PENDAHULUAN
Glaukoma adalah penyakit mata yang ditandai dengan extravasasi glaukomatosa,
neuropati saraf optic, serta kerusakan lapang pandang yang khas dan utamanya diakibatkan oleh
tekanan bola mata yang tidak normal. 1
Neuropati optic tersebut disebabkan oleh tekanan intraocular (TIO) yang relatif tinggi,
yang ditandai oleh kalainan lapang pandang yang khas dan atrofi papil saraf optic. Pada keadaan
ini TIO tidak harus selalu tinggi. Tetapi TIO relative tinggi untuk individu tersebut. Missal untuk
populassi normal TIO sebesar 18 mmHg masih normal, tetapi pada individu tertentu tekanan
sebesar itu sudah dapat menyebabkan glaucoma, yang disebut dengan glaucoma normotensi, atau
glaucoma tekanan rendah. 2
Di Indonesia glaucoma kurang dikenal masyarakat, padahal cukup banyak yang menjadi
buta karenanya. Pada glaucoma kronik dengan sudut bilik mata terbuka misalnya, kerusakan
saraf optic terjadi perlahan-lahan hampir tanpa keluhan subjektif. Hal ini menyebabkan
penderita datang terlambat pada dokter. Biasanya kalau sudah memberikan keluhan, keadaan
glaukoma sudah menjadi lanjut. Dalam masyarakat yang kesadaran akan kesehatan atau
pendidikan masih kurang, dokter perlu secara aktiv menemukan kasus glaucoma kronis, yaitu
dengan mengadakan pengukuran bola mata secara rutin.1
BAB II
1
PEMBAHASAN
2.1 Definisi 3
Glaucoma Sekunder adalah glaucoma yang disebabkan karena penyakit lain, bisa
penyakit local pada mata atau penyakit sistemik. Pada glaucoma ini terjadi sumbatan cairan
akuos pada anyaman trabekulum atau produksi cairan akuos yang berlebih pada glaucoma
sekunder ditemukan penyakit yang jelas. Glaucoma sekunder sudut terbuka bisa terjadi karena
adanya sumbatan sebelum trabekulum misal oleh lapisan endotel, selaput peradangan, atau
membrane fibrovaskular; sumbatan pada trabekulum misal karena sumbatan darah, makrofag, sel
neoplastik, partikel pigmen, protein, dan zonula lensa, serta sumbatan setelah trabekulum misal
sumbatan di kanalis Schlemm, dan tekanan vena episklera yang meningkat karena thrombus atau
sumbatan lain.
Penyakit yang dapat menyebabkan glaucoma ini antara lain uveitis, katarak hipermatur,
hifema, kerusakan sudut iridokorneal akibat benda tumpul, sindroma pseudoeksfoliasi dan
sindroma pigmentari. Selain penyakit di atas, terdapat kondisi lain yang dapat menyebabkan
glaucoma sekunder yaitu pemakaian steroid jangka panjang dan sisa zat viskoelastik di KOA.
Gejala yang timbul dapat akut misal yang disebabkan uveitis; dan dapat pula kronis. Yang
kronis dapat terjadi pada glaucoma karena pemakaian steroid jangka panjang atau pasca trauma.
Gejalanya seperti pada glaucoma primer sudut terbuka, antara lain: tidak terasa sakit, mata
tenang, sedikit atau tidak menimbulkan keluhan. Secara lebih spesifik, glaucoma sekunder dapat
disebabkan antara lain oleh uveitis, katarak hipermatur, pengobatan steroid jangka panjang, dan
trauma.
Objek digeser perlahan-lahan dari tepi kearah titik tengah. Dicari batas-batas pada seluruh
lapangan pada saat mana benda mulai terlihat. Pada akhirnya didapatkan pemetaan daripada
lapang pandanagan penderita.
Dengan cara ini dapat ditemukan defek lapang pandangan dan adanya skotoma.
2.2.2.2 Perimeter
Pemeriksaan kampimeter dapat dilakukan dengan Perimeter. Perimeter alat ini berbentuk
setengah bola dengan jari-jari 30 cm, dan pada pusat parabola ini mata penderita diletakkan
untuk diperiksa. Mata berfiksasi pada bagan sentral parabola perimeter. Objek digeser perlahanlahan dari tepi kea rah titik tengah. Dicari batas-batas pada seluruh lapangan pada saat mana
benda mulai terlihat.
Batas lapang pandangan perifer 90 derajat temporal, 70 derajat inferior, 50 derajat nasal
dan 60 derajat superior.
Perimeter kinetic yang disebut juga perimeter isoptik dan topografik, dimana
pemeriksaan dilakukan dengan objek digerakkan dari daerah tidak terlihat menjadi
terlihat oleh penderita.
Pemeriksaan static atau perimeter profil dan perimeter curve differential threshold,
dimana pemeriksaan dengan tidak menggerakkan objek akan tetapi dengan menaikkan
intensitas objek sehingga terlihat oleh penderita.
Pemeriksaan lapang pandang diperlukan untuk mengetahui adanya penyakit-penyakit
tertentu ataupun untuk menilai progesivitas penyakit tertentu.
Pemeriksaan lapang pandangan merupakan pemeriksaan yang penting bagi seorang ahli
neurooftalmologi. Bentuk yang sederhana daripada kelainan lapang pandangan adalah bila
terdapat kelainan pada prekiasma, kiasma, dan retrokiasma. Pada defek monocular prekiasma
maka akan terlihat kelainan pada kedua mata. Kelainan kiasma akan memberikan kelainan
nonhomonim sedang pada retrokiasma bersifat homonym.
