Anda di halaman 1dari 67

Presentasi Kasus

Bayu Wijanarko
Yoga Rossi Widya Utama

Identitas
Nama : WS
Usia : 81 th
Jenis Kelamin : Laki - Laki
Alamat: Wonolelo RT 07/04 Karangwungu Karangdowo,
Klaten
Berat Badan: 50 kg

Anamnesis
Keluhan Utama: nyeri perut kanan atas
RPS: 15 HSMRS OS mengeluh nyeri perut kanan atas,
hilang timbul, kumat-kumatan, dirasakan semakin
memberat
RPD: keluhan serupa (-), Asma (-), Alergi (-),HT (-), DM (-),
Operasi sebelumnya (-)
RPK: keluhan serupa (-)

Pemeriksaan Fisik
A: Clear, M1, TMD>6,5 cm
B: spontan, RR 16x/menit, wheezing (-), RBB (-), RBK (-),
Vesikuler (+)
C: nadi 80x/menit, TD 130/70 mmHg
D: GCS E4V5M6

Ass: ASA 1 rencana GA dengan Intubasi

Penunjang
Ro Thorax: jantung dan paru dbn.
Lab:
- Na

130,2 (136-140)

- Globulin 3,6 (2,3-3,2)

Durante Op
Pre medikasi: diazepam 5 mg dan ondansetron 10 mg
Induksi: propofol 100 mg, ekron (vecuronium bromide) 4,5 mg
Obat: ketorolac 30 mg, ondansetron 4 mg
Maintenance: N2O2, O2 (50:50), isoflurane
Lama operasi: 2 jam
Perdarahan selama operasi 500 ml
Cairan: NaCl, Asering
Instruksi post op: asering ivfd 24 tpm, awasi VT dan KU

Maintenance 2cc/kgBB/jam = 100 cc/jam


Pengganti Puasa 100 x 8 = 800 cc
Stress Operasi 8 cc/kgBB = 400 cc
- Jam I x PP + M + SO = 900 cc
- Jam II x PP + M + SO = 700 cc
EBV 70 cc/kgBB = 3500 cc
ABL 20% EBV = 700 cc

Post Operative
Aldrete Score
Kesadaran

Warna kulit

Aktivitas

Respirasi

Tekanan darah

Nilai total : 10

MONITORING
Tujuan monitoring adalah untuk membantu anestesis
mendapatkan informasi fungsi organ vital selama
perianestesia supaya dapat bekerja dengan aman.
Area perianestesia meliputi pre-operative (pre-op) sampai
Postanesthesia Care Unit (PACU).
Monitoring juga digunakan untuk melihat apakah efek
blokade terhadap rangsangan nyeri, blokade terhadap otot
lurik, dan blokade terhadap memori dan kesadaran cukup
adekuat atau tidak

Standards For Basic Anesthetic


Monitoring ASA, 2010
Standar 1 - Tim ahli anestesi yang kompeten harus
berada di ruangan selama dilakukannya general
anestesi, regional anestesi, dan monitoring anestesi. Hal
ini penting karena perubahan signifikan pasien dapat
terjadi secara tiba-tiba dan tidak terduga.
Standar 2 - Selama proses anestesi, oksigenasi, ventilasi,
sirkulasi, dan temperatur harus dievaluasi secara terus
menerus.

Monitoring Kardiovaskular
Non Invasif
Nadi Palpasi a. radialis, brakialis, femoralis, karotis.
Menilai frekuensi, irama, dan kekuatan nadi. Cara lain:
Auskultasi dada.
Monitoring secara kontinyu dengan EKG & Oksimeter

Tekanan Darah manual: auskultasi & palpasi, otomatis:


monitor tekanan darah elektronik. Hitung pula mean
arterial pressure: 1/3 (3 sistole+2 diastole).

