Anda di halaman 1dari 29

BAB I

PENDAHULUAN
Gangren pulpa merupakan adalah keadaan gigi dimana jaringan pulpa sudah
mati sebagai sistem pertahanan pulpa sudah tidak dapat menahan rangsangan
sehingga jumlah sel pulpa yang rusak menjadi semakin banyak dan menempati
sebagian besar ruang pulpa.
Sel sel pulpa yang rusak tersebut akan mati dan menjadi antigen sel-sel
sebagian besar pulpa yang masih hidup. Kematian jaringan pulpa juga disebabkan
oleh trauma yang menyebabkan patahnya atau fraktur pada gigi
Fraktur adalah hilangnya atau putusnya kontinuitas jaringan keras tubuh,
fraktur dentoalveolar didefinisikan sebagai fraktur yang meliputi avulsi, subluksasi
atau fraktur gigi yang berkaitan dengan fraktur tulang alveolar, fraktur dentoalveolar
dapat terjadi tanpa disertai dengan fraktur bagian tubuh lainnya, biasanya terjadi
akibat kecelakaan ringan, seperti jatuh, benturan, berolahraga, atau iatrogenic.
Patofisiologi dari gangren pulpa adalah terbentuknya eksudat inflamasi
menyebabkan peningkatan tekanan intra pulpa sehingga sistem limfe dan venule
terputus, mengakibatkan kematian jaringan pulpa. Jika eksudat tersebut masih dapat
diabsorbsi atau terdrainase melalui karies, nekrosis terjadi bertahap. Pada gigi yang
mengalami benturan keras, nekrosis pulpa juga dapat terjadi akibat putusnya aliran
darah dalam pulpa.
Gangren pulpa merupakan gigi non vital dimana gigi tersebut tidak
memberikan reaksi pada cavity test dan pada lubang perforasi tercium bau busuk.
Gigi tersebut memberikan rasa sakit apabila penderita minum/makan makanan panas
yang menyebabkan pemuaian gas dalam rongga pulpa tersebut yang menekan ujung
saraf akar gigi sebelahnya yang masih vital.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1

Penyakit Karies1,2
2.1.1Perjalanan Penyakit Karies
1. Iritasi Pulpa
Iritasi pulpa merupakan lesi pada lapisan email atau sementum yang
belum menimbulkan perubahan patologis pada pulpa. Biasanya pasien
mengeluh ngilu waktu makan atau minum asam atau manis, bisa juga
ngilu spontan. Pada pemeriksaan didapatkan tidak ada kelainan ekstra
oral, didapatkan karies di permukaan, sondasi kedalaman superfisial dan
ngilu.
2. Hiperemi Pulpa
Hiperemi pulpa merupakan kelanjutan dari iritasi pulpa di mana sumber
iritan berupa toksin atau metabolit yang menyebabkan lisis struktur
dentin dan akan berlanjut penetrasi ke dalam pulpa. Pada hiperemi pulpa
sudah terjadi kondisi patologis pada tingkat awal, berupa vasodilatasi
pada pulpa. Dapat dijumpai keluhan sakit atau sangat ngilu jika kena
rangsang dari makanan, segera hilang jika rangsang dihilangkan. Tidak
ada riwayat sakit spontan. Pada pemeriksaan ekstra oral tidak
didapatkan kelainan. Pemeriksaan intraoral didapatkan karies, sondasi
kedalaman media, sangat ngilu tapi segera hilang setelah sondasi
dilepaskan.
3. Pulpitis Akut Parsial
Pulpitis akut parsial merupakan peradangan jaringan pulpa sebatas
kamar pulpa (pulp chamber). Pada pasien dapat dijumpai keluhan sakit
spontan tanpa rangsang apapun, berdenyut, tapi sakit tidak segera hilang
walau rangsangan dihilangkan. Pada pemeriksaan ekstraoral tidak
didapatkan kelainan, pada pemeriksaan intraoral didapatkan karies

dengan kedalaman medioprofunda atau profunda, dan sangat ngilu,


ngilu timbul dengan perkusi.
4. Pulpitis Akut Total
Pulpitis akut total adalah peradangan jaringan pulpa hingga saluran akar
bahkan sebagian jaringan periodontal apikal. Pada pasien dijumpai
keluhan sakit hebat, spontan, menjalar hingga ke regio temporal,
servikal, dan belakang telinga. Pemeriksaan ekstraoral tidak didapatkan
adanya kelainan, dengan pemeriksaan intraoral didapatkan karies
kedalaman profundal yang sangat nyeri. Nyeri juga didapatkan pada
perkusi dan tekanan.
5. Pulpitis Kronis
Pulpitis kronis merupakan peradangan kronis pada pulpa, yang sewaktuwaktu dapat berubah jadi akut. Biasanya didapatkan riwayat sakit gigi
pada pasien, namun pada anamnesis tidak didapatkan keluhan sakit.
Pada pemeriksaan ekstraoral tidak terdapat kelainan, pada pemeriksaan
intraoral didapatkan karies yang disertai akumulasi kalkulus di regio
yang sama. Pada sondasi didapatkan kedalaman profunda, sangat sakit.
Pada keadaan daya tahan tubuh atau vaskularisasi pulpa yang baik,
biasanya pada pasien usia dewasa muda, kadang dapat disertai dengan
hiperplasi jaringan pulpa sebagai respon dari jejas kronis. Akibatnya
terbentuk polip pada kavitas karies. Pada keadaan ini disebut sebagai
pulpitis kronis granulomatosa.
6. Kematian Pulpa
Pulpitis yang tidak mendapat perawatan akan mengalami kematian.
Karena kematiannya disertai dengan invasi mikroorganisme, maka
disebut sebagai gangren pulpa. Kematian pulpa dapat pula tidak
didahului oleh karies dan invasi mikroorganisme, keadaan ini disebut
nekrosis pulpa. Invasi dari gangren pulpa menyebar ke periodontal dan
menyebabkan periodontitis. Rasa sakit biasanya muncul dari

