Anda di halaman 1dari 2

Menuhankan Jumlah

Saat Aa Gym ditanya apa hikmah poligami beliau?—tapi di sini saya tidak membahas kontroversi
poligami-- Salah satu yang beliau katakan ialah kurang lebih begini,”Aa’ belajar untuk tidak
menuhankan jumlah.” Penjabarannya begini. Sebagai seorang penceramah, ada masa-masa dalam
dakwahnya, beliau menjadi lebih bersemangat saat jumlah pendengarnya banyak, dan sebaliknya.
Hingga, menurut beliau, anjloknya popularitas setelah poligami itu membuat beliau kembali
meluruskan niat. Bahwa yang harusnya dituhankan ialah Allah. Berdakwah untuk Allah. Bukan
jumlah. Jangan fokus meningkatkan jumlah murid, pendengar, pengikut, dan sejenisnya. Tapi
fokuslah tuk memperbaiki diri. Begitu kira-kira pedomannya.

Saat itu saya heran dan agak mencibir. “Ustadz sekelas Aa Gym masak baru tahu kalau kita tidak
boleh menuhankan jumlah????”. Ah, tapi itulah watak para pemula yang baru tahu teorinya. Belum-
belum udah banyak komen.

Kalau yang dimaksud “jumlah” oleh pembicara seperti Aa Gym tentu jumlah pendengar. Sedang
“jumlah” yang dimaksud blogger seperti saya tentu jumlah pengunjung blog ini. Sudah dua bulan ini
saya serius menulis di blog dan sejak Februari itu pula statistik blog ini mengalami peningkatan yang
berarti. Dan itulah yang menjadi pelajaran kali ini.

Hari Kamis-Jumat kemarin saya kena batunya. Tapi saya justru sangat bersyukur mendapat pelajaran
berharga ini. Jadi, Kamis sore saya berpikir. Saya terlalu semangat mencari cara agar statistik blog ini
menunjukkan grafik yang makin meningkat. Lalu perenungan saya mengingatkan saya tentang
tujuan saya membuat blog ini. Dakwah. Memang, meningkatkan trafik blog itu boleh-boleh saja.
Namun, saat saya lebih suka meningkatkan trafik blog daripada meningkatkan kualitas diri, saya
sudah menuhankan jumlah! Saya yang sedang merenung dengan posisi tiduran, langsung terduduk
beristighfar karena kaget mengingat hal yang nampak sepele ini ternyata merupakan hal yang serius
dan mendasar. Saya sadar jika ini sudah salah arah. Dan saya yakin Allah pasti akan memberi
pelajaran. Keyakinan itu membuat saya bersiap-siap menerima ajaran.

Meski mungkin pahit pada awalnya, tapi kebenaran itu selalu mengakhiri pengajaran dengan begitu
indah. Sering tangis tanda tersinggung perasaan oleh pukulan kebenaran, berganti menjadi tangis
tanda kerinduan di akhir perjumpaan dengan kebenaran. Hemm... enak sekali bila kebenaran telah
bersatu dengan keindahan.

Lalu, hari Jumat 9 April 2010 pukul 09.30 saya membuka dasbor blog. Menatap statistiknya. Di sana
tertulis angka yang begitu indah. Angka yang melambangkan ketiadaan ego diri. Yakni, n0l. What!??.
Sebuah “penghinaan” jika blog saya ini dikunjungi 0 pengunjung. Kemudian sekitar pukul 10.30 saya
membukanya lagi. Sekarang meningkat cukup tidak drastis. Dua pengunjung.

Haha. Awalnya cukup kaget. Tapi karena saya telah bersiap, shock itu hanya sementara. Berganti
syukur yang tak henti selama beberapa detik. (Keliatan kalau manusia itu amat sedikit bersyukur).
Bersyukur karena saya masih diingatkan. Pun bersyukur saya masih dipercaya tuk bisa ingat. Ah,
lembut sekali pengajaran-Nya ini.
Yah, begitulah kawan dan sobat pembaca. Kita mesti berwaspada dengan jumlah. Tentu teman-
teman masih ingat sebuah riwayat. Saat Perang Badar, umat Islam sangat kalah jumlah. Tapi jumlah
yang minor itu malah membuat mereka terikat kuat oleh semangat menjemput rahmat. Sedangkan
pada perang lain ( saya lupa namanya), umat Islam menang jumlah. Hingga, tanpa terasa angin
kesombongan membelai halus para sahabat. Meninabobokan kewaspadaan mereka hingga di luar
dugaan, mereka kalah dalam peperangan. Allah SWT pun menurunkan firman,”Betapa banyak
(golongan) yang sedikit mengalahkan (golongan) yang banyak”

Jadi, untuk para pedjoeang yang merasa kalah jumlah, termasuk kawan saya Adi Bhasworo yang
pernah menasbihkan dirinya sebagai “A Creative Minority” , jangan iri dengan mayoritas. Karena
yang banyak belum tentu baik. Karena yang banyak belum tentu benar!

Anda mungkin juga menyukai