Banyaknya Perdarahan jumlah darah di dalam botol


penampung suction atau dengan menimbang kasa sebelum
dan setelah terkena darah

Invasif
Kanulasi arteri (a.radialis, a.dorsalis pedis, a.karotis,
a.femoralis) mengetahui secara kontinyu tekanan darah
pasien

Kanulasi vena sentral (v.jugularis interna-eksterna,


v.subklavia, v. basilika, v. femoralis) mengetahui tekanan
vena sentral secara kontinyu

Kanulasi a.pulmonalis (Swan-Ganz) menganalisa cardiac


output
Pada bayi baru lahir: arteri dan atau vena umbilikalis
monitor ventilasi (kadar pH,PO2,PCO2,bikarbonat)

Respirasi
Tanpa Alat: mengawasi pasien secara langsung gerakan
dada & perut, warna mukosa bibir, kuku ujung jari, darah
pada luka bedah (kebiruan atau merah muda)
Stetoskop: mendengar suara pernafasan

Pulse Oximetry: mengetahui saturasi O2 (SaO2), frekuensi


nadi, mengetahui adanya disritmia
Kapnometri: mengetahui secara kontinyu kadar CO2 dalam
udara inspirasi atau ekspirasi

Parameter respirasi yang perlu dinilai pasca anestesia:


1. Suara nafas paru: sama pada kedua paru
2. Frekuensi nafas: 10-35 x/menit
3. Irama nafas: teratur
4. Volume tidal: minimal 4 5 ml/KgBB
5. Kapasitas vital: 20 40 ml/KgBB
6. Inspirasi paksa: -40 cmH2O
7. PaO2 pada FiO2 30%: 100 mmHg
8. PaCO2: 30-45 mmHg

Suhu Badan
Dilakukan pada pembedahan yang lama dan bayi/anak
kecil bayi sangat mudah kehilangan panas secara radiasi,
konveksi, evaporasi & konduksi depresi otot jantung,
hipoksia, asidosis, pulih anestesia lambat

Tempat yang lazim digunakan:


1. Aksila pembacaan butuh 15 menit
2. Oral-sublingual pada pasien sadar sebelum anestesia
3. Rektal
4. Nasofaring, esofageal
5. Lain lain (kulit, liang telinga)

Ginjal
Produksi air kemih (0,5 1,0 ml/KgBB/jam)
Jika terjadi oligouri atau anuri, segera cari penyebabnya
apakah pre renal, renal, atau salurannya penanggulangan
disesuaikan dengan penyebabnya

Sistem Syaraf
Memeriksa respon pupil terhadap cahaya, respon terhadap
trauma pembedahan, respon terhadap otot apakah
relaksasi sudah cukup/belum

Aldrete Score (nilai untuk pengiriman pasien: 10)


1. Aktivitas
- Mampu menggerakkan 4 ekstremitas

- Mampu menggerakkan 2 ekstremitas

- Tidak mampu menggerakkan ekstremitas

2. Respirasi
- Mampu nafas dalam dan batuk

- Sesak atau nafas terbatas

- Henti nafas

3. Tekanan Darah
- Berubah sampai 20% dari pra bedah

- Berubah 20% - 50% dari pra bedah

- Berubah > 50% dari pra bedah 0


4. Kesadaran
- Sadar baik dan orientasi baik 2
- Sadar setelah dipanggil1
- Tak ada tanggapan terhadap rangsang 0

5. Warna Kulit
- Kemerahan

- Pucat agak suram


- Sianosis

1
0

Faktor yang perlu diperhatikan sebelum mengirim pasien ke


ruangan:
1. Observasi minimal 30 setelah pemberian narkotik atau obat
penawarnya secara IV
2. Observasi min. 60 setelah pemberian antibiotik, antiemetik,
atau narkotik secara IM
3. Obesrvasi min. 30 setelah O2 dihentikan
4. Observasi 60 setelah ekstubasi
5. Tindakan lain ditentukan kemudian oleh dr. spesialis
anestesiologi dan bedah

Resusitasi Jantung Paru Otak (RJPO)


Diperlukan saat terjadi kejadian seperti kecelakaan
lalu lintas, tenggelam, keracunan, dll.
Kejadian semacam ini memerlukan pertolongan segera
di tempat kejadian, selama transportasi, sampai pasien
diserahkan kepada petugas kesehatan di RS.
Sebab kematian dapat berupa syok, hipoventilasi, henti
nafas, henti jantung.

Kerusakan otak permanen dapat terjadi jika aliran darah


terhenti > 4-6 menit atau sesudah terjadi trauma
dengan hipoksia berat/kehilangan darah yang tidak
dikoreksi.
RJPO: suatu usaha kedokteran gawat darurat untuk
memulihkan fungsi respirasi dan/atau sirkulasi yang
mengalami kegagalan mendadak pada pasien yang masih
memiliki harapan hidup.

