PENDAHULUAN
Gangren pulpa merupakan adalah keadaan gigi dimana jaringan pulpa sudah
mati sebagai sistem pertahanan pulpa sudah tidak dapat menahan rangsangan
sehingga jumlah sel pulpa yang rusak menjadi semakin banyak dan menempati
sebagian besar ruang pulpa.
Sel sel pulpa yang rusak tersebut akan mati dan menjadi antigen sel-sel
sebagian besar pulpa yang masih hidup. Kematian jaringan pulpa juga disebabkan
oleh trauma yang menyebabkan patahnya atau fraktur pada gigi
Fraktur adalah hilangnya atau putusnya kontinuitas jaringan keras tubuh,
fraktur dentoalveolar didefinisikan sebagai fraktur yang meliputi avulsi, subluksasi
atau fraktur gigi yang berkaitan dengan fraktur tulang alveolar, fraktur dentoalveolar
dapat terjadi tanpa disertai dengan fraktur bagian tubuh lainnya, biasanya terjadi
akibat kecelakaan ringan, seperti jatuh, benturan, berolahraga, atau iatrogenic.
Patofisiologi dari gangren pulpa adalah terbentuknya eksudat inflamasi
menyebabkan peningkatan tekanan intra pulpa sehingga sistem limfe dan venule
terputus, mengakibatkan kematian jaringan pulpa. Jika eksudat tersebut masih dapat
diabsorbsi atau terdrainase melalui karies, nekrosis terjadi bertahap. Pada gigi yang
mengalami benturan keras, nekrosis pulpa juga dapat terjadi akibat putusnya aliran
darah dalam pulpa.
Gangren pulpa merupakan gigi non vital dimana gigi tersebut tidak
memberikan reaksi pada cavity test dan pada lubang perforasi tercium bau busuk.
Gigi tersebut memberikan rasa sakit apabila penderita minum/makan makanan panas
yang menyebabkan pemuaian gas dalam rongga pulpa tersebut yang menekan ujung
saraf akar gigi sebelahnya yang masih vital.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1
Penyakit Karies1,2
2.1.1Perjalanan Penyakit Karies
1. Iritasi Pulpa
Iritasi pulpa merupakan lesi pada lapisan email atau sementum yang
belum menimbulkan perubahan patologis pada pulpa. Biasanya pasien
mengeluh ngilu waktu makan atau minum asam atau manis, bisa juga
ngilu spontan. Pada pemeriksaan didapatkan tidak ada kelainan ekstra
oral, didapatkan karies di permukaan, sondasi kedalaman superfisial dan
ngilu.
2. Hiperemi Pulpa
Hiperemi pulpa merupakan kelanjutan dari iritasi pulpa di mana sumber
iritan berupa toksin atau metabolit yang menyebabkan lisis struktur
dentin dan akan berlanjut penetrasi ke dalam pulpa. Pada hiperemi pulpa
sudah terjadi kondisi patologis pada tingkat awal, berupa vasodilatasi
pada pulpa. Dapat dijumpai keluhan sakit atau sangat ngilu jika kena
rangsang dari makanan, segera hilang jika rangsang dihilangkan. Tidak
ada riwayat sakit spontan. Pada pemeriksaan ekstra oral tidak
didapatkan kelainan. Pemeriksaan intraoral didapatkan karies, sondasi
kedalaman media, sangat ngilu tapi segera hilang setelah sondasi
dilepaskan.
3. Pulpitis Akut Parsial
Pulpitis akut parsial merupakan peradangan jaringan pulpa sebatas
kamar pulpa (pulp chamber). Pada pasien dapat dijumpai keluhan sakit
spontan tanpa rangsang apapun, berdenyut, tapi sakit tidak segera hilang
walau rangsangan dihilangkan. Pada pemeriksaan ekstraoral tidak
didapatkan kelainan, pada pemeriksaan intraoral didapatkan karies
Gambar 2.1 (a) Gigi normal, (b) Gigi karies (c) Gigi nekrosis
2.2 Penyakit Pulpa 1,2,3
Salah satu fungsi utama jaringan pulpa adalah formatif yang diperankan oleh
odontoblas untuk membentuk dentin primer, sekunder maupun dentin reparatif.