periodontitis, bukan dari gangren pulpa. Nekrosis pulpa juga dapat


menyebabkan periodontitis, akibat dari jaringan nekrotik pulpa yang
lisis bersifat toksik. Pada pasien dapat dijumpai keluhan sakit pada
kondisi akut. Pada kondisi kronis tidak didapatkan adnaya keluhan. Pada
pemeriksaan ekstraoral tidak didapatkan adanya kelainan. Pada
pemeriksaan intraoral didapatkan karies profunda, perforasi pulpa,
kadang terdapat perubahan warna. Jika telah berlangsung lama, bisa
hanya berupa sisa akar. Pada sondasi didapatkan kedalaman karies
pofunda, tidak nyeri. Pada perkusi dan tekanan bisa nyeri bisa tidak,
tergantung keakutannya. Pada palpasi dijumpai luksasi.
2.1.2 Terapi Penyakit Karies
Pada prinsipnya perawatan penyakit karies pada gigi adalah konservatif,
mempertahankan gigi semaksimal mungkin. Pada gigi gangren, untuk
gigi depan dilakukan konservasi gigi. Tapi untuk gigi belakang
keberhasilan perawatan kecil, sehingga biasanya dilakukan ekstraksi.

Gambar 2.1 (a) Gigi normal, (b) Gigi karies (c) Gigi nekrosis
2.2 Penyakit Pulpa 1,2,3
Salah satu fungsi utama jaringan pulpa adalah formatif yang diperankan oleh
odontoblas untuk membentuk dentin primer, sekunder maupun dentin reparatif.

Dentin primer terbentuk di saat gigi dalam pertumbuhan, dentin sekunder terbentuk
setelah gigi erupsi, sedangkan dentin tersier atau reparatif dibentuk sebagai repons
terhadap rangsangan.
Jaringan pulpa mudah merespon dengan adanya rangsangan, baik rangsangan
fisis, kimia maupun bakteri. Jaringan pulpa membentuk dentin reparatif sebagai
respon, selain itu juga menimbulkan rasa nyeri yang merupakan sinyal sebagai tanda
bahwa jaringan pulpa dalam keadaan terancam. Oleh karena adanya hubungan timbal
balik antara jaringan pulpa dan periapikal, maka jaringan pulpa yang mengalami
keradangan dan tidak dirawat atau perawatannya kurang baik maka penyakit pulpa
dapat menjalar ke daerah periapikal.
2.2.1.

Etiologi

1. Fisis
a.Injuri mekanis
Injuri ini biasanya disebabkan oleh trauma atau pemakaian patologi igi. Injuri
traumatic data disertai atau tidak disertai oleh fraktur mahkota atau akar. Trauma
tidak begitu sering menyebabkan injuri pulpa pada orang deasa disbanding pada
anak-anak. Injuri traumatic pulpa mungkin disebabkan pukulan keras pada gigi waktu
perkelahian, olahraga, kecelakaan mobil, kecelakaan rumah tangga. Kebiasaan seperti
membuka jepit rambut dengn gigi, bruxisme / kerot kompulsif, menggigit kuku dan
menggigit benang oleh penjahit wanita mungkin juga mengakibatkan injuri pulpa
yang dapat mengakibatkan matinya pulpa.
b. Injuri Termal
Sebab-sebab termal injuri pulpa adalah hal yang tidak biasa. Panas karena
preparasi kavitas, penyebab utama adalah panas yang ditimbulkan oleh bur atau
diamond pada waktu preparasi kavitas. Mesin bur berkecepatn tinggi dan bur karbit
dapat mengurangi waktu preparasi, tetapi dapat juga mempercepat matinya pulpa bila
digunakan tanpa pendingin. Panas yang dihasilkan cukup menyebabka kerusakan
pulpa yang tidak dapat diperbaiki lagi.

2.

Bahan Kimiawi
Bahan kimiawi sebagai penyebab injuri pulpa mungkin adalah yang paling
tidak biasa,walaupun pada suatu waktu adanya aresnik di dalam serbuk semen-silikat
dan penggunaan pasta untuk menghilangkan sensasi(desensitizing paste) yang
mengandung paraformaldehida dicatat sebagai penyebab matinyapulpa pada gigi
insisivus yang paling sering. Pulpa tahan terhadap semen polikarboksilat. Aplikasi
suatu pembersih kavitas pada lapisan dentin yang tipis dapat menyebabkan inflamasi
pulpa.

