Anda di halaman 1dari 4

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah


Demam Dengue (DD) dan Demam Berdarah Dengue (DBD) adalah
penyakit virus yang ditularkan lewat gigitan nyamuk Aedes aegypti. Infeksi ini
disebabkan oleh virus dengue strain 1 sampai 4 dan umumnya dijumpai di daerah
tropis termasuk Indonesia. Manifestasi klinisnya bervariasi mulai dari infeksi
tanpa gejala, demam yang tidak diketahui sebabnya, gejala mirip influenza yang
dikenal sebagai demam dengue, terkadang bisa menjadi kasus fatal, ditandai
dengan perdarahan dan syok yang disebut DBD (1,2,3,4).
Kasus DBD yang pertama dan kedua ditemukan di Manila pada tahun
1954 dan 1956, kemudian yang ke tiga kalinya ditemukan di Bangkok pada tahun
1958. Setelah itu, DBD menyebar luas secara global melalui negara-negara tropis
di dunia. Sejak tahun 1968, di Indonesia jumlah kasus DBD semakin meningkat
dari tahun ke tahun, bahkan menjadi Kejadian Luar Biasa (KLB) pada tahun 1973,
1978, 1983 dan tahun 1986 (1,2,3,4).
Penyakit DBD di Indonesia menduduki peringkat ke 2 dalam sepuluh
besar penyakit rawat inap rumah sakit tahun 2010 dengan jumlah kasus pada lakilaki sebanyak 30.232 orang dan perempuan sebanyak 28.883 orang dan jumlah
yang meninggal sebanyak 325 orang dengan CFR 0,55%. Pada tahun 2011 di
Kalimantan Selatan ditemukan 400 kasus DBD dari 3.696.903 penduduk dan 7
orang diantaranya meninggal dunia (5).

2
Jumlah Penyakit DBD di empat kecamatan Banjarmasin pada tahun 2011
sebanyak 25 kasus dengan 2 orang meninggal dunia dan pada tahun 2012
mengalami peningkatan menjadi 67 kasus dengan 3 orang meninggal dunia. Dari
lima kecamatan yang ada Banjarmasin, kecamatan Banjarmasin Timur memiliki
angka kejadian DBD yang paling tinggi pada tahun 2012, yaitu sebanyak 20 kasus
dengan 1 orang meninggal dunia (6).
Sampai saat ini belum ditemukan obat dan vaksin bagi penyakit DBD,
oleh karena itu pencegahan menjadi titik berat penanganan kasus DBD disamping
perawatan penderita. Salah satu pencegahannya adalah dengan pengendalian
nyamuk, yang terbagi menjadi empat kategori antara lain pemusnahan sarang
nyamuk dan pengaturan lingkungan, pengontrolan secara biologi, pengontrolan
secara kimia serta perlindungan fisik terhadap gigitan nyamuk. Oleh karena cara
kerjanya yang cepat dan kurangnya pilihan lain dalam hal pembasmian vektor
dengue, pengendalian nyamuk secara kimia adalah pilihan utama untuk
pembasmian vektor dengue. Sebagian besar bahan aktif produk anti nyamuk
terbuat dari pyrethroid sintetik, hanya sedikit yang mengandung karbamat,
organofosfat atau organoklorin sebagai bahan aktifnya (7).
Temefos 1% (abate 1 SG) adalah larvasida yang paling banyak
digunakan di Indonesia untuk mengendalikan larva Aedes aegypti penyebab
DBD. Larvasida tersebut telah digunakan selama lebih dari 36 tahun, yakni
sejak tahun 1976, dan abate mulai digunakan secara massal pada tahun 1980
untuk program pemberantasan Aedes aegypti. Penggunaan insektisida dalam
jangka waktu yang lama memberikan tekanan seleksi terhadap target

3
insektisida tersebut, dalam hal ini Aedes aegypti, yang membuatnya menjadi
lebih cepat resisten. Hal ini terutama terjadi di daerah endemik DBD (4,8).
Adanya resistensi larva Aedes aegypti

terhadap temefos di Brazil,

Venezuela, Kuba, French Polynesia dan Karibia telah dilaporkan. Malaysia dan
Pnom Penh (Kamboja) pada tahun 1976 juga telah dilaporkan adanya larva
Aedes aegypti yang resisten terhadap temefos, kemudian disusul Thailand
pada tahun 1980 dan Singapura pada tahun 1986, sedangkan di Indonesia
belum banyak laporan mengenai resistensi larva nyamuk Aedes aegypti
terhadap temefos, termasuk di Banjarmasin (4).
Gafur et al dalam penelitiannya menyatakan bahwa larva Aedes
aegypti di wilayah Banjarmasin Utara masih sensitif terhadap pemaparan
temefos. Khomariyah juga melaporkan larva Aedes aegypti di wilayah
Banjarmasin Barat masih sensitif terhadap temefos. Walaupun di daerah
tersebut dilaporkan larva Aedes aegypti masih sensitif terhadap temefos,
tidak menutup kemungkinan telah terjadi resistensi larva Aedes aegypti
terhadap temefos di wilayah endemik DBD lain di Kalimantan Selatan, oleh
karena itu perlu dilakukan penelitian untuk mengetahui efektifitas temefos di
wilayah endemik lain di Kalimantan Selatan, salah satunya yaitu Banjarmasin
Timur (4,9).
B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang tersebut rumusan masalah yang dibuat adalah


bagaimanakah efektivitas temefos terhadap larva Aedes aegypti yang diambil dari
wilayah Banjarmasin Timur ?
C. Tujuan Penelitian

4
Adapun

tujuan umumnya yaitu mengetahui efektivitas larvasida

temefos terhadap larva nyamuk Aedes aegypti yang diambil dari wilayah
Banjarmasin timur.
Tujuan khusus penelitian ini adalah:
1.Menghitung dosis efektif yang dapat membunuh 50% larva (Lc50) Aedes
aegypti yang diambil dari wilayah Banjarmasin Timur
2.Menghitung dosis efektif yang dapat membunuh 99% larva (Lc99) Aedes
aegypti yang diambil dari wilayah Banjarmasin Timur
D. Manfaat Penelitian

Dengan diketahuinya status efektivitas temefos terhadap larva nyamuk


Aedes aegypti yang diambil dari wilayah Banjarmasin Timur, diharapkan dapat
memberikan masukan kepada pihak terkait agar program pengendalian penyakit
DBD di Banjarmasin dapat berjalan dengan baik sehingga angka morbiditas dan
mortalitas dapat diturunkan.

Anda mungkin juga menyukai