Bentuk kampus lesi prekiasma sering karakteristik.
Kelemahan alat ini mengabaikan factor kekakuan sclera (sclera rigidity). Untuk
mengetahui derajat kekakuan sclera ialah dengan menggunakan beban 5,5 dan 10 gram. Bila
hasil bacaan dengan beban 10 gram lebih tinggi disbanding hasil bacaan dengan 5,5 gram maka
mata tersebut melakukan kekakuan sclera yang lebih tinggi dari normal, sebaliknya bila hasil
bacaan lebih rendah dengan beban 10 gram maka mata tersebut memiliki kekakuan sclera yang
lebih rendah dari normal dan berarti tekanan bola mata yang sebenernya lebih tinggi daripada
hasil bacaan pada saat itu.
Pemriksaan sebaiknya dilakukan dengan berhati-hati, karena dapat mengakibatkan
lecetnya kornea sehingga dapat mengakibatkan keratitis dan erosi kornea.
2.3.3 Tonometri Aplanasi 4
Alat ini mengukur tekanan bola mata dengan memberikan tekanan yang akan membuat
rata permukaan kornea dalam ukuran tertentu dan kecil. Alat ini sangat baik karena membuat
sedikit sekali perubahan pada permukaan kornea atau bungkus bola mata.
Tonometer aplanasi merupakan alat yang paling tepat untuk mengukur tekanan bola mata
dan tidak dipengaruhi factor kekakuan sclera.
Dasar ilmu alat ini adalah tekanan = daya / luas. Bila sebagian dari bola yang lentur
(kornea) dibuat mendatar oleh permukaan yang rata (tonometer aplanasi), maka tekanan didalam
bola mata akan melawan tekanan pendataran ini dan sama dengan tekanan yang diberikan daya =
tekanan x luas.
2.3.4 Tonometri digital 4
Tonometri digital adalah cara yang paling buruk dan tidak dibenarkan untuk dipakai
dokter ahli sebagai cara rutin pada pengamatan seorang penderita glaucoma. Tanpa alat dapat
juga ditentukan tekanan bola mata dengan cara tonometri digital atau dengan jari. Yang
dilakukan adalah menekan atau melakukan indentasi sclera dan merasakan reaksi lenturan bola
mata (balotement) dimana daya membulat kembali sclera pada saat jari dilepaskan tekanannya
secara bergantian. Tekanan yang baik dilakukan pada sclera dengan mata tertutup dan tidak pada
kornea. Sebaiknya penderita diminta melihat kebawah, akibat fenomena Bell pada mata menutup
biasanya kornea bergulir keatas. Penilaian biasanya diberikan atas derajat :
6
N (normal), N +1, N +2, N +3, yang berati tekanan lebih tinggi dibanding normal,
dimana N +1 < N +2
N -1, N -2, N -3 yang berarti tekanan bola mata lebih rendah.
Dengan cara ini pemeriksaan adalah sangat subjektif dan memerlukan pengalaman yang
banyak, sehingga kurang dapat dipercaya. Cara ini masih sangat berguna untuk mengukur
tekanan bola mata pada kelainan kornea yang tidak mungkin mempergunakan alat pada kornea.
2.3.5 Tonografi 4
Tonometer yang dipakai adalah semacam tonometer Schiotz dan bersifat elektronik yang
merekam tekanan bola mata selama 4 menit dan berguna untuk mengukur pengaliran keluar
cairan mata. Pada tonografi selain terlihat kurva fasilitas pengeluaran cairan bilik mata, juga
terlihat pulsasi nadi intraocular dan pernafasan.
Nilai tonografi C = 0,18 adalah normal, kurang dari 0,13 adalah patologik. Bila C kurang
dari 0,18 maka keadaan ini di curigai penderita menderita glaucoma.
2.3.6 Gonioskopi 4
Dengan lensa gonioskopi dapat dilihat keadaan sudut bilik mata yang dapat menimbulkan
glaucoma. Penentuan gambaran sudut bilik mata dilakukan pada setiap penderita yang dicurigai
glaucoma.
Pemeriksaan ini dilakukan dengan meletakkan lensa sudut (goniolens) didataran depan
kornea setelah diberikan local anestikum. Lensa ini dapat dipergunakan untuk melihat sekeliling
sudut bilik mata dengan memutarnya 360 derajat.
Penderita meminum 1-2 mangkok kopi pekat, bila tekanan bola mata naik 15-20 mmHg
sesudah minum 20-40 menit menunjukkan adanya glaucoma.
2. Uji Minum Air
Minum air banyak akan mengakibatkan turunnya tekanan osmotic sehingga air akan
banyak masuk kedalam bola mata, yang akan menaikkan tekanan bola mata.
Sebelum makan pagi tekanan bola mata diukur dan kemudian penderita diminta
meminum air dengan cepat 1 liter air. Tekanan bola mata diukur setiap 15 menit. Bila
tekanan bola mata naik 8-15 mmHg dalam waktu 45 menit pertama menunjukkan
penderita menderita glaucoma.
Biasanya bersamaan dengan naiknya tekanan bola mata akan terjadi pengurangan
outflow of facility.
3. Uji Steroid (merupakan uji untuk glaucoma herediter)
Pada penderita yang dicurigai adanya glaucoma terutama dengan riwayat glaucoma
simpleks pada keluarga, diteteskan betametason atau deksametason 0.1% 3-4 kali sehari.