3.

Bacterial
Penyebab paling umum injuri pulpa daalah bkterial. Bakteri atau produkproduknya mungkin masuk ke dalam pulpa melalui keretakan pada dentin, baik dari
karies ataau terbukanya pulpa elah karena kecelakaaan, daari perlokasi disekeliling
suatu restorasi, dari perluasan infeksi dari gusi/melalui peredaraan darah. Sekali
bakteri mengadakan invasi dalam pulpa, kerusakan hampir selalu tidak dapat diobati.
Laporan dari studi kecil tentang pulpitis dengan rasa sakit menyatakan : pulpitis dan
terbukanya pulpa yang sebenarnya, apakah berhubungan dengan karies dalam,
restorsi dalam, atau penyebab lain berjalan berdampingan. Tidak ada korelasi antara
keparahan rasa sakit dan tingkat keterlibatan pulpa.
2.2.2 Nekrosis Pulpa
Nekrosis atau kematian pulpa memiliki penyebab yang bervariasi, pada
umumnya disebabkan keadaan radang pulpitis yang ireversibel tanpa penanganan
atau dapat terjadi secara tiba-tiba akibat luka trauma yang mengganggu suplai aliran
darah ke pulpa. Meskipun bagian sisa nekrosis dari pulpa dicairkan atau
dikoagulasikan, pulpa tetap mengalami kematian. Dalam beberapa jam pulpa yang
mengalami inflamasi dapat berdegenerasi menjadi kondisi nekrosis.
Penyebab nekrosi lainnya adalah bakteri, trauma, iritasi dari bahan restorasi
silikat, ataupun akrilik. Nekrosis pulpa juga dapat terjadi pada aplikasi bahan-bahan
devitalisasi seperti arsen dan paraformaldehid. Nekrosis pulpa dapat terjadi secara

cepat (dalam beberapa minggu) atau beberapa bulan sampai menahun. Kondisi atrisi
dan karies yang tidak ditangani juga dapat menyebabkan nekrosis pulpa. Nekrosis
pulpa lebih sering terjadi pada kondisi fase kronis dibanding fase akut.
2.2.3 Patofisiologi Nekrosis Pulpa
Jaringan pulpa yang kaya akan vaskuler, syaraf dan sel odontoblast; memiliki
kemampuan untuk melakukan defensive reaction yaitu kemampuan untuk
mengadakan pemulihan jika terjadi peradangan. Akan tetapi apabila terjadi inflamasi
kronis pada jaringan pulpa atau merupakan proses lanjut dari radang jaringan pulpa
maka akan menyebabkan kematian pulpa/nekrosis pulpa. Hal ini sebagai akibat
kegagalan jaringan pulpa dalam mengusahakan pemulihan atau penyembuhan.
Semakin luas kerusakan jaringan pulpa yang meradang semakin berat sisa jaringan
pulpa yang sehat untuk mempertahankan vitalitasnya.
Nekrosis pulpa pada dasarnya terjadi diawali karena adanya infeksi bakteria
pada jaringan pulpa. Ini bisa terjadi akibat adanya kontak antara jaringan pulpa
dengan lingkungan oral akibat terbentuknya dentinal tubules dan direct pulpal
exposure, hal ini memudahkan infeksi bacteria ke jaringan pulpa yang menyebabkan
radang pada jaringan pulpa. Apabila tidak dilakukan penanganan, maka inflamasi
pada pulpa akan bertambah parah dan dapat terjadi perubahan sirkulasi darah di
dalam pulpa yang pada akhirnya menyebabkan nekrosis pulpa. Dentinal tubules dapat
terbentuk sebagai hasil dari operative atau restorative procedure yang kurang baik
atau akibat restorative material yang bersifat iritatif. Bisa juga diakibatkan karena
fraktur pada enamel, fraktur dentin, proses erosi, atrisi dan abrasi. Dari dentinal
tubules inilah infeksi bakteria dapat mencapai jaringan pulpa dan menyebabkan
peradangan. Sedangkan direct pulpal exposure bisa disebabkan karena proses trauma,
operative procedure dan yang paling umum adalah karena adanya karies. Hal ini
mengakibatkan bakteria menginfeksi jaringan pulpa dan terjadi peradangan jaringan
pulpa.