Tahap I:
Bantuan Hidup Dasar (BHD) untuk oksigenasi darurat
A Airway Control
B Breathing Support
C Circulating Support
Tanda keberhasilan BHD:
1. Warna kulit berubah dari sianosis menjadi kemerahan
2. Pupil mengecil
3. Denyut nadi spontan

Tahap II
Bantuan Hidup Lanjut, untuk memulihkan dan
mempertahankan sirkulasi spontan
D Drug and Fluid treatment
E Electrocardiography
F Fibrillation treatment

Tahap III
Bantuan Hidup Jangka Panjang, untuk pengelolaan intensif
mentasi manusia
G Gauging
H Human mentation
I Intensive care

Dalam keadaan darurat, resusitasi dapat diakhiri jika salah satu dari hal
berikut:
1. Muncul sirkulasi dan ventilasi spontan yang efektif
2. Upaya resusitasi diambil alih orang lain yang bertanggung jawab
meneruskan resusitasi
3. Seorang dokter mengambil alih tanggung jawab
4. Penolong terlalu lelah dan tidak sanggup lagi meneruskan
5. Pasien dinyatakan mati
6. Setelah dimulai resusitasi, diketahui bahwa pasien berada dalam
stadium terminal suatu penyakit yang tidak dapat disembuhkan atau
hampir dapat dipastikan fungsi serebral tidak akan pulih

Tatalaksana Jalan Nafas


Keahlian dalam manajemen jalan nafas sangat penting
untuk ventilasi dan oksigenasi yang adekuat
Kegagalan dalam manajemen jalan nafas, bahkan dalam
waktu singkat dapat mengancam nyawa
Airway yang tidak adekuat hipoksemia kerusakan
otak kematian

Penilaian kesulitan jalan nafas dimulai dengan riwayat


medis yang komprehensif dan pemeriksaan fisik
Penyulit dapat berupa oedema, cacat, perdarahan,
stenosis trakeal/oesofageal, kompresi atau perforasi,
pneumotoraks atau aspirasi isi abdomen
Tanda tanda yang berhubungan dengan gangguan jalan
nafas: suara parau, stridor, wheezing, disfagia, dispneu,
nafas cuping hidung, retraksi trakea, retraksi thorax,
dan tidak adanya udara ekspirasi

Pemeriksaan Fisik
1. MOUTHS (Mandible, Opening, Uvula, Teeth, Head and
Neck, Silhouette) penilaian kesulitan airway
2. MOANS (Mask seal, Obesity/Obstruction, Age, No
teeth, Stiff) menilai kesulitan dalam Bag-Mask
Ventilation
3. LEMON (Look externally, Evaluation of the 3-3-2 rule,
Mallampati score, Obstruction/Obesity, Neck Mobility)
menilai kesulitan dalam laringoskopi dan intubasi

Spasme atau kejang laring pita suara menutup


sebagian atau seluruhnya
Tindakan:
1. Manuver tripel jalan nafas
2. Ventilasi (+) dengan O2 100%
3. Jika tidak berhasil, menggunakan succinylcholine
choride 0,5 mg/kg iv, im deltoid, sublingual 2-4 mg/kg

Manuver tripel jalan nafas


1. Kepala ekstensi pada sendi atlanto-oksipital
2. Mandibula didorong ke depan pada kedua angulus mandibula
3. Mulut dibuka
Dengan manuver ini lidah terangkat, jalan nafas bebas gas
atau udara bebas masuk dengan lancar ke trakea melalui hidung
atau mulut
Jika manuver tripel kurang berhasil, dipasang Oropharingeal
airway atau nasopharyngeal airway

Face Mask pengantar udara/gas anestesia dari alat


resusitasi ke jalan nafas pasien
Ukuran 03 untuk bayi baru lahir, 02, 01, 1 untuk anak
kecil 2, 3 untuk anak yang lebih besar, dan 4, 5 untuk
dewasa.
Sebagian face mask dari bahan transparan supaya udara
ekspirasi kelihatan atau kalau ada bibir yang terjebit
atau muntahan bisa terlihat