Tekanan bola mata diperiksa setiap minggu
Pada penderita berbakat glaucoma maka tekanan bola mata akan naik setelah 2 minggu.
4. Uji Variasi Diurnal
Pemeriksaan dengan melakukan tonometri setiap 2-3 jam sehari penuh, selama 3 hari.
Biasanya penderita dirawat. Nilai variasi pada mata normal adalah antara 2-3 mmHg,
sedang pada mata glaucoma sudut terbuka variasi dapat mencapai 15-20 mmHg.
Perubahan 4-5 mmHg sudah dapat dicurigai keadaan patologik.
Biasanya tekanan bola mata naik pada pagi hari, turunnya tekanan bola mata pada pagi
hari dapat disebabkan kontraksi otot dan akomodasi. Tekanan bola mata terendah
biasanya pada malam hari. Bila terdapat perbedaan antara kedua mata akan menambah
kecurigaan.
5. Uji Kamar Gelap
Bila penderita dengan sudut tertutup berada di kamar gelap atau terdapat midriasis pada
pupilnya maka akan terjadi penutupan sudut bilik mata.
Pada uji ini dilakukan pengukuran tekanan bola mata dan kemudian penderita
dimasukkan ke dalam kamar gelap dan duduk dengan kepala terletak dengan muka
menghadap meja selama 60-90 menit. Pada akhir 90 menit tekanana bola mata diukur.
55% penderita glaucoma sudut sempit akan menunjukkan hasil yang positif atau naik
tekanan bola mata setelah masuk kamar gelap 8 mmHg.
Pada saat pemeriksaan ini penderita tidak boleh tidur, pada akhir pemeriksaan dilakukan
pemeriksaan ulang keadaan sudut bilik mata.
untuk mengangkut zat buangan hasil metabolisme pada kedua organ tersebut. Adanya cairan
tersebut akan mempertahankan bentuk mata dan menimbulkan tekanan dalam bola mata/tekanan
intra okular. Untuk mempertahankan keseimbangan tekanan di dalam bola mata dalam batas
normal (10-24 mmHG), HA diproduksi secara konstan serta dialirkan keluar melalui sistem
drainase mikroskopik. 8
2.7 Epidemiologi
Di Amerika Serikat, kira-kira 2.2 juta orang pada usia 40 tahun dan yang lebih tua
mengidap glaukoma, sebanyak 120,000 adalah buta disebabkan penyakit ini. Banyaknya Orang
Amerika yang terserang glaucoma diperkirakan akan meningkatkan sekitar 3.3 juta pada tahun
2020. Tiap tahun, ada lebih dari 300,000 kasus glaukoma yang baru dan kira-kira 5400 orang
menderita kebutaan. Glaukoma akut (sudut tertutup) merupakan 10- 15% kasus pada orang
Kaukasia. Persentase ini lebih tinggi pada orang Asia, terutama pada orang Burma dan Vietnam
di Asia Tenggara.. Glaukoma pada orang kulit hitam, lima belas kali lebih menyebabkan
kebutaan dibandingkan orang kulit putih. 10
disertai defek
transiluminasi iris. Studi dengan ultrasonografi menunjukan perlakuan iris berkontak dengan
zonula atau processus ciliares, mengindikasikan pengelupasan granul-granul pigmen dari
permukaan belakang iris akibat friksi, dan menimbulkan efek transiluminasi iris.Sindrom ini
paling sering terjadi pada pria miopia berusia antara 25 dan 40 tahun yang memiliki bilik mata
depan yang dalam dengan sudut bilik mata yang lebar. 5
Temuan klinis glaukoma pigmentasi dapat berupa:
1.
2.
3.
4.
mengembalikan konfigurasi iris yang abnormal, tetapi masih belum jelas apakah keduanya
memberikan keuntungan jangka panjang bagi perkembangan dan perburukan glaukoma. (Karena
pasien biasanya penderita miopia berusia muda, terapi miotik kurang dapat ditoleransi, kecuali
jika diberikan dalam bentuk pilokaprin sekali sehari, lebih disukai pada malam hari). 5
Baik
sindrom
depersi
pigmen
maupun
glaukoma
pigmentasi
khas
dengan
beberapa
teori
mengenai
glaucoma
steroid
antara
lain
terjadi
penimbunan
Glaucoma dapat terjadi pada trauma yang menyebabkan kerusakan jaringan trabekulum
cukup luas sehingga mengganggu aliran keluar cairan akuos. Misal traum karena benturan benda
tumpul atau terkena lemparan bola tenis.3
Pemakaian berbagai macam steroid (topical, inhalasi, periokular, atau endogen) dapat
menimbulkan kenaikan TIO sebagai glaucoma sekunder sudut terbuka. Kenaikan TIO terjadi
antara minggu ke 2 dan ke 6 setelah pemberian steroid yang tergantung pada potensi, durasi,
jenis, konsentrasi dan respon individu terhadap steroid. Diagnose glaucoma sekunder akibat
steroid ditegakkan apabila TIO mengalami penurunan setelah penghentian steroid yang biasanya
terjadi pada minggu ke 2 sampai minggu ke 4. Permukaan jangka panjang TIO biasanya tetap
tinggi walaupun steroid telah dihentikan.3
Penatalaksanaan dengan medikamentosa atau laser trabekuloplasti, apabila dengan kedua
penannganan tersebut tidak menunjukkan perbaikan maka operasi filtrasi merupakan indikasi.3
terapi uveitis dapat juga menyebabkan kenaikan TIO akibat terjdinya perubahan histology
anyaman trabekulum.3
Sebagian besar mekanisme kenaikan TIO adalah sebagai akibat tersumbatnya anyaman
trabekulum oleh sel-sel radang, selain itu pembengkakan stroma dan endotel anyaman
trabekulum dapat juga menyebabkan tersumbatnya anyaman trabekulum. Pada kasus uveitis
karena herpes dapat terjadi trabekulitis yang disertai penyumbatan oleh sel radang. Diagnosis
glaucoma uveitis ditegakkan berdasarkan adanya sel radang pada humor akuos atau vitreus.3
Gonioskopi secara hati-hati dapat menegakkan diagnosis lebih pasti dengan ditemukannya
timbunan sel radang / presipitat di anyaman trabekulum dan sinekia anterior perifer.