Nekrosis pulpa yang disebabkan adanya trauma pada gigi dapat


menyebabkan nekrosis pulpa dalam waktu yang segera yaitu beberapa minggu. Pada
dasarnya prosesnya sama yaitu terjadi perubahan sirkulasi darah di dalam pulpa yang
pada akhirnya menyebabkan nekrosis pulpa. Trauma pada gigi dapat menyebabkan
obstruksi pembuluh darah utama pada apek dan selanjutnya mengakibatkan terjadinya
dilatasi pembuluh darah kapiler pada pulpa. Dilatasi kapiler pulpa ini diikuti dengan
degenerasi kapiler dan terjadi edema pulpa. Karena kekurangan sirkulasi kolateral
pada pulpa, maka dapat terjadi ischemia infark sebagian atau total pada pulpa dan
menyebabkan respon pulpa terhadap inflamasi rendah. Hal ini memungkinkan bakteri
untuk penetrasi sampai ke pembuluh dara kecil pada apeks. Semua proses tersebut
dapat mengakibatkan terjadinya nekrosis pulpa.
2.2.4 Manifestasi Klinis Dan Diagnosis Nekrosis Pulpa
Nekrosis pulpa dapat terjadi parsial atau total. Tipe parsial dapat
memperlihatkan gejala pulpitis yang ireversibel. Nekrosis total, sebelum mengenai
ligamentum periodontal biasanya tidak menunjukkan gejala. Tidak merespon
terhadap tes suhu atau elektrik. Kadang-kadang bagian depan mahkota gigi akan
menghitam. Tampilan radiografik pada destruksi tulang ataupun pada bagian yang
mengalkami fraktur merupakan indikator terbaik dari nekrosis pulpa dan mungkin
membutuhkan beberapa bulan untuk perkembangan. Kurangnya respon terhadap test
suhu dan elektrik tanpa bukti radiografik adanya destruksi tulang terhadap bagian
fraktur tidak menjamin harusnya terapi odontotik.
Nekrosis pulpa pada akar gigi menunjukkan terjadi dari 20%-40%. kejadian
dari nekrosis pulpa terlihat tidak berhubungan dengan lokasi terjadinya fraktur akar
gigi pada apikal, tengah ataupun bidang insisial tetapi lebih berhubungan dengan
kavitas oral taupun beberapa dislokasi segmen insisial. Jika ada bukti pada
portiokoronal pulpa, ini secara umum dipercaya bahwa segmen apikal akan tetap
berfungsi. Perawatan edontotik adapun biasanya dilakukan pada segmen koronal pada
kanal akar gigi.

Lingkungan pulpa memiliki keunikan dibandingkan dengan jaringan lunak


tubuh lainnya. Karena pulpa memiliki lingkungan non compliant yang
menyebabkan produk inflamasi lebih lambat dihilangkan dibandingkan jaringan
lunak tubuh yang lain. Keadaan ini menyebabkan terjadinya destruksi lokal dalam
jaringan pulpa. Anamnesis pada nekrosis pulpa berupa tidak ada gejala rasa sakit,
keluhan sakit terjadi bila terdapat keradangan periapikal. Pemeriksaan perkusi tidak
didapatkan nyeri dan pada palpasi juga tidak terdapat pembengkakan serta mobilitas
gigi normal. Foto rontgen gigi biasanya normal kecuali bila terdapat kelainan
periapikal terjadi perubahan berupa radiolusen.

Gambar 2.2 Gangren Pulpa


2.3 Definisi Fraktur Dentoalveolar
Definisi fraktur secara umum adalah pemecahan atau kerusakan suatu bagian
terutama tulang (Kamus Kedokteran Dorland edisi 29, 2002). Literatur lain
menyebutkan bahwa fraktur atau patah tulang adalah terputusnya kontinuitas jaringan
tulang atau tulang rawan yang umumnya disebabkan oleh trauma (Mansjoer, 2000).
Berdasarkan definisi-definisi tersebut maka fraktur dentoalveolar adalah kerusakan
atau putusnya kontinuitas jaringan keras pada stuktur gigi dan alveolusnya
disebabkan trauma.

2.4 Klasifikasi Fraktur Dentoalveolar


Jenis fraktur dentoalveolar pada anak diklasifikasikan menjadi beberapa kejadian.
Klasifikasi ini membantu dokter gigi untuk memilih cara penanganan yang tepat
untuk setiap kejadiannya sehingga pasien mendapatkan prognosis yang baik selama
perawatan. Klasifikasi fraktur dentoalveolar juga dapat memberikan informasi yang
komprehensif dan universal untuk mengkomunikasikan mengenai tujuan perawatan
tersebut. Terdapat banyak klasifikasi yang mendeskripsikan mengenai fraktur
dentoalveolar. Klasifikasi yang banyak dijadikan pedoman dalam penanganan fraktur
dentoalveolar adalah klasifikasi menurut World Health Organization (WHO).
Klasifikasi yang direkomendasikan dari World Health Organization (WHO)
diterapkan pada gigi sulung dan gigi tetap, yang meliputi jaringan keras gigi, jaringan
pendukung gigi dan jaringan lunak rongga mulut. Pada pembahasan ini klasifikasi
WHO yang diterangkan hanya pada trauma yang mengakibatkan fraktur
dentoalveolar, yaitu cedera pada jaringan keras gigi dan pulpa, jaringan periodontal,
dan tulang pendukung (Welbury, 2005) :
1.

Cedera pada jaringan keras gigi dan pulpa (gambar 2.1)

Enamel infraction: jenis fraktur tidak sempurna dan hanya berupa


retakan tanpa hilangnya substansi gigi.