Laryngeal Mask Airway (LMA) dikenal 2 macam:


1. LMA dengan 1 pipa nafas
2. LMA dengan 2 pipa yaitu pipa nafas standardan pipa
tambahan yang ujung distalnya berhubungan dengan
esofagus

Endotracheal tube (ET) mengantar gas anestetik


langsung ke dalam trakea
Cara memilih ET pada anak kecil:
- Diameter

: 4 + umur (th)

- Panjang orotrakeal tube


- Panjang ET

: 12 + umur (th)

: 12 + umur (th)

Laringoskopi untuk melihat laring secara langsung agar


dapat memasukkan pipa trakeal dengan tepat
Indikasi Intubasi Trakea:
1. Menjada patensi jalan nafas
2. Mempermudah ventilasi (+) dan oksigenasi
3. Mencegah aspirasi dan regurgitasi

Komplikasi Intubasi & Ekstubasi


1. Intubasi

Trauma gigi-geligi

Laserasi bibir, gusi, laring

Merangasang saraf simpatis (hipertensi-takikardi)

Intubasi bronkus

Intubasi esofagus

Aspirasi

Spasme Bronkus

2. Ekstubasi
- Spasme laring
- Aspirasi
- Gangguan fonasi
- Edema glotis-subglotis
- Infeksi laring, faring, dan trakea

Manajemen Cairan Perioperatif


Terapi cairan perioperatif dibutuhkan untuk mengganti cairan dan
elektrolit yang hilang pada saat sebelum, selama dan setelah operasi.
Cairan dan elektrolit yang hilang dapat disebabkan oleh:
Puasa
Perdarahan
Stress Operatif
Imbalance intake-demand

Cairan dan elektrolit ini dibutuhkan untuk membantu penyembuhan


dan pengembalian fungsi pasien

Kebutuhan Cairan Perioperatif :


Pre Op
Durante Op
Post Op

Pre Op

Kebutuhan cairan per hari untuk maintenance pada anak adalah :

0-10 kg (100ml/kgBB/hari)
11-20 kg 1000ml + (50ml/kgBB/hari)
>20 kg 1500ml + (20ml/kgBB/ hari)
Pada orang dewasa kebutuhannya adalah 30-50ml/kgBB/24 jam
Faktor yang mempengaruhi :
Kondisi pasien
Prosedur diagnostik

Pemberian obat
Preparasi bedah
Restriksi cairan preoperatif
Defisit cairan yang ada sebelumnya

Durante Op
Pengganti puasa
Digunakan 2cc/kgBB/ jam Puasa
Kebutuhan Maintenance

4cc/kgBB/10 kg pertama

2cc/kgBB/10 kg kedua

1cc/kgBB/ kg selanjutnya

Stres Operatif
6-8 ml/kg untuk tindakan pembedahan besar
4-6 ml/kg untuk tindakan sedang
2-4 ml/kg untuk tindakan ringan

Pengganti Perdarahan
Diberikan ketika produk perdarahan pada saat operasi >30% dari EBV
EBV pada orang dewasa 70cc/kgBB

Faktor perioperatif
Induksi anestesi
Kehilangan darah
Third space loss
evaporasi luka operasi

Post Op
Sesuai dengan kehilangan cairan pada saat tindakan yang mungkin belum teratasi
Terapi kebutuhan cairan rumatan, dewasa (50ml/kgBB/24 jam)
Tidak perlu diberikan kalium dan natrium
Pemberian kebutuhan karbohidrat 100-150mg/hari dapat ,enekan pemecahan protein
50%.
Albumin dipertahankan sampai kadar 3.5 %

Faktor yang berpengaruh :


Stres akibat operasi dan nyeri pasca operasi
Peningkatan katabolisme jaringan
Penurunan volume sirkulasi yang efektif
Resiko adanya ileus postoperatif

Pilihan Jenis Cairan


1. Cairan kristaloid

Cepat keluar dari intravaskuler dan masuk ke ekstraseluler

Digunakan untuk resusitasi cairan dalam waktu cepat

2.

