisasi
organisasi partai.

Pendahuluan

Perilaku politik partai sering dicap


negatif oleh masyarakat dengan segala ekses
stigmanya bagi DPR dan DPRD. Padahal,
partai menjadi instrumen yang strategis
bagi kehidupan demokratis. Beranjak dari
pelaksanaan Pilkada serentak 2015, NA
revisi RUU Pilkada ini juga memuat evaluasi
antara lain terkait menata kepesertaan
parpol, terutama ketika
terjadi sengketa
kepengurusannya. Rumusan atas pasalpasal terkait peran partai untuk mengajukan
pasangan
calon
menunjukkan
bahwa
kualifikasi kandidat secara berpasangan
memiliki konteks yang kuat bagi peluang
koalisi partai untuk dibangun dengan segala
akses kekuasaan di pemerintahan daerah bagi
dirinya. Sehubungan peranan strategis partai

Salah satu materi krusial revisi


RUU Pilkada 2016 adalah soal pengajuan
pasangan calon melalui jalur parpol.
Masalah ini muaranya dituangkan di Pasal
40, Pasal 40A, dan Pasal 42. Ketentuan hulu
pengaturan tersebut memiliki implikasi
di tingkat hilir, misalnya soal pasangan
calon meninggal dunia atau berhalangan
tetap (Pasal 54), pemilihan dengan satu
pasangan calon (Pasal 54A), pemenuhan
persyaratan pencalonan (Pasal 7), dan
soal dana kampanye (Pasal 74). Meskipun
jalur perseorangan dimungkinkan dalam
nominasi pasangan calon dalam Pilkada,
tetapi keberadaan partai tetap penting guna
proses seleksi elit lokal yang berjalan secara
demokratis, fair, dan adil.

*) Peneliti Utama Politik Pemerintahan Indonesia pada Bidang Politik Dalam Negeri, Pusat Penelitian, Badan Keahlian DPR RI.
Email: prayudi_pr@yahoo.com
Info Singkat
2009, Pusat Penelitian
Badan Keahlian DPR RI
www.pengkajian.dpr.go.id
ISSN 2088-2351

- 17 -

tadi maka masalahnya adalah bagaimana jalur


partai politik itu ditempatkan pada konteks
regulasi Pilkada? Apa saja makna substansinya
dan langkah-langkah yang perlu diambil bagi
upaya perbaikannya di masa depan?

berpasangan dari jalur perseorangan yang


berhalangan harus diambil penggantinya dari
usulan jalur kepartaian. Ini dengan syarat
pemenuhan kepemilikan persentase minimal
kursinya di DPRD dan sisa masa jabatannya
yang lebih dari 18 bulan terhitung sejak
kosongnya jabatan itu (Pasal 174 UU No. 8
Tahun 2015 dan RUU revisi).
Demikian halnya saat kepala daerah
dan/atau wakilnya dari jalur partai atau
gabungan partai pengusul tidak lagi memiliki
kursi di DPRD saat pengisian jabatan
kepala daerah pengganti, maka mengalami
transformasi menjadi otoritas bagi partai
atau gabungan partai yang memiliki kursi di
DPRD untuk mengusulkan pasangan calon
penggantinya. Kalkulasi politik terhadap
proses pengisian semacam ini dapat menjadi
sandungan di tingkat DPRD saat harus
mengambil keputusan. Konstelasi kekuatan
politik partai melalui wakilnya di fraksi
masing-masing dapat menyandera proses
pengambilan keputusan itu di DPRD melalui
alasan quorum. Ini mengingat rezim hasil
Pemilu anggota legislatif dan rezim hasil
Pilkada yang sudah berbeda antara saat
perserorangan mengusulkan pasangan calon
dengan di saat harus mengisi penggantinya
dari jalur parpol.
Substansi ketiga adalah, peluang
instrumen negara di tengah dominasi peran
nominasi melalui jalur parpol. UU Pilkada
sejak masih menggunakan acuan UU No.
8 Tahun 2015 ketika pilkada serentak 2015
lalu dan revisinya dalam substasi RUU
Pilkada tahun 2016 ini di tengah rencana
Pilkada serentak 2017, juga masih bersandar
pada otoritas negara penentu legitimasinya.
Meskipun istilah yang digunakan adalah
pendaftaran kepengurusan sebagai bentuk
registrasi secara administrasi oleh negara,
tetapi dampaknya legitimasi politik sangat
menunjukkan intervensi negara. Substansi
nominasi pasangan calon melalui jalur
kepartaian pada revisi RUU Pilkada 2016
menunjukkan posisi registrasi dan dampak
legitimasi politiknya bagi pasangan calon
yang diajukan untuk dapat menjadi peserta
pilkada yang absah. Ketentuan di Pasal
40A menunjukkan hal itu dengan rentang
kewenangan Mahkamah Partai terkait putusan
untuk menyelesaikannya secara internal
terhadap konflik yang terjadi dengan pihak
eksternal di Kementerian Hukum dan Hak
Asasi Manusia (Kemenkumham) melalui

