PENDAHULUAN
2
Jumlah Penyakit DBD di empat kecamatan Banjarmasin pada tahun 2011
sebanyak 25 kasus dengan 2 orang meninggal dunia dan pada tahun 2012
mengalami peningkatan menjadi 67 kasus dengan 3 orang meninggal dunia. Dari
lima kecamatan yang ada Banjarmasin, kecamatan Banjarmasin Timur memiliki
angka kejadian DBD yang paling tinggi pada tahun 2012, yaitu sebanyak 20 kasus
dengan 1 orang meninggal dunia (6).
Sampai saat ini belum ditemukan obat dan vaksin bagi penyakit DBD,
oleh karena itu pencegahan menjadi titik berat penanganan kasus DBD disamping
perawatan penderita. Salah satu pencegahannya adalah dengan pengendalian
nyamuk, yang terbagi menjadi empat kategori antara lain pemusnahan sarang
nyamuk dan pengaturan lingkungan, pengontrolan secara biologi, pengontrolan
secara kimia serta perlindungan fisik terhadap gigitan nyamuk. Oleh karena cara
kerjanya yang cepat dan kurangnya pilihan lain dalam hal pembasmian vektor
dengue, pengendalian nyamuk secara kimia adalah pilihan utama untuk
pembasmian vektor dengue. Sebagian besar bahan aktif produk anti nyamuk
terbuat dari pyrethroid sintetik, hanya sedikit yang mengandung karbamat,
organofosfat atau organoklorin sebagai bahan aktifnya (7).
Temefos 1% (abate 1 SG) adalah larvasida yang paling banyak
digunakan di Indonesia untuk mengendalikan larva Aedes aegypti penyebab
DBD. Larvasida tersebut telah digunakan selama lebih dari 36 tahun, yakni
sejak tahun 1976, dan abate mulai digunakan secara massal pada tahun 1980
untuk program pemberantasan Aedes aegypti. Penggunaan insektisida dalam
jangka waktu yang lama memberikan tekanan seleksi terhadap target
3
insektisida tersebut, dalam hal ini Aedes aegypti, yang membuatnya menjadi
lebih cepat resisten. Hal ini terutama terjadi di daerah endemik DBD (4,8).
Adanya resistensi larva Aedes aegypti
Venezuela, Kuba, French Polynesia dan Karibia telah dilaporkan. Malaysia dan
Pnom Penh (Kamboja) pada tahun 1976 juga telah dilaporkan adanya larva
Aedes aegypti yang resisten terhadap temefos, kemudian disusul Thailand
pada tahun 1980 dan Singapura pada tahun 1986, sedangkan di Indonesia
belum banyak laporan mengenai resistensi larva nyamuk Aedes aegypti
terhadap temefos, termasuk di Banjarmasin (4).
Gafur et al dalam penelitiannya menyatakan bahwa larva Aedes
aegypti di wilayah Banjarmasin Utara masih sensitif terhadap pemaparan
temefos. Khomariyah juga melaporkan larva Aedes aegypti di wilayah
Banjarmasin Barat masih sensitif terhadap temefos. Walaupun di daerah
tersebut dilaporkan larva Aedes aegypti masih sensitif terhadap temefos,
tidak menutup kemungkinan telah terjadi resistensi larva Aedes aegypti
terhadap temefos di wilayah endemik DBD lain di Kalimantan Selatan, oleh
karena itu perlu dilakukan penelitian untuk mengetahui efektifitas temefos di
wilayah endemik lain di Kalimantan Selatan, salah satunya yaitu Banjarmasin
Timur (4,9).
B. Rumusan Masalah
4
Adapun
temefos terhadap larva nyamuk Aedes aegypti yang diambil dari wilayah
Banjarmasin timur.
Tujuan khusus penelitian ini adalah:
1.Menghitung dosis efektif yang dapat membunuh 50% larva (Lc50) Aedes
aegypti yang diambil dari wilayah Banjarmasin Timur
2.Menghitung dosis efektif yang dapat membunuh 99% larva (Lc99) Aedes
aegypti yang diambil dari wilayah Banjarmasin Timur
D. Manfaat Penelitian