Inflamasi intraocular dapat menimbulkan perubahan dinamika humor aqueous yang
berakhir dengan kenaikan atau penurunan TIO, akibat penurunan produksi humor aqueous atau
peningkatan outflow uveoskleral.3
a.
b.
c.
d.
mungkin
memerlukan
antimetabolit
17
Pada dislokasi anterior, terapi definitifnya adalah ekstaksi lensa segera setelah tekanan
intraokular terkontrol secara medis. Pada dislokasi posterior, lensa biasaanya dibiarkan dan
glaukoma diobati sebagai glaukoma sudut terbuka primer.11
b. Intumesensi Lensa
Lensa dapat menyerap cukup banyak cairan sewaktu mengalami perubahan-perubahan
katarak sehingga ukurannya membesar secara bermakna.Lensa ini kemudian dapat
melanggar batas bilik depan, menimbulkan sumbatan pupil dan pendesakan sudut, serta
menyebabkan glaukoma sudut tertutup. Terapi berupa ekstraksi lensa, segera setelah tekanan
intraokular terkontrol secara medis. 5
c. Glakoma fakomorpik - (Phacomorphik glaukoma)
Merupakan glaucoma sekunder sudut tertutup akibat pencembung lensa yang
menimbulkan blok pupil relative dan mendorong iris kedepan sehingga kamera anterior
menjadi dangkal. Kedua mekanisme tersebut mengakibatkan pendangkalan kamera anterior
dan peningkatan TIO. Gambaran klinik yang khas pada kasusini adalah adanya katarak
unilateral, dengan kamera anterior yang dalam pada mata kontralateral. Penatalaksanaan
pilihan pada kasus ini adalah ekstraksi katarak apabila tidak terdapat anterior peripheral.
Sinekia yang luas, dapat menurunkan TIO yang bermakna.
Pada glaukoma sekunder yang disebabkan oleh katarak yang pertama turunkan dahulu
tekanan intraokulernya, setelah turun baru dilanjutkan dengan operasi katarak. 3
d. Glaukoma fakolitik - (Phacolytic Glaukoma)
Merupakan glaucoma sekunder sudut terbuka yang terjadi pada katarak matur dan
hipermatur. Glaucoma pakolitik terjadi akibat adanya kebocoran molekul besar protein lensa
pada humor aquos melalui mikro defak pada kapsul anterior maupun posterior lensa sehingga
menimbulkan sumbatan pada outflow aquos. Penderita dengan pakolitik glaucoma ditandai
dengan kenaikan TIO medadak, injeksi konjungtiva dan episklera yang disertai dengan rasa
sakit. Pada pemeriksaan slit-slamp tampak adanya kornea edema, flare serta partikel refrigen
pada kamera antaerior. Terjadi uniteral serta adanya riwayat penurunan tajam penglihatan
karena katarak.
18
membrane hialoid yang rupture bermigrasi ke kamera anterior sehingga menimbulkan obstruksi
anyaman trabekulum dengan terjadi kenaikan TIO.
Penanganan glaucoma ghost cell dengan parasentesa dengan irigasi aspirasi kamera anterior
untuk membersihkan debris selular. Pilihan tindakan berikutnya adalah dengan trabekulektomi
dengan atau tanpa anti metabolit, apabila dengan tindakan tersebut tidak berhasil, vitrektomi.
20
Tanda klinis yang dapat dijumpai adalah adanya pendangkalan kamera anterior sentral/
aksial yang disertai pendangkalan bagian perifer sehingga menyebabkan penutupan sudut
iridokornea, dan harus dipastikan bahwa tidak ada blok pupil dengan adanya iridotomi/
iridektomi yang patent. TIO lebih tinggi dari yang diharapkan, misalnya hamper mendekati 20
mmHg pasca trabekulektomi, tetapi dapat juga TIO sangat tinggi.
akibat terpisahnya penempelan prosesus siliar dengan lensa. Laser Nd-YAG juga dilaporkan
efektif dalam mengatasi glaucoma maligna pada afakia dan pseudofakia dengan cara
menghancurkan vitreus yang menempel pada prosesus siliar.
Sklerotomi posterior disertai injeksi udara dapat dilakukan untuk mengurangi cairan
divitreus dan membentuk kembali kamera anterior. Sklerotomi dilakukan di daerah 3 mm dari
limbus, atropine sulfat tetap diberikan untuk mencegah terulang kembali blockade siliovitreal.
Ekstraksi lensa dilakukan jika sklerotomi gagal mengatasi glaucoma maligna.