Dentin primer terbentuk di saat gigi dalam pertumbuhan, dentin sekunder terbentuk
setelah gigi erupsi, sedangkan dentin tersier atau reparatif dibentuk sebagai repons
terhadap rangsangan.
Jaringan pulpa mudah merespon dengan adanya rangsangan, baik rangsangan
fisis, kimia maupun bakteri. Jaringan pulpa membentuk dentin reparatif sebagai
respon, selain itu juga menimbulkan rasa nyeri yang merupakan sinyal sebagai tanda
bahwa jaringan pulpa dalam keadaan terancam. Oleh karena adanya hubungan timbal
balik antara jaringan pulpa dan periapikal, maka jaringan pulpa yang mengalami
keradangan dan tidak dirawat atau perawatannya kurang baik maka penyakit pulpa
dapat menjalar ke daerah periapikal.
2.2.1.
Etiologi
1. Fisis
a.Injuri mekanis
Injuri ini biasanya disebabkan oleh trauma atau pemakaian patologi igi. Injuri
traumatic data disertai atau tidak disertai oleh fraktur mahkota atau akar. Trauma
tidak begitu sering menyebabkan injuri pulpa pada orang deasa disbanding pada
anak-anak. Injuri traumatic pulpa mungkin disebabkan pukulan keras pada gigi waktu
perkelahian, olahraga, kecelakaan mobil, kecelakaan rumah tangga. Kebiasaan seperti
membuka jepit rambut dengn gigi, bruxisme / kerot kompulsif, menggigit kuku dan
menggigit benang oleh penjahit wanita mungkin juga mengakibatkan injuri pulpa
yang dapat mengakibatkan matinya pulpa.
b. Injuri Termal
Sebab-sebab termal injuri pulpa adalah hal yang tidak biasa. Panas karena
preparasi kavitas, penyebab utama adalah panas yang ditimbulkan oleh bur atau
diamond pada waktu preparasi kavitas. Mesin bur berkecepatn tinggi dan bur karbit
dapat mengurangi waktu preparasi, tetapi dapat juga mempercepat matinya pulpa bila
digunakan tanpa pendingin. Panas yang dihasilkan cukup menyebabka kerusakan
pulpa yang tidak dapat diperbaiki lagi.
2.
Bahan Kimiawi
Bahan kimiawi sebagai penyebab injuri pulpa mungkin adalah yang paling
tidak biasa,walaupun pada suatu waktu adanya aresnik di dalam serbuk semen-silikat
dan penggunaan pasta untuk menghilangkan sensasi(desensitizing paste) yang
mengandung paraformaldehida dicatat sebagai penyebab matinyapulpa pada gigi
insisivus yang paling sering. Pulpa tahan terhadap semen polikarboksilat. Aplikasi
suatu pembersih kavitas pada lapisan dentin yang tipis dapat menyebabkan inflamasi
pulpa.
3.
Bacterial
Penyebab paling umum injuri pulpa daalah bkterial. Bakteri atau produkproduknya mungkin masuk ke dalam pulpa melalui keretakan pada dentin, baik dari
karies ataau terbukanya pulpa elah karena kecelakaaan, daari perlokasi disekeliling
suatu restorasi, dari perluasan infeksi dari gusi/melalui peredaraan darah. Sekali
bakteri mengadakan invasi dalam pulpa, kerusakan hampir selalu tidak dapat diobati.
Laporan dari studi kecil tentang pulpitis dengan rasa sakit menyatakan : pulpitis dan
terbukanya pulpa yang sebenarnya, apakah berhubungan dengan karies dalam,
restorsi dalam, atau penyebab lain berjalan berdampingan. Tidak ada korelasi antara
keparahan rasa sakit dan tingkat keterlibatan pulpa.
2.2.2 Nekrosis Pulpa
Nekrosis atau kematian pulpa memiliki penyebab yang bervariasi, pada
umumnya disebabkan keadaan radang pulpitis yang ireversibel tanpa penanganan
atau dapat terjadi secara tiba-tiba akibat luka trauma yang mengganggu suplai aliran
darah ke pulpa. Meskipun bagian sisa nekrosis dari pulpa dicairkan atau
dikoagulasikan, pulpa tetap mengalami kematian. Dalam beberapa jam pulpa yang
mengalami inflamasi dapat berdegenerasi menjadi kondisi nekrosis.