Fraktur email: hilangnya substansi gigi berupa email saja.

Fraktur email-dentin: hilangnya substansi gigi terbatas pada email dan


dentin tanpa melibatkan pulpa gigi.

Fraktur mahkota kompleks (complicated crown fracture): fraktur email


dan dentin dengan pulpa yang terpapar.

Fraktur mahkota-akar tidak kompleks (uncomplicated crown-root


fracture): fraktur email, dentin, sementum, tetapi tidak melibatkan pulpa.

Fraktur mahkota-akar kompleks (complicated crown-root fracture):

fraktur email, dentin, dan sementum dengan pulpa yang terpapar.

Fraktur akar: fraktur yang melibatkan dentin, sementum, dan pulpa,


dapat disubklasifikasikan lagi menjadi apikal, tengah, dan sepertiga koronal
(gingiva).

Gambar 2.3 Cedera pada Jaringan Keras Gigi dan Jaringan Pulpa (Fonseca,
2005)
2.

Cedera pada jaringan periodontal (gambar 2.2)

Concussion: tidak ada perpindahan gigi, tetapi ada reaksi ketika


diperkusi.

Subluksasi: kegoyangan abnormal tetapi tidak ada perpindahan gigi.

Luksasi ekstrusif (partial avulsion): perpindahan gigi sebagian dari


soket.

Luksasi lateral: perpindahan ke arah aksial disertai fraktur soket


alveolar.

Luksasi intrusif: perpindahan ke arah tulang alveolar disertai fraktur


soket alveolar.

Avulsi: gigi lepas dari soketnya.

Gambar 2.4 Cedera pada Jaringan Periodontal (Fonseca, 2005).


3.

Cedera pada tulang pendukung (gambar 2.3)

1) Pecah dinding soket alveolar mandibula atau maksila : hancur dan tertekannya soket
alveolar, ditemukan pada cedera intrusif dan lateral luksasi.

2) Fraktur dinding soket alveolar mandibula atau maksila : fraktur yang terbatas pada
fasial atau lingual/palatal dinding soket.
3) Fraktur prosesus alveolar mandibula atau maksila : fraktur prosesus alveolar yang
dapat melibatkan soket gigi.
4) Fraktur mandibula atau maksila : dapat atau tidak melibatkan soket alveolar.

Gambar 2.5 Cedera pada Tulang Pendukung (Fonseca, 2005)


2.5 Etiologi dan Epidemiologi
Penyebab trauma dibagi menjadi dua, langsung dan tidak langsung. Trauma
langsung jika benturannya itu langsung mengenai gigi, biasanya pada regio anterior.
Trauma tidak langsung terjadi ketika ada benturan rahang bawah ke rahang atas, gigi
patah pada bagian mahkota atau mahkota-akar di gigi premolar dan molar, dan juga
pada kondilus dan simfisis rahang. Faktor yang memengaruhi hasil trauma adalah
kombinasi dari energi impaksi, resiliensi objek yang terkena impaksi, bentuk objek
yang terkena impaksi, dan sudut arah gaya impaksi. (Welburry, 2005).

Penyebab umum trauma adalah terjatuh dengan perbandingan antara 26% dan 82%
dari semua kasus cedera, tergantung pada subpopulasi yang diteliti. Olahraga
merupakan penyebab kedua yang mengakibatkan cedera (Berman, et al., 2007).
Kasus trauma dentoalveolar pada anak dapat disebabkan kecelakaan lalu lintas,
serangan hewan, perkelahian dan kekerasan dalam rumah tangga. Gigi yang terkena
trauma biasanya hanya satu, kecuali pada kasus kecelakaan dan olahraga. (Cameron
and Widmer, 2008).
Maloklusi dapat menjadi faktor pendukung terjadinya trauma dentoalveolar.
Beberapa kondisi yang dapat menyebabkan terjadinya trauma adalah protrusi gigi
anterior pada maloklusi kelas I tipe 2 atau kelas II divisi 1. Insidensi pada anak
dengan kondisi tersebut dua kali dibandingkan anak dengan kondisi oklusi normal.
Anak dengan overjet berlebih juga dapat memiliki faktor resiko lebih tinggi terjadi
trauma dibandingkan dengan anak dengan overjet normal (Holan and McTigue,
2005). Tabel 2.1 menunjukkan probabilitas fraktur gigi incisif sentral maksila dengan
perbedaan overjet.
Tabel 2.1 Probabilitas Kejadian Fraktur Gigi Incisif Sentral Maksila dengan Perbedaan Jarak
Overjet (Finn, 2003).
Overjet