Substansi Pencalonan Melalui Jalur


Parpol
Revisi RUU Pilkada 2016 mengatur
beberapa substansi terkait jalur parpol
menominasikan
pasangan
calonnya.
Substansi pertama adalah menempatkan
persaingan secara ketat dengan pengaturan
terhadap jalur perseorangan. Ini mulai dari
soal persentase syarat kepemilikan kursi
DPRD dan perolehan suara sah di pemilu
legislatif dengan syarat dukungan bagi jalur
perseorangan terkait persentase dukungan
dari hitungan daftar pemilih tetap (DPT).
Hingga soal yang dihebohkan pegiat Pemilu
dan media massa terkait kurun waktu
verifikasi faktual yang menemui langsung
pendukung calon (Pasal 48). Substansi saling
kompetisi juga menjangkau pada ruang
belakang operasi relawan dan Ini dianggap
kesetaraan saat pasangan calon dari jalur
kepartaian pun harus melampaui audit serupa
bagi dana kampanye dan sekaligus sanksi bagi
pelanggarnya. Verifikasi faktual metode sensus
(populasi) dukungan yang sempat disuarakan
agar diumumkan ke publik bagi pasangan
calon perseorangan, walaupun kemudian
diputuskan batal oleh Panja RUU Pilkada, juga
menjadi upaya kesetaraan bagi verifikasi
dukungan yang diusulkan melalui jalur parpol.
Realisasi gagasan membuka hasil verifikasi
akan membuka ruang intimidasi pendukung
dan konflik di akar rumput yang masingmasing memiliki preferensi bagi pasangan
calonnya.
Kedua, adalah posisi jalur kepartaian
yang dominan. Pertimbangan kejelasan posisi
kekuatan politik pengusul menguatkan posisi
partai dan seolah-olah mempersulit jalur
peseorangan. Ironisnya, kelemahan nominasi
jalur parpol di tengah menguatnya kasus
tertentu jalur perseorangan, didistorsi oleh
ungkapan deparpolisasi yang tidak produktif.
Apalagi kecurigaan ini diwarnai oleh isu figur
tertentu menjelang Pilkada DKI Jakarta 2017,
waktu masih terkait pemberlakuan persentase
yang ingin diterapkan di tahap pencalonan.
Substansi dominan ini juga semakin meluas
hingga pada pengisian di mekanisme DPRD
ketika salah satu atau kedua pihak secara
- 18 -

partai dalam seleksi calon. Tahapan ini


dapat berlangsung dengan desentralisisasi
atau sebaliknya bersifat sentralisasi. Baik
desentralisasi organisasi partai maupun
sentralisasi, kontrol seleksi calon tetap
berpeluang bagi oligarki. Pada sentralisasi
jalur kepartaian, seleksi dikontrol oleh oligarki
pusat, dan sebaliknya bagi desentralisasi
adalah melalui oligarki lokal. Partai politik,
sebagaimana dikutip Alan Ware dari definisi
Edmund Burke (1960), merupakan lembaga
yang: (a) mencari pengaruh di negara, sering
berusaha menduduki posisi di pemerintahan;
(b) selalu terdiri lebih dari kepentingan
tunggal dalam masyarakat dan untuk derajat
tertentu berusaha menggabungkan berbagai
kepentingan. Orientasi kekuasan demikian
membutuhkan organisasi internal partai yang
modern untuk mengelolanya, termasuk ketika
mencalonkan kandidatnya saat Pemilu.
Realitas manajemen internal organisasi
partai yang belum solid antar-kepengurusan
pusat-daerahnya,
bisa
menjadi
acuan
ketika partai terjebak pada dugaan karakter
transaksional dan pragmatis saat Pilkada.
Itu sebabnya bisa terjadi perbedaan antara
koalisi di tingkat nasional saat Pemilu
Presiden/Pemilu Legislatif dengan koalisi
yang dibangunnya saat Pilkada. Perbedaan
ini sejalan dengan gejala minimnya caloncalon yang diusung secara tunggal oleh partaipartai politik dan fenomena koalisi yang
dibangun, mengindikasikan ketidakmampuan
partai dalam membentuk kader-kadernya
yang siap diuji dalam Pilkada. Litbang
Kompas saat Pilkada 2015 misalnya, dengan
mengambil sampel tiga partai politik yaitu:
PDI Perjuangan, Partai Demokrat, dan Partai
Gerindra (partai-partai berpola patronase
tergolong di papan atas saat Pemilu 2014)
sebagai data perbandingan, menguatkan kesan
ketidaksiapan partai mengajukan kadernya
untuk berkontestasi dalam penguasaan
kepemimpinan daerah.
Penempatan jalur nominasi kandidat
berpasangan melalui jalur parpol yang rawan
bias posisi UU Pilkada terhadap demokrasi
lokal, diperkuat oleh opini publik terkait
keberadaan partai politik yang negatif. Opini
publik demikian pada gilirannya menghasilkan
tingkat kepercayaan masyarakat yang rendah
terhadap partai politik. Menkumham Yassona
Laoly dan Ketua DKPP Jimly Asshiddiqie,
misalnya menyoroti tingkat kepercayaan
yang rendah itu dengan mengajukan gagasan