Contoh : NACl 0.9%, RL, NS, D5%


Cairan koloid

Disebut cairan pengganti plasma (plasma expander)

Menjaga tekanan onkotik dalam vaskuler, sirkulasi lebih lama

Contoh : dextan, gelatin, starch, polyvinyl ppyrrolidone (PVC),


plasma protein

keuntungan

kristaloid

koloid

murah

Lebih lama di intravaskuler

Cairan yang dipih pertama untuk


resusitasi awal

Mempertahankan tekanan
onkotik

Meningkatkan volume intravaskuler


cepat (25% akan bertahan pada
intrvaskuler)

Membutuhkan lebih sedikit


volume untuk efek yang
sama dengan kristaloid

Memperbaiki third space loss

Edema perifer minimal


Menurunkan tekanan
intrakranial

kekurangan

Menyebabkan edema perifer

Mahal

Kejadian edema paru cukup tinggi

Mengencerkan faktor
pembekuan

Membutuhkan vol yg lebih besar


untuk efek yang sama dengan koloid

Menyebabkan koagulopati
(dextran dan helastarch

Efeknya bersifat transien

Mungkin dapat
menyebabkan reaksi
anaphylactoid apabila
dengan dextran

Shock
Merupakan sindrom kegagalan oksigenasi dan perfusi jaringan
yang disebabkan oleh berbagai macam penyebab
Jika tidak ditangani--> kerusakan ireversibel, disfungsi organ,
dan akhirnya kematian
Penampakan pasien dengan shock dapat berupa gangguan
kesadaran, takikardi, hipotensi,anuria, akral dingin

Klasifikasi shock
Shock hipovolemik

Hemorrhagic

Non hemorrhagic
Shock kardiogenik
Iskemik
Miopatik
Mekanik
Aritmia

Shock distributif
Septik
Krisis adrenal
Neurogenik (spinal shock)
Anaphylactic
Shock obstruktif
Emboli paru
Tension pneumothorax
Cardiac tamponade
Perikarditis konstriktif

Shock hipovolemik
Terjadi ketika volume intravaskuler menurun, dikarenakan
oleh :
Perdarahan
Diare
Diuresis kuat
Dehidrasi

Tujuannya adalah mengganti cairan yang hilang

Vasopressor digunakan hanya untuk meingkatkan tek. Darah


temporer sampai resusitasi cairan dilakukan

Shock distributif
Kehilangan tonisitas vaskuler (vasodilatasi)
Yang paling sering adalah septik shock
Profil hemodinamik dari septik shock adalah :
CO N/
Tekanan pengisian ventrikel N/
SVR
Tekanan diastolik
Tekanan darah

Managemen septik shock :

Manajemen awal adalah mengganti defisit cairan intravaskuler

Menggunakan antibiotik yang sensitif terhadap bakteri tersebut

Shock kardiogenik
Disebabkan oleh kegagalan jantung dalam memompa darah
Merupakan komplikasi gagal jantung paling berat, perlu
dibedakan dengan CHF dengan adanya hipotensi, hipoperfusi
karena membutuhkan intervensi yang berbeda
Karakteristik hemodinamik :
CO
Tekanan pengisian ventrikel
SVR
Manajemen shock kardiogenik :
Tujuan utamanya meningkatkan fungsi miokardium
Aritmia harus ditangani
Reperfusi Pci merupakan terapi pilihan jika pada kasus
ACS
Inotropik dan vasopresor

Shock obstruktif
Obstruksi aliran keluar jantung karena kelainan pengisian jantung
atau afterload yang berlebihan
Tamponade kordis dan konstriktif perikarditis mengganggu fungsi
diastolik dari ventrikel kanan
Tension pneumothorax membatasi pengisian ventrikel dengan
pengurangan cardiac output
Emboli paru masif meningkatkan afterload ventrikel kanan
Profil hemodinamik pada obsturktif shock:

CO

Afterload

Distensi vena jugular

Pulsus paradoksus
Manajemen obstruktif shock cenderung ke manajemen penyebabnya

Prinsip Manajemen shock


Prinsipnya adalah meningkatkan hantaran oksigen
untuk mencegah kerusakan sel dan organ
Terapi yang efektif selalu diikuti terapi penyebab
yang mendasari shock
Pemulihan perfusi yang adekuat, monitoring, dan
menyediakan kebutuhan tambahan
Intervensi untuk mengembalikan tekanan darah,
meningkatkan cardiac output dan mengoptimalisasi
oksigenasi dalam darah

Manajemen Nyeri
Definisi Nyeri
Nyeri :
Nyeri akut
Nyeri somatik
Nyeri visceral
Nyeri kronik

Nyeri --> stres --> peningkatan katekolamin --> mual-muntah

Manifestasi Nyeri : hipertensi, takikardia, hiperventilasi,


retensi urin

Skala nyeri :
VRS (verbal rating scale)
VAS (visual analog scale)
Mekanisme :
1.