Laki-laki

Perempuan

Semua Anak

< 1 mm

1:25

1:55

1:34

1-5 mm

1:13

1:27

1:18

6-9 mm

1:7

1:11

1:8

10 + mm

1:4

1:10

1:6

Prevalensi trauma gigi anak berkisar dari 10-30% di beberapa negara di dunia.
(Shun-Te Huang, et al., 2005). Data epidemiologi mengenai fraktur gigi anak di
Indonesia belum ditemukan secara pasti, namun ada beberapa laporan makalah ilmiah

yang memperkirakan 2%-5% (Sutadi, 2003). Penelitian yang dilakukan Sasteria pada
1.348 anak usia 1-12 tahun di Klinik Ilmu Kedokteran Gigi Anak Fakultas
Kedokteran Gigi Universitas Indonesia selama periode 1 Januari 1995-31 Desember
1995 menunjukkan bahwa 98 anak (7,27%) mengalami fraktur pada gigi anterior atas
(Sasteria, 1997).
Kejadian terbanyak trauma dentoalveolar terjadi pada usia 2-4 tahun ketika
koordinasi motorik anak sedang berkembang. Trauma sering terjadi di rumah ketika
anak sudah mulai mencoba banyak hal baru dan bergerak aktif, sedangkan pada usia
7-10 tahun anak biasanya mengalami trauma di sekolah ketika mereka sedang
bermain, berlari, bersepeda, dan atau berolahraga. Gigi yang mengalami trauma pada
usia ini biasanya gigi permanen. (Welbury, 2005).
Insidensi trauma dentoalveolar pada anak menurut usia adalah sebagai berikut:
pada usia 5 tahun, 31-40% anak laki-laki dan 16-30% anak perempuan mengalami
trauma. Pada usia 12 tahun 12-33% anak laki-laki dan 4-19 % anak perempuan
mengalami trauma gigi. Insidensi injuri pada laki-laki dua kali lebih banyak baik pada
usia anak maupun dewasa (Welbury, 2005). Literatur lain menyebutkan rasio
insidensi injuri pada anak hampir sama antara laki-laki dan perempuan (Berman,
et.al., 2007). Kasus trauma yang terjadi pada anak sebagian besar terjadi di daerah
anterior terutama incisif sentral (Welbury, 2005), sedangkan pada bagian posterior
biasanya terjadi karena trauma tidak langsung, seperti trauma pada bagian dagu yang
mengakibatkan tekanan berlebih pada bagian maksila (Finn, 2003).
Kejadian yang paling sering terjadi pada anak-anak adalah concussion,

Gambar 2.6 Persentasi Kejadian Fraktur (Koch and Poulsen, 2001)


subluksasi, dan luksasi, sedangkan pada gigi permanen adalah fraktur mahkota
tidak kompleks (uncomplicated crown fracture) (Welburry, 2005). Gambar 2.4
menunjukkan persentasi kejadian fraktur menurut klasifikasi cedera pada jaringan
pendukung gigi.
Fraktur dentoalveolar pada anak dapat menyebabkan kerusakan gigi permanen
yang berada di atas atau bawahnya. Hal ini dapat langsung terjadi dari luka atau
infeksi residual yang disebabkan oleh trauma pada gigi anak. Andreasen dan Ravn
menemukan bahwa usia anak pada waktu terjadinya trauma merupakan faktor yang
paling memengaruhi perkembangan kerusakan gigi permanen. Mereka menemukan
bahwa 60% anak di bawah usia 4 tahun dengan trauma pada gigi incisif menunjukkan
anomali klinis pada radiografi gigi permanen pengganti (Dummet, 2006)

BAB III
LAPORAN KASUS

3.1

3.2

IdentitasPasien
Nama

: Tn. Wahyu Pamungkas

Jenis Kelamin

: Laki-Laki

Umur

: 24 tahun

Pekerjaan

: Wiraswasta

Alamat

: Sanggungraya, Jatingaleh Semarang

Agama

: Islam

Suku

: jawa

Tgl. Pemeriksaan

: 8 September 2015

No CM

: B260762

Anamnesis
Autoanamnesis pada 8 September 2015 pukul 09.30 di Bangsal Merak

Keluhan Utama

Nyeri Kepala

Riwayat Penyakit Sekarang


3 tahun yang lalu pasien mengalami kecelakaan saat mengendarai motor.
Pasien terjatuh dari motor dengan posisi wajah dan bagian depan tubuh terjatuh di
jalan raya. Keluhan pingsan setelah jatuh (-), perdarahan aktif (-). Gigi depan atas
pasien dirasakan patah.
7 hari yang lalu pasien mengeluh nyeri di gigi depan atas hingga pasien
mengeluh nyeri kepala hebat. Nyeri dirasakan hilang timbul terutama saat makan
makanan dingin dan panas. Gigi goyang (-), gusi berdarah (-), Demam (-), nyeri
kepala (+) cekot-cekot. Pasien tidak meminum obat pereda nyeri. Pasien merupakan
konsulan dari bagian Neurologi yang sedang dirawat di Bangsal Merak.
Riwayat Penyakit Dahulu

Riwayat trauma daerah wajah dan mulut (+)

Riwayat sakit gigi sebelumnya disangkal

Riwayat menggunakan gigi palsu (-), gigi logam (-)

Riwayat penyakit jantung disangkal

Riwayat diabetes melitus disangkal

Riwayat hemophilia disangkal

Riwayat hepatitis disangkal

Riwayat hipertensi disangkal

Riwayat operasi sebelumnya disangkal

Riwayat merokok (-)