keputusan menteri untuk menetapkan


kepengurusan partai yang berhak mengajukan
pasangan calon. Di antara jeda masing-masing
keputusan itu, keabsahan pengurus partai
yang berhak menominasikan calon juga bisa
terjerat dengan soal kepastian putusan yang
diambil melalui jalur hukum pengadilan
tentang penyelesaian sengketa kepengurusan
partai yang dihadapi.
Substansi keempat adalah, pengukuhan
pola sentralisasi organisasi jalur kepartaian.
Meskipun negara berpeluang mengendalikan
partai tetapi jalan hukum melalui Mahkamah
Agung (MA), dengan putusannya yang
dianggap bersifat final-mengikat di satu
sisi dan faktor dinamika internal partai di
sisi yang lain, menjadi substansi penentu
lain dari proses pengajuan pasangan calon
Pilkada. Khusus mengenai dinamika internal
partai, jalur yang dibangun cenderung
masih bersifat sentralisasi. Sifat sentralisasi
semakin dikuatkan oleh Pasal 42 dalam
revisi RUU Pilkada yang menegaskan antara
lain di ayat (4), ayat (4a), ayat (5), dan
ayat (5a), yang menegaskan kewenangan
ketua dan sekretaris partai tingkat pusat
menyubordinasi peran pengajuan pasangan
calon pilkada oleh pengurus lokal partai.
Substansi nominasi pasangan calon Pilkada
yang masih sentralistis di jalur kepartaian
justru menjadi paradoks dengan aspirasi
desentralisasi yang berkembang dalam
birokrasi pemerintahan daerah. Posisi
dominan Dewan Pengurus Pusat (DPP)
semakin diperkuat oleh Pasal 186A di RUU
terkait sanksi pidana minimal/maksimalnya
dan sanksi denda minimal/maksimalnya bagi
pengurus lokal partai yang mendaftarkan
pasangan calon bukan berdasarkan surat
keputtusan pengurus pusat partai.
Peran determinan nominasi dari DPP
sejalan dengan sifat sentralisasi organisasi
kepartaian. Kesejalanan ini di Bab VIII,
khususnya di Pasal 17, Pasal 18, dan Pasal 19
mengenai keorganisasian dan pengurusnya
di UU No. 2 Tahun 2008 tentang Partai
Politik
yang
menyebutkan
hubungan
kerjanya yang hierarkis. Dalam konteks
nominasi calon, Reuven Y Hazan dan Gideon
Rahat (2001) mengingatkan langkah itu
didahului dengan seleksi calon merupakan
hal pertama yang dilakukannya sebelum
pemilu berlangsung. Seleksi calon harus
dilihat secara extralegal dan bergantung
internal partai. Ini berarti kuatnya otonomi
- 19 -