Penyebab nekrosi lainnya adalah bakteri, trauma, iritasi dari bahan restorasi
silikat, ataupun akrilik. Nekrosis pulpa juga dapat terjadi pada aplikasi bahan-bahan
devitalisasi seperti arsen dan paraformaldehid. Nekrosis pulpa dapat terjadi secara
cepat (dalam beberapa minggu) atau beberapa bulan sampai menahun. Kondisi atrisi
dan karies yang tidak ditangani juga dapat menyebabkan nekrosis pulpa. Nekrosis
pulpa lebih sering terjadi pada kondisi fase kronis dibanding fase akut.
2.2.3 Patofisiologi Nekrosis Pulpa
Jaringan pulpa yang kaya akan vaskuler, syaraf dan sel odontoblast; memiliki
kemampuan untuk melakukan defensive reaction yaitu kemampuan untuk
mengadakan pemulihan jika terjadi peradangan. Akan tetapi apabila terjadi inflamasi
kronis pada jaringan pulpa atau merupakan proses lanjut dari radang jaringan pulpa
maka akan menyebabkan kematian pulpa/nekrosis pulpa. Hal ini sebagai akibat
kegagalan jaringan pulpa dalam mengusahakan pemulihan atau penyembuhan.
Semakin luas kerusakan jaringan pulpa yang meradang semakin berat sisa jaringan
pulpa yang sehat untuk mempertahankan vitalitasnya.
Nekrosis pulpa pada dasarnya terjadi diawali karena adanya infeksi bakteria
pada jaringan pulpa. Ini bisa terjadi akibat adanya kontak antara jaringan pulpa
dengan lingkungan oral akibat terbentuknya dentinal tubules dan direct pulpal
exposure, hal ini memudahkan infeksi bacteria ke jaringan pulpa yang menyebabkan
radang pada jaringan pulpa. Apabila tidak dilakukan penanganan, maka inflamasi
pada pulpa akan bertambah parah dan dapat terjadi perubahan sirkulasi darah di
dalam pulpa yang pada akhirnya menyebabkan nekrosis pulpa. Dentinal tubules dapat
terbentuk sebagai hasil dari operative atau restorative procedure yang kurang baik
atau akibat restorative material yang bersifat iritatif. Bisa juga diakibatkan karena
fraktur pada enamel, fraktur dentin, proses erosi, atrisi dan abrasi. Dari dentinal
tubules inilah infeksi bakteria dapat mencapai jaringan pulpa dan menyebabkan
peradangan. Sedangkan direct pulpal exposure bisa disebabkan karena proses trauma,
operative procedure dan yang paling umum adalah karena adanya karies. Hal ini
mengakibatkan bakteria menginfeksi jaringan pulpa dan terjadi peradangan jaringan
pulpa.
Gambar 2.3 Cedera pada Jaringan Keras Gigi dan Jaringan Pulpa (Fonseca,
2005)
2.
1) Pecah dinding soket alveolar mandibula atau maksila : hancur dan tertekannya soket
alveolar, ditemukan pada cedera intrusif dan lateral luksasi.
2) Fraktur dinding soket alveolar mandibula atau maksila : fraktur yang terbatas pada
fasial atau lingual/palatal dinding soket.
3) Fraktur prosesus alveolar mandibula atau maksila : fraktur prosesus alveolar yang
dapat melibatkan soket gigi.
4) Fraktur mandibula atau maksila : dapat atau tidak melibatkan soket alveolar.
Penyebab umum trauma adalah terjatuh dengan perbandingan antara 26% dan 82%
dari semua kasus cedera, tergantung pada subpopulasi yang diteliti. Olahraga
merupakan penyebab kedua yang mengakibatkan cedera (Berman, et al., 2007).
Kasus trauma dentoalveolar pada anak dapat disebabkan kecelakaan lalu lintas,
serangan hewan, perkelahian dan kekerasan dalam rumah tangga. Gigi yang terkena
trauma biasanya hanya satu, kecuali pada kasus kecelakaan dan olahraga. (Cameron
and Widmer, 2008).