Riwayat mengkonsumsi alcohol (-)

Riwayat alergi (-)

Riwayat Penyakit Keluarga

Riwayat hipertensi disangkal

Riwayat diabetes melitus disangkal

Tidak ada anggota keluarga yang menderita keluhan seperti ini

Riwayat Sosial Ekonomi


Pasien merupakan wiraswata dan belum menikah. Biaya pengobatan menggunakan
JKN non PBI.
Kesan: sosial ekonomi cukup
3.3

PemeriksaanFisik
Dilakukan pada 8 September 2015 pukul 08.45 di Bangsal Merak RSDK

a. Status Generalis
o Keadaanumum

Kesadaran

: compos mentis

Keadaangizi

: cukup

o Tanda-tanda vital

TD

: 110/80 mmHg

Nadi

: 78x/ menit

RR

: 20x/ menit

Suhu

: 36oC

Gambaran Umum lainnya :


Tinggi Badan

: 170 cm

Berat Badan

:65 kg

Nutrisi

: BMI cukup

Hidrasi

: Baik

Edema

: -

Pucat

: -

Clubbing finger : Jaundice

: -

PemeriksaanEkstraoral

o Wajah
Inspeksi

: asimetri (-)

Palpasi

: nyeritekan (-)

Mata

: visus 6/6, diplopia (-), injeksi konungtiva (-)

Hidung

: deviasi (-), discharge (-)

Telinga

: discharge (-)

Sensoris

: normoestesia

o Leher
Inspeksi

: pembesaran nnll submandibula sinistra (-), dextra (-)

Palpasi

: nyeri (-)

Pemeriksaan Intraoral

Pemeriksaan Intraoral
Mukosapipi

: edema (-/-), hiperemis (-/-)

Mukosapalatum

: edema (-/-), hiperemis (-/-)

Mukosadasarmulut/ lidah : edema (-/-), hiperemis (-/-)


Mukosa pharynx

: edema (-/-), hiperemis (-/-)

Ginggivaatas

: edema (-/-), hiperemis (-/-)

Ginggivabawah

: edema (-/-), hiperemis (-/-)

Karanggigi

: (-)

Pocket

: (-)

Oklusi

: Normal bite

Palatum

: Sedang

Supernumerary teeth

: Tidakada

Diastema

: Tidakada

Gigi anomali

: Tidakada

////Odontogram/
b. Status Lokalis
PemeriksaanEkstraoral
Inspeksi

: dalam batas normal

Palpasi

: dalam batas normal

Pemeriksaan Intraoral
Fraktur gigi 1.1 dan 2.1
Gangren pulpa gigi 1.1 dan 2.1

c. Status Dental
Gigi 1.1
Inspeksi

: fraktur 2/3 crown , tersisa 1/3 crown cervical

Sondasi

: profunda, nyeri (-)

Perkusi

: (-)

Vitalitas

: (+)

Mobilitas

: cekat

Gigi 2.1
Inspeksi

: fraktur 2/3 crown , tersisa 1/3 crown cervical

Sondasi

: profunda, nyeri (-)

Perkusi

: (-)

Vitalitas

: (+)

Mobilitas

: cekat

3.4

Diagnosis Kerja
Gangren pulpa gigi 1.1 dan 2.1 et causa trauma

3.5

Initial Plan

Dx

: S : O : -

Rx

Mx

Perawatan saraf gigi dan sterilisasi saluran akar

Tumpatansementara

Pengisian saluran akar tunggal

Sterilisasi saluran akar


: Keadaan umum, tanda vital, komplikasi gangren pulpa

Ex

Menjelaskan kepada pasien mengenai diagnosis dan kondisi pasien bahwa


keadaan gangrene pulpa tersebut merupakan akibat proses trauma yang
dialami pasien

Menjelaskan kepada pasien agar mengikuti jadwal perawatan konservatif gigi


dengan teratur

Menjelaskan kepada pasien mengenai pentingnya oral hygiene dan cara


menyikat gigi yang benar

Menjelaskan kepada pasien mengenai komplikasi yang muncul dari gangren


pulpa dan berpesan agar kembali ke dokter apabila muncul gejala tersebut

BAB IV
PEMBAHASAN
Ganggren pulpa adalah keadaan gigi dimana jaringan pulpa sudah mati
sebagai sistem pertahanan pulpa yang sudah tidak dapat menahan rangsangan
sehingga jumlah sel pupa yang rusak menjadi semakin banyak dan menempati
sebagian besar ruaang pulpa. Kematian jaringan pulpa juga disebabkan oleh trauma
yang menyebabkan patahnya atau fraktur pada gigi.
Seorang laki-laki 24 tahun datang ke RSDK dengan keluhan nyeri kepala. 3
tahun yang lalu pasien mengalami kecelakaan saat mengendarai motor. Pasien
terjatuh dari motor dengan posisi wajah dan bagian depan tubuh terjatuh di jalan raya.
Keluhan pingsan setelah jatuh (-), perdarahan aktif (-). Gigi depan atas pasien
dirasakan patah. 7 hari yang lalu pasien mengeluh nyeri di gigi depan atas hingga
pasien mengeluh nyeri kepala hebat. Nyeri dirasakan hilang timbul terutama saat
makan makanan dingin dan panas. Gigi goyang (-),