23
berhubungan dengan rubeosis iridis dan glaukoma neovaskuler adalah retinoblastoma, melanoma
koroid, melanoma iris, melanoma korpus siliaris, karsinoma metastase dan limpoma. 17
Gejala klinis glaukoma neovaskuler dapat berupa, fotofobia, penurunan visus,
peningkatan tekanan okuler, edema kornea, neovaskularisasi iris yang awalnya tampak pada
pinggir pupil, ektropion uvea dan penutupan sudut oleh sinekia.18
Penatalaksanaan glaukoma neovaskuler dapat berupa panretinal Fotokoagulasi, panretinal
krioterapi, panretinal krioterapi, terapi obat - obatan dan terapi pembedahan. 19 Selanjutnya akan
disampaikan laporan sebuah kasus glaukoma neovaskuler yang dirawat di Rumah Sakit
Dr.M.Djamil Padang.
Glaukoma neovaskuler disebabkan oleh pertumbuhan membran fibrovaskuler yang
terdapat pada permukaan iris dan sudut kamera okuli anterior. Mulanya membran ini hanya
menutup struktur sudut, tetapi kemudian ia mengkerut dan menimbulkan sinekia anterior perifer.
Disebut glaukoma neovaskuler karena disebabkan oleh membrane fibrovaskuler yang terdapat
pada iris dan atau sudut kamera okuli anterior. Ini sangat penting untuk membedakan glaukoma
neovaskuler dan rubeosis iridis. Rubeosis iridis berhubungan dengan pembuluh darah baru yang
terdapat pada permukaan iris tanpa memperhatikan keadaan sudut kamera okuli anterior atau
timbulnya glaucoma.
Tiga penyebab tersering Glaukoma neovaskuler adalah : diabetes mellitus, oklusi vena
sentralis retina dan obstruksi arteri karotis. Kelainan mata pada seorang penderita diabetes
mellitus sering menjadi komplikasi yang serius. Kelainan yang disebabkan oleh diabetes ini
dapat berupa retinopati diabetika. Dari perjalanan proses retinopati ini, dikenal klasifikasi
retinopati diabetika non proliferatif dan retinopati diabetika proliferatif. Glaukoma neovaskuler
biasanya terjadi pada retinopati diabetika proliferatif, yaitu sekitar 79 % dari seluruh kasus, akan
tetapi dapat juga terjadi pada retinopati diabetika non proliferatif bila terdapat non perfusi kapiler
yang luas. 18
Diabetes mellitus umtunnya merupakan penyebab terbanyak glaucoma neovaskuler.
Sekitar sepertiga dari semua kasus glaukoma neovaskuler disebabkan oleh diabetes mellitus dan
biasanya bilateral. Timbulnya glaukoma neovaskuler berhubungan dengan lamanya menderita
diabetes dan dapat juga dipengaruhi oleh penyakit lain seperti hipertensi. 20
24
Oklusi vena sentralis retina merupakan penyebab nomor dua terbanyak setelah diabetes
mellitus yang menyebabkan timbulnya glaukoma neovaskuler. Sekitar 30 % pasien dengan
oklusi vena sentralis retina berkembang menjadi glaukoma neovaskuler. Umumnya unilateral,
tapi dapat juga bilateral yaitu sekitar 14 % dari seluruh kasus glaukoma neovaskuler. Glaukoma
neovaskuler ini timbul kira-kira 2 minggu sampai 2 tahun setelah oklusi vena sentralis retina.
Glaukoma neovaskuler pada oklusi vena sentralis retina ini disebut juga glaukoma 100 hari. 20
Obstruksi arteri karotis merupakan penyakit nomor tiga terbanyak yang menimbulkan
glaukoma neovaskuler. Glaukoma neovaskuler dilaporkan timbul setelah ligasi arteri karotis dan
obstruksi arteri karotis idiopatik. Obstruksi bisa unilateral atau bilateral dan biasanya melibatkan
arteri karotis atau arteri karotis interna. Obstruksi arteri karotis tidak menyebabkan glaukoma
neovaskuler pada semua kasus karena biasanya terdapat aliran kolateral untuk mencegah iskemik
retina yang luas. Gejala klinis yang timbul dapat berupa nyeri periorbita dan nyeri okuler yang
hebat, tekanan intra okuler normal atau rendah, adanyaneovaskuler pada iris dan sudut.17,18
Mekanisme bagaimana terjadinya neovaskularisasi pada iris sampai saat ini belum
diketahui dengan pasti namun beberapa teori yang pernah diajukan dan dapat dipertimbangkan.
1. Hipoksia retina
Rubeosis iridis terjadi karena berkurangnya perfusi ke retina yang mengakibatkan
terjadinya hipoksia retina. Hipoksia retina ini merupakan faktor yang menyebabkan terbentuknya
pembuluh pembuluh darah baru di iris, retina dan pada papila nerrus optikus. Teori ini
dihubungkan dengan retinopati diabetika dan oklusi vena sentralis retina. 13,15
2. Angiogenesis faktor
Teori ini sudah dianut sejak tahun 1948, dimana faktor angiogenesis berperan dalam
mengatur aliran darah di retina. Faktor angiogenetik ini mampu mengatur pertumbuhan
pembuluh darah baru. Faktor angiogenesis ini menghasilkan angiogenetik peptide dan Vascular
Endothelial Growth Factor (VEGF) yang pertama kali diisolasi melalui glandula hipotalamus
pada pasien dengan iskemik retina yang dihubungkan dengan neovaskuler di matanya. 13, 15
3. Dilatasi pembuluh darah mata kronik
25
stadium ini glaukoma terjadi karena obstruksi jaringan trabekula oleh membran fibrovaskuler,
pendarahan ataupun peradangan. Perjalanan klinis glaukoma neovaskuler pada pasien ini
termasuk stadium glaukoma sudut terbuka karena gejala klinis yang timbul sesuai dengan
stadium ini.13,15,21
4. Stadium Gaukoma Sudut Terhrtup 21
Gambaran klinis :
Stadium perjalanan klinik glaukoma neovaskuler dapat dilihat pada gambar diatas :
A. Stadium preglaukoma (rubeosis iridis)
Dengan karakteristik adanya pembuluh darah baru pada permukaan iris dan pada sudut kamera