Maloklusi dapat menjadi faktor pendukung terjadinya trauma dentoalveolar.
Beberapa kondisi yang dapat menyebabkan terjadinya trauma adalah protrusi gigi
anterior pada maloklusi kelas I tipe 2 atau kelas II divisi 1. Insidensi pada anak
dengan kondisi tersebut dua kali dibandingkan anak dengan kondisi oklusi normal.
Anak dengan overjet berlebih juga dapat memiliki faktor resiko lebih tinggi terjadi
trauma dibandingkan dengan anak dengan overjet normal (Holan and McTigue,
2005). Tabel 2.1 menunjukkan probabilitas fraktur gigi incisif sentral maksila dengan
perbedaan overjet.
Tabel 2.1 Probabilitas Kejadian Fraktur Gigi Incisif Sentral Maksila dengan Perbedaan Jarak
Overjet (Finn, 2003).
Overjet
Laki-laki
Perempuan
Semua Anak
< 1 mm
1:25
1:55
1:34
1-5 mm
1:13
1:27
1:18
6-9 mm
1:7
1:11
1:8
10 + mm
1:4
1:10
1:6
Prevalensi trauma gigi anak berkisar dari 10-30% di beberapa negara di dunia.
(Shun-Te Huang, et al., 2005). Data epidemiologi mengenai fraktur gigi anak di
Indonesia belum ditemukan secara pasti, namun ada beberapa laporan makalah ilmiah
yang memperkirakan 2%-5% (Sutadi, 2003). Penelitian yang dilakukan Sasteria pada
1.348 anak usia 1-12 tahun di Klinik Ilmu Kedokteran Gigi Anak Fakultas
Kedokteran Gigi Universitas Indonesia selama periode 1 Januari 1995-31 Desember
1995 menunjukkan bahwa 98 anak (7,27%) mengalami fraktur pada gigi anterior atas
(Sasteria, 1997).
Kejadian terbanyak trauma dentoalveolar terjadi pada usia 2-4 tahun ketika
koordinasi motorik anak sedang berkembang. Trauma sering terjadi di rumah ketika
anak sudah mulai mencoba banyak hal baru dan bergerak aktif, sedangkan pada usia
7-10 tahun anak biasanya mengalami trauma di sekolah ketika mereka sedang
bermain, berlari, bersepeda, dan atau berolahraga. Gigi yang mengalami trauma pada
usia ini biasanya gigi permanen. (Welbury, 2005).
Insidensi trauma dentoalveolar pada anak menurut usia adalah sebagai berikut:
pada usia 5 tahun, 31-40% anak laki-laki dan 16-30% anak perempuan mengalami
trauma. Pada usia 12 tahun 12-33% anak laki-laki dan 4-19 % anak perempuan
mengalami trauma gigi. Insidensi injuri pada laki-laki dua kali lebih banyak baik pada
usia anak maupun dewasa (Welbury, 2005). Literatur lain menyebutkan rasio
insidensi injuri pada anak hampir sama antara laki-laki dan perempuan (Berman,
et.al., 2007). Kasus trauma yang terjadi pada anak sebagian besar terjadi di daerah
anterior terutama incisif sentral (Welbury, 2005), sedangkan pada bagian posterior
biasanya terjadi karena trauma tidak langsung, seperti trauma pada bagian dagu yang
mengakibatkan tekanan berlebih pada bagian maksila (Finn, 2003).