perlunya desain ulang kelembagaan untuk


perbaikan sistem kepartaian.
Masyarakat yang kecewa dengan
perilaku partai mendorong posisi relawan
justru berhadap-hadapan dengan posisi
partai sebagai instrumen demokrasi yang
dipelesetkan sebagai instrumen kekuasaan
semata. Untuk itu pembenahan atas seleksi
calon sebagai awal dari proses nominasi
pasangan calon Pilkada, menjadi agenda
yang tidak saja sekedar orientasi partikular,
tetapi dalam konteks politik seleksi calon
dalam arti yang luas. Pembenahan ini tetap
mengarahkan pada jalur parpol dalam
nominasi pasangan calon Pilkada yang tidak
lagi bersifat sentralisasi, tetapi harus bersifat
desentralisasi organisasi kepartaian. Meskipun
baik sentralisasi maupun desentralisasi seleksi
calon sebelum menuju tahapan pencalonan
tidak lepas dari kendali politik oligarki,
desentralisasi jalur kepartaian kiranya lebih
senafas dengan aspirasi otonomi daerah dan
agenda pembangunan daerah yang partisipatif.
Untuk itu, nominasi pasangan calon Pilkada
sebaiknya bukan lagi bertumpu pada
determinasi keputusan pengurus pusat partai
untuk proses pengajuannya. Tetapi sebaliknya,
tahapan ini lebih pada upaya pusat partai
untuk merekomendasikan pasangan calon
dukungannya berdasarkan hasil musyawarah
politik partai di tingkat lokal.
Dua keuntungan substansi kalau pola
relasi pengurus pusat dan pengurus lokal
partai semacam ini dilembagakan. Pertama,
mengurangi potensi konflik internal yang
mudah terjadi dan sekaligus politik mahar
yang memanfaatkan ruang ekstra legal dan
otonom partai. Kedua, adalah keuntungan
bagi proses pematangan kaderisasi partai
di tingkat lokal secara berjenjang untuk
pengisian jabatan politik yang diincar partai.
Dengan langkah desentralisasi organisasi
dan kelembagaan kaderisasi partai bagi
nominasi pasangan calon pilkada, partai
politik terhindar dari jebakan kontraproduktif
sinisme gerakan relawan. Sebaliknya, partai
politik memanfaatkan momentum Pemilu dan
Pilkada sebagai upaya pembenahan internal
organisasinya.

dinamika lokal dan relasi pusat-daerah yang


cair. Kalau memang nantinya pola ini masih
tetap digunakan maka agenda revisi undangundang partai politik menjadi harapan lain
untuk mengoreksinya. Agenda revisi UU
Partai Politik dituntut "nafas" koherensinya
bagi upaya pembenahan UU Pemilu sebagai
regulasi di tingkat penyelenggaraan dan pihak
penyelenggara pemilu. Ini artinya revisi RUU
Pilkada yang saat ini sudah disepakati menjadi
Undang-Undang nantinya tetap harus direvisi
kembali agar sejalan dengan kodifikasi UU
Pemilu yang komprehensif. Sekaligus, ini
pertanda agar regulasinya jangan bergantung
nasibnya pada aturan turunannya, yaitu di
Peraturan KPU.

Referensi
Alan Ware, Political Parties and Party System,
Oxford University Presss, Oxford, 1996.
KompasPedia, Partai Politik Indonesia 19992009, Jakarta, Penerbit Kompas, 2016.
Richard. S. Katz & William Crotty, Hand Book
Partai Politik, Penerbit Nusa Media,
Bandung, 2015.
Kemenkumham Buka Pendaftaran Partai
Politik Baru, Kompas, 25 Mei 2016.
Undang-Undang No. 1 Tahun 2015 tentang
Penetapan
Peraturan
Pemerintah
Pengganti Undang-Undang Nomor 1
Tahun 2014 Tentang Pemilihan Gubernur,
Bupati, Dan Walikota Menjadi Undang
Undang.
Undang-Undang No. 2 Tahun 2008 tentang
Partai Politik.
RUU tentang Perubahan Kedua Atas UndangUndang Nomor 1 Tahun 2015 tentang
Penetapan
Peraturan
Pemerintah
Pengganti Undang-Undang Nomor 1
Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur,
Bupati, Dan Walikota Menjadi Undang
Undang (Draft yang disetujui Panja 20
Mei 2016).
Naskah Akademik RUU tentang Perubahan
Kedua Atas Undang-Undang Nomor 1
Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan
Gubernur, Bupati, Dan Walikota Menjadi
Undang Undang.

Penutup
Substansi pola klasik di revisi RUU
Pilkada dalam nominasi pasangan calon
menyebabkan
manajemen
organisasi
kepartaian tertinggal berhadapan dengan
- 20 -

Anda mungkin juga menyukai