okuli anterior
B. Stadium glaukoma sudut terbuka.
Dengan karakteristik adanya peningkatan pembuluh darah baru dan membrane fibrovaskuler
pada permukaan iris dan pada sudut kamera okuli anterior
C. Stadium glaukoma sudut tertutup
Dengan karakteristik kontraksi membran fibrovaskuler dan menyebabkan ekhopion uvea , iris
mendatar dan terjadinya sinekia anterior periper.
Beberapa penatalaksanaan pada pasien glaukoma neovaskuler tergantung pada Stadium
perjalanan penyakitnya, yaitu :
1.
Panretinal Fotokoagulasi.
Mekanismenya belum jelas, tetapi diduga menurunkan oksigen retina dan mengurangi
produksi faktor perrumbuhan neovaskular. Paretinal fotokoagulasi dapat digunakan untuk :
27
a. Profilaksis
Panretinal fotokoagulasi digunakan pada tahap prerubeosis dengan oklusi vena retina sentralis,
walaupun tidak sepenuhnya mencegah neovaskularisasi di iris dan kamera okuli anterior.
b. Pengobatan.
Untuk menurunkan tekanan intra okuler pada tahap glaukoma sudut terbuka dan mengurangi
neovaskularisasi pada segmen anterior sebelum pembedahan intra okular. 17,20,22
2. Parretinal krioterapi.
Bila kekeruhan media menghalangi panretinal fotokoagulasi, panretinal krioterapi dapat
digunakan untuk mengontrol tekanan intra okuler dan mengurangi atau menghilangkan
neovaskularisasi. 17,20, 22
3. Gonioskopi fotokoagulasi. 23,24
Teknik ini menggunakan pemakaian langsung dari terapi laser terhadap pembuluh darah pada
kamera okuli anterior. Cara ini efektif bila digunakan pada stadium awal dari penyakit untuk
mencegah progresifitas perobahan sudut yang akhirnya menyebabkan glaukoma neovaskular
yang menetap. Cara ini digunakan dengan menggabungkannya dengan panretinal fotokoagulasi,
terutama dianjurkan untuk pasien-pasien yang mempunyai resiko tinggi untuk berkembangnya
glaukoma neovaskuler, bila panretinal fotokoagulasi belum berhasil atau sebelum opersi intra
okuler.
4. Terapi dengan obat-obatan.25,26
Obat-obat untuk menekan produksi aquous humor (termasuk beta-blokers, karbonik
anhidrase inhibitors dan alpha-reseptor blokers). Karbonik Anhidrase inhibitors sistemik
pengguniumnya harus hati-hati terutama pada pasien-pasien dengan penyakit paru yang kronik,
gangguan elektrolit, penyakit ginjal, hepar dan diabets mellitus. Obat anti glaukoma yang
diberikan pada pasien ini adalah timolol 0,5% yang dikombinasikan dengan glaucon 4 x250 mg.
Pemberian obat glaukoma timolol yang dikombinasikan dengan glaucon pada pasien ini cukup
efektif untuk menurunkan tekanan intra okuler, dimana tekanan intra okuler waktu masuk adalah
37,2 mlrlhg, pada follow up hari ke 2 turun menjadi 18,9 mmHg. Timolol merupakan obat anti
28
glaukoma beta blocker yang bekerja menekan produksi aquos humor dan dapat menurunkan
tekanan intra okuler sekitar 20 - 30 %. Glaucon adalah obat anti glaukoma golongan karbonik
anhidrase inhibitors yang juga bekerja menekan produksi aquos humor dan dapat menurunkan
tekanan intra okuler sekitar 15 -20 % .
a. Topikal kortikosteroid untuk mengontrol inflamasi. Akan tetapi hal ini dapat
menimbulkan steroids induced glaucoma pada beberapa individu. Oleh karena itu, pasien
yang mendapat pengobatan dengan kortikosteroid harus dimonitor secara ketat. Pada
pasien ini diberikan posop yang merupakan anti inflamasi steroid yang kurang
menginduksi peningkatan tekanan intra okuler.
b. Obat-obat golongan hiperosmotik seperti manitol intra vena, juga dapat digunakan untuk
terapi glaukoma akut, tetapi penggunaannya juga harus hati-hati pada pasien dengan
penyakit gagaljantung, bendungan paru hebat dan gagal ginjal.
c. Intra Vitreal Triamsinolon. Obat ini ditujukan unhrk mengurangi neovaskularisasi retina.
d. Avastin merupakan anti angiogenik yang tidak hanya menahan dan mencegah
perttrmbuhan prolirerasi sel endotel vaskular tapi juga menyebabkan regresi vaskular
oleh karena peningkatan kematian sel endotel.
e. Atropin unfuk mengurangi nyeri.