Transduksi

2.

Transmisi

3.

Modulasi

4.

Persepsi

Terapi
Nyeri ringan-sedang : NSAIDs (Non-opioid)
Nyeri Berat : Opioid

Analgesik non opioid:


Asam karboksilat
Asam asetat
Derivat asam fenilasetat (diklofenak, fenklofenak)
Derivat asam asetat-indol (indometasin)
Derivat asam salisilat (aspirin)
Derivat asam propionat (ibuprofen, ketoprofen, naproksen)
Derivat asam mefenamat
Asam enolat
Derivat Pirazolon (azapropazon, fenilbutazon)
Derivat oksikam ( piroksikam)

Mekanisme Kerja
Menghambat biosintesis prostaglandin (sebagai mediator inflamasi
dan rasa nyeri)
Prostaglandin akan dilepaskan ketika ada kerusakan sel
Obat ini menghambat enzim siklo-oksigenase --> konversi asam
arakidonat menjadi PGG2 terganggu
Dapat digunakan sebagai anti piretik

Analgesik Opioid
Merupakan obat yang memiliki sifat seperti opium atau morfin
Obat ini terutama digunakan sebagai analgetik
Menimbulkan adiksi
Golongan :
1.

Obat dari opium-morfin

2.

Senyawa semi-sintetik morfin (fentanil)

3.

Senyawa sintetik yang ber efek seperti morfin

Mekanisme Kerja :
Analgesia terhadap sistem saraf pusat
Efek analgessia sangat selektif, tidak disertai hilangnya fungsi sensoris
lainnya seperti : getaran, raba, penglihatan, dan pendengaran
Menyebabkan depresi nafas
Menstimulasi pusat muntah
Stimulasi nervus vagus ketika dosis toksik

Multimodal analgesia
Penggunaan lebih dari satu macam obat analgetik yang mempunyai
mekanisme yang berbeda guna mendapatkan efek aditif dan
sinergis dalam upaya menurunkan efek samping penggunaan
monoterapi opioid
Tujuan :
1.

Mengurangi efek samping opioid

2.

Mencegah nyeri akut menjadi nyeri kronik

3.

Mempercepat pemulihan pasien

4.

Memperpendek lama tinggal di RS

Stabilisasi dan Transportasi


Stabilisasi
Proses untuk menjaga kondisi dan posisi pasien agar tetap
stabil selama tindakan medis
Transportasi
Proses usaha untuk memindahkan dari tempat satu ke
tempat lainnya untuk tujuan tertentu

Prinsip Stabilisasi
Stabil hemodinamik
Stabil posisi (mekanik)
Stabil jalan nafas
Kondisi pasien tidak memburuk setelah sampai tujuan
Prinsip transportasi
kondisi pasien stabil
Koordinasi dengan tujuan
Mempersiapkan sarana dan prasarana

Referensi
1. Petunjuk Praktis Anestesiologi, Edisi Kedua. Bagian Anestesiologi dan
TErapi Intensif Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta.
2002.
2. Perianesthesia Nursing Care: A Bedside Guide for Save Recovery.
Edited by Daphne Stannard & Dina A. Krenzischek, 2012.
3. Standards For Basic Anesthetic Monitoring Committee of Origin:
Standards and Practice Parameters (Approved by the ASA House of
Delegates on October 21, 1986, and last amended on October 20,
2010 with an effective date of July 1, 2011)
4. Buku Ajar Ilmu Anestesia dan Reanimasi, Cetakan 1, 2010.
5. Gupta, S. et. Al, Airway Assessment: Predictors od Difficult Airway
in Indian J.anesth, 257 262.

TERIMA KASIH

Anda mungkin juga menyukai