Kejadian yang paling sering terjadi pada anak-anak adalah concussion,
BAB III
LAPORAN KASUS
3.1
3.2
IdentitasPasien
Nama
Jenis Kelamin
: Laki-Laki
Umur
: 24 tahun
Pekerjaan
: Wiraswasta
Alamat
Agama
: Islam
Suku
: jawa
Tgl. Pemeriksaan
: 8 September 2015
No CM
: B260762
Anamnesis
Autoanamnesis pada 8 September 2015 pukul 09.30 di Bangsal Merak
Keluhan Utama
Nyeri Kepala
PemeriksaanFisik
Dilakukan pada 8 September 2015 pukul 08.45 di Bangsal Merak RSDK
a. Status Generalis
o Keadaanumum
Kesadaran
: compos mentis
Keadaangizi
: cukup
o Tanda-tanda vital
TD
: 110/80 mmHg
Nadi
: 78x/ menit
RR
: 20x/ menit
Suhu
: 36oC
: 170 cm
Berat Badan
:65 kg
Nutrisi
: BMI cukup
Hidrasi
: Baik
Edema
: -
Pucat
: -
: -
PemeriksaanEkstraoral
o Wajah
Inspeksi
: asimetri (-)
Palpasi
: nyeritekan (-)
Mata
Hidung
Telinga
: discharge (-)
Sensoris
: normoestesia
o Leher
Inspeksi
Palpasi
: nyeri (-)
Pemeriksaan Intraoral
Pemeriksaan Intraoral
Mukosapipi
Mukosapalatum
Ginggivaatas
Ginggivabawah
Karanggigi
: (-)
: (-)
Oklusi
: Normal bite
Palatum
: Sedang
Supernumerary teeth
: Tidakada
Diastema
: Tidakada
Gigi anomali
: Tidakada
////Odontogram/
b. Status Lokalis
PemeriksaanEkstraoral
Inspeksi
Palpasi
Pemeriksaan Intraoral
Fraktur gigi 1.1 dan 2.1
Gangren pulpa gigi 1.1 dan 2.1
c. Status Dental
Gigi 1.1
Inspeksi
Sondasi
Perkusi
: (-)
Vitalitas
: (+)
Mobilitas
: cekat
Gigi 2.1
Inspeksi
Sondasi
Perkusi
: (-)
Vitalitas
: (+)
Mobilitas
: cekat
3.4
Diagnosis Kerja
Gangren pulpa gigi 1.1 dan 2.1 et causa trauma
3.5
Initial Plan
Dx
: S : O : -
Rx
Mx
Tumpatansementara
Ex
BAB IV
PEMBAHASAN
Ganggren pulpa adalah keadaan gigi dimana jaringan pulpa sudah mati
sebagai sistem pertahanan pulpa yang sudah tidak dapat menahan rangsangan
sehingga jumlah sel pupa yang rusak menjadi semakin banyak dan menempati
sebagian besar ruaang pulpa. Kematian jaringan pulpa juga disebabkan oleh trauma
yang menyebabkan patahnya atau fraktur pada gigi.
Seorang laki-laki 24 tahun datang ke RSDK dengan keluhan nyeri kepala. 3
tahun yang lalu pasien mengalami kecelakaan saat mengendarai motor. Pasien
terjatuh dari motor dengan posisi wajah dan bagian depan tubuh terjatuh di jalan raya.
Keluhan pingsan setelah jatuh (-), perdarahan aktif (-). Gigi depan atas pasien
dirasakan patah. 7 hari yang lalu pasien mengeluh nyeri di gigi depan atas hingga
pasien mengeluh nyeri kepala hebat. Nyeri dirasakan hilang timbul terutama saat
makan makanan dingin dan panas. Gigi goyang (-),
nyeri kepala (+) cekot-cekot, pasien dapat mengatupkan gigi maupun membuka
mulutnya secara maksimal. Pasien tidak meminum obat pereda nyeri. Pasien
merupakan konsulan dari bagian Neurologi yang sedang dirawat di Bangsal Merak.
Selama rawat inap, pasien diberikan infus dan obat-obatan lewat infus. Selain itu,
pasien melakukan foto gigi panoramik. Riwayat penyakit dahulu penderita dan
keluarga tidak pernah menderita sakit gigi sebelumnya, riwayat penyakit jantung,
ini sesuai dengan teori bahwa tindakan konservatif lebih dipilih daripada
pencabutan unttuk merawat dan mempertahankan gigi yang masih vital.
BAB V
KESIMPULAN
Telah diperiksa laki-laki pria 24 tahun dengan diagnosis utama gangren pulpa
gigi 1.1 dan 2.1 et causa trauma. Terapi yang diberikan berupa perawatan saraf gigi
dan sterilisasi saluran akar, tumpatan sementara, pengisian saluran akar tunggal dan
sterilisasi saluran akar.
DAFTAR PUSTAKA
1.
2.
Bailey BJ. Odontogenic infection. Head and Neck Surgery- Otolaryngology. 2nd
ed. Philadelphia:Lippincott-Raven; 1998.p.674-5
3.