Terapi Pembedahan .13,21,26
Jika tekanan intra okular tdak dapat diturunkan dengan terapi topikal dan terdapatnya ancaman
ablasio retina maka pembedahan adalah langkah yang harus diambil.
Ada beberapa pilihan, yaitu:
a. Aquous drainase
Penggunaaan suatu saluran yang disebut drainage tube shunt dimana tingkat
keberhasilannya sangat tinggt unhrk kasus akut atau kasu
b. Prosedur siklodestruhif
29
Pada prosedur ini korpus siliaris yang memproduksi aquos humor diberikan laser
sehingga produksinya berkurang, biasanya dilakukan dengan anastesi lokal. Prosedur ini dapat
dilakukan ketika tekanan intra okuler penderita glaucoma neovaskuler gagal dikontrol.
c. Pembedahan filter (trabekulektomi)
Trabekulektomi dilalcukan pada pasien dengan glaukoma neovaskuler yang sudah gagal
dengan terapi lain dan glaukomanya meningkat secara progresif. Selain itu adakalanya dilakukan
bersamaan dengan operasi katarak.
2.16 Penatalaksanaan 1
Pertama-tama bila memungkinkan maka kita harus mengobati dulu penyakit dasarnya. Untuk
glaukoma, penatalaksanaannya sama dengan penjelasan sebelumnya, tergantung tipe glaukoma
yang ditimbulkan.
2.16.1 Medikamentosa
A. Supresi Pembentukan Humor Aqueous
1. Penghambat adrenergic beta adalah obat yang paling luas digunakan untuk terapi glaukoma.
Obat ini dapat digunakan tersendiri atau dikombinasikan dengan obat lain. Preparat yang tersedia
sekarang yaitu timolol maleat 0,25% dan 0,5%, betaksolol 0,25% dan 0,5%, levobunolol 0,25%
dan 0,5%, dan metipranolol 0,3%. 5
2. Apraklonidin adalah suatu agonis adrenergic 2 baru yang menurunkan pembentukan humor
akuos tanpa efek pada aliran keluar. 5
3. Inhibitor karbonat anhidrase sistemik-asetazolamid adalah yang paling banyak digunakan,
tetapi terdapat alternatif lain yaitu diklorfenamid dan metazolamid. Digunakan untuk glaucoma
kronik apabila terapi topikal tidak memberi hasil memuaskan dan glaukoma akut dimana tekanan
intraokular yang sangat tinggi yang perlu segera di kontrol.Obat ini mampu menekan
pembentukan HA sebesar 40-60%.
B. Fasilitasi Aliran Keluar Humor Aqueous.
30
31
Konstriksi pupil sangat penting dalam penatalaksanaan glaukoma sudut tertutup akut primer dan
pendesakan sudut pada iris plateau. Dilatasi pupil penting dalam pengobatan penutupan sudut
akibat iris bombe karena sinemia posterior. Apabila penutupan sudut disebabkan oleh pergeseran
lensa ke anterior, sikloplegik (siklopentolat dan atropin) dapat digunakan untuk melemaskan otot
siliaris sehingga mengencangkan aparatus zonularis dalam usaha untuk menarik lensa ke
belakang. 11
2.16.2 Pembedahan
A. Iridektomi dan iridotomi perifer
Sumbatan pupil paling baik diatasi dengan membentuk komunikasi langsung antara kamera
anterior dan posterior sehingga beda tekanan di antara keduanya menghilang. Hal ini dapat
dicapai dengan laser neonidium: YAG atau aragon (iridotomi perifer) atau dengan tindakan
bedah iridektomi perifer. Iridotomi laser YAG adalah terapi pencegahan yang digunakan pada
sudut sempit sebelum terjadi serangan penutupan sudut. 5
B. Trabekuloplasti laser
Penggunaan laser untuk menimbulkan luka bakar melalui suatu goniolensa kejalinan
trabekular dapat mempermudah aliran keluar HA karena efek luka bakar tersebut pada jalinan
trabekular dan kanalis Schlemm serta terjadinya proses-proses selular yang meningkatkan
fungsi jalinan trabekular. Teknik ini dapat diterapkan untuk bermacam-macam bentuk
glaukoma sudut terbuka, dan hasilnya bervariasi bergantung pada penyebab yang mendasari.
Penurunan tekanan
D. Tindakan siklodestruktif
Kegagalan terapi medis dan bedah dapat menjadi alasan untuk mempertimbangkan tindakan
destruksi korpus siliaris dengan laser atau bedah untuk mengontrol tekanan intraokular.
Krioterapi, diatermi, ultrasonografi frekuensi tinggi, dan yang paling mutakhir terapi laser
neodinium : YAG thermal mode, dapat diaplikasikan ke permukaan mata di sebelah posterior
limbus untuk menimbulkan kerusakan korpus siliaris dibawahnya. 5
2.17 Prognosis
Tanpa pengobatan, glaukoma dapat mengakibatkan kebutaan total. Apabila proses
penyakit terdeteksi dini sebagian besar penyakit glaukoma dapat ditangani dengan baik.
sekunder
merupakan
glaukoma
yang
diketahui
penyebab
yang
menimbulkannya. Hal tersebut disebabkan oleh proses patologis intraokular yang menghambat
aliran cairan mata. Glaukoma sekunder dapat disebabkan oleh sindroma depresi pigmentasi,
sindroma eksfoliasi, kelainan lensa seperti dislokasi lensa, intumesensi lensa, terjadinya lisis
lensa, uveatis, karena trauma, karena neovaskuler dan penggunaan obat-obatan seperti steroid
pada mata. Kelainan mata tersebut dapat menimbulkan meningkatnya tekanan bola mata.