gusi berdarah (-), Demam (-),

nyeri kepala (+) cekot-cekot, pasien dapat mengatupkan gigi maupun membuka
mulutnya secara maksimal. Pasien tidak meminum obat pereda nyeri. Pasien
merupakan konsulan dari bagian Neurologi yang sedang dirawat di Bangsal Merak.
Selama rawat inap, pasien diberikan infus dan obat-obatan lewat infus. Selain itu,
pasien melakukan foto gigi panoramik. Riwayat penyakit dahulu penderita dan
keluarga tidak pernah menderita sakit gigi sebelumnya, riwayat penyakit jantung,

diabetes melitus, hipertensi, hemofilia, hepatitis dan hipertensi disangkal. Riwayat


operasi juga disangkal.
Pada kasus ini pasien didiagnosis sebagai gangren pulpa gigi 1.1 dan 2.1 et
causa trauma. Dari anamnesis didapatkan keluhan utama nyeri kepala. 3 tahun yang
lalu pasien mengalami kecelakaan saat mengendarai motor. Pasien terjatuh dari motor
dengan posisi wajah dan bagian depan tubuh terjatuh di jalan raya. Keluhan pingsan
setelah jatuh (-), perdarahan aktif (-). Gigi depan atas pasien dirasakan patah.
Pada pemeriksaan ekstraoral pada rahang, dari inspeksi tidak didapatkan
asimetri wajah, palpasi juga dalam batas normal. Hal ini sesuai dengan teori bahwa
pemeriksaan ekstraoral bisa tidak didapatkan pembengkakan apabila tidak ada
penjalaran infeksi pada organ sekitarnya.
Status dental gigi pada inspeksi terdapat fraktur 2/3 crown gigi 1.1 dan 2.1
tersisa 1/3 crown servikal serta gangren pulpa gigi 1.1 dan 2.1 kedalaman profunda
dengan sondasi (-), perkusi (-), vitalitas (+), mobilitas cekat. Hasil pemeriksaan foto
gigi x-ray panoramik didapatkan lusensi pada apikal gigi 1.1 dan 2.1 . Hal ini sesuai
dengan teori bahwa pada pemeriksaan intraoral bias terdapat karies/ tidak, sonde
mencapai profunda tidak terasa nyeri, perkusi bisa terdapat nyeri/tidak tergangung
ada tidaknya proses infeksi, tekanan bisa terdapat nyeri/tidak tergantung ada tidaknya
proses infeksi, palpasi tidak selalu terdapat goyang. Pada pengetesan vitalitas, bila
gigi masih mampu merasakan panas/dingin dari cavity test, maka gigi masih vital.
Pada gigi yang masih vital dipilih penatalaksanaan konservatif dengan perawatan
saraf.
Terapi yang diberikan berupa perawatan saraf gigi dan sterilisasi saluran akar,
tumpatan sementara, pengisian saluran akar tunggal dan sterilisasi saluran akar. Hal

ini sesuai dengan teori bahwa tindakan konservatif lebih dipilih daripada
pencabutan unttuk merawat dan mempertahankan gigi yang masih vital.

BAB V
KESIMPULAN

Telah diperiksa laki-laki pria 24 tahun dengan diagnosis utama gangren pulpa
gigi 1.1 dan 2.1 et causa trauma. Terapi yang diberikan berupa perawatan saraf gigi
dan sterilisasi saluran akar, tumpatan sementara, pengisian saluran akar tunggal dan
sterilisasi saluran akar.

DAFTAR PUSTAKA
1.

Karasutisna, Tis. Bedah Dentoalveolar. Bandung. Fakultas Kedokteran Gigi


Universitas Padjadjaran. 2001

2.

Bailey BJ. Odontogenic infection. Head and Neck Surgery- Otolaryngology. 2nd
ed. Philadelphia:Lippincott-Raven; 1998.p.674-5

3.

Fachruddin, D. Abses leher Dalam. In:Soapardi E A, Iskandar N I, Bashiruddin J


eds. Buku Ajar Ilmu Kesehatan-Telingan hidung tenggorokan Kepala & Leher.
Edidi ke-6. Jakarta : Balai Penerbit FKUI; 2007. P.230.

4. Banks P, Brown A Fractures of The Facial Skeleton. Wright; 2001. P. 40 2, 72


9
5. Killey HC. Fractures of The Middle Third of The Facial Skeleton, Third Edition.
Bristol : Johhn Wright and sons Ltd, 1977
6. Selvi, Zakiah, Intan. Fraktur Dentoalveolar. 2014. Jatinangor : FKG Universitas
Padjajaran.
7.

Namirah, Nurul. Prevalensi Fraktur Maksilofasial pada Kasus Kecelakaan Lalu


Lintas di RSUD Andi Makasau Kota Pare Pare tahun 2013. 2014. Makassar :
FKG Universitas Hassanudin

Anda mungkin juga menyukai