Penatalaksanaan glaukoma sekunder adalah dengan mengobati dulu penyakit dasarnya,
tergantung tipe glaukoma yang ditimbulkan. Tujuan utama terapi glaukoma adalah dengan
menurunkan tekanan intraokular serta meningkatkan aliran humor aquos (drainase) dengan efek
samping yang minimal dapat menggunakan medikamentosa ataupun intervensi bedah. Lebih
cepat penyakit glaukoma dideteksi dan diterapi maka prognosis penyakit ini akan jauh lebih
baik. Tanpa pengobatan, glaukoma dapat mengakibatkan kebutaan total. Apabila proses penyakit
terdeteksi dini sebagian besar penyakit glaukoma dapat ditangani dengan baik.
Oleh karena itu pentingnya suatu pengetahuan yang baik oleh masyarakat dan juga tenaga
medis untuk mewaspadai penyakit-penyakit yang kemungikinan dapat menyebabkan glaukoma
sekunder.
DAFTAR PUSTAKA
1. Perhimpunan dokter spesialis mata Indonesia, 2002, Ilmu Penyakit Mata untuk dokter
umum dan mahasiswa kedokteran: edisi ke-2,
34
2. Sagung Seto, Jakarta. Suhardjo et. Al. 2007. Ilmu Kesehatan Mata, Bagian Ilmu Penyakit
Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.
3. Suhardjo, Hartono. Ilmu kesehatan mata. Yogyakarta : Bagian Ilmu Kesehatan Mata
Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada, 2012; h 123-130
4. Ilyas S. Ilmu penyakit mata. Ed 4. Jakarta : Badan Penerbit Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia, 2011; h 41-3, 47-51
5. Riordan, P., Whitcher, J. P. Vaughan & Asbury Oftalmologi Umum Edisi 17. EGC.
Jakarta. 2010.
6. Schuman, J. S., Christopoulos, V., Dhaliwal, D. K., Kahook, M. Y., et all. Rapid
Diagnoses in Ophthalmology Lens and Glaucoma. Mosby Elsevier. Philadelphia. 2008.
7. Setiawan, A. Glukoma.Available at:http://fkuii.org . Accesed on August, 2008.
8. Sidarta, I. Glaukoma (Tekanan Bola Mata Tinggi). Ed 2. FKUI. Jakarta. 2001.
9. Lang, G. K.Ophthalmology A Pocket Textbook Atlas 2nd Edition. Thieme. Stuttgart-New
York. 2006.
10. Miranti, A., Arjo SM., 2002. Deteksi dini glaukoma, Medisinal, Vol. III, Jakarta.
11. Boyd, B. F., Luntz, M. Innovations In The Glaucomas Etiology, Diagnosis, and
Management. Highlights of Ophthalmology International. 2002.
12. Rhee DJ and Nicholl, SecondaryAngel Closure Glaucoma In Glaucoma, Chap 17, 2003 :
326 -328.
13. Khan YA, Glaucoma Neovascular, 2006 Diakses dari http/www.emedicine.com. Akses
terakhir Desember 2008.
14. Vaughan & Asbury s, Neovascular Glaucoma In General Opthalmology, Six Edition,
2004 :212 -227
15. William L and Wilkins, Glaucomas Associated With Disorders of The Retina Vitreous
and Choroid In Shields, Textbook of Glaucoma Fifth Edition, Chap 19,2005 : 328 -337.,
16. American Academy of Opthalmolgy, Glaucoma Section 12 chap 5,2008-2009 :150 -159.
17. Salim S, Diagnosis and Treatment of Neovascular Glaucoma,2007. Diakses dari
http/www. e y enetmagazine. com. Akse s terakhir Desember 2008.
18. Bertamian M. Glaucoma Neovascular in Clinical Guide to Glaucoma Management.
Elsevier lnc. 2004 : 263 - 269.
19. American Academy of Opthalmolgy, Glaucom4 Section 10 chap 5, 2008-2009 : 138 -142
20. William L and Wilkins, Neovascular Glaucoma Associated In The Wills EyebManual,
Fourth Edition, Chap 9.14,2004 :187 - 189.
21. Khurana AK, Secondary glaucomas in Comprehensif Opthalmology, Fourth Edition,
2007 :231 -237
22. Tan D et al, Non retinal Manifestation of Diabetes mellitus In Clinical Ophthamology An
Asian Perspective, Chap 6.I,2005 : 370 - 37I
35
23. Vaughan & Asbury s, Neovascular Glaucoma In General Opthalmology, Six Edition,
2004 :212 -227
24. Aswad LA, Another Role for Avastin ? Neovascular glaucoma In Review of
Ophthalmology, diakses dari http/www.revolth.com. akses terakhir Desember 2008.
25. Marianas M, Glaukoma Skunder, Dalam Naskah lengkap Update Uveo Retina
management Dan Penanganan kasus-kasus mata Khusus di Pusat Pelayanan Kesehatan
Msyarakt , Fakultas Kedokteran Universitas Andalas,RS M Djamil Padang, Bukitinggi
2002 :23 -24.
26. Susanna JR and Bonanoni MTBC, lntravitreal Triamcinolone Acetonide as Ajunctiva
Treatment For Neovascular Glaucoma, vol 60. no 4 Sao Paulo Aug